Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.
Fraktur terjadi jika tulang dikenai stres yang lebih besar dari pada yang dapat diabsorpsinya.
Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya remuk, gerakan puntir mendadak dan
bahkan kontraksi otot ekstrem. Meskipun tulang patah, jaringan disekitarnya juga akan
terpengaruh mengakiabatkan edema jaringan lunak, pendarahan ke otot dan sendi, dislokasi
sendi, ruptur tendo, kerusakan saraf dan kerusakan pembuluh darah. Organ tubuh dapat
mengalami cedera akibat gaya yang di sebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen tulang
(Burner dan kawan-kawan, 2002).
Fraktur adalah patahnya kontinuitas tulang yang terjadi ketika tulang tidak mampu
lagi menahan tekanan yang diberikan kepadanya (Donna L. Wong, 2004).
Klasifikasi Fraktur
2. PREVALENSI FRAKTUR
Kasus fraktur femur merupakan yang paling sering yaitu sebesar 39% diikuti fraktur
humerus (15%), fraktur tibia dan fibula (11%), dimana penyebab terbesar fraktur femur
adalah kecelakaan lalu lintas yang biasanya disebabkan oleh kecelekaan mobil, motor, atau
kendaraan rekreasi (62,6%) dan jatuh dari ketinggian (37,3%) dan mayoritas adalah pria
(63,8%).2,3 Insiden fraktur femur pada wanita adalah fraktur terbanyak kedua (17,0 per
10.000 orang per tahun) dan nomer tujuh pada pria (5,3 per orang per tahun).4,5 Puncak
distribusi usia pada fraktur femur adalah pada usia dewasa (15 - 34 tahun) dan orang tua
(diatas 70 tahun).5
Selama periode penelitian, jumlah sampel yang diperoleh yaitu sebanyak 113 sampel
dimana sebagian besar berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 78 sampel (69,1%) dan
wanita sebanyak 35 sampel (30,9%). Selain dibagi berdasarkan jenis kelamin, sampel juga
digolongkan berdasarkan kelompok umur tertentu yakni, kelompok usia 1830 tahun yaitu
sebanyak 64 (56,6 %) orang, kelompok usia 31-40 tahun sebanyak 29 (25,7 %) orang dan
kelompok 41-50 tahun sebanyak 20 (17,7 %) orang.
Data mengenai jenis fraktur diperoleh dari pembacaan rekam medis pasien, diperoleh
jenis fraktur tertutup sebanyak 85 (72,6%) orang dan jenis fraktur terbuka 32 (27,4%) orang.
Dari data tersebut sebanyak 21 (18,8%) fraktur berlokasi di proksimal, 68 (58,1%) fraktur
berlokasi di tengah dan sebanyak 27 (23,1%) fraktur berlokasi di distal(Tabel 1).
Tabel 1. Karakteristik Fraktur Femur Akibat Kecelakaan Lalu Lintas pada Orang
Dewasa Di RSUP Sanglah Tahun 2013
Karakteristik N=113
Umur:
18-30 tahun, n (%) (56.6%)
31-40 tahun, n (%) (25,7%)
41-50 tahun, n (%) (17,7%)
Jenis kelamin:
Pria, n (%) (69,1 %)
Wanita, n (%) (30,9 %)
Jenis Fraktur:
Fraktur Tertutup, n (%) (72,6%)
Fraktur Terbuka, n (%) (27,4%)
Lokasi Fraktur:
Proksimal, n (%) (18,8%)
Tengah, n (%) (58,1%)
Distal, n (%) (23,1%)
Sumber: Data sekunder rekam medis RSUP Sanglah tahun 2013
Dari sampel inklusi sebanyak 112 pasien didapatkan insiden fraktur femur yang
paling sering dialami pasien yang berkunjung ke poli orthopaedi Rumah Sakit Umum Daerah
Dr.Soetomo Surabaya pada tahun 2013 – 2016 adalah pada usia 15 – 24 tahun dengan 40
kasus
(36%)
Tabel 1. Gambaran distribusi jumlah fraktur berdasarkan usia pasien yang berkunjung ke
RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada 1 Januari 2013 hingga 31 Desember 2016
\
Tabel 2. Gambaran distribusi jumlah fraktur berdasarkan jenis kelamin pasien yang
berkunjung ke RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada 1 Januari 2013 hingga 31 Desember 2016
Tabel 5. Gambaran distribusi jumlah fraktur berdasarkan lokasi insiden fraktur pasien
yang berkunjung ke RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada 1 Januari 2013 hingga 31 Desember
2016
Lokasi 2013 - %
insiden 2016
Jalan 100 92%
Rumah 12 8%
Tabel 6. Gambaran distribusi jumlah fraktur berdasarkan jenis luka fraktur pasien yang
berkunjung ke RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada 1 Januari 2013 hingga 31 Desember
2016.
Artikel Penelitian
Prevalensi fraktur panggul diperkirakan terus meningkat setiap tahunnya, hal ini
berhubungan dengan meningkatnya usia harapan hidup dan jumlah populasi penduduk usia
lanjut. Estimasi angka kejadian fraktur panggul di dunia mencapai 1,6 juta kasus pada tahun
1990. Angka ini diperkirakan terus meningkat hingga 4 juta kasus pada tahun 2023 dan
menjadi 6,3 juta pada tahun 2050. Dimana lebih dari separuhnya merupakan fraktur pada
collum femur.3
Total 26 100
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat pada tahun 2011-2012 terdapat 5,6 juta
orang meninggal dunia dan 1,3 juta orang menderita fraktur akibat kecelakaan lalu lintas.
Tingkat kecelakaan transportasi jalan di kawasan Asia Pasifik memberikan kontribusi sebesar
44% dari total kecelakaan di dunia, yang didalamnya termasuk Indonesia. Berdasarkan hasil
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Depkes RI
tahun 2013 didapatkan data kecenderungan peningkatan proporsi cedera transportasi darat
(sepeda motor dan darat lain) dari 25,9% pada tahun 2007 menjadi 47,7%.
Menurut Depkes RI 2011, dari sekian banyak kasus fraktur di Indonesia, fraktur pada
ekstremitasbawah akibat kecelakaan memiliki prevalensi yang paling tinggi diantara fraktur
lainnya yaitu sekitar 46,2%. Dari 45.987 orang dengan kasus fraktur ekstremitas bawah
akibat kecelakaan, 19.629 orang mengalami fraktur pada tulang femur, 14.027 orang
mengalami fraktur cruris, 3.775 orang mengalami fraktur tibia, 970 orang mengalami fraktur
pada tulang-tulang kecil di kaki dan 336 orang mengalami fraktur fibula. Walaupun peran
fibula dalam pergerakan ektremitas bawah sangat sedikit, tetapi terjadinya fraktur pada fibula
tetap saja dapat menimbulkan adanya gangguan aktifitas fungsional tungkai dan kaki.
Terjadinya fraktur tersebut termasuk didalamnya insiden kecelakaan, cedera olahraga,
bencana kebakaran, bencana alam dan lain sebagainya (Mardiono, 2010).
Plancher dan Donshik juga melaporkan rata-rata angka prevalensinya sekitar 10%
untuk fraktur corpus femur ipsilateral, dimana sebanyak 30% tidak diketahui pada awal
terjadinya. Menurut Koval dan Zuckerman, angka kejadian fraktur collum femur di Amerika
Serikat adalah sebesar 63.3 kasus per 100.000 orang per tahununtuk wanita dan 27.7 kasus
per 100.000 orang per tahun untuk pria.
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk mena
han. Apabila tekanan eksternal lebih besar dari yang diserap tulang, maka terjadi trauma pada
tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Fraktur dapat
disebabkan oleh trauma langsung, trauma tidak langsung, atau kondisi patologis.
Fraktur yang hebat menyebabkan diskontinuitas tulang yang dapat merubah jaringan
sekitar seperti merusak integritas kulit atau terjadi laserasi kulit hal ini menyebabkan
fraktur terbuka.
Sumber : Noor Helmi, Zairin, 2012; Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal; jilid 1,Salemba
Medika, Jakarta.
Ujung syaraf atau nosiseptor mendeteksi stimulus dari satu proses atau lebih.
Ketika terjadi fraktur pada tulang, maka periosteum serta pembuluh darah di dalam
korteks, sum sum tulang, dan jaringan lunak disekitarnya akan mengalami disrupsi.
Perdarahan sendiri terjadi karna adanya cidera pada jaringan lunak atau cidera pada tulang itu
sendiri. Jaringan di sekitar lokasi fraktur akan mati dan menciptakan proses inflamasi intensif
yang menyebabkan sel- sel jaringan lunak di sekitarnya serta rongga sum sum tulang akan
menginvasi daerah fraktur dan aliran darah akan mengalami peningkatan ke daerah tersebut.
Dari inflamasi intensif
Etiologi
1. Kekerasan langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat
terjadinya kekerasan yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam
jalur hantaran vector kekerasan.
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran,penekukan,penekanan kombinasi dari ketiganya dan penarikan.
4. Fraktur patologik
Terjadi pada daerah tulang-tulang yang telah menjadi lemah oleh karena
tumor,kanker,dan ostheorosis
5. Fraktur beban
Terjadi pada orang-orang yang baru saja menambah tingkat aktifitas mereka, seperti
baru diterima dalam angkatan bersenjata atau orang-orang yang baru mulai latihan lari
Faktor resiko
1. Faktor ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar,
waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur
2. Faktor intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk
timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbs dari tekanan elastis,kelelahan, dan
kepadatan atau kekerasan tulang.
-Osteoporosis
-Defisit berjalan
-Defisit keseimbangan
-Penggunaan psikotropik medis
-Riwayat fraktur/jatuh
-Riwayat keluarga osteoporosis
-Penglihatan yang berkurang
-Pengguna glukokortikoid oral selama >3 th
.Faktor Risiko Medis
-Osteoporosis
-Defisit berjalan
-Defisit keseimbangan
-Penggunaan psikotropik medis
-Riwayat fraktur/jatuh
-Riwayat keluarga osteoporosis
-Penglihatan yang berkurang
-Pengguna glukokortikoid oral selama >3 th
.Faktor Risiko Medis
-Osteoporosis
-Defisit berjalan
-Defisit keseimbangan
-Penggunaan psikotropik medis
-Riwayat fraktur/jatuh
-Riwayat keluarga osteoporosis
-Penglihatan yang berkurang
-Pengguna glukokortikoid oral selama >3 th
3. Faktor Risiko Medis
- Osteoporosis
- Defisit berjalan
- Defisit keseimbangan
- Riwayat fraktur/jatuh
- Umur
Herfina (1610711026)
Manisfestasi pada krepitasi dapat terjadi karna gerakan dari bagian tengah tulang atau
gesekan antar frakmen fraktur yang menciptakan sensasi dan suara deritan
6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Setiap perawat/Ners perlu mengetahui tindakan medis yang biasanya dilakukan oleh
tim medis agar dapat melakukan asuhan keperawatan yang tepat bagi klien setelah ditangani
oleh tim medis. Tim medis yang menangani keadaan klinis klien yang mengalami fraktur
memerlukan penilaian penatalaksanaan yang sesuai, yaitu dengan mempertimbangkar faktor
usia, jenis fraktur, komplikasi yang terjadi, dan keadaan sosial ekonomi klien secara
individual. Ada beberapa penatalaksanaan, yaitu penatalaksanaan fraktur tertutup, terbuka,
dislokasi, dan amputasi.
Implikasi keperawatan utama dalam penanganan kasus fraktur tertutup adalah
menganalisis masalah yang akan muncul pada klien setelah dilakukan
Traksi adalah penasangan gaya tarikan ke bagian tubuh. Traksi digunakan untuk
meminimalkan spasme otot; untuk mereduksi, menyejajarkan, dan mengimobilisasi fraktur,
untuk mengurangi deformitas; dan untuk menambah ruangan di antara kedua permukaan
patahan tulang Traksi harus diberikan dengan arah dan besaran yang diinginkan untuk
mendapatkan efek terapeutik. Faktor-faktor yang mengganggu keefektifan tarikan traksi
harus dihilangkan.
Efek traksi yang dipasang harus dievaluasi dengan sinar-X dan mungkin diperlukan
penyesuaian. Bila otot dan jaringan lunak sudah relaks, berat yang digunakan harus diganti
untuk memperoleh gaya tarikan yang diinginkan. Kadang, traksi harus dipasang dengan arah
yang lebih dari satu untuk mendapatkan garis tarikan yang diinginkan. Dengan cara ini,
bagian garis tarikan yang pertama berkontraksi terhadap garis tarikan lainnya. Garis-garis
tarikan tersebut dikenal scbagai vektor gaya. Resultan gaya tarikan yang sebenarnya terletak
di antara kedua garis tarikan tersebut
intermiten. aktivitas
dimaksudkan intermiten.
Setiap faktor yang dapat
mengurangi tarikan atau
mengubah.garis resultan tarikan
harus dhilangkan.
Tubuh klien harus dalam keadaan
sejajar dengan pusat tempat tidur
ketika traksi dipasang.
Tali tidak boleh macet.
Pemberat harus tergantung bebas
dan tidak boleh terletak pada
tempat tidur atau lantai.
Simpul pada tali atau telapak kaki
tidak boleh menyentuh katrol atau
kaki tempat tidur.
d. Reduksi tertutup dengan traksi kotinu dan counter traksi. Tindakan ini
mempunyai dua tujuan utama, yaitu berapa reduksi yang bertahap dan
imobilisasi.
Indikasi tindakan ini:
Reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi tidak
memungkinkan serta mencegah tindakan operatif, misalnya pada fraktur
batang femur dan fraktur vertebra servikalis.
Terdapat otot yang dapat menimbulkan mal-union, non-union atau
delayed union
Terdapat fraktur yang tidak stabil dan oblik; fraktur spiral atau
kominutif pada tulang panjang.
Berbagai jenis traksi lainnya dipergunakan sesuai jenis fraktur.Secara ringkas, gambar-
gambar di bawah ini menjelaskan berbagai jenis traksi.
Reduksi terbuka dan fiksasi internal atau fiksasi eksternal tulang. Perawat
perlu mengenal tindakan medis operasi reduksi terbuka, baik fiksasi internal /
ORIF (Open Reduction Internal Fixation) maupun fiksasi eksternal / OREF
(Open Reduction External Fixation) karena asuhan keperawatan yang
diperlukan berbeda. Implementasi keperawatan yang perlu dikenal perawat
setelah operasi adalah adanya nyeri dan resiko infeksi yang menjadi masalah
utama.
Beberapa indikasi keadaan klien yang mengalami fraktur dan dislokasi
perlu diketahui untuk menjelaskan kemungkinan tindakan medis dan masalah
keperawatan yang akan timbul dari tindakan medis ORIF dan OREF.
Tindakan tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut:
Perawatan luka steril dilakukan oleh perawat setiap hari untuk mencegah timbulnya
infeksi karena adanya benda asing dari luar masuk kedalam tubuh. Setiap tempat pemasangan
pin perlu dikaji mengenai adanya kemerahan, keluhan nyeri tekan, nyeri pada daerah sekitar
tusukan fiksasi eksternal, dan longgarnya pin.
Perawat perlu mengetahui kriteria klien yang perlu menjalani pembedahan dengan
reduksi terbuka dan fiksasi eksternal. Hal tersebut bertujuan untuk memberikan informasi
kepada klien dan
keluarga sebagai
tindakan
kolaboratif dengan
tim medis
mengenai
perencanaan
pembedahan yang
sesuai kondisi klien
dan sebagai bahan perencanaan asuhan keperawatan.
Gambar 3.16. A, beberapa gambaran radiologis jenis pemasangan implant pada reduksi
terbuka dengan fiksasi eksternal (OREF) fraktur tibia-fibula. B dan C, gambar klien dengan
pemasangan fiksasi eksternal. Perhatikan bagian tajam dari fiksasi dipasang penumpul untuk
mencegah cidera pada klien. (Dimodifiksi Arif Mutaqqin,2005)
Eksisi fragmen tulang dan penggantian dengan prostesis. Pada fraktur leher femur dan sendi
siku orang tua, biasanya terjadi nekrosis avaskular dari fragmen atau non-uniun. Oleh karena
itu,
dilakukan
pemasanga
n protesis,
yaitu alat
dengan
komposisi
metal
tertentu untuk menggantikan bagian yang nekrosis. Prostesis juga sering digunakan setelah
klien diamputasi.
Gambar 3.17. pemasangan prostesis setelah mengalami amputasi. (Atas Izin Helmi, Z.N., &
Akbar, I.Z. 2004. Orthopaedics: fractures and joint injuries. Banjarmasin: Faculty of
mediciene surgery ulin general Hospital.)
Sasaran utama asuhan keperawatan pada klien setelah diamputasi dan dilakukan
pemasangan protesis meliputi pengurangan nyeri, tidak adanya gangguan persepsi sensori,
penyembuhan luka, penerimaan terhadap perubahan citra tubuh, resolusi proses bersedih,
perawatan diri secara mandiri, pengembalian mobilitas fisik, dan tidak adanya komplikasi.
Untuk melaksanakan asuhan keperawatan yang komprehensif pada klien fraktur terbuka,
perawat perlu mengenal penatalaksanaan fraktur terbuka tersebut. Pada prinsipnya fraktur
terbuka adalah fraktur yang berhubungan dengan lingkungan luar melalui kulit karena adanya
pintu masuk kuman (port de entree) yang memungkinkan terjadi kontaminasi bakteri
sehingga timbul masalah keperawatan berupa tingginya resiko infeksi. Perawat perlu
mengenal jenis-jenis luka pada kulit akibat fraktur terbuka,misalnya tusukan tulang yang
tajam keluar menembus kulit (from within) atau dari luar oleh karena tertembus peluru atau
trauma langsung (from whitout).
Fraktur terbuka merupakan suatu keadaan darurat yang memerlukan penanganan yang
berstandar untuk mengurangi masalah resiko syok hipovolemik akibat pendarahan dan resiko
infeksi akibat adanya port de entree. Selain mencegah infeksi, juga diharapkan terjadi
penyembuhan fraktur dan restorasi fungsi anggota gerak. Beberapa hal yang penting
dilakukan dalam penatalaksanaan fraktur terbuka dengan operasi, yaitu dilakukan dengan
segera, secara hati-hati, depridemen berulang-ulang, stabilisasi fraktur, penutupan kulit bone
grafting yang dini, serta pemberian antibiotik yang adekuat.
Gambar 3.18.gambar reduksi terbuka dengan fiksasi internal dan pencangkokan tulang
(bone grafting).
Fraktur direduksi dengan hati-hati dan distabilisasi dengan fiksasi. Setiap kerusakan
pada pembuluh darah, jaringan lunak, otot, saraf, dan tendo diperbaiki. Ekstremitas
ditinggalkan untuk meminimalkan terjadinya edema. Status neurovaskular dikaji sesering
mungkin.suhu klien diperiksa dengan interval teratur, kemudian klien dipantau untuk
mengetahui adanya tanda-tanda infeksi.
Penutupan primer mungkin tidak dapat dicapai karena adanya edema dan potensial
iskemia, cairan luka yang tidak dapat keluar, dan infeksi anaerob. Luka yang sanggat
terkontaminasi sebaiknya tidak dijait, dibalut dengan balutan steril, dan tidak ditutup sampai
diketahui bahwa daerah luka tersebut tidak mengalami infeksi.
Pada tahap awal penatalaksanaan, sebaiknya klien diberikan profilaksis tetanus serum
yang bertujuan untuk menghindari resiko tetanus karena kuman tetanus sangat menyukai
keadaan seperti luka pada fraktur terbuka. Biasanya klien diberikan antibiotik intravena unutk
mencegah atau menangani infeksi serius. Luka ditutup dengan jahitan atau skin graft atau flap
kulit auto gen pada hari ke-5 sampai ke -7 atau pada saat luka dalam keadaan baik.
Perawatan luka selalu diberikan kepada perawat agar masalah keperawatan gangguan
intregitas jaringan dapat diatasi sehingga mengguranggi dampak resiko tinggi infeksi. Selain
itu, diharapkan terjadi pertumbuhan jaringan yang baik. perawatan luka dilakukan, baik pada
klien pasca oprasi maupun pada klien dengan luka pasca trauma setelah golden period yang
biasanya merupakan klien rujukan dari daerah.
1. Klasifikasi fraktur terbuka. Karena perawatan luka ini masih dalam area abu-abu
(gray area) antara medik dan perawat, perawat perlu membekali diri dengan mengetahui
prinsip-prinsip perawatan luka yang baik. Pengetahuan perawatan luka, keterampilan yang
baik, dan diimbangi dengan jam terbang perawatan yang cukup, sangat mendukung tujuan
perawatan luka, yaitu menggurangi resiko tinggi infeksi dan meningkatkan penyembuhan
luka.
Dalam pelaksanaan aplikasi asuhan keperawatan klien fraktur terbuka, perawat perlu
mengenal klasifikasi fraktur terbuka karena terdapat perbedaan dalam pelaksanaanya.
Tabel 3.3 klasifikasi fraktur terbuka menurut gustilo, merkow, dan templeman
II B
II C
KETEROLAK
Keterolak termasuk anti inflamasi non-steroid dengan sifat analgesik yang kuat dan
efek anti inflamasi sedang. Keterolak bekerja secara selektif menghambat COX-1. Absorpsi
keterolak berlangsung cepat, baik itu oral maupun IM. Keterolak dapat dipakai sebagai
pengganti morfin dan penggunaannya dengan analgesik opioid dapat mengurangi kebutuhan
opioid sebesar 20-50%. Sosis intramuskular keterolak dengan pasien usia dibawah 65 tahun
diberikan sosis 30mg IM atau IV setiap 6jam (maksimal 120mg/hari) selama 5 hari. Untuk
usia >65tahun atau dengan gangguan fungsi ginjal dosis yang digunakan adalah 15mh IV
atau 30mg IM, diikuti dengan 15mg IM atau IV setiap 6 jam (maksimal 60mg/hari)..
Keterolak bersifat toksis pada beberapa organ seperti hati, lambung, dan ginjal jika digunakan
dalam jangka waktu lebih dari 5 hari.
MORFIN
Morfin bekerja secara aginis reseptor mikro. Morfin menimbulkan analgesia dengan
cara berikatan pada reseptor opioid pada SSP dan Medula Spinalis yang berperan pada
transmisi dan modula nyeri. Reseptor opiod terdapat pada saraf yang mentrasmisi nyeri di
medula spinalis dam aferen primer yang merelai nyeri. Morfin yang ditangkap reseptor aferen
primer akan mengurangi pelepasan neurotransmitter yang selanjutnya akan menghambat
saraf yang mentransmisi nyeri di mornudorsalis medula spinalis.
Pemberian morfin dalam dosis kecil 5-10mg akan menyebabkan euforia pada pasien
yang sedang nyeri. Namun, pemberian morfin dengan dosis 15-20mg, pasien akan tertidur
cepat dan nyenyak. Efek analgetik morfin dan opioid lain sangan selektif dan tidak disertai
hilangnya fungsi sensorik lain. Yang terjadi adalah perubahan reaksi stimulus nyeri, jadi
nyeri tetep ada namun reaksinha berbeda.
METADON
Efek analgetik 7,5-10mg metadin sama kuat dengan efek 10mg morfin. Metadon
dapat diberikan secara oral maupun parenteral. Setelah masuk ke dalam darah,
biotransformasi metadon terutama akan berlangsung di hati. Setelah itu, sebagian metadon
akan dieksresikan melaluin urin dan tinja. Metadon diberikan untuk meredakan jenis nyeri
yang dapat mempengaruhi morfin. Metadon sedikit lebih kuat daripada morfin. Efek
analgetik mulai timbul 10-20 menit setelah pemberian secara parenteral dan 30-60menit
setelah pemberian oral. Dosis pemberiaan oral 2,5-15mg dan parenteral 1,5-10mg.
Dokter biasanya akan meresepkan obat analgesik, antiradang, dan antibiotik. Obat
analgesik berguna untuk mengurangi rasa sakit, sedangkan antibiotik berguna untuk
mencegah adanya infeksi pada patang tulng terbuka.
Berikut obat untuk patah tulang yang bisa dikonsumsi :
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)
Obat anti radang cintohnhya naproxen, ibuprofen dan ketoprofen. Umumnya,
obat ini digunakan untuk patah tulang ringan sampai yang lumayan parah. Obat ini
berguna untuk menahan nyeri dan reaksu peradangan karena patah tulang. Cara
kerjanya yaitu dengan menahan sintesis prostagladin dan menurunkan aktivitas enzim
COX.
ANALGESIK
Untuk mengurangi rasa sakit pada patah tulang. Anda bisa menggunakan obat
– obatan analgesik yang dijual bebas seperti ibuprofen, paracetamol, atau kombinasi
keduanya.
ANTIBIOTIK
Selain memakai obat pereda nyeri, dokter biasanya juga memberikan
antibiotik. Antibiotik bsa diberikan untuk spektrum luas pada luka terbuka dan
terkontaminasi, tujuannya agar infeksi tidak terjadi. Obat antibiotik yang bisa dipakai
sebagai obat untuk patah tulang misalnya vancomycin, gentamicin, dan antibiotik
golongan sefalosporin.
VAKSIN dan IMUNOGLOBULIN
Vaksin seperti tetanus dan imunoglobin bisa diberikan pada pasien patah
tulang. Namun perlu diingatkan, pemberian vaksin tetanus tergantung pada kondisi
luka (misalnya luka terbuka dan terkontaminasi) dan riwayat vaksinasi tetanus
ebelumnya. Sama dengan antibiotik, tujuan pemberian obat patang tulang yang satu
ini yaitu untuk mencegah terjadinya infeksi.
Tulang bisa bergenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang
tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara
ujung patahan tulang. Tulang baru di bentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium
penyembuhan tulang, yaitu :
Laju penyembuhan fraktur tidak berkurang secara signifikan pada orang yang lebih
tua seperti ia memiliki gangguan metabolik seperti osteoporosis
3.Jenis fraktur
Misal :
4.Terapi fraktur
FAKTOR PENDUKUNG
1.Lokasi
• Tulang rata
4.Imobilisasi efektif
FAKTOR PENGHAMBAT
6.Gerakan atau rotasi pada lokasi fraktur karen fiksasi yang tidak tepat
7.Infeksi
9.Lokasi
1. Cedera Saraf
Fragmen tulang dan edema jaringan yang berkaitan dengan cedera dapat
menyebabkan cedera saraf.Hati-hati jika ada pucat dan tungkai klien yang sakit
teraba dingin, perubahan kemampuan klien untuk menggerakkan jari-jari tangan
atau tungkai, parestasia atau adanya keluhan nyeri yang meningkat.
2. Sindroma kompartemen
Sindroma kompartemen merupakan suatu kondisi gangguan sirkulasi yang
berhubungan dengan peningkatan tekanan yang terjadi secara progresif pada
ruang terbatas. Ini disebabkan oleh apapun yang menurunkan ukuran
kompartemen , termasuk gaya kompresi eksternal seperti gips yang ketat atau
factor-faktor internal seperti perdarahan atau edema.
3. Kontraktur Volkman
Kontraktur volkman adalah suatu deformitas tungkai akibat sindroma
kompartemen yang tidak tertangani. Oleh karena tekanan terus-menerus
mengakibatkan iskemia , otot perlahan mulai digantikan oleh jaringan fibrosa yng
menjepit tendon dan saraf. Kontraktur dapat dihindari dengan pengenalan
manifestasi klinis sindroma kompartemen diikuti oelh pembidaian tungkai
dekompresi kompartemen.
4. Sindroma Emboli Lemak
Emboli lemak serupa dengan emboli paru, kecuali bahwa embolusnya adalah
lemak dan kondisi ini muncul pada klien fraktur. Insiden tertinggi hingga 90%
dari keseluruhan kasus dari sindroma emboli lemak terjadi setelah fraktur dari
tulang panjang , sepertifemur, tulang rusuk, fibula dan panggul. Terdapat dua teori
terjadinya emboli lemak.Teori mekanikal menyatakan bahwa terdapat pelepasan
globulus lemak dari sumsum tulang kedalam sirkulasi vena setelah terjadi
fraktur.Teori biokimia atau metabolic menyatakan bahwa trauma menyebabkan
pelepasan asam lemak yang tersimpan.Kemudian terjadi agregasi platelet dan
pembentukan globulus lemak. Pada kenyataannya proses dari patofisiologi lemak
belum diketahui, dan mungkin melibatkan sebagian dari kedua teori tersebut.
5. Tromosis Vena Dalam dan Emboli paru
Klien dengan cedera tulang beresiko tinggi mengalami kondisi trombo-embolik
seperti thrombosis vena dalam dan emboli paru. Peningkatan resiko ini terjadi
karena stasis dari aliran darah vena , peningkatan koaguabilitas dan cidera pada
pembuluh darah. Tirah baring terlalu lama atau imobilitas juga mendorong
terjadinya stasis.
6. Infeksi
Infeksi terus menjadi bagian penyebab morbiditas pada klien yang menjalani
perbaikan fraktur secara bedah atau mengalami fraktur terbuka. Npatogen dapat
mengontaminasi fraktur terbuka saat terjadi cedera atau dapat masuk saat prosedur
bedah .infeksi luka bedah pada masa pasca perasi biasanya diakbiatkan oleh
staphylococcus aureus.
7. Sindroma Gips
Sindroma gips terjadi hanya pada gips spika badan. Sindroma gips dapat terjadi
beberapa hari hingga minggu setelah imobilisasi , terutama jika klien mengalami
penurunan berat badan dari hilangnya lemak retroperitoneal.
4. Non-Union
Non – Union adalah ketika penyembuhan fraktur tidak terjadi 4-6 bulan
setelah cedera awal dan setelah penyembuhan spontan sepertinya tidak akan terjadi
.biasanya diakibatkan oleh suplai darah yang tidak cukup dan tekanan berulang yang
tidak terkontrol pada lokai fraktur. Mungkin karean adanya otot, tendon atau jaringan
lunak antara fragmen fraktur. Non-Union dapat berasal dari fraksi terlalu lama atau
berlebihan , imobilisasi yang tidak cukup dan tidak baik yang menyebabkan lokasi
lokasi fraktur dapat bergerak ; fiksasi eksternal yang tidak cukup atau infeksi luka
setelah fiksasi nternal.pada radiografi,Non-Union dicirkan dengan adanya celah yang
relatif sempit iantara fragmen-fragmen fraktur. Terdapat jembatan jaringan lunak dari
jaringan fibrokartilago dan fibrosa diantara gap tersebut. Setelah didiagnosis, non-
union dapat ditangani dengan cangkok tulang, fiksasi internal atau eksternal, stimulasi
tulang elektrik USG frekuensi rendahatau kombinasi. Edukasi klien sangat penting
sebelum inetervensi apapun karena perubahan beban pada tungkai yang sakit akan
dilarang sementara waktu untuk penyembuhan tulang.
12.ASUHAN KEPERAWATAN
Seorang klien dirawat di ruang perawatan umum rumah sakit pemerintagh. Klien di rawat
dengan keluhan patah tulang pada fermur sinistra dan luka terbuka sehingga tulang keluar
dari kulit, nyeri hebat dan perdarahan. Seorang perawat melakukan anamnesa, di dapatkan
hasil sebagai berikut: klien mengatakan sakitnya karena kecelakaan ditabrak motor, saat
kecelakaan klien menyatakan sadar akan kejadian, dan tungkai sinistra sakit untuk
digerakkan. Dari hasil pemeriksaan fisik di dapat data: tingkat kesadaran comosmentis, TTV
TD: 100/60mmHg, Nadi : 112x/menit, RR : 20x/menit, Suhu 37°C, Palpasi daerah fraktur
terdapat bagian tulang yang menonjol dan ada krepitus di fermur sinistra, tulang keluar dari
permukaan kulit, perdarahan. Dari hasil pemeriksaan laboratorium hb 12gr/dl, ht: 40%,
leukosit 12000, gds 125, hasil Rontgen Fermur Sinistra: Fraktur kominutif. Tindakan
sementara pasien terpasang spalk dan akan di rencanakan dilakukan ORIF, klien terpasang
infus RL 28 tpm dan mendapat antibiotik cefizox 1 gr / IV. Diagnosa medis klien Fraktur
Terbuka Kominutif Sinistra. Perawat dan Dokter serta paramedic lainnya yang terkait
melakukan perawatan secara integrasi untuk menghindari / mengurangi resiko komplikasi
lebih lanjut.
Tambahan kasus:
Pasien tampak meringis kesakitan dan merasa tidak dapat melakukan mobilisasi
karena sulit untuk menggerakan kakinya, pada saat pemeriksaan mengatakan skala nyerinya
7.
PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu
diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat
memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat
bergantuang pada tahap ini.
1) Identitas Klien: -
2) Keluhan Utama : fraktur dengan luka terbuka disertai nyeri hebat dan perdarahan
6) Riwayat Psikososial: -
3) Pola Eliminasi
5) Pola Aktivitas
3. Pemeriksaan Fisik
a. Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
1) Kesadaran penderita: komposmentis
2) Kesakitan, keadaan penyakit: akut
3) Tanda-tanda vital: TD: 100/60mmHg, Nadi : 112x/menit, RR : 20x/menit, Suhu
37°C
5) Mata
konjungtiva anemis (terjadi perdarahan)
6) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
7) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
8) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
9) Thoraks
gerakan dada simetris.
10) Paru
sonor, suara nafas normal
11) Jantung
Nadi meningkat 112x/menit
12) Abdomen
Bentuk datar, simetris, Tugor baik, Suara thympanie
13) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut b.d agen cidera biologis
(nanda 2018-2020 hal: 445 Domain 12. Kenyamanan kelas 1. Kenyamanan fisik )
2. Integritas kulit b.d tekanan pada tonjolan tulang (fraktur terbuka)
( hal 425. Domain 11. Keamanan/Perlindungan. Kelas 2. Cedera Fisik)
3. Hambatan mobilitas fisik b.d Kerusakan integritas struktur tulang
(hal 232. Domain 4. Aktivitas/Istirahat. Kelas 2. Aktivitas/Olahraga
4. Risiko disfungsi neurovaskular perifer d.d fraktur terbuka
(hal 421. Domain 11. Keamanan/Perlindungan. Kelas 2. Cedera Fisik)
5. Resiko infeksi d.d gangguan integritas kulit
(hal 405. Domain 11. Keamanan/Perlindungan. Kelas 1. Infeksi)
5 Resiko infeksi b/d Setelah dilakukan 1.inspeksi kulit untuk adanya iritasi
gangguan integritas tindakan keperawatan atau robekan kontinuitas
kulit ( 00004, hal 405) selama 2x24 jam 2.kaji sisi pen atau kulit, perhatikan
diharapkan resiko keluhan peningkatan nyeri
infeksi tidak terjadi Kolaborasi pemberian antibiotika
dengan kriteria hasil : dan toksoid tetanus sesuai indikasi.
Tidak ada tanda-tanda
infeksi pada pasien. 3. Analisa hasil pemeriksaan
Leukosit dalam batas laboratorium (Hitung darah
normal. lengkap, LED, Kultur dan
TTV dalam batas sensitivitas luka/serum/tulang)
normal.
4. Observasi tanda-tanda vital dan
tanda-tanda peradangan lokal pada
luka.
DAFTAR PUSTAKA
Desiartamal, A&Aryana, W (2017). Gambaran Karakteristik Pasien Fraktur Femur
AkibatKecelakaan Lalu Lintas Pada Orang Dewasa Di Rumah Sakit Umum Pusat
Sanglah Denpasar Tahun 2013, 6, 2303-1395.
Noorisa, R. Apriliwati,D, Aziz, A & Bayusentono, S. (2017). The Characteristic Of
Patients With Femoral Fracture In Department Of Orthopaedic And Traumatology
Rsud Dr. Soetomo Surabaya 2013 – 2016. 6. 2460-8742
Bayu, M.Z, Hutagalung, Rahman, S, Azharuddin, A. (2018). Correlation Between
Harris Hip Score (Hhs) And Body MassIndex (Bmi) In Patients With Femoral Neck
Fracture AfterHemiarthroplasty. 7. 2460-8742.
https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://digilib.esaunggul.a
c.id/public/UEU-Undergraduate-7560-
BABI.pdf&ved=2ahUKEwjLjODF9__cAhVLX30KHT2WCDEQFjAAegQIARAB&
usg=AOvVaw093rvqO10AMQ1Ie8Uxj2N3 di unduh pada tanggal 21 Agustus 2018.
Pukul 12.00 WIB
Kowalak. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC
Noor Helmi, Zairin, 2012; Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal; jilid 1,Salemba
Medika, Jakarta.
Muttakin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Muskuloskeletal. Jakarta : EGC
Smeltzer & Bare. 2000. Keperawatan Medikal Bedah Brunner&Suddart. Jakarta:
EGC.)
Helmi, Z.N., & Akbar, I.Z. 2004. Orthopaedics: fractures and joint injuries.
Banjarmasin: Faculty of mediciene surgery ulin general Hospital.)
Kee, Joyce L. 2011. Farmakologi pendekatan proses keperawatan.Jakarta : EGC
Ikawati, Zullies. 2014. Farmakologi molekuler. Yogyakarta
Keperawatan Medikal Bedah : buku saku untuk Brunner dan Sudart / penulis, Diane
C. Baughman, JoAnn C. Hacley. Jakarta EGC. 2012
Saunders.2014. Keperawatan Medikal Bedah : Manajemen Klinis dan Hasil yang
diharapkan . Jakarta : EGC
Joyce M.black dan hawks jane hokanson.2014.keperawatan medikal
bedah.singapura:elsevier.edisi 8
janice L hinkle ,cheever kerry h.brunner&suddarth”s.textbook of medical surgical
nursing.EDITION 13.LISa mcalliser.2014
Nanda. (2015). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10
editor T Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru. Jakarta: EGC.