Anda di halaman 1dari 56

RANGKUMAN

1. PENGERTIAN DAN KLASIFIKASI FRAKTUR

Pengertian

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.
Fraktur terjadi jika tulang dikenai stres yang lebih besar dari pada yang dapat diabsorpsinya.
Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya remuk, gerakan puntir mendadak dan
bahkan kontraksi otot ekstrem. Meskipun tulang patah, jaringan disekitarnya juga akan
terpengaruh mengakiabatkan edema jaringan lunak, pendarahan ke otot dan sendi, dislokasi
sendi, ruptur tendo, kerusakan saraf dan kerusakan pembuluh darah. Organ tubuh dapat
mengalami cedera akibat gaya yang di sebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen tulang
(Burner dan kawan-kawan, 2002).

Fraktur adalah patahnya kontinuitas tulang yang terjadi ketika tulang tidak mampu
lagi menahan tekanan yang diberikan kepadanya (Donna L. Wong, 2004).

Klasifikasi Fraktur

1. Menurut jumlah garis fraktur :


a. Simple fraktur (terdapat satu garis fraktur).
b. Multiple fraktur (terdapat lebih dari satu garis fraktur).
c. Comminutive fraktur (banyak garis fraktur/fragmen kecil yang lepas,fragmen
dapat terpuntir atau hancur).
2. Menurut luas garis fraktur :
a. Fraktur inkomplit (tulang tidak terpotong secara langsung, fraktur hanya
terjadi pada satu sisi korteks tulang, biasanya tidak bergeser).
b. Fraktur komplit (tulang terpotong secara total, patah melintang pada satu
bagian tulang, sering kali bergeser).
c. Hair line fraktur (garis fraktur hampir tidak tampak sehingga tidak ada
perubahan bentuk tulang).
3. Menurut bentuk fragmen :
a. Fraktur transversal (bentuk fragmen melintang).
b. Fraktur obligue (bentuk fragmen miring)
c. Fraktur spiral (bentuk fragmen melingkar)
4. Menurut hubungan antara fragmen dengan dunia luar :
a. Fraktur terbuka (fragmen tulang menembus kulit) atau dicirikan oleh robeknya
kulit diatas cedera tulang, terbagi 3 :
1) Derajat 1, pecahan tulang menembus kulit, kerusakan jaringan sedikit,
kontaminasi ringan, luka <1 cm.
2) Derajat 2, kerusakan jaringan sedang, risiko infeksi lebih besar, luka >1 cm.
3) Derajat 3, luka besar sampai ± 8 cm, kehancuran otot, kerusakan
neurovaskuler, kontaminasi besar. Oleh karena luka berhubungan dengan
dunia luar, risiko infeksi harus segera dikenali dan ditangani.
b. Fraktur tertutup (fragmen tulang tidak berhubungan dengan dunia luar) atau
memiliki kulit yang masih utuh diatas lokasi cedera.

Siti Mutmainah Sukanta (1610711125)

2. PREVALENSI FRAKTUR

ISSN: 2303-1395 E-JURNAL MEDIKA, VOL. 6 NO.5,


MEI, 2017

GAMBARAN KARAKTERISTIK PASIEN FRAKTUR FEMUR AKIBAT


KECELAKAAN
LALU LINTAS PADA ORANG DEWASA DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT
SANGLAH
DENPASAR TAHUN 2013

Agus Desiartama1 I G N Wien Aryana2


1
Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
2
Bagian Orthopaedi dan Traumatologi RSUP Sanglah Denpasar

Kasus fraktur femur merupakan yang paling sering yaitu sebesar 39% diikuti fraktur
humerus (15%), fraktur tibia dan fibula (11%), dimana penyebab terbesar fraktur femur
adalah kecelakaan lalu lintas yang biasanya disebabkan oleh kecelekaan mobil, motor, atau
kendaraan rekreasi (62,6%) dan jatuh dari ketinggian (37,3%) dan mayoritas adalah pria
(63,8%).2,3 Insiden fraktur femur pada wanita adalah fraktur terbanyak kedua (17,0 per
10.000 orang per tahun) dan nomer tujuh pada pria (5,3 per orang per tahun).4,5 Puncak
distribusi usia pada fraktur femur adalah pada usia dewasa (15 - 34 tahun) dan orang tua
(diatas 70 tahun).5

Selama periode penelitian, jumlah sampel yang diperoleh yaitu sebanyak 113 sampel
dimana sebagian besar berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 78 sampel (69,1%) dan
wanita sebanyak 35 sampel (30,9%). Selain dibagi berdasarkan jenis kelamin, sampel juga
digolongkan berdasarkan kelompok umur tertentu yakni, kelompok usia 1830 tahun yaitu
sebanyak 64 (56,6 %) orang, kelompok usia 31-40 tahun sebanyak 29 (25,7 %) orang dan
kelompok 41-50 tahun sebanyak 20 (17,7 %) orang.
Data mengenai jenis fraktur diperoleh dari pembacaan rekam medis pasien, diperoleh
jenis fraktur tertutup sebanyak 85 (72,6%) orang dan jenis fraktur terbuka 32 (27,4%) orang.
Dari data tersebut sebanyak 21 (18,8%) fraktur berlokasi di proksimal, 68 (58,1%) fraktur
berlokasi di tengah dan sebanyak 27 (23,1%) fraktur berlokasi di distal(Tabel 1).
Tabel 1. Karakteristik Fraktur Femur Akibat Kecelakaan Lalu Lintas pada Orang
Dewasa Di RSUP Sanglah Tahun 2013
Karakteristik N=113
Umur:
18-30 tahun, n (%) (56.6%)
31-40 tahun, n (%) (25,7%)
41-50 tahun, n (%) (17,7%)
Jenis kelamin:
Pria, n (%) (69,1 %)
Wanita, n (%) (30,9 %)
Jenis Fraktur:
Fraktur Tertutup, n (%) (72,6%)
Fraktur Terbuka, n (%) (27,4%)
Lokasi Fraktur:
Proksimal, n (%) (18,8%)
Tengah, n (%) (58,1%)
Distal, n (%) (23,1%)
Sumber: Data sekunder rekam medis RSUP Sanglah tahun 2013

Vol 6 No. 1, Maret 2017 ISSN 2460-8742


http://journal.unair.ac.id/journal-of-orthopaedic-and-traumatology-surabaya-media-
104.html

THE CHARACTERISTIC OF PATIENTS WITH FEMORAL FRACTURE IN


DEPARTMENT OF ORTHOPAEDIC AND TRAUMATOLOGY RSUD
DR. SOETOMO SURABAYA 2013 – 2016

Riswanda Noorisa1, Dwi Apriliwati2, Abdul Aziz3, Sulis Bayusentono4


1
Forth Year Medical Student, Faculty of Medicine, Universitas Airlangga
2
Department of Community Medicine, Faculty of Medicine, Universitas Airlangga
3
Department of Forensic Medicine, Faculty of Medicine, Universitas Airlangga, Dr Soetomo
Hospital, Surabaya
4
Department of Orthopaedic and Traumatology, Faculty of Medicine, Universitas Airlangga,
Dr Soetomo Hospital, Surabaya
*Correspondence : Riswanda Noorisa, Forth Year Medical Student, Faculty of
Medicine, Airlangga University, Jl. Mayjen Prof. Dr. Moestopo 47, Surabaya 60131 E-
mail: r.noorisa@gmail.com/ +6282140404164.

Dari sampel inklusi sebanyak 112 pasien didapatkan insiden fraktur femur yang
paling sering dialami pasien yang berkunjung ke poli orthopaedi Rumah Sakit Umum Daerah
Dr.Soetomo Surabaya pada tahun 2013 – 2016 adalah pada usia 15 – 24 tahun dengan 40
kasus
(36%)

Tabel 1. Gambaran distribusi jumlah fraktur berdasarkan usia pasien yang berkunjung ke
RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada 1 Januari 2013 hingga 31 Desember 2016

Golongan Jumlah Persentase


Usia Pasien (%)
(tahun)
<1 0 0%
1–4 5 4%
5 – 14 12 11%
15 – 24 40 36%
25 – 44 35 31%
45 – 59 20 18%

\
Tabel 2. Gambaran distribusi jumlah fraktur berdasarkan jenis kelamin pasien yang
berkunjung ke RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada 1 Januari 2013 hingga 31 Desember 2016

Jenis kelamin 2013 %


2016
Laki - laki 81 72%
Perempuan 31 28%

Tabel 5. Gambaran distribusi jumlah fraktur berdasarkan lokasi insiden fraktur pasien
yang berkunjung ke RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada 1 Januari 2013 hingga 31 Desember
2016

Lokasi 2013 - %
insiden 2016
Jalan 100 92%
Rumah 12 8%

Tabel 6. Gambaran distribusi jumlah fraktur berdasarkan jenis luka fraktur pasien yang
berkunjung ke RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada 1 Januari 2013 hingga 31 Desember
2016.

Jenis luka 2013 - %


pada fraktur 2016
Terbuka 32 29%
Tertutup 80 71%

Artikel Penelitian

Vol 7 No. 1, April 2018 ISSN 2460-8742


http://journal.unair.ac.id/ORTHO@journal-orthopaedi-and-traumatology-surabaya-media-
104.html

CORRELATION BETWEEN HARRIS HIP SCORE (HHS) AND BODY MASS


INDEX (BMI) IN PATIENTS WITH FEMORAL NECK FRACTURE AFTER
HEMIARTHROPLASTY

Muhammad Bayu Z. Hutagalung1*, Safrizal Rahman1, Azharuddin Azharuddin1


1
Orthopaedic and Traumatology Division, Department of Surgery, Faculty of Medicine,
Syiah
Kuala University/dr. Zainoel Abidin Hospital, Banda Aceh
*Corresponding Author: Muhammad Bayu Z. Hutagalung, Orthopaedic and Traumatology
Division, Department of Surgery, Faculty of Medicine, Syiah Kuala University/dr.
Zainoel
Abidin Hospital, JL. T Daud Beureueh No 108, Banda Aceh 23124
E-mail: bayuzohari@gmail.com

Prevalensi fraktur panggul diperkirakan terus meningkat setiap tahunnya, hal ini
berhubungan dengan meningkatnya usia harapan hidup dan jumlah populasi penduduk usia
lanjut. Estimasi angka kejadian fraktur panggul di dunia mencapai 1,6 juta kasus pada tahun
1990. Angka ini diperkirakan terus meningkat hingga 4 juta kasus pada tahun 2023 dan
menjadi 6,3 juta pada tahun 2050. Dimana lebih dari separuhnya merupakan fraktur pada
collum femur.3

Tabel 1. Karakteristik Responden


Karaktersitik N (%)
Usia
a. < 50 tahun 8 30,8
b. 50-60 tahun 7 26,9
c. > 60 tahun 11 42,3
Total 26 100
Jenis Kelamin
a. Laki-laki 12 46,2
b. Perempuan 14 53,8

Total 26 100
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat pada tahun 2011-2012 terdapat 5,6 juta
orang meninggal dunia dan 1,3 juta orang menderita fraktur akibat kecelakaan lalu lintas.
Tingkat kecelakaan transportasi jalan di kawasan Asia Pasifik memberikan kontribusi sebesar
44% dari total kecelakaan di dunia, yang didalamnya termasuk Indonesia. Berdasarkan hasil
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Depkes RI
tahun 2013 didapatkan data kecenderungan peningkatan proporsi cedera transportasi darat
(sepeda motor dan darat lain) dari 25,9% pada tahun 2007 menjadi 47,7%.
Menurut Depkes RI 2011, dari sekian banyak kasus fraktur di Indonesia, fraktur pada
ekstremitasbawah akibat kecelakaan memiliki prevalensi yang paling tinggi diantara fraktur
lainnya yaitu sekitar 46,2%. Dari 45.987 orang dengan kasus fraktur ekstremitas bawah
akibat kecelakaan, 19.629 orang mengalami fraktur pada tulang femur, 14.027 orang
mengalami fraktur cruris, 3.775 orang mengalami fraktur tibia, 970 orang mengalami fraktur
pada tulang-tulang kecil di kaki dan 336 orang mengalami fraktur fibula. Walaupun peran
fibula dalam pergerakan ektremitas bawah sangat sedikit, tetapi terjadinya fraktur pada fibula
tetap saja dapat menimbulkan adanya gangguan aktifitas fungsional tungkai dan kaki.
Terjadinya fraktur tersebut termasuk didalamnya insiden kecelakaan, cedera olahraga,
bencana kebakaran, bencana alam dan lain sebagainya (Mardiono, 2010).
Plancher dan Donshik juga melaporkan rata-rata angka prevalensinya sekitar 10%
untuk fraktur corpus femur ipsilateral, dimana sebanyak 30% tidak diketahui pada awal
terjadinya. Menurut Koval dan Zuckerman, angka kejadian fraktur collum femur di Amerika
Serikat adalah sebesar 63.3 kasus per 100.000 orang per tahununtuk wanita dan 27.7 kasus
per 100.000 orang per tahun untuk pria.

Luigisha Augusti (1610711012)

Ziya Daturrahmah (1610711013)

Dwi Shohibah (1610711049)

Miftahul Jannah (1610711048)


3. PROSES FRAKTUR TERBUKA,NYERI DAN PERDARAHAN

PROSES TERJADINYA FRAKTUR TERBUKA

Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk mena
han. Apabila tekanan eksternal lebih besar dari yang diserap tulang, maka terjadi trauma pada
tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Fraktur dapat
disebabkan oleh trauma langsung, trauma tidak langsung, atau kondisi patologis.

Fraktur yang hebat menyebabkan diskontinuitas tulang yang dapat merubah jaringan
sekitar seperti merusak integritas kulit atau terjadi laserasi kulit hal ini menyebabkan
fraktur terbuka.

Sumber : Noor Helmi, Zairin, 2012; Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal; jilid 1,Salemba
Medika, Jakarta.

PROSES TERJADINYA NYERI

Ada empat tahap yang terlibat dalam fisiologis nyeri :


transduksi,transmisi,persepsi,dan modulasi.

 Tahap satu : Transduksi

Ujung syaraf atau nosiseptor mendeteksi stimulus dari satu proses atau lebih.

1. Mekanoreseptor dirangsang oleh rangsangan mekanis,seperti kompresi atau


peregangan.
2. Temperature yang bervariasi dari panas sampai dingin merangsang termoreseptor.
3. Stimulasi kimia nosiseptor dengan dilepaskannya bradikinin,asam laktat,kalaium,atau
prostaglandin,yang disebabkan oleh kerusakan jaringan akibat cedera,inflamasi,atau
pembedahan.
Ketika stimulasi nosiseptor yang terhubung dengan ujung distal serabut nyeri aferen
primer mencapai level tertentu,stimulasi tersebut dikonversi menjadi impuls listrik.

 Tahap dua : Transmisi


Impuls listrik diteruskan sepanjang serabut syaraf pusat,yang kemudian memasuki
medulla spinalis pada substansia griisca ditanduk dorsal ke area yang berlawanan dengan
medulla spinalis sebelum menjalar naik ke traktus spinotalamus dan menuju thalamus di otak.
 Tahap tiga : persepsi
Pusat nyeri yang lebih tinggi di otak menafsirkan impuls elektrokimia. Dari
thalamus,sinaps serabut nyeri yang berisi lebih banyak neuron,menjalar pada area basal otak
dan korteks somatosensorik. Nyeri dirasakan di otak tengah,tetapi apresiasi terhadap kualitas
nyeri yang tak-menyenangkan tergantung pada korteks serebral
 Tahap empat : modulasi
Traktus saraf desenden yang sebagian besar mrupakan inhibitor,bertanggung jawab
terhadap modulasi persepsi nyeri(park et al,2000). Control desenden dari pusat yang lebih
tinggi di otak,yang meliputi batang otak,formasi reticular,hipotalamus,dan korteks
serebral,dapat memodifikasi nyeri.
Opiate endogen,analgesic alami tubuh,dilepaskan dalam tanduk dorsal medulla
spinalis oleh neuron desenden. Opiate endogen atau modulator neuron ini mengikat area
reseptor opiate pada membrane presinaptik serabut nyeri dan menghambat produksi substansi
P.
Jalur nyeri tidak dapat menjelaskan kejadian nyeri yang berbeda karena setiap
individu memiliki rentang identitas anatomis,fisiologis,social,dan psikologis yang unik.
Pereda nyeri bersifat individual,berdasarkan pada pengetahuan terkait dengan latar belakang
pasien,progress penyakit,perilaku terhadap nyeri,dan penafsiran personal terhadap
situasi,serta berkaitan dengan keberhasilan penatalaksaan nyeri.

PROSES TERJADINYA PENDARAHAN PADA FRAKTUR

Ketika terjadi fraktur pada tulang, maka periosteum serta pembuluh darah di dalam
korteks, sum sum tulang, dan jaringan lunak disekitarnya akan mengalami disrupsi.
Perdarahan sendiri terjadi karna adanya cidera pada jaringan lunak atau cidera pada tulang itu
sendiri. Jaringan di sekitar lokasi fraktur akan mati dan menciptakan proses inflamasi intensif
yang menyebabkan sel- sel jaringan lunak di sekitarnya serta rongga sum sum tulang akan
menginvasi daerah fraktur dan aliran darah akan mengalami peningkatan ke daerah tersebut.
Dari inflamasi intensif

Sumber: Kowalak. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC


Puspita Lestari (1610711008)

4. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

Etiologi

1. Kekerasan langsung

Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.


Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau
miring

2. Kekerasan tidak langsung

Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat
terjadinya kekerasan yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam
jalur hantaran vector kekerasan.

3. Kekerasan akibat tarikan otot

Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran,penekukan,penekanan kombinasi dari ketiganya dan penarikan.

4. Fraktur patologik

Terjadi pada daerah tulang-tulang yang telah menjadi lemah oleh karena
tumor,kanker,dan ostheorosis

5. Fraktur beban

Terjadi pada orang-orang yang baru saja menambah tingkat aktifitas mereka, seperti
baru diterima dalam angkatan bersenjata atau orang-orang yang baru mulai latihan lari

6. Cidera atau benturan

Faktor resiko

1. Faktor ekstrinsik

Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar,
waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur
2. Faktor intrinsik

Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk
timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbs dari tekanan elastis,kelelahan, dan
kepadatan atau kekerasan tulang.

-Faktor Risiko Medis

-Osteoporosis
-Defisit berjalan
-Defisit keseimbangan
-Penggunaan psikotropik medis
-Riwayat fraktur/jatuh
-Riwayat keluarga osteoporosis
-Penglihatan yang berkurang
-Pengguna glukokortikoid oral selama >3 th
.Faktor Risiko Medis
-Osteoporosis
-Defisit berjalan
-Defisit keseimbangan
-Penggunaan psikotropik medis
-Riwayat fraktur/jatuh
-Riwayat keluarga osteoporosis
-Penglihatan yang berkurang
-Pengguna glukokortikoid oral selama >3 th
.Faktor Risiko Medis
-Osteoporosis
-Defisit berjalan
-Defisit keseimbangan
-Penggunaan psikotropik medis
-Riwayat fraktur/jatuh
-Riwayat keluarga osteoporosis
-Penglihatan yang berkurang
-Pengguna glukokortikoid oral selama >3 th
3. Faktor Risiko Medis

- Osteoporosis

- Defisit berjalan

- Defisit keseimbangan

- Penggunaan psikotropik medis

- Riwayat fraktur/jatuh

- Riwayat keluarga osteoporosis

- Penglihatan yang berkurang

- Pengguna glukokortikoid oral selama >3 th

4. Faktor Risiko Demografi

- Jenis kelamin (wanita lebih berisiko apabila telah memasuki


masamenopause, sedangkan laki-laki lebih berisiko pada usia produktif).

- Umur

- Intake kalsium yang rendah.

- Pengguna alkohol dan perokok

.- Pengguna alat bantu jalan

Herfina (1610711026)

Triwik Hardiyanti (1610711029)

5. PROSES KREPITUS GEJALA LAIN KREPITUS (FRAKTUR)

Krepitasi atau crepitus yang berartigemeretak,bunyi ini dapat berupa derik


akibatgesekan unjung-ujung tulang patah, juga dari pergerakan sendi.

Manisfestasi pada krepitasi dapat terjadi karna gerakan dari bagian tengah tulang atau
gesekan antar frakmen fraktur yang menciptakan sensasi dan suara deritan

Gejala lain dari krepitasi


• Nyeri sendi
• Kaku atau keterbatasan gerak sendi
• Pembengkakan sendi
• Perubahan pola jalan
• Ganguan fungsi
Rustiani Ayu Anggraeni (1610711005)

6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1. Pemeriksaan Rontgen: menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma,dan jenis fraktur


2. Scan tulang, tomogram, CT Scan/MRI : memperlihatkan tingkat keparahan fraktur, juga
dapat mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Arteriogram : dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan vascular.
4. Hitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun
(pendarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada multiple trauma).
Peningkatan jumlah sel darah putih adalah respon stress notmal setelah trauma.
5. Kreatinin : trauma otot meningkat beban keratinin untuk ginjal.
6. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi multiple atau
cedera hati.

Nilai normal Pemeriksaan laboratorium


 Nilai normal Hemoglobin (Hb) :
- Wanita 12 - 14 gram/dl
- Laki – laki 13 - 16 gram/dl

 Nilai normal Leukosit :


- Sekitar 4.000 – 10.000/mm

 Nilai normal Hematokrit (Ht) :


- Wanita 37 – 47 %
- Laki - laki 40 – 54 %

 Nilai normal Gula Darah Sewaktu (GDS):


< 150 mg/dl

 Nilai normal gula darah saat puasa


- 80 – 100 mg/dl

 Nilai normal Eritrosit


- Wanita 4 – 5 juta/ul
- Laki – laki 4,5 – 5,5 juta/ul

 Nilai normal Trombosit


- Wanita 150.000 - 400.000/ul
- Laki- Laki 150.000 - 400.000/ul

Windi Kartika (1610711019)


Ulfa Aeni (1610711021)
7. PENANGANAN FRAKTUR

Setiap perawat/Ners perlu mengetahui tindakan medis yang biasanya dilakukan oleh
tim medis agar dapat melakukan asuhan keperawatan yang tepat bagi klien setelah ditangani
oleh tim medis. Tim medis yang menangani keadaan klinis klien yang mengalami fraktur
memerlukan penilaian penatalaksanaan yang sesuai, yaitu dengan mempertimbangkar faktor
usia, jenis fraktur, komplikasi yang terjadi, dan keadaan sosial ekonomi klien secara
individual. Ada beberapa penatalaksanaan, yaitu penatalaksanaan fraktur tertutup, terbuka,
dislokasi, dan amputasi.
Implikasi keperawatan utama dalam penanganan kasus fraktur tertutup adalah
menganalisis masalah yang akan muncul pada klien setelah dilakukan

 Gambaran klinis mal-union :

1. Deformitas dengan bentuk yang bervariasi


2. Gangguan fungsi anggota gerak
3. Nyeri dan keterbatasan pergerakan sendi
4. Ditemukan komplikasi seperti paralisis tardi nervus ufnaris
5. Osteoartritis apabila terjadi pada daerah sendi
6. Bursitis atau nekrosis kulit pada tulang yang mengalami deformitas

 Tabel Prinsip Penatalaksanaan Fraktur 4 (R)

Teknik Pengertian Prinsip Penatalaksanaan


Recognition Diagnosisi dan penilaian Fraktur Prinsip pertama adalah mengetahui
dan menilai keadaan fraktur dengan
anamnesis, pemenksaan klinik, dan
radiologis. Pada awal pengobatan
perlu diperhatikan: lokalisasi
fraktur, bentuk fraktur, menentukan
teknik yang sesual untuk
pengobatan dan menghindari
komplikasi yang mungkin terjadi
selama dan sesudah pengobatan.
Reduction Restorasi fragmen fraktur Reduksi fraktur apabila perlu. Pada
sehingga posisi yang paling fraktur intra-artikular diperlukan
perlukan reduksi anatomis reduksi anatomis,sedapat mungkin
optimal didapatkan mengembalikan fungsi normal, dan
mencegah komplikasi, seperti
kekakuan deformitas, serta
perubahan osteoartritis di kemudian
hari.
Retention Imobilisasi fraktur Secara umum, teknik
penatalaksanaan yang digunakan
adalah mengistirahatkan tulang
yang mengalaml fraktur dengan
tujuan penyatuan yang lebih cepat
antara kedua fragmen tulang yang
mengalami fraktur
Rehabilitation Mengembalikan aktivitas Program rehabilitasi dilakukan
fungsional semaksimal dengan mengoptimalkan seluruh
mungkin keadaan klien pada fungsinya agar
aktivitas dapat dilakukan kembali.
Misalnya, pada klien pasca
amputasi kruris program rehabilitasi
yang dijalankan adalah bagaimana
klien dapat melanjútkan hidup dan
melakukan aktivitas dengan
memaksimalkan organ lain yang
tidak mengalami masalah.

Penatalaksanaan medis. Seorang perawat yang melakukan asuhan muskuloskeletal


perlu mengenal metode pengobatan yang biasa dilakukan pada fraktur tertutup. Pada
umumnya, metode pengobatan yang digunakan sebagai berikut
1. Penatalaksanaan konservatif. Penatalaksanaan konservatif merupakan
penatalaksanaan nonpembedahan agar imobilisasi pada patah tulang dapat terpenuhi.
a. Proteksi (tanpa reduksi atau imobilisasi). Proteksi fraktur terutama untuk
mencegah trauma lebih lanjut dengan cara memberikan sling (mitela) pada
anggota gerak atas atau tongkat pada anggota gerak bawah.

Gambar 3.11. Proteksi dengan sling (mitela) pada tindakan konservatif


klien fraktur. (Atas izin Smeltzer & Bare. 2000. Keperawatan Medikal
Bedah Brunner&Suddart. Jakarta: EGC.)
Tindakan ini terutama diindikasikan pada fraktur-fraktur tidak
bergeser, fraktur iga yang stabil, falang dan metakarpal, atau fraktur
klavikula pada anak. Indikasi lain.
Yaitu fraktur kompresi tulang belakang, fraktur impaksi pada humerus
proksimal, serta fraktur yang sudah mengalami union secara klinis, tetapi
belum mencapai konsolidasi radiologis.

b. Imobilisasi dengan bidai eksterna (tanpa reduksi). Imobilisasi pada fraktur


dengan bidai eksterna hanya memberikan sedikit imobilisasi. Biasanya
menggunakan plaster of Paris (gips) atau dengan bermacam- macam bidai
dari plastik atau metal. Metode ini digunakan pada fraktur yang perlu
dipertahankan posisinya dalam proses penyembuhan.

Gambar 3.12. Pemasangan gips (plaster of Paris) secara sirkuler.


(Dimodifikasi Arif Muttagin, 2005.)

c. Reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi eksterna yang


menggunakan gips. Reduksi tertutup yang diartikan manipulasi dilakukan
dengan pembiusan umum dan lokal. Reposisi yang dilakukan melawan
kekuatan terjadinya fraktur. Penggunaan gips untuk imobilisasi merupakan
alat utama pada teknik ini.
Indikasi tindakan ini:
 Sebagai bidai pada fraktur untuk pertolongan pertama
 Imobilisasi sebagai pengobatan definitif pada fraktur
 Pada fraktur yang bergeser diperlukan manipulasi dan diharapkan
dapat
dilakukan reduksi tertutup serta dipertahankan
 Fraktur yang tidak stabil atau bersifat kominutif bergerak
 Imobilisasi untuk mencegah fraktur patologis
 Sebagai alat bantu tambahan pada fiksasi internal yang kurang kuat
 Reduksi tertutup dengan traksi berlanjut yang diikuti dengan
imobilisasi. Reduksi tertutup pada fraktur yang diikuti dengan traksi
berlanjut dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu traksi kulit dan
traksi tulang.

Traksi adalah penasangan gaya tarikan ke bagian tubuh. Traksi digunakan untuk
meminimalkan spasme otot; untuk mereduksi, menyejajarkan, dan mengimobilisasi fraktur,
untuk mengurangi deformitas; dan untuk menambah ruangan di antara kedua permukaan
patahan tulang Traksi harus diberikan dengan arah dan besaran yang diinginkan untuk
mendapatkan efek terapeutik. Faktor-faktor yang mengganggu keefektifan tarikan traksi
harus dihilangkan.

Efek traksi yang dipasang harus dievaluasi dengan sinar-X dan mungkin diperlukan
penyesuaian. Bila otot dan jaringan lunak sudah relaks, berat yang digunakan harus diganti
untuk memperoleh gaya tarikan yang diinginkan. Kadang, traksi harus dipasang dengan arah
yang lebih dari satu untuk mendapatkan garis tarikan yang diinginkan. Dengan cara ini,
bagian garis tarikan yang pertama berkontraksi terhadap garis tarikan lainnya. Garis-garis
tarikan tersebut dikenal scbagai vektor gaya. Resultan gaya tarikan yang sebenarnya terletak
di antara kedua garis tarikan tersebut

 Tabel Prinsip Traksi Efektif dan Implikasi Keperawatan

Prinsip Traksi Efektif Implikasi Keperawatan


 Pada setiap pemasangan traksi 1. Dampak psikologis dan fisiologis
harus dipikirkan adanya masalah muskuloskeletal alat traksi,
kontratraksi. Kontratraksi adalah dan imobilitas harus diperhitungkan.
gaya yang bekerja dengan arah Masalah keperawatan yang sering ada
yarg berlawanan. (Hukurn adalah sebagai berikut
Newton yang ketiga mengenai a. Ansietas
gerak menyebutkan batwa bila b. Defisiensi pengetahuan mengenai
ada aksi, akan terjadi reaksi program terapi
dengan besar yang sama, namun c. Nyeri dan ketidaknyamanarn
arahnya berlawanan.) d. Defisit perawatan diri
 Umumnya berat bedan kien dan e. Hambatan mobilitas fisik
pengaturan posisi tempat tidur
dapat memberikan kontratraksi. 2. Masalah kolaborasi dan komplikasi
 Kontratraksi harus dipertahankan risiko yang harus diperhatikan adalah
agar traksi tetap efektif. sebagai berikut:
 Traksi harus berkesinambungan a. Dekubitus pada daerah tekanan
agar reduksi dan imobilisasi bidai
fraktur efektif. b. Infeksi kulit superfisial dan

 Traksi kulit pelvis dan serviks reaksi alergi

sering digunakan untuk c. Kongesti paru dan pneumonia

mengurangi spasme otot dan penyakit tromboemboli

biasanya diberikan sebagal traksi d. Konstipasi karena penurunan

intermiten. aktivitas

 Traksi skelet tidak boleh terputus. e. Anoroksia

 Pemberat tidak boleh diambil, f. Stasis dan infeksi kemih

kecuali bila traksi yang g. Trombosis vena dalam

dimaksudkan intermiten.
 Setiap faktor yang dapat
mengurangi tarikan atau
mengubah.garis resultan tarikan
harus dhilangkan.
 Tubuh klien harus dalam keadaan
sejajar dengan pusat tempat tidur
ketika traksi dipasang.
 Tali tidak boleh macet.
 Pemberat harus tergantung bebas
dan tidak boleh terletak pada
tempat tidur atau lantai.
 Simpul pada tali atau telapak kaki
tidak boleh menyentuh katrol atau
kaki tempat tidur.

d. Reduksi tertutup dengan traksi kotinu dan counter traksi. Tindakan ini
mempunyai dua tujuan utama, yaitu berapa reduksi yang bertahap dan
imobilisasi.
Indikasi tindakan ini:
 Reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi tidak
memungkinkan serta mencegah tindakan operatif, misalnya pada fraktur
batang femur dan fraktur vertebra servikalis.
 Terdapat otot yang dapat menimbulkan mal-union, non-union atau
delayed union
 Terdapat fraktur yang tidak stabil dan oblik; fraktur spiral atau
kominutif pada tulang panjang.

 Empat metode traksi kontinu


1. Traksi kulit.
Traksi kulit manggunakan loukoplas yang melekat pads kulit disertai dengan
pemakaian bidai Thomas atau bidai Brown Bohler.
2. Traksi menetap.
Traksi menetap juga menggunakan leukoplas yang melekat pada bidai Thomas
atau bidai Brown Bohler yang difiksasi pada salah satu bagian dari bidai Thomas.
Biasanya diliakukan pada traktur femur yang tidak bergeser.
3. Traksi tulang.
Traksi tulang menggunakan kawat Kirschner (K-Wire) dan pin Steinmann
yang dimasukkan ke dalam tulang serta dilakukan traksi dengan menggunakan
berat beban dengan bantuan bidai Thomas dan bidai Brown Bohler. Tempat untuk
memasukkan pin, yaitu pada bagian proksimal tibia di bawah tuberositas tibia,
bagian distal fomur pada kondilus femur, bagian distal tibia pada kalkaneus
(jarang dilakukan), pada prosesus olekranon, pada tengkorak, pada trokanter
mayor, dan pada bagian distal metakarpal.
4. Traksi berimbang dan traksi sliding
Traksi berimbang dan traksi sliding terutama digunakan pada fraklur fermur.
Traksi ini menggunakan traksi skolctal dengan banyak katrol dan bantalan khusus.

Berbagai jenis traksi lainnya dipergunakan sesuai jenis fraktur.Secara ringkas, gambar-
gambar di bawah ini menjelaskan berbagai jenis traksi.

Beberapa jenis traksi:


A. Jenis traksi skeletal.
B. Traksi Hamilton Russel.
C. Traksi ekstensi Buck.
D. Traksi Bryant
E. Traksi Dunlop pada fraktur suprakondilar humeri.

2. Penatalaksanaan pembedahan sangat penting diketahui oleh perawat sebagai


dasar pemberian asuhan keperawatan. Jika ada keputusan bahwa klien diindikasikan
untuk menjalani pembedahan, perawat mulai berperan dalam memberikan asuhan
keperawatan perioperatif. Penatalaksanaan pembedahan pada klien fraktur meliputi
hal-hal sebagai berikut:
 Reduksi tertutup dengan fiksasi eksternal atau fiksasi perkutan dengan K-
Wire. Setelah dilakukan reduksi tertutup pada fraktur yang kan bersifat tidak
stabil, reduksi dapat dipertahankan dengan memasuk K-Wire perkutan,
misalnya pada fraktur jari
Gambar 3.14. Pemasangan Fiksasi K-Wire melalui perkutan pada fraktur
falang transversal. (Atas izin Rockwood and Green’s. 1992. Facture in The
Adults. Third Edition. Philadelphia: J.B. Lippincott.)

 Reduksi terbuka dan fiksasi internal atau fiksasi eksternal tulang. Perawat
perlu mengenal tindakan medis operasi reduksi terbuka, baik fiksasi internal /
ORIF (Open Reduction Internal Fixation) maupun fiksasi eksternal / OREF
(Open Reduction External Fixation) karena asuhan keperawatan yang
diperlukan berbeda. Implementasi keperawatan yang perlu dikenal perawat
setelah operasi adalah adanya nyeri dan resiko infeksi yang menjadi masalah
utama.
Beberapa indikasi keadaan klien yang mengalami fraktur dan dislokasi
perlu diketahui untuk menjelaskan kemungkinan tindakan medis dan masalah
keperawatan yang akan timbul dari tindakan medis ORIF dan OREF.
Tindakan tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut:

 Reduksi terbuka dengan fiksasi internal (ORIF)

Gambar reduksi terbuka dengan fiksasi internal. A, gambaran skematis pemasagan


mule & screw. B interkik nail. C, gambaran radiologis jenis pemasangan impant
pada reduksi terbuka dengan fiksasi internal fraktur tertutup tibia-fibula
(Dimodifikasi Arif Mutaqqin, 2005).

Indikasi tindakan ini


 Fraktur intra-artikular, misalnya fraktur maleolus, kondilus, olekranon patela
 Reproduksi tertutup yang mengalami kegagalan, misalnya fraktur radius dan ulna
disertai malposisi yang hebat (fraktur yang tidak stabil)
 Bila terdapat interposisi jaringan diantara kedua fragmen
 Bila diperlukan fiksasi rigid, misalnya pada fraktur leher femur
 Bila terdapat kontraindikasi pada imobilisasi eksterna, sedangkan dipelukan
mobilisasi yang cepat, misalnya fraktur pada orang tua
 Fraktur avulsi, misalnya pada kondilus humeri

 Reduksi terbuka dengan fiksasi eksternal (OREF). Fiksasi eksternal


digunakan untuk mengobati fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak.
Alat ini memberikan dukungan yang stabil untuk fraktur komuninutif (hancur
atau remuk). Pin yang telah terpasang dijaga agar tetap pada posisinya,
kemudian dikaitkan pada kerangkanya. Fiksasi memberikan kenyaman bagi
klien yang mengalami kerusakan fragmen tulang.

Asuhan keperawatan dimulai dari perawatsebelum operasi karena klien perlu


mendapatkan penjelasan yang luas tentang pemasangan OREF. Dengan demikian, sebelum
operasi klien telah siap untuk menerima tindakan medis. Klien sangat penting dipersiapkan
secara psikologis sebelum pemasangan fiksator eksternal. Alat ini mengerikan dan terlihat
asing untuk klien. Pemasangan OREF akan memerlukan waktu yang lama dengan masa
penyembukan 6-8 bulan. Oleh karena itu, secara psikologis klien harus terbiasa dengan
adanya alat yang terpasang pada kakinya selama proses penyembuhan tulang.

Perawatan luka steril dilakukan oleh perawat setiap hari untuk mencegah timbulnya
infeksi karena adanya benda asing dari luar masuk kedalam tubuh. Setiap tempat pemasangan
pin perlu dikaji mengenai adanya kemerahan, keluhan nyeri tekan, nyeri pada daerah sekitar
tusukan fiksasi eksternal, dan longgarnya pin.

Perawat perlu mengetahui kriteria klien yang perlu menjalani pembedahan dengan
reduksi terbuka dan fiksasi eksternal. Hal tersebut bertujuan untuk memberikan informasi
kepada klien dan
keluarga sebagai
tindakan
kolaboratif dengan
tim medis
mengenai
perencanaan
pembedahan yang
sesuai kondisi klien
dan sebagai bahan perencanaan asuhan keperawatan.

Setelah dilakukan pembedahan dan pemasangan OREF, sering didapatkan


komplikasi, baik yang bersifat segera maupun komplikasi tahap lanjut.

Komplikasi dari pembedahan dengan pemasangan fiksasi eksternal adalah infeksi


(osteomielitis), kerusakan pembuluh darah dan syaraf, kekakuan sendi bagian proksimal dan
distal, kerusakan periosteum yang parah sehingga terjadi delayed union atau non-union, atau
emboli lemak.

Gambar 3.16. A, beberapa gambaran radiologis jenis pemasangan implant pada reduksi
terbuka dengan fiksasi eksternal (OREF) fraktur tibia-fibula. B dan C, gambar klien dengan
pemasangan fiksasi eksternal. Perhatikan bagian tajam dari fiksasi dipasang penumpul untuk
mencegah cidera pada klien. (Dimodifiksi Arif Mutaqqin,2005)

 Eksisi fragmen tulang dan penggantian dengan prostesis. Pada fraktur leher femur dan sendi
siku orang tua, biasanya terjadi nekrosis avaskular dari fragmen atau non-uniun. Oleh karena
itu,
dilakukan
pemasanga
n protesis,
yaitu alat
dengan
komposisi
metal
tertentu untuk menggantikan bagian yang nekrosis. Prostesis juga sering digunakan setelah
klien diamputasi.

Gambar 3.17. pemasangan prostesis setelah mengalami amputasi. (Atas Izin Helmi, Z.N., &
Akbar, I.Z. 2004. Orthopaedics: fractures and joint injuries. Banjarmasin: Faculty of
mediciene surgery ulin general Hospital.)

Sasaran utama asuhan keperawatan pada klien setelah diamputasi dan dilakukan
pemasangan protesis meliputi pengurangan nyeri, tidak adanya gangguan persepsi sensori,
penyembuhan luka, penerimaan terhadap perubahan citra tubuh, resolusi proses bersedih,
perawatan diri secara mandiri, pengembalian mobilitas fisik, dan tidak adanya komplikasi.
Untuk melaksanakan asuhan keperawatan yang komprehensif pada klien fraktur terbuka,
perawat perlu mengenal penatalaksanaan fraktur terbuka tersebut. Pada prinsipnya fraktur
terbuka adalah fraktur yang berhubungan dengan lingkungan luar melalui kulit karena adanya
pintu masuk kuman (port de entree) yang memungkinkan terjadi kontaminasi bakteri
sehingga timbul masalah keperawatan berupa tingginya resiko infeksi. Perawat perlu
mengenal jenis-jenis luka pada kulit akibat fraktur terbuka,misalnya tusukan tulang yang
tajam keluar menembus kulit (from within) atau dari luar oleh karena tertembus peluru atau
trauma langsung (from whitout).

Fraktur terbuka merupakan suatu keadaan darurat yang memerlukan penanganan yang
berstandar untuk mengurangi masalah resiko syok hipovolemik akibat pendarahan dan resiko
infeksi akibat adanya port de entree. Selain mencegah infeksi, juga diharapkan terjadi
penyembuhan fraktur dan restorasi fungsi anggota gerak. Beberapa hal yang penting
dilakukan dalam penatalaksanaan fraktur terbuka dengan operasi, yaitu dilakukan dengan
segera, secara hati-hati, depridemen berulang-ulang, stabilisasi fraktur, penutupan kulit bone
grafting yang dini, serta pemberian antibiotik yang adekuat.

Pada fraktur terbuka (yang berhubungan dengan terbuka memanjang sampai


permukaan kulit dan kearah cidera tulang) terdapat resiko infeksi osteogasgangren dan
tetanus. Tujuan penanganannya meminimalkan kemungkinan infeksi luka pada jaringan dan
tulang untuk mempercepat penyembuhan luka dan tulang. Klien dibawa keruang operasi
tempat luka dibersihkan, didebridemen (benda asing dan jaringan diangkat) dan di irigasi.
Fragmen tulang mati diangkat. Mungkin perlu dilakukan graft tulang untuk menjembatani
defek, namun harus yakin bahwa resipien masih sehat dan mampu memfasilitasi penyatuan.

Gambar 3.18.gambar reduksi terbuka dengan fiksasi internal dan pencangkokan tulang
(bone grafting).

Fraktur direduksi dengan hati-hati dan distabilisasi dengan fiksasi. Setiap kerusakan
pada pembuluh darah, jaringan lunak, otot, saraf, dan tendo diperbaiki. Ekstremitas
ditinggalkan untuk meminimalkan terjadinya edema. Status neurovaskular dikaji sesering
mungkin.suhu klien diperiksa dengan interval teratur, kemudian klien dipantau untuk
mengetahui adanya tanda-tanda infeksi.

Penutupan primer mungkin tidak dapat dicapai karena adanya edema dan potensial
iskemia, cairan luka yang tidak dapat keluar, dan infeksi anaerob. Luka yang sanggat
terkontaminasi sebaiknya tidak dijait, dibalut dengan balutan steril, dan tidak ditutup sampai
diketahui bahwa daerah luka tersebut tidak mengalami infeksi.

Pada tahap awal penatalaksanaan, sebaiknya klien diberikan profilaksis tetanus serum
yang bertujuan untuk menghindari resiko tetanus karena kuman tetanus sangat menyukai
keadaan seperti luka pada fraktur terbuka. Biasanya klien diberikan antibiotik intravena unutk
mencegah atau menangani infeksi serius. Luka ditutup dengan jahitan atau skin graft atau flap
kulit auto gen pada hari ke-5 sampai ke -7 atau pada saat luka dalam keadaan baik.

Perawatan luka selalu diberikan kepada perawat agar masalah keperawatan gangguan
intregitas jaringan dapat diatasi sehingga mengguranggi dampak resiko tinggi infeksi. Selain
itu, diharapkan terjadi pertumbuhan jaringan yang baik. perawatan luka dilakukan, baik pada
klien pasca oprasi maupun pada klien dengan luka pasca trauma setelah golden period yang
biasanya merupakan klien rujukan dari daerah.

1. Klasifikasi fraktur terbuka. Karena perawatan luka ini masih dalam area abu-abu
(gray area) antara medik dan perawat, perawat perlu membekali diri dengan mengetahui
prinsip-prinsip perawatan luka yang baik. Pengetahuan perawatan luka, keterampilan yang
baik, dan diimbangi dengan jam terbang perawatan yang cukup, sangat mendukung tujuan
perawatan luka, yaitu menggurangi resiko tinggi infeksi dan meningkatkan penyembuhan
luka.
Dalam pelaksanaan aplikasi asuhan keperawatan klien fraktur terbuka, perawat perlu
mengenal klasifikasi fraktur terbuka karena terdapat perbedaan dalam pelaksanaanya.

Tabel 3.3 klasifikasi fraktur terbuka menurut gustilo, merkow, dan templeman

Grade Keadaan klinis


Luka kecil yang panjangnya kkurang dari 1
cm, biasanya karna luka tusukan dari dalam
I kulit yang menembus keluar. Ada sedikit
kerusakan jaringan dan tidak ada tanda-tanda
trauma tulangg hebat pada jaringan lunak.
Fraktur yang terjadi biasanya bersifat simpel,
transversal, oblik pendek, atau sedikit
kominutif

Laserasi kulit melebihi 1cm, tetapi tidak ada


kerusakan jaringan yang parah atau avulsi
kulit. Ada kerusakan yang sedang pada
jaringan sedikit kontaminasi fraktur.
II
Ada kerusakan yang parah pada jaringan
lunak termasuk otot, kulit, dan struktur
neurovaskular dengan kontaminasi yang
berat. Tipe ini biasanya disebabkan oleh
II A trauma dengan kecepatan tinggi.

Fraktur disertai trauma hebat dengan


kerusakan dan kehilanga jaringan, terdapat
pendorongan (stipping) periosteum, tulang
terbuka, kontaminasi yang berat dan fraktur
kominutif yang hebat.

II B

Fraktur terbuka yang disertai dengan


kerusakan arteri memerlukan perbaikan tanpa
memerhatikan tingkat kerusakan jaringan
lunak.

II C

2. Perawatan lanjut dan rehabilitasi fraktur. Tujuan pengobatan fraktur adalah


sebagai berikut.
 Menghilangkan nyeri
 Mendapatkan dan mempertahankan posisi yang memadai dari fragmen fraktur
 Mengharapkan dan mengusahakan union.
 Mengembalikan fungsi secara optimal dengan cara mempertahankan fungsi
otot dan sendi, mencegah komplikasi seperti dekubitus, trombosis vena,
infeksi saluran kemih, serta pembentukan batu ginjal.
 Mengembalikan fungsi secara maksimal merupakan tujuan ahir pengobatan
fraktur. Sejak awal klien harus dituntun secara psikologis untuk membantu
penyembuhan dan pemberian fisioterapi, memperkuat otot-otot serta gerakan
sendi, baik secara isometrik (latihan aktif statik) pada setiap otot yang berada
paling lingkup fraktur maupun isotonik, yaitu latihan aktif dinamik pada otot
-otot tungkai dan punggung.

Mei Diana Arminiati (1610711033)


8. FARMAKOLOGI FRAKTUR
a. Pembahasan
Sebagian besar manajemen farmakologi yang dilakukan pada pasie fraktur bertujuan
untuk meredakan nyeri yang dialami oleh pasien. Nyeri pada fraktur disebabkan oleh
pendarahan, pembengkakan, pergerakan abnormal pada jaringan lunak disekitarnya, dan
pelepasan mediator-mediator inflamasi. Nyeri yang dialami oleh fraktur biasanya merupakan
nyeri yang sangat hebat, sehingga analgesik opioid, seperti morfin menjadi sebuah steroid
tidak dianjurkan untuk digunakan karena sifatnya yang menghambat COX-1 dan COX-2
akan menghambat proses penyembuhan. Penangan nyeri pada fraktur dapat diberikan terapi
obat seperti AINS dan golongan opioid.
AINS (anti Inflamasi Non Steroid) umumnya digunakan untuk mengatasi nyeri dan
meredakan inflamasi yang disebabkan oleh fraktur. AINS menghambat biosintesis
prostagladin yang terbentuk akibat kerusakan jaringan, serta menghambat siklooksigenase
(COX) yang dikenal dalam dua bentuk yaitu COX-1 dan COX-2 ditemukan di semua
jaringan yang berperasn dalam proses hemostatik, sitoprotektif dan pengaturan regulasi
mukosa saluran pencernaan dan tidak banyak berperan dalam proses inflamasi. COX-2
memproduksi PG (prostaglandin) yang merangsan sitokin dan terlibat dalam proses inflamasi
jaringan dan nyeri (Handoko et al, 2011)

KETEROLAK
Keterolak termasuk anti inflamasi non-steroid dengan sifat analgesik yang kuat dan
efek anti inflamasi sedang. Keterolak bekerja secara selektif menghambat COX-1. Absorpsi
keterolak berlangsung cepat, baik itu oral maupun IM. Keterolak dapat dipakai sebagai
pengganti morfin dan penggunaannya dengan analgesik opioid dapat mengurangi kebutuhan
opioid sebesar 20-50%. Sosis intramuskular keterolak dengan pasien usia dibawah 65 tahun
diberikan sosis 30mg IM atau IV setiap 6jam (maksimal 120mg/hari) selama 5 hari. Untuk
usia >65tahun atau dengan gangguan fungsi ginjal dosis yang digunakan adalah 15mh IV
atau 30mg IM, diikuti dengan 15mg IM atau IV setiap 6 jam (maksimal 60mg/hari)..
Keterolak bersifat toksis pada beberapa organ seperti hati, lambung, dan ginjal jika digunakan
dalam jangka waktu lebih dari 5 hari.

MORFIN
Morfin bekerja secara aginis reseptor mikro. Morfin menimbulkan analgesia dengan
cara berikatan pada reseptor opioid pada SSP dan Medula Spinalis yang berperan pada
transmisi dan modula nyeri. Reseptor opiod terdapat pada saraf yang mentrasmisi nyeri di
medula spinalis dam aferen primer yang merelai nyeri. Morfin yang ditangkap reseptor aferen
primer akan mengurangi pelepasan neurotransmitter yang selanjutnya akan menghambat
saraf yang mentransmisi nyeri di mornudorsalis medula spinalis.
Pemberian morfin dalam dosis kecil 5-10mg akan menyebabkan euforia pada pasien
yang sedang nyeri. Namun, pemberian morfin dengan dosis 15-20mg, pasien akan tertidur
cepat dan nyenyak. Efek analgetik morfin dan opioid lain sangan selektif dan tidak disertai
hilangnya fungsi sensorik lain. Yang terjadi adalah perubahan reaksi stimulus nyeri, jadi
nyeri tetep ada namun reaksinha berbeda.

METADON
Efek analgetik 7,5-10mg metadin sama kuat dengan efek 10mg morfin. Metadon
dapat diberikan secara oral maupun parenteral. Setelah masuk ke dalam darah,
biotransformasi metadon terutama akan berlangsung di hati. Setelah itu, sebagian metadon
akan dieksresikan melaluin urin dan tinja. Metadon diberikan untuk meredakan jenis nyeri
yang dapat mempengaruhi morfin. Metadon sedikit lebih kuat daripada morfin. Efek
analgetik mulai timbul 10-20 menit setelah pemberian secara parenteral dan 30-60menit
setelah pemberian oral. Dosis pemberiaan oral 2,5-15mg dan parenteral 1,5-10mg.

b. Pengaruh Nutrisi Terhadap Penyembuhan Fraktur


Setiap tahapan dari penyembuhan fraktur menyebabkan peningkatan kebutuhan
nutrisi. Proses penyembuhan membutuhkan energi dari kalori dalam makanan yang lebih
banyak protein dan aliran darah yang ade kuat.
1. Sediakan energi yang cukup
Pada orang dewasa sehat dengan aktivitas normal, kalori yang dibutuhkan
perhari sebesar 2500kalori, sedangkan orang dewasa dengan fraktur multiple
membutuhkan kalori sebesar 6000kalor/hari untuk proses penyembuhan.
2. Tingkatan asupan protein
Jika dihitung berdasarkan volume, 50% tulang terdiri atas protein. Ketika
fraktur terjadi, tubuh akan mensinstesi matriks protein struktural tulang bary.
Kekurangan protein saat proses penyembuhan dapat menyebabkan terbentuknya
rubbery callus. Penelitian menunjukan bahwa orang dengan fraktur membutuhkan
peningkatan asupan protein 10-20gr/hari.
3. Tingkatkan asupan mineral
I. Zinc
Zinc berfungsi terutama dalam poliferasi sel, dimasa dalam kasus fraktur akan
membantu pembentukan kalus, mempercepat prosuksi pembentukan protein tulang.
II. Tembaga
Tembaga membentuk pembentukan kolagen tulang.
III. Kalsium dan fosfor.
Mineral utama pada tulang adalam kalsium dan fosfor yang membentuk kristal
kalsium hidroksiapatit. Pembentukan ulang jaringan tulang membutuhkan supply
yang cukup dari kalsium dan fosfor sebagai salah satu penyusun utama tulang.
Oleh karena itu, kalsium dn fosfor harus dikonsumi dalam jumlah yang optimal
setiap harinya.
4. Tingkatkan asupan vitamin
I. Vitamin C
Vitamin C sangat penting dalam sintesis kolagen tulang, vitamin C juga merupakan
salah satur nutrien antioksidan dan anti inflamasi yang paling penting.
II. Vitamin D
Peran vitamin D sangat penting dalam penyembuhan fraktur. Vitamin D adalah
regulator absorpsi kalsium. Penelitian menunjukan kadar vitamin D yang rendah
mengakibatkan penyembuhan fraktur suboptimal dan peningkatan asupan vitamin
D mengakibatkan percepatan mineralis kalus. Selain itu, vitamin D bersama
dengan vitamin K menginduksi transformasi stem cell untuk membentuk osteoblas.
III. Vitamin K
Vitamin K adalah bagian penting dalam proses biokimia yang mengikat kalsium ke
tulang untuk pembentukan tulang.
IV. Vitamin B6.
Vitamin B6 memodulasi efek vitamin K pada tulang melalui serangkaian proses
biokimia yang kompleks.

Dokter biasanya akan meresepkan obat analgesik, antiradang, dan antibiotik. Obat
analgesik berguna untuk mengurangi rasa sakit, sedangkan antibiotik berguna untuk
mencegah adanya infeksi pada patang tulng terbuka.
Berikut obat untuk patah tulang yang bisa dikonsumsi :
 Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)
Obat anti radang cintohnhya naproxen, ibuprofen dan ketoprofen. Umumnya,
obat ini digunakan untuk patah tulang ringan sampai yang lumayan parah. Obat ini
berguna untuk menahan nyeri dan reaksu peradangan karena patah tulang. Cara
kerjanya yaitu dengan menahan sintesis prostagladin dan menurunkan aktivitas enzim
COX.
 ANALGESIK
Untuk mengurangi rasa sakit pada patah tulang. Anda bisa menggunakan obat
– obatan analgesik yang dijual bebas seperti ibuprofen, paracetamol, atau kombinasi
keduanya.
 ANTIBIOTIK
Selain memakai obat pereda nyeri, dokter biasanya juga memberikan
antibiotik. Antibiotik bsa diberikan untuk spektrum luas pada luka terbuka dan
terkontaminasi, tujuannya agar infeksi tidak terjadi. Obat antibiotik yang bisa dipakai
sebagai obat untuk patah tulang misalnya vancomycin, gentamicin, dan antibiotik
golongan sefalosporin.
 VAKSIN dan IMUNOGLOBULIN
Vaksin seperti tetanus dan imunoglobin bisa diberikan pada pasien patah
tulang. Namun perlu diingatkan, pemberian vaksin tetanus tergantung pada kondisi
luka (misalnya luka terbuka dan terkontaminasi) dan riwayat vaksinasi tetanus
ebelumnya. Sama dengan antibiotik, tujuan pemberian obat patang tulang yang satu
ini yaitu untuk mencegah terjadinya infeksi.

Ester Ronauli Sihotang (1610711045)

Yessi Lamria Sitanggang (1610711014)


9. PROSES PENYEMBUHAN TULANG

Tulang bisa bergenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang
tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara
ujung patahan tulang. Tulang baru di bentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium
penyembuhan tulang, yaitu :

 Stadium Satu – Pembentukan Hematoma


Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur,. Sel-
sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat
tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24-48 jam dan
perdarahan berhenti sama sekali
 Stadium Dua.- Poliferasi Seluler
Pada stadium ini terjadi poliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago
yang berasal dari periosteum, endosteum,dan bone marrow yang telah mengalami
trauma. Sel-sel yang mengalami poliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang
lebih dalam dan disanalah osteoblast bergenerasi dan terjadi proses osteogenesis.
Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggambungkan kedua fragmen
tulang yang patah. Faseini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai,
tergantung frakturnya.
 Stadium Tiga – Pembentukan Kalus
Sel-sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik,
bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga
kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai
berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan
tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kalus atau bebat pada permukaan
endosteal dan periosteal. Sementara tulang imatur anyaman tulang menjadi lebih
padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur
menyatu.
 Stadium Empat – Konsolidasi
Bila aktivitas osteoklas dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah
menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoklast
menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoklas
mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah
proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk
membawa beban yang normal.
 Stadium Lima – Remodelling
Fraktur telah di jembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama
beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi
dan pembentukan tulang yang terus - menerus. Lamellae yang lebih tebal diletakkan
pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak di kehendaki di buang,
rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya di bentuk struktur yang mirip dengan
normalnya.

DESY SULASTRI -1610711089

10. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYEMBUHAN TULANG

1.Penyakit tulang atau sistemik

Laju penyembuhan fraktur tidak berkurang secara signifikan pada orang yang lebih
tua seperti ia memiliki gangguan metabolik seperti osteoporosis

2.Usia dan kesehatan umum klien

• Fraktur pada bayi sembuh 4-6 minggu

• Fraktur pada remaja sembuh 6-10 minggu

3.Jenis fraktur

Misal :

• fraktur impaksi sembuh beberapa minggu

• Fraktur pergeseran sembuh bisa berbulan-bulan atau bertahun –tahun .

• Fraktur radial atau ulnar sembuh dala 3 bulan

• Fraktur tibia atau femur sembuh 6 bulan atau lebih lama

4.Terapi fraktur

 FAKTOR PENDUKUNG
1.Lokasi

• Suplai darah yang baik pada ujung tulang

• Tulang rata

2.Kerusakan jaringan lunak minimal

3.Reduksi anatomis jika di mungkinkan

4.Imobilisasi efektif

• Latihan beban pada tulang panjang

• Imobilisasi fragmen fraktur

5.Nutrisi yang tepat

6.Hormon (hormon pertumbuhan, thyfoid, kalsitonin, vit d, steroid anabolik)

 FAKTOR PENGHAMBAT

1.Fragment terpisah jauh

2.Fragment tersebar karena traksi

3.Fraktur kominutif parah

4.Kerusakan jaringan lunak parah

5.Kehilangan tulang karena cedera atau eksisi bedah

6.Gerakan atau rotasi pada lokasi fraktur karen fiksasi yang tidak tepat

7.Infeksi

8.Gangguan suplai darah pada satu atau lebih fragment tulang

9.Lokasi

• Penurunan suplai darah

• Terletak pada tengah batang tulang

10.Perilaku kesehatan seperti merokok ,minum alkohol

11.Tulang keroposUsia> 40 tahun


12.Imobilisasi tidak memadai

Diana Febriyanti (1610711050)

11. KOMPLIKASI JANGKA PENDEK-PANJANG FRAKTUR

KOMPLIKASI JANGKA PENDEK

1. Cedera Saraf
Fragmen tulang dan edema jaringan yang berkaitan dengan cedera dapat
menyebabkan cedera saraf.Hati-hati jika ada pucat dan tungkai klien yang sakit
teraba dingin, perubahan kemampuan klien untuk menggerakkan jari-jari tangan
atau tungkai, parestasia atau adanya keluhan nyeri yang meningkat.
2. Sindroma kompartemen
Sindroma kompartemen merupakan suatu kondisi gangguan sirkulasi yang
berhubungan dengan peningkatan tekanan yang terjadi secara progresif pada
ruang terbatas. Ini disebabkan oleh apapun yang menurunkan ukuran
kompartemen , termasuk gaya kompresi eksternal seperti gips yang ketat atau
factor-faktor internal seperti perdarahan atau edema.
3. Kontraktur Volkman
Kontraktur volkman adalah suatu deformitas tungkai akibat sindroma
kompartemen yang tidak tertangani. Oleh karena tekanan terus-menerus
mengakibatkan iskemia , otot perlahan mulai digantikan oleh jaringan fibrosa yng
menjepit tendon dan saraf. Kontraktur dapat dihindari dengan pengenalan
manifestasi klinis sindroma kompartemen diikuti oelh pembidaian tungkai
dekompresi kompartemen.
4. Sindroma Emboli Lemak
Emboli lemak serupa dengan emboli paru, kecuali bahwa embolusnya adalah
lemak dan kondisi ini muncul pada klien fraktur. Insiden tertinggi hingga 90%
dari keseluruhan kasus dari sindroma emboli lemak terjadi setelah fraktur dari
tulang panjang , sepertifemur, tulang rusuk, fibula dan panggul. Terdapat dua teori
terjadinya emboli lemak.Teori mekanikal menyatakan bahwa terdapat pelepasan
globulus lemak dari sumsum tulang kedalam sirkulasi vena setelah terjadi
fraktur.Teori biokimia atau metabolic menyatakan bahwa trauma menyebabkan
pelepasan asam lemak yang tersimpan.Kemudian terjadi agregasi platelet dan
pembentukan globulus lemak. Pada kenyataannya proses dari patofisiologi lemak
belum diketahui, dan mungkin melibatkan sebagian dari kedua teori tersebut.
5. Tromosis Vena Dalam dan Emboli paru
Klien dengan cedera tulang beresiko tinggi mengalami kondisi trombo-embolik
seperti thrombosis vena dalam dan emboli paru. Peningkatan resiko ini terjadi
karena stasis dari aliran darah vena , peningkatan koaguabilitas dan cidera pada
pembuluh darah. Tirah baring terlalu lama atau imobilitas juga mendorong
terjadinya stasis.
6. Infeksi
Infeksi terus menjadi bagian penyebab morbiditas pada klien yang menjalani
perbaikan fraktur secara bedah atau mengalami fraktur terbuka. Npatogen dapat
mengontaminasi fraktur terbuka saat terjadi cedera atau dapat masuk saat prosedur
bedah .infeksi luka bedah pada masa pasca perasi biasanya diakbiatkan oleh
staphylococcus aureus.
7. Sindroma Gips
Sindroma gips terjadi hanya pada gips spika badan. Sindroma gips dapat terjadi
beberapa hari hingga minggu setelah imobilisasi , terutama jika klien mengalami
penurunan berat badan dari hilangnya lemak retroperitoneal.

KOMPLIKASI JANGKA PANJANG

1. Kaku sendi (Artritis Traumatik)


Setelah cedera atau imobilisasi dalam jangka waktu tertentu , kekakuan sendi dapt
terjadi dan dapat menyebabkan kontraktur sendi, pengerasan ligament atau atrofi otot.
Latihan gerak sendi aktif harus dilakukan semampu klien .penggunaan asetaminofen
atau NSAID dapat mengurangi ketidaknyamanan pada sendi.

2. Nekrosis Avaskular (AVN)


Dari kepala femur terjadi utamanya pada fraktur di proksimal dari leher femur.Hal ini
terjadi karena gangguan sirkulasi local.Film rontgen menunjukkan kolaps nya kepala
femur dank lien mengeluhkan nyeri yang terjadi bulan hingga tahunan setelah
perbaikan fraktur. Mungkin diperlukan penggantian kepala femur dengan prosthesis
.hal terbaik untuk menghindari nekrosis avascular adalah pembedahan secepatnya
untuk perbaikan tulang setelah terjadi fraktur.
3. Malunion
Malunion terjadi saat fragmen fraktur sembuh dalam kondisi kelurusan tulang
yang tidak tepat sebagai akibat dari tarikan otot yang tidak seimbang serta
gravitasi..hal ini dapat terjadi ketika klien menaruh beban pada tungkai yang sakit
menyalahi instruksi dokter atau alat bantu jalan digunakan sebelum penyembuhan
yang baik dimulai pada lokasi fraktur. Manifestasi eksternal adalah deformitas
eksternal dari tungkai yang terlibat. Pencegahan dapat dilakukan dengan reduksi
fraktur yang baik , imobilisasi dan memastikan klien memahami pentingnya
membatasi aktivitas tertentu.

4. Non-Union
Non – Union adalah ketika penyembuhan fraktur tidak terjadi 4-6 bulan
setelah cedera awal dan setelah penyembuhan spontan sepertinya tidak akan terjadi
.biasanya diakibatkan oleh suplai darah yang tidak cukup dan tekanan berulang yang
tidak terkontrol pada lokai fraktur. Mungkin karean adanya otot, tendon atau jaringan
lunak antara fragmen fraktur. Non-Union dapat berasal dari fraksi terlalu lama atau
berlebihan , imobilisasi yang tidak cukup dan tidak baik yang menyebabkan lokasi
lokasi fraktur dapat bergerak ; fiksasi eksternal yang tidak cukup atau infeksi luka
setelah fiksasi nternal.pada radiografi,Non-Union dicirkan dengan adanya celah yang
relatif sempit iantara fragmen-fragmen fraktur. Terdapat jembatan jaringan lunak dari
jaringan fibrokartilago dan fibrosa diantara gap tersebut. Setelah didiagnosis, non-
union dapat ditangani dengan cangkok tulang, fiksasi internal atau eksternal, stimulasi
tulang elektrik USG frekuensi rendahatau kombinasi. Edukasi klien sangat penting
sebelum inetervensi apapun karena perubahan beban pada tungkai yang sakit akan
dilarang sementara waktu untuk penyembuhan tulang.

5. Sindroma Nyeri Regional Kompleks (CPRS)


Awalnya dikenal dengan distrofi reflex simparis kondisi ini merupakan suatu
sindroma disfungsi dan penggunaan yang salah disertai nyeri abnormal dan
pembengkakan pada tungkai yang sakit. Hal ini biasanya didorong oleh trauma yang
relative kecil dan biasanya berkaitan dengan gangguan pada SSP. Sumbernya bisa
berasal dari cedera kecil umumnya pada tungkai. Manifestasinya berupa nyeri yang
tidak proporsional pada lokasi cedera, edema, spasme otot atau vasospasme, kaku
sendi, dll. Blok saraf simpatis terbukti berhasil , terutama pada tahap awal sindroma
ini. Terapi obat umumnya menggunalkan steroid analgesic , pelemas otot dan
antidepresan. Fisioterapi juga dapat diguanakan.

Noer Aeni Zam Zam Mia (1610711016)

Leily Muhafilah (1610711030)

Sharah nursaiidah (1610711038)

12.ASUHAN KEPERAWATAN

Seorang klien dirawat di ruang perawatan umum rumah sakit pemerintagh. Klien di rawat
dengan keluhan patah tulang pada fermur sinistra dan luka terbuka sehingga tulang keluar
dari kulit, nyeri hebat dan perdarahan. Seorang perawat melakukan anamnesa, di dapatkan
hasil sebagai berikut: klien mengatakan sakitnya karena kecelakaan ditabrak motor, saat
kecelakaan klien menyatakan sadar akan kejadian, dan tungkai sinistra sakit untuk
digerakkan. Dari hasil pemeriksaan fisik di dapat data: tingkat kesadaran comosmentis, TTV
TD: 100/60mmHg, Nadi : 112x/menit, RR : 20x/menit, Suhu 37°C, Palpasi daerah fraktur
terdapat bagian tulang yang menonjol dan ada krepitus di fermur sinistra, tulang keluar dari
permukaan kulit, perdarahan. Dari hasil pemeriksaan laboratorium hb 12gr/dl, ht: 40%,
leukosit 12000, gds 125, hasil Rontgen Fermur Sinistra: Fraktur kominutif. Tindakan
sementara pasien terpasang spalk dan akan di rencanakan dilakukan ORIF, klien terpasang
infus RL 28 tpm dan mendapat antibiotik cefizox 1 gr / IV. Diagnosa medis klien Fraktur
Terbuka Kominutif Sinistra. Perawat dan Dokter serta paramedic lainnya yang terkait
melakukan perawatan secara integrasi untuk menghindari / mengurangi resiko komplikasi
lebih lanjut.

Tambahan kasus:

Pasien tampak meringis kesakitan dan merasa tidak dapat melakukan mobilisasi
karena sulit untuk menggerakan kakinya, pada saat pemeriksaan mengatakan skala nyerinya
7.

 PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu
diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat
memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat
bergantuang pada tahap ini.

Tahap ini terbagi atas:


1. Pengumpulan Data
a. Anamnesa:

1) Identitas Klien: -

2) Keluhan Utama : fraktur dengan luka terbuka disertai nyeri hebat dan perdarahan

3) Riwayat Penyakit Sekarang : sakitnya karena kecelakaan ditabrak motor

4) Riwayat Penyakit dahulu: -

5) Riwayat Penyakit Keluarga: -

6) Riwayat Psikososial: -

2. Pola-Pola Fungsi Kesehatan

1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat

2) Pola Nutrisi dan Metabolisme

3) Pola Eliminasi

4) Pola Tidur dan Istirahat.

5) Pola Aktivitas

6) Pola Hubungan dan Peran

7) Pola Persepsi dan Konsep Diri

8) Pola Sensori dan Kognitif

9) Pola Reproduksi Seksual

10) Pola Penanggulangan Stress

11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan

3. Pemeriksaan Fisik
a. Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
1) Kesadaran penderita: komposmentis
2) Kesakitan, keadaan penyakit: akut
3) Tanda-tanda vital: TD: 100/60mmHg, Nadi : 112x/menit, RR : 20x/menit, Suhu
37°C

Secara sistemik dari kepala sampai kelamin


1) Sistem Integumen
luka terbuka, nyeri ketika digerakkan
2) Kepala
Tidak ada gangguan (simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala)
3) Leher
Tidak ada gangguan (simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada)
4) Muka
Wajah terlihat menahan sakit

5) Mata
konjungtiva anemis (terjadi perdarahan)
6) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
7) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
8) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
9) Thoraks
gerakan dada simetris.

10) Paru
sonor, suara nafas normal

11) Jantung
Nadi meningkat 112x/menit
12) Abdomen
Bentuk datar, simetris, Tugor baik, Suara thympanie
13) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.

Data Subjektif Data Objektif


• Pasien mengatakan sakitnya karena • Pasien datang dengan keluhan patah
kecelakaan motor tulang fermur sinistra
• Pasien mengatakan sadar saat • Luka tampak terbuka
kecelakaan • Tulang terlihat keluar dari kulit
• Pasien mengatakan nyeri hebat • Terjadi perdarahan
• Pasien mengatakan tidak dapat • Kesadaran composmentis
melakukan mobilisasi • TTV :TD: 100/60mmHg, Nadi :
• Pasien mengatakan tungkai sinistra 112x/menit,RR : 20x/menit,Suhu
sakit untuk digerakkan 37°C.
• Klien mengatakan sulit untuk • Palpasi terdapat bagian tulang yang
menggerakan kakinya menonjol dan ada krepitus di fermur
sinistra
• Lab: hb 12gr/dl, ht: 40%, leukosit
12000, gds 125
• Rontgen: fraktur kominutif
• Pasien terpasang spalk
• Pasien terpasang infus RL 28 tpm
• Pasien mendapat antibiotik cefizox 1
gr/IV
• Pasien tampak meringis
• Skala nyeri 7

No. Data Problem Etiologi


1 DS : Nyeri Akut Agen cidera fisik
 Pasien mengatakan nyeri hebat
 Pasien mengatakan tungkai sinistra
sakit untuk digerakkan
DO :
 Luka tampak terbuka
 Tulang terlihat keluar dari kulit
 TTV :TD: 100/60mmHg, Nadi :
112x/menit,RR : 20x/menit,Suhu
37°C
 Pasien tampak meringis
 Skala nyeri 7

2 DS : Kerusakan Tekanan pada


• Klien mengatakan ada luka terbuka Integritas kulit tonjolan tulang
akibat kecelakaan motor (fraktur terbuka)
DO :
• Luka tampak terbuka
• Ada bagian tulang yang menonjol
• TTV
• perdarahan
TD: 110/60 mmHg
Nadi: 112×/menit
RR: 20×/menit
Suhu: 37°C.

3 DS : Hambatan Kerusakan integritas


• Pasien mengatakan tidak dapat mobilitas fisik struktur tulang
melakukan mobilisasi
• Pasien mengatakan tungkai sinistra
sakit untuk digerakkan
• Klien mengatakan sulit untuk
menggerakan kakinya
DO :
• Pasien datang dengan keluhan
patah tulang fermur sinistra
• TTV :TD: 100/60mmHg, Nadi :
112x/menit,RR : 20x/menit,Suhu
37°C.
• Palpasi terdapat bagian tulang yang
menonjol dan ada krepitus di
fermur sinistra
• Rontgen: fraktur kominutif
• Pasien terpasang spalk

4 DS : Risiko disfungsi Fraktur terbuka


• Klien mengeluh tungkai sinistra neurovaskular
sakit saat digerakan perifer
• Klien mengeluh sulit untuk
menggerakan kakinya
DO:
• Palpasi terdapat bagian tulang yang
menonjol
• TTV :
-TD: 100/60mmHg,
-Nadi : 112x/menit,
-RR : 20x/menit,
-Suhu 37°C.

5 DO : Resiko infeksi Gangguan integritas


• Pasien datang dengan keluhan kulit
patah tulang fermur sinistra
• Luka tampak terbuka
• Tulang terlihat keluar dari kulit
• Terjadi perdarahan
• Kesadaran composmentis
• TTV :TD: 100/60mmHg, Nadi :
112x/menit,RR : 20x/menit,Suhu
37°C.
• Palpasi terdapat bagian tulang yang
menonjol dan ada krepitus di
fermur sinistra
• Lab: hb 12gr/dl, ht: 40%, leukosit
12000, gds 125

 DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut b.d agen cidera biologis
(nanda 2018-2020 hal: 445 Domain 12. Kenyamanan kelas 1. Kenyamanan fisik )
2. Integritas kulit b.d tekanan pada tonjolan tulang (fraktur terbuka)
( hal 425. Domain 11. Keamanan/Perlindungan. Kelas 2. Cedera Fisik)
3. Hambatan mobilitas fisik b.d Kerusakan integritas struktur tulang
(hal 232. Domain 4. Aktivitas/Istirahat. Kelas 2. Aktivitas/Olahraga
4. Risiko disfungsi neurovaskular perifer d.d fraktur terbuka
(hal 421. Domain 11. Keamanan/Perlindungan. Kelas 2. Cedera Fisik)
5. Resiko infeksi d.d gangguan integritas kulit
(hal 405. Domain 11. Keamanan/Perlindungan. Kelas 1. Infeksi)

No. Diagnosa Tujuan Intervensi


1 Nyeri akut (00132) b/d Setelah dilakukan NIC hal 559
agen cidera fisik asuhan keperawatan Manajemen nyeri (kode : 1400
selama 3x24 jam hal 198)
diharapkan nyeri akut 1. Lakukan pengkajian nyeri
pada pasien dapat komprehensif yang meliputi
berkurang dengan lokasi, karakteristik, durasi,
kriteria hasil : frekuensi, kualitas, intensitas
(NOC hal 645) atau beratnya nyeri dan
Tingkat Nyeri factor pencetus
(kode:2102 hal:577) 2. Kendalikan faktor
1. Pasien lingkunagn yang dapat
melaporkan mempengaruhi respon
nyeri pasien terhadap
berkurang ketidaknyamanan (misalnya,
2. Pasien tidak suhu ruangan, pencahayaan,
meringis suara bising)
kesakitan
Kepuasan Klien: 3. Ajarkan teknik non farmakologi
Manajemen Nyeri (teknik relaksasi nafas dalam)
(kode: 3016 hal:179) 4. Dorong pasien untuk memonitor
1. Mampu nyeri dan menangani nyerinya
mengontrol dengan tepat
nyeri (tahu 5. Berikan informasi mengenai
penyebab nyeri, seperti penyebab nyeri,
nyeri, mampu berapa lama nyeri akan dirasakan
menggunakan dan antisipasi ketidaknyamanan
teknik akibat prosedur.
nonfarmakolog 6. Kolaborasi pemberian analgesik
i untuk
mengurangi Pemberian analgesik (kode: 2210
nyeri) hal 247)
2. Pasien dapat 1. Tentukan lokasi,
mengambil tindakan karakteristik, kualitas dan
untuk manajemen keparahan nyeri sebelum
nyeri mengobati pasien
Kontrol Nyeri 2. Cek adanya riwayat alergi
(kode:1605 hal: 247) obat
1. Mampu Cek perintah pengobatam meliputi
mengenali obat, dosis dan frekuensi obat yang
nyeri (kapan, diberikan
skala,
intensitas,
frekuensi)
2 Kerusakan Integritas Setelah dilakukan Pengecekan kulit (kode: 3590,
kulit b/d tekanan pada tindakan keperawatan hal: 311)
tonjolan tulang (00046, selama 3×24 jam 1. Periksa kulit dan selaput
hal 425) diharapkan kerusakan lendir terkait dengan adanya
integritas kulit dapat kemerahan, kehangatan
berkurang dengan ekstrim, edema, atau
kriteria hasil: drainase
NOC hal 617 2. Amati warna, kehangatan,
Integritas jaringan: bengkak, pulsasi, tekstur,
Kulit & membran edema, dan ulerasi
mukosa (kode: 1101, 3. Monitor warna dan suhu
hal: 107 kulit
1. Integritas kulit Perawatan tirah baring (kode:
dapat dipertahankan 0740, hal 393)
dengan baik (suhu, 1. Hindari menggunakan kain
elastisitas, hidrasi, linen kasur yang teksturnya
sensasi. kasar
2. Jaga kain linen kasur tetap
bersih, kering dan bebas
kerutan
3. monitor kondisi kulit pasien

3 Hambatan mobilitas Setelah dilakukan Perawatan Traksi / Imobilisasi


fisik b/d Kerusakan tindakan keperawatan (kode 0940 hal 394)
rangka neuromuskular : selama 3x24 jam 1. Kaji derajat imobilitas yang
nyeri atau diharapkan mobilitas dihasilkan oleh cedera/pengobatan
ketidaknyamanan : fisik tidak terjadi dan perhatikan persepsi pasien
terapi restriktif dengan kriteria hasil : terhadap imobilisasi.
(imobilisasi tungkai) Bisa melakukan 2. Dorong partisipasi pada aktivitas
(00085, hal 232) pergerakkan dan terapeutik atau rekreasi.
perpindahan. 3. Intruksikan pasien dan bantu
Bisa mempertahankan dalam rentang gerak/aktif pada
mobilitas yang ekstermitas yang sakit dan tidak
optimal. sakit.
4. Dorong penggunaan latihan
isometric mulai dengan tungkai
yang sakit.
5. Berikan papan kaki, pergelangan,
gulungan trokhanter/tangan yang
sesuai.
6. Berikan atau bantu dalam
mobilisasi dengan kursi roda,
tongkat dan lalin sebagainya
sesegera mungkin.
7. Dorong perawatan diri
(kebersihan/eliminasi) sesuai
keadaan klien.
8. Berikan diet tinggi kalori tinggi
protein.
Terapi latihan : Mobilitas Sendi
(kode 0224 hal 440)
1. Monitor lokasi dan
kecenderungan adanya nyeri
dan ketidaknyamanan
selama
pergerakkan/aktivitas.
2. Kolaborasi dengan ahli
terapi Evaluasi kemampuan
mobfisik dalam
mengembangkan dan
menerapkan sebuah program
latihan.
3. Tentukan perkembangan
terhadap pencapaian tujuan.
4 Risiko disfungsi Setelah dilakukan NIC hal 507
neurovaskuler perifer tindakan keperawatan Pengaturan posisi (Kode:
b/d fraktur terbuka selama 2×24 jam 0840,Hal: 306)
(00086, hal 421) diharapkan disfungsi 1. Tempatkan pasien diatas
neurovaskular perifer matras/tempat tidur
tidak terjadi dengan terapeutik
kriteria hasil: 2. tempatkan pasien dalam
NOC hal 673 posisi terapeutik yang sudah
Keparahan cedera dirancang
fisik (kode: 1913, 3. Imobilisasi atau sokong
hal: 128) bagian tubuh yang terkena
1. Perdarahan dampak
tidak terjadi Pembidaian (Kode: 0910, Hal
2. Fraktur segera 263)
pulih 1. Monitor sirkulasi pada area
yang mengalami trauma
2. Monitor perdarahan pada
area cedera
3. Batasi pergerakan pasien,
terutama pada bagian yang
mengalami trauma

5 Resiko infeksi b/d Setelah dilakukan 1.inspeksi kulit untuk adanya iritasi
gangguan integritas tindakan keperawatan atau robekan kontinuitas
kulit ( 00004, hal 405) selama 2x24 jam 2.kaji sisi pen atau kulit, perhatikan
diharapkan resiko keluhan peningkatan nyeri
infeksi tidak terjadi Kolaborasi pemberian antibiotika
dengan kriteria hasil : dan toksoid tetanus sesuai indikasi.
Tidak ada tanda-tanda
infeksi pada pasien. 3. Analisa hasil pemeriksaan
Leukosit dalam batas laboratorium (Hitung darah
normal. lengkap, LED, Kultur dan
TTV dalam batas sensitivitas luka/serum/tulang)
normal.
4. Observasi tanda-tanda vital dan
tanda-tanda peradangan lokal pada
luka.

DAFTAR PUSTAKA
 Desiartamal, A&Aryana, W (2017). Gambaran Karakteristik Pasien Fraktur Femur
AkibatKecelakaan Lalu Lintas Pada Orang Dewasa Di Rumah Sakit Umum Pusat
Sanglah Denpasar Tahun 2013, 6, 2303-1395.
 Noorisa, R. Apriliwati,D, Aziz, A & Bayusentono, S. (2017). The Characteristic Of
Patients With Femoral Fracture In Department Of Orthopaedic And Traumatology
Rsud Dr. Soetomo Surabaya 2013 – 2016. 6. 2460-8742
 Bayu, M.Z, Hutagalung, Rahman, S, Azharuddin, A. (2018). Correlation Between
Harris Hip Score (Hhs) And Body MassIndex (Bmi) In Patients With Femoral Neck
Fracture AfterHemiarthroplasty. 7. 2460-8742.
 https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://digilib.esaunggul.a
c.id/public/UEU-Undergraduate-7560-
BABI.pdf&ved=2ahUKEwjLjODF9__cAhVLX30KHT2WCDEQFjAAegQIARAB&
usg=AOvVaw093rvqO10AMQ1Ie8Uxj2N3 di unduh pada tanggal 21 Agustus 2018.
Pukul 12.00 WIB
 Kowalak. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC
 Noor Helmi, Zairin, 2012; Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal; jilid 1,Salemba
Medika, Jakarta.
 Muttakin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Muskuloskeletal. Jakarta : EGC
 Smeltzer & Bare. 2000. Keperawatan Medikal Bedah Brunner&Suddart. Jakarta:
EGC.)
 Helmi, Z.N., & Akbar, I.Z. 2004. Orthopaedics: fractures and joint injuries.
Banjarmasin: Faculty of mediciene surgery ulin general Hospital.)
 Kee, Joyce L. 2011. Farmakologi pendekatan proses keperawatan.Jakarta : EGC
 Ikawati, Zullies. 2014. Farmakologi molekuler. Yogyakarta
 Keperawatan Medikal Bedah : buku saku untuk Brunner dan Sudart / penulis, Diane
C. Baughman, JoAnn C. Hacley. Jakarta EGC. 2012
 Saunders.2014. Keperawatan Medikal Bedah : Manajemen Klinis dan Hasil yang
diharapkan . Jakarta : EGC
 Joyce M.black dan hawks jane hokanson.2014.keperawatan medikal
bedah.singapura:elsevier.edisi 8
 janice L hinkle ,cheever kerry h.brunner&suddarth”s.textbook of medical surgical
nursing.EDITION 13.LISa mcalliser.2014
 Nanda. (2015). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10
editor T Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru. Jakarta: EGC.

 McCloskey, Joanne C., Bullechek, Gloria M. (1996). Nursing Interventions


Classification (NIC). St. Loui: Mosby.

 Jhonson, Marion., Meridean Maas. (2000). Nursing Outcomes Classification (NOC).


St. Louis: Mosby

Anda mungkin juga menyukai