Anda di halaman 1dari 25

BAB 1

PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut usus halus yang

disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit menular ini masih merupakan

masalah kesehatan masyarakat dengan jumlah kasus sebanyak 22 juta per tahun di

dunia dan menyebabkan 216.000–600.000 kematian. Studi yang dilakukan di

daerah urban di beberapa negara Asia pada anak usia 5–15 tahun menunjukkan

bahwa insidensi dengan biakan darah positif mencapai 180–194 per 100.000 anak,

di Asia Selatan pada usia 5–15 tahun sebesar 400–500 per 100.000 penduduk, di

Asia Tenggara 100–200 per 100.000 penduduk, dan di Asia Timur Laut kurang

dari 100 kasus per 100.000 penduduk. Komplikasi serius dapat terjadi hingga

10%, khususnya pada individu yang menderita tifoid lebih dari 2 minggu dan

tidak mendapat pengobatan yang adekuat. Case Fatality Rate (CFR) diperkirakan

1–4% dengan rasio 10 kali lebih tinggi pada anak usia lebih tua (4%)

dibandingkan anak usia ≤4 tahun (0,4%). Pada kasus yang tidak mendapatkan

pengobatan, CFR dapat meningkat hingga 20%.1

Di Indonesia, tifoid harus mendapat perhatian serius dari berbagai pihak,

karena penyakit ini bersifat endemis dan mengancam kesehatan masyarakat.

Permasalahannya semakin kompleks dengan meningkatnya kasus-kasus karier

(carrier) atau relaps dan resistensi terhadap obat-obat yang dipakai, sehingga

menyulitkan upaya pengobatan dan pencegahan. Pada tahun 2008, angka

kesakitan tifoid di Indonesia dilaporkan sebesar 81,7 per 100.000 penduduk,

1
dengan sebaran menurut kelompok umur 0,0/100.000 penduduk (0–1 tahun),

148,7/100.000 penduduk (2–4 tahun), 180,3/100.000 (5-15 tahun), dan

51,2/100.000 (≥16 tahun). Angka ini menunjukkan bahwa penderita terbanyak

adalah pada kelompok usia 2-15 tahun.1

Penyakit tifoid berdasarkan Riskesdas tahun 2007 secara nasional di

Sulawesi Selatan, tersebar di semua umur dan cenderung lebih tinggi pada umur

dewasa. Prevalensi klinis banyak ditemukan pada kelompok umur sekolah yaitu

1,9%, terendah pada bayi yaitu 0,8%. Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2014

suspeck penyakit typhus tercatat sebanyak 23.271 yaitu laki-laki sebanyak 11.723

dan perempuan sebanyak 11.548 sedangkan penderita demam typoid sebanyak

16.743 penderita yaitu laki-laki sebanyak 7.925 dan perempuan sebanyak 8.818

penderita dengan insiden rate (2,07) dan (CFR=0,00%), dengan kasus yang

tertinggi yaitu di Kabupaten Bulukumba (3.270 kasus), Kota Makassar (2.325

kasus) Kabupaten Enrekang (1.153 kasus) dan terendah di Kabupaten Toraja

Utara (0 kasus), Kabupaten Luwu ( 1 kasus) dan Kabupaten Tana Toraja (19

kasus).2

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Penyakit Typhus atau Demam Tifoid (bahasa Inggris: Typhoid

fever), merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella

enterica, khususnya turunannya yaitu Salmonella typhi terutama

menyerang bagian saluran pencernaan. Demam tiphoid adalah penyakit

infeksi akut yang selalu ada di masyarakat (endemik) di Indonesia, mulai

dari usia balita, anak-anak dan dewasa, bahkan lanjut usia.2

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan

oleh kuman Salmonella typhi, dengan gejala utama demam, gangguan

saluran pencernaan, serta gangguan susunan saraf pusat/kesadaran.3

Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia yang

disebabkan oleh infeksi sistemik Salmonella typhi. Prevalesi 91% kasus

demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah

umur 5 tahun. Pada minggu pertama sakit, demam tifoid sangat sukar

dibedakan dengan demam lainnya sehingga untuk memastikan diagnosis

diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi.4

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut

pada usus halus yang disebabkan oleh Salmonella enterica serotype typhi

(Salmonella typhi). Demam tifoid ditandai dengan gejala demam satu

minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dengan atau

tanpa gangguan kesadaran.5

3
B. Epidemiologi

Di seluruh dunia, demam tifoid diperkirakan menyebabkan 21,6

juta kasus dengan 216.500 kematian pada tahun 2000. Insidens demam

tifoid tinggi (>100 kasus per 100.000 populasi per tahun) dicatat di Asia

Tengah dan Selatan, Asia Tenggara, dan kemungkinan Afrika Selatan;

yang tergolong sedang (10-100 kasus per 100.000 populasi per tahun) di

Asia lainnya, Afrika, Amerika Latin, dan Oceania (kecuali Australia dan

Selandia Baru); serta yang termasuk rendah (<10 kasus per 100.000

populasi per tahun) di bagian dunia lainnya.6

Beberapa negara sudah menjalankan imunisasi tifoid sesuai

rekomendasi World Health Organization (WHO) sehingga sulit

menentukan prevalens penyakit tersebut di dunia. Beberapa sistem

surveilans untuk kasus demam tifoid di negara berkembang sangat

terbatas, terutama di tingkat komunitas, sehingga prevalens penyakit yang

sesungguhnya sangat sulit diperoleh. Data surveilans yang tersedia

menunjukkan bahwa pada tahun 2000, estimasi penyakit adalah sebanyak

21.650.974 kasus, kematian terjadi pada 216.510 kasus tifoid dan

5.412.744 pada penyakit paratifoid. Data tersebut diekstrapolasi dari

beberapa penelitian sehingga dapat kurang tepat, apalagi karena

pemeriksaan penunjang diagnosis yang tidak akurat.7

Penyakit ini masih sering dijumpai secara luas di berbagai negara

berkembang terutama yang terletak di daerah tropis dan subtropik.

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan

4
karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis

yang sangat luas. Data WHO tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar

17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000

kasus kematian tiap tahun.5

Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2009, demam tifoid

atau paratifoid menempati urutan ke-3 dari 10 penyakit terbanyak pasien

rawat inap di rumah sakit tahun 2009 yaitu sebanyak 80.850 kasus, yang

meninggal 1.747 orang dengan Case Fatality Rate sebesar 1,25%.10

Sedangkan berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2010 demam

tifoid atau paratifoid juga menempati urutan ke-3 dari 10 penyakit

terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit tahun 2010 yaitu sebanyak

41.081 kasus, yang meninggal 274 orang dengan Case Fatality Rate

sebesar 0,67 %.5

C. Etiologi

Sembilan puluh enam persen (96%) kasus demam tifoid

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi, sisanya sebanyak 4%

disebabkan oleh Salmonella paratyphi.4

Manusia adalah satu-satunya penjamu yang alamiah dan

merupakan reservoir untuk Salmonella typhi. Bakteri tersebut dapat

bertahan hidup selama berhari-hari di air tanah, air kolam, atau air laut dan

selama berbulan-bulan dalam telur yang sudah terkontaminasi atau tiram

yang dibekukan. Pada daerah endemik, infeksi paling banyak terjadi pada

5
musim kemarau atau permulaan musim hujan. S.typhi yang infeksius

adalah 103-106 organisme yang tertelan secara oral. Infeksi dapat

ditularkan melalui makanan atau air yang terkontaminasi oleh feses. Di

Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang

berusia 3-19 tahun. Selain itu, demam tifoid di Indonesia juga berkaitan

dengan rumah tangga, yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat

terkena demam tifoid, tidak adanya sabun untuk mencuci tangan,

menggunakan piring yang sama untuk makan, dan tidak tersedianya

tempat buang air besar dalam rumah. Berikut ini gambar mengenai

insidens demam tifoid dan usia rata-rata pasien dari studi mengenai

demam tifoid di 5 negara Asia, yang salah satunya adalah Indonesia.6

D. Patogenesis

Patogenesis demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang

melalui beberapa tahapan. Setelah kuman Salmonella typhi tertelan,

kuman tersebut dapat bertahan terhadap asam lambung dan masuk ke

dalam tubuh melalui mukosa usus pada ileum terminalis. Di usus, bakteri

melekat pada mikrovili, kemudian melalui barier usus yang melibatkan

mekanisme membrane ruffling, actin rearrangement, dan internalisasi

dalam vakuola intraseluler. Kemudian Salmonella typhi menyebar ke

sistem limfoid mesenterika dan masuk ke dalam pembuluh darah melalui

sistem limfatik. Bakteremia primer terjadi pada tahap ini dan biasanya

tidak didapatkan gejala dan kultur darah biasanya masih memberikan hasil

6
yang negatif. Periode inkubasi ini terjadi selama 7-14 hari. Bakteri dalam

pembuluh darah ini akan menyebar ke seluruh tubuh dan berkolonisasi

dalam organ-organ sistem retikuloendotelial, yakni di hati, limpa, dan

sumsum tulang. Kuman juga dapat melakukan replikasi dalam makrofag.

Setelah periode replikasi, kuman akan disebarkan kembali ke dalam sistem

peredaran darah dan menyebabkan bakteremia sekunder sekaligus

menandai berakhirnya periode inkubasi. Bakteremia sekunder

menimbulkan gejala klinis seperti demam, sakit kepala, dan nyeri

abdomen. Bakteremia dapat menetap selama beberapa minggu bila tidak

diobati dengan antibiotik. Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas di hati,

limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan Peyer’s patches di mukosa

ileum terminal. Ulserasi pada Peyer’s patches dapat terjadi melalui proses

inflamasi yang mengakibatkan nekrosis dan iskemia. Komplikasi

perdarahan dan perforasi usus dapat menyusul ulserasi. Kekambuhan

dapat terjadi bila kuman masih menetap dalam organ-organ sistem

retikuloendotelial dan berkesempatan untuk berproliferasi kembali.

Menetapnya Salmonella dalam tubuh manusia diistilahkan sebagai

pembawa kuman atau carrier.6

E. Gejala Klinis

Setelah seorang terinfeksi S. typhi, periode asimtomatik

berlangsung 7 sampai 14 (kisaran 3-60) hari. Awitan bakteremia ditandai

gejala demam dan malaise. Pasien pada umumnya datang ke RS

menjelang akhir minggu pertama setelah terjadi gejala demam, gejala

7
mirip influenza, nyeri kepala, anoreksia, nausea, nyeri perut, batuk kering

dan mialgia. Lidah kotor, nyeri abdomen, diare, hepatomegali dan

splenomegali sering ditemukan. Bradikardia relatif dan konstipasi dapat

ditemukan pada demam tifoid, namun bukan gejala yang konsisten

ditemukan di beberapa daerah geografis lainnya. Demam akan meningkat

secara progresif dan pada minggu kedua, demam seringkali tinggi dan

menetap (39-40 derajat celsius). Beberapa rose spot, lesi makulopapular

dengan diameter sekitar 2-4 mm, dilaporkan pada 5%-30% kasus yang

tampak terutama pada abdomen dan dada.7

Setelah 7-14 hari tanpa keluhan atau gejala, dapat muncul keluhan

atau gejala yang bervariasi mulai dari yang ringan dengan demam yang

tidak tinggi, malaise, dan batuk kering sampai dengan gejala yang berat

dengan demam yang berangsur makin tinggi setiap harinya, rasa tidak

nyaman di perut, serta beraneka ragam keluhan lainnya. Gejala yang

biasanya dijumpai adalah demam sore hari dengan serangkaian keluhan

klinis, seperti anoreksia, mialgia, nyeri abdomen, dan obstipasi. Dapat

disertai dengan lidah kotor, nyeri tekan perut, dan pembengkakan pada

stadium lebih lanjut dari hati atau limpa atau kedua-duanya. Pada anak,

diare sering dijumpai pada awal gejala yang baru, kemudian dilanjutkan

dengan konstipasi. Konstipasi pada permulaan sering dijumpai pada orang

dewasa. Walaupun tidak selalu konsisten, bradikardi relatif saat demam

tinggi dapat dijadikan indikator demam tifoid. Pada sekitar 25% dari

kasus, ruam makular atau makulopapular (rose spots) mulai terlihat pada

8
hari ke 7-10, terutama pada orang berkulit putih, dan terlihat pada dada

bagian bawah dan abdomen pada hari ke 10-15 serta menetap selama 2-3

hari. Sekitar 10-15% dari pasien akan mengalami komplikasi, terutama

pada yang sudah sakit selama lebih dari 2 minggu. Komplikasi yang sering

dijumpai adalah reaktif hepatitis, perdarahan gastrointestinal, perforasi

usus, ensefalopati tifosa, serta gangguan pada sistem tubuh lainnya

mengingat penyebaran kuman adalah secara hematogen. Bila tidak

terdapat komplikasi, gejala klinis akan mengalami perbaikan dalam waktu

2-4 minggu.6

F. Diagnosis

Untuk mendiagnosa suatu demam tifoid, kita perlu melakukan anamnesis

secara sistematis, pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan laboratorium.

Anamnesis 3,7

a) Riwayat demam terus – menerus selama 7 hari atau lebih, tinggi

pada sore / malam daripada pagi / siang. Demam naik secara

bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada akhir minggu

pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi.

b) Anak delirium, malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri

perut, diare atau konstipasi, muntah, perut kembung.

c) Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran,

kejang, dan ikterus.

9
Pemeriksaan Fisis

Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan

komplikasi. Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar anak

mempunyai lidah tifoid, meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai

daripada splenomegali. Kadang – kadang terdengar ronkhi pada

pemeriksaan paru.7

Pemeriksaan fisis dapat ditemukan kesan tifosa atau status tifosa

yaitu : kesadaran menurun, rambut kering, kulit kering, bibir kering /

terbelah – belah / terkupas / berdarah, lidah kotor (yaitu di bagian tengah

kotor dan bagian pinggir hiperemis), dan pucat.3

Pemeriksaan Penunjang

a) Pemeriksaan Hematologi

Pemeriksaan hematologi untuk demam tifoid tidak spesifik. Hitung

leukosit yang rendah sering berhubungan dengan demam dan

toksisitas penyakit, namun kisaran jumlah leukosit bisa lebar. Pada

anak yang lebih muda leukositosis bisa mencapai 20.000-

25.000/mm3. Trombositopenia dapat merupakan marker penyakit

berat dan disertai dengan koagulasi intravaskular diseminata.

Pemeriksaan fungsi hati dapat berubah, namun gangguan hati yang

bermakna jarang ditemukan.7

b) Pemeriksaan Widal

Pemeriksaan Widal mengukur kadar antibodi terhadap antigen O

dan H dari S. typhi dan sudah digunakan lebih dari 100 tahun.

10
Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah

dan penggunaannya sebagai satu-satunya pemeriksaan penunjang di

daerah endemis dapat mengakibatkan overdiagnosis. Kadar aglutinin

tersebut diukur dengan menggunakan pengenceran serum berulang.

Pada umumnya antibodi O meningkat di hari ke-6-8 dan antibodi H

hari ke 10-12 sejak awal penyakit.

Interpretasi pemeriksaan Widal harus dilakukan secara hati-hati

karena beberapa faktor mempengaruhi hasilnya, antara lain stadium

penyakit, pemberian antibiotik, teknik laboratorium, endemisitas

penyakit tifoid, gambaran imunologi masyarakat setempat, dan

riwayat imunisasi demam tifoid. Sensitivitas dan spesifisitas rendah

tergantung kualitas antigen yang digunakan bahkan dapat memberikan

hasil negatif pada 30% sampel biakan positif demam tifoid.

Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas 40%, spesifisitas

91,4%, dan nilai prediksi positif 80%. Hasil pemeriksaan Widal positif

palsu dapat terjadi oleh karena reaksi silang dengan non-typhoidal

Salmonella, enterobacteriaceae, pemeriksaan dilakukan di daerah

endemis infeksi dengue dan malaria, riwayat imunisasi tifoid, dan

preparat antigen komersial yang bervariasi serta standardisasi yang

kurang baik. Pemeriksaan Widal seharusnya dilakukan 1-2 minggu

kemudian sehingga kenaikan 4 kali, terutama agglutinin O memiliki

nilai diagnostik yang penting untuk demam tifoid. Titer aglutinin O

yang positif dapat berbeda dari >1/80 sampai >1/320 antar

11
laboratorium tergantung endemisitas demam tifoid di masyarakat

setempat dengan catatan 8 bulan terakhir tidak mendapat vaksinasi

atau baru sembuh dari demam tifoid.

Pemeriksaan Widal pada serum akut satu kali saja tidak

mempunyai arti penting dan sebaiknya dihindari oleh karena beberapa

alasan, yaitu variablitas alat pemeriksaan, kesulitan memperoleh titer

dasar dengan kondisi stabil, paparan berulang S.typhi di daerah

endemis, reaksi silang terhadap non-Salmonella lain, dan kurangnya

kemampuan reprodusibilitas hasil pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan

serologi untuk aglutinin Salmonella seperti pemeriksaan Widal

bahkan tidak dianjurkan.7

c) Pemeriksaan Serologi Darah

Pemeriksaan diagnostik baru saat ini tersedia, seperti Typhidot

atau Tubex yang mendeteksi antibodi IgM antigen spesifik O9

lipopolisakarida dari S. typhi. Dalam dua dekade ini, pemeriksaan

antibodi IgM dan IgG spesifik terhadap antigen S. typhi berdasarkan

enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) berkembang. Antigen

dipisahkan dari berbagai struktur subselular organisme antara lain:

liposakarida (LPS), outer membrane protein (OMP), flagella (d-H),

dan kapsul (virulence [Vi] antigen). Telah banyak penelitian yang

membuktikan bahwa pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan

spesifisitas hampir 100% pada pasien demam tifoid dengan biakan

darah positif S. typhi. Pemeriksaan antibodi IgM terhadap antigen O9

12
lipopolisakarida S.typhi (Tubex) dan IgM terhadap S.typhi (Typhidot)

memiliki sensitivitas dan spesifitas berkisar 70% dan 80%. Tabel 2

memperlihatkan perbandingan beberapa pemeriksaan penunjang untuk

demam tifoid.

Pemeriksaan serologi tersebut dapat dibaca secara visual dalam

waktu 10 menit dengan membandingkan warna akhir reaksi terhadap

skala warna dan nilai > 6 dianggap sebagai positif kuat. Namun

interpretasi hasil serologi yang positif harus dilakukan secara hati-hati

13
pada kasus tersangka demam tifoid di daerah endemis karena IgM

dapat bertahan sampai 3 bulan, sedangkan IgG sampai 6 bulan.7

d) Pemeriksaan PCR

Pemeriksaan whole blood culture PCR terhadap S. typhi hanya

membutuhkan waktu kurang dari 8 jam dan memiliki sensitivitas yang

tinggi sehingga lebih unggul dibanding pemeriksaan biakan darah

biasa yang membutuhkan waktu 5-7 hari. In-flagelin PCR terhadap S.

typhi memiliki sensitivitas 93,58% dan spesifisitas 87,9%.

Pemeriksaan nested polymerase chain reaction(PCR) menggunakan

primer H1-d dapat digunakan untuk mengamplifikasi gen spesifik S.

typhi dari darah pasien dan merupakan pemeriksaan diagnostik cepat

yang menjanjikan. Pemeriksaan nested PCR terhadap gen flagelin

(fliC) dari S. typhi dapat dideteksi dari spesimen urin 21/22 (95.5%),

dikuti dari spesimen

darah 20/22 (90%), dan tinja 15/22 (68.1%).7

e) Pemeriksaan Urin

Pemeriksaan ELISA terhadap antibodi monoklonal spesifik antigen 9

grup D Salmonella dari spesimen urin pada satu kali pemeriksaan

memiliki sensitivitas 65%, namun pemeriksaan urin secara serial

menunjukkan sensitivitas 95%. Pemeriksaan ELISA menggunakan

antibodi monoklonal terhadap antigen 9 somatik (O9),antigen d

flagella (d-H), dan antigen virulensi kapsul (Vi) pada spesimen urin

14
memiliki sensitivitas tertinggi pada akhir minggu pertama, yaitu

terhadap ketiga antigen Vi terdeteksi pada 9 kasus (100%), O9 pada 4

kasus (44%) dan d-H pada 4kasus (44%). Spesifisitas untuk Vi lebih

dari 90% sehingga deteksi antigen Vi pada urin menjanjkan untuk

menunjang diagnosis demam tifoid, terutama dalam minggu pertama

sejak timbulnya demam.7

f) Pemeriksaan Antibodi IgA dari Spesimen Saliva

Pemeriksaan diagnostik yang mendeteksi antibodi IgA dari

lipopolisakarida S.typhi dari spesimen saliva memberikan hasil positif

pada 33/37 (89,2%) kasus demam tifoid. Pemeriksaan ELISA ini

menunjukkan sensitivitas 71,4%, 100%, 100%, 9,1% dan 0% pada

minggu pertama, kedua, ketiga, keempat, dan kelima perjalanan

penyakit demam tifoid.7

G. Indikas Rawat

Demam tifoid berat harus dirawat inap di rumah sakit.4

1) Cairan dan Kalori

a. Terutama pada demam tinggi, muntah, atau diare, bila perlu

asupan cairan dan kalori diberikan melalui sonde lambung.

b. Pada ensefalopati, jumlah kebutuhan cairan dikurangi menjadi

4/5 kebutuhan dengan kadar natrium rendah.

c. Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskular dan jaringan.

d. Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik.

15
e. Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu berikan O2.

f. Pelihara keadaan nutrisi

g. Pengobatan gangguan asam basa dan elektrolit

2) Antipiretik, diberikan apabila demam >39oC, kecuali pada pasien

dengan riwayat kejang demam dapat diberikan lebih awal.

3) Diet

a. Makanan tidak berserat dan mudah dicerna.

b. Setelah demam reda, dapat segera diberikan makanan yang

lebih padat dengan kalori cukup.

4) Transfusi Darah

Kadang – kadang diperlukan pada perdarahan saluran cerna dan

perforasi usus.

H. Penatalaksanaan

Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid

sebagai berikut Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah

komplikasi dan mempercepat penyembuhan, diet dan terapi penunjang

(simtomatik dan suportif) dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan

kesehatan pasien secara optimal, pemberian antimikroba, dengan tujuan

menghentikan dan mencegah penyebaran kuman.

a) Istirahat mutlak / tirah baring.3

Anak terus berbaring di tempat tidur dan letak baring harus sering

diubah. Lamanya istirahat baring berlangsung sampai 5 hari bebas

16
demam, dilanjutkan dengan mobilisasi secara bertahap sebagai

berikut:

 Hari 1 bebas demam  duduk 2 x 15 menit

 Hari 2 bebas demam  duduk 2 x 30 menit

 Hari 3 bebas demam  jalan

 Hari 4 bebas demam  pulang

Apabila selama mobilisasi bertahap ada kecenderungan suhu

meningkat, maka “istirahat mutlak" diulangi kembali.

b) Diet

Pada pasien demam tifoid diberikan makanan seperti biasa, namun

pada keadaan khusus seperti:3

- Makanan cair per sonde (bila kesadaran jelas menurun dan

anoreksia)

- IVFD (bila ada dehidrasi berat, keadaan toksis, komplikasi berat).

Maksud IVFD pada keadaan - keadaan ini adalah:

17
o Menanggulangi gangguan sirkulasi

o Menjamin intake (keseimbangan cairan dan elektrolit)

o Pemberian obat - obatan intravena berkesinambungan.

Menanggulangi sirkulasi

o Renjatan  Ringer Laktat : 20 - 30 cc/kg BB/Jam.

o Renjatan berat (profound shock)  Ringer Laktat diguyur

sampai tekanan darah terukur dan nadi teraba, kemudian

jumlah cairan yang diberikan disesuaikan dengan keadaan

penderita.

o Diare dehidrasi  sesuai dengan protokol gastroenterologi.

c) Pemberian Antibiotik

Dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman,

obat-obat anti mikroba yang sering digunakan untuk mengobati tifoid

antara lain adalah sebagai berikut: 3,4

 Klomrafenikol (drug of choice)

o Dosis : 50 - 100 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 atau 4 dosis

per oral atau parenteral, sesuai keadaan penderita.

o Diberikan selama 10 hari untuk demam tifoid ringan dan 14

hari untuk demam tifoid berat (keadaan toksik dan

komplikasi berat, bronkitis, pneumonia) atau masih demam

setelah 10 hari pemberian kloramfenikol.

18
 Kotrimoksazol merupakan obat pilihan apabila resistensi atau

intoksikasi terhadap kloramfenikol. Kotrimoksazol 6 mg/KgBB/hari

oral dibagi dalam 2 dosis, digunakan selama 10 hari.

 Amoksisilin merupakan obat pilihan lain. Dosis : 100mg/kgBB/hari

oral atau IV dibagi dalam 3 atau 4 dosis, digunakan selama 10 hari.

 Sefalosporin generasi ketiga hingga saat ini golongan sefalosporin

generasi ketiga yang terbukti efektif untuk demam tifoid adalah

seftriakson, dosis yang dianjurkan adalah 100 mg/KgBB/hari,

intravena atau intramuskular sekali sehari selama 5 hari.

 Sefiksim 10 mg/kKgBB/hari oral, dibagi dalam 2 dosis selama 10

hari.

 Kortikosteroid diberikan pada kasus berat dengan gangguan

kesadaran. Deksametason 1-3 mg/KgBB/Hari intravena dibagi dalam

3 dosis hingga kesadaran membaik.4

 Pemberian kortikosteroid dengan indikasi keadaan toksik atau

komplikasi berat seperti perdarahan, perforasi usus, atau ensefalitis.

Deksametason 1 mg/kgBB/hari intravena selama 2-3 hari, kemudian

dilanjutkan dengan prednison 2 mg/kgBB/hari sampai dengan 2

minggu.3

Pada laporan kasus yang dilakukan oleh Reisha Ghassani bahwa

manajemen yang dilakukan sebagian besar pasien demam tifoid dapat

diobati di rumah dengan tirah baring, isolasi yang memadai, pemenuhan

kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik. Sedangkan untuk

19
kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit

serta nutrisi di samping observasi kemungkinan timbul penyulit dapat

dilakukan dengan seksama.8

Pengobatan antibiotik merupakan pengobatan utama karena pada

dasarnya patogenesis infeksi S. typhi berhubungan dengan keadaan

bakterimia. World Health Organization (WHO) merekomendasikan anak

dengan demam tifoid diterapi dengan fluoroquinolone (Ciprofloxacin,

Gatifloxacin, Ofloxacin, and Perfloxacin) sebagai pengobatan lini pertama

selama 7-10 hari. Dosis ciprofloxacin oral adalah 2x15 mg/kgBB/hari.

selama 7–10 hari. Jika respon terhadap pengobatan menunjukkan hasil

yang jelek, maka diberikan antibiotik lini kedua, seperti cephalosporin

generasi ke-3 atau azithromycin. Dosis ceftriaxone (IV) adalah 80

mg/kgB/hari selama 5–7 hari, atau Azithromycin: 20 mg/kgBB/hari

selama 5–7 hari (WHO, 2003).8

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) masih menggunakan

kloramfenikol sebagai pilihan pertama pada demam tifoid. Dosis yang

diberikan adalah 100mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama

10–14 hari atau sampai 5–7 hari setelah demam turun, sedang pada kasus

dengan malnutrisi atau penyakit, pengobatan dapat diperpanjang sampai

21 hari, 4–6 minggu untuk osteomielitis akut, dan 4 minggu untuk

meningitis. Ampisilin memberikan respon perbaikan klinis yang kurang

apabila dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah

200 mg/kgBB/ hari diabagi dalam 4 kali pemberian secara intravena.

20
Amoksisilin dengan dosis 100 mg/kg BB/ hari dibagi dalam 4 kali

pemberian peroral memberikan hasil yang setara dengan kloramfenikol

walaupun penurunan demam lebih lama. Kombinasi trimethoprim

sulfametokzasol (TMP-SMZ) memberikan hasil yang kurang baik

dibanding kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah TMP 10

mg/kgBB/hari atau SMZ 50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis.8

Di beberapa negara sudah dilaporkan kasus demam tifoid yang

resisten terhadap kloramfenikol. Strain yang resisten umumnya rentan

terhadap sefalosporin generasi ketiga. Pemberian sefalosporin generasi

ketiga seperti ceftriaxone 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 1 atau 2 dosis

(maksimal 4g/hari) selama 5–7 hari atau cefotaxime 150– 200

mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis efektif pada isolat yang rentan.

Akhir–akhir ini cefixime oral 10–15 mg/kgBB/hari selama 10 hari dapat

diberikan sebagai alternatif, terutama apabila jumlah leukosit <2000/µl

atau dijumpai resistensi terhadap S. Typhi. Penatalaksanaan yang telah

diberikan pada pasien ini meliputi upaya untuk meningkatkan kualitas

hidup. Dalam penatalaksanaann seorang dokter perlu memperhatikan

pasien seutuhnya, tidak hanya gejala dan tanda namun psikologisnya.8

21
I. Komplikasi

 Pendarahan usus

Komplikasi perdarahan ditandai dengan hematochezia. Dapat juga

diketahui dengan pemeriksaan feses (occult blood test). Komplikasi ini

ditandai dengan gejala akut abdomen dan peritonitis. Pada foto polos

abdomen 3 posisi dan pemeriksaan klinis bedah didapatkan gas bebas

dalam rongga perut. 7

 Perforasi usus

 Ileus paralitik

 Pankreatitis

J. Prognosis

Evaluasi demam dengan memantau suhu, apabila pada hari ke 4-5

setelah pengobatan demam tidak membaik, maka segera evaluasi kembali

apakah terdapat komplikasi, sumber infeksi lain, resistensi S.typhi

terhadap antibiotik, atau kemungkinan salah menegakkan diagnosis.

Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam

tanpa antipiretik, nafsu makan membaik, dan tidak dijumpai komplikasi.

Pengobatan dapat dilanjutkan dirumah.4

22
BAB 3

KESIMPULAN

Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram

negatif Salmonella typhi. Manifestasi klinik pada anak umumnya bersifat lebih

ringan dan lebih bervariasi. Demam adalah gejala yang paling konstan di antara

semua penampakan klinis. Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala

menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya seperti demam, sakit kepala,

mual, muntah, nafsu makan menurun, sakit perut, diare atau sulit buang air

beberapa hari, sedangkan pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu tubuh

meningkat dan menetap. Suhu meningkat terutama sore dan malam hari. Setelah

minggu ke dua maka gejala menjadi lebih jelas demam yang tinggi terus menerus,

nafas berbau tak sedap, kulit kering, rambut kering, bibir kering pecah-pecah

/terkupas, lidah ditutupi selaput putih kotor, ujung dan tepinya kemerahan dan

tremor, pembesaran hati dan limpa dan timbul rasa nyeri bila diraba, perut

kembung. disertai gangguan kesadaran dari yang ringan letak tidur pasif, acuh tak

acuh (apatis) sampai berat (delirium, koma).

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Purba,Ivan E dkk. Program Pengendalian Demam Tifoid di Indonesia :

tantangan dan peluang. 2016. Vol.26. Media Litbangkas. Universitas Sari

Mutiara Indonesia, Medan, Sumatera Utara.

2. Sahrir, Agusyanti dkk. Profil Kesehatan Sulawesi Selatan 2014. Dinas

Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan. 2015. Halaman 31-32

3. Pedoman Praktik Klinik Rumah Sakit Umum Daerah Undata. 2015.

Departemen Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Universitas

Tadulako. Palu. Halaman 5-10

4. Pudjiadi, AH, dkk. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak

Indonesia. Edisi II. 2011. Halaman 47-49

5. Pramitasari, OP. Faktor Risiko Kejadian Penyakit Demam Tifoid Pada

Penderita Yang Dirawat Di Rumah Sakit Umum Daerah Ungaran. Jurnal

Kesehatan Masyarakat 2013. Volume 2. Nomor 1. Tahun 2013

6. Nelwan, RHH. Tatalaksana Terkini Demam Tifoid. Divisi Penyakit Tropis

dan Infeksi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012. Jakarta

7. Hadinegoro, SR dkk. Update Management of Infectious Disease and

Gastrointestinal Disorders. Departemen Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. 2011. Halaman 1-14

8. Ghassani, R. Management of Typhoid Fever in Infants with Irregular

Eating Patterns and Knowledge PHBS of Mothers on Scant. J.Medula

Unila. Volume 3 Nomor 1. September 2014. Fakultas Kedokteran

Universitas Lampung

24
1
Purba,Ivan E dkk. Program Pengendalian Demam Tifoid di Indonesia : tantangan dan peluang.
2016. Vol.26. Media Litbangkas. Universitas Sari Mutiara Indonesia, Medan, Sumatera Utara.
2
Sahrir, Agusyanti dkk. Profil Kesehatan Sulawesi Selatan 2014. Dinas Kesehatan Provinsi
Sulawesi Selatan. 2015. Halaman 31-32
3
Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. 2013. Departemen ilmu kesehatan anak FK UNHAS.
SMF Anak RS Dr.Wahidin Sudirohusodo. Makassar. Halaman 5-10
4
Pudjiadi, AH, dkk. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Edisi II. 2011.
Halaman 47-49
5
Pramitasari, OP. Faktor Risiko Kejadian Penyakit Demam Tifoid Pada Penderita Yang Dirawat Di
Rumah Sakit Umum Daerah Ungaran. Jurnal Kesehatan Masyarakat 2013. Volume 2. Nomor 1.
Tahun 2013
6
Nelwan, RHH. Tatalaksana Terkini Demam Tifoid. Divisi Penyakit Tropis dan Infeksi. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2012. Jakarta
7
Hadinegoro, SR dkk. Update Management of Infectious Disease and Gastrointestinal Disorders.
Departemen Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011. Halaman 1-
14
8
Ghassani, R. Management of Typhoid Fever in Infants with Irregular Eating Patterns and
Knowledge PHBS of Mothers on Scant. J.Medula Unila. Volume 3 Nomor 1. September 2014.
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

25

Anda mungkin juga menyukai