Anda di halaman 1dari 25

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMBELI DALAM PERJANJIAN JUAL

BELI SECARA KREDIT’’


A. Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara berkembang yang pada saat ini sedang giat-

giatya melakukan pembangunan disegala bidang. Pembangunan dilakukan secara

bertahap, berkesinambungan, berjangka panjang. Hasil dari pembangunan di segala

bidang diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan seluruh

lapisan masyarakat Indonesia. Dengan demikian dapat terpenuhi tujuan-tujuan

pembangunan nasional di Indonesia yaitu tercapainya masyarakat yang adil dan

makmur, serta mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin bagi seluruh rakyat

Indonesia.

Manusia sebagai makhluk individu dan sosial, mempunyai berbagai

kebutuhan hidup yaitu primer (pokok) dan kebutuhan skunder (tambahan) salah

satu diantara sekian banyak kebutuhan pokok manusia adalah berupa rumah atau

tempat tinggal. Manusia memandang kebutuhan akan rumah merupakan suatu hal

yang sangat penting dan harus dipenuhi dengan sebaik-baiknya. Bahkan tidak

jarang menimbulkan anggapan-anggapan dari sebagian masyarakat meskipun

hanya dalam bentuk yang sederhana, suatu kehidupan terasa belum lengkap jika

belum memiliki rumah atau tempat tinggal sendiri. Dikarenakan rumah memiliki

fungsi yang sangat penting bagi manusia, yaitu sebagai tempat tinggal, tempat

membina keluarga, dan sebagai tempat untuk melindungi keluarga.

Untuk memenuhui kebutuhan rumah yang baik dan layak untuk ditepati,

masyarakat membeli rumah melalui jasa pengembang atau oleh masyarakat lebih

dikenal dengan perusahaan properti. Berbagai penawaran dilakukan oleh

perusahaan-perusahaan properti untuk mempromosikan dan menawarkan produk-


produknya yang pada umumnya pemasaran rumah-rumah dilakukan dengan

menggunakan sarana iklan atau brosur sarana untuk mengkomunikasikan produk-

produk yang dibuat dan/atau dipasarkan oleh perusahaan properti kepada

konsumen.

Perkembangan penduduk yang sangat pesat dan perkembangan ekonomi

yang tidak stabil berdampak pada sulitnya individu untuk memiliki rumah.

Permasalahan di masyarakat mendapat respon positif dari para pengusaha yang

bergerak pada bidang perumahan. Para pengusaha menyediakan tempat tinggal

dengan ukuran dan tipe guna dapat memenuhi keinginan pembeli sesuai dengan

kondisi keuangan yang dimiliki individu.

Rumah-rumah yang dibangun oleh jasa pengembang (developer) dalam

suatu wilayah tertentu dijual oleh perusahaan secara cash dan kredit. Dalam

kehidupan sehari-hari, kata kredit bukan merupakan perkataan yang asing bagi

masyarakat kita. Perkataan kredit tidak saja dikenaldi kota-kota besar, tetapi

sampai didesa-desa pun kata kredit sudah sangat populer. Manusia adalah homo

economicius dan manusia selalu berusaha memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan

manusia beraneka ragam sesuai dengan harkatnya yang selalu meningkat,

sedangkan kemampuan untuk mencapai sesuatu yang diingikannya itu terbatas. Hal

ini menyebabkan manusia memerlukan bantuan untuk memenuhi kebutuhan hasrat

dan cita-citanya. Yaitu salah satunya adalah memiliki rumah.

Menurut Undang-undang No. 10 Tahun 1998 Tentang pokok-pokok

perbankan, yang dimaksud dengan kredit adalah :

“penyediaan uang atau tagihan-tagihan yang dapat yang disamakan dengan


itu berdasarkan persetujuan pinjam meminjam antara bank dengan pihak
lain dalam hal mana pihak meminjam berkewajiban melunasi utangnya
dalam jangka waktu yang tertentu dengan jumlah bunga yang telah
ditetapkan”1
Kredit dapat meningkatkan daya guna dan peredaran barang. Dengan

mendapat kredit, masyarakat yang ingin memiliki rumah dapat melakukan jual beli

dengan sistem kredit. Pembeli rumah secara kredit merupakan pembelian barang

yang pembayarannya dapat diangsur.

Manusia meningkatkan usahanya atau untuk meningkatkan daya guna suatu

barang yaitu rumah, ia memerlukan bantuan dalam bentuk modal. Bantuan dari bank

dalam bentuk penambahan modal inilah yang disebut dengan kredit. Bank akan

memberikan pinjaman modal dengan syarat-syarat tertentu.

Rachmadi Usman mengatakan :

“mengingat pentingnya dana perkreditan tersebut dalam proses


pembangunan, sudah seharusnya jika pemberi dan penerima kredit dengan
melalui suatu lembaga mendapat perlindungan melalui lembaga hak
jaminan yang kuat dan yang dapat memberikan kepastian hukum bagi
semua pihak yang berkepentingan”.2
Bagi para pihak yang terlibat dalam penjualan perumahan secara kredit

akan mendapatkan perlindungan hukum apabila para pihak tersebut mempunyai

bukti tertulis dalam suatu ikatan perjanjian jual beli perumahan secara kredit. Pasal

1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata perjanjian adalah suatu perbuatan

dengan mana satu orang atau lebih atau lebih meningkatkan dirinya terhadap satu

orang lain atau lebih. Perjanjian adalah persetujuan yang dirumuskan secara tertulis

yang melahirkan bukti tentang adanya hak dan kewajiban. Jual beli adalah suatu

perjanjian timbal balik antara pihak satu menyerahkan hak milik atas suatu barang,

pihak lainnya berjanji untuk membayar dengan harga yang terdiri atas sejumlah

1
Undang-undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan
2
Rachmadi Usman, Pasal-Pasal Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah, Jakarta,
djambatan,1999.hal,24.
uang sebagai imbalan dari prolehan hak milik tersebut. Seseorang atau suatu badan

yang memberikan kredit percaya bahwa menerima kredit dimasa mendatang akan

sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah dijanjikan itu dapat berupa

barang,uang, atau jasa.

Pemberian kredit yang dilakukan oleh pihak bank kepada nasabah untuk

membayar pembelian rumah atas dasar kepercayaan dan keyakinan bahwa nasabah

yang akan menerima kredit itu mampu dan mau mengembalikan kredit yang telah

diterimanya. Dari faktor kemampuan dan kemauan tersebut tersimpul keamanan

(safety) dan skaligug juga unur keuntungan ( profitability) dari syatu kredit. Dan

kedua unsur tersebut berkaitan.

Ada tiga pihak yang yang terkait dalam perjanjian jual beli rumah, yaitu

debitur, kreditur dan pihak ketiga.kreditur disini berkedudukan sebagai pemberi

kredit atau orang yang berpiutang. Sedangkan debitur adalah orang yang mendapat

pinjaman uang atau berhutang. Pihak ketiga adalah orang akan menjadi penanggung

utang debitur (developer) kepada kreditur. Pihak pengusaha perumahan

memberikan jaminan sertifikat rumah kepada bank sebagai agunan atas pemberi

kredit yang diberikan pihak bank kepada nasabah.

Kenyataan sekarang ini, masih banyak pembeli kredit pemilikan rumah

yang belum sepenuhnya menjalankan kewajiban yang sudah ditentukan oleh bank

yaitu mengembalikan atau mengangsur kredit yang sudah diperoleh oleh pembeli.

Akibat kelalaian yang dilakukan oleh pihak pembeli kredit akan merugikan pihak

bank untuk mengembangkan usahanya dalam memberikan kredit pemilikan rumah

kepada calon pembeli lainnya. Dampak lainnya, bagi bank untuk ikut melaksanakan
program pemerintahan dalam menciptakan sarana perumahan sederhana atau bagi

golongan ekonomi menengah ke bawah menjadi terhambat.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat diketahui bahwa permasalahan tentang

pemberian kredit guna membeli rumah perlu adanya perlindungan hukum bagi para

pihak yang terlibat. Perlindungan hukum dapat memiliki para pihak setelah para

pihak yang terlibat dalam jual beli secara kredit melakukan perjanjian yang disebut

dengan perjanjian jual beli. Oleh sebab itu, dapat penelitian ini dipilih judul: ‘’

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMBELI DALAM PERJANJIAN

SECARA KREDIT’’.

B. PERUMUSAN MASALAH

Perumusan masalah ini disusun dalam bentuk suatu kalimat tanya,

berdasarkan apa yang telah diuraikan sebelumnya. Yang dimana dipermasalahkan

dalam penelitian ini adalah mengenai perlindungan hukum terhadap proses jual beli

perumahan secara kredit.perlindungan hukum terhadap proses jual beli perumahan

secara kredit ini meliputi:

1. Bagaimanakah pelaksanaan proses perjanjian jual beli rumah secara kredit

antara developer, pembeli dan pihak bank?

2. Bagaimanakah upaya hukum yang dapat dilakukan para pihak yang

melakukan perjanjian apabila terjadinya wanprestasi?


C. Tujuan dan Manfaat penelitian

a. Tujuan penelitian

Tujuan dari penelitian akan memudahkan peneliti untuk membahas

permasalahan secara fokus sesuai dengan perumusan masalah. Adapun tujuan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a) Ingin mengetahui proses perjanjian jual beli rumah secara kredit antara

developer, pembeli dan bank.

b) Ingin mengetahui bagaimana taggungjawab para pihak yang melanggar

perjanjian apabila terjadinya wansprestasi.

b. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberi manfaat sebagai berikut :

a) Bagi masyarakat

Memberi sumbangan informasi dan pemahaman kepada masyarakat tentang

perlindungan hukum terhadap proses perjanjian jual beli perumahan secara kredit.

b) Bagi ilmu pengetahuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

bagi perkembangan ilmu pengetahuan,

c) Bagi peneliti

Penelitian ini bermanfaat bagi peneliti untuk menambah pengetahuan dan

pengalaman tentang pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pembeli dalam

perjanjian secara kredit sehingga peneliti dapat memanfaatkan teori yang


diperoleh saat kuliah dalam pelaksanaan secara nyata. Selain itu, penelitian ini

dapat dijadikan sebagai salah satu kelengkapan untuk mendapatkan gelar sarjana

hukum.

D. Ruang Lingkup Penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan perumusan masalah serta untuk menjaga

agar tidak menimbulkan penafsiran yang terlalu luas mengenai masalah yang

akan di bahas, maka dalam penelitian ini perlu diberikan sesuatu perlu diberikan

suatu pembatasan yang membatasi ruang lingkup kajiannya. Adapun ruang

lingkup dalam penyusunan proposal ini adalah penyusun hanya menitik beratkan

permasalahan pada perlindungan hukum terhadap pembeli dalam perjanjian jual

beli perumahan secara kredit.

E. Orisinalitas penelitian

Adapun perbedaan persamaan penelitian ini dengan beberapa penelitian

terdahulu yaitu :

Ahmad Muiz (2017) melakukan penelitian yang berjudul perlindungan

hukum bagi pembeli rumah tinggal terhadap iklan perusahaan properti.

Persamaan penelitiannya adalah perlindungan hukum terhadap konsumen

ditinjau dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen dan sama-sama menggunakan metode penelitian secara normatif. Dan

Perbedaannya adalah

Marwan (2015) melakukan penelitian yang berjudul perlindungan

konsumen dalam kontrak jual beli rumah di perumahan harapan indah bekasi.

Persamaan penelitian ini adalah perlindungan hukumnya terhadap konsumen


ditinjau dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan

konsumen dan perbedaan penelitian menggunakan metode penelitian empiris

Suprianto (2018) melakukan penelitian yang berjudul pelaksanaan

perjanjian antara perusahaan developer dengan konsumen terhadap fasilitas dan

infrastruktur bangunan (studi kasus pada PT JAYA GRAHA). Persamaan

penelitian ini adalah perlindungan hukumnya terhadap konsumen ditinjau dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dan

perbedaan penelitian menggunakan metode empiris.

F. Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan umum mengenai perumahan

A. Pengertian perumahan

Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang

Perumahan dan Kawasan Permukiman, yang dimaksud dengan, perumahan

adalah:

“kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan

maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan

utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni.”

Secara fisik perumahan merupakan sebuah lingkungan yang terdiri dari

kumpulan unit-unit rumah tinggal dimana dimungkinkan terjadinya interaksi

sosial diantara penghuninya, serta dilengkapi dengan perasarana sosial, ekonomi,

budaya dan pelayanan yang merupakan subsistem dari kota secara keseluruhan.

Lingkungan ini biasanya mempunyai aturan-aturan, kebiasaan-kebiasaan serta

sistem nilai yang berlaku bagi warganya.


Pengertian perumahan seringkali dikaitkan dengan pembangunan sejumlah

rumah oleh berbagai instansi baik pemerintah maupun swasta dengan disain unit

rumah yang sama atau hampir sama. Jumlah rumah dan kelompok perumahan ini

tidak tertentu, dapat terdiri dari dua atau tiga rumah atau dapat juga sampai

ratusan rumah.Bentuknyapun tidak terbatas hanya pada bangunan satu lantai saja,

yang berderet secara horizontal, melainkan dapat juga merupakan bangunan

bertingkat yaitu merupakan rumah susun.

2. Tinjauan Umum Mengenai Perlindungan Hukum

A. Pengertian Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi

manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada

masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang harus diberikan

oleh hukum atau dengan kata lain perlindungan hukum adalah berbagai upaya

hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa

aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari

pihak manapun.

Perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta

pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum

berdasarkan ketentuan hukum dari kewenangan atau sebagai kumpulan peraturan

atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya. Berkaitan

dengan konsumen, berarti hukum memberi perlindungan terhadap hak-hak

pelanggan dari sesuatu yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak tersebut.

Dan menurut muchsin, perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk

melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-


kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakkan dalam menciptakan adanya

ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.

3. Tinjauan Umum Mengenai Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, definisi perjanjian batasannya telah

diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa suatu

persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.3

Hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah perjanjian itu

menerbitkan atau menimbulkan suatu perikatan.Perjanjian adalah sumber dari

perikatan di samping Undang-undang.Suatu perjanjian dinamakan juga

persetujuan, karena dua belah pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu.

Hubungan antara perikatan dengan perjanjian tersebut akan menimbulkan hukum

perjanjian. Menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

disebutkan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu

orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Menurut pendapat Wirjono Prodjodikoro yang menyatakan bahwa

perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua

pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untukmelakukan

sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu halsedang pihak lain berhak menuntut

pelaksanaan janji itu. 4

Hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah perjanjian itu

menerbitkan atau menimbulkan suatu perikatan.Perjanjian adalah sumber dari

3
Mariam Daruz Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III, Alumni, Bandung,
1996, hal. 323
4
Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, PT. Bale, Bandung, 1989, hal. 9
perikatan di samping Undang-undang.Suatu perjanjian sinamakan juga

persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Hubungan

antara perikatan dengan perjanjian tersebut akan menimbulkan hukum perjanjian.

Menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa

suatu perjanjian asalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

2. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian

Suatu perjanjian agar sah menurut hukum, maka harus memenuhi syarat-

syarat yang telah ditetapkan undang-undang, yaitu Pasal 1320 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa syarat sahnya perjanjian adalah:

a) Adanya kesepakatan di antara para pihak

b) Kecakapan untuk membuat sutau perjanjian

c) Suatu hal tertentu

d) Suatu sebab yang halal

Berkaitan dengan keempat syarat sahnya perjanjian di atas, maka akan

diuraikan sedikit mengenai keempat syarat tersebut, yaitu:

a. Adanya kesepakatan diantara para pihak

Persetujuan kehendak yang diberikan sifatnya harus bebas dan murni, artinya benar-

benar atas kema uan mereka sendiri, tidak ada paksaan dari pihak manapun. Dalam

persetujuan kehendak tidak ada kekhilafan dan penipuan (Pasal 1321, 1322, dan

1328 KUH Perdata).

b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiaporang adalah cakap untuk

membuat perikatan, jika oleh Undang-undang tidak dikatakan tidak cakap.

c. Suatu hal tertentu


Suatu hal tertentu dapat dikatakan sebagai obyek dari suatu perikatran atau isi dari

suatu perikatan yaitu prestasi yang harus dilakukan dan prestasi ini harus tertentu

dan dapat ditentukan menurut ukuran yang obyektif.

d. Suatu sebab yang halal

Sebab yang halal yaitu yang menjadi pokok persetujuan atau tujuan dari perjanjian

itu tidak bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban

umum.Dalam Pasal 1335 KUH Perdata disebutkan bahwa apabila suatu persetujuan

dibuat tanpa causa atau sebab yang halal, maka perjanjian tersebut dianggap tidak

pernah ada.

Keempat syarat sah di atas menyangkut 2 (dua) hal, yaitu syarat Subyektif

dan Syarat Obyektif.5Syarat Subyektif meliputi syarat sahnya perjanjian yang

pertama dan kedua.Disebut syarat yang subyektif karena syarat yang pertama dan

kedua mengenai subyek atau para pihak atau orang-orang yang melakukan

perjanjian.Jika syarat subyektif tidak terpenuhi maka akibat hukumnya adalah

perjanjian dapat dibatalkan.

Sedangkan untuk syarat obyektif meliputi syarat sahnya perjanjian yang

ketiga dan keempat.Dikatakan sebagai syarat obyektif karena syarat yang ketiga

dan keempat mengenai obyek perjanjian atau benda/hal tertentu yang

diperjanjikan.Jika syarat obyektif tidak terpenuhi maka akibat hukumnya adalah

perjanjian batal demi hukum.

1. Asas-asas dalam Perjanjian

Asas-asas yang terdapat dalam hukum perjanjian adalah sebagai berikut:

a. Asas Konsensualisme (Persesuaian Kehendak)

5
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2004, hal. 93
Asas Konsensualisme menyatakan bahwa Perjanjian terlahir dari kata

sepakat yang telah dicapai oleh para pihak.Asas Konsensualisme ini berarti bahwa

untuk melahirkan suatu perjanjian, cukup dengan dicapainya suatu kata sepakat

oleh para pihak.Asas Konsensualisme menentukan bahwa suatu perjanjian yang

dibuat oleh dua orang atau lebih telah mengikat sehingga telah melahirkan suatu

hubungan hukum yang berupa hak dan kewajiban dari masing-masing pihak dalam

perjanjian tersebut, segera setelah para pihak tersebut mencapai kesepakatan atau

konsensus meskipun hanya dicapai secara lisan.

b. Asas Kebebasan Berkontrak (Freedom of Contract)

Asas Kebebasan Berkontrak berarti bahwa setiap orang bebas melakukan

perjanjian berupa perjanjian apa saja, baik bentuknya, isinya, dan dengan siapa

perjanjian itu dibuat. Maksud dari Asas Kebebasan Berkontrak ini adalah dimana

setiap orang, siapa saja dapat membuat atau tidak membuat suatu perjanjian, bebas

untuk mengadakan perjanjian dengan siapapun, bebas untuk menentukan bentuk dan

isi perjanjian maupun bebas menentukan syarat-syarat dari perjanjian yang akan

dibuat, asalkan terdapat kesepakatan dari para pihak. Kebebasan dalam asas ini tetap

saja memiliki batasan, yaitu perjanjian tersebut akan sah apabila memenuhi syarat

sahnya perjanjian dan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan,

dan tidak bertentangan dengan Undang-undang.

c. Asas Pacta Sunt Servanda

Asas Pacta Sunt Servanda dalam perjanjian tercermin dari Pasal 1338 ayat (1)

KUH Perdata yang menyatakan bahwa:

“semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi

mereka yang membuatnya”.


Asas Pacta Sunt Servanda berhubungan dengan kekuatan mengikatnya suatu

perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak.Dimana perjanjian yang telah dibuat

secara sah dan disepakati bersama oleh para pihak selanjutnya berlaku mengikat

bagi para pihak tersebut sebagai Undang-undang. Kekuatan mengikatnya suatu

perjanjian dalam asas ini hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya saja, jadi

pihak ketiga tidak terikat sama sekali oleh perjanjian tersebut kecuali perjanjian

yang telah dibuat memang dimaksudkan untuk pihak ketiga.

d. Asas Itikad Baik

Pasal 1338 Ayat (3) KUH Perdata menyatakan bahwa:

“Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.

Dalam pengertian yang subyektif, diartikan sebagai kejujuran seseorang, yaitu

sebagai apa yang terletak pada seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum,

sedangkan dalam pengertian obyektif, diartikan sebagai pengertian suatu perjanjian

hukum harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa-apa yang dirasa sesuai

dengan yang patut dalam masyarakat.6

e. Asas Kepribadian (Personality)

Pada dasarnya semua perjanjian itu berlaku bagi mereka yang membuatnya

dan tidak ada pengaruhnya dengan pihak ketiga, kecuali yang telah di atur dalam

Undang-undang, misalnya perjanjian yang memang dibuat untuk pihak ketiga.Asas

ini diatur dalam Pasal 1315 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Pada umumnya

tidak seorangpun dapat mengikatkan diri untuk dirinya sendiri”.

3. Tinjauan mengenai Hukum Perbankan

A. Pengertian Hukum Perbankan

6
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 26
Hukum perbankan merupakan hukum yang mengatur segala sesuatu yang

berhubungan dengan perbankan. Selain mengatur perbankan, hukum perbankan

juga mengatur lembaga keuangan bank yakni semua aspek perbankan dengan

yang lain, perbankan sebagai segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, yang

di dalamnya mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses

melaksanakan kegiatan usahanya.

Hukum yang mengatur masalah perbankan disebut hukum perbankan ( Banking

law) yakni merupakan seperangkat kaidah hukum dalam bentuk peraturan

perundang-undangan, yurisprudensi, doktrin, dan lain-lain. Sumber hukum yang

mengatur masalah-masalah perbankan sebagai lembaga, dan aspek kegiatannya

sehari-hari, rambu-rambu yang harus dipenuhi oleh suatu bank, perilaku petugas-

petugasnya, hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab, para pihak yang

bersangkutan dengan bisnis perbankan, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan

oleh bank, eksistensi bank, dan lain-lain yang berkenaan dengan dunia perbankan

tersebut.

B. Sumber Hukum Perbankan

Sebagaimana diketahui bahwa di dalam Ilmu Hukum dikenal beberapa sumber

hukum yaitu :

1. Undang-Undang (dalam arti formil dan materiel)

2. Kebiasaan ( Hukum Tidak Tertulis )

3. Yurisprudensi

4. Traktak

5. Doktrin

Adapun sumber hukum perbankan di Indonesia diatur dalam berbagai

peraturan perundang-undangan sebagai berikut :


1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan, Lembaga

Negara Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1992 yang diubah dengan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 182 Tahun 2008 selanjutnya disebut UUP.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tidak menghapuskan atau

menggantik seluruh pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor

9 Tahun 1992 tetapi hanya mengubah dan menambahkan beberapa

pasal yang dianggap penting.

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia,

kemudian diubah dan disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor

3 Tahun 2004, yang selanjutnya mengalami perubahan kembali dengan

Peraturan Pemerintan Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua

atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009;

3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun tentang Lembaga penjamin

simpanan, yang kemudian mengalamin perubahan dengan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang

perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009.

4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Perbankan Syariah.

5. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1999 tentang Merger,

konsilidasi dan Akuisisi Bank.

6. Peraturan Bank Indonesia Nomor B/26/PBI/2006 TANGGAL 8

November 2006 tentang prkreditan Rakyat.

7. Peraturan Bank Indonesia Nomer 11/1/PBI/2009 tanggal 27 Januari

2009 tentang Bank Umum.


C. Landasan Hukum Lainnya

1. UU pokok Agraria UU No. 5 tahun 1960, HIR tentang eksekusi hipotik, Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Perdata dan lain-lain. UU No. 4 tahun 1996

tentang Hak Tanggungan.

2. Dalam pemberian kredit bank sering kali terkait dengan beberapa peraturan

perundang-undangan, sebagai contoh karena kredit pada hakikatnya merupakan

suatu wujud perjanjian, maka akan terkait buku ketiga Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata tentang perikatan, demikian halnya dengan ketentuan mengenai

hipotik atau hak tanggungan yang diatur dalam Undang-Undangan Nomor 4

Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang

Berkaitan dengan Tanah.

3. Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) yang dapat menjadi rujukan bagi kalangan

perbankan dalam melaksanakan praktikn perbankan.

4. Yurisprudensis sebagai dasar hukum perbankan dapat juga dipergunakan

mengingat keputusan pengadilan yang mengadili sengketa perbankan umum

maupun sketa perbankan syariah telah banyak diputuskan di pengadilan, baik

Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama.

5. Kebiasaan perbankan sebagai dasar hukum dalam ilmu. Hukum diajarkan

bahwa kebiasaan juga dapat menjadi suatu sumber hukum.

4. Tinjauan mengenai Jual beli secara kredit

A. Pengertian jual beli kredit

Kata’’ kredit ‘’ berasal dari dari bahasa yunani, ‘’Credere’’ yang berarti

kepercayaan (trust atau faith) yang maksudnya adalah meminjam uang dari sebuah

bank, teman-teman dekat atau pihak lainnya untuk suatu keperluan, dalam jangka
waktu yang telah ditentukan atau disepakati pembayarannya dengan ditandai

pembayaran kembali.

Menurut O.P.Simrangkir, kredit adalah pemberian prestasi (misalnya uang, barang)

dengan balas prestasi (kontra prestasi) akan terjadi pada waktu mendatang.7

Sedangakan dari sudut ekonomi, kredit di artikan sebagai penyedian uang atau

tagihan. Seperti pengertian yang di berikan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1992 tentang Perbankan sebagaimana telah di ubah menjadi Undang-Undang Nomor

10 Tahun 1998, yang menyebutkan bahwa kreditt adalah penyedian uang atau tagihan

yang dapat di persamakan dengan itu,berdasarkan persetujuan atau kesepakatan

pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam

untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga.8

Hal ini merupakan kredit murni yang berdasarkan pada kepercayaa semata.

Karena kepercayaan merupakan tonggak ukuran atas transaksi antar pinjaman dengan

pemberi pinjaman . jadi kepercayaan dalam bentuk kredit diatas merupakan ukuran

terjadinya sebuah hubungan. Kredit juga diartikan pemberian prestasi yang akan

dikembalikan lagi pada suatu masa tertentu yang disertai dengan suatu kontra prestasi

berupa bunga.

Dari pengertian kredit diatas dapat disimpulkan bahwa kredit yangdiberikan oleh

lembaga kredit didasarkan pada kepercayaan, sehingga merupakan pemberian

kepercayaan, berarti bahwa suatu lembaga baru akan memberikan kredit apabila ia

benar-benar yakin kalau si penerima kredit akan mengembalikan pinjaman yang akan

diterima diterima sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telah disetujui oleh

7
H.R.Daeng Naja, hukum kredit dan bank garansi,PT.Citra Aditya Bakti, Bandung,2005, hal. 123.
8
Ibid, hal. 124
kedua belah pihak. Tanpa keyakinan tersebut justru lembaga kredit tidak akan

meneruskan simpanan masyarakat yang diterimanya.

Sehingga dari pengertian kredit di atas setidaknya terdapat 4 unsur pokok kredit

yaitu:

1. Kepercayaan

2. Waktu

3. Resiko

4. Prestasi

B. Jenis-jenis kredit

Dalam praktik saat ini, secara umum ada (dua) jenis kredit yang di berikan oleh

bank kepada para nasabahnya, yaitu kredit di tinjau dari segi tujuan penggunanya

dan kredit yang di tinjau dari segi jangka waktunya.

Dari segi tujuan penggunanya dapat berupa 2 (dua) hal:

a. Kredit produktif

Kredit produktif, yaitu kredit yang di berikan kepasa usaha-usaha yang

menghasilakn barang dan jasa sebagai konstribusi dari usaha-usahanya. Untuk

kredit jenis ini terdapat 2 (dua) kemungkinan, yaitu:

1. Kredit modal kerja, yaitu kredit yang diberikan untuk membiayai

kebutuhan usaha-usaha, termasuk guna menutupi biaya produski dalam

rangka peningkatan produksi atau penjualan.

2. Kredit investasi, yaitu kredit yang di berikan untuk pengadaan barang

modal maupun jasa yang di maksudkan untuk menghasilkan suatu barang

dan ataupun jasa bagi usaha yang bersangkutan.


b. Kredit konsumtif

Kredit konsumtif, yaitu kredit uang di berikan kepada orang perorangan untuk

memenuhi kenbuutuhan konsumtif masyarakat umumnya (sumber

pengembaliannya dari fixed income debitur).

sedangkan jenis kredit di tinjau dari segi jangka waktunya dapat berupa,

1. Kredit jangka pendek

Kredit jangka pendek, yaitu kredit yang di berikan dengan tidak melebihi

jangka waktu 1(satu) tahun.

2. Kredit jangka menengah

Kredit jangka menengah,yaitu kredit yang di berikan dengan jangka waktu

lebih dari 1 (satu) tahun, tetapi tidak lebih dari 3 (tiga) tahun.

3. Kredit jangka panjang

Kredit jangka panjang, yaitu kredit yang di berikan dengan jangka panjang

lebih dari 3 (tiga) tahun.

Dari berbagai hal dan jenis-jenis kredit perbankan, yang terpenting untuk

digaris bawahi adalah kredit yang di tinjau dari segi tujuannya penggunannya.

Seperti halnya Jual beli kredit merupakan jenis jual beli yang populer bagi

kalangan masyarakat menengah ke bawah, sebuah mekanisme jual beli yang

memungkinkan untuk mendapatkan barang yang dibutuhkan dengan

keterbatasan pendapatan yang dimiliki. Dengan mekanisme ini pembeli dapat

memiliki barang dengan harga yang relatif mahal tanpa harus membayar

kontan atau tunai.

Jual beli kredit merupakan mekanisme jual beli dimana harga barang

dibayarkan secara berkala (cicilan) dalam jangka waktu yang disepakati.


Dimana penjual harus menyerahkan barang secara kontan, sedangkan pembeli

membayar harga barang secara cicilan dalam jumlah dan dalam jangka waktu

tertentu.

BAB III

METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan pada penelitian ini adalah jenis

penelitian normatif yaitu pengolahan dan analisis data, bagi penelitian hukum

normatife hanya mengenal data sekunder saja, yang terdiri dari bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, maka dalam mengelola dan

menganalisis bahan hukum tersebut tidak bisa melepaskan diri dari berbagai

penafsiran yang dikenal dengan ilmu hukum.9 Penelitian hukum normatif adalah

hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem

norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan

perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran).10

2. Metode Pendekatan

a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) yaitu pendekatan yang

dilakukan dengan mengkaji peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh

pejabat berwenang yang dapat digunakan dalam suatu penyelesaian masalah.11

b. Pendekatan konseptual (conseptual approach) yaitu dengan mengkaji

konsep-konsep dan pandangan dari para ahli yang berhubungan dengan

permasalahan di atas.12

c. Pendekatan kasus (case approach) yaitu pendekatan yang dilakukan

dengan cara melakukan kajian terhadap kasus-kasus berkaitan dengan isu yang

dihadapi.

3. Sumber dan Jenis Bahan Hukum

Bahan hukum dalam penelitian bersumber dari studi kepustakaan yang terdiri

dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan tersier.13

9
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta
2004, hlm. 163
10
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta 2013, hlm. 34
11
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta 2009, hlm. 96
12
Ibid.,
a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif berupa

peraturan perundang-undangan (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 141). Peraturan

perundang-undangan yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan yang

memiliki kaitan dengan penelitian yang dilakukan.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang tidak mengikat tetapi

menjelaskan mengenai bahan hukum primer yang merupakan hasil olahan diperoleh

dari buku literatur, pendapat para sarjana, makalah, jurnal hukum serta internet, dan

seterusnya yang berkaitan dengan topik penelitian.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian

atas bahan hukum lainnya.Bahan hukum yang dipergunakan oleh penulis adalah

Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum, ensiklopedia, indeks kumulatif,

dan sebagainya.14

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum seperti telah diurai di atas bahwa berasal

dari bahan-bahan kepustakaan yang relevan dengan objek penelitian, baik bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui :

“Studi kepustakaan yaitu dengan menggunakan teknik dokumentasi dengan


melakukan identifikasi terhadap bahan-bahan pustaka yang dibutuhkan dalam
penelitian ini, serta membaca, menelaah dan mengutip hal-hal yang penting

13
Ibid., hlm. 281
14
Ibid., hlm. 93
yang berkaitan dengan penelitian ini. Bahan dapat diperoleh dari buku,
literatur, pendapat para sarjana, dan artikel/makalah yang terkait dengan topik
penelitian”

5. Analisis Data Bahan Hukum

Analisis yang dipergunakan adalah kualitatif-deskriptif.Analisis kualitatif

adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental

tergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan

dengan orang-orang dalam bahasanya dan peristilahannya.Analisis kualitatif

difokuskan pada pemahaman fenomena-fenomena sosial dari perspektif partisipan

dengan menitikberatkan pada gambaran lengkap kemudian merinci menjadi variabel

yang saling terkait.Analisis ini bertujuan memperoleh pemahaman makna verstehen,

mengembangkan teori dan menggambarkan realita yang kompleks.Sedangkan

analisis deskriptif adalah menguraikan tulisan berdasarkan keterangan-keterangan

dari suatu keadaan atau peristiwa-peristiwa yang merupakan objek pembahasan dan

menyusun dalam suatu susunan yang teratur (sistematis).

Bahan hukum yang terkumpul kemudian disimpulkan dengan cara deduktif

yaitu dengan menganalisa terhadap beberapa referensi baik peraturan perundang-

undangan, buku-buku referensi, atau buku literatur yang kemudian dikaji secara

mendalam.

Dengan menggunakan analisis kualitatif-deskriptif tersebut, maka alat

analisisnya adalah penafsiran atau norma kabur, yaitu menguraikan berbagai fakta

hukum, kemudian dilakukan interpretasi atau penafsiran terhadap ketentuan secara

umum.
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986.

Ahmad Zuhairi, Hukum Perlindungan Konsumen, dan Problematikanya, GH

Publishing, Jati Negara Jakarta Timur.

Amirrudin dan Zaenal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo

Prasada, Jakarta,2004

Kurniawan, Hukum Perlindungan Konsumen, Pustaka Bangsa, Mataram-NTB,2016.

Mariam Daruz Badrulzaman, Kibat Undang-Undang Hukum PerdataBuku III,

Alumni, Bandung, 1996.

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan

Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2013.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta

2009.

Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, PT. Bale, Bandung, 1989.

Internet

https://branily.co.id/pengertain-pembeli,html, di akses pada tanggal 2 November


2018.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/konsumen/pengertian-konsumen,diakses pada tanggal
2 November

Anda mungkin juga menyukai