Dalam usaha kudeta tersebut, turut menjadi korban tujuh perwira tinggi Angkatan Darat
Indonesia, sebagai suatu usaha menyingkirkan pihak-pihak yang oleh PKI disebut sebagai
Dewan Jenderal dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Ketujuh perwira
tersebut terbunuh pada dini hari 1 Oktober 1965. Pembunuhan dipimpin oleh Letkol Untung
simpatisan PKI dari Resimen Cakrabirawa.
Adapun Jenderal TNI A.H Nasution sebagai salah satu sasaran berhasil selamat. Selamatnya
Jenderal Nasution diikuti dengan tewasnya ajudannya, Lettu CZI Pierre A. Tendean dan putri
Jenderal Nasution, Ade Irma Suryani.
Perwira Tinggi Militer yang menjadi korban G30S/PKI
Pasca mengalami penganiayaan dan pembunuhan, ketujuh perwira militer dibuang ke suatu
lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya dekat Lanud Halim
Perdanakusuma. Mayat mereka ditemukan kemudian pada 3 Oktober 1965.
Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J.
Leimena)
Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
Ketika meletus peristiwa 30 September 1965, pada tanggal 1 Oktober dengan lugas dan lengkap
Harian Rakyat memberitakan peristiwa tersebut.
Dewan Jenderal merupakan julukan yang ditujukan kepada beberapa petinggi Angkatan Darat
Indonesia yang tidak puas terhadap kebijakan Presiden Soekarno. Menurut PKI, Dewan Jenderal
berusaha untuk melakukan kudeta pada 5 Oktober 1965.
Kabar mengenai kesehatan Bung Karno sendiri didapatkan dari laporan tim medis presiden yang
berasal dari Tiongkok.
Ide pembentukan Angkatan Ke-5 berasal dari kesediaan Perdana Menteri Tiongkok, Zhou Enlai
menjanjikan 100.000 pucuk senjata ringan secara gratis sebagai bentuk dukungan konfrontasi
yang sedang dilakukan Indonesia .
PKI kemudian memberikan usulan kepada Presiden Soekarno untuk membentuk angkatan
bersenjata diluar TNI dengan mempersenjatai buruh dan petani sebagai bentuk pertahanan dan
peningkatan kekuatan sukarelawan guna mendukung Konfrontasi Malaysia. Ide ini mendapatkan
penolakan dari beberapa petinggi Angkatan Darat. Menurut Angkatan Darat, pembentukan
kesatuan baru diluar matra yang ada, dikhawatirkan menimbulkan permasalahan pertahanan
nasional.
Angkatan Darat pada akhirnya menyetujui pembentukan Angkatan Ke-5 dengan syarat bahwa
bukan hanya buruh dan petani, tetapi seluruh elemen masyarakat harus dipersenjatai.
PKI kemudian menuduh bahwa Angkatan Darat kontra revolusi dan tidak mendukung penuh
konfrontasi Malaysia.
Hal ini dapat diangggap benar karena menjelang tahun 1964, beberapa kalangan dari Angkatan
Darat secara tertutup membuka komunikasi dengan Malaysia guna meredakan dan
menyelesaikan konflik.
Pasca G30S/PKI
Pasca pembunuhan beberapa perwira TNI AD, PKI berusaha menguasai dua sarana komunikasi
vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan
Merdeka Selatan.
Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang ditujukan
kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap
pemerintah yang sah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh
Letkol Untung Sutopo.
Reaksi masyarakat terhadap Gerakan 30 September 1965 cenderung negatif dan berbalik
menuduh PKI sebagai dalang kudeta 1965. Mayjen. Soeharto kemudian memimpin upaya
pencarian perwira korban G30S/PKI dan pembubaran PKI ketika menerima mandat Surat
Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar).
Beberapa bulan pasca peristiwa, semua anggota dan simpatisan PKI ditangkap dan terjadi
pembunuhan oleh masa yang tergabung dalam militer, sipil dan kelompok Islam. Diketahui
ratusan ribu buruh dan petani Indonesia mengalami persekusi, dibunuh atau dimasukkan ke
kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Menurut Soe Hok Gie, Bali menjadi tempat terbanyak korban
pembunuhan.
Diperkirakan 500.000 sampai 2.000.000 orang anggota atau mereka yang dianggap simpatisan
PKI terbunuh dalam pembersihan unsur-unsur komunisme dari tahun 1965-1966. Bahkan
menurut Letnan Jenderal TNI Sarwo Edhie Wibowo selaku pemimpin gerakan pembersian
komunis, korban tewas mencapai lebih kurang 3000.000 jiwa.
Peristiwa G30S/PKU turut menjadi sebab jatuhnya Presiden Soekarno dari kursi kepresidenan
dan menyebabkan Mayjen Soeharto naik sebagai pejabat presiden dan kemudian presiden ke-2
Republik Indonesia yang disahkan oleh MPRS.
Pada 23 Februari 1967, Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan negara kepada Jenderal
Soeharto selaku pengemban Tap MPRS No. IX tahun 1967. Kemudian pada 7-12 Maret 1967,
MPRS menyelenggarakan Sidang istimewa di Jakarta. Dalam sidang tersebut, MPRS dengan
ketetapan No. XXXIII/MPRS/1967 memutuskan untuk mencabut kekuasaan pemerintahan
negara dari Presiden Soekarno.
Pada tanggal 12 Maret 1967, Jenderal Soeharto diambil sumpahnya dan dilantik sebagai Presiden
Republik Indonesia. Sebelumnya, pada Sidang Umum MPRS pada 5 Juli 1966 telah disahkan
Tap MPR No. XXV tahun 1966 oleh pimpinan MPRS, Jenderal A.H. Nasution (Ketua) dan
Wakil Ketua Osa Maliki, M. Siregar, Subchan Z.E., dan Mashudi.
Gelar Pahlawan Revolusi disematkan kepada sejumlah perwira militer yang gugur dalam
peristiwa kudeta G30S/PKI yang terjadi di Jakarta dan Yogyakarta pada tanggal 30 September
1965.