Anda di halaman 1dari 17

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/306094378

Transformasi nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa kini Transformasi


Makna pada Arsitektur Asli Daerah dalam Tampilan Visual Arsitektur

Conference Paper · November 2014

CITATIONS READS

0 5,356

1 author:

Indah Widiastuti
Bandung Institute of Technology
19 PUBLICATIONS   13 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

The Meaning of hearth for The People of Indigenous Sundanese Eldership of Cigugur View project

The Influence of Modernization on Gender Construction and Architecture of Matrilineal Society in Indonesia View project

All content following this page was uploaded by Indah Widiastuti on 14 August 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Transformasi nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa kini

Transformasi Makna pada Arsitektur Asli Daerah dalam Tampilan Visual


Arsitektur
Dr.Indah Widiastuti. ST.,MT
Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan
Institut Teknologi Bandung
Widiastuti911@gmail.com

Perubahan sendi sendi kebudayaan yang cepat sudah sewajarnya membawa kegamangan dan
pertanyaan akan “akar” dan jati diri dari kebudayaan itu sendiri, yang kemudian dibaca sebagai krisis
identitas. Di tengah carut-marut kebingungan atau krisis identitas, wacana perwujudan nilai-nilai
tradisional arsitektur dan tampilan visualnya pada arsitektur masa kini menjadi bukti masih besarnya
harapan untuk menjadikan konsep Nusantara sebagai nilai maupun cara berekspresi untuk praktek
arsitektur.

Budaya berhuni yang unik lahir sebagai wujud tanggapan khusus terhadap berbagai tekanan, potensi,
dan kompleksitas hubungan antara alam, lingkungan dengan budaya manusianya (Dona Crouch 2001).
Pengertian “tradisi” mengacu pada prinsip kegiatan pada satu babak waktu yang secara konsisten
berulang dan membentuk sebentuk koherensi artistik yang cerdas, baik di masa lalu ataupun kini.
Keajegan tanggapan yang bersifat artistik dan cerdas ini, tercermin lewat perulangan-perulangan dalam
wujud dan konsep karya arsitektur, dan akhirnya menjadi sebuah ‘tradisi’. Tradisi (lat. traditium) secara
harfiah adalah norma, kebiasaan atau keyakinan, atau penyampaian fakta dari generasi ke generasi yang
diwariskan (Shills, 1981 dalam AlSayyad). Sifat dipelajari dan diwariskan ini (baik dengan cara belajar
mandiri, kreatif atau diberi) menjadi karakter khas dari konsep ‘tradisi’. Tak hanya masa lalu, konsistensi
dan koherensi sebuah tradisi yang teruji terhadap waktu bisa juga terkandung pada arsitektur
kontemporer misalnya berupa metoda dan praktek profesional, wujud kreasi dan cara membangunnya
yang juga dilakukan dilakukan dan diwariskan lewat sebuah kurun waktu yang cukup panjang. Karenaitu
adalah sebuah pandangan yang kurang tepat ketika istilah “tradisi” kerap serta-merta diasosiasikan
dengan perwujudan arsitektur masa lampau.

Dengan demikian, ada dua konteks penggunaan istilah “tradisi” dalam arsiektur yang perlu dicermati,
yaitu: “tradisi dalam arsitektur” dan “arsitektur masyarakat tradisional” . Obyek bahasan mengenai
tradisi dalam arsitektur lebih membahas kompleks kebiasaan yang umum dalam berarsitektur yang
tentunya bisa sangat khas pada kurun waktu dan kelompok tertentu. Sedangkan arsitektur masyarakat
tradisional adalah tradisi dalam arsitektur buah karya masyarakat tradisional. Rappoport, 1989, dalam
AlSayad, (ND)1 menyebutnya sebagai Lingkungan tradisional2 - yaitu model berarsitektur masyarakat
tradisional atau pra-modern. Dalam prakteknya pada arsitektur masa kini, lingkungan tradisional kerap
dijadikan rujukan sebagai acuan representasi artistik dan nostaljik. Menjadikan konteks masyarakat
1
“Traditional Environments in A Post-Traditional World: Interdisciplinary”
2
traditional environment adalah sebuah lansekap budaya yang terbentuk oleh perpotongan banyak elemen,
seperti: ruang, waktu, makna dan komunikasi dan dibuat oleh masyarakat tradisional (Oliver, 2006) -

Seminar Rumah Tradisional-PUSKIM 19 November 2014, 15 | 1


Transformasi nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa kini

tradisional sebagai rujukan tentunya wajar, karena kemampuan budaya masa lampau untuk tetap hadir
di masa kini merupakan bukti daya resiliensi dan kontinuitas pewarisan yang teruji terhadap waktu.
Sekalipun konteks diskusi dalam seminar ini lebih merujuk pada arsitektur masyarakat tradisional dan
tampilan visualnya, diskusi kritisnya bisa menjangkau wilayah tradisi yang lebih luas.

Sistem-nilai dipahami sebagai seperangkat asumsi dan tindakan yang konsisten, yang prinsip- prinsipnya
menjadi alat menilai, mengukur dan memaknai kualitas integritas dari seperangkat tradisi dan sebuah
kesatuan lingkungan tradisional. Nilai-nilai tradisional adalah payung naratif dan medium
pembentukan makna dari himpunan sekian banyak tradisi yang beroperasi. Dengan kata lain
mempertanyakan sebuah makna bisa berarti mempertanyakan sistem nilai yang dianut dan wacana
yang melandasi nilai-nilai tradisional yang dirujuk. Perbedaan dari sistem-nilai membuat lingkungan
tradisional dapat dimaknai dengan cara yang berbeda. Perbedaan nilai-nilai tradisional akan
menentukan artikulasi artefak dan visualisasi arsitekturalnya. Arsitektur di Lombok akan memiliki sistem
nilai yang secara historis, bervariasi dari masa ke masa baik di masa pra-modern, modern dan
Posmodern.

Sebagai konsep yang bersifat historis, ‘sistem nilai’ arsitektur tidaklah statis. Dalam perjalannya tradisi
dan nilai-nilai tardisional, senantiasa ditafsirkan secara bervariasi sesuai dengan perubahan yang
melandasainya. Dengan sistem nilainya sendiri, nilai-nilai tradisi arsitektur sebuah masyarakat
tradisional di tempatnya sendiri bisa bermakna lebih sebagai kegiatan pragmatis keseharian biasa di
kampung halamannya. Namun bagi pengamat atau tamu, nilai-nilai tradisional tersebut berakna
eksotika atau nostalgia masa lalu yang sudah hilang. Didasari sistem nilai Modernisme awal abad 20 an,
di awal abad 20an nilai-nilai tradisional di Nusanatara diinterpertasikan kembali oleh arsitek masa
Kolonial menjadi gaya arsitektur bergaya Kolonial. Dalam konesp Regionalisme3 di tahun 1970an di
Indonesia, nilai-nilai tradisional juga hadir sebagai wujud representasi ideologis identitas
“keindonesiaan” Indonesia. Visualisasi lingkungan tradisional sebagai sebuah representasi arsitektur
Nusantara sempat hilang pada generasi tahun 1950-60an. Pada masa itu representasi yang berorientasi
pada tradisi masa lalu justru dihindari., namun tidak berarti “nilai-nilai” dan “sistem nilai” itu secara
menyeluruh hilang– sebaliknya. Digerakan oleh semangat dekolonisasi dan kemunculan “kekuatan baru”
negara berdaulat yang baru- The New Emerging Forces, alih-alih menjadikan lingkungan tradisional
sebagai rujukan representasi arsitektural, semangat Modernisme dijadikan sistem nilai untuk
memproduksi nilai-nilai arsitektur yang mampu menghadirkan Indonesia Merdeka yang tak kalah
dengan Eropa. Abstraksi-abstraksi simbolik dilakukan oleh perancang pada masa itu untuk memunculkan
Indonesia dengan pendekatan yang lebih abstrak. Demikianlah. di setiap perhentian waktu, tradisi
bertahan dengan cara-cara yang unik, visualisasinya bertransformasi lewat kreatifitas dan inovasi.
Sistem nilainya mengalami penyesuaian. Di setiap perhentian ini pula, pro-kontra wacana resiliensi dan

3
Regionalisme adalah sebuah mahzab arsitektur yang muncul di era 1960-an sebagai wujud kebosanan atas
arsitektur Modern yang dianggap terlalu mekanistik dan tanpa identitas. Praktek yang sering dibahas dalam
wacana arsitektur Indonesia adalah proyek Taman Mini Indonesia Indah, Gedung Wisma Dharmala oleh Paul
Rudolph, Gedung balairung UI oleh Goenawan Tjahjono dan Team dan Masjid Said Naum oleh Adhi Moersid.
(Tegang Bentang)

Seminar Rumah Tradisional-PUSKIM 19 November 2014, 15 | 2


Transformasi nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa kini

transformasi terjadi. Oleh karenanya tidak heran bila Hobswamb (1983) lebih suka menyebut tradisi
sebagai sesuatu yang senantiasa ditemukan - invented tradition.

Situasi yang kritis kini juga terjadi di era Globalisasi kini. Dilandasi ekonomi pasar bebas, sifat sosial
Postmodernisme dan popularitas konsep Industri Kreatif sistem-nilai yang lebih bebas, jamak dan instan
muncul. Alih alih pewarisan tradisi dan nilai-nilai tradisional secara tranformasi yang bersifat generatif,
yang terjadi adalah mutasi dari akar sistem nilai tradisi itu sendiri. Mutasi ini bahkan bisa bersifat
pengabaian ontologis dari sebuah bangunan yang semestinya berdiri di atas bumi Indonesia. Salah satu
bentuk pengabaian ontologis ini adalah pengabaian akar tropis dari nilai-nilai tradisional

Sebagai pengetahuan - atau yang populer di sebut sebagai “Arsitektur Tradisional Indonesia” asli dan
“Arsitektur Nusantara” – konseptualisasi lingkungan tradisional di Indonesia juga mengalami
penyesuaian. Pernah ada masa ketika nilai-nilai tradisional adiluhung menjadi perhatian utama, diinisiasi
oleh berbagai penelitian seni, arkeologis dan etnografis oleh sarjana Eropa di awal abad keduapuluh.
Pengetahuan arsitektur tradisional yang terbentuk lebih berorientasi pada eksotisme etnik dan masa
lalu yang bersifat adiluhung yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan desain modern - Orientalisme.
Pada tahun 1960an, seiring semangat counter-culture, dan budaya Populis, popularitas arsitektur
masyarakat vernakuler muncul. Pengetahuan arsitektur tradisional menjadi lebih berorientasi pada
budaya bermukim dan nilai tradisi yang bersifat lebih keseharian. Pada masa berikutnya ketika wacana-
wacana alternatif seperti Poskolonialisme dan Sustainability muncul, penjelajahan mengenai nilai-nilai
tradisi arsitektural , lebih kental pada upaya memahami budaya secara menyeluruh, termasuk nilai-nilai
budaya masyarakat yang terpinggirkan. Perhatian khusus diberikan pada aspek pemahaman dan
metodolofis yang bersifat holistik dan menjunjung keberlanjutan lingkungan dan pelestarian lingkungan.
Rangkaian perkembangan dalam tubuh pengetahuan mengenai arsitektur masyarakat tradisional
membuktikan bahwa asumsi dasar tentang lingkup budaya lingkungan tradisional dan tradisi arsitektur
akan mengalami sinkronisasi secara terus menerus.

Dinamika dunia sains dan industri juga membentuk cara pandang terhadap konsep “tradisi”dan “nilai-
nilai tradisional”. Dalam iklim ilmiah-positivistik nilai-nilai, makna, tradisi dan lingkungan tradisional
Nusantara memang selalu beresiko berhadapan dengan kebiasaan pengekerangkaan pengetahuan
secaraan reduktif dan mekanistik. Terlebih lagi tradisi mental kolonial juga tanpa disadari berdiam
dalam diri dan muncul lewat persepektif sektarian etnis yang membuat kita tanpa sadar senantiasa
memperlakukan unit etnik secara terutup. Demikian terbiasanya, hingga konsep Nusantara seringkali
dipandang sebagai sebuah unit kultural yang tertutup dari Indonesia. Kita lupa bahwa, istilah Nusantara4
sendiri merupakan konsep jaringan global pra-modern di Asia Tenggara. Sejarah sosial budaya Lombok
sendiri bila dicermati secara seksama merupakan bagian dari bagian dari jejaring sejarah dari budaya
masyarakat multi-kultur.

4
Menurut Walter Mignolo Kolonialisme adalah agenda tersembunyi Modernitas. Globalisasi menurutnya sudah
terjadi di dunia sejak abad ke 16, yang tersirat lewat jaringan ekonomi global dunia. Namun Globalisasi pada masa
itu tidak menjadikan semua lokal mengalami penyeragaman seeperti yang terjadi pada Globalisasi di abad 20
(Walter Migndolo, ND). Ia menyipulkan bahwa konsep Kolonialisasi dan Kapitalisme tidak melekat pada konsep
Globalisasi, namun Modernitas. Perspektif ini bisa menjelaskan konsep globalisasi Asia - “Jaringan Asia” Dennys
Lombard dan kesatuan wilayah kekuasaan yang berpusat pada Majapahit “Nusantara” (Lombard, 1995).

Seminar Rumah Tradisional-PUSKIM 19 November 2014, 15 | 3


Transformasi nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa kini

Dengan demikian nilai-nilai tradisional dan makna budaya tidak saja bersifat dinamis, baik dari segi paras
maupun sejarahnya, tapi juga jamak dan kontekstual. Perubahan dan perbedaan tersebut tak selamanya
tepat dilihat dalam sekat-sekat tipologi, dan evolusi sebuah progress.

1 Nilai-Nilai Tradisional dalam Dinamika Pengetahuan Mengenai Arsitektur berwawasan Tradisi dan
Budaya

Transformasi nilai-nilai tradisional dalam arsitektur masa kini seringkali diasosiasikan secara cepat
sebagai transformasi “arsitektur tradisional” atau lebih sempit lagi transformasi “rumah tradisional”.
Mungkin kondisi bisa dipahami karena sejak awal wacana ini populer di tahun 1960-an bahasan nilai-
nilai tradisional dalam arsitektur diwakili oleh topik mengenai rumah-rumah lama, suku terasing dan
vernakuler yang merupakan kontras dari arsitektur Modern, e.g. Rudofsky, 1963, Rapoport 1969; Oliver
1975, 1977, 1987; Norberg-Schulz 1985). Beberapa kajian dilakukan dengan berbasis artefak,
kesejarahan, dan beberapa berbasis penelitian sosial dan antropologi adapula geografi (Carsten & Hugh-
Jones, ed. 1995; Waterson 1990; Egenter 1992, Jacques Dumarcay, 1986)dan geografi (Tuan 1977).
Gaudenz Domenig (1980) dan Heinz Frick (2005) mendekatinya melalui evolusi tektonika.

Ilmu arsitektur tradisional dan vernakuler sendiri juga mulai berkembang sejak tahun 1960-an para
lmuwan anti kemapanan dan sarjana budaya mulai secara sistematis mendalaminya. Amos Rapoport
mengusulkan taksonomi mengenai tradisi membangun dan berhuni yang ditata berdasarkan klasifikasi
tradisi membangun dan budaya berhuni, yaitu budaya berhuni adiluhung (grand tradition) dan
masyarakat kebanyakan (folk tradition). Dari taksonomi tersebut muncul nomenklatur arsitektur
vernakuler, primitif, modern dan arsitektur tradisional. Batasan-batasan kategorikal ini kemudian mulai
dikritisi karena dianggap terlalu menyederhanakan konsep tradisi itu sendiri. Paul Oliver kemudian
menyarankan bahwa penggunaan istilah “Arsitektur Vernakuler” (Oliver, dalam Vellingga 2005)
merupakan istilah payung untuk merangkum beberapa tradisi berhuni, termasuk di dalamnya tradisi
adiluhung (grand tradition). Setiap arsitektur vernakuler merupakan ekspresi visual dari sebuah
kompleksitas tradisi berhuni yang harus dilihat secara menyeluruh5. Konsep “lokal” juga bukan sebuah
abstraksi pengelompkan teritorial yang tertutup seperti halnya unit etnik. Tuntutan pengembangan
epistemologi yang lebih holistik, terintegrasi dan multi-disiplin juga mendorong berbagai tuntutan
pembacaan ulang atas konsep arsitektur sebagai sebuah unit analisis yang selama ini dipahami secara
konvensional. Nold Egenger (1992) bahkan mengkritisi istilah ”arsitektur” sebagai sebuah definisi
kategorikal lingkungan binaan yang terbatas hanyalah bangunan dan lansekap. Sebagai alternatif,
Egenter (1992) dan Habraken (1987) lebih menyukai istilah ’Habitasi’6 ketimbang ’arsitektur’.

5
Istilah Vernakuler dirujuk dari istilah Inggris, “vernacular” diambil dari istilah latin “Vernaculus” - sebuah istliah
latin yang dalam bahasa Inggris berarti “native” dan dalam bahasa Indonesia mungkin bisa diartikan sebagai
“asali/ asli” atau “lokal”. Arsitektur Vernakuler dengan demikian berarti “ilmu tentang bangunan lokal” (Oliver,
2006, 4)
6
Habraken in separated paper journal (1987), "Control of Complexity" Places/ Volum 4, Number 2

Seminar Rumah Tradisional-PUSKIM 19 November 2014, 15 | 4


Transformasi nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa kini

Realita praktek kebudayaan mendudukan budaya lebih daripada idealisme dan prestasi kemanusiaan.
Budaya merupakan entitas berparas wacana dan konsep yang jamak, yang perkembanganya bisa jadi
merupakan hasil dari pilihan sadar, atau kompetisi sosial dari sebuah masyarakat yang heterogen.
Kluckhon dan Levi Strauss mendefinisikan budaya secara struktural lewat identifikasi komponen-
komponen entnografisnya. Ben Anderson dan Cliffor Geertz mendefiniskannya budaya sebagai rajutan
diskursus yang diimajinasikan dan bersifat ideologis7. Heidegger dan Schultz mendefiniskan budaya
secara fenonemologis sebagai sesuatu yang hakikat utuhnya mencerminkan makna8. Para realis kritis
melihat budaya tak selamanya bersifat esensial dan ideal, ia bisa juga bersifat realis dan virtual, dan
representasi yang dihasilkannya adalah simulasi yang bersifat simulacra (Baudrillard,1981). Ragam
konteks definisi mengenai budaya ini membuat tradisi dan nilai-nilainya dipahami dengan berbagai cara
pula. Beberapa karya transformasi arsitektur berhasil tanpa selalu menggunakan rujukan konvensional
sebagai referensi langsung mereka9.

Paparan dinamika di atas diharapkan dapat memberikan sebuah gambaran mengenai kompleksitas
dimensi dari konsep tradisi, nilai-nilai tradisi, nilai-nilai tradisional dan sistem pemaknaanya. Paparan
tersebut juga memperlihatkan beberapa masalah seperti: kontras ideologis antara arsitektur asli dan
Modern yang menyebabkan arsitektur tradisional selalu diasosiasikan sebagai lawan dari yang
kontemporer; bahwa arsitektur asli daerah hanya hadir di negara dunia ketiga, identik dengan masa
lampau, orang miskin, ketidakcanggihan dan bukannya orang Eropa10. Beberapa kasus kontemporer
dewasa ini memperlihatkan tradisi yang hadir dalam wujud perpaduan tradis masa kini dan masa lalu.
Misalnya permasalahan perumahan (housing dan apartment) bisa menjadi representasi kasus
melenyapnya batas antara modern dan lama karena bila diindahkan, di satu sisi, budaya berhuni
bersifat kontekstual dan mengakar pada sebuah tradisi lama namun tuntutan kekinian tak akan dapat
diabaikan (Howard Davis, 1994)11. Jelas bahwa nilai-nilai tradisional dan sistem pemaknaan secara
epistemologis dan ontologis pada dasarnya bahkan bersifat dinamis dan historis.

Menimbang dinamika, kompleksitas pengertian dan lingkup dari tradisi, nilai-nilai tradisional dan
budaya serta konstituen arsitektur sebagai bagian dari lansekap budaya maka beberapa hal memang
perlu diperjelas sebelum menentukan pilihan-pilihan konsep transformasi desain:

7
Interpertatif Antropologi dari Geertz menjelaskan bahwa budaya perlu dilihat sebagai himpunan diskursus yang
dirangkai dari sifat korelatif antara komponen atau properti budaya. Ungkapan eksistensi budaya bisa hadir dalam
wujud metafora kontekstual, seperti bagaimana ia menggambarkan kekuatan politik jawa sebagai “Negara Teater”
(Rabinow, 234). Konteks ideologis dari budaya juga ada pada konsep “imaginef communities” dari Benedict
Anderson.
8
Dalam konteks Fenomenologi budaya digali dari “pengalaman” hidup di dunia dari pelakunya. Perspektif
Fenomenologi sangat bertolak belakang dari pendekatan strukturalis ini.
9
Presentasi Ketut Arthana, Oktober 2014, Kuliah tamu Departemen Arsitektur, SAPPK-ITB
10
The Disappearance of the Dichotomy between Tradition and Modernity I Process-Oriented Housing, Howard
Davies. TDSR Vol VI No.1 Fall 1994
11
Desain perumahan Sangkuriang dan Gempol menunjukan bentuk baru yang orisinil buah dari pertemuan
masalah masa kini dan konseptualisasi berdasarkan model yang digali dari perbendaharaan lama.

Seminar Rumah Tradisional-PUSKIM 19 November 2014, 15 | 5


Transformasi nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa kini

A. Sistem nilai atau semangat apa yang ingin dibangkitkan lewat nilai-nilai tradisional yang dipilih.
Konsep arsitektur belandaskan nilai-nilai tradisional seperti apa yang akan membuat sang
masyarakat pengembannya merasa terwakili?
B. Motivasi dan wacana, apa yang ingin dihadirkan dalam sebuah peristiwa transformasi nilai-nilai
tradisional? Bagaimana nilai-nilai desain baru akan berkorelasi dengan nilai-nilai tradisional
yang pernah hadir? Dan bagaimana nilai-nilai tersebut relevan dengan situasi nyata?
C. Apa metoda tafsir dan transformasi yang digunakan?
D. Makna apa yang ingin dihadirkan oleh sang arsitek penggagas, perancang dan stake-holder atas
arsitektur yang dikehendaki untuk dihasilkan?

2. TRANSFORMASI NILAI-NILAI dan REPRESENTASI.

2.1 Representasi dan Simulasi Nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur

Diskusi tentang nilai-nilai tradisi dan transformasi makna dalam arsitektur akan saya bawa terlebih
dahulu pada diskusi tentang representasi12. Representasi sering menjadi wacana sentral ketika sebuah
arsitektur yang dinyatakan membawa nilai-nilai tradisi 13. Dalam konteks representasi, budaya, makna
dan tradisi didudukan sebagai ‘teks’ yang pada gilirannya akan diinterpertasikan menjadi atau ke dalam
teks yang baru, yaitu konsep dan visualisasi karya arsitektur. Konsep “representasi” memang cenderung
superfisial karena secara metodologis memang dimaksudkan untuk memuaskan persepsi visual. Ia tidak
secara langsung diperuntukan menjawab tuntutan pemkanaan empatik dan transedental. Masalah
perancangan berbasis representasipun cenderung berkutat pada aspek modifikasi formal14.

Namun demikian, untuk menghadirkan sebuah makna atau nilai-nilai tradisional, akan dibutuhkan
niatan lain selain konseptualisasi visual. Misalnya niatan untuk menghadirkan pengalaman empatik
harus dilakukan lewat partisipasi dan simulasi dari nilai-nilai tradisional yang dimaksud. Selain teks yang
tervisualkan, Konseptualisasi nilai-nilai tradisional bisa hadir lewat peristiwa sosial-spasial – “milieu”.
Millieu masyarakat tropis di Nusantara tidak semata hadir lewat visualisasi bangunanya, tapi juga lewat
vegetasi, kebiasaan sosial seperti ritual kegamaan dan membuat kriya, bahkan juga perilaku

12
Representasi secara normative dipahami sebagai tindakan menghandirkan sesuatu lewat sesuatu di luar dirinya
(Piliang, 2010).
13
Arsitektur Sebagai Seni Representasi berarti mengandung karakter artistik seperti halnya patung dan lukisan.
Aspek yang direpresentasikan bisa sebuah teknik konstruksi orisinal, merepresentasikan bangunan lain, bentuk
orisinil yang ditiru atau ditransformasikan dari tradisi tertentu, antropometri dan tubuh manusia, keteraturan dan
makna (Davies,2011)
14
Sawsan A Helmy, A Contemporary (“Interpertation of the Traditional Paradigm, TDSR Vol VI Fall 1994”)
merincinya sebagai modifikasi regularitas, komposisi, penabrakan, penskalaan-kembali, dekonstruksi dan
rekonfgurasi. Representasi bisa dilakukan dengan meniru dan mengolah sistem-sistem bentuk melalui teknik-
teknik peniruan, modifikasi tektonika dan pemadu-padanan bentuk. Secara lebih sistematik representasi juga bisa
dilakukan dengan pengolahan bentuk berdasarkan seperangkat prinsip struktur morfemik kompleks yang
diorganisasikan lewat geometri - Misalnya dengan menggunakan Geometri generatif seperti Fraktal, dan Konsep
Blob dari Greg Lynch.

Seminar Rumah Tradisional-PUSKIM 19 November 2014, 15 | 6


Transformasi nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa kini

masyarakatnya. Sebagai seni representasional dan pembawa makna, sebuah karya arsitektur mestinya
dapat mengikat perancang, pengamat dan penggunanya lewat sebuah pesan atau cerita dan juga
rancangan peristiwa (event) yang makna.

Karenanya desain kompleks sistem tanda dan makna dalam sebuah representasi biasanya selalu
merujuk pada keutuhan sistem Budaya secara utuh – tidak harus selluruhnya, namun dipilih sedemikian
rupa agar dalam skala tertentu akan masih tetap utuh. Sebuah tradisi yang bermakna akan mengandung
mekanisme yang memungkinkanya dikenali sebagai sebuah identitas yang bertahan, dipertahankan,
dan yang diwariskan 15. Di antara sebuah sistem representasi dan makna, atau pesan yang ingin diwakili
dari sebuah tradisi dalam sebuah perwujudan desain, terdapat sebuah medan gerak kontinum yang
disebut sebagai Intentional realm (Davies 2011). Intentional realm ini menjadi medan berbagai pilihan
yang terbentuk oleh akumulasi pengalaman. Ia dapat dirujuk oleh pembacanya untuk memahami, dan
oleh perancang untuk merancang. Dalam konteks ini bisa dikatakan bahwa kegagalan pemaknaan kasus
rancangan arsitektur bertema kedaerahan disebakan oleh sempitnya internal realm yang dapat
diimajinasikan oleh pembaca aupun perancangnya16.

Dinamika sosial-historis sebuah budaya bisa membuat sebuah tradisi bertransformasi atau bermutasi
kian cepat. Formulasi sistem representasi dan pemaknaannya pun bisa menjadi kian kompleks dan
temporal. Sebuah wujud representasi pun dibaca secara lebih temporal dan cara-cara pembacaan dari
pembacanya pun menjadi lebih beragam dan bisa menghasilkan bacaan yang berbeda dari satu
pembaca ke pembaca yang lain. Pesan masa lalu yang direpresentasi pun kian tereduksi dan lebih tak
berjarak dengan realiti kekinian. Namun dalam beberapa konteks lingkungan tradisional reduksi ini
tidak selalu disertai oleh abrasi nilai-nilai tradisionalnya. Sekalipun visualisasinya tak harus
merepresentasikan arsitektur masyarakat tradisional, namun mencerminkan millieu dan aktivitas asli
tradisi masyarakat tersebut. Di titik ini tradisi bukan lagi semata “teks’ namun sebuah pengalaman atau
“milleu”; ketika tradisi tidak semata-mata sesuatu yang secara visual dihadirkan namun yang secara
empatik dirasakan lewat pengalaman. Pada titik ini pengejawantahan dan visualisasi nilai-nilai tradisi
tidak hadir dalam sebuah konsep representasi, tapi Simulasi -“yaitu ketika sebuah arsitektur
berwawasan tradisi tidak hadir semata karena sesuatu di luar dirinya (representasi dari nilai-nilai
tradisional yang ingin diungkapnya) namun hadir sebagai pesan itu sendiri dalam konteks kekinian” .

15
Karena itu memang bukan tanpa alasan bila arsitektur vernakuler menjadi sebuah bukti bagaimana nilai-nilai
tradisi yang berkelanjutan. Istilah arsitektur vernakuler, yang dipandang oleh Paul Oliver lebih tepat daripada
arsitektur tradisional, juga berasosiasi dengan bahasa.
16
Nilai-nilai tradisional secara sintakmatis dibentuk oleh himpunan tradisi-tradisi yang membangunya seperti,
tradisi berhuni, tradisi mengelola lingkungan, tradisi mengelola estetika, legenda, mitos-mitos dan
pengetahuannya. Secara paradigmatis dibentuk oleh varian varian dari masing-masing tradisi atau alternatif-
alternatif yang berkembang dari masing-masing tradisi di sepanjang waktunya.

Seminar Rumah Tradisional-PUSKIM 19 November 2014, 15 | 7


Transformasi nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa kini

2.2. Sifat-Sifat sebuah Tradisi

Untuk mengentahui karakter representabilitas dari nila-nilai tradisi perlu dikenali terlebih dahulu
sifat-sifat dari tradisi. Pertama, tradisi (tradition) perlu dibedakan dari kebiasaan (custom/ habit).
Sebuah kebiasaan adalah perulangan-perulangan akitivtas fungsional yang muncul secara spontan.
Sebuah tradisi memiliki legitimasi yang diakui secara kolektif. Untuk menjamin keberadaanya legitimasi
ini tradisi harus memilihakar pada institusi, seperti: etnik, negara, suku dan subkultur. Sebuah nilai-nilai
tradisional yang kuat berdiri di atas sebuah sistem budaya yang kohesif, yaitu yang memiliki mekanisme
pelestarian, pewarisan dan mekanisme pembelajaran dan internalisasi bagi masyarakatnya. Ketiadaan
institusi budaya yang kuat akan menyebabkan terjadinya interpretasi tanpa arah, dan perbenturan yang
tak terkendali dan menimbulkan anarki, ketika sebuah tradisi dan makna dari sebuah nilai-nilai
tradisional dan lingkungan tradisional hendak dibaca ulang atau dikondisikan ke dalam situasi-situasi
khusus di masa kini.

Beberapa tradisi masih membutuhkan waktu untuk dibuktikan tingkat kohesifitas nya. Beberapa tradisi
baru sudah cukup menampilkan kohesifitasnya namun bentuk institusinya belum cukup terjabarkan
dengan utuh,dan karenanya masih dikenali sebagai kebiasaan, misalnya: tradisi berhuni para migran,
para buruh, petani, dan lingkungan ekspatriat. Untuk membuka diri pada perkembangan ilmu arsitektur
yang relevan dengan metoda yang lebih emansipatif bagi institusi kultural tersembunyi atau budaya-
budaya diluar grand-narasi.

Kedua, tradisi bukanlah entitas yang tertutup. Tradisi adalah sistem yang siap untuk dimodifikasi
menjadi tradisi baru atau melahirkan tradisi baru. Pada hakikatnya tidak ada budaya yang murni
tradisional benar-benar dibuat oleh kelompok manusia yang terisolir, karena tak ada manusia atau
kelompok manusia yang bisa hidup terisolir. Budaya Indonesia sendiri dibangun dari akumulasi
kebhinekaan. Budaya Minangkabau di Malaysia dan di Sumatera memiliki modus dan motif
perkembangan, transformasi dan resiliensi yang berbeda, karena nilai-nilai yang terbentuk dan sejarah
perkembangnya juga berbeda. Norma Banjar dari masyarakat Bali memang tidak berubah dari waktu ke
waktu namun kompleksitas referensinya bertambah, di sepanjang jaman. Representasinya terus
direproduksi dengan berbagai penyesuaian tradisi di setiap waktunya17. Seiring dengan perubahan
konstelasi kompleks alam dan budaya di sepanjang waktu tradisi yang berkelanjutan akan secara terus
menerus diciptakan dan dimodelkan kembali.

Ketiga, tradisi itu bersifat kompleks. Dalam perwujudan arsitektural, tipologi misalnya, hanyalah satu
aspek dari tradisi, di samping tradisi-tradsi lain, seperti pertukangan, latar belakang sosial-spasial, dan
persepsi dan norma-norma tentang ruang dsb. Terlebih lagi kompleksitas tradisi tidak saja terkandung

17
Perubahan mendasar pada desain juga dala struktur budaya terjadi misalnya: 1) konsep teritorial spasial yang
ternyata dinamis; 2) struktur alam yang terus berubah dan akibatnya kuantitas dan kualitas sumber daya alam dan
manusia yang senantiasa berubah; 3) Konsep kemanusiaan juga berbedah. ; 4) dinamika Koherensi konsep
komunitas dan neighborhoood yang tidak statis; 4) persepsimengenai masa kini dan masa lalu bahkan masa depan
yang bisa tumpang tindih di hari ini; dan 5) pertanyaan seputar orisinalitas and authorship menjadi lebih tidak
tunggal.

Seminar Rumah Tradisional-PUSKIM 19 November 2014, 15 | 8


Transformasi nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa kini

pada aspek intrinsiknya, namun juga aspek esternal yang mepengaruhinya. Dalam peristiwa
transformasi tradisi sinkronisasi ulang ‘kode’ dan ‘nilai-nilai’ akan terjadi. Dengan demikian kita juga
bisa melebarkan konteks institusi budaya, dari sekedar insitusi konvensional, seperti etnik, lingkungan
dan negara, menjadi institusi masa kini seperti profesi, atau lembaga pemangku kepentingan lainya
dalam skala global maupun lokal. Semakin kohesif sebuah institusi dan budaya, semakin solid akar dari
nilai-nilai tradisional atau moral codes yang terbentuk, dengan cara apapun si tradisi itu hadir pada
waktu yang relevan.

2.3. Nilai-Nilai Tradisional, Kode dan Makna.

Masih dalam konteks representasi, sistem nilai tradisional dalam Semiotika, setara dengan sebuah
konsep yang disebut “Kode”. Kode adalah sistem simbol dan makna yang relevan pada satu masyarakat
dan kebudayaan yang khusus atau subkultur. Sistem -nilai tradisional adalah kode moral yang
diturunkan dari generasi ke generasi18. Keberhasilan komunikasi antara penutur dan pembaca, sangat
ditentukan oleh KODE yang terkandung di dalam sistem komunikasi yang digunakan. Dengan landasan
kode ini maka sebuah representasi bisa terbaca dengan jelas atau bahkan sebagai identitas. Sebuah
tradisi yang ditransformasikan tanpa mengindahkan kode akan menjadi signifikansi tanpa makna.

Kode bisa tersembunyi jauh pada lapisan dasar primordial seperti arketipe, memori kolektif, skemata.
Merujuk pada Collin Renfew (1994) cara berfikir sebuah peradaban dibentuk oleh pengalaman
primordial dunia material lingkungannya. Pola pengalaman (seperti gempa, iklim tropis, sejarah budaya
maritim) ini bersifat stabil dan tidak berubah sekalipun perubahan zaman terjadi. Pola-pola pengalaman
materialitas ini seolah terenkripsi dalam gen kognitif manusia yang diturunkan sejak jaman prasejarah
dan pada giliranya membentuk arketipe kognitif. Arketipe kognitif masyarakat Nusantara salah satunya
terwujud lewat refleks tektonika dalam tradisi membangun. Pada titik ini kode bersifat stabil dan
resilien.

Namun kode juga memiliki sifat historis dan mengalami penyesuaian dalam rentang waktu. Ketika kode
(dalam konteks Semiotik) atau arketipe kognitif (dalam konteks arkeologi kognitif) ini bergulir di
panggung sosial, terbentuklah pola-pola baru yang lebih historis - seperti gen budaya atau gen kultural
(memetika - Dawking), yang potensial menghasilkan ‘spesies ‘ variasi budaya dan tradisi yang baru.
Transposisi dari arsitektur vernakuler menjadi tradisional pada dasarnya merupakan pemalihan historis
kode. Arsitektur-arsitektur vernakuler ‘omah’ yang pada dasarnya adalah bangunan biasa menjadi
terimbuhi berbagai atribut sosial-kultural yang melegitimasikan sebuah identitas dengan pewruwujdan
artifaknya.

Dengan pengertian tersebut sebuah transformasi arsitektur yang sekedar hadir sebagai hasil tiruan atau
modifikasi bentuk arsitektur menjadi terasa dangkal, karena mengabaikan adanya sebuah struktur dasar

18
Kode adalah sebuah istilah dalam Semiotika yang merupakan sistem prosedural yang berkaitan dengan konvensi
yang korelatif sebentuk operasi domain bahasa tertentu. Dengan Kode tanda-tanda diorganisasilan ke dalam
sistem pemaknaan yang bersifat mengkorelasikan penanda dengan yang ditandakan (David Chandler:
http://visual-memory.co.uk/daniel/Documents/S4B/sem08.html).

Seminar Rumah Tradisional-PUSKIM 19 November 2014, 15 | 9


Transformasi nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa kini

kognitif dan kultural dan sebagai budaya yang jalinannya secara mudah disebut sebagai makna. Sebuah
arsitektur yang meneruskan nilai-nilai tradisi berarti bekerja dengan kode yang inheren dalam budaya
asli namun tetap hadir dengan kode-kode kekiniannya sendiri.

2.4. Pemaknaan dan Realita Desain

Diantara Kode dan makna adala sebuah hubungan yang imaginatif dan dialogis. Bila kode adalah entitas
yang akan ditanggapi secara kreatif oleh arsitek, maka makna menjadi kesan yang diperoleh dari realitas
yang bekerja dalam sebuah operasi budaya yang dialami oleh pengguna atau pengamat banguna yang
dirancang. Makna adalah bukti adanya nilai-nilai atau kode yang bekerja dalam sebuah praktik
kebudayaan yang bisa dipahami oleh pengamat. Secara perseptual makna denotatif memberi informasi,
makna konotatif memberi kesan.

Kesulitan yang dihadapi masyarakat masa kini untuk aspek pembacaan adalah stabilitas bahasa yang
lebih sering tidak ajeg. Belum lagi, internalisasi dan sosialisasi budaya dalam pendidikan yang cenderung
kian superfisial Pada era 90-an dalam dunia arsitektur sempat diramaikan dengan wacana matinya
Semiotika karena asumsi kestabilan bahasa yang tak dapat ditawar dan motivasi manipulatif penutur
atas bahasa yang digunakan. Lebih jauh lagi, wacana Posmodernisme bahkan digunakan banyak pihak
sebagai alat legitimasi ketidak ajekan. Dalam wacana Posmodernisme abnormalisasi bahasa bahkan
dianggap kewajaran bahkan sebagai keunikan. Menurut hemat saya kritik Posmodern pada sifat
konvensional stabilitas bahasa adalah wujud sebuah ketakutan atas jebakan pragmatis yang dialami
para arsitek dalam profesinya ketika berhadapan dengan resiko Kitsch yang simplistik, ketika mereka
dipaksa memunculkan makna dengan menggunakan simbol-simbol budaya masa lalu tanpa memiliki
pijakan kode tertentu.

Posmodernisme dalam upaya memahami sistem nilai tradisional perlu dilihat lebih sebagai sebuah kritik
dan bukan metoda merancang. Wacana kritis yang terjadi lewat gagasan post-Strukturalis adalah
emansipasi makna yang tersembunyi atau terpinggirkan, emansipasi cara cara penuturan alternatif dari
grammar. Dekonstruksi merupakan bentuk emansipasi dari obyek ungkapan atas bahasa yang selaa ini
mengungkapkanya. Hypersemiotik menjadi bentuk kritik terhadap pemaknaan yang selalu
menggunakan referensi-referensi berupa objek konseptual yang diskrit (langgam, tipologi), dan
menganjurkan referensi yang berupa jejaringan peristiwa yang inheren dalam pengalaman pengamat
(peristiwa, kegiatan, harapan dan perilaku masyarakat tradisinya). Dengan contoh sikap-sikap kritis ini
kita bisa bertanya: apakah rumah tradisional harus menjadi referensi yang menengahi yang ditandakan
dan yang tertandakan? Bagaimana bila kuliner? Atau mitos atau karakter ruang? Memang kesalahan
bacaan itu terjadi ketika kian banyak kode yang muncul dalam sebuah budaya.

3. KODE: TRANSFOMASI MAKNA NILAI-NILAI TRADISI DALAM ARSITEKTUR MASA KINI

Perancangan arsitektur yang mentransformasikan nilai-nilai tradisional juga, memiliki signifikansi untuk
menghadirkan kebaruan, yang berarti menghadirkan kode baru yang sanggup menawarkan pembacaan
baru dari pengamatnya. Bila kelindaan kebaruan dan nilai-nilai tradisi hanya beroperasi pada fisik dan
visualisasi permukaan maka ia akan hanya menjadi sebuah karya fungsional dengan citra visualnya,

Seminar Rumah Tradisional-PUSKIM 19 November 2014, 15 | 10


Transformasi nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa kini

namun bila kelindaan itu mampu mengikat secara utuh antara desain dan keseluruhan harkat dan
harapan masyarakat penggunanya maka si arsitektur itu akan mampu hadir sebagai identitas. Dan
sebagai “identitas yang bermakna” arsitektur akan mampu menjalankan fungsi lainnya yaitu modus
pelestarian budaya dan maknanya.

Perancangan arsitektur adalah pencipaakan realita baru pada sebuah lingkungan. Sebelum realita itu
menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya ia belum menjadi realita budaya. Demikian pula pada
prakteknyapun arsitek selalu bekerja dengan modus multi-kode, multi-nilai pada akhirnya ia juga akan
berkontribusi menghasilkan kode baru pada budaya setempat. Sebuah karya rancangnya tidak saja
mengandung makna yang didasari pertimbangan fungsional, kasat mata dan pragmatis (denotatif),
namun juga lapisan konotatif ( berdasarkan aspek empatik-simpatik seperti kesan, memori kolektif, citra
dan metafora (konotatif), dan lapisan puitis (berdasarkan pengalaman dan peristiwa unik).

Ada tiga kemungkinan modus transformasi dan korelasinya dengan kestabilan makna-makna: 1)
transformasi tradisi dan lansekap tradisional tanpa merubah kodenya dan hanya sekedar memalihkan
dengan penyesuaian fungsional dan konteks ruang dan waktu; 2) transformasi yang membentuk kode
baru melalui reinterpretasi, reinvention atau bahkan dekonstruksi atas struktur-struktur tradisi atau
lansekap tradisional eksisting ada untuk menghasilkan pemaknaan baru dari tradisi asli. Pembentukan
kode baru bisa juga dilakukan lewat upaya pembongkaran secara kritis semua rujukan dari tradisi dan
menjelajahi dimensi lain dari tradisi tersebut atau lapisan pengalaman perseptual lain dari tradisi yang
selama ini mungkin terabaikan; atau 3) menaikan praktek kode yang biasanya hanay pada paras tekstual
menjadi yang bersifat miliu; dari yang bersifat representasi menjadi simulasi pengalaman di mana.
Dalam konteks ini nilai-nilai tradisional bukan sekedar dibaca, namun dialami dalam konteks kekinian.
Dalam konteks simulasi, transformasi makna merupakan peristiwa rekonstitusi nilai-nilai tradisional
dengan tujuan menciptakan habitat tradisional baru di masa kini yang orisinal dan otentik, yang tetap
mengindahkan nilai-nilai tradisional namun bebas dari logosentrisme masa lalu.

3.1. Tranformasi Nilai-Nilai Tradisional Tanpa Merubah Kode Budaya.

Peristiwa transformasi makna tanpa memunculkan kode budaya baaru pada dasarnya hanyalah
modifikasi fungsional-estetis desain – adaptasi formal untuk tujuan pemanfaatan tertentu. Proses
perancangannya kerap menghasilkan representasi yang tidak jauh berebeda dengan bentuk aslinya.
Reka-bentuk yang terjadi lebih erupakan manipulasi formal-spasial-konstruksi.

Dalam perancangan arsitektur, kebutuhan akan kestabilan bahasa dari kode tunggal sebuah budaya
seringkali bertabrakan dengan dorongan kreativitas yang senantiasa menggeliat dalam ruang hidup
zaman. Pemaksaan praktek arsitektur dengan modus kode tunggal seperti dijelaskan seringkali
menghasilkan desain simplisistis dan kurang relevan dengan trend baru yang berkembang, seperti:
semangat masyarakat pasca-industri, gaya hidup dan situasi sosial budaya baru. Karya yang dihasilkan
kerap menjadi bukti kegagalan semiotik- Kitsch.

Namun modus transformasi seperti ini tentunya bukanya tidak dibutuhkan untuk desain untuk
rancangan yang sengaja dibuat dengan tujuan peniruan dan berfungsi sebagai sarana komunikasi dari
representasi yang bersifat merekam, seperti konservasi, atau dengan tujuan-tujuan yang biasanya

Seminar Rumah Tradisional-PUSKIM 19 November 2014, 15 | 11


Transformasi nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa kini

didorong oleh kebutuhan-kebutuhan mempertahankan sosio-kultural tengaran seperti pada Konstruksi


istana Pagaruyuang, pembangunan TMII dan formulasi rumah tradisional untuk Propinsi baru. Ia juga
masih relevan untuk perancangan bangunan dengan skala bangunan yang relatif setara dengan
bangunan tradisional aslinya. Ia menjadi kurang relevan ketika digunakan untuk merancang bangunan di
luar skala wajarnya.

Dalam beberapa kasus kode yang digunakan bisa saja sama, namun sintaks yang direpresentasikan
tidaklah mainstream. Turisifikasi dan perancangan arsitektur daerah untuk proyek desa adat, sekalipun
merupakan wujud mimesis fisik dari kode yang sama, menjadi tidak berkontribusi apa-apa pada
kelesatarian ’rasa memiliki’ tradisi masyarakatnya kian pudar. Squatter architecture menjadi alternatif
arsitektur vernakular (Kellet, 1995). Alih-alih merujuk pada tipologi – kode alternatif bisa berujuk pada
tradisi tektonika dengan sifat materialitasnya.

3.2. Tranformasi Nilai-Nilai Tradisional dengan Memunculkan Kode Baru.

Dalam Transformasi yang membentuk kode-kode baru, kode baru disisipkan atau dikombinasikan ke
dalam kode-kode tradisional untuk menghasilkan nilai-nilai baru yang bersifat multi-kode yang
melandasi rancangan baru. Kombinasi ini bisa hadir dalam bentuk reproduksi nilai baru dari hasil
pembacaan ulang atau. Konseptualisasi representasi tidak dihasilkan lewat modifikasi morfemik
struktur-struktur tipologis yang biasa dikenal, namun lewat peramuan kode baru untuk membuat
medan sintesis bentuk dan struktur morfemik baru.

Pada dasarnya sebuah lokasi tempat terselenggaranya sebuah desain akan menjadi medan ”cultural
conflict” yang bersamaan dengan desain baru akan hadir pula representasi unik dari lingkungan, yang
secara keseluruhan mengindikasikan kode baru. Kode baru ini bisa bersifat sosial (perilaku, fonologi,
komoditi), tekstual (estetika, langgam, gaya) ataupun interpretatif (ideologis, tematis). Tipologi
arsitektur resort tropis di Bali menjadi contoh kodifikasi baru dari nilai-nilai tradisional Bali dalam
rancangan arsitektur arsitektur asli Bali di abad ke 21. Tipologi lumbung padi asli masyarakat asli
Lombok dan Bali banyak ditemukan sebagai acuan rancang di banyak resort di luar tempat asalnya19.
Dengan bantuan media dan desain yang unik, desain ini bukan sekedar dapat dibagi dengan
masyarakatnya, namun juga oleh masyarakat dunia. Ia bukan lagi menjadi kode rumah tradisional
lombok, tapi kode hotel tropis Indonesia. Bila prinsip pertama sebelum ini adalah kombinasi multi-kode
dan nilai maka prinsip kedua mengenai transformasi adalah dengan menciptakan kode baru
berdasarkan nilai-nilai tradisonal tanpa harus terjebak dalam struktur tradisional, berusaha keluar dari
kerangka-kerangka konvensional.

Secara ideologis-kritis, penciptaan kode-kode baru ini juga bisa dimanfaatkan sebagai medium
pewacanaan dan perjuangan ideologis. Misalnya perjuangan sosial wacana gender, politik informalitas,
dan emansipasi pengetahuan lokal20. Formula nilai-nilai baru bersifat menemukan kembali bahasa-
bahasa yang hilang, tersembunyi atau tersamarkan - Kode alternatif, kode subaltern. Langgam
Contemporary Vernacular menjadi kode lain dari arsitektur kontemporer yang direproduksi dari konsep
vernakular yang kebih sederhana dan lugu.

19
Tipologi lumbung Bali dan Lombok dimanfaatkan pada arsitektur vila-vila di daerah Pangandaran Jawa Barat.
20
Tjibou Centre menjadi contoh bagaimana konsep tribal suku kanak di Caledonia diangkat dalam bentuk yang
futuristik namun masih dikenali kode etnik lewat pertukangan kayunya (Murphy 2002).

Seminar Rumah Tradisional-PUSKIM 19 November 2014, 15 | 12


Transformasi nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa kini

Pada titik ini prinsip-prinsip modifikasi formal seperti konstruksi dan detil seharusnya seharusnya tak
hanya bekerja pada tahapan adaptasi atau metafora namun bahkan sebuah ontologi21. Kerangka
konvensional dualistik nilai-nilai tradisional dan nilai-nilai kontemporer dalam modus transformasi ini
bisa jadi tak relevan. Setiap sejarah dan tradisi arsitejktur memiliki ontologinya sendiri sebagai sebuah
akumulasi.

3.3. Pemaknaan Tranformasi Jejaring.

Modus transformasi nilai-nilai tradisional ketiga adalah dengan menciptakan lingkungan yang
pengejawantahan utamanya adalah pembentukan miliu (millieu) tradisional yang dapat dialami dalam
konteks kekinian. Pada prinsipnya, transformasi ini melihat proses pembentukan kode baru dengan
acuan semiotik (referent) yang tidak lagi berupa obyek atau norma, melainkan jejaring norma, manusia
dan persitiwa. Sebelumnya perlu dipahami bahwa konseptualisasi makna selain bisa bersifat struktural,
transenden bisa sebagai jaringan peristiwa dan keberkaitan aktor dan agen yang bersifat imanen22.
Dalam Transformasi jejaring agen proses pembentukan kode-kode baru merujuk bukan pada pola-pola
struktural atau kesan kesan individual namun jalinan peristiwa dan artefak yang dibentuk oleh manusia
dan lingkungan serta norma-normanya23.

Kode-kode baru yang terbentuk akan berupa ruang sosio-kultural yang kohesif yang hadir sebagai kode
baru namun tetap menghadirkan akar kode lama dalam rancangan jalinan peristiwanya- miliu. Bentuk
baru yang lahir secara prinsip menjadi hasil dari Metamorfosa dari bentuk yang lama. Tidaklah terlalu
signifikan apakah representasi yang dihasilkan bisa hadir dalam bentuk yang lama atau baru dam lazim
karena yang ingin dihadirkan bukan semantika bentuk dan ruang statis namun semantik peristiwa dalam
ruang waktu yang dinamis. Dalam konteks ini misalnya apakah mungkin upaya transformasi nilai-nilai
tradisional dilakukan dengan serta mengaktifkan jejaring yang sudah terbentuk pada komunitas
mungkin saja rancangan yang terjadi adalah sebuah skema yang dapat mengikat kreatifitas lokal yang
ada atau membangun kembali potensi kreatifitas lokal yang mungkin sempat hilang. Dengan prinsip ini
maka bisa dibayangkan bahwa mekanisme transformasi kode atau nilai-nilai tradisional akan merupakan
bagian dari mekanisme formasi lingkungan binaan yang lebih makro dan natural, mirip seperti
pencangkokan atau sinkronisasi.

Desain arsitektur yang terjadinya tidak akan terputus dengan konteks di sekitarnya. Contoh nyata adalah
George Town Penang yang melibatkan jaringan multi-aktor, yang tak lain adalah masyarakat
21
Juga berbagai teknik pencampuran aspek modern-tradisional. Misalnya “hassad system”untuk spanish balcony,
atau yang Zumthor lakukan atas tekstur pada ornamen.
22
Konsep imanensi ini diadaptasi dari konsep Rhizomatic pada miliu yang dicetuskan Deleuze dan Guattari
(Deleuze Guattari dalam Ballantyne, 2007)
23
Konsep ini sebetulnya menjadi dasar dari “Hypersemiotic”, ketika konsep “referent” dalam segitiga sistem tanda
(sign) – signified-signifier-referent- tidak lagi berupa norma, pernyataan atau obyek, namun jejaring peristiwa dan
obyek.

Seminar Rumah Tradisional-PUSKIM 19 November 2014, 15 | 13


Transformasi nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa kini

penghuninya sendiri untuk pendidikan dan reorientasi pembangunan. Di India dan Thailand Tourism
Development Corporation tidak seperti sebuah otorita pengembangan satu wilayah khusus di suatu
daerah, namun sebagai sebuah komite yang diberi mandat untuk membawa sistem jejaring berbasis
turisme yang disinkronkan dengan jejaring kehidupan masyarakatnya dengan dampak nasional dan
global. Ini modus yang dekat dengan upaya-upaya mewujudkan Keberlanjutan sosio-kultural (ekologi
yang berkebudayaan, pemukiman yang mengadopsi sistem homesotasis dari pemukiman vernakular).

4. Ulasan akhir:

Keberlanjutan sebuah nilai-nilai tradisional dan makna dalam sebuah karya lingkungan binaan akan
bergantung pada keberterimaan sang karya di dalam konstelasi budaya dan masyarakat yang dijadikan
rujukanya – menjadikan karya yang baru sebagai bagian dari kehidupan masyarakat dan budaya.
Seberapa dalam makna sebuah karya arsitektur akan membekas pada masyarakatnya akan dibuktikan
lewat sejauh mana karya arsitektur tersebut akan menunjang proses kelahiran terus menerus dari nilai-
nilai tradisi yang dimaksud, atau secara komersial apakah akan menjamin reproduksi sosial, kultural dan
kapital dari tradisi yang hasilnya akan dimanfaatkan bagi kemaslahatan masyarakat.

Peristiwa transofmasi nilai-nilai tradisional juga tak harus menolak perkembangan terkini karena sebuah
nilai-nilai tradisional yang bermakna dan berkelanjutan akan selalu hidup di masa kini. Adalah sebuah
tantangan bagi arsitek untuk merealisasikan aspek keberlanjutan dan bobot pemaknaan pada karya
seninya. Namun perlu digaris bawahi bahwa transformasi nilai-nilai tradisional sebagai bagian upaya
pelestarian tradisi nampaknya tak dapat disamakan dengan pemanfaatan perbendaharaan tradisi
arsitektur serta nilai-nilainya.

Sebagaimana “budaya” yang konstituennya bersifat formal atau disepakati bersama, berbagai upaya
perwujudan artistiknya akan membutuhkan dorongan yang bersifat institusional, baik itu dalam bentuk
pranata politik, individu karismatik maupun mahzab. Wacana yang heroik dan intelektual di masa
Kolonial, terjaidi ketika HP Berlage dalam orasinya di tahun 1958 menyuarakan tantangan untuk
membuat arsitektur baru yang mengakar pada tradisi arsitektur lokal24. Demikian pula pada CONEFO
ketika presiden Indonesia pertama Soekarno menyuarakan hasrat menciptakan identitas Indonesia
sebagai the New Emerging Forces, tidak lewat pengejawantahan konsep arsitekur lokal secara Kitsch,
namun lewat desain abstrak-fungional yang sengaja dilakukan oleh arsitek Bumiputra. Bukan hanya
tradisi yang lestari, prestasi pertukangan dan reka ruang juga dihasilkan. Keduanya mewakili motivasi
dasar yang berbeda dan bisa berdampak luas yang jauh berbeda dari budaya itu sendiri. Dampaknya
juga dapat dirasakan secara luas dan diterima secara meluas pula. Tanpa dapat ditolak mereka hadir
secara abadi sebagai budaya. Kita bisa merasakan “spirit” berbeda dari Regionalisme yang dilakukan
para regionalist dengan proyek sosial yang dilakukan oleh YB Mangunwijaya, Laurie baker dan Hasan
Poerbo dengan Regionalisme yang bersifat formal-eksploratif dengan tujuan menciptakan citra yang
berwawasan budaya lokal. Disamping motivasi heroik terdapat pula motivasi lain seperti identitas.
Kemunculan propinsi baru di tahu 2000an awal lebih mendudukan arsitektur asli sebagai medan

24
Pidato Pengukuhan Guru besar Arsitektur Prof. Ir.V.R Van Romondt 26 Mei 1954 “Menuju Kesuatu Arsitektur
Indonesia: Fakultet Teknik Universitet Indonesia, bandung

Seminar Rumah Tradisional-PUSKIM 19 November 2014, 15 | 14


Transformasi nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa kini

pergulatan dari penguasa untuk melegitimasi identitas. BILBAO EFX. Dalam konteks ini yang menjadi
perhatian pada dasarnya bukan si tradisi itu sendiri namun medan motivasi dan kekuatan atau
kekuasaan yang menggunakanya. Karena itu perlu dikenali bahwa upaya transformasi nilai-nilai
tradisionaldilakukan juga untuk berbagai motivasi dan ideologi, seperti 1) untuk melestarikan nilai-nilai
tradisional secara utuh; 2)Untuk mencegah nilai-nilai tradisional dari penghancuran; 3) untuk
membuktikan sebuah prestasi perancangan dan 4) pengejawantahan Branding dan industri

Perubahan motivasi dan kualitas pengejawantahan tafsir nilai-nilai tradisi juga sangat dipengaruhi
perubahan struktural yang terjadi masyarakat itu sendiri. Berbagai nomenklatur muncul untuk
menandainya- Post-Tradition, Hyper-tradition. Dinamika kehidupan masa kini hadir dengan fakta migrasi
yang kian intensif dan cepat, kemunculan masyarakat virtual, fenomena branding dengan Bilbao
efeksnya, mewujudkan sistem kemanusiaan dengan perspektif dan perse[si yang tidak sama.

Transformasi makna dan nilai-nilai tradisional bisa dielaborasi di tingkatan ontologi, yang bersifat
membangun pengetahuan mengenai realita arsitektur sebagai sebuah produk institusi budaya dan kode
tradisi yang ternyata terus berproses. Konsep representasi yang secara prinsip bersifat menghadirkan
citra di hadapan pengamat sebagaimana “text” di hadapan “pembaca”-nya beranjak menjadi simulasi
yang bersifat merekonstruksikan miliu yang mengikat pembaca dan penulisnya, kreator dan
penikmatnya; beranjak dari semantika bentuk menjadi semantika peristiwa.

Daftar Pustaka:

1. Amos Rapoport, 1969 House Form and Culture, New Jersey: Prentice-Hall,
Englewood-Cliffs
2. Andrew Ballantyne, 2007, Deleuze and Guattari for Architects, New York:
Routledge
3. Benedict Anderson, 1983, Imagined Comunities- Reflections on the Origin and
Spread of Nationalis, 1983, London:Verso
4. Bernice Murphy, Centre Culture Tjibaou – A Museum and Arts Centre
Redefinining New Caledonia’s Cultural Future, Humanities Research Vol IX No.1,
2002
5. Collin Davies, 2011, Thinking About Architecture- An Introduction to
Architectural Theory, London: Laurence King Publishing, ,
6. Colin Renfrew, 1994, 1 Toward Cognitive Archeology diunduh dari
http://www.ufg.uni-
kiel.de/dateien/dateien_studium/Archiv/201011_furholt_hinz_lesenswert/11_sit
zung/Renfrew%201994.pdf pada tanggal 10 Novembe 2014
7. David Chandler, Introduction to Semiology diunduh dari http://visual-
memory.co.uk/daniel/Documents/S4B/semiotic.html pada tanggal 10 Novembe
2014
8. Dona P. Crouch dan June G.Johnson, 2001, Traditions in Architecture – Africa,
America, Asia and Oceania, New York: Oxford Press

Seminar Rumah Tradisional-PUSKIM 19 November 2014, 15 | 15


Transformasi nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa kini

9. Eric Hobbsbawm dan Terence Ranger,(ed.), 1984, Introduction: Inventing


Traditions in “The Invention of Tradition, Hobsbawm, Cambrdge University Press,
1-15
10. Howard Davies, The Disappearance of the Dichotomy between Tradition and
Modernity - Process-Oriented Housing,. TDSR Vol VI No.1 Fall 1994
11. Nezar AlSayyad dan Elena Tomlinson, Traditional Environment in a Post
Traditional World: Interdisciplinary Perspectives, “Sustainable Built Environment”
12. --------------------, Chapter 1- Global Norms and Urban Forms in the Age of Tourism:
Manufacturing Heritge, Consuming Tradition dalam “Consuming Tradition,
Manufacturing Heritage”, AlSayyad(ed.), London, Routledge- Taylor Francis
2001 hal 1-18
13. Paul Oliver (2006), Built to Meet Needs – Cultural Issues in Vernacular
Architecture, Oxford: Elsevier
14. Paul Rabinow, Representation are social facts: Modernity and Post-Modernity
dalam Anthropoligy dalam Writig Culture- The Poetic and Politic of Ethnography
Clifford dan Marcus (ed.) 1986, University of Califormia Press
15. Peter Kellet dan Mark Napier, Squatter Architecture? A Critical Examination of
Vernacular Theory abd Spontaneous Settlement with Refference to South
America and South Africa – Artikel Khusus dalam TDSR Vol 1 No. 11 1995 7-24
16. Walter Mignolo, 2007, Coloniality: The Darker Side of Modernity, pp39-49,
diunduh dari
http://www.macba.cat/PDFs/walter_mignolo_modernologies_eng.pdf pada
tanggal 10 Novembe 2014
17. Sawsan A Helmy, A Contemporary Interpertation of the Traditional Paradigm,
TDSR Vol VI Fall 1994
18. Yasraf Amir Piliang, 2010, Semiotika dan Hipersemiotika, Bandung: Penerbit
Matahari
19. Post Traditional Environments in A Post Global World, Kumpulan Abstrak
Konferensi Internasional ke sembilan IASTE, Desember 14–18, 2004 —
Sharjah/Dubai, UAE – Khusus Special
20. Kumpulan Makalaj Seminar Semiotika Jakarta 21-22 Desember 1992, Jakarta LPUI
dan Lingkar peminat semiotik

Seminar Rumah Tradisional-PUSKIM 19 November 2014, 15 | 16

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai