Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENYAJIAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. EC
Umur : 67 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Jabatan/Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jl. Prapatan cihanjuang, Cimahi
Masuk Rumah Sakit : 25 Oktober 2016

A. ANAMNESA

Keluhan Utama : dada berdebar

Anamnesis:
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang ke IGD dengan keluhan dada terasa berdebar-debar sejak 3 jam
sebelum masuk rumah sakit. Keluhan timbul mendadak saat pasien beraktivitas. Ini
merupakan keluhan yang sudah sering berulang. Sebulan yang lalu pasien juga pernah
masuk rumah sakit dengan keluhan yang sama. Keluhan berdebar disertai dengan sesak.
Sesak dirasakan hingga napas terasa seperti tercekik. Pasien juga merasakan nyeri dada
disebelah kiri, dirasakan seperti tertindih benda berat menjalar hingga kelengan kiri,
yang terasa lebih dari 20 menit. Nyeri dada tidak berkurang dengan istirahat. Nyeri dada
disertai dengan keringat dingin, dan nyeri pada ulu hati. Riwayat pingsan tidak ada
Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat Hipertensi (+) terkontrol, penyakit jantung koroner (+), DM (-), asma (-),maag
(-), dislipidemia(+) terkontrol. Riwayat stroke (-), operasi sebelumnya (-), penyakit
perdarahan (-), penyakit saraf (-), penyakit hati (-), trauma kepala (-), penggunaan obat-
obatan (-).

1
Riwayat keluarga
Riwayat keluarga hipertensi (-). DM (-), stroke (-), infeksi paru (-).

B. PEMERIKSAAN FISIK
I. Kesan Umum
a. Status generalis
Keadaan umum: Sakit sedang / Compos mentis (GCS 15 E4M6V5)
BB: 60 kg, Tb: 150 cm, IMT: 26,7 kg/m2

Tanda vital
Tekanan darah : 150/90 MmHg
Nadi : 156 x/menit, regular, kuat angkat
RR : 28 x/menit, reguler
Suhu : 36,70C
SpO2 : 95%

Pemeriksaan Status Lokalis


Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (+/+), refleks
cahaya (+/+).
Mulut : Bibir sianosis (-), mukosa bibir kering (-), atrofi papil lidah (-).
Leher : Pembesaran KGB (-), distensi vena leher (-), JVP 5+2 cmH2O.

Thoraks
Paru
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan.
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-), vokal fremitus simetri ssama kiri dan
kanan.
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru.
Auskultasi :Bunyi napas dasar vesikuler (+/+), rhonki -/-,
wheezing -/-

2
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba, thrill (-)
Perkusi : Batas jantung atas : ICS II Linea parasternalis sinistra
Batas jantung kanan : ICS IV Linea parasternalis dextra
Batas jantung kiri : ICS V Linea mid clavicula sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung: S I/II reguler, murmur (-), gallop (-).

Abdomen
Inspeksi : Datar, sikatrik (-)
Auskultasi : Bising usus normal
Palpasi : Supel, massa (-), nyeri tekan (+) epigastrium, hepar dan limpa
tidak teraba
Perkusi : Timpani (+), ascites (-)

Ekstremitas
Feel : Ekstremitas teraba hangat
Edema pretibial -/-
Edema dorsum pedis -/-
CRT <2 detik.
Look : deformitas(-), clubbing finger (-).
Movement : kelemahan anggota gerak (-).

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium Darah
-
Hb : 13,1 g/dL - MCV : 66,6 fL
-
Eritrosit : 6,0 x 106/mm2 - MCH : 21,8 Pq
- Leukosit : 10,1 x 103/mm2 - MCHC : 32,7 g/dl
- Hematokrit : 40,1 % - RDW : 20,0 %
- Trombosit : 233 x 103/mm2

3
Hitung jenis - CKMB : 13 U/L
- Basofil : 0,5 % - Natrium : 140 mmol/l
- Eosinofil : 1,8 % - Kalium : 4,10 mmol/l
- Segmen : 72,5 % - Klorida : 106 mmol/l
- Limfosit : 20,0 % - Ureum : 22 mg/dl
- Monosit : 5,2 % - Kreatinin : 0,9 mg/dl
Elektrokardiografi

- Irama : Atrial
- Frekuensi : 150 x/menitReguler
- Axis : Normal
- Kelainan Gelombang : - Gelombang P (-)
- Kompleks QRS= 2 kotak kecil
- ST depresi di lead V3-V6
Kesimpulan : Supraventricular Tachycardia + iskemik anterolateral

4
D. Resume
Ny. EC, 67 tahun dengan keluhan dada terasa berdebar-debar sejak 3 jam
sebelum masuk rumah sakit. Keluhan timbul mendadak saat pasien beraktivitas.
Keluhan berdebar disertai dengan sesak. Sesak dirasakan hingga napas terasa
seperti tercekik. Pasien juga merasakan nyeri dada disebelah kiri, dirasakan
seperti tertindih benda berat menjalar hingga kelengan kiri, yang terasa lebih dari
20 menit. Nyeri dada tidak berkurang dengan istirahat. Nyeri dada disertai
dengan keringat dingin, dan nyeri pada ulu hati. Riwayat Hipertensi (+)
terkontrol, penyakit jantung koroner (+).
Pasien datang dengan keadaan kompos mentis, tekanan darah 150/90 mmHg,
frekuensi nadi 156x/menit (takikardi), frekuensi napas 28x/menit dan saturasi
oksigen 95%. Pada pemeriksaan fisik dalam batas normal. Pada pemeriksaan
darah dalam batas normal. Pada pemeriksaan EKG ditemukan adanya
supraventrikular takikardi dengan iskemik di anterolateral.

D. Diagnosis

- Diagnosis klinis : Supraventricular Tachycardia, Acute Coronary


Syndrome unstable angina pectoris , Hipertensi stage 1
- Diagnosis anatomis : Iskemik di anterolateral
- Diagnosis etiologi : Aterosklerosis, hipertensi esensial.

E. Penatalaksanaan
Non Medikamentosa :

1. Tirah baring untuk membatasi kerja jantung.


2. Diet jantung (rendah kolesterol).
3. Pengontrolan tekanan darah, denyut jantung dan EKG rutin.
4. Edukasi penggunaan obat, kontrol ulang.
5. Maneuver vagal

5
Medikamentosa :

 Konsul Sp. JP Maintenance:


 O2 Nasal Kanul 2-4 lpm  IVFD NS 500cc/24jam
 IVFD NS 500cc/24jam  Verapamil 1x80mg PO
 Amiodaron 1x150mg bolus IV  Aspilet 1x100mg PO
pelan dalam 10 ml Dilanjutkan  ISDN 3x5 mg PO
drip Amiodaron 600mg dalam  Clopidogrel 1 x 75 mg PO
D5% 500cc/24jam.  Atorvastatin 1x 20 mg PO
 Clopidogrel loading 1x300mg  Enoksaparin 2x0,6 cc SC
 lanjut 1x 75 mg
 Aspilet 1x300mg PO  lanjut
1x100 mg
 ISDN 3x 5mg sublingual
 Enoksaparin 2x0,6 cc SC

6
Elektrokardiografi post amiodaron

- Irama : Sinus
- Frekuensi : 66 x/menit Reguler
- Axis : Normal
- Kelainan Gelombang : -
- Kesimpulan : Sinus ritme

E. Prognosis

Quo ad Vitam : Dubia ad bonam


Quo ad Sanactionam : Dubia ad bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad bonam

7
BAB II
PEMBAHASAN

Pasien atas nama Ny. EC, 67 tahun mengeluh dada terasa berdebar-debar
sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Keluhan ini dirasakan saat aktivitas.
Dada terasa berdebar-debar dapat diakibatkan karena adannya kelainan denyut
jantung yang dapat normal atau karena takiaritmia. Takiaritmia merupakan
palpitasi cepat dengan onset mendadak, yang berlangsung dalam waktu biasanya
dalam hitungan menit dan bisa (tidak selalu) berhenti mendadak.
Pasien juga merasakan nyeri dada disebelah kiri, dirasakan seperti tertindih
benda berat menjalar hingga ke lengan kiri, yang terasa lebih dari 20 menit. Nyeri
dada tidak berkurang dengan istirahat. Nyeri dada yang dirasakan pasien
merupakan nyeri yang khas (angina tipikal) untuk acute coronary syndrome
(ACS).
Nyeri dada yang dirasakan pasien diperkirakan disebabkan oleh
penimbunan metabolit dan defisiensi oksigen, yang merangsang ujung-ujung saraf
sensorik di miokardium. Serat-serat saraf aferen naik ke SSP melalui cabang-
cabang kardiak trunkus simpatikus dan masuk ke medulla spinalis melalui akar
dorsalis lima saraf torakalis paling atas (T1-T5). Nyeri jantung tidak dirasakan di
jantung tetapi beralih ke bagian kulit (dermatom) yang dipersarafi oleh saraf
spinalis (somatik) yang sesuai. Nyeri dada yang dirasakan pasien menyebar ke
lengan diklasifikasikan sebagai nyeri alih.
Secara garis besar, faktor risiko ACS dapat dibagi dua. Pertama adalah
faktor risiko yang dapat diperbaiki (reversible) atau bisa diubah (modifiable),
yaitu: hipertensi, kolesterol, merokok, obesitas, diabetes mellitus, hiperurisemia,
aktivitas fisik kurang, stress, dan gaya hidup (life style). Faktor risiko seperti usia,
jenis kelamin, dan riwayat penyakit keluarga adalah faktor-faktor yang tidak dapat
diperbaiki. Faktor-faktor risiko tersebut dapat membantu dalam terjadinya
penyakit jantung koroner. Pada kasus ini, pasien memiliki faktor resiko usia,
riwayat hipertensi dan dislipidemia yang meningkatkan resiko untuk terjadinya
penyakit jantung koroner.

8
Pada pemeriksaan tanda vital, didapatkan tekanan darah pasien
150/90mmHg, dan merupakan hipertensi stage 1. Hipertensi dapat berpengaruh
terhadap jantung melalui meningkatkan beban jantung sehingga mempercepat
timbulnya aterosklerosis karena tekanan darah yang tinggi dan menetap akan
menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria
sehingga memudahkan terjadinya aterosklerosis koroner. Kolesterol, lemak, dan
substansi lainnya dapat menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah arteri,
sehingga lumen dari pembuluh darah tersebut menyempit dan proses ini disebut
aterosklerosis. Penyempitan pembuluh darah ini akan menyebabkan aliran darah
menjadi lambat bahkan dapat tersumbat sehingga aliran darah pada pembuluh
darah koroner yang fungsinya memberi oksigen ke jantung menjadi berkurang.
Kurangnya oksigen akan menyebabkan otot jantung menjadi lemah, nyeri dada,
serangan jantung bahkan kematian mendadak. Pada pasein ini ditemukan tekanan
darah yang tinggi serta riwayat dislipidemia pada pasien sehingga meningkatkan
resiko pasien untuk terkena ACS.
Disamping itu, pada pemeriksaan tanda vital didapatkan heart rate pasien
156 kali/menit (takikardia). Takikardia merupakan salah satu gejala dari aritmia
supraventrikular takikardia, yang nantinya akan didukung dengan hasil
pemeriksaan EKG.
Pada pemeriksaan EKG didapatkan iskemik anterolateral (T ineverted di
V3-V6) + Supraventricular Tachycardia (SVT). Iskemia pada miokardium terjadi
ketika ada ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen di
miokardium. Ketidakseimbangan ini sering disebabkan oleh penurunan aliran
darah sebagai akibat dari peningkatan denyut arteri koroner atau pembentukan
trombus. Kondisi ini dikenal sebagai supply ischemia atau low-flow ischemia dan
biasanya terjadi pada saat sindrom koroner akut (ACS) seperti angina tidak stabil
atau MI. ACS dapat dibedakan menjadi 3, yaitu STEMI, NSTEMI dan UAP.
Ketiga jenis ACS ini dapat dibedakan berdasarkan hasil pemeriksaan EKG dan
pemeriksaan enzim jantung (baik CKMB maupun Troponin-I/T). Pada pasien ini
didapatkan non ST elevasi pada pasien, sehingga dapat didiagnosis ACS NSTEMI

9
ataupun UAP. Untuk membedakan kedua jenis ACS tersebut, dapat dilakukan
pemeriksaan marka kerusakan jantung baik CKMB maupun Troponin I/T.
Selain itu, pada EKG juga ditemukan adanya SVT. SVT dapat dilihat
dengan melakukan pemeriksaan EKG. Hasil EKG menunjukkan adanya irama
atrial dengan frekuensi ± 150 x/menit reguler, normoaxis, gelombang p yang tidak
ada, dan interval QRS yang masih dalam rentang normal (2 kotak kecil ~ 0,08
mV). Dari hasil ini dapat diambil kesimpulan berupa supraventicular tachycardia
(SVT).

Pada pemeriksaan laboratorium darah, ditemukan marka jantung


(CKMB)dalam batas normal, sehingga dapat menegakkan diagnosis SVT UAP
dan SVT.

10
ACS merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menguraikan suatu
kelompok gejala akibat dari iskemia myocardial akut. Berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan
marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi:
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation
myocardial infarction)
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment
elevation myocardial infarction)
3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan
indicator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Diagnosis STEMI
ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST
yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Diagnosis angina pektoris tidak
stabil (APTS/UAP) dan infark miokard non ST elevasi (NSTEMI) ditegakkan atas
dasar keluhan angina tipikal yang dapat disertai dengan perubahan EKG spesifik,
dengan atau tanpa peningkatan marka jantung. Jika marka jantung meningkat,
diagnosis mengarah NSTEMI; jika tidak meningkat, diagnosis mengarah UAP.
Strategi awal dalam penatalaksanaan pasien dengan NSTEMI dan UAP adalah
perawatan dalam Coronary Care Units, mengurangi iskemia yang sedang terjadi
beserta gejala yang dialami, serta mengawasi EKG, troponin dan/atau CKMB.
Presentasi klinik NSTEMI dan UAP pada umumnya berupa:
1. Angina tipikal yang persisten selama lebih dari 20 menit. Dialami oleh
sebagian besar pasien (80%)
2. Angina awitan baru (de novo) kelas III klasifikasi The Canadian
Cardiovascular Society. Terdapat pada 20% pasien.
3. Angina stabil yang mengalami destabilisasi (angina progresif atau
kresendo): menjadi makin sering, lebih lama, atau menjadi makin berat;
minimal kelas III klasifikasi CCS.
4. Angina pascainfark-miokard: angina yang terjadi dalam 2 minggu setelah
infark miokard.

11
SVT adalah suatu jenis takidisritmia yang ditandai dengan perubahan laju
jantung yang mendadak bertambah cepat menjadi berkisar antara 150-250
x/menit. Kelainan pada SVT biasanya mencakup komponen sistem konduksi dan
terjadi di bagian atas bundel HIS. Pada kebanyakan kasus SVT mempunyai
kompleks QRS normal. Insidensi terjadinya SVT sekitar 1-3 orang per 100 orang.
Dalam sebuah studi berbasis populasi, resiko SVT dua kali lebih tinggi pada
wanita dibandingkan pria.
Gangguan irama jantung yang dapat menimbulkan SVT karena adanya
sebuah lingkaran reentrant yang menghubungkan antara nodus AV dan jaringan
atrium. Pada pasien dengan takikardi, nodus AV memiliki dua jalur konduksi
yaitu jalur konduksi cepat dan jalur konduksi lambat. Jalur konduksi lambat yang
terletak sejajar dengan katup trikuspid, memungkinkan sebuah lingkaran reentrant
sebagai jalur impuls listrik baru melalui jalur tersebut, keluar dari nodus AV
secara retrograde (yaitu, mundur dari nodus AV ke atrium) dan secara anterograde
(yaitu, maju ke atau dari nodus AV ke ventrikel) pada waktu yang bersamaan.
Akibat depolarisasi atrium dan ventrikel yang bersamaan, gelombang P jarang
terlihat pada gambaran EKG.
Supraventrikular takikardi ( SVT ) ditandai oleh frekuensi jantung yang
cepat ( 150-250/menit) dan teratur, yang berasal dari suatu rangkaian 3 atau lebih
kontraksi prematur fokus supraventrikular. SVT mungkin ditemukan pada jantung
yang secara anatomi normal atau dapat disertai dengan saluran pintas pada salah
satu sindrom pre-eksitasi ( Wolf Parkinson White ).
Secara umum SVT dibedakan menjadi Atrioventricular nodal reentrant
tachycardia (AVNRT) dan atrioventricular reciprocating tachycardia (AVRT).
Pada AVRT lebih banyak terjadi karena adanya accessory pathway contohnya
pada sindrom Wolf Parkinson White. Terdapat 2 mekanisme dasar terjadinya SVT
yaitu automatisasi dan reentri. Automatisasi terjadi karena terdapat fokus ektopik
di dalam atrium, AV junction atau sistem his purkinje yang menimbulkan ritme
automatik. Reentri terjadi karena terdapat 3 keadaan yang memungkinkannya,
yaitu terdapat 2 konduksi yang menyatu pada kedua ujungnya, terdapat blok
searah pada salah satu konduksi, dan aliran lambat pada konduksi tanpa blok

12
memungkinkan terangsangnya konduksi yang lain karena mempunyai masa
refrakter dan konduksi yang berbeda.
Gejala yang biasanya timbul pada pasien dengan SVT adalah palpitasi, nyeri
dada, pusing, kesulitan bernapas, pucat, keringat berlebihan, mudah lelah,
toleransi latihan fisik menurun, kecemasan meningkat dan pingsan. Pada pasien
ini, selain sesak, pasien juga mengeluhkan palpitasi yang sudah dirasakan 1 hari
SMRS. Keluhan ini belum pernah dirasakan sebelumnya.
Secara garis besar penatalaksanaan SVT dapat dibagi dalam dua kelompok
yaitu penatalaksanaan segera dan penatalaksanaan jangka panjang.
1) Penatalaksanaan segera
a. Direct Current Synchronized Cardioversion
Setiap kegagalan sirkulasi yang jelas dan dan dapat termonitor dengan
baik, dianjurkan penggunaan direct current synchronized cardioversion
dengan kekuatan listrik sebesar 0,25 watt-detik/pon yang pada umumnya
cukup efektif. DC shock yang diberikan perlu sinkron dengan puncak
gelombang QRS, karena rangsangan pada puncak gelombang T dapat
memicu terjadinya fibrilasi ventrikel. Tidak dianjurkan memberikan
digitalis sebelum dilakukan DC Shock oleh karena akan menambah
kemungkinan terjadinya fibrilasi ventrikel. Apabila terjadinya fibrilasi
ventrikel maka dilakukan DC shock kedua yang tidak sinkron. Apabila
DC shock kedua ini tetap tidak berhasil, maka diperlukan tindakan
invasif.
b. Manuver Vagal
Tindakan ini dulu lazim dicoba pada anak yang lebih besar namun tidak
dianjurkan pada bayi, karena jarang sekali berhasil. Maneuver vagal yang
terbukti efektif adalah perendaman wajah. Teknik ini dilakukan dengan
cara bayi terbungkus handuk dan terhubung ke EKG, wajah direndam
selama sekitar lima detik ke dalam mangkuk air dingin. Akan tetapi,
maneuver vagal yang lain seperti pemijatan sinus karotis dan penekanan
pada bola mata tidak direkomendasikan dan terbukti tidak efektif. Hal
tersebut dikarenakan pemijatan sinus karotis justru dapat menekan

13
pernapasan dan penekanan pada bola mata memiliki resiko terjadinya
luka pada mata dan retina. Jika perendaman wajah gagal, adenosin
dengan dosis awal 200 µg/kg dapat diberikan secara intravena dengan
cepat ke dalam pembuluh darah besar (seperti pada fossa antecubital).
Terkadang dibutuhkan dosis adenosine sampai dengan 500 µg/kg
c. Pemberian adenosin
Adenosin merupakan nukleotida endogen yang bersifat kronotropik
negatif, dromotropik, dan inotropik. Efeknya sangat cepat dan
berlangsung sangat singkat dengan konsekuensi pada hemodinamik
sangat minimal. Adenosin dengan cepat dibersihkan dari aliran darah
(sekitar 10 detik) dengan cellular uptake oleh sel endotel dan eritrosit.
Obat ini akan menyebabkan blok segera pada nodus AV sehingga akan
memutuskan sirkuit pada mekanisme reentry. Adenosin mempunyai efek
yang minimal terhadap kontraktilitas.11
Adenosin merupakan obat pilihan dan sebagai lini pertama dalam terapi
SVT karena dapat menghilangkan hampir semua SVT. Efektivitasnya
dilaporkan pada sekitar 90% kasus.7 Adenosin diberikan secara bolus
intravena diikuti dengan flush saline, mulai dengan dosis 50 µg/kg dan
dinaikkan 50 µ/kg setiap 1 sampai 2 menit (maksimal 200 µ/kg). Dosis
yang efektif pada anak yaitu 100 – 150 µg/kg. Pada sebagian pasien
diberikan digitalisasi untuk mencegah takikardi berulang.
Efek samping adenosin dapat berupa nyeri dada, dispnea, facial flushing,
dan terjadinya A-V bloks. Bradikardi dapat terjadi pada pasien dengan
disfungsi sinus node, gangguan konduksi A-V, atau setelah pemberian
obat lain yang mempengaruhi A-V node (seperti beta blokers, calsium
channel blocker, amiodaron). Adenosin bisa menyebabkan
bronkokonstriksi pada pasien asma.12
Kegagalan adenosine dalam menghilangkan takikardi masih mungkin
mengarah pada :
(1) Dosis yang tidak adekuat atau pemberian obat yang terlalu lambat
(2) Proses mekanisme menuju atrial takikardi

14
(3) Proses mekanisme menuju VT.
d. Prokainamid. Pada pasien AVRT atau AVNRT, prokainamid mungkin
juga efektif. Obat ini bekerja memblok konduksi pada jaras tambahan
atau pada konduksi retrograd pada jalur cepat pada sirkuit reentry di
nodus AV. Hipotensi juga sering dilaporkan pada saat loading dose
diberikan. Dosis oral yang biasa diberikan berkisar antara 40-100
mg/kg/hari terbagi dalam 4-6 dosis. Dosis awal untuk intravena yang
dapat ditoleransi adalah 5-15 mg/kg, sedangkan untuk dosis
pemeliharaan dapat menggunakan 40-100 mcg/kg/menit.
Pada tatalaksana awal untuk SVT pada pasien ini dapat dilakukan maneuver
Masase Karotis. Memijat (masase) arteri karotis dapat membantu mendiagnosis
dan menghentikan serangan. Baroreseptor yang merasakan perubahan tekanan
darah terletak pada sudut mandibula tempat arteri karotis komunis bercabang dua.
Bila tekanan darah meningkat, baroreseptor ini mengirimkan isyarat sepanjang
saraf vagus ke jantung. Masukan vagus mengurangi frekuensi pacuan nodus sinus,
dan yang lebih penting memperlambat konduksi melalui nodus AV.
Saat maneuver masase karotis tidak berhasil, dapat ditanggulangi
menggunakan Amiodaron. Amiodaron merupakan analog hormon tiroid. Selain
memperpanjang masa refrakter efektif melalui blokade kanal K+, obat ini
memiliki efek farmakologi multipel. Amiodaron adalah obat antiaritmia yang
paling luas jangkauan terapeutiknya karena efektif terhadap semua jenis
takiaritmia.
Amiodaron secara farmakologi di golongakan sebagai Obat Antiaritmia,
Kelas III. Mekanisme Aksi Antiaritmia Kelas III dengan menghambat stimulasi
Adrenergik (Alfa dan Beta Bloker), berefek pada Kanal sodium (natrium),
Potassium (kalium) dan Calcium (Kalsium). Memperpanjang potensial aksi dan
periode refraktori pada jaringan miokard, menurunkan konduksi AV dan fungsi
sinus node. Mekanisme kerja amiodaron juga meliputi aktivitas obat aritmia kelas I,
II, dan IV sehingga disebut sebagai obat aritmia dengan spektrum luas dan cukup
efektif digunakan pada berbagai macam aritmia . Di antaranya adalah paroksismal

15
supraventrikuler aritmia sebagai agen pilihan kedua setelah adenosin dan calcium
channel blocker nondihidropiridin.
Pemilihan amiodaron pada pasien ini, dipertimbangkan karena penggunaan
amiodaron tidak meningkatkan oksigen demand, sehingga tidak memperparah kondisi
iskemik pada miokardium.
Namun, obat ini memiliki efek samping yang banyak bila diberikan kronis
dengan dosis 3x200mg selama 3 bulan maka akan menyebabkan fibrosis paru,
sirosis hepatis, mikrodeposit pada kornea atau fotosensitif, hipo- atau hiper-tiroid.
Oleh sebab itu, amiodarone dosis tinggi tidak boleh diberikan lebih dari 10 hari.
Apabila perlu diberikan secara kronis misalnya untuk mempertahanan irama sinus
pada pasien fibrilasi atrium atau SVT cukup dengan dosis 1x200mg/hari. Pada
dosis tersebut, dilaporkan tidak menimbulkan efek samping.
Pada pasien ini selain diberikan terapi segera amiodaron untuk SVT,
diberikan juga terapi untuk UAP Clopidogrel loading 1x300mg, Aspilet 1x300mg
PO, ISDN 3x 5mg sublingual dan Enoksaparin 2x0,6 cc SC
Clopidogrel merupakan derivat tienopiridin, yang dapat menghambat
agregasi platelet dengan cara memblok reseptor ADP P2Y2 pada permukaan
platelet sehingga menghambat agregasi. Dosis klopidogrel dimulai 300mg per hari
dan selanjutnya 75mg per hari. Aspilet pada pasien befungsi sebagai obat
antiplatelet (antitrombotik). Dosis yang dianjurkan ialah 160–325 mg perhari, dan
absorpsinya lebih baik "chewable" dari pada tablet, terutama pada stadium awal.
Aspirin boleh diberikan bersama atau setelah pemberian GPIIb/IIIa-I atau UFH
(unfractioned heparin). Aspirin harus diberikan kepada semua pasien SKA jika
tidak ada kontraindikasi (ulkus gaster, asma bronkial). Efek aspirin menghambat
COX-1 dalam platelet dan mencegah pembentukan TXA2, sehingga mencegah
agregasi platelet dan konstriksi arterial.
ISDN (nitrat) dapat memperbaiki pengiriman oksigen ke miokard.
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang mengakibatkan
berkurangnya preload dan volume akhir diastolic ventrikel kiri sehingga
konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi
pembuluh darah koroner baik yang normal maupun yang mengalami

16
aterosklerosis. Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada
berlanjut sebaiknya mendapat nitrat sublingual setiap 5 menit sampai maksimal 3
kali pemberian. Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik
<90 mmHg atau >30 mmHg di bawah nilai awal, bradikardia berat (<50 kali
permenit.
Pemberian enoksaparin 1 mg/kgBB 2 kali sehari merupakan golongan
antikoagulan yang dapat menghambat faktor Xa dengan meningkatkan inhibisi
jumlah protease pembekuan yang dilakukan biasanya oleh antithrombin III.
Pemberian ini dianjurkan selama pasen berada di rumah sakit, maksimal 5-8 hari
perawatan. Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat
mungkin. Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat
mungkin. Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien dengan
risiko perdarahan rendah.
Pada terapi maintenance diberikan terapi tambahan Verapamil 1x80 mg
PO, Bisoprolol 1x2,5 mg PO dan Atorvastatin 1x 20 mg PO. Verapamil
merupakan obat golongan calcium channel bloker non dihidropidin. Mekanisme
kerja obat ini dengan menghambat masuknya ion kalsium ke dalam ”slow
channel” atau daerah sensitif tegangan pada pembuluh darah otot polos dan
miokardium pada saat depolarisasi; menghasilkan relaksasi otot polos pembuluh
darah koroner dan vasodilatasi koroner ; meningkatkan oksigenasi miokardial
pada pasien dengan angina vasospastik; memperlambat otomatisitas dan konduksi
nodus AV. Pemberian obat ini pada pasien untuk sebagai antiaritmia, selain itu
untuk angina pada pasien serta hipertensi.
Pemberian statin dapat diberikan tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL
dan tanpa mempertimbangkan modifikasi diet, inhibitor hydroxymethylglutary-
coenzyme A reductase (statin) harus diberikan pada semua penderita
UAP/NSTEMI. Statin diketahui dapat mengurangi kejadian dan kematian
kardiovaskular pada pasien dengan penyakit arteri koroner atau penyakit jantung
resiko tinggi. Disamping menurunkan jumlah kolesterol low-density lipoprotein
(LDL) dalam darah, statin memiliki efek pleiotropik seperti meningkatkan fungsi
endotel, mengurangi efek inflamasi, dan mengurangi pembentukan trombus.

17
18
BAB III
KESIMPULAN

Telah dilaporkan pasien atas nama. Ny. EC, 67 tahun dengan keluhan dada
terasa berdebar-debar sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Keluhan timbul
mendadak saat pasien beraktivitas. Keluhan berdebar disertai dengan sesak. Sesak
dirasakan hingga napas terasa seperti tercekik. Pasien juga merasakan nyeri dada
disebelah kiri, dirasakan seperti tertindih benda berat menjalar hingga kelengan
kiri, yang terasa lebih dari 20 menit. Nyeri dada tidak berkurang dengan istirahat.
Nyeri dada disertai dengan keringat dingin, dan nyeri pada ulu hati. Riwayat
Hipertensi (+) terkontrol, penyakit jantung koroner (+). Pasien datang dengan
keadaan kompos mentis, tekanan darah 150/90 mmHg, frekuensi nadi 156x/menit
(takikardi), frekuensi napas 28x/menit dan saturasi oksigen 95%. Pada
pemeriksaan fisik dalam batas normal. Pada pemeriksaan darah dalam batas
normal. Pada pemeriksaan EKG ditemukan adanya supraventrikular takikardi
dengan iskemik di anterolateral.
Telah ditegakkan diagnosa pada pasien ini yaitu SVT + ACS UAP +
Hipertensi grade 1 Kepada pasien telah diberikan terapi awal:

 O2 Nasal Kanul 2-4 lpm


 Maneuver vagal
 IVFD NS500cc/24jam
 Amiodaron 1x150mg bolus IV pelan dalam 10 ml Dilanjutkan drip Amiodaron
600mg dalam D5% 500cc/24jam.
 Clopidogrel loading 1x300mg  lanjut 1x 75 mg
 Aspilet 1x300mg PO  lanjut 1x100 mg
 ISDN 3x 5mg sublingual
 Enoksaparin 2x0,6 cc SC

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton AC. Hall JE. Textbook of medical physiology, 13th Ed.


Philadelphia. 2010.
2. Price, Sylvia dan Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta; EGC. 2006.
3. Rahmatullah, Pasian. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 5th Ed Jilid III. Jakarta:
Interna Publishing. 2010.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman Tata
Laksana Gagal Jantung. 2015.
5. Olgin, Jeffrey E., Douglas P. Zipes. Tachyarrhythmias. Braunwald’s
Heart Disease. A Textbook of Cardiovascular Medicine Ninth Ed. 2010.
6. Delacrétaz, E., Supraventricular Tachycardia. New England Journal of
Medicine 2006.354(10). pp. 1039-51.
7. Link, M. S.Evaluation and Initial Treatment of Supraventricular Tachycardia.
The New England Journal of Medicine. 2010.367(15), pp. 1438-1448.
8. Schlechte, E. A., Boramanand, N. & Funk, M.,.Supraventricular Tachycardia
in the Primary Care Setting: Agerelated Presentation, Diagnosis, and
Management. Journal of Health Care 2011.22(5). pp. 289-99.
9. Andrew H. Travers, et al. Part 4: CPR Overview: 2010 American Heart
Association Guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency
cardiovascular care. AHA 2010. 122; pp.676-84.
10. Schmitt C, Deisenhofer I, Zrenner B. Catheter Ablation of Cardiac
Arrthythmias. Munich: Springer 2008.

20

Anda mungkin juga menyukai