Anda di halaman 1dari 15

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

III.1 Definisi
Ketuban pecah dini (PROM. Premature rupture of membrane) adalah
kondisi dimana ketuban pecah sebelum proses persalinan dan usia gestasi ≥
37 minggu. Jika ketuban pecah pada usia gestasi < 37 minggu maka disebut
ketuban pecah dini pada kehamilan premature (PPROM, preterm premature
rupture of membrane). Terdapat istilah periode laten, yaitu waktu dari
rupture hingga terjadinya proses persalinan. Makin muda usia gestasi ketika
tuban pecah, periode laten akan semakin panjang. Ketuban pecah saat usia
gestasi cukup bulan, 75% proses bersalin terjadi dalam 24 jam. Jika ketuban
pecah di usia 26 minggu, 1⁄2 ibu hamil akan terjadi persalinan dalam 1
minggu. Sedangkan usia gestasi 32 minggu, persalinan terjadi dalam waktu
24 – 48 jam. Ketuban dapat pecah karena kontraksi uterus dan peregangan
berulang yang menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh sehingga pecah.
Salah satu factor resiko dari ketuban pecah dini adalah kurangnya asam
askorbat, yang merupakan komponen dari kolagen. Pada kehamilan
trimester awal, selaput ketuban sangat kuat. Namun pada trimester ketiga
menjadi mudah pecah berkaitan dengan pembesaran uterus, kontraksi rahim,
dan gerakan janin. Sedangkan pada kehamilan premature, biasanya
penyebabnya adalah infeksi dari vagina, polihidramnion, inkompeten
serviks, dsb.

III.2. Insidensi
Ketuban pecah dini dapat terjadi pada kehamilan aterm, preterm, dan
pada midtrimester kehamilan. Frekuensi kejadiannya yaitu 8%, 1% – 3%
dan kurang dari 1 %. Secara umum, insiden dari KPD terjadi sekitar 7 – 12
% (Chan, 2006). Menurut EASTMAN insidensi ketuban pecah dini ini
kira-kira 12 % dari semua kehamilan (Mochtar, 1998), sedangkan menurut
Rahmawati 2011 insiden KPD adalah sekitar 6- 9 % dari kehamilan.

III.3. Etiologi
Secara teoritis pecahnya selaput ketuban disebabkan oleh hilangnya
elastisitas yang terjadi pada daerah tepi robekan selaput ketuban dengan
perubahan yang besar. Hilangnya elastisitas selaput ketuban ini sangat erat
kaitannya dengan jaringan kolagen, yang dapat terjadi karena penipisan oleh
infeksi atau rendahnya kadar kolagen. Kolagen pada selaput terdapat pada
amnion di daerah lapisan kompakta, fibroblas serta pada korion di daerah
lapisan retikuler atau trofoblas, dimana sebagaian bear jaringan kolagen
terdapat pada lapisan penunjang (dari epitel amnion sampai dengan epitel
basal korion). Sintesis maupun degradasi jaringan kolagen dikontrol oleh
sistem aktifitas dan inhibisi intrleukin-1 dan prostaglandin. Adanya infeksi
dan inflamasi menyebabkan bakteri penyebab infeksi mengeluarkan enzim
protease dan mediator inflamasi interleukin-1 dan prostaglandin. Mediator
ini menghasilkan kolagenase jaringan sehingga terjadi depolimerisasi
kolagen pada selaput korion/amnion menyebabkan selaput ketuban tipis,
lemah dan mudah pecah spontan. Selain itu mediator terebut membuat
uterus berkontraksi sehingga membran mudah ruptur akibat tarikan saat
uterus berkontraksi.
a. Mekanisme Pecah Ketuban Sebelum dan Selama Persalinan
Pecahnya selaput ketuban intrapartum terjadi disebabkan
perlemahan keseluruhan karena kontraksi uterus dan peregangan yang
berulang. Daya regang selaput berkurang pada spesimen yang diambil
setelah persalinan dibandingkan dengan spesimen yang diperoleh
setelah persalinan dengan operasi sesar tanpa proses persalinan.
Perlemahan keseluruhan selaput ketuban sulit ditentukan bila KPD
dibandingkan dengan selaput yang dipecahkan dalam proses
persalinan. Namun selaput yang pecah prematur, tampaknya
disebabkan terdapatnya defek fokal daripada perlemahan keseluruhan.
Area sekitar lokasi ruptur digambarkan sebagai “zona terlarang
perubahan morfologi ekstrim” yang ditandai oleh pembengkakan
nyata dan gangguan jaringan fibril kolagen didalam lapisan padat
(kompakta), fibroblas dan spongiosa. Karena zona ini tidak termasuk
seluruh lokasi ruptur, zona ini dapat timbul sebelum pecahnya ketuban
dan menunjukkan titik pecah awal. Meskipun karakteristik KPDP
berbeda dengan pecah ketuban intrapartum, ada sedikit bukti yang
menunjukkan bahwa mekanisme yang mempredisposisi para wanita
dengan KPD tidak identik dengan mekanisme yang biasanya
mendahului persalinan. Hal ini telah memberikan pandangan bahwa
KPD mempercepat atau mempresipitasi berlebihan proses pecah
spontan selaput ketuban selama persalinan.
1. Tekanan barometer
Telah diketahui bahwa perubahan tekanan barometer dapat
mempercepat pecahnya selaput ketuban. Literatur yang
mendukung hal ini masih terbagi. Milingos dkk. menemukan
korelasi signifikan antara tekanan barometrik dan KPD (r=0.44,
p<0.05) pada hampir 1600 kasus yang diulas Polansky dkk.
selanjutnya menunjukkan hubungan signifikan antara insidensi
KPD dan penurunan tekanan barometer 3 jam sebelumnya
(p=0.006) pada serial 109 pasien mereka. Di sisi lain, Marks
dkk. tidak dapat menunjukkan hubungan statistik antara tekanan
barometer atau fase bulan dengan KPD pada serial 117 pasien
mereka. Efek tekanan barometer pada pecahnya ketuban tetap
menjadi subyek kontroversial, dan apakah efek ini berkontribusi
pada KPDP masih diselidiki.
2. Metabolisme Kolagen
Pada tahun 1995, Draper dkk., melaporkan penemuan
mengenai peningkatan aktivitas protease pada selaput ketuban
wanita yang mengalami KPDP dibandingkan dengan merekan
yang melahirkan bayi prematur tanpa KPD. Pada studi penting
ini, tercatat bahwa satu-satunya inhibitor protease yang efektif
adalah asam etilendiamintetrasetik, mengesankan ini adalah
metalloproteinase (MMP). MMP adalah enzim zinc-dependent
yang mendegradasi komponen matriks ekstraselular, seperti
kolagen, glikoprotein, dan proteoglikan. Enzim-enzim ini
disekresikan sebagai proenzim inaktif dan aktivitasnya tetap
dikendalikan oleh inhibitor yang disebut tissue inhibitors
ofmetalloproteinase (TIMP). MMP diklasifikasikan menurut
spesifisitas substrat. Yang termasuk kolagenase adalah MMP-1
dan MMP-8, yang mendegradasikan kolagen tipe I, II, dan III.
Yang termasuk gelatinase adalah MMP-2 dan MMP-9 yang
mendegradasi kolagen denaturasi, kolagen tipe IV dan V. Yang
termasuk stromalisin adalah MMP-3, MMP-7, dan MMP-10,
yang mendegradasi proteoglikan, fibronektin, dan komponen
stromal lain. Pada tahun 1996, Vadillo- Ortega dkk.,
membandingkan cairan amnion dari empat kelompok pasien: (1)
wanita dengan persalinan normal aterm, (2) wanita aterm belum
inpartu, (3) kehamilan preterm pada saat studi genetik, dan (4)
pasien KPDP. Wanita aterm inpartu dan wanita dengan KPDP
memiliki kadar aktivitas gelatinolitik yang lebih tinggi dalam
cairan amnionnya. Kebanyakan aktivitas ini memiliki
karakteristik disebabkan oleh MMP-9. Para penulis kemudian
mengukur konsentrasi inhibitor MMP-9, tissue inhibitor
ofmetalloproteinase-1 pada sampel yang sama dan menemukan
bahwa sampel preterm dari pasien yang menjalani amniosentesa
genetik mengandung kadar yang tertinggi, sedangkan sampel
dari pasien KPDP mengandung kadar terendah. Para peneliti
mencatat bahwa penelitian mengenai MMP-1 sama menariknya
seperti pemecah kolagen fibril tipe 1. Mereka mencatat bahwa
aktivitas ini tidak terdeteksi dalam cairan amnion karena MMP-
1 terikat kuat pada matriks ekstraselular amniokorion. Temuan
mengenai peningkatan MMP-9 dan bukannya MMP-1 dalam
cairan amnion pada wanita KPDP selanjutnya dikonfirmasi
dengan penelitian oleh Athayde dkk. Juga terdapat regionalisasi
perubahan tipe dan kandungan kolagen. Konsentrasi MMP-9
yang lebih tinggi ditunjukkan pada selaput yang dekat dengan
serviks daripada selaput di daerah tengah pada pasien aterm baik
sebelum dan sesudah dimulainya persalinan. MMP-9
mendegradasi kolagen tipe V, yang terlihat menurun pada
KPDP. Kejadian yang menyebabkan hal ini belum diketahui,
namun terdapat beberapa bukti yang mengaitkannya pada
infeksi. Seperti diketahui sebelumnya, terdapat hubungan jelas
antara infeksi dengan KPDP. Protease yang diproduksi bakteri
dapat merubah kekuatan membran, atau secara alternatif
mungkin merupakan derivate lekosit yang diaktivasi sebagai
respon invasi bakteri. Ditunjukkan pula bahwa MMP-7, yang
dihasilkan makrofag, meningkat dengan invasi mikroba preterm
ke kavum amnion. MMP-7 juga ditunjukkan dapat mengaktivasi
bentuk proenzim MMP lain, dengan efek kaskade.
b. Perubahan Kandungan Kolagen, Struktur, Katabolisme, dan Faktor
Klinis yang Berkaitan.
Pemeliharaan daya regang selaput ketuban sepertinya melibatkan
keseimbangan antara sintesa dan degradasi komponen matriks
ekstraselular. Diduga bahwa perubahan dalam membran, termasuk
berkurangnya kandungan kolagen, perubahan struktur kolagen dan
aktivitas kolagenolitik yang meningkat, berhubungan dengan ketuban
pecah dini. Terdapat bukti tidak langsung bahwa infeksi traktus
genitalia mempercepat pecah ketuban pada manusia dan hewan.
Identifikasi mikroorganisme patologis pada flora vagina manusia
segera setelah pecah ketuban mendukung konsep bahwa infeksi
bakteri mungkin berperan pada patogenesa KPD. Data epidemiologi
menunjukkan hubungan antara kolonisasi traktus genitalia oleh
streptokokus grup B, Chlamydia trachomatis, Neisseria gonorrhoeae,
dan mikroorganisme yang menyebabkan bakterial vaginosis (anaerob
vagina, Gardnerella vaginalis, spesies mobiluncus, dan mycoplasma
genital) dan suatu peningkatan risiko KPDP. Terlebih lagi, pada
beberapa studi penatalaksanaan wanita terinfeksi dengan antibiotik
menurunkan angka KPDP.
Progesterone dan estradiol menekan remodeling matriks
ekstraselular pada jaringan reproduksi. Relaksin, suatu hormon
protein yang meregulasi remodeling jaringan ikat, diproduksi lokal
pada plasenta dan desidua dan membalikkan efek inhibisi estradiol
dan progesterone dengan meningkatkan aktivitas MMP-3 dan MMP-
9 pada selaput ketuban. Walaupun penting untuk mempertimbangkan
peran estrogen, progesteron, dan relaksin pada proses reproduksi,
keterlibatannya pada proses pecah ketuban perlu dijelaskan. Amnion
dan korion manusia yang diperoleh setelah KPD aterm mengandung
banyak sel apoptosis pada daerah yang dekat dengan lokasi ruptur dan
sedikit sel apoptosis di daerah lainnya. Pada kasus-kasus
korioamnionitis, sel epitel amnion apoptotik terlihat pada
persambungan dengan granulosit pelekat, menunjukkan bahwa respon
imun induk mempercepat kematian sel pada selaput ketuban.
Peregangan berlebihan pada uterus karena polihidramnion dan
kehamilan multijanin menginduksi tegangan membran dan
meningkatkan risiko KPD. Peregangan mekanik selaput ketuban
meningkatkan regulasi produksi beberapa faktor amniotik, termasuk
prostaglandin E2 dan interleukin- 8. Peregangan juga meningkatkan
aktivitas MMP-1 dalam membran. Interleukin-8, yang diproduksi oleh
sel amnion dan korion, merupakan kemotaksis neutrofil dan
merangsang aktivitas kolagenase. Produksi interleukin-8, yang
berkonsentrasi rendah dalam cairan amnion selama trimester ke-dua
tetapi berkonsentrasi tinggi pada kehamilan lanjut, diinhibisi oleh
progesteron. Maka, produksi interleukin-8 dan prostaglandin E2
amniotik menggambarkan perubahan biokimia pada selaput ketuban
yang mungkin dimulai oleh tekanan fisik (peregangan membran),
menyatukan hipotesa pecah ketuban akibat induksi-tekanan dan
induksi biokimia.
Pada suatu penelitian oleh Park JC dkk. tahun 2003 yang
membandingkan ketebalan dan perubahan histopatologis pada selaput
ketuban antara KPD dan selaput ketuban utuh setelah pelahiran,
mendapatkan hasil bahwa pada KPDP ditemukan rerata ketebalan
selaput ketuban yang lebih kecil daripada persalinan preterm tanpa
KPD, namun hasilnya tidak signifikan. Sedangkan pada
perbandingannya, selaput ketuban pada kehamilan usia ≥37 minggu
dijumpai lebih tipis daripada kehamilan usia <37 minggu.

III.4. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorium. Anamnesis Dari anamnesis bisa menegakkan
90% dari diagnosis. Kadangkala cairan seperti urin dan vaginal discharge
bisa dianggap cairan amnion. Penderita merasa basah pada vagina atau
mengeluarkan cairan yang banyak secara tiba-tiba dari jalan lahir. Inspeksi
Pengamatan dengan mata biasa akan tampak keluarnya cairan dari vagina,
bila ketuban baru pecah dan jumlah air ketuban masih banyak, pemeriksaan
ini akan lebih jelas. Pemeriksaan inspekulo Merupakan langkah pertama
dalam mendiagnosis KPD karena pemeriksaan dalam seperti vaginal
toucher dapat meningkatkan risiko infeksi. Cairan yang keluar dari vagina
perlu diperiksa: warna, konsentrasi, bau dan pH-nya. Yang dinilai adalah:
a. Keadaan umum dari serviks, juga dinilai dilatasi dan pendataran dari
serviks. Dilihat juga dari prolaps dari tali pusat atau ekstremitas bayi.
Bau dari amnion yang khas juga diperhatikan.
b. Pooling pada cairan amnion dari forniks posterior mendukung
diagnosis KPD. Melakukan perasat valsava atau menyuruh pasien
batuk untuk mempermudah melihat pooling.
c. Cairan amnion dikonfirmasikan dengan menggunakan nitrazine test.
Kertas nitrazin akan berubah menjadi biru jika pH cairan diatas 6.0 –
6.5. Sekret vagina ibu hamil memiliki pH 4 – 5, dengan kertas nitrazin
tidak memberikan perubahan warna. Tes nitrazin ini bisa memberikan
hasil positif palsu bila tersamarkan dengan cairan seperti darah, semen
atau vaginitis seperti trichomoniasis.
d. Mikroskopis (tes pakis). Jika dengan pooling dan tes nitrazin masih
samar dapat dilakukan pemeriksaan mikroskopis dari cairan yang
diambil dari forniks posterior. Cairan di swab kemudian dikeringkan
di atas gelas objek dan dilihat dibawah mikroskop. Gambaran
“ferning‟ menandakan cairan amnion.
e. Dilakukan juga kultur dari swab untuk Chlamydia, gonnorhea dan
group B Streptococcus.
a. Pemeriksaan lab
1. Pemeriksaan alpha-fetoprotein (AFP). Konsentrasinya tinggi di
dalam cairan amnion tetapi tidak di semen dan urin.
2. Pemeriksaan darah lengkap dan kultur dari urinalisis.
3. Tes pakis.
4. Tes lakmus (Nitrazine test).
b. Pemeriksaan ultrasonography (USG)
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban
dalam kavum uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban
yang sedikit (oligohidramnion atau anhidramnion). Oligohidramnion
ditambah dengan anamnesis dari pasien bisa membantu diagnosis tetapi
bukan menegakkan diagnosis rupturnya membran fetal. Selain itu
dinilai Amniotic Fluid Index (AFI), presentasi janin, berat janin, dan
usia janin. Ultrasonografi dapat mengidentifikasikan kehamilan ganda,
janin yang tidak normal atau melokalisasi kantong cairan amnion pada
amniosentesis dan sering digunakan dalam mengevaluasi janin.
Pemeriksaan USG berguna untuk menegakkan diagnosis ketuban pecah
dini.

III.5. Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini


a. Pastikan diagnosis.
b. Tentukan umur kehamilan.
c. Evaluasi ada tidaknya infeksi maternal ataupun infeksi janin.
d. Apakah dalam keadaan inpartu, terdapat kegawatan janin.
Riwayat keluarnya air ketuban berupa cairan jernih keluar dari vagina
yang kadang-kadang disertai tanda-tanda lain dari persalinan. Diagnosis
ketuban pecah dini prematur dengan inspekulo dilihat adanya cairan ketuban
keluar dari kavum uteri. Pemeriksaan pH vagina perempuan hamil sekitar
4,5; bila ada cairan ketuban pH nya sekitar 7,1-7,3. Antiseptik yang alkalin
akan menaikkan pH vagina. Dengan pemeriksaan ultrasound adanya
ketuban pecah dini dapat dikonfirmasikan dengan adanya
oligohidroamnion. Bila air ketuban normal agaknya ketuban pecah dapat
diragukan serviks. Penderita dengan kemungkinan ketuban pecah dini harus
masuk rumah sakit untuk diperiksa lebih lanjut. Jika pada perawatan air
ketuban berhenti keluar, pasien dapat pulang untuk rawat jalan. Bila terdapat
persalinan kala aktif, korioamnionitis, gawat janin, persalinan diterminasi.
Bila ketuban pecah dini pada kehamilan prematur, diperlukan
penatalaksanaan yang komprehensif. Secara umum penatalaksanaan pasien
ketuban pecah dini yang tidak dalam persalinan serta tidak ada infeksi dan
gawat janin, penatalaksanaannya bergantung pada usia kehamilan.
a. Konservatif
1. Rawat di rumah sakit.
2. Berikan antibiotik (ampisilin 4 x 500 mg atau eritromisin bila tidak
tahan dengan ampisilin dan metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari).
3. Jika umur kehamilan < 32 – 34 minggu, dirawat selama air ketuban
masih keluar atau sampai air ketuban tidak keluar lagi.
4. Jika umur kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi,
tes busa negatif beri deksametason, observasi tanda-tanda infeksi dan
kesejahteraan janin. Terminasi pada kehamilan 37 minggu. Jika usia
kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu, tidak ada infeksi, berikan
tokolitik (salbutamol), deksametason dan induksi sesudah 24 jam.
5. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik dan
lakukan induksi. Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda
infeksi intrauterin). Pada usia kehamilan 32-34 minggu, berikan steroid
untuk memacu kematangan paru janin dan kalau memungkinkan
periksa kadar lesitin dan spingomielin tiap minggu. Dosis betametason
12 mg sehari dosis tunggal selama 2 hari, deksametason i.m 5 mg setiap
6 jam sebanyak 4 kali.
b. Aktif
1. Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal pikirkan
seksio sesarea. Dapat pula diberikan misoprostol 25-50 µg intravaginal
tiap 6 jam maksimal 4 kali. b Bila ada tanda-tanda infeksi, berikan
antibiotika dosis tinggi dan persalinan diakhiri jika:
a) Bila skor pelvik < 5, lakukanlah pematangan serviks, kemudian
induksi. Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesare-
Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan, partus pervaginam.
BAB IV
KESIMPULAN

Ketuban pecah dini (KPD) merujuk pada pasien dengan usia kehamilan diatas
37 minggu dan mengalami pecah ketuban sebelum dimulainya proses persalinan.
Ketuban pecah dini preterm (KPDP) adalah pecahnya ketuban sebelum usia
kehamilan 37 minggu. Ketuban pecah dini spontan adalah pecahnya ketuban
setelah atau dengan dimulainya persalinan. KPD memanjang adalah pecahnya
ketuban yang terjadi lebih dari 12 jam dan sebelum dimulainya proses persalinan.
Pecahnya selaput ketuban saat persalinan disebabkan oleh melemahnya selaput
ketuban karena kontraksi uterus dan peregangan yang berulang. Daya regang ini
dipengaruhi oleh keseimbangan antara sintesis dan degradasi komponen matriks
ekstraseluler pada selaput ketuban.
Pada ketuban pecah dini terjadi perubahan-perubahan seperti penurunan
jumlah jaringan kolagen dan terganggunya struktur kolagen, serta peningkatan
aktivitas kolagenolitik. Degradasi kolagen tersebut terutama disebabkan oleh
matriks metaloproteinase (MMP). MMP merupakan suatu grup enzim yang dapat
memecah komponen-komponen matriks ektraseluler. Enzim tersebut diproduksi
dalam selaput ketuban. MMP-1 dan MMP-8 berperan pada pembelahan triple
helix dari kolagen fibril (tipe I dan III), dan selanjutnya didegradasi oleh MMP-2
dan MMP-9 yang juga memecah kolagen tipe IV. Pada selaput ketuban juga
diproduksi penghambat metaloproteinase / tissue inhibitor metalloproteinase
(TIMP). TIMP-1 menghambat aktivitas MMP-1, MMP-8, MMP-9 dan TIMP-2
menghambat aktivitas MMP-2. TIMP-3 dan TIMP-4 mempunyai aktivitas yang
sama dengan TIMP-1. Keutuhan dari selaput ketuban tetap terjaga selama masa
kehamilan oleh karena aktivitas MMP yang rendah dan konsentrasi TIMP yang
relatif lebih tinggi. Saat mendekati persalinan keseimbangan tersebut akan
bergeser, yaitu didapatkan kadar MMP yang meningkat dan penurunan yang tajam
dari TIMP yang akan menyebabkan terjadinya degradasi matriks ektraseluler
selaput ketuban. Ketidakseimbangan kedua enzim tersebut dapat menyebabkan
degradasi patologis pada selaput ketuban. Aktivitas kolagenase diketahui
meningkat pada kehamilan aterm dengan ketuban pecah dini. Sedangkan pada
preterm didapatkan kadar protease yang meningkat terutama MMP-9 serta kadar
TIMP-1 yang rendah.
Gangguan nutrisi merupakan salah satu faktor predisposisi adanya gangguan
pada struktur kolagen yang diduga berperan dalam ketuban pecah dini.
Mikronutrien lain yang diketahui berhubungan dengan kejadian ketuban pecah
dini adalah asam askorbat yang berperan dalam pembentukan struktur triple helix
dari kolagen. Zat tersebut kadarnya didapatkan lebih rendah pada wanita dengan
ketuban pecah dini. Pada wanita perokok ditemukan kadar asam askorbat yang
rendah. Setelah ketuban pecah dini aterm, 70% kasus memulai persalinan dalam
24 jam, dan 95% dalam 72 jam. Pada kasus ketuban pecah dini preterm, periode
laten sejak pecahnya ketuban hingga persalinan menurun, berbanding terbalik
dengan bertambahnya usia kehamilan. Misalnya, pada 20-26 minggu kehamilan,
rerata periode laten adalah 12 hari; sedangkan pada 32-34 minggu, hanya 4 hari.
DAFTAR PUSTAKA

Soewarto, S. 2009. Ketuban Pecah Dini. Dalam: Winkjosastro H., Saifuddin A.B.,
dan Rachimhadhi T. (Editor). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal. 677-680.

Ketuban Pecah Dini. 2011. Diambil dari situs http://www.scribd.com/doc/6174


2900/Lapsus-KPD-singaraja.html. diakses pada tanggal 30 November 2014.

Casey ML, MacDonald PC. Interstitial collagen synthesis and processingin human
amnion: a property of the mesenchymal cells. Biol Reprod1996;1253-60.

Johnson JW, Daikoku NH, Niebyl JR, Johnson TR Jr, Khouzami VA,Witter FR.
Premature rupture of the membranes and prolonged latency.Obstet Gynecol
1981;57:547-56.

Malak TM, Ockleford CD, Bell SC, Dalgleish R, Bright N, Macvicar J.Confocal
immunofluorescence localization of collagen types I, III, IV, Vand VI and
their ultrastructural organization in term human fetal membranes.Placenta
1993;14:385-406.

Fetterolf DE, Snyder RJ. Scientific and clinical support for the use of dehydrated
amniotic membrane in wound management [online]. Updates: 2012 [cited
Dec 6 2014]. Available from URL:
http://www.medscape.com/viewarticle/773578_2Mamede AC, Carvalho MJ,
Abrantes AM, Laranjo M, Maia CJ, Motelho MF. Amniotic membrane: from
structure and functions to clinical application. Cell Tissue Res. 2012 Aug;
349(2): 447-58.
Malak TM, Bell SC. Structural characteristics of term human fetal membranes: a
novel zone of extreme morphological alteration within the rupturesite. Br J
Obstet Gynaecol 1994;101:375-86.

Milingos S, Messinis I, Diakomanolis D, et al: Influence of meteorological factors


onpremature rupture of fetal membranes. Lancet 1:435, 1978

Lee T, Silver H. Etiology and epidemiology of preterm premature rupture of the


membranes. Clinics in Perinatology 28 (4):721-735, 2001.

Polansky GH, Varner MW, O‟Gorman T: Premature rupture of the membranes


andbarometric pressure changes. J Reprod Med 30:189, 1985

Marks J, Church CK, Benrubi G: Effects of barometric pressure and lunar phases
onpremature rupture of the membranes. J Reprod Med 28:485, 1983

Draper D, McGregor J, Hall J, et al: Elevated protease activities in human amnion


and chorion correlate with preterm premature rupture of membranes. Am J
Obstet Gynecol173:1506, 1995

Vadillo-Ortega F, Hernandez A, Gonzalez-Avila G, et al: Increased matrix


metalloproteinaseactivity and reduced tissue inhibitor of metalloproteinases-
1 levels in amnioticfluids from pregnancies complicated by premature rupture
of membranes. Am J ObstetGynecol 174:1371, 1996

Anda mungkin juga menyukai