Anda di halaman 1dari 2

Teori belajar Humanistik dan konstruktivisme

Menurut Knuth & Cunningham, dalam Poedjiadi, (1999: 63) bahwasannya


aplikasi teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak adalah sebagai berikut: (1)
tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan
individuatau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap
persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi
situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh
peserta didik. Selain itu, latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui
belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3)
peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai
bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, motivator dan
inspirator sekaligus teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya
konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
Dikatakan juga bahwa pembelajaran yang memenuhi metode konstruktivis
hendaknya memenuhi beberapa prinsip, yaitu: a) menyediakan pengalaman belajar yang
menjadikan peserta didik dapat melakukan konstruksi pengetahuan; b) pembelajaran
dilaksanakan dengan mengkaitkan kepada kehidupan nyata; c) pembelajaran dilakukan
dengan mengkaitkan kepada kenyataan yang sesuai; d) memotivasi peserta didik untuk
aktif dalam pembelajaran; e) pembelajaran dilaksanakan dengan menyesuaikan kepada
kehidupan social peserta didik; f) pembelajaran menggunakan barbagia sarana; g)
melibatkan peringkat emosional peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuan
peserta didik.
Sejauh yang saya ketahui, dalam teori humanisitik tidak dikenal istilah
punishment ataupun reward. istilah reward atau punishment ini terdapat pada teori
behavioristik. lalu, yang jadi pertanyaannya adalah bagaimana atau seperti apa bentuk
yang bisa dikatakan sebagai "pengganti" dari reward atau punishment sebagaimana
dalam teori behavioristik? ada ungkapan lain padang lain ilalang, lain lubuk lain ikannya.
saya kira demikian lah yang terjadi pada teori-teori belajar yang ada, dalam arti dari
setiap teori tersebut memiliki perbedaan-perbedaan khas selain memiliki persamaan.
hanya saja berbeda perspektif dalam melihat proses pembelajaran. karena pada
hakikatnya semua teori bertujuan untuk mensukseskan pembelajaran atau proses
belajar menjadi tercapai sesuai tujuannya.

Memang ada kecenderungan orang lebih terkesan atau fokus pada sisi kognitif.
Tetapi sebenarnya kurikulum kita (Kurikulum 13) dalam penilaian tidak melulu pada sisi
kognitif. Ada berbagai aspek penilaian seperti aspek sosial, sikap, dan spiritual.

Dan masyarakat kita juga sebagian masih menganggap siswa pandai hanya
dilihat dari satu mata pelajaran tertentu saja. Tidak jarang terjadi anak yg memilik
kelbihan dalam matematika dianggap pintar, sementara siswa yg pandai di bidang lain
olahraga misalnya dianggap tidak pandai.

Sebagai kritik atas hal tersebut ada sebuah cerita yg menyinggung ttg ini.

Di sebuah hutan belantara ada sebuah sekolah ''animal school''. Kurikulum sekolah ini
mewajibkan setiap siswanya harus lulus dalam semua mapel.

Ada lima mapel, yaitu: terbang, berenang, memanjat, berlari, dan menyelam.

Siswanya terdiri dari: elang, tupai, bebek, rusa, dan katak.

Pada awal mula masuk sekolah masing2 memiliki keunggulan pada mapel tertentu.
Elang unggul dalam terbang, katak pandai menyelam.

Beberapa waktu kemudian sekolah ini mewajibkan para siswanya lulus kelima mapel
tersebut.

Maka mulailah elang belajar memanjat dan berlari sekuat tenaga, Tupai berkali-
kali jatuh karena belajar terbang. Bebek masih saja ditertawakan walau mulai sedikit bisa
berlari dan terbang. Semua siswa berusaha dengan susah payah dan terus beejuang,
akan tetapi tetap belum menampakkan hasil yang memuaskan.

saya kira bukan berarti dalam teori humanis melepas usaha sejenis punishment
atau tidak ada tindakan yang dapat memotivasi siswa. mungkin bentuknya saja yang
didesain sedemikian rupa, yaitu suatu tindakan yang lebih manusiawi. sebagai contoh
adalah tidak menghukum ketika siswa melakukan kesalahan melainkan menasihati
mereka dengan menggunakan bahasa yang halus. jadi penyelesaiannya adalah bersifat
dialogis. tentunya ini akan menjadikan motivasi karena dengan demikian eksistensi
siswa sebagai manusia dihargai keberadaanya.

hal ini menurut saya selaras dengan prinsip dakwh Islam dalam al-Qur’an surah An-Nahl
[16]: 125

َّ‫ضل‬ َ ُ ‫ك‬ َ ‫ي أَ ۡح‬ َّ


َ ‫من‬ َ ‫َم ِب‬ ُ ‫ه َو أ ۡعل‬ َ َّ‫س ُُۚن إِ َّن َرب‬ َ ِ‫س َن ِِۖة َو َٰج ِد ۡل ُهم ِبٱلتِي ه‬
َ ‫م ۡوعِ َظةِ ٱ ۡل َح‬
َ ‫مةِ َوٱ ۡل‬
َ ۡ‫ك ِبٱلۡحِ ك‬
َ ‫يل َر ِب‬
ِ ‫س ِب‬
َ ‫َى‬
ٰ ‫ۡد ُع إِل‬
‫ِين‬ ‫د‬‫ت‬‫ه‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫ٱ‬ ‫ب‬ ‫َم‬‫ل‬ ‫ع‬ َ ‫أ‬ ‫و‬‫ه‬
َ َ ۡ ُ ۡ ِ ُ ۡ َ ُ َ ِ‫َ ِ ِه‬ ‫و‬ ‫ۦ‬ ‫ل‬ ‫ي‬‫ب‬ ‫س‬ ‫ن‬ ‫ع‬َ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari JalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Anda mungkin juga menyukai