Anda di halaman 1dari 19

RESPONSI

ILMU PENYAKIT KULIT & KELAMIN


Penyusun : Syafika Biscay Jayanti
NIM : 2016.04.2.0167

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. I
Umur : 20 tahun
Status : Belum menikah
Suku Bangsa : Jawa
Agama : Kristen
Pekerjaan : Mahasiswi
Alamat : Wonosari AL blok A/18
Tanggal Pemeriksaan : 24 Januari 2017

II. ANAMNESA
a. Keluhan Utama :
Terdapat bekas luka kecelakaan pada lutut kaki kiri

b. Keluhan Tambahan :
Semakin membesar dan kadang-kadang nyeri seperti di tusuk-tusuk

c. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke Poli Kulit & Kelamin RSAL dengan keluhan adanya bekas
luka pada lutut kaki kiri yang semakin membesar dan kadang-kadang nyeri
seperti di tusuk-tusuk yang sifatnya hilang timbul sejak luka tersebut mulai
sembuh. Tidak gatal, semakin lama semakin melebar dan tambah besar.
Sekitar 1 tahun yang lalu, penderita pernah mengalami kecelakaan setelah
lukanya sembuh terdapat bekas timbul bisul dilutut kaki kiri, semakin lama
bisul tersebut semakin besar dan meluas. Kadang saat memakai celana
jeans terasa sedikit nyeri karena adanya gesekan.

d. Riwayat Penyakit Dahulu :


 Pasien mendapat bekas luka kecelakaan sekitar 1 tahun yang lalu
hingga saat ini.
 Riwayat alergi makanan disangkal.
 Riwayat alergi obat disangkal.

1
 Riwayat asma, diabetes mellitus dan hipertensi disangkal.

e. Riwayat Penyakit Keluarga :


 Ibu dan adiknya juga memliki bekas luka menjadi bisul yang sama
setelah sakit cacar air dan setelah operasi.

f. Riwayat Psikososial :
 Pasien tinggal bersama kedua orang tuanya dan adiknya.

III. PEMERIKSAAN FISIK


a. Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis (4-5-6)
Status gizi : Baik
Kepala/leher : Dalam batas normal
Thorax : Dalam batas normal
Abdomen : Dalam batas normal
Extremitas : Dalam batas normal

2
b. Status Dermatologis
Status lokalis :
Extremitas inferior sinistra

Efloresensi :
Tampak lesi padat merah kecoklatan disekitar lutut kaki kiri yang timbul
dengan permukaan licin dan mengkilat

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tidak dilakukan

V. RESUME
Seorang wanita 20 tahun datang ke Poli Kulit & Kelamin RSAL dengan
keluhan adanya bekas luka pada lutut kaki kiri yang semakin membesar dan
kadang-kadang nyeri seperti di tusuk-tusuk yang sifatnya hilang timbul sejak

3
luka tersebut mulai sembuh. Tidak gatal, semakin lama semakin melebar dan
tambah besar. Sekitar 1 tahun yang lalu, penderita pernah mengalami
kecelakaan setelah lukanya sembuh terdapat bekas timbul bisul dilutut kaki
kiri, semakin lama bisul tersebut semakin besar dan meluas.
 Pemeriksaan fisik (Status dermatologis)
Status lokalisi : Extremitas inferior sinistra.
Efloresensi : Tampak lesi padat merah kecoklatan pada lutut kaki kiri
yang timbul dengan permukaan licin dan mengkilat.

VI. DIAGNOSA KERJA


Keloid

VII. DIAGNOSA BANDING


- Sikatrik hipertrofi
- Dermatofibroma

VIII. PENATALAKSANAAN
a. Planning Diagnosa
 Pemeriksaan histopatologi dengan biopsi kulit yang menunjukkan serat
kolagen yang tersusun seperti nodus, tersusun konsentris, serta tumbuh
perlahan menjadi kolagen yang tebal dan padat.
 Pada keloid, perkembangan ini terus berlanjut, sedangkan pada skar
hipertrofik, berkas kolagen berangsur-angsur menipis dan tersusun lurus
sesuai dengan permukaan kulit.

b. Planning Terapi
Medikamentosa
1. Kortikosteroid intralesi, misalnya triamsinolon asetonid 10mg/ml, disuntikan
kira-kira 0,1 ml dalam setiap 1ml jaringan keloid. Dapat diulang 3-4 minggu
selama 6 bulan atau lebih. Dimana batas dosis perbulan dari triamsinolon
asetonid adalah 20mg.

4
2. Topical : Penggunaan silicon gel sheeting, Cybele Scagel digunakan 2x
dalam sehari.

c. Planning Edukasi
 Menyarankan kepada pasien agar tidak menggaruk bekas luka
 Menyarankan kepada pasien untuk memperbaiki higiene sanitasi serta
perawatan dirinya.
 Menyarankan kepada pasien agar menjaga tubuh agar tidak terjadi luka.
 Mengingatkan pasien untuk menggunakan gelnya dan kontrol setiap 3-4
minggu sekali.

d. Planning Monitoring
 Keluhan nyeri
 Perluasan lesi

TINJAUAN PUSTAKA
KELOID

I. Definisi
Keloid adalah pembentukan jaringan parut berlebihan (pertumbuhan
proliferatif) yang muncul diatas kulit yang mengalami trauma atau diatas luka
operasi dan tidak sesuai dengan beratnya trauma, tidak dapat sembuh
secara spontan serta dapat berulang setelah dilakukan eksisi
(Thompson,2001).
Secara klinis, keloid berbentuk nodul, hiperpigmentasi atau
hipopigmentasi atau bersifat eritematosa sekunder untuk telangiektasis.
Keloid terjadi paling umum pada bagian dada, bahu, punggung atas,
belakang leher dan telinga (Roblez2007).

5
Harus dibedakan antara silsilah keloid dan parut hipertrofi. Pada parut
hipertrofi, besar parut masih sesui dengan lukanya, tidak pernah melewati
batas tepi luka dan pada suatu saat akan mengalami fase maturasi. Parut
hipertrofi juga dapat sembuh secara spontan dalam 12-18 bulan meskipun
tidak komplit. Sedangkan pada keloid, parut melampaui batas tepi luka tetapi
jarang meluas sampai kejaringan subutan, aktif dan menunjukkan tanda-
tanda radang seperti kemerahan, gatal dan nyeri ringan. Jika keloid bersifat
multipel atau berulang maka disebut keloidosis (Gauglitz,2011)

II. Epidemiologi
Keloid lebih banyak dijumpai pada ras kulit hitam dibandingkan
dengan kulit putih. Dilaporkan sekitar 16% orang afrika hitam menderita
keloid, sedangkan orang kulit putih dan albino sangat sedikit yang menderita
keloid (Cohly,2001). Keloid juga terjadi lebih banyak pada wanita muda
dibandingkan pria muda. Menurut umur, keloid sering terjadi pada kelompok
umur 10-30 tahun.

III. Etiologi
Penyebab pasti tidak diketahui, tidak ada gen khusus yang
diidentifikasi sebagai penyebab berkembangnya suatu keloid, meskipun
peningkatan prevalensi keloid berhubungan dengan peningkatan pigmentasi
kulit yang menunjukkan adanya pengaruh genetik. Keloid dihubungkan

6
secara genetik dengan HLA-B14, HLA-b21, HLA-Bw16, HLA-Bw35, HLA-
DR5, HLA-DQw3 dan golongan darah A. Keloid dapat disebabkan oleh insisi
bedah luka, penyuntikan vaksin BCG, luka bakar, bekas jerawat,setelah
cacar, gigitan serangga, pemakaian anting (Wolfram,2009)

IV. Anatomi dan Fisiologi


Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar. Luas kulit orang
dewasa 1.5 m² dengan berat kira-kira 15% berat badan. Kulit merupakan
organ paling esensial dan vital serta merupakan cermin kesehatan dan
kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastis dan sensitif, bervariasi pada
keadaan iklim, umur, seks, ras dan juga bergantung pada lokasi tubuh
(Gauglitz,2011).

Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama,
yaitu :
a. Lapisan epidermis atau kutikel, terdiri atas : stratum korneum, stratum
lucidum, stratum granulosum, stratum spinosum, stratum basale (terdiri
atas dua jenis sel : sel-sel kolumnar dan sel pembentuk melanin).
b. Lapisan dermis secara garis besar dibagi menjadi dua bagian, yakni :
pars papilare dan pars retikulare

7
c. Lapisan subkutis adalah kelanjutan dari dermis, terdiri atas jaringan ikat
longgar berisi sel-sel lemak didalamnya.

Vaskularisasi dikulit diatur oleh 2 pleksus, yaitu pleksus yang terletak


dibagian atas dermis (pleksus superfisialis) dan yang terletak di subkutis
(pleksus profundus).
Fungsi utama kulit adalah fungsi proteksi, absorbsi, ekskresi, persepsi
(faal perasa dan peraba yang dijalankan oleh ujung saraf sensoris vater
paccini, meisner,krause dan ruffini yang terdapat di dermis), pengaturan suhu
tubuh (termoregulasi akibat adanya jaringan kapiler yang luas didermis,
adanya jaringan lemak subkutan,dan kelenjar keringat), pembentukan
pigmen, pembentukan vitamin D dan keratinisasi.

V. Gambaran Klinis
Istilah keloid pertama kali dikemukakan pada era 1800an sebagai
“cheloid” yang berasal dari bahasa yunani “Chele” yang berarti cakar kepiting
(Butker dkk, 2008). Gejala klinis keloid berupa plak atau nodul kenyal,
berwarna merah, merah muda, merah kecoklatan biasanya gatal dan nyeri,
yang tidak dapat pulih secara spontan dan ukurannya semakin lebar seiring
dengan waktu (Harting dkk,2008). Ada pula keloid yang berhenti tumbuh,
keloid tidak selalu memberikan gejala dan menjadi stabil. Keloid tumbuh
berlebihan melampaui batas luka, sebelumnya menimbulkan gatal dan
cenderung kambuh bila dilakukan intervensi bedah.
Frekuensi lokasi pada orang asia biasanya pada cuping telinga,
ekstremitas, leher, payudara, bahu, sternum, pinggang, dan wajah

8
VI. Patogenesis dan Patofisiologi
Pemahaman tentang penyembuhan luka normal sangat penting dalam
upaya memahami mekanisme pembentukan keloid. Secara klasik,
penyembuhan luka terbagi dalam tiga fase, yaitu : inflamasi, fibroblastik, dan
maturasi (Urioste dkk,2000).
Secara umum, keloid timbul setelah cedera atau inflamasi kulit pada
individu yang beresiko. Keloid dapat terjadi dalam waktu satu bulan sampai
satu tahun setelah trauma atau inflamasi. Trauma kulit pada dermis retikuler
atau lapisan kulit lebih dalam lagi cenderung berpotensi menjadi skar
hipertrofi dan keloid. Beberapa penyebab yaitu acne, folikulitis, varicella,
vaksinasi, tindik telinga, luka robek, dan luka operasi. Luka kecil pun, bahkan
bintil bekas gigitan serangga dapat menjadi keloid. Injeksi menggunakan
jarum ukuran kecil, seperti injeksi anastesi lokal, biasanya tidak menimbulkan
keloid. Keloid dapat terjadi pada injeksi yang memprovokasi inflamasi, seperti
vaksinasi (Robbles & Berg, 2007).

9
Setelah terjadi trauma/luka, pada lokasi luka terjadi degranulasi
platelet, aktifasi faktor pembekuan dan komplemen, mengakibatkan
pembentukan bekuan fibrin untuk hemostasis. Bekuan ini selanjutnya
berperan sebagai rangka untuk penyembuhan luka. Degranulasi platelet
menyebabkan pelepasan dan aktifasi sitokin poten termasuk transforming
growth factor-β (TGF-β), epidermal growth factor (EGF), insulin like growth
factor-1 (IGF-1) dan platelet-derived growth factor (PDGF). Growth factor
berfungsi merekrut dan mengaktifkan sel netrofil, epitel, endotel makrofag, sel
mast dan fibroblas. (Urioste dkk,1999 ; Gira dkk 2004).
Pembentukan jaringan granulasi dan maturasi scar membutuhkan
keseimbangan antara biosintesis kolagen dan degradasi matriks hingga
dicapai penyembuhan luka optimal. Makrofag dan fibroblas bergerak ke
tempat luka untuk mengembalikan integritas dermal yang rusak.
Seiring dengan proses, faktor antifibrotik juga dilepaskan, termasuk
interferon-α dan interferon-βyang diproduksi oleh leukosit dan fibroblas,
sedangkan interferon-Υ diproduksi oleh limfosit T. Interferon berfungsi
menghambat sintesis kolagen dan fibronektin oleh fibroblas. Interferon juga
menghambat diferensiasi fibroblas. Maturasi scar berakhir dengan regresi
stimulasi sitokin dan stimuli angiogenik, menghasilkan scar yang hiperemis
dan contracted. Scar remodelling terjadipada 6-12 bulan selanjtunya, dengan
scar yang terbentuk mendekati 70-80% tensile strength kulit normal. Fase
inflamasi yang memanjang mengakibatkan peningkatan aktifitas sitokin.
Resiko pembentukan keloid meningkat seiring dengan aktifitas sitokin yang
berkepanjangan ini. (Butler dkk,2008; Urioste dkk,2000).

VII. Diagnosis
Diagnosis dari gambaran klinis biasanya mudah dengan adanya
riwayat trauma atau radang kulit sebelumnya.
Diagnosis keloid dibuat berdasarkan gambaran klinis :
a. Konsistensi keloid yang bervariasi dari lunak, seperti karet sampai keras.
b. Lesi awal biasanya kemerahan
c. Lesi menjadi merah kecoklatan atau seperti warna daging

10
d. Lesi biasanya tidak mengandung folikel rambut ataupun kelenjar adneksa
lainnya.

Bila perlu, ditambah dengan pemeriksaan histopatologis.


Karakteristik histologis keloid adalah peningkatan kolagen dan
glikosaminoglikan. Terdapat banyak serabut kolagen berhyalin tebal yang
tersusun secara tidak teratur, disebut sebagai keloidal collagen (Robles &
Berg 2007). Susunan kolagen yang tidak beraturan ini berbeda dari serabut
kolagen normal yang tersusun secara paralel terhadap epidermis. Selain itu
pada keloid terdapat gambaran hitologis, diantaranya : tidak adanya
pembuluh darah yang tersusun vertikal, adanya gambaran seperti ujung lidah
dibawah epidermis dan papiler dermis yang tampak normal, gambaran
horizontal fibrous band dan fascia like band didermis retikuler bagian atas.
(Ong dkk,2010).

Gambar 1 : pewarnaan hematoksilin eosin pada paraffin section jaringan keloid. Tampak
penebalan epidermis dan gambaran seperti ujung lidah dibawah epidermis dan papiler
dermis yang tampak normal

Keloid Scar Hipertrofi


Permulaan Mungkin timbul Timbul dalam
setelah beberapa waktu beberapa
bulan atau satu- minggu
dua tahun.
Invasi Meluas ke daerah Terbatas pada
kerusakan epitel kerusakan

11
Penyembuhan Tak ada regresi Hilang sendiri
Predileksi Sternum, bahu, Dapat timbul
pipi, telinga, dimana pun
pinggang
Ras/Bangsa Terutama ras kulit Lebih banyak dari
gelap bangsa kulit putih
Luka bakar Mungkin sering
Gatal Jarang Biasanya
mengganggu

VIII. Diagnosis Banding


 Sikatrik hipertrofi
 Dermatofibroma

12
IX. Penatalaksanaan
a. Non medikamentosa
- Menyarankan pasien untuk menghindari gerakan yang dapat
meregangkan luka.
- Menyarankan pasien agar menghindari luka dari daya mekanis
langsung (misalnya gesekan dan garukan)
- Untuk pasien dengan luka di lutut kaki, menyarankan pasien untuk
menggunakan celana kain tidak ketat dan bukan jeans untuk
mencegah timbulnya gesekan yang berlebihan yang dapat
menimbulkan rasa nyeri dan gatal.
- Menyarankan kepada pasien untuk memperbaiki higiene sanitasi
serta perawatan dirinya.

13
b. Medikamentosa
Berbagai macam terapi yang ada untuk keloid, dengan modalitas yang paling
umum digunakan ini, injeksi steroid intralesi, eksisi bedah, cryoterapi, terapi
laser, terapi radiasi dan penerapan lembaran gel silicon. Pengobatan lain
yang telah digunakan dengan tingkat keberhasilan variabel meliputi,
Imiquimod, 5-FU, bleomycin, retinoid, calsium channel blockers, mitomycin
dan interferon-α2b. (Roblez,2007).

1. Injeksi Kortikosteroid
Keloid ditangani secara konservatif dengan penyuntikan
sediaan kortikosteroid intralesi yang diulang 3-4 minggu sekali sampai
efek yang diinginkan tercapai (Espana,2011). Secara keseluruhan,
modalitas ini memiliki tingkat tinggi toleransi serta efektivitas dalam
mengurangi gejala. Triamcinolone acetonide biasanya digunakan pada
konsentrasi 10-40mg/ml, tergantung pada ukuran dan lokasi nyeri.
Beberapa suntikan pada interval bulanan umumnya dibutuhkan
untuk keloid yang lebih besar. Suntikan steroid intralesi membantu
melembutkan dan mengurangi gejala pruritus dan nyeri tekan.
Komplikasi dari penggunaan kortikosteroid intralesi meliputi
atrofi kulit, hipo atau hiperpigmentasi, dan pengembangan
telangiektasis.

2. Pengobatan Imiquimod
Obat ini bekerja melalui reseptor sitokin pro-inflamasi, termasuk
TNF-α yang diketahui mengurangi produksi kolagen dalam fibroblast.
Setelah eksisi bedah, topikal krim Imiquimod 5 persen diterapkan
setiap malam kegaris jahitan dan sekitarnya dengan total 8 minggu.
Gatal, terbakar, sakit dan lecet adalah efek sampingnya.

3. 5-Fluorourasil (5-FU)
5-Fluorourasil adalah analog pirimidin yang diubah secara
intraseluler pada substrat yang menyebabkan penghambatan sintesis
DNA bersaing dengan penggabungan urasil. Tingkat peningkatan

14
proliferasi fibroblast terlihat pada keloidal menunjukan bahwa 5-FU
mungkin efektif dalam membatasi pertumbuhan keloid. Efek samping
dari 5-Fluorourasil yang signifikan seperti ulserasi dan hiperpigmentasi
yang membuat kurang menarik. Penghambat utama sistemik 5-
Fluorourasil adalah hubungannya dengan anemia, leukopenia dan
trombositopenia.

4. Pembedahan
Eksisi bedah dari keloid harus dilakukan dengan perhatian
khusus karena tingkat kekambuhan tinggi. Eksisi bedah mungkin
memuaskan, memberikan koreksi kosmetik segera. Namun, eksisi
yang sering menyebabkan bekas luka lama dan potensi untuk keloid
lebih besar pada saat tejadi kekambuhan. Pasien dengan riwayat
pembentukan parut hipertrofi atau keloid sebaiknya menghindari
prosedur elektif operasi atau kosmetik untuk menghindari resiko keloid
masa depan bila tidak ditambahkan dengan terapi tambahan.

5. Cryoterapi
Cryoterapi menggunakan refrigerant sebagai terapi tunggal atau
kombinasi dengan injeksi KIL. Metode aplikasi cryoterapi adalah
dengan cara ditempelkan, disemprotkan, dan disuntikkan intraseluler.
Kerusakan sel dan mikrovaskular yang diakibatkan oleh cryoterapi
menyebabkan stasis dan pembentukan trombus sehingga terjadi
nekrosis serta perlunakan dan pendataran keloid. Kelemahan
cryoterapi adalah nyeri yang ditimbulkan cukup berat dan waktu
penyembuhan yang lama sehingga pasien sering tidak datang
kembali.

6. Radioterapi
Beberapa studi menggunakan terapi radiasi sebagai tambahan
untuk eksisi bedah. Biasanya digunakan segera setelah eksisi bedah.

15
Ketika dikombinasikan dengan eksisi, tingkat keberhasilan lebih tinggi,
antara 65-99 persen. Efek samping dari terapi radiasi termasuk
eritema sementara dan hiperpigentasi. Resiko karsiogenesis dari
terapi radiasi keloid kemugkinan menjadi sangat rendah, terutama
dengan teknik modern.

7. Silicone Gel Dressing


Penggunaan silicone gel sheet merupakan suatu kemajuan
baru dalam penatalaksaan keloid dan jaringan skar hipertrofi. silicone
gel sheet tersebut berupa gel like transparent, flexible, inert sheet
dengan ketebalan 3.5 mm yang digunakan untuk terapi dan
pencegahan keloid ataupun jaringan skar hipertrofi. Lapisan tersebut
terbuat dari medical-grade silicone (polimer polydimethylsiloxane) dan
diperkuat dengan silicone membranebacking. Lapisan tersebut dapat
melekat dengan mudah pada jaringan skar atau direkatkan dengan
plester. Idealnya, silicone gel sheet diaplikasikan pada stadium awal
ketika jaringan scar mulai menunjukkan tanda ke arah berkembangnya
jaringan scar hipertrofi (Robles & Berg,2007)
Pemberian dengan silicone gel sheet efektif untuk keloid bila
digunakan setelah bedah eksisi, hal ini bertujuan untuk mencegah
kambuhnya keloid. silicone gel sheet dilaporkan dapat melembutkan
skar dan menurunkan ukuran scar, mengurangi ertitema dan gejala
gatal dan nyeri. Silicone gel sheet sebaiknya diaplikasikan segera
setelah eksisi dan dilanjutkan selama 12 jam per hari untuk 1 bulan.
Lamanya pemakaian membutuhkan tingkat kepatuhan pasien yang
baik. (Butler dkk,2008)

X. Komplikasi
a. Trauma pada keloid dapat menyebabkan erosi lesi dan menjadi sarang
infeksi bakteri
b. Rekurensi
c. Stress psikologik jika keloid sangat luas dan menimbulkan cacat

XI. Pencegahan

16
Pencegahan pembetukankeloid merupakan factor penting yang harus
diperhatikan dalam penanganan keloid. Klinisi harus waspada terhadap factor
resiko keloid, termasuk riwayat keloid, riwayat keloid dalam keluarga, tension
dilokasi trauma dan warna kulit gelap. Keloid juga dapat berasal dari proses
inflamasi yang lemah, termasuk akne dan injeksi. Perhatian khusus harus
diberikan ketika mengobati pasien dengan riwayat keloid.
Beberapa hal penting untuk mencegah keloid adalah :
1. Hindari gerakan berlebihan yang dapat meregangkan luka
2. Gunakan perban dan kain pembalut luka dengan tepat
3. Hindarkan luka dari daya mekanis langsung (misalnya gesekan
dan garukan)
4. Gunakan silicone gel sheet dan plester perekat
5. Untuk pasien luka di lutut kaki kiri gunakan celana terbuat dari
kain tidak ketat dan bukan jeans untuk mencegah gesekan yang
berlebihan yang dapat menimbulkan rasa nyeri dan gatal.
6. Setelah pembedahan dan trauma, luka yang terjadi harus dijaga
tetap bersih dengan cara melakukan irigasi dan mengoleskan obat
antibakteri dan antijamur.
7. Setelah pembedahan dan trauma, hindari kontak antara dermis
daerah luka (termasuk lubang tindik telinga) dengan benda asing.
(Kelly 2009; ogawa,2010)

XII. Prognosis
Harus diperhatikan kemungkinan timbulnya keloid pada luka, trauma
atau infeksi didaerah predileksi dan eksisi keloid pada tempat tersebut,
kemingkinan besar akan menimbulkan rekurensi sehingga penatalaksaan
harus hati-hati.

17
Daftar Pustaka

Butler, P.D., Longaker, M.T.., Yang, G.P. 2008. Current progress in keloid
research and treatment, J Am Coll Surg 206:731-41

Cho, S.B., Lee, J.H., Lee, S.H., Lee, S.J., Bang, D., Oh S.H. 2010. Efficacy
and safety of 1064-nm Q-switched Nd:YAG laser with low fluence for keloids
and hypertrophic scars JEADV24:1070-4

Espana. A,. et al. 2001. Bleomycin in the treatment of keloid and hipertropic
scars by multiple needle punctures. Dermatol Surg.pp. 23-27

Gaugglitz, Gerd, et al. 2011. Hypertrophic and Scarring and Keloids:


Pathomechanisms and Current and Emerging Treatment Strategies. Mol
Med.pp. 113-126

Harting, M., Hicks, M.L., Levy, M.L, 2008. Dermal hypertropies. Dalam: Wolff
K, Goldsmith LA, Katz. SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editors.
Fizpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7 th ed. New York : The
McGraw-Hill Companies.

Kelly, A.P.2009. update on the management of the keloids Semin Cutan Med
Surg. 28:71-6.

Ogawa, R, 2010. the most current algorithms for the treatment and
prevention of hypertrophic scars and keloids. Plast Reconstr Surg 125:557-
68.

18
Ong, C.T., Khoo., Y.T., Mukhopadhyay, A., Masilamani, J., Do, D.V., Lim, J.,
dkk. 2010. Comperative proteomic analysis between normal skin and keloid
scar. British Journal of Dermatology 162:1302-15.

Robles, DT., Moore, E., Draznin M., Berg D. 2007. Keloids : Pathopysiology
and Management. Dermatology Online Journal 13(3):9

Thompson. Lester,. 2001. Skin Keloid. ENT Journal.

Wolfram. Dolores, 2009. Hypertrophyc scars and keloids – a review of their


Pathophysiology, Risk Factors, and Therapeutic Management. American
society for Dermatology Surgery. Pp. 171-181.

19

Anda mungkin juga menyukai