Anda di halaman 1dari 37

FAKULTAS KEDOKTERAN Makassar, 28 Mei 2018

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA


BLOK ENDOKRIN DAN METABOLISME

LAPORAN PBL
MODUL 2
KEGEMUKAN

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 2 PBL
Evi Sriwahyuni (11020140133)
Icha Wulandari Lapata (11020140137)
Yenni Maulani Jufri (11020160008)
Bambang Sukoco (11020160019)
Zulfikar Anand Pratama (11020160034)
Ridha Mardhatillah (11020160048)
Alysa Ahadyah Pratama Putri (11020160074)
Dinda Permatasari (11020160094)
Dinda Pratiwi Basri (11020160115)
Fauzia Suparjo (11020160138)
Atmaraya Abdullah (11021060174)
TUTOR : dr. Lisa Yuniati, Sp.KK

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2018

1
Kata Pengantar

Alhamdulillah, kami panjakan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala karena limpahan


rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga laporan hasil TUTORIAL dari kelompok 2 PBL
Blok Endokrin dan Metabolisme dapat terselesaikan dengan baik. Salam shalawat tak lupa
kita kirimkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam beserta keluarganya, para
sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in dan orang yang senantiasa istiqmah di jalan-Nya.

Ucapan terimakasih yang sangat besar kepada setiap pihak yang telah membantu
terbuatnya laporan ini dan yang telah membantu selama masa TUTORIAL khususnya kepada
dr. Lisa Yuniati, Sp.KK yang telah banyak membantu selama proses PBL berlangsung. Dan
kami juga mengucapkan permohonan maaf kepada setiap pihak jika dalam proses PBL telah
berbuat salah baik disengaja maupun tidak disengaja.

Semoga Laporan hasil TUTORIAL ini dapat bermanfaat bagi setiap pihak yang telah
membaca laporan ini dan khusunya bagi tim penyusun sendiri. Diharapkan mahasiswa dapat
melihat dan memahami aspek – aspek dalam kasus yang diberikan tentang aspek
Kegemukan serta pandangan islam dalam masalah ini.

Makassar, 22 Mei 2018

2
I. Skenario
Seorang wanita umur 50 tahun dating ke dokter untuk medical check up. Dari
anamnesis selama ini yang bersangkutan hamper tiak mempunyai keluhan selain
merasa lelah dan selalu mengantuk. Diketahui ada iwayat bapaknya menderita
diaebetes. Tidak ada riwayatmerokok, aktifitas fisik sehari-hari kurang.
Pemeriksaan fisik tinggi badan 160 cm, berat badan 82 kg, lingkar pinggang 95
cm, tekanan darah 160/90 mmHg. Pemeriksaan fisik lain dalam batas normal.

II. Kata Sulit


-

III. Kata Kunci


-Wanita, 50 tahun
-Merasa lemas dan selalu mengantuk
-Riwayat bapaknya menderita diabetes
-Tidak ada riwayat merokok, aktifitas sehari-hari kurang
-Tinggi Badan 160 cm, berat badan 82 kg, lingkar pinggang 95 cm, tekanan darah
160/90 mmHg
-Pemeriksaan lain dalam batas normal

IV. Pertanyaan Penting


1. Jelaskan patomekanisme mengantuk dan lemas!
2. Apa hubungan obesitas dengan hipertensi?
3. Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan obesitas?
4. Kapan seseorang dikatakan mengalami kegemukan?
5. Apa hubungan riwayat diabetes pada keluarga dengan pasien?
6. Apa penanganan awal yang dilakukan pada scenario?
7. Apa diagnosis banding pada skenario?
8. Sebutkan perspektif Islam yang terkait pada skenario!
V. Jawaban Pertanyaan
1. Patomekanisme gejala dari skenario:
a. Lemah dan Lemas
Insulin yang dikeluarkan oleh sel beta pankreas dapat diibaratkan sebagai
anak kunci yang dapat membuka pintu masuknya glukosa ke dalam sel,

3
untuk kemudian di dalam sel glukosa itu dimetabolisasikan menjadi
tenaga. Bila insulin tidak ada, maka glukosa tidak dapat masuk ke dalam
sel, akibatnya glukosa akan tetap berada di dalam pembuluh darah yang
artinya kadarnya di dalam darah meningkat. Dalam keadaan ini badan
akan menjadi lemah dan lemas karena tidak ada sumber energi di dalam
sel.

b. Mengantuk
Hal ini disebabkan karena penurunan insulin yang menyebabkan tingginya
kadar glukosa darah. Tingginya kadar glukosa dalam darah
(hiperglikemia) akan mengakibatkan viskositas darah meningkat.
Peningkatan viskositas darah akan menyebabkan penurunan volume
plasma. Penurunan volume plasma ini juga berarti bahwa volume darah
yang dipompa oleh jantung menurun. Hal ini berdampak pada kurangnya
transpor darah ke otak sehingga otak tidak mendapatkan cukup oksigen.
Hal inilah yang menyebabkan timbulnya rasa kantuk.

Referensi: Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 6.


Jakarta : EGC. Halaman 118, 126, 274

2. Hubungan obesitas dengan hipertensi:


Pada orang yang obesitas terjadi peningkatan kerja pada jantung untuk
memompa darah. Berat badan berlebihan menyebabkan bertambahnya volume
darah dan luas dan perluasan sistem sirkulasi. Makin besar massa tubuh,
makin banyak pula suplai darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan
nutrisi ke jaringan tubuh. Hal ini mengakibatkan volume darah yang beredar
melalui pembuluh darah akan meningkat sehingga tekanan pada dinding arteri
menjadi lebih besar. Hipertensi dapat terjadi pada kelompok obesitas atau
kegemukan akibat dari beberapa mekanisme seperti peningkatan curah
jantung, kenaikan volume tubuh serta peningkatan resistensi vaskular perifer.

4
Obesitas juga dapat mengakibatkan hipertensi akibat dari abnormalitas
hormon. Adiposit (sel lemak) akan mensekresi leptin dan adiponektin. Fungsi
utama leptin adalah untuk berinteraksi dengan hipotalamus untuk mengkontrol
berat badan dan akumulasi lemak melalui penghambatan selera makan dan
peningkatan metabolic rate. Bagaimanapun, peningkatan sekresi leptin yang
tinggi akibat dari obesitas dapat mengakibatkan resistensi terhadap fungsi
penurunan berat badan ini. Adiponektin pula adalah suatu protein yang
dihasilkan oleh jaringan adiposa tetapi akan berkurang pada penderita
obesitas. Penurunan adiponektin dikaitkan dengan resistensi insulin,
penurunan penghasilan nitric oxide (vasodilator), dan aktivasi system renin-
angintensin-aldosteron. Kedua-dua ini akan mengakibatkan perubahan seperti
vasokonstriksi, retensi garam dan air dan disfungsi ginjal sehingga
mengakibatkan peningkatan tekanan darah pada penderita obesitas.

Referensi: Yana Kembuan, Iva. Hubungan Obesitas Dengan Penyakit


Hipertensi Pada Pasien Poliklinik Toulaan Kab. Minahasa Tenggara. 2016.
Fakultas Kedokteran UNSRAT
3. Faktor penyebab obesitas:
a. Genetik
Kegemukan dapat diturunkan dan generasi sebelumnya pada generasi
berikutnya didalam sebuah keluarga. Itulah sebabnya kita seringkali
menjumpai orangtua yang gemuk cenderung memiliki anak-anak yang
gemuk pula. Dalam hal ini nampaknya faktor genetik telah ikut campur
dalam menentukan jumlah unsur sel lemak dalam tubuh. Hal ini
dimungkinkan karena pada saat ibu yang obesitas sedang hamil maka
unsur sel lemak yang berjumlah besar dan melebihi ukuran normal, secara
otomatis akan diturunkan kepada sang bayi selama dalam kandungan.
Maka tidak heranlah bila bayi yang lahirpun memiliki unsur lemak tubuh
yang relatif sama besar.
b. Kurang Aktivitas
Tingkat pengeluaran energi tubuh sangat peka terhadap pengendalian
berat tubuh. Pengeluaran energi tergantung dan dua faktor: 1) tingkat
aktivitas dan olahraga secara umum; 2) angka metabolisme basal atau
tingkat energi yang dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi minimal

5
tubuh. Dan kedua faktor tersebut metabolisme basal memiliki tanggung
jawab dua pertiga dan pengeluaran energi orang normal. Meski aktivitas
fisik hanya mempengaruhi satu pertiga pengeluaran energi seseorang
dengan berat normal, tapi bagi orang yang memiliki kelebihan berat badan
aktivitas fisik memiliki peran yang sangat penting. Pada saat berolahraga
kalori terbakar, makin banyak berolahraga maka semakin banyak kalori
yang hilang. Kalori secara tidak langsung mempengaruhi sistem
metabolisme basal. Orang yang duduk bekerja seharian akan mengalami
penurunn metabolisme basal tubuhnya. Kekurangan aktifitas gerak akan
menyebabkan suatu siklus yang hebat, obesitas membuat kegiatan
olahraga menjadi sangat sulit dan kurang dapat dinikmati dan kurangnya
olahraga secara tidak langsung akan mempengaruhi turunnya metabolisme
basal tubuh orang tersebut. Jadi olahraga sangat penting dalam penurunan
berat badan tidak saja karena dapat membakar kalori, melainkan juga
karena dapat membantu mengatur berfungsinya metabolis normal.
c. Pola Makan Berlebihan
Orang yang kegemukan lebih responsif dibanding dengan orang berberat
badan normal terhadap syarat lapar eksternal, seperti rasa dan bau
makanan, atau saatnya waktu makan. Orang yang gemuk cenderung
makan bila ia merasa ingin makan, bukan makan pada saat ia lapar. Pola
makan berlebih inilah yang menyebabkan mereka sulit untuk keluar dan
kegemukan jika sang individu tidak memiliki kontrol diri dan motivasi
yang kuat untuk mengurangi berat badan.
d. Faktor gaya hidup
Salah satu dampak negatif kemajuan teknologi adalah terjadinya
pergeseran gaya hidup dan dinamis aktif menjadi malas-malasan
(sedentary). Kondisi tersebut disebabkan oleh peran mesin-mesin serba
otomatis yang menggantikan hampir semua pekerjaan manusia, contoh :
dahulu seorang Ibu rumah tangga harus menimba air untuk keperluan
mencuci pakaian, kini tinggal tekan menekan tombol mesin cuci.
Semuanya menjadi bersih, tanpa banyak mengeluarkan tenaga. Keadaan
tersebut menjadi tubuh surplus energi artinya nilai kalori dan asupan
makan besar dibanding nilai kalori untuk aktivitas fisik, hal tersebut
menyebabkan terjadinya obesitas.

6
e. Lingkungan
Faktor lingkungan ternyata juga mempengaruhi seseorang untuk menjadi
gemuk. Jika seseroang dibesarkan dalam lingkungan yang menganggap
gemuk adalah simbol kemakmuran dan keindahan maka orang tersebut
akan cenderung untuk menjadi gemuk. Selama pandangan tersebut tidak
dipengaruhi oleh faktor eksternal maka orang yang obesitas tidak akan
mengalami masalah-masalah psikologis sehubungan dengan kegemukan.

Referensi: Respository.usu.ac.id\

4. Seseorang dikatakan obesitas saat:

Kegemukan atau obesitas merupakan suatu kelainan kompleks


pengaturan nafsu makan dan metabolisme energi yang dikendalikan oleh
beberapa faktor biologik spesifik, faktor genetik diketahui sangat berpengaruh
bagi perkembangan penyakit ini. Secara fisiologis, obesitas di definisikan
sebagai suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau
berlebihan di jaringan adiposa sehingga dapat mengganggu kesehatan.

Mengukur lemak tubuh secara langsung sangat sulit dan sebagai


pengukur pengganti dipakai body mass index (BMI) atau indeks massa tubuh
(IMT) untuk menentukan berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa.
IMT merupakan indikator yang paling sering digunakan dan praktis untuk
mengukur tingkat populasi berat bandan lebih dan obes pada orang dewasa.
IMT, yaitu berat badan dalam kilogram (kg) dibagi tinggi dalam meter kuadrat
(m2).

7
Tabel 1, merupakan klasifikasi yang ditetapkan word healt
organization (WHO), nilai IMT3 30 kg/m2 dikatakan sebagai obesitas dan nilai
IMT 25-29,9 kg/m2 pra obese.

Hubungan antara lemak tubuh dan IMT ditentukan oleh bentuk tubuh
dan proporsi tubuh, sehingga dengan demikian IMT belum tentu memberikan
kegemukan yang sama bagi semua populasi sehingga, wilayah Asia Pasifik
pada saat ini telah mengusulkan kriteria dan klasifikasi obesitas sendiri (tabel
2).

8
Jumlah lemak tubuh dapat ditentukan in vivo dengan cara menimbang di bawah
permukaan air, Dual Energy X-Ray Absorptiometry (DEXA) atau dengan mengukur tebal
lipatan kulit.

Referensi : Sugono, sidartawan. Obesitas dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta : EGC. Halaman : 2563-2564

5. Hubungan riwayat penyakit pada keluarga dan pasien:


Salah satu faktor risiko diabetes mellitus ada pada faktor genetic.
Penderita diabetes tipe 1 tidak mewarisi diabetes tipe 1 itu sendiri, tetapi
mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetic kearah terjadinya DM
tipe 1. Kecenderungan genetic ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe
antigen HLA.
Bukti untuk determinan genetic diabetes tipe 1 adalah adanya kaitan
dengan tipe- tipe histokomptabilitas (Human Leukocyt Antigen / HLA)
spesifik. Tipe dari gen histo komptabilitas yang berkaitan dengan diabetes
tipe 1 ( DW3 dan DW 4) adalah yang member kode kepada protein-protein
yang berperan penting dalam interaksi monosit-limfosit. Protein- protein ini
mengatur respons sel T yang merupakan bagian normal dari respons imun.
Jika terjadi kelainan, fungsi limfosit T yang terganggu akan berperan penting
dalam pathogenesis perusakan sel- sel pulau Langerhans.

9
Pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2, penyakitnya mempunyai
pola familial yang kuat. Indeks untuk diabetes tipe 2 pada kembar homozigot
hampir 100%. Risiko berkembangnya diabetes tipe 2 pada saudara kandung
mendekati 40% dan 33% untuk anak cucunya. Transmisi genetic adalah yang
paling kuat dan contoh terbaik terdapat dalam diabetes awitan dewasa muda
(MODY), yaitu subtype penyakit diabetes yang diturunkan dengan pola
autosomal dominan. Jika orang tua menderita diabetes tipe 2, rasio diabetes
dan non diabetes pada anak adalah 1: 1, dan sekitar 90% pasti membawa
(carrier) diabetes tipe 2.

Referensi : Price, Sylvia A and Lorraine M Wilson. 2005. Patofisiologi


Volume 2. Jakarta : EGC

6. Penanganan awal:
Para ahli mengatakan bahwa mengubah gaya hidup Anda adalah
pengobatan utama untuk sindrom metabolik, antara lain:
Non-Farmakologi
a. Berolahraga.
Olahraga adalah cara yang bagus untuk menurunkan berat badan. Hal
ini merupakan kuncinya jika Anda kelebihan berat badan. Jangan patah
semangat jika skala timbangan tampaknya tidak menunjukkan perubahan.
Walaupun Anda tidak kehilangan berat badan, namun olahraga dapat
menurunkan tekanan darah, memperbaiki kadar kolesterol dan resistensi
insulin. Jika Anda tidak bugar, mulailah dengan perlahan- lahan. Cobalah
untuk lebih banyak berjalan, lebih banyak aktivitas fisik dalam pekerjaan
sehari-hari Anda. Ketika Anda berjalan kaki, ambil rute lain sambil
melihat pemandangan untuk mendapatkan beberapa tambahan langkah.

10
Agar terpantau, coba gunakan pedometer atau “penghitung langkah”.
Idealnya, Anda harus meningkatkan aktivitas fisik Anda hingga Anda
dapat melakukannya hampir setiap hari. Tapi jangan terlalu ambisius. Hal
ini karena, jika terlalu berat, maka Anda mungkin akan menyerah.
Sebaiknya temukan tingkat latihan yang sesuai dengan kepribadian Anda.
b. Makan makanan yang sehat.
Makan makanan yang sehat dapat memperbaiki kadar kolesterol,
resistensi insulin, dan tekanan darah Anda, walaupun berat badan Anda
tetap sama. Tanyakan kepada dokter atau ahli diet mengenai jenis diet apa
yang seharusnya Anda makan. Orang yang memiliki penyakit jantung atau
diabetes mungkin memerlukan rencana makan / diet yang khusus. Secara
umum, diet yang rendah lemak jenuh, lemak trans, kolesterol, dan garam
serta tinggi dalam buah-buahan dan sayuran, protein tanpa lemak, kacang-
kacangan, susu rendah lemak, dan biji-bijian, telah terbukti membantu
orang dengan tekanan darah tinggi dan yang memiliki risiko penyakit
kardiovaskular lebih tinggi. Banyak dokter menyarankan diet
“Mediterania” atau diet DASH. Diet tersebut menekankan pada lemak
“baik” (seperti lemak tak jenuh tunggal dalam minyak zaitun) serta
keseimbangan karbohidrat dan protein. Menurunkan berat badan. Ini
merupakan hasil sampingan dari berolahraga dan makan dengan baik. Tapi
hal ini menjadi tujuan utama jika Anda kelebihan berat badan atau
obesitas. Penurunan berat badan dapat memperbaiki setiap aspek sindrom
metabolik.
Jika Anda merokok, berhentilah! Merokok memang bukan faktor
risiko sindrom metabolik. Namun, merokok sangat meningkatkan risiko
Anda terkena penyakit pembuluh darah dan jantung.

FARMAKOLOGI

Obat-Obatan Untuk Sindrom Metabolik

Beberapa orang dengan sindrom metabolik juga memerlukan obat-obatan.


Obat-obatan mungkin diperlukan jika perubahan gaya hidup tidak cukup untuk
mengurangi faktor risiko Anda. Beberapa obat yang mungkin digunakan
adalah :

11
1. Obat tekanan darah tinggi, yang meliputi obat-obatan seperti ACE inhibitor
(misal Capoten dan Vasotec), angiotensin II receptor blocker (misal Cozaar
dan Diovan), diuretik, beta-blocker, dan obat-obatan lainnya.

2. Obat kolesterol, yang meliputi statin (misal Crestor, Lescol, Lipitor,


Mevacor, Pravachol, dan Zocor), niasin (misal Niacor, Niaspan, dan Nicolar),
resin asam empedu (misal Colestid dan Questran), Zetia, dan obat-obatan
lainnya.

3. Obat diabetes, yang mungkin diperlukan jika Anda memiliki intoleransi


glukosa. Obat-obatan termasuk Glucophage, Actos, dan Avandia.

4. Aspirin dosis rendah, yang dapat mengurangi risiko serangan jantung dan
stroke. Obat ini mungkin sangat penting bagi orang-orang yang
“prothrombotic“, atau rentan terhadap pembekuan darah.

Referensi: WebMD Medical Reference Reviewed by Michael Dansinger,


MD on January 20, 201

7. Diagnosis Banding:
SINDROM METABOLIK

Sindroma Metabolik (SM) merupakan kelainan metabolik kompleks yang diakibatkan


oleh peningkatan obesitas. Komponen utama SM adalah obesitas, resistensi insulin,
dislipidemia, dan hipertensi. Sindrom metabolik merupakan kumpulan dari faktor–faktor
resiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Prevalensi obesitas telah meningkat secara
dramatis di Amerika Serikat, dan juga di berbagai negara di dunia. Telah diketahui bahwa
obesitas berhubungan dengan penyakit vaskular dan berkenaan dengan Sindrom Metabolik.
Data epidemiologi menyebutkan prevalensi SM dunia adalah 20–25%. Hasil penelitian
Framingham Offspring Study menemukan bahwa pada responden berusia 26–82 tahun
terdapat 29,4% pria dan 23,1% wanita menderita SM. Sedangkan penelitian di Perancis
menemukan prevalensi SM sebesar 23% pada pria dan 21% pada wanita. Data dari
Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI) menunjukkan prevalensi SM sebesar 13,13%.

12
Definisi Sindrom Metabolik

Sindroma metabolik merupakan suatu kumpulan faktor risiko metabolik yang


berkaitan langsung terhadap terjadinya penyakit kardiovaskuler artherosklerotik. Faktor
risiko tersebut antara lain terdiri dari dislipidemia aterogenik, peningkatan tekanan darah,
peningkatan kadar glukosa plasma, keadaan prototrombik, dan proinflamasi.

Kriteria Diagnosis Sindrom Metabolik

Hingga saat ini ada 3 definisi SM yang telah di ajukan, yaitu definisi World Health
Organization (WHO), NCEP ATP–III dan International Diabetes Federation (IDF). Ketiga
definisi tersebut memiliki komponen utama yang sama dengan penentuan kriteria yang
berbeda. Pada tahun 1988, Alberti dan Zimmet atas nama WHO menyampaikan definisi SM
dengan komponen – komponennya antara lain : (1) gangguan pengaturan glukosa atau
diabetes (2) resistensi insulin (3) hipertensi (4) dislipidemia dengan trigliserida plasma >150
mg/dL dan/atau kolesterol high density lipoprotein (HDL–C<35 mg/dL untuk pria; <39
mg/dL untuk wanita; (5) obesitas sentral (laki–laki: waistto–hip ratio >0,90; wanita: waist–
to– hip ratio >0,85) dan/atau indeks massa tubuh (IMT) >30 kg/m2; dan (6)
mikroalbuminuria (Urea Albumin Excretion Rate >20 mg/min atau rasio albumin/kreatinin
>30 mg/g). Sindrom metabolik dapat terjadi apabila salah satu dari 2 kriteria pertama dan 2
dari empat kriteria terakhir terdapat pada individu tersebut, Jadi kriteria WHO 1999
menekankan pada adanya toleransi glukosa terganggu atau diabetes mellitus, dan atau
resitensi insulin yang disertai sedikitnya 2 faktor risiko lainya itu hipertensi, dislipidemia,
obesitas sentral dan mikroalbuminaria.

Kriteria yang sering digunakan untuk menilai pasien SM adalah NCEP–ATP III, yaitu
apabila seseorang memenuhi 3 dari 5 kriteria yang disepakati, antara lain: lingkarperutpria
>102 cm atau wanita >88 cm; hipertrigliseridemia (kadar serum trigliserida >150 mg/dL),
kadar HDL–C <40 mg/dL untuk pria, dan <50 mg/dL untuk wanita; tekanan darah >130/85
mmHg; dan kadar glukosa darah puasa >110 mg/dL. Suatu kepastian fenomena klinis yang
terjadi yaitu obesitas central menjadi indikator utama terjadinya SM sebagai dasar
pertimbangan dikeluarkannya diagnosis terbaru oleh IDF tahun 2005. Seseorang dikatakan
menderita SM bila ada obesitas sentral (lingkar perut >90 cm untuk pria Asia dan lingkar
perut >80 cm untuk wanita Asia) ditambah 2 dari 4 faktor berikut : (1) Trigliserida >150
mg/dL (1,7 mmol/L) atau sedang dalam pengobatan untuk hipertrigliseridemia; (2) HDL–C:
<40 mg/dL (1,03 mmol/L) pada pria dan <50 mg/dL (1,29 mmol/L) pada wanita atau sedang

13
dalam pengobatan untuk peningkatan kadar HDL–C; (3) Tekanan darah: sistolik >130 mmHg
atau diastolik >85 mmHg atau sedang dalam pengobatan hipertensi; (4) Gula darah puasa
(GDP) >100 mg/dL (5,6 mmol/L), atau diabetes tipe 2. Hingga saat ini masih ada kontroversi
tentang penggunaan kriteria indikator SM yang terbaru tersebut.

Kriteria diagnosis NCEP–ATP III menggunakan parameter yang lebih mudah untuk
diperiksa dan diterapkan oleh para klinisi sehingga dapat dengan lebih mudah mendeteksi
sindroma metabolik. Yang menjadi masalah adalah dalam penerapan kriteria diagnosis
NCEP– ATP III adalah adanya perbedaan nilai “normal” lingkar pinggang antara berbagai
jenis etnis. Oleh karena itu pada tahun 2000 WHO mengusulkan lingkar pinggang untuk
orang Asia ≥90 cm pada pria dan wanita ≥ 80 cm sebagai batasan obesitas central.

Belum ada kesepakatan kriteria sindroma metabolik secara international, sehingga


ketiga definisi di atas merupakan yang paling sering digunakan Tabel 1 berikut
menggambarkan perbedaan ketiga definisi tersebut.

14
Kriteria diagnosis WHO: Criteria diagnosis ATP III :

Komponen IDF

Resistensi insulin plus : 3 komponen di bawah ini

Obesitas Waist to hip ratio : Lingkar perut : Lingkar perut :

abdominal/ sentral Laki–laki : >0,9 Laki–laki: 102 cm Laki–laki: ≥90 cm

Wanita : >0,85 atau Wanita : >88 cm Wanita : ≥80 cm

IMB >30 Kg/m

Hiper– ≥150 mg/dl (≥ 1,7 mmol/L) ≥150 mg/dl (≥1,7 mmol/L) ≥150 mg/dl

trigliseridemia

Hipertensi TD ≥ 140/90 mmHg atau TD ≥ 130/85 mmHg atau TD sistolik ≥130

riwayat terapi anti hipertensif riwayat terapi anti hipertensif mmHg

TD diastolik ≥85

mmHg

Kadar glukosa Toleransi glukosa terganggu, ≥ 110 mg/dl GDP ≥100mg/dl

darah tinggi glukosa puasa

terganggu,resistensi insulin

atau DM

Mikro–albuminuri Rasio albumin urin dan

kreatinin 30 mg/g atau laju

eksresi albumin 20 mcg/menit

15
Etiologi

Etiologi SM belum dapat diketahui secara pasti. Suatu hipotesis


menyatakan bahwa penyebab primer dari SM adalah resistensi insulin.10

Menurut pendapat Tenebaum penyebab sindrom metabolik adalah:

a. Gangguan fungsi sel β dan hipersekresi insulin untuk mengkompensasi


resistensi insulin. Hal ini memicu terjadinya komplikasi makrovaskuler
(komplikasi jantung).
b. Kerusakan berat sel β menyebabkan penurunan progresif sekresi insulin,
sehingga menimbulkan hiperglikemia. Hal ini menimbulkan komplikasi
mikrovaskuler (nephropathy diabetica)

Sedangkan, Faktor risiko untuk Sindrom Metabolik adalah hal–


hal dalam kehidupan yang dihubungkan dengan perkembangan penyakit
secara dini. Ada berbagai macam faktor risiko SM, antara lain adalah gaya
hidup (pola makan, konsumsi alkohol, rokok, dan aktivitas fisik), sosial
ekonomi dan genetik serta stres.

Patofisiologi

Obesitas merupakan komponen utama kejadian SM, namun


mekanisme yang jelas belum diketahui secara pasti. Obesitas yang
diikuti dengan meningkatnya metabolisme lemak akan menyebabkan
produksi Reactive Oxygen Species (ROS) meningkat baik di sirkulasi
maupun di sel adiposa. Meningkatnya ROS di dalam sel adipose dapat
menyebabkan keseimbangan reaksi reduksi oksidasi (redoks) terganggu,
sehingga enzim antioksidan menurun di dalam sirkulasi. Keadaan ini
disebut dengan stres oksidatif. Meningkatnya stres oksidatif
menyebabkan disregulasi jaringan adiposa dan merupakan awal
patofisiologi terjadinya SM, hipertensi dan aterosklerosis.

Stres oksidatif sering dikaitkan dengan berbagai patofisiologi


penyakit antara lain diabetes tipe 2 dan aterosklerosis. Pada pasien

16
diabetes melitus tipe 2, biasanya terjadi peningkatan stress oksidatif,
terutama akibat hiperglikemia. Stress oksidatif dianggap sebagai salah
satu penyebab terjadinya disfungsi endotel–angiopati diabetic, dan pusat
dari semua angiopati diabetik adalah hiperglikemia yang menginduksi
stress oksidatif melalui 3 jalur, yaitu; peningkatan jalur poliol,
peningkatan auto–oksidasi glukosa dan peningkatan protein glikosilat.

Pada keadaan diabetes, stres oksidatif menghambat pengambilan


glukosa di sel otot dan sel lemak serta menurunkan sekresi insulin oleh
sel–β pankreas. Stres oksidatif secara langsung mempengaruhi dinding
vaskular sehingga berperan penting pada patofisiologi terjadinya diabetes
tipe 2 dan aterosklerosis. Dari beberapa penelitian diketahui bahwa
akumulasi lemak pada obesitas dapat menginduksi keadaan stress oksidatif
yang disertai dengan peningkatan ekspresi Nicotinamide Adenine
Dinucleotide Phosphatase (NADPH) oksidase dan penurunan ekspresi
enzim antioksidan.

Resistensi Insulin dan hipertensi sistolik merupakan faktor yang


menentukan terjadinya disfungsi endotel.

Resistensi Insulin menyebabkan menurunnya produksi Nitric


Oxide (NO) yang dihasilkan oleh sel–sel endotel, sedangkan hipertensi
menyebabkan disfungsi endotel melalui beberapa cara seperti; secara
kerusakan mekanis, peningkatan sel–sel endotel dalam bentuk radikal
bebas, pengurangan bioavailabilitas NO atau melalui efek proinflamasi
pada sel–sel otot polos vaskuler. Disfungsi endotel ini berhubungan
dengan stres oksidatif dan menyebabkan penyakit kardiovaskuler. Proses–
proses seluler yang penting yang berkenaan dengan disfungsi endotel ini
dapat dilihat pada gambar–1.

17
Gambar–1. Proses seluler yang berkenaan dengan disfungsi endotel
menyebabkan vascular injury dan

18
Simpulan

Sindrom metabolik (SM) adalah kondisi dimana seseorang memiliki tekanan


darah tinggi, obesitas sentral dan dislipidemia, dengan atau tanpa hiperglikemik.
Kriteria yang sering digunakan untuk menilai pasien SM adalah NCEP–ATP III,
yaitu apabila seseorang memenuhi 3 dari 5 kriteria yang disepakati, antara lain:
lingkar perutpria >102 cm atau wanita >88 cm; hipertrigliseridemia (kadar serum
trigliserida >150 mg/dL), kadar HDL–C <40 mg/dL untuk pria, dan <50 mg/dL
untuk wanita; tekanan darah >130/85 mmHg; dan kadar glukosa darah puasa >110
mg/dL.

Etiologi Sindrom Metabolik belum dapat diketahui secara pasti. Suatu


hipotesis menyatakan bahwa penyebab primer dari Sindrom Metabolik adalah
resistensi insulin Patofisiologi SM masih menjadi kontroversi, namun hipotesis
yang paling banyak diterima adalah resistensi insulin. Obesitas merupakan
komponen utama kejadian SM, namun mekanisme yang jelas belum diketahui
secara pasti. Obesitas yang diikuti dengan meningkatnya metabolisme lemakakaN
menyebabkan produksi ROS meningkat baik di sirkulasi maupun di sel adiposa.
Meningkatnya ROS di dalam sel adipose dapat menyebabkan keseimbangan
reaksi reduksi oksidasi (redoks) terganggu, sehingga enzim antioksidan menurun
di dalam sirkulasi. Keadaan ini disebut dengan stres oksidatif. Meningkatnya stres
oksidatif menyebabkan disregulasi jaringan adiposa dan merupakan awal
patofisiologi terjadinya SM, hipertensi dan aterosklerosis.

Prevalensi SM Di dunia adalah 20– 25%. Prevalensi sindrom metabolik


sangat bervariasi oleh karena beberapa hal antara lain ketidakseragaman kriteria
yang digunakan, perbedaan etnis/ras, umur dan jenis kelamin. Walaupun demikian
prevalensi SM cenderung meningkat oleh karena meningkatnya prevalensi
obesitas maupun obesitas sentral. penelitian terhadap urban Brazil ditemukan
prevalensi SM lebih tinggi pada pria muda dibanding wanita. Namun seiring
dengan pertambahan umur, prevalensinya meningkat pada wanita. Faktor resiko

19
SM meliputi gaya hidup (pola makan, merokok, aktivitas fisik), genetic, social
ekonomi.

Referensi: Rini, Sandra. Sindrom Metabolik. Fak. Kedokteran Univ.


Lampung. 2015. hal. 88-92

DIABETES MELLITUS TIPE 2

1. Definisi

Diabetes mellitus adalah
 gangguan metabolisme yang

secara
 genetik dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa

hilangnya toleransi karbohidrat, jika telah berkembang penuh secara klinis


maka diabetes mellitus ditandai dengan hiperglikemia puasa dan
postprandial, aterosklerosis dan penyakit vaskular mikroangiopati.

Diabetes Mellitus Tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemi akibat


insensivitas sel terhadap insulin. Kadar insulin mungkin sedikitmenurun
atau berada dalam rentang normal. Karena insulin tetap dihasilkan oleh
sel-sel beta pankreas, maka diabetes mellitus tipe II dianggap sebagai non
insulin dependent diabetes mellitus.

Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang


di tandai oleh kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh
sel beta

2. Epidemiologi

Kejadian DM Tipe 2 pada wanita lebih tinggi daripada laki-


laki.Wanita lebih berisiko mengidap diabetes karena secara fisik wanita
memiliki peluang peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Hasil

20
Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2008, menunjukan prevalensi DM di
Indonesia membesar sampai 57%, pada tahun 2012 angka kejadian
diabetes melitus didunia adalah sebanyak 371 juta jiwa, dimana proporsi
kejadiandiabetes melitus tipe 2 adalah 95% dari populasi dunia yang
menderita diabetesmellitus dan hanya 5% dari jumlah tersebut menderita
diabetes mellitus tipe 1

3. Patofisiologi

Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang


berperan yaitu:

1. Resistensi insulin


2. Disfungsi sel B pancreas

Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi


insulin, namun karena sel sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu
merespon insulin secara normal.Keadaan ini lazim disebut sebagai
“resistensi insulin”. Resistensi insulinbanyak terjadi akibat dari obesitas
dan kurangnya aktivitas fisik serta penuaan.Pada penderita diabetes
melitus tipe 2 dapat juga terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan
namun tidak terjadi pengrusakan sel-sel B langerhans secara autoimun
seperti diabetes melitus tipe 2. Defisiensi fungsi insulin pada penderita
diabetes melitus tipe 2 hanya bersifat relatif dan tidak absolut.

Pada awal perkembangan diabetes melitus tipe 2, sel B


menunjukan gangguan pada sekresi insulin fase pertama,artinya sekresi
insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani
dengan baik,pada perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel
B pankreas. Kerusakan sel-sel B pankreas akan terjadi secara progresif
seringkali akan menyebabkan defisiensi insulin,sehingga akhirnya
penderita memerlukan insulin eksogen. Pada penderita diabetes melitus
tipe 2 memang umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi

21
insulin dan defisiensi insulin.

4. Faktor resiko

Peningkatan jumlah penderita DM yang sebagian besar DM tipe 2,


berkaitan dengan beberapa faktor yaitu faktor risiko yang tidak dapat
diubah, faktor risiko yang dapat diubah dan faktor lain. Menurut American
Diabetes Association (ADA) bahwa DM berkaitan dengan faktor risiko
yang tidak dapat diubah meliputi riwayat keluarga dengan DM (first
degree relative), umur ≥45 tahun, etnik, riwayat melahirkan bayi dengan
berat badan lahir bayi >4000 gram atau riwayat pernah menderita DM
gestasional dan riwayat lahir dengan beratbadan rendah (<2,5 kg).Faktor
risiko yang dapat diubah meliputi obesitas berdasarkan IMT ≥25kg/m2
atau lingkar perut ≥80 cm pada wanita dan ≥90 cm pada laki-laki,
kurangnya aktivitas fisik, hipertensi, dislipidemi dan diet tidak sehat.

Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes adalah penderita


polycystic ovarysindrome (PCOS), penderita sindrom metabolikmemiliki
riwatyat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT) sebelumnya, memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler
seperti stroke, PJK, atau peripheral arterial Diseases (PAD), konsumsi
alkohol,faktor stres, kebiasaan merokok, jenis kelamin,konsumsi kopi dan
kafein.

a. Obesitas (kegemukan)

Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa


darah, pada derajat kegemukan dengan IMT >23 dapat menyebabkan
peningkatan kadar glukosa darah menjadi 200mg%. 1,2

b. Hipertensi


Kejadian
 hipertensi berhubungan erat dengan tidak tepatnya

22
penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya tekanan dari dalam tubuh
pada sirkulasi pembuluh darah perifer.

c. Riwayat Keluarga Diabetes Mellitus

Seorang yang menderita Diabetes Mellitus diduga mempunyai gen


diabetes. Diduga bahwa bakat diabetes merupakan gen resesif. Hanya orang
yang bersifat homozigot dengan gen resesif tersebut yang menderita Diabetes
Mellitus.

d. Dislipedimia


Adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah


(Trigliserida > 250 mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan plasma insulin
dengan rendahnya HDL (< 35 mg/dl) sering didapat pada pasien Diabetes.

e. Umur


Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena Diabetes Mellitus

adalah > 45 tahun.
 6. Riwayat persalinan
 Riwayat abortus berulang,

melahirkan bayi cacat atau berat badan bayi > 4000gram

f. Faktor Genetik


DM tipe 2 berasal dari interaksi genetis dan berbagai faktor mental


Penyakit ini sudah lama dianggap berhubungan dengan agregasi familial.
Risiko emperis dalam hal terjadinya DM tipe 2 akan meningkat dua sampai
enam kali lipat jika orang tua atau saudara kandung mengalami penyakit ini.

g. Alkohol dan Rokok

Perubahan-perubahan dalam gaya hidup berhubungan dengan


peningkatan frekuensi DM tipe 2. Walaupun kebanyakan peningkatan ini

23
dihubungkan dengan peningkatan obesitas dan pengurangan ketidak aktifan
fisik, faktor-faktor lain yang berhubungan dengan perubahan dari lingkungan
tradisional kelingkungan kebarat- baratan yang meliputi perubahan-perubahan
dalam konsumsi alkohol dan rokok, juga berperan dalam peningkatan DM tipe
2. Alkohol akan menganggu metabolisme gula darah terutama pada penderita
DM, sehingga akan mempersulit regulasi gula darah dan meningkatkan
tekanan darah. Seseorang akan meningkat tekanan darah apabila
mengkonsumsi etil alkohol lebih dari 60ml/hari yang setara dengan 100 ml

proof wiski, 240 ml wine atau 720 ml.
 Faktor resiko penyakit tidak menular,

termasuk DM Tipe 2, dibedakan menjadi dua. Yang pertama adalah faktor


risiko yang tidak dapat berubah misalnya umur, faktor genetik, pola makan
yang tidak seimbang jenis kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan,
pekerjaan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, Indeks Masa
Tubuh

5. Gejala klinis

Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik

- Gejala akut diabetes melitus yaitu : Poliphagia (banyak makan)


polidipsia (banyak minum), Poliuria (banyak kencing/sering kencing di
malam hari), nafsu makan bertambah namu berat badan turun dengan
cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu), mudah lelah.
- Gejala kronik diabetes melitus yaitu : Kesemutan, kulit terasa panas
atau seperti tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan,
mudah mengantuk, pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan
mudah lepas, kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa
terjadi impotensi, pada ibu hamil sering terjadi keguguran atau
kematian janin dalam kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih
dari 4kg.
6. Diagnosis

24
Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa
darah sewaktu >200 mg/dl, glukosa darah puasa >126 mg/dl sudah cukup
untuk menegakkan diagnosis DM. Untuk diagnosis DM dan gangguan
toleransi glukosa lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa.
Sekurang-kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk
konfirmasi diagnosis DM pada hari yang lain atau Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO) yang abnormal. Konfirmasi tidak diperlukan pada keadaan khas
hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis,
berat badan yang menurun cepat .

Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring.


Uji diagnostik dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala DM,
sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka
yang tidak bergejala, tetapi punya resiko DM (usia > 45 tahun, berat badan
lebih, hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat abortus berulang, melahirkan
bayi >4000 gr, kolesterol HDL <= 35 mg/dl, atau trigliserida ≥ 250 mg/dl). Uji
diagnostik dilakukan pada mereka yang positif uji penyaring.

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar


glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti
dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar

7. Penatalaksanaan

Tujuan Penatalaksanaan DM adalah :

- Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan


rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah.
- Jangka panjang: tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati.

Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas


DM. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa

25
darah, tekanan darah, berat badan dan profil lipid,melalui pengelolaan pasien
secara holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan
perilaku.

1. Diet


Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan


anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang
dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing- masing individu.
Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan
dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka
yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. Standar yang
dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal
karbohidrat 60-70%, lemak 20-25% danprotein 10-15%. Untuk
menentukan status gizi, dihitung dengan BMI (Body Mass Indeks). Indeks
Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI) merupupakan alat atau
cara yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa, khususnya
yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Untuk

mengetahui nilai IMT ini, dapat dihitung dengan rumus
 berikut:

2. Exercise (latihan fisik/olahraga)


Dianjurkan latihan secara teratur (3-4 kali seminggu) selama
kurang lebih 30 menit, yang sifatnya sesuai dengan Continous,
Rhythmical, Interval, Progresive, Endurance (CRIPE). Training sesuai

dengan kemampuan pasien. Sebagai contoh adalah olah raga ringan jalan
kaki biasa selama 30 menit. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak
atau bermalas-malasan.

26
3. Pendidikan Kesehatan

Pendidikan kesehatan sangat penting dalam pengelolaan.


Pendidikan kesehatan pencegahan primer harus diberikan kepada
kelompok masyarakat resiko tinggi. Pendidikan kesehatan sekunder
diberikan kepada kelompok pasien DM. Sedangkan pendidikan kesehatan
untuk pencegahan tersier diberikan kepada pasien yang sudah mengidap

DM dengan penyulit menahun. 


4. Obat : oral hipoglikemik, insulin 


Jika pasien telah melakukan pengaturan makan dan latihan fisik


tetapi tidak berhasil mengendalikan kadar gula darah maka
dipertimbangkan pemakaian obat hipoglikemik

8. Obat – Obat Diabetes Melitus

a. Antidiabetik oral


Penatalaksanaan pasien DM dilakukan dengan menormalkan kadar


gula darah dan mencegah komplikasi. Lebih khusus lagi dengan
menghilangkan gejala,optimalisasi parameter metabolik, dan mengontrol
berat badan. Bagi pasien DM tipe 1 penggunaan insulin adalah terapi
utama. Indikasi antidiabetik oral terutama ditujukan untuk penanganan
pasien DM tipe 2 ringan sampai sedang yang gagal dikendalikan dengan
pengaturan asupan energi dan karbohidrat serta olah raga. Obat golongan
ini ditambahkan bila setelah 4-8 minggu upaya diet dan olah raga
dilakukan, kadar gula darah tetap di atas 200 mg% dan HbA1c di atas 8%.
Jadi obat ini bukan menggantikan upaya diet, melainkan membantunya.
Pemilihan obat antidiabetik oral yang tepat sangat menentukan
keberhasilan terapi diabetes. Pemilihan terapi menggunakan antidiabetik

27
oral dapat dilakukan dengan satu jenis obat atau kombinasi. Pemilihan dan
penentuan regimen antidiabetik oral yang digunakan harus
mempertimbangkan tingkat keparahan penyakit DM serta kondisi
kesehatan pasien secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan
komplikasi yang ada. Dalam hal ini obat hipoglikemik oral adalah
termasuk golongan sulfonilurea, biguanid, inhibitor alfa glukosidase dan
insulin sensitizing.

b. Insulin


Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 pada


manusia. Insulin mengandung 51 asam amino yang tersusun dalam dua
rantai yang dihubungkan dengan jembatan disulfide, terdapat perbedaan
asam amino kedua rantai tersebut. Untuk pasien yang tidak terkontrol
dengan diet atau pemberian hipoglikemik oral, kombinasi insulin dan obat-
obat lain bisa sangat efektif. Insulin kadangkala dijadikan pilihan
sementara, misalnya selama kehamilan. Namun pada pasien DM tipe 2
yang memburuk, penggantian insulin total menjadi kebutuhan. Insulin
merupakan hormon yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat maupun
metabolisme protein dan lemak. Fungsi insulin antara lain menaikkan
pengambilan glukosa ke dalam sel–sel sebagian besar jaringan, menaikkan
penguraian glukosa secara oksidatif, menaikkan pembentukan glikogen
dalam hati dan otot serta mencegah penguraian glikogen, menstimulasi
pembentukan protein dan lemak dari glukosa.
9. Komplikasi diabetes melitus

Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan


komplikasi akut dan kronis. Menurut PERKENI komplikasi DM dapat
5,11
dibagi menjadi dua kategori, yaitu :

a. Komplikasi akut

- Hipoglikemia, adalah kadar glukosa 
 darah seseorang di

28
bawahnilai normal (< 50 mg/dl). Hipoglikemia lebih sering terjadi pada
penderita DM tipe 1 yang dapat dialami 1-2 kali per minggu, Kadar gula
darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat
pasokan energi sehingga tidak berfungsi bahkan dapat mengalami

kerusakan. 


- Hiperglikemia, hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah


meningkat secara tiba-tiba, dapat berkembang menjadi keadaan
metabolisme yang berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik, Koma

Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK) dan kemolakto asidosis. 


b. Komplikasi Kronis

- Komplikasi Makrovaskuler

komplikasi makrovaskuler, yang banyak berkembang pada


penderita DM adalah trombosit otak (pembekuan darah pada sebagian
otak), mengalami penyakit jantung koroner (PJK), gagal jantung kongetif,
dan stroke.

- Komplikasi mikrovaskuler

komplikasi mikrovaskuler terutama terjadi pada penderita DM tipe


1 seperti nefropati, diabetik retinopati (kebutaan), neuropati, dan amputasi

10. Pencegahan

Pencegahan penyakit diabetes melitus dibagi menjadi empat bagian yaitu:

- Pencegahan Premordial
 Pencegahan premodial adalah

upaya untuk memberikan kondisi pada masyarakat yang memungkinkan

29
penyakit tidak mendapat dukungan dari kebiasaan, gaya hidup dan faktor
risiko lainnya. Prakondisi ini harus diciptakan dengan multimitra.
Pencegahan premodial pada penyakit DM misalnya adalah menciptakan
prakondisi sehingga masyarakat merasa bahwa konsumsi makan kebarat-
baratan adalah suatu pola makan yang kurang baik, pola hidup santai atau
kurang aktivitas, dan obesitas adalah kurang baik bagi kesehatan.

- Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah
 upaya yang ditujukan pada orang-

orang yang termasuk kelompok risiko tinggi, yaitu mereka yang belum
menderita DM, tetapi berpotensi untuk menderita DM diantaranya :

a. Kelompok usia tua (>45tahun) 


b. Kegemukan (BB(kg)>120% BB idaman 
 atau IMT>27 (kglm2)) 


c. Tekanan darah tinggi (>140i90mmHg) 


d. Riwayat keiuarga DM 


e. Riwayat kehamilan dengan BB bayi 
 lahir > 4000 gr.

f. Disiipidemia (HvL<35mg/dl dan atau Trigliserida>250mg/dl).


g. Pernah TGT atau glukosa darah puasa tergangu (GDPT)

Untuk pencegahan primer harus dikenai faktor-faktor yang


berpengaruh terhadap timbulnya DM dan upaya untuk menghilangkan
faktor-faktor tersebut. Oleh karena sangat penting dalam pencegahan ini.
Sejak dini hendaknya telah ditanamkan pengertian tentang pentingnya
kegiatan jasmani teratur, pola dan jenis makanan yang sehat menjaga
badan agar tidak terlalu gemuk:, dan risiko merokok bagi kesehatan.

- Pencegahan Sekunder

30
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat
timbulnya penyulit dengan tindakan deteksi dini dan memberikan pengobatan
sejak awal penyakit. Dalam pengelolaan pasien DM, sejak awal sudah harus
diwaspadai dan sedapat mungkin dicegah kemungkinan terjadinya penyulit

menahun. Pilar utama pengelolaan DM meliputi:


a. penyuluhan

b. perencanaan makanan 


c. latihan jasmani 


d. obat berkhasiat hipoglikemik. 


- Pencegahan Tersier


Pencegahan tersier adalah upaya mencegah terjadinya kecacatan


lebih lanjut dan merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan
tersebut menetap. Pelayanan kesehatan yang holistik dan terintegrasi antar
disiplin terkait sangat diperlukan, terutama dirumah sakit rujukan,
misalnya para ahli sesama disiplin ilmu seperti ahli penyakit jantung,
mata, rehabilitasi medis, gizi dan lain-lain.

Referensi: Fatimah, R. N. (2015) Diabetes Melitus Tipe 2. J Majority,


5, 93-100.

CUSHING’S SYNDROME

1. Pengertian
Sindroma Cushing atau disebut juga ‘hypercortisolism’,
merupakan gangguan endokrin yang disebabkan oleh paparan kronik

31
kortisol yang berlebihan terhadap jaringan tubuh. Kortisol dalam
jumlah yang cukup dilepaskan oleh kelenjar adrenal akan membantu
pertahanan tubuh. Tetapi jumlah kortisol yang berlebihan dapat
merubah fungsi normal proses tersebut dan mengakibatkan timbulnya
gejala-gejala sindroma Cushing.

2. Etiologi
a. Pada sindrom Cushing primer, terlalu banyak produksi kortisol
yang diakibatkan oleh adenoma atau karsinoma adrenal.
b. Pada sindrom Cushing sekunder, terlalu banyak produksi
kortisol yang diakibatkan oleh hyperplasia adrenal karena
banyak sekali ACTH. Terlalu banyak produksi ACTH dapat
diakibatkan oleh:
1) Hipofisis mengeluarkan terlalu banyak ACTH karena
gangguan hipofisis atau hipotalamus.
2) Keluarnya ACTH yang berasal dari ektopik non
hipofisis (produksi hormon di luar hipofisis)
meningkat, misalnya pada karsinoma bronkogenik,
adenoma bronchial, dan karsinoma pancreas.
3) Pada sindrom Cushing iatrogenic, kadar kortisol yang
sangat tinggi sebagai akibat terapi glukokortikoid
yang berlangsung lama.

3. Manifestasi Klinis
a. Perubahan metabolisme protein. Katabolisme protein yang berlebihan
mengaktifkan berkurangnya massa otot dengan tanda-tanda:
1) Atrofi otot, terutama pada ekstremitas yang mengakibatkan
lengan dan kaki kelihatan kurus, sulit berdiri dari posisi duduk,
sulit naik tangga,serta keletihan dan kelelahan.

32
2) Berkurangnya protein matriks dari tulang yang mengakibatkan
osteoporosis, fraktur kompresi pada tulang belakang, fraktur
patologis, serta nyeri tulang dan punggung.
3) Hilangnya kolagen penyokong dari kulit yang mengakibatkan
kulit menjadi tipis, cepat timbul memar, ekimosis, dan striae
kemerahan pada abdomen.
4) Luka sulit sembuh.
b. Perubahan metabolisme lemak. Perubahan metabolisme lemak
mengakibatkan obesitas dan distribusi jaringan lemak tidak normal.
Banyak lemak pada wajah (mengakibatkan moon face), pada daerah
intrakapular (buffalo hump), dan pada mesenterium (truncal obesity).
Berat badan meningkat.
c. Perubahan metabolisme karbohidrat. Ada peningkatan
glukogeogenesis hepatic dan ketidakmampuan memakai insulin yang
mengakibatkan hiperglikemia postprandial dan diabetes mellitus
(DM). Pasien yang sudah DM, gangguan metabolisme karbohidrat
akan memperberat tanda-tanda DM.
d. Perubahan respon imun dan respon inflamasi akibat berkurangnya
limfosit, teruatama limfosit-T, meningkatnya neutrofil, dan gangguan
kegiatan antibody. Tiga perubahan ini akan membuat pasien sangat
rawan terhadap infeksi viral dan infeksi fungal. Tanda awal infeksi
seperti demam bias tidak tampak. Penyembuhan luka juga sulit.
e. Gangguan metabolisme air dan mineral
Kortisol itu sendiri mempunyai aktivitas mineralkortikoid sehingga
kelebihan kortisol mengakibatkan tanda dan gejala peningkatan
mineralkortikoid, walaupun aldosteron normal. Tanda dan gejalanya:
1) Retensi natrium dan air yang bisa mengakibatkan berat badan
meningkat dan edema.
2) Hipertensi sebagai akibat peningkatan volume cairan dan
peningkatan sesitivitas arteriol terhadap katekolamin.

33
3) Peningkatan ekskresi kalium dan klorida melalui urine
(hipokalemia dan hipokloremia) yang bisa mengakibatkan
alkalosis metabolic.
4) Peningkatan resorpsi kalsium dari tulang dan batu ginjal akibat
hiperkloria.
f. Perubahan pada stabilitas emosi, misalnya cepat marah, cemas,
depresi ringan, serta konsentrasi dan ingatan menurun. Hal ini
berkembang menjadi depresi berat dan psikosis.
g. Perubahan hematologis (eritrosit, hemoglobin, hematokrit bisa
meningkat).
h. Kegiatan androgen meningkat: Hirsutisme (banyak bulu tubuh pada
wajah dan seluruh tubuh), rambut kepala rontok, jerawat, gangguan
siklus menstruasi (dari oligominorea sampai aminorea), dan
perubahan libido.

4. Tanda dan Gejala


a. Rambut kepala menjadi tipis.
b. Berjerawat dan pipi kemerahan.
c. Moon face.
d. Bufallo hump.
e. Bulu halus banyak pada wajah dan seluruh tubuh.
f. Striae kemerahan pada abdomen dan pendolus abdomen.
g. Lengan dan kaki kurus dengan atrofi otot.
h. Kulit cepat memar, ekimosis, dan penyembuhan luka sulit.
i. Berat badan bertambah.

5. Klasifikasi
Sindroma Chusing paling cocok diklasifikasikan sebagai ‘ACTH-
dependen’ atau ‘ACTH-independen’.
Sindroma Cushing tipe ACTH-dependen (sindroma ACTH
ektopik) adalah sindroma Cushing yang ditandai oleh hyperplasia

34
sekresi ACTH kronis, yang menyebabkan hyperplasia zona fasikulata
dan retikularis sehingga meningkatkan sekresi adrenokortikal seperti
kortisol, androgen, dan DOC.
Sindroma Cushing tipe ACTH-independen ialah disebabkan oleh
adenoma atau karsinoma adrenokortikal yang secara otonom
mensekresi glukokortikoid. Pada kasus ini terjadinya kortisol yang
berlebihan akan mensupresi sekresi ACTH dari hipofisis.

6. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik untuk gangguan ini adalah dengan
memeriksa adanya peningkatan kortisol serum, hilangnya irama
diurnal dari produksi kortisol, CT scan, dan ultrasuara untuk
mengetahui adanya tumor adrenal.

7. Penatalaksanaan
a. Pengobatan (Mitotane, Aminogluthethamide, Trilostane yaitu
anti hormonal yang menghambat sintesis kortisol,
Cyptproheptadineuntuk menurunkan produksi ACTH
pituitary).
b. Pembedahan (Adenektomi hipofisis/hipofisektomi, adenektomi
adrenal, dan adrenalektomi unilateral atau bilateral.
c. Chemoterapy
d. Radiasi

Referensi : Bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam RSU DR. Soetomo..


Endokrin-metabolik. Surabaya: Airlangga University Press Arthur C.
Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta:
EGC

8. Perspektif Islam mengenai Obesitas

35
”Lambung adalah rumah penyakit.”

(Riwayat ini menurut sebagian ulama bukanlah sabda Nabi


shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan ucapan Al-harits bin
Kaldah salah seorang thabib (dokter) dari Arab, sebagaimana
disebukan dalam Maqashidul Hasanah dll)
Ilmu pengetahuan telah sampai pada suatu kesimpulan
bahwa obesitas (kegemukan) dari sisi kesehatan adalah bentuk
ketidakseimbangan dalam metabolisme tubuh. Dan hal itu
disebabkan oleh akumulasi (penumpukan) lemak atau gangguan
endokrin (kelenjar dalam tubuh).
Genetika (garis keturunan) tidak memiliki peran besar
dalam masalah obesitas sebagaimana yang telah diyakini beberapa
kalangan. Penelitian-penelitian ilmiah telah menegaskan bahwa
obesitas (kegemukan) memiliki dampak yang berbahaya pada
tubuh manusia.
Salah satu perusahaan asuransi di Amerika telah
menerbitkan data Statistik yang menyatakan bahwa semakin
panjang garis ikat pinggang (sabuk) semakin pendek garis
umurnya. Maka orang-orang yang lingkar perut mereka lebih
panjang (lebih besar) daripada lingkar dada mereka, tingkat
kematiannya lebih besar/tinggi.

Sebagaimana penelitian juga telah membuktikan bahwa


penyakit diabetes (kencing manis/gula) lebih sering menimpa
orang yang gemuk (obesitas) daripada orang normal. Dan
sebagaimana obesitas juga berpengaruh pada organ tubuh yang lain
dan secara khusus terhadap jantung, di mana lemak menggantikan
posisi beberapa sel otot jantung, yang secara langsung
mempengaruhi kinerjanya.

36
Maka benarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika beliau memperingatkan kepada ummatnya tentang bahaya
kegemukan dan makan berlebihan, beliau bersabda:

”Lambung adalah rumah penyakit.”

Dan penelitian ilmiah tersebut memperingatkan untuk tidak


menggunakan obat-obatan untuk menurunkan berat badan karena
bahaya yang akan ditimbulkan olehnya.
Dan ia mengisyaratkan bahwa pengobatan yang paling
tepatl untuk obesitas dan pencegahannya adalah dengan mengikuti
apa yang telah diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
untuk tidak israf (berlebihan) ketika makan dan dengan cara
mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
makan, sebagaimana yang dijelaskan oleh beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam hadits yang menjadi topik pembahasan kita.

Dan hadits tersebut datang dalam rangka penerapan firman


Allah Subhanahu wa Ta’ala:
”Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap
(memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raaf: 31)

Dengan ini Islam telah mendahului ilmu pengetahuan


modern semenjak lebih dari empatbelas abad, dalam masalah
pentingnya keseimbangan dalam mengkonsumsi makanan, dan
minuman. Dan Islam memperingatkan akan bahaya berlebih-
lebihan dalam makan dan minum terhadap kesehatan manusia.

37

Anda mungkin juga menyukai