Pembimbing :
Disusun oleh :
1
BAB I
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. F
Umur : 70 Th
Pekerjaan : IRT
Alamat : Karangwareg
Agama : Islam
B. Anamnesis
Keluhan utama :
2
Riwayat Sosial:
C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
Kesadaran
Compos mentis
Tanda-tanda Vital
Suhu : 36,7˚C
Spo2 : 95%
Status Generalis
3
Leher : JVP 5±4 , pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thoraks :
Auskultasi:
Abdomen :
Palpasi : nyeri tekan (-), soepel, hepar dan lien tak teraba
Anggota gerak : Akral hangat, CRT <2 detik oedem ekstremitas bawah (+)
kaki kanan lebih besar pitting oedemnya3 cm
4
Status Neurologis
Motorik
5 5
5 5
R/ konsul
5
Rencana dilakukan Doppler USG tungkai bilateral
F. Pemeriksaan Penunjang
Darah lengkap
a) Hb : 12.5 gram/dL
b) Ht : 37 %
c) Trombosit : 274.000 /mm3
d) Leukosit : 12.500 /mm3
e) MCV : 83.1 mikro m3
f) MCHC : 33.7 g/ dL
g) MCH : 28.0 Pg
h) Eritrosit : 4.50 mm3
i) RDW CV : 15.4 %
j) RDW SD : 45.9 fL
k) Basofil :0%
l) Eosinofil :3%
m) Neutrofil Batang : 0 %
n) Neutrofil segmen : 75 %
o) Limfosit % : 15 %
p) Monisit % : 7%
Kimia klinik
b) Na : 129.7 mg/dL
c) K : 4.06 mg/dL
d) Cl : 105.5 mg/dL
6
f) SGPT : 29.1 U/L
Foto Rontgen
Kesan
- edema pulmonum
- cardiomegali
7
USG doppler
8
Kesan :
- tak tampak stenosis maupun trombus pada vena tibialis anterior sinistra
dan tibialis posterior sinistra
G. Prognosis
Quo at Vitam : Dubia ad bonam
Quo at Functionam : Dubia ad bonam
Quo at Sanationam : Dubia ad bonam
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
10
II. DEFINISI
Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan sulit dibedakan dari
pemeriksaan fisis, foto thoraks, atau EKG dan hanya dapat dibedakan
dengan echocardiography.
Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung
memompa sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan,
kemampuan aktivitas fisik menurun dan gejala hipoperfusi lainnya.
Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan
pengisian ventrikel. Gagal jantung diastolik didefinisikan sebagai gagal
jantung dengan fraksi ejeksi lebih dari 50%. Ada 3 macam gangguan fungsi
diastolik ; Gangguan relaksasi, pseudo-normal, tipe restriktif.
11
pada penurunan resistensi vaskular sistemik seperti hipertiroidisme, anemia,
kehamilan, fistula A – V, beri-beri, dan Penyakit Paget. Secara praktis,
kedua kelainan ini tidak dapat dibedakan.
12
II1. ETIOLOGI
IV. PATOFISIOLOGI
13
Namun, kelainan kerja ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya
tampak saat beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal jantung, kompensasi
menjadi semakin kurang efektif. 1,5,6,7
14
Gambar 1. Mekanisme aktivasi sistem syaraf simpatik dan
parasimpatik pada gagal jantung. 8
15
- Rangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal.
-
Retensi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus kolektifus.
Angiotensin II juga menghasilkan efek vasokonstriksi yang
meningkatkan tekanan darah. 1, 5, 6, 7
3. Hipertrofi ventrikel :
Respon kompensatorik terakhir adalah hipertrofi miokardium atau
bertambah tebalnya dinding. Hipertrofi miokardium akan mengakibatkan
peningkatan kekuatan kontraksi ventrikel.
Awalnya, respon kompensatorik sirkulasi memiliki efek yang
menguntungkan; namun akhirnya mekanisme kompensatorik dapat
menimbulkan gejala, meningkatkan kerja jantung, dan memperburuk
derajat gagal jantung. Retensi cairan yang bertujuan untuk meningkatkan
kekuatan kontraktilitas menyebabkan terbentuknya edema dan kongesti
vena paru dan sistemik. Vasokontriksi arteri juga meningkatkan beban
akhir dengan memperbesar resistensi terhadap ejeksi ventrikel; beban
akhir juga meningkat karena dilatasi ruang jantung. Akibatnya, kerja
16
jantung dan kebutuhan oksigen miokardium juga meningkat. Hipertrofi
miokardium dan rangsangan simpatis lebih lanjut akan meningkatkan
kebutuhan oksigen miokardium. Jika peningkatan kebutuhan oksigen
tidak dapat dipenuhi akan terjadi iskemia miokardium dan gangguan
miokardium lainnya. Hasil akhir dari peristiwa yang saling berkaitan ini
adalah meningkatnya beban miokardium dan terus berlangsungnya gagal
jantung. 1, 4,6,7
17
V. MANIFESTASI KLINIK
18
merupakan manifestasi yang lebih spesifik dari gagal jantung kiri
dibandingkan dengan dispnea atau ortopnea.
Batuk non produktif juga dapat terjadi akibat kongesti paru, terutama
pada posisi berbaring.
Timbulnya ronki yang disebabkan oleh transudasi cairan paru adalah
ciri khas dari gagal jantung, ronki pada awalnya terdengar di bagian
bawah paru-paru karena pengaruh gaya gravitasi.
Hemoptisis dapat disebabkan oleh perdarahan vena bronkial yang
terjadi akibat distensi vena.
Gagal pada sisi kanan jantung menimbulkan gejala dan tanda kongesti
vena sistemik. Dapat diamati peningkatan tekanan vena jugularis; vena-
vena leher mengalami bendungan . tekanan vena sentral (CVP) dapat
meningkat secara paradoks selama inspirasi jika jantung kanan yang
gagal tidak dapat menyesuaikan terhadap peningkatan aliran balik vena
ke jantung selama inspirasi.
Dapat terjadi hepatomegali; nyeri tekan hati dapat terjadi akibat
peregangan kapsula hati.
Gejala saluran cerna yang lain seperti anoreksia, rasa penuh, atau mual
dapat disebabkan kongesti hati dan usus.
Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang
interstisial. Edema mula-mula tampak pada bagian tubuh yang
tergantung, dan terutama pada malam hari; dapat terjadi nokturia
(diuresis malam hari) yang mengurangi retensi cairan.nokturia
disebabkan oleh redistribusi cairan dan reabsorpsi pada waktu
berbaring, dan juga berkurangnya vasokontriksi ginjal pada waktu
istirahat.
Gagal jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau edema
anasarka. Meskipun gejala dan tanda penimbunan cairan pada aliran
vena sistemik secara klasik dianggap terjadi akibat gagal jantung kanan,
namun manifestasi paling dini dari bendungan sistemik umumnya
disebabkan oleh retensi cairan daripada gagal jantung kanan yang nyata.
19
Seiring dengan semakin parahnya gagal jantung kongestif, pasien dapat
mengalami sianosis dan asidosis akibat penurunan perfusi jaringan.
Aritmia ventrikel akibat iritabilitas miokardium dan aktivitas berlebihan
sietem saraf simpatis sering terjadi dan merupakan penyebab penting
kematian mendadak dalam situasi ini.
VI. DIAGNOSIS
Kriteria Major :
1. Paroksismal nokturnal dispnea
2. Distensi vena leher
3. Ronki paru
4. Kardiomegali
5. Edema paru akut
6. Gallop S3
7. Peninggian tekana vena jugularis
8. Refluks hepatojugular
Kriteria Minor :
1. Edema eksremitas
2. Batuk malam hari
3. Dispnea d’effort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
7. Takikardi(>120/menit)
20
Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2
kriteria minor.
Klasifikasi menurut New York Heart Association (NYHA), merupakan
pedoman untuk pengklasifikasian penyakit gagal jantung kongestif
berdasarkan tingkat aktivitas fisik, antara lain: 1
b. Pemeriksaan Penunjang
21
2. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari
EKG adalah untuk menilai ritme, menentukan adanya left ventrikel
hypertrophy (LVH) atau riwayat MI (ada atau tidak adanya Q
wave). EKG Normal biasanya menyingkirkan kemungkinan
adanya disfungsi diastolik pada LV. 11, 12
3. Radiologi :
Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai
ukuran jantung dan bentuknya, distensi vena pulmonalis, dilatasi
aorta, dan kadang-kadang efusi pleura. begitu pula keadaan
vaskuler pulmoner dan dapat mengidentifikasi penyebab
nonkardiak pada gejala pasien. . 11, 12, 13
4. Penilaian fungsi LV :
Pencitraan kardiak noninvasive penting untuk mendiagnosis,
mengevaluasi, dan menangani gagal jantung. Pemeriksaan paling
berguna adalah echocardiogram 2D/ Doppler, dimana dapat
memberikan penilaian semikuantitatif terhadap ukuran dan fungsi
LV begitu pula dengan menentukan keberadaan abnormalitas pada
katup dan/atau pergerakan dinding regional (indikasi adanya MI
sebelumnya). Keberadaan dilatasi atrial kiri dan hypertrophy LV,
disertai dengan adanya abnormalitas pada pengisian diastolic pada
LV yang ditunjukkan oleh pencitraan, berguna untuk menilai gagal
jantung dengan EF yang normal. Echocardiogram 2-D/Doppler
juga bernilai untuk menilai ukuran ventrikel kanan dan tekanan
pulmoner, dimana sangat penting dalam evaluasi dan
penatalaksanaan cor pulmonale. MRI juga memberikan analisis
komprehensif terhadap anatomi jantung dan sekarang menjadi gold
standard dalam penilaian massa dan volume LV. Petunjuk paling
22
berguna untuk menilai fungsi LV adalah EF (stroke volume dibagi
dengan end-diastolic volume). Karena EF mudah diukur dengan
pemeriksaan noninvasive dan mudah dikonsepkan. Pemeriksaan ini
diterima secara luas oleh para ahli. Sayangnya, EF memiliki
beberapa keterbatasan sebagai tolak ukur kontraktilitas, karena EF
dipengaruhi oleh perubahan pada afterload dan/atau preload.
Sebagai contoh, LV EF meningkat pada regurgitasi mitral sebagai
akibat ejeksi darah ke dalam atrium kiri yang bertekanan rendah.
Walaupun demikan, dengan pengecualian jika EF normal (> 50%),
fungsi sistolik biasanya adekuat, dan jika EF berkurang secara
bermakna (<30-40%). 11
VII. PENATALAKSANAAN
- Tindakan Umum :
Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung
ringan dan 1 g pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter
23
pada gagal jantung berat dan 1,5 liter pada gagal jantung
ringan.
Hentikan rokok
Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari
pada yang lainnya.
Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu selama
20-30 menit atau sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit
dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal pada gagal
jantung ringan dan sedang).
Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan
eksaserbasi akut.
b. Farmakologi
Terapi farmakologik terdiri atas ; panghambat ACE, Antagonis
Angiotensin II, diuretik, Antagonis aldosteron, β-blocker,
vasodilator lain, digoksin, obat inotropik lain, anti-trombotik, dan
anti-aritmia. 14, 15
24
disfungsi sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai dengan
dosis rendah, dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis
yang efektif.
c. Penyekat Beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE.
Pemberian dimulai dosis kecil, kemudian dititrasi selama
beberapa minggu dengan kontrol ketat sindrom gagal jantung.
Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal
jantung klas fungsional II dan III. Penyekat Beta yang
digunakan carvedilol, bisoprolol atau metaprolol. Biasa
digunakan bersama-sama dengan penghambat ACE dan
diuretik.
d. Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada
intoleransi terhadap ACE ihibitor.
e. Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal
jantung disfungsi sistolik ventrikel kiri dan terutama yang
dengan fibrilasi atrial, digunakan bersama-sama diuretik, ACE
inhibitor, beta blocker.
f. Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk
pencegahan emboli serebral pada penderita dengan fibrilasi
atrial dengan fungsi ventrikel yang buruk. Antikoagulan perlu
diberikan pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan riwayat
emboli, trombosis dan Trancient Ischemic Attacks, trombus
intrakardiak dan aneurisma ventrikel.
g. Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang
asimptomatik atau aritmia ventrikel yang menetap. Antiaritmia
klas I harus dihindari kecuali pada aritmia yang mengancam
nyawa. Antiaritmia klas III terutama amiodaron dapat
digunakan untuk terapi aritmia atrial dan tidak digunakan untuk
terapi aritmia atrial dan tidak dapat digunakan untuk mencegah
kematian mendadak.
25
h. Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium
antagonis untuk mengobati angina atau hipertensi pada gagal
jantung.
26
hipoperfusi memperbaiki asidosis,pemberian bikarbonat hanya diberikan
pada kasus yang refrakter. 13
Pemberian loop diuretik intravena seperti furosemid akan
menyebabkan venodilatasi yang akan memperbaiki gejala walaupun belum
ada diuresis. Loop diuretik juga meningkatkan produksi prostaglandin
vasdilator renal. Efek ini dihambat oleh prostaglandin inhibitor seperti
obat antiflamasi nonsteroid, sehingga harus dihindari bila memungkinkan.
13
27
Nesiritide adalah peptide natriuretik yang merupakan vasodilator.
Nesiritide adalah BNP rekombinan yang identik dengan yang dihasilkan
ventrikel. Pemberiannya akan memperbaiki hemodinamik dan
neurohormonal, dapat menurunkan aktivitas susunan saraf simpatis dan
menurunkan kadar epinefrin, aldosteron dan endotelin di plasma.
Pemberian intravena menurunkan tekanan pengisian ventrikel tanpa
meningkatkan laju jantung, meningkatkan stroke volume karena
berkurangnya afterload. Dosis pemberiannya adalah bolus 2 μg/kg dalam 1
menit dilanjutkan dengan infus 0,01 μg/kg/menit. 13
Pemberian inotropik dan inodilator ditujukan pada gagal jantung
akut yang disertai hipotensi dan hipoperfusi perifer. Obat inotropik dan /
atau vasodilator digunakan pada penderita gagal jantung akut dengan
tekanan darah 85 – 100 mmHg. Jika tekanan sistolik < 85 mmHg maka
inotropik dan/atau vasopressor merupakan pilihan. Peningkatan tekanan
darah yang berlebihan akan dapat meningkatkan afterload. Tekanan darah
dianggap cukup memenuhi perfusi jaringan bila tekanan arteri rata - rata >
65 mmHg. 13
Pemberian dopamin 2 μg/kg/mnt menyebabkan vasodilatasi
pembuluh darah splanknik dan ginjal. Pada dosis 2 – 5 μg/kg/mnt akan
merangsang reseptor adrenergik beta sehingga terjadi peningkatan laju dan
curah jantung. Pada pemberian 5 – 15 μg/kg/mnt akan merangsang
reseptor adrenergik alfa dan beta yang akan meningkatkan laju jantung
serta vasokonstriksi. Pemberian dopamin akan merangsang reseptor
adrenergik 1 dan 2, menyebabkan berkurangnya tahanan vaskular sistemik
(vasodilatasi) dan meningkatnya kontrkatilitas. Dosis umumnya 2 – 3
μg/kg/mnt, untuk meningkatkan curah jantung diperlukan dosis 2,5 – 15
μg/kg/mnt. Pada pasien yang telah mendapat terapi penyekat beta, dosis
yang dibutuhkan lebih tinggi yaitu 15 – 20 μg/kg/mnt. 13
Phospodiesterase inhibitor menghambat penguraian cyclic-AMP
menjadi AMP sehingga terjadi efek vasodilatasi perifer dan inotropik
jantung. Yang sering digunakan dalam klinik adalah milrinone dan
28
enoximone. Biasanya digunakan untuk terapi penderia gagal jantung akut
dengan hipotensi yang telah mendapat terapi penyekat beta yang
memerlukan inotropik positif. Dosis milrinone intravena 25 μg/kg bolus
10 – 20 menit kemudian infus 0,375 – 075 μg/kg/mnt. Dosis enoximone
0,25– 0,75 μg/kg bolus kemudian 1,25 – 7,5 μg/kg/mnt. 13
Pemberian vasopressor ditujukan pada penderita gagal jantung akut
yang disertai syok kardiogenik dengan tekanan darah < 70 mmHg.
Penderita dengan syok kardiogenik biasanya dengan tekanan darah < 90
mmHg atau terjadi penurunan tekanan darah sistolik 30 mmHg selama 30
menit.Obat yang biasa digunakan adalah epinefrin dan norepinefrin.
Epinefrin diberikan infus kontinyu dengan dosis 0,05 – 0,5 μg/kg/mnt.
Norepinefrin diberikan dengan dosis 0,2 – 1 μg/kg/mnt. 13
Penanganan yang lain adalah terapi penyakit penyerta yang
menyebabkan terjadinya gagal jantung akut de novo atau dekompensasi.
Yang tersering adalah penyakit jantung koroner dan sindrom koroner akut.
Bila penderita datang dengan hipertensi emergensi pengobatan bertujuan
untuk menurunkan preload dan afterload. Tekanan darah diturunkan
dengan menggunakan obat seperti lood diuretik intravena, nitrat atau
nitroprusside intravena maupun natagonis kalsium intravena(nicardipine).
Loop diuretik diberkan pada penderita dengan tanda kelebihan cairan.
Terapi nitrat untuk menurunkan preload dan afterload, meningkatkan
aliran darah koroner. Nicardipine diberikan pada penderita dengan
disfungsi diastolik dengan afterload tinggi. Penderita dengan gagal
ginjal,diterapi sesuai penyakit dasar. Aritmia jantungharus diterapi. 13
Penanganan invasif yang dapat dikerjakan adalah Pompa balon
29
mempertahankan laju jantung dan mempertahankan sinkronisasi atrium
dan ventrikel, diindikasikan pada penderita dengan bradikardia yang
simtomatik dan blok atrioventrikular derajat tinggi. Implantable
cardioverter device bertujuan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel dan
takikardia ventrikel. Vascular Assist Device merupakan pompa mekanis
yang mengantikan sebgaian fungsi ventrikel, indikasi pada penderita
dengan syok kardiogenik yang tidak respon terhadap terapi terutama
inotropik. 13
VIII. PROGNOSA
30
Deep Vein Thrombosis (DVT)
A. DEFINISI
B. PATOGENESIS
Trombosis vena adalah suatu deposit intra vaskuler yang terdiri dari fibrin, sel
darah merah dan beberapa komponen trombosit dan lekosit.
1. Stasis vena.
Faktor yang sangat berperan terhadap timbulnya suatu trombosis vena adalah
statis aliran darah dan hiperkoagulasi.
1. Statis Vena
Aliran darah pada vena cendrung lambat, bahkan dapat terjadi statis terutama
pada daerah-daerah yang mengalami immobilisasi dalam waktu yang cukup
lama.
31
Statis vena merupakan predisposisi untuk terjadinya trombosis lokal karena
dapat menimbulkan gangguan mekanisme pembersih terhadap aktifitas faktor
pembekuan darah sehingga memudahkan terbentuknya trombin.
32
3. Perubahan daya beku darah
A. FAKTOR RESIKO
1. Defisiensi Anto trombin III, protein C, protein S dan alfa 1 anti tripsin.
2. Tindakan operatif
33
Pada operasi di daerah panggul, 54% penderita mengalami trombosis vena,
sedangkan pada operasi di daerah abdomen terjadinya trombosis vena
sekitar 10%-14%.
34
Trombosis vena yang mudah terjadi pada payah jantung adalah sebagai
akibat statis aliran darah yang terjadi karena adanya bendungan dan proses
immobilisasi pada pengobatan payah jantung.
Obesitas dan varices dapat menimbulkan statis aliran darah dan penurunan
aktifitas fibriolitik yang mempermudah terjadinya trombosis vena.
8. Proses keganasan
35
A. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinik trombosis vena dalam tidak selalu jelas, kelainan yang
timbul tidak selalu dapat diramalkan secara tepat lokasi / tempat terjadinya
trombosis. Trombosis di daerah betis mempunyai gejala klinis yang ringan karena
trombosis yang terbentuk umumnya kecil dan tidak menimbulkan komplikasi
yang hebat. Sebagian besar trombosis di daerah betis adalah asimtomatis, akan
tetapi dapat menjadi serius apabila trombus tersebut meluas atau menyebar ke
lebih proksimal.
1. Nyeri
Intensitas nyeri tidak tergantung kepada besar dan luas trombosis. Trombosis
vena di daerah betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan bisa menjalar
ke bagian medial dan anterior paha.
36
Keluhan nyeri sangat bervariasi dan tidak spesifik, bisa terasa nyeri atau kaku
dan intensitasnya mulai dari yang enteng sampai hebat. Nyeri akan berkurang
kalau penderita istirahat di tempat tidur, terutama posisi tungkai ditinggikan.
2. Pembengkakan
Perubahan warna kulit tidak spesifik dan tidak banyak ditemukan pada
trombosis vena dalam dibandingkan trombosis arteri. Pada trombosis vena
perubahan warna kulit di temukan hanya 17%-20% kasus. Perubahan warna
kulit bisa berubah pucat dan kadang-kadang berwarna ungu. Perubahan warna
kaki menjadi pucat dan pada perabaan dingin, merupakan tanda-tanda adanya
sumbatan vena yang besar yang bersamaan dengan adanya spasme arteri,
keadaan ini di sebut flegmasia alba dolens.
4. Sindroma post-trombosis.
37
Semua keadaan di atas akan mengkibatkan aliran darah vena dalam
akan membalik ke daerah superfisilalis apabila otot berkontraksi, sehingga
terjadi edema, kerusakan jaringan subkutan, pada keadaan berat bisa terjadi
ulkus pada daerah vena yang di kenai.
A. DIAGNOSIS
1. Venografi
38
2. Flestimografi impendans
Pada akhir abad ini, penggunaan USG berkembang dengan pesat, sehingga
adanya trombosis vena dapat di deteksi dengan USG, terutama USG Doppler.
DVT dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe sentral (iliac DVT dan femoral DVT)
dan tipe perifer (DVT pada vena poplitea dan daerah distal). Berdasarkan gejala
dan tanda klinis serta derajat keparahan drainase vena DVT dibagi menjadi DVT
akut dan kronis. Diagnosis DVT ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan
tanda yang ditemukan pada pemeriksaan fisik serta ditemukannya faktor resiko
(Bates, 2004). Tanda dan gejala DVT antara lain edema, nyeri dan perubahan
warna kulit (phlegmasia alba dolens/milk leg, phlegmasia cerulea dolens/blue
leg) (JCS Guidelines, 2011). Skor dari Wells (tabel 1) dapat digunakan untuk
stratifikasi (clinical probability) menjadi kelompok resiko ringan, sedang atau
tinggi (JCS Guidelines, 2011; Hirsh, 2002).
39
Tabel-1. Skor Wells (Hirsh, 2002)
Pasien dengan DVT dapat memiliki gejala dan tanda yang minimal dan
tidak khas karenanya pemeriksaan tambahan seringkali diperlukan untuk
menegakkan diagnosa (Hirsh, 2002). Pemeriksaan D-dimer <0,5 mg/ml dapat
menyingkirkan diagnosis DVT. Nilai prediktif negatif pemeriksaan D-dimer pada
DVT lebih dari 95%, pemeriksaan ini bersifat sensitif tapi tidak spesifik, sehingga
tidak dapat dipakai sebagai tes tunggal untuk diagnosis DVT (Adam, 2009;
Wolberg, 2009). Angiografi (venografi atau flebografi) merupakan pemeriksaan
baku yang paling bermakna (gold standard), namun pemeriksaan non invasive
ultrasound (USG Doppler) dapat menggantikan peran angiografi pada kondisi
tertentu. USG Doppler memberikan sensitivitas 95% dan spesifisitas 96% untuk
mendiagnosa DVT yang simptomatis dan terletak pada bagian proksimal akan
tetapi pada isolated calf vein thrombosis sensitivitasnya hanya 60% dan
spesifisitasnya kurang lebih 70% (JCS Guidelines, 2011; Righini, 2007; Hirsh,
2002: Ramzi, 2004). Jika dengan metode pemeriksaan USG doppler dan D-dimer
diagnosis DVT belum dapat ditegakkan maka magnetic resonance
venography (MRV) harus dilakukan (JCS Guidelines, 2011). Algoritme diagnosis
DVT dapat dilihat sebagai berikut :
40
Algoritme diagnosis DVT (Hirsh, 2002)
A. PENATALAKSANAAN
Berbeda dengan trombosis arteri, trombosis vena dalam adalah suatu keadaan
yang jarang menimbulkan kematian.
41
1. Mencegah meluasnya trombosis dan timbulnya emboli paru
Meluasnya proses trombosis dan timbulnya emboli paru dapat di cegah dengan
pemberian anti koagulan dan obat-obatan fibrinolitik. Pada pemberian obat-obatan
ini di usahakan biaya serendah mungkin dan efek samping seminimal mungkin.
Pemberian anti koagulan sangat efektif untuk mencegah terjadinya emboli paru,
obat yang biasa di pakai adalah heparin.
Prinsip pemberian anti koagulan adalah Save dan Efektif. Save artinya anti
koagulan tidak menyebabkan perdarahan. Efektif artinya dapat menghancurkan
trombus dan mencegah timbulnya trombus baru dan emboli. Pada pemberian
heparin perlu dipantau waktu trombo plastin parsial atau di daerah yang
fasilitasnya terbatas, sekurang-kurangnya waktu pembekuan.
Heparin 5000 ini bolus (80 iu/KgBB), bolus dilanjutkan dengan drips konsitnus
1000 – 1400 iu/jam (18 iu/KgBB), drips selanjutnya tergantung hasil APTT. 6
jam kemudian di periksa APTT untuk menentukan dosis dengan target 1,5 –
2,5 kontrol.
2. Bila APTT < 1,5 x kontrol dosis dinaikkan 100 – 150 iu/jam.
Penyesuaian dosis untuk mencapai target dilakukan pada hari ke 1 tiap 6 jam,
hari ke 2 tiap 2 - 4 jam. Hal ini di lakukan karena biasanya pada 6 jam pertama
hanya 38% yang mencapai nilai target dan sesudah dari ke 1 baru 84%.
42
Heparin dapat diberikan 7–10 hari yang kemudian dilanjutkan dengan
pemberian heparin dosis rendah yaitu 5000 iu/subkutan, 2 kali sehari atau
pemberian anti koagulan oral, selama minimal 3 bulan.
Pemberian obat ini lebih di sukai dari heparin karena tidak memerlukan
pemantauan yang ketat, sayangnya harganya relatif mahal dibandingkan heparin.
Saat ini preparat yang tersedia di Indonesia adalah Enoxaparin (Lovenox) dan
(Nandroparin Fraxiparin). Pada pemberian heparin standar maupun LMWH bisa
terjadi efek samping yang cukup serius yaitu Heparin Induced Thormbocytopenia
(HIT).
Obat yang biasa di pakai adalah Warfarin Cara. Pemberian Warfarin di mulai
dengan dosis 6 – 8 mg (single dose) pada malam hari. Dosis dapat dinaikan atau
di kurangi tergantung dari hasil INR (International Normolized Ratio). Target
INR : adalah 2,0 – 3,0
INR
Penyesuaian
Kembali : 1 minggu
Kembali : 2 minggu
43
2,0 – 3,0 tidak ada perubahan.
Kembali : 1 minggu
Kembali : 2 minggu
kembali : 1 minggu
> 50 :
Lama pemberian anti koagulan oral adalah 6 minggu sampai 3 bulan apabila
trombosis vena dalam timbul disebabkan oleh faktor resiko yang reversible.
Sedangkan kalau trombosis vena adalah idiopatik di anjurkan pemberian anti
koagulan oral selama 3-6 bulan, bahkan biasa lebih lama lagi apabila ditemukan
abnormal inherited mileculer.
44
3. Alkoholisme.
TPA bekerja secara selektif pada tempat yang ada plasminon dan fibrin,
sehingga efek samping perdarahan relatif kurang. Brenner menganjurkn
pemberian TPA dengan dosis 4 ugr/kgBB/menit, secara intra vena selama 4 jam
dan Streptokinase diberikan 1,5 x 106 unit intra vena kontiniu selama 60 menit.
Kedua jenis trombolitik ini memberikan hasil yang cukup memuaskan. Efek
samping utama pemberian heparin dan obat-obatan trombolitik adalah perdarahan
dan akan bersifat fatal kalau terjadi perdarahan serebral. Untuk mencegah
terjadinya efek samping perdarahan, maka diperlukan monitor yang ketat terhadap
waktu trombo plastin parsial dan waktu protombin, jangan melebihi 2,5 kali nilai
kontrol.
45
- Pemasangan stoking yang tekananya kira-kira 40 mmHg.
Sindroma post flebitis disebabkan oleh inkompeten katup vena sebagai akibat
proses trombosis. Biasanya terjadi pada trombosis di daerah proksimal yang
eksistensif seperti vena-vena di daerah poplitea, femoral dan illiaca. Keluhan
biasanya panas, edema dan nyeri terjadinya trombosis. Sindroma ini akan
berkurang derajatnya kalau terjadi lisis atau pengangkatan trombosis.
Tujuan terapi jangka pendek DVT adalah mencegah pembentukan trombus yang
makin luas dan emboli paru. Tujuan jangka panjangnya adalah mencegah
kekambuhan dan terjadinya sindrom post trombotik. Kombinasi heparin dan
antikoagulan oral merupakan terapi inisial dan drug of choice DVT (Key, 2010;
Scarvelis , 2006; Ramzi, 2004; Bates, 2004).
Unfractionated heparin (UFH) memiliki waktu mula kerja yang cepat tapi
harus diberikan secara intravena. UFH berikatan dengan antitrombin dan
meningkatkan kemampuannya untuk menginaktivasi faktor Xa dan trombin
(Mackman, 2010; Deitcher, 2009). Dosis Unfractionated heparin berdasarkan
46
berat badan dan dititrasi sesuai kadar activated partial-thromboplastin
time (APTT). Dosis heparin yang disesuaikan berdasarkan berat badan dan APTT
dapat dilihat pada tabel-2. Target APTT yang diinginkan adalah antara 1,5 sampai
2,3 kali kontrol. Respon antikoagulan dari UFH berbeda pada tiap-tiap individu
karena obat ini berikatan secara nonspesifik dengan plasma dan protein sel. Efek
samping meliputi perdarahan dan trombositopeni. Pada terapi inisial resiko
terjadinya perdarahan kurang lebih 7%, hal ini tergantung pada dosis, usia,
penggunaan bersama dengan antitrombotik atau trombolitik. Trombositopeni
transien terjadi pada 10-20% pasien. Pemberian heparin dapat dihentikan 4-5 hari
setelah penggunaanya bersama warfarin jika target International Normalized
Ratio (INR) dari prothrombin clotting time lebih dari 2,0 (Ramzi, 2004; Bates,
2004).
47
Tabel-2. Dosis heparin berdasarkan berat badan dan APTT
(Ramzi, 2004)
48
karena itu pada penderita ganguan fungsi ginjal perannya dapat digantikan oleh
UFH (Mackman, 2011; Key, 2010).
49
Therapeutic window warfarin sangat sempit sehingga monitoring INR
secara berkala diperlukan untuk mencegah trombosis rekuren dan efek samping
perdarahan. INR sebaiknya diperiksa 2 kali per minggu selama 1 sampai 2 minggu
awal penggunaan, diikuti 1 kali perminggu untuk 4 minggu berikutnya, lalu tiap 2
minggu sekali untuk 1 bulan berikutnya dan akhirnya tiap sebulan sekali jika
target INR tercapai dan pasien dalam kondisi optimal (Bates, 2004; Hirsh, 2002).
Penggunaan LMWH sebagai terapi alternatif jangka panjang sedang dievaluasi.
LMWH memiliki beberapa keuntungan dibanding warfarin yaitu tidak
memerlukan monitoring INR sehingga cost effective dan dapat digunakan jika ada
kesulitan akses laboratorium, LMWH juga memiliki onset dan offset of
action yang lebih cepat daripada warfarin, lebih efektif pada trombosis pasien
kanker dan kasus rekurensi trombosis pada penggunaan warfarin jangka lama.
Akan tetapi kelemahan LMWH adalah penggunaannya yang tidak nyaman bagi
pasien karena harus diberikan subkutan disamping harganya yang mahal (Hirsh,
2002: Bates, 2004).
50
harganya jauh lebih mahal dari warfarin (Key, 2010; Garcia, 2010; Mackman,
2010).
51
Secara umum antikoagulan diberikan selama minimal 3 bulan. Pasien
dengan faktor resiko reversibel memiliki resiko rekurensi yang rendah setelah
terapi antikoagulan selama 3 bulan, sebaliknya pada pasien DVT
idiopatik/unprovoked yang hanya diterapi selama 3 bulan memiliki resiko
rekurensi sekitar 10-27%. Berdasarkan hasil penelitian prospektif dan
ekstrapolasi dari penelitian terhadap resiko rekurensi setelah episode awal
trombosis, pasien dapat diklasifikasikan menjadi kelompok resiko rendah, sedang,
tinggi dan sangat tinggi (Bates, 2004; Hirsh, 2002)
Tabel-4. Kategori resiko rekurensi dan rekomendasi durasi terapi (Hirsh, 2002)
TERAPI TROMBOLITIK
52
samping yang lebih minimal, akan tetapi banyak pusat-pusat kesehatan lebih
memilih menggunakan alteplase (Patterson, 2010). Trombolitik sistemik dapat
menghancurkan bekuan secara cepat tapi resiko perdarahan juga tinggi.
Penggunaan trombolitik dengan CDT akan menghasilkan konsentrasi lokal yang
lebih tinggi daripada secara sistemik dan secara teori seharusnya dapat
meningkatkan efikasinya dan menurunkan resiko perdarahan (Patterson, 2010;
Scarvelis, 2006; Bates, 2004).
53
tim multidisiplin dan kasus per kasus (Patterson, 2010; Scarvelis, 2006; Bates,
2004). Pemasangan stent endovaskular pada saat dilakukan CDT dapat dilakukan
pada kasus tertentu seperti adanya kelainan anatomi yang mendasari timbulnya
DVT (May-Thurner syndrome). Pada sindrom ini vena iliaka komunis ditekan oleh
arteri iliaca komunis sehingga terjadi tekanan dan kerusakan pembuluh darah.
Penyebab lain yaitu kompresi oleh tumor daerah pelvis, osteofit, retensi urin
kronik, aneurisma arteri iliaka, endometriosis, kehamilan, tumor uterus
(Patterson, 2010). Aspiration thrombectomy juga dapat dilakukan bersama CDT
pada kasus tertentu. Terapi antikoagulan tetap harus dilakukan setelah tindakan
trombolisis untuk mencegah progresivitas dan munculnya kembali trombus (JCS
Guidelines, 2011; Patterson, 2010).
54
TERAPI NON FARMAKOLOGIS
55
TROMBEKTOMI
56
DAFTAR PUSTAKA
1. Holmes E.J and Misra R.R; 2004; Humerus fracture – Shaft fracture
In:A- Z of Emergency Radiology (e-book); UK; Cambridge University
Press
2. Kenneth J, dkk. 2002. Fractures Of The Shaft Of The Humerus In
Chapter 43: Orthopedic; In:Handbook of Fracture second edition.
Wolters Klunser Company : New York.
3. Netter, Frank H. 2006. Netter’s Orthopaedics, Edisi ke-1 USA Elseveir
4. Rasjad, C. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: PT. Yarsif
Watampone
5. Santoso M . W.A, Alimsardjono H dan Subagjo . 2002 . Anatomi
Bagian I, Penerbit Laboratorium Anatomi-Histologi Fakultas
Kedokteran UniversitasAirlangga; Surabaya.
6. Tortora G.J. & Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology
12th Edition. New Jersey: John Wiley & Sons, 2009, Chapter 8; The
SkeletalSystem: The Appendicular Skeleton.
7. Wim de Jong & Sjamsuhidajat R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah ke 2.
EGC:Jakarta.
8. Bailey A, Scantlebury D, Smyth S (2009). Thrombosis and
antithrombotic in women. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 29:284-8
9. Bates S, Ginsberg G (2004). Treatment of deep vein thrombosis. N Engl
J Med, 351:268-77
10. Buller H, Davidson B, Decousus H, Gallus A, Gent M (2004).
Fondaparinux or enoxaparin for the initial treatment of symptomatic
deep vein thrombosis. Ann Intern Med, 140:867-73
11. Garcia D, Libby E, Crowther M (2010). The new oral
anticoagulants. Blood, 115:15-20
12. Goldhaber S (2010). Risk factors for venous thromboembolism. Journal
of the American College of Cardiology, 56:1-7
57
13. Hirsh J, Lee A (2002). How we diagnose and treat deep vein
thrombosis.Blood, 99: 3102-3110
14. JCS Guidelines (2011). Guidelines for the diagnosis, treatment and
prevention of pulmonary thromboembolism and deep vein thrombosis
(JCS 2009). Circ J; 75: 1258-1281
58