Anda di halaman 1dari 58

LAPORAN KASUS ILMU PENYAKIT DALAM

CHRONIC HEART FAILURE

Pembimbing :

dr. H. A. Fariz M. Zamzam Zein, Sp.PD

Disusun oleh :

Sinta Denok 114170069

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD WALED CIREBON
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI CIREBON

1
BAB I

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama : Ny. F

Umur : 70 Th

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : IRT

Status : Sudah menikah

Alamat : Karangwareg

Agama : Islam

B. Anamnesis

Keluhan utama :

Dada terasa sesak

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke IGD dengan keluhan sesak sejak 1 minggu yang


lalu,sesak dirasa semankin memberat bila beraktifitas ringan seperti berjalan
ke kamar mandi, keluhan diserta sulit tidur sejak 2 bulan yang lalu harus
pakai 3 bantal, batuk sejak 2 bulan yang lalu, dan kaki bengkak sejak 1
minggu yang lalu.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat dirawat di Rumah Sakit 2 tahun yang lalu akibat penyakit


jantung dan sampai sekarang jarang kontrol ke dokter, riwayat tekanan darah
tinggi disangkal, riwayat alergi obat dan makanan disangkal

2
Riwayat Sosial:

Pasien merokok dari usia 17 tahun dan mulai mengurangi merokok


sejak 2 tahun yang lalu, pasien juga berhenti berkerja karena penyakitnya ini.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Pasien tidak memiliki riwayat alergi, kencing manis,TB paru, darah


tinggi di keluarga pasien.

C. Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum

Pasien tampak sakit sedang

Kesadaran

Compos mentis

Tanda-tanda Vital

Tekanan darah : 140/80 mmHg

Frekuensi Nadi : 90x/menit

Frekuensi Napas : 20x/menit

Suhu : 36,7˚C

Spo2 : 95%

Status Generalis

Mata : Conjungtiva palpebra pucat -/-, sklera ikterik -/-

Hidung : Discharge(-), epitaksis (-)

Mulut : Sianosis (-)

3
Leher : JVP 5±4 , pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thoraks :

Inspeksi: dinding dada simetris (+), ictus cordis terlihat di ICS VI


linea axilaris anterior.

Palpasi: ictus cordis teraba di ICS VI linea axilaris anterior, kuat


angkat (+), fremitus taktil simetris, nyeri tekan (-)

Perkusi: sonor seluruh lapang paru,

batas kiri jantung : ICS VI linea axilaris anterior .

batas kanan : ICS V linea parasternalis dekstra.

batas atas : ICS III linea parasternalis sinistra

Auskultasi:

Pulmo : VBS +/+, Rh +/+, wh -/-

Cor : BJ I = II reguler, murmur (-), gallop (+)

Abdomen :

Inspeksi : datar, luka/ bekas luka (-), sikatrik (-)

Palpasi : nyeri tekan (-), soepel, hepar dan lien tak teraba

Perkusi : timpani seluruh lapang abdomen

Auskultasi : bising usus (+) 8 kali/ menit (normal)

Anggota gerak : Akral hangat, CRT <2 detik oedem ekstremitas bawah (+)
kaki kanan lebih besar pitting oedemnya3 cm

4
Status Neurologis

Motorik

5 5

5 5

D. Diagnosa kerja sementara


CHF III
Susp DVT
E. Terapi di IGD
 IVFD Assering / 24 jam
 Omeprazol 1x 40 mg
 Furosemide 1x 40 mg

R/ konsul

 Rencana dilakukan pemeriksaan sputum BTA gram, elektrolit,


UR/CR, OT/PT, Albumin, D-dimer.
 Furosemid 1x 40 mg IV
 Anbacim 2x 1 gr IV
 Santagesik 3x 1gr IV kalo perlu
 NAC 3x 200 mg
 Combivent per 8 jam
 Ramipril 1x 2.5 mg
 Captopril 3x 6 mg
 Concor 1x 2.5
 Lactulax 1x 1C
 Spironolakton 1x 25
 Aspilet 1x 80

5
 Rencana dilakukan Doppler USG tungkai bilateral

F. Pemeriksaan Penunjang

Darah lengkap

a) Hb : 12.5 gram/dL
b) Ht : 37 %
c) Trombosit : 274.000 /mm3
d) Leukosit : 12.500 /mm3
e) MCV : 83.1 mikro m3
f) MCHC : 33.7 g/ dL
g) MCH : 28.0 Pg
h) Eritrosit : 4.50 mm3
i) RDW CV : 15.4 %
j) RDW SD : 45.9 fL
k) Basofil :0%
l) Eosinofil :3%
m) Neutrofil Batang : 0 %
n) Neutrofil segmen : 75 %
o) Limfosit % : 15 %
p) Monisit % : 7%

Kimia klinik

a) GDS stick : 117 mg/dL

b) Na : 129.7 mg/dL

c) K : 4.06 mg/dL

d) Cl : 105.5 mg/dL

e) SGOT : 42.3 U/L

6
f) SGPT : 29.1 U/L

g) UREUM :34.3 mg/dL

h) KREATININ : 0.71 mg/dL

i) ALBUMIN : 3.74 g/dL

Pemeriksaan BTA Sputum : negatif, negatif, negatif

D- Dimer : 1.48 ug/mL

Foto Rontgen

Kesan

- edema pulmonum

- cardiomegali

7
USG doppler

8
Kesan :

- impending trombus vena femoralis sinistra dan parsial trombus vena


poplitea sinistra dengan insufisien velve vena poplitea sinistra

- tak tampak stenosis maupun trombus pada vena tibialis anterior sinistra
dan tibialis posterior sinistra

G. Prognosis
Quo at Vitam : Dubia ad bonam
Quo at Functionam : Dubia ad bonam
Quo at Sanationam : Dubia ad bonam

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Congestive Heart Failure (CHF)

I. PENDAHULUAN

Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung kongestif adalah


suatu keadaan saat terjadi bendungan sirkulasi akibat gagal jantung dan
mekanisme kompensatoriknya. Gagal jantung adalah komplikasi tersering
dari segala jenis penyakit jantung kongenital maupun didapat. Penyebab dari
gagal jantung adalah disfungsi miokard, endokard, perikardium, pembuluh
darah besar, aritmia, kelainan katup, dan gangguan irama. Di Eropa dan
Amerika, disfungsi miokard yang paling sering terjadi akibat penyakit
jantung koroner, biasanya akibat infark miokard yang merupakan penyebab
paling sering pada usia kurang dari 75 tahun, disusul hipertensi dan diabetes.
1, 2

Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4% - 2% dan meningkat pada


usia yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Prevalensi gagal
jantung di Amerika Serikat mencapai 4,8 juta orang dengan 500 ribu kasus
baru per tahunnya. Di Indonesia belum ada angka pasti tentang prevalensi
penyakit gagal jantung, di RS Jantung Harapan Kita, setiap hari ada sekitar
400-500 pasien berobat jalan dan sekitar 65% adalah pasien gagal jantung. 3
Meskipun terapi gagal jantung mengalami perkembangan yang pesat, angka
kematian dalam 5-10 tahun tetap tinggi, sekitar 30-40% dari pasien penyakit
gagal jantung lanjut dan 5-10% dari pasien dengan gejala gagal jantung yang
ringan. 2, 3
Prognosa dari gagal jantung tidak begitu baik bila penyebabnya tidak
dapat diperbaiki. Setengah dari populasi pasien gagal jantung akan
meninggal dalam 4 tahun sejak diagnosis ditegakkan, dan pada keadaan
gagal jantung berat lebih dari 50% akan meninggal dalam tahun pertama. 2

10
II. DEFINISI

Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa


tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Ciri-
ciri yang penting dari definisi ini adalah pertama, definisi gagal adalah
relatif terhadap kebutuhan metabolik tubuh. Kedua, penekanan arti gagal
ditujukan pada fungsi pompa jantung secara keseluruhan. Istilah gagal
miokardium ditujukan spesifik pada fungsi miokardium; gagal miokardium
umumnya mengakibatkan gagal jantung, tetapi mekanisme kompensatorik
sirkulasi dapat menunda atau bahkan mencegah perkembangan penyakit
menjadi gagal jantung. 1

Beberapa istilah dalam gagal jantung : 4

1. Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik :

Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan sulit dibedakan dari
pemeriksaan fisis, foto thoraks, atau EKG dan hanya dapat dibedakan
dengan echocardiography.
Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung
memompa sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan,
kemampuan aktivitas fisik menurun dan gejala hipoperfusi lainnya.
Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan
pengisian ventrikel. Gagal jantung diastolik didefinisikan sebagai gagal
jantung dengan fraksi ejeksi lebih dari 50%. Ada 3 macam gangguan fungsi
diastolik ; Gangguan relaksasi, pseudo-normal, tipe restriktif.

2. Low Output dan High Output Heart Failure

Low output heart failure disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati


dilatasi, kelainan katup dan perikard. High output heart failure ditemukan

11
pada penurunan resistensi vaskular sistemik seperti hipertiroidisme, anemia,
kehamilan, fistula A – V, beri-beri, dan Penyakit Paget. Secara praktis,
kedua kelainan ini tidak dapat dibedakan.

3. Gagal Jantung Kiri dan Kanan


Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan
vena pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak napas dan orthopnea.
Gagal jantung kanan terjadi kalau kelainannya melemahkan ventrikel
kanan seperti pada hipertensi pulmonal primer/sekunder, tromboemboli
paru kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang menyebabkan
edema perifer, hepatomegali, dan distensi vena jugularis. Tetapi karena
perubahan biokimia gagal jantung terjadi pada miokard ke-2 ventrikel,
maka retensi cairan pada gagal jantung yang sudah berlangsung bulanan
atau tahun tidak lagi berbeda.
4. Gagal Jantung Akut dan Kronik
Contoh gagal jantung akut adalah robekan daun katup secara tiba-tiba
akibat endokarditis, trauma, atau infark miokard luas. Curah jantung yang
menurun secara tiba-tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa
disertai edema perifer.
Contoh gagal jantung kronik adalah kardiomiopati dilatasi atau kelainan
multivalvular yang terjadi secara perlahan-lahan. Kongesti perifer sangat
menyolok, namun tekanan darah masih terpelihara dengan baik.

Curah jantung yang kurang memadai, juga disebut forward failure,


hampir selalu disertai peningkatan kongesti/ bendungan di sirkulasi vena
(backward failure), karena ventrikel yang lemah tidak mampu memompa
darah dalam jumlah normal, hal ini menyebabkan peningkatan volume
darah di ventrikel pada waktu diastol, peningkatan tekanan diastolik akhir
di dalam jantung dan akhirnya peningkatan tekanan vena . Gagal jantung
kongestif mungkin mengenai sisi kiri dan kanan jantung atau seluruh
rongga jantung. 5

12
II1. ETIOLOGI

Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi :


regurgitasi aorta dan defek septum ventrikel. Dan beban akhir meningkat
pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta dan hipertensi sistemik.
Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokardium dan
kardiomiopati. Faktor-faktor yang dapat memicu perkembangan gagal
jantung melalui penekanan sirkulasi yang mendadak dapat berupa : aritmia,
infeksi sistemik, infeksi paru-paru dan emboli paru. 1
Penyebab tersering gagal jantung kiri adalah hipertensi sistemik,
penyakit katup mitral atau aorta, penyakit jantung iskemik, dan penyakit
miokardium primer. Penyebab tersering gagal jantung kanan adalah gagal
ventrikel kiri, yang menyebabkan kongesti paru dan peningkatan tekanan
arteria pulmonalis. Gagal jantung kanan juga dapat terjadi tanpa disertai
gagal jantung kiri pada pasien dengan penyakit parenkim paru dan atau
pembuluh paru (kor polmunale) dan pada pasien dengan penyakit katup
arteri pulmonalis atau trikuspid. 5

IV. PATOFISIOLOGI

Bila jantung mendadak menjadi rusak berat, seperti nfark miokard,


maka kemampuan pemompaan jantung akan segera menurun. Sebagai
akibatnya akan timbul dua efek utama penurunan curah jantung, dan
bendungan darah di vena yang menimbulkan kenaikan tekanan vena
jugularis. 5,6,7
Sewaktu jantung mulai melemah, sejumlah respons adaptif lokal
mulai terpacu dalam upaya mempertahankan curah jantung. Respons
tersebut mencakup peningkatan aktivitas adrenergik simpatik,
peningkatan beban awal akibat aktivasi sistem renin-angiotensin-
aldosteron, dan hipertrofi ventrikel. Mekanisme ini mungkin memadai
untuk mempertahankan curah jantung pada tingkat normal atau hampir
normal pada awal perjalanan gagal jantung, dan pada keadaan istirahat.

13
Namun, kelainan kerja ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya
tampak saat beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal jantung, kompensasi
menjadi semakin kurang efektif. 1,5,6,7

1. Peningkatan aktivitas adrenergik simpatis :


Salah satu respons neurohumoral terhadap penurunan curah jantung
adalah peningkatan aktivitas sistem adrenergik simpatis. Meningkatnya
aktivitas adrenergik simpatis merangsang pengeluaran katekolamin dari
saraf-saraf adrenergik jantung dan medulla adrenal. Katekolamin ini akan
menyebabkan kontraksi lebih kuat otot jantung (efek inotropik positif) dan
peningkatan kecepatan jantung. Selain itu juga terjadi vasokontriksi arteri
perifer untuk menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi volume darah
dengan mengurangi aliran darah ke organ-organ yang metabolismenya
rendah misal kulit dan ginjal untuk mempertahankan perfusi ke jantung
dan otak. Vasokonstriksi akan meningkatkan aliran balik vena ke sisi
kanan jantung, untuk selanjutnya menambah kekuatan kontraksi sesuai
dengan hukum Starling. Kadar katekolamin dalam darah akan meningkat
pada gagal jantung, terutama selama latihan. Jantung akan semakin
bergantung pada katekolamin yang beredar dalam darah untuk
mempertahankan kerja ventrikel.namun pada akhirnya respons
miokardium terhadap rangsangan simpatis akan menurun; katekolamin
akan berkurang pengaruhnya terhadap kerja ventrikel. 1, 4, 6

14
Gambar 1. Mekanisme aktivasi sistem syaraf simpatik dan
parasimpatik pada gagal jantung. 8

2. Peningkatan beban awal melalui aktivasi sistem Renin-Angiotensin-


Aldosteron :
Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan retensi
natrium dan air oleh ginjal, meningkatkan volume ventrikel. Mekanisme
yang mengakibatkan aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron pada
gagal jantung masih belum jelas. Namun apapun mekanisme pastinya,
penurunan curah jantung akan memulai serangkaian peristiwa berikut:
- Penurunan aliran darah ginjal dan penurunan laju filtrasi
glomerulus
- Pelepasan renin dari apparatus jukstaglomerulus
- Interaksi renin dan angiotensinogen dalam darah untuk
menghasilkan angiotensinI
- Konversi angotensin I menjadi angiotensin II

15
- Rangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal.
-
Retensi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus kolektifus.
Angiotensin II juga menghasilkan efek vasokonstriksi yang
meningkatkan tekanan darah. 1, 5, 6, 7

Gambar 2. Sistem Renin - Angiotemsin- Aldosteron 8

3. Hipertrofi ventrikel :
Respon kompensatorik terakhir adalah hipertrofi miokardium atau
bertambah tebalnya dinding. Hipertrofi miokardium akan mengakibatkan
peningkatan kekuatan kontraksi ventrikel.
Awalnya, respon kompensatorik sirkulasi memiliki efek yang
menguntungkan; namun akhirnya mekanisme kompensatorik dapat
menimbulkan gejala, meningkatkan kerja jantung, dan memperburuk
derajat gagal jantung. Retensi cairan yang bertujuan untuk meningkatkan
kekuatan kontraktilitas menyebabkan terbentuknya edema dan kongesti
vena paru dan sistemik. Vasokontriksi arteri juga meningkatkan beban
akhir dengan memperbesar resistensi terhadap ejeksi ventrikel; beban
akhir juga meningkat karena dilatasi ruang jantung. Akibatnya, kerja

16
jantung dan kebutuhan oksigen miokardium juga meningkat. Hipertrofi
miokardium dan rangsangan simpatis lebih lanjut akan meningkatkan
kebutuhan oksigen miokardium. Jika peningkatan kebutuhan oksigen
tidak dapat dipenuhi akan terjadi iskemia miokardium dan gangguan
miokardium lainnya. Hasil akhir dari peristiwa yang saling berkaitan ini
adalah meningkatnya beban miokardium dan terus berlangsungnya gagal
jantung. 1, 4,6,7

Gambar 3. Pola remodelling jantung yang terjadi karena respon


terhadap hemodinamik berlebih. 8

17
V. MANIFESTASI KLINIK

Manifestasi klinik gagal jantung harus dipertimbangkan relatif


terhadap derajat latihan fisik yang menyebabkan timbulnya gejala. Pada
awalnya, secara khas gejala hanya muncul saat beraktivitas fisik, tetapi
dengan bertambah beratnya gagal jantung, toleransi terhadap latihan
semakin menurun dan gejala-gejala muncul lebih awal dengan aktivitas yang
lebih ringan. 1, 4
Gejala-gejala dari gagal jantung kongestif bervariasi diantara
individu sesuai dengan sistem organ yang terlibat dan juga tergantung pada
derajat penyakit.1, 4, 9

 Gejala awal dari gagal jantung kongestif adalah kelelahan. Meskipun


kelelahan adalah gejala yang umum dari gagal jantung kongestif, tetapi
gejala kelelahan merupakan gejala yang tidak spesifik yang mungkin
disebabkan oleh banyak kondisi-kondisi lain. Kemampuan seseorang
untuk berolahraga juga berkurang. Beberapa pasien bahkan tidak
merasakan keluhan ini dan mereka tanpa sadar membatasi aktivitas fisik
mereka untuk memenuhi kebutuhan oksigen.
 Dispnea, atau perasaan sulit bernapas adalah manifestasi gagal jantung
yang paling umum. Dispnea disebabkan oleh meningkatnya kerja
pernapasan akibat kongesti vaskular paru yang mengurangi kelenturan
paru.meningkatnya tahanan aliran udara juga menimbulkan dispnea.
Seperti juga spektrum kongesti paru yang berkisar dari kongesti vena
paru sampai edema interstisial dan akhirnya menjadi edema alveolar,
maka dispnea juga berkembang progresif. Dispnea saat beraktivitas
menunjukkan gejala awal dari gagal jantung kiri. Ortopnea (dispnea
saat berbaring) terutama disebabkan oleh redistribusi aliran darah dari
bagian-bagian tubuh yang di bawah ke arah sirkulasi sentral.reabsorpsi
cairan interstisial dari ekstremitas bawah juga akan menyebabkan
kongesti vaskular paru-paru lebih lanjut. Paroxysmal Nocturnal
Dispnea (PND) dipicu oleh timbulnya edema paru intertisial. PND

18
merupakan manifestasi yang lebih spesifik dari gagal jantung kiri
dibandingkan dengan dispnea atau ortopnea.
 Batuk non produktif juga dapat terjadi akibat kongesti paru, terutama
pada posisi berbaring.
 Timbulnya ronki yang disebabkan oleh transudasi cairan paru adalah
ciri khas dari gagal jantung, ronki pada awalnya terdengar di bagian
bawah paru-paru karena pengaruh gaya gravitasi.
 Hemoptisis dapat disebabkan oleh perdarahan vena bronkial yang
terjadi akibat distensi vena.
 Gagal pada sisi kanan jantung menimbulkan gejala dan tanda kongesti
vena sistemik. Dapat diamati peningkatan tekanan vena jugularis; vena-
vena leher mengalami bendungan . tekanan vena sentral (CVP) dapat
meningkat secara paradoks selama inspirasi jika jantung kanan yang
gagal tidak dapat menyesuaikan terhadap peningkatan aliran balik vena
ke jantung selama inspirasi.
 Dapat terjadi hepatomegali; nyeri tekan hati dapat terjadi akibat
peregangan kapsula hati.
 Gejala saluran cerna yang lain seperti anoreksia, rasa penuh, atau mual
dapat disebabkan kongesti hati dan usus.
 Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang
interstisial. Edema mula-mula tampak pada bagian tubuh yang
tergantung, dan terutama pada malam hari; dapat terjadi nokturia
(diuresis malam hari) yang mengurangi retensi cairan.nokturia
disebabkan oleh redistribusi cairan dan reabsorpsi pada waktu
berbaring, dan juga berkurangnya vasokontriksi ginjal pada waktu
istirahat.
 Gagal jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau edema
anasarka. Meskipun gejala dan tanda penimbunan cairan pada aliran
vena sistemik secara klasik dianggap terjadi akibat gagal jantung kanan,
namun manifestasi paling dini dari bendungan sistemik umumnya
disebabkan oleh retensi cairan daripada gagal jantung kanan yang nyata.

19
 Seiring dengan semakin parahnya gagal jantung kongestif, pasien dapat
mengalami sianosis dan asidosis akibat penurunan perfusi jaringan.
Aritmia ventrikel akibat iritabilitas miokardium dan aktivitas berlebihan
sietem saraf simpatis sering terjadi dan merupakan penyebab penting
kematian mendadak dalam situasi ini.

VI. DIAGNOSIS

Diagnosis gagal jantung kongestif didasarkan pada gejala-gejala


yang ada dan penemuan klinis disertai dengan pemeriksaan penunjang
antara lain foto thorax, EKG, ekokardiografi, pemeriksaan laboratorium
rutin, dan pemeriksaan biomarker. 2, 10
Kriteria Diagnosis : 11
Kriteria Framingham dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif 1, 9

Kriteria Major :
1. Paroksismal nokturnal dispnea
2. Distensi vena leher
3. Ronki paru
4. Kardiomegali
5. Edema paru akut
6. Gallop S3
7. Peninggian tekana vena jugularis
8. Refluks hepatojugular
Kriteria Minor :
1. Edema eksremitas
2. Batuk malam hari
3. Dispnea d’effort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
7. Takikardi(>120/menit)

20
Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2
kriteria minor.
Klasifikasi menurut New York Heart Association (NYHA), merupakan
pedoman untuk pengklasifikasian penyakit gagal jantung kongestif
berdasarkan tingkat aktivitas fisik, antara lain: 1

 NYHA class I, penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam


kegiatan fisik serta tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit jantung
seperti cepat lelah, sesak napas atau berdebar-debar, apabila
melakukan kegiatan biasa.
 NYHA class II, penderita dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan fisik.
Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan
fisik yang biasa dapat menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung
seperti kelelahan, jantung berdebar, sesak napas atau nyeri dada.
 NYHA class III, penderita penyakit dengan pembatasan yang lebih banyak
dalam kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat,
akan tetapi kegiatan fisik yang kurang dari kegiatan biasa sudah
menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti yang tersebut
di atas.
 NYHA class IV, penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun
tanpa menimbulkan keluhan, yang bertambah apabila mereka
melakukan kegiatan fisik meskipun sangat ringan.

b. Pemeriksaan Penunjang

Ketika pasien datang dengan gejala dan tanda gagal jantung,


pemeriksaan penunjang sebaiknya dilakukan. 12

1. Pemeriksaan Laboratorium Rutin : 11, 12, 13


Pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood urea
nitrogen (BUN), kreatinin serum, enzim hepatik, dan urinalisis.
Juga dilakukan pemeriksaan gula darah, profil lipid.

21
2. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari
EKG adalah untuk menilai ritme, menentukan adanya left ventrikel
hypertrophy (LVH) atau riwayat MI (ada atau tidak adanya Q
wave). EKG Normal biasanya menyingkirkan kemungkinan
adanya disfungsi diastolik pada LV. 11, 12

3. Radiologi :
Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai
ukuran jantung dan bentuknya, distensi vena pulmonalis, dilatasi
aorta, dan kadang-kadang efusi pleura. begitu pula keadaan
vaskuler pulmoner dan dapat mengidentifikasi penyebab
nonkardiak pada gejala pasien. . 11, 12, 13

4. Penilaian fungsi LV :
Pencitraan kardiak noninvasive penting untuk mendiagnosis,
mengevaluasi, dan menangani gagal jantung. Pemeriksaan paling
berguna adalah echocardiogram 2D/ Doppler, dimana dapat
memberikan penilaian semikuantitatif terhadap ukuran dan fungsi
LV begitu pula dengan menentukan keberadaan abnormalitas pada
katup dan/atau pergerakan dinding regional (indikasi adanya MI
sebelumnya). Keberadaan dilatasi atrial kiri dan hypertrophy LV,
disertai dengan adanya abnormalitas pada pengisian diastolic pada
LV yang ditunjukkan oleh pencitraan, berguna untuk menilai gagal
jantung dengan EF yang normal. Echocardiogram 2-D/Doppler
juga bernilai untuk menilai ukuran ventrikel kanan dan tekanan
pulmoner, dimana sangat penting dalam evaluasi dan
penatalaksanaan cor pulmonale. MRI juga memberikan analisis
komprehensif terhadap anatomi jantung dan sekarang menjadi gold
standard dalam penilaian massa dan volume LV. Petunjuk paling

22
berguna untuk menilai fungsi LV adalah EF (stroke volume dibagi
dengan end-diastolic volume). Karena EF mudah diukur dengan
pemeriksaan noninvasive dan mudah dikonsepkan. Pemeriksaan ini
diterima secara luas oleh para ahli. Sayangnya, EF memiliki
beberapa keterbatasan sebagai tolak ukur kontraktilitas, karena EF
dipengaruhi oleh perubahan pada afterload dan/atau preload.
Sebagai contoh, LV EF meningkat pada regurgitasi mitral sebagai
akibat ejeksi darah ke dalam atrium kiri yang bertekanan rendah.
Walaupun demikan, dengan pengecualian jika EF normal (> 50%),
fungsi sistolik biasanya adekuat, dan jika EF berkurang secara
bermakna (<30-40%). 11

VII. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi


penalaksanaan secara non farmakologis dan secara farmakologis.
Penatalaksanaan gagal jantung baik akut maupun kronik ditujukan untuk
mengurangi gejala dan memperbaiki prognosis, meskipun penatalaksanaan
secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya kondisi. 13
Terapi : 14
a. Non Farmakalogi :
- Anjuran umum :
 Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala dengan
pengobatan.
 Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat
dilakukan seperti biasa. Sesuaikan kemampuan fisik dengan
profesi yang masih bisa dilakukan.
 Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang.

- Tindakan Umum :
 Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung
ringan dan 1 g pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter

23
pada gagal jantung berat dan 1,5 liter pada gagal jantung
ringan.
 Hentikan rokok
 Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari
pada yang lainnya.
 Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu selama
20-30 menit atau sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit
dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal pada gagal
jantung ringan dan sedang).
 Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan
eksaserbasi akut.

b. Farmakologi
Terapi farmakologik terdiri atas ; panghambat ACE, Antagonis
Angiotensin II, diuretik, Antagonis aldosteron, β-blocker,
vasodilator lain, digoksin, obat inotropik lain, anti-trombotik, dan
anti-aritmia. 14, 15

a. Diuretik. Kebanyakan pasien dengan gagal jantung


membutuhkan paling sedikit diuretik reguler dosis rendah.
Permulaan dapat digunakan loop diuretik atau tiazid. Bila
respon tidak cukup baik, dosis diuretik dapat dinaikkan, berikan
diuretik intravena, atau kombinasi loop diuretik dengan tiazid.
Diuretik hemat kalium, spironolakton, dengan dosis 25-50
mg/hari dapat mengurangi mortalitas pada pasien dengan gagal
jantung sedang sampai berat (klas fungsional IV) yang
disebabkan gagal jantung sistolik.
b. Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivitas
neurohormonal, dan pada gagal jantung yang disebabkan

24
disfungsi sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai dengan
dosis rendah, dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis
yang efektif.
c. Penyekat Beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE.
Pemberian dimulai dosis kecil, kemudian dititrasi selama
beberapa minggu dengan kontrol ketat sindrom gagal jantung.
Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal
jantung klas fungsional II dan III. Penyekat Beta yang
digunakan carvedilol, bisoprolol atau metaprolol. Biasa
digunakan bersama-sama dengan penghambat ACE dan
diuretik.
d. Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada
intoleransi terhadap ACE ihibitor.
e. Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal
jantung disfungsi sistolik ventrikel kiri dan terutama yang
dengan fibrilasi atrial, digunakan bersama-sama diuretik, ACE
inhibitor, beta blocker.
f. Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk
pencegahan emboli serebral pada penderita dengan fibrilasi
atrial dengan fungsi ventrikel yang buruk. Antikoagulan perlu
diberikan pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan riwayat
emboli, trombosis dan Trancient Ischemic Attacks, trombus
intrakardiak dan aneurisma ventrikel.
g. Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang
asimptomatik atau aritmia ventrikel yang menetap. Antiaritmia
klas I harus dihindari kecuali pada aritmia yang mengancam
nyawa. Antiaritmia klas III terutama amiodaron dapat
digunakan untuk terapi aritmia atrial dan tidak digunakan untuk
terapi aritmia atrial dan tidak dapat digunakan untuk mencegah
kematian mendadak.

25
h. Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium
antagonis untuk mengobati angina atau hipertensi pada gagal
jantung.

Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cairan (1,5 –


2 l/hari) dan pembatasan asupan garam dianjurkan pada pasien. Tirah
baring jangka pendek dapat membantu perbaikan gejala karena
mengurangi metabolisme serta meningkatkan perfusi ginjal. Pemberian
heparin subkutan perlu diberikan pada penderita dengan imobilitas.
Pemberian antikoagulan diberikan pada penderita dengan fibrilasi atrium,
gangguan fungsi sistolik berat dengan dilatasi ventrikel. 13
Penderita gagal jantung akut datang dengan gambaran klinis
dispneu, takikardia serta cemas,pada kasus yang lebih berat penderita
tampak pucat dan hipotensi. Adanya trias hipotensi (tekanan darah sistolik
< 90 mmHg), oliguria serta cardiac output yang rendah menunjukkan
bahwa penderita dalam kondisi syok kardiogenik. Gagal jantung akut yang
berat serta syok kardiogenik biasanya timbul pada infark miokard luas,
aritmia yang menetap (fibrilasi atrium maupun ventrikel) atau adanya
problem mekanis seperti ruptur otot papilari akut maupun defek septum
ventrikel pasca infark. 13
Gagal jantung akut yang berat merupakan kondisi emergensi
dimana memerlukan penatalaksanaan yang tepat termasuk mengetahui
penyebab, perbaikan hemodinamik, menghilangan kongesti paru, dan
perbaikan oksigenasi jaringan. Menempatkan penderita dengan posisi
duduk dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi dengan masker
sebagai tindakan pertama yang dapat dilakukan. Monitoring gejala serta
produksi kencing yang akurat dengan kateterisasi urin serta oksigenasi
jaringan dilakukan di ruangan khusus. Base excess menunjukkan perfusi
jaringan, semakin rendah menunjukkan adanya asidosis laktat akibat
metabolisme anerob dan merupakan prognosa yang buruk. Koreksi

26
hipoperfusi memperbaiki asidosis,pemberian bikarbonat hanya diberikan
pada kasus yang refrakter. 13
Pemberian loop diuretik intravena seperti furosemid akan
menyebabkan venodilatasi yang akan memperbaiki gejala walaupun belum
ada diuresis. Loop diuretik juga meningkatkan produksi prostaglandin
vasdilator renal. Efek ini dihambat oleh prostaglandin inhibitor seperti
obat antiflamasi nonsteroid, sehingga harus dihindari bila memungkinkan.
13

Opioid parenteral seperti morfin atau diamorfin penting dalam


penatalaksanaan gagal jantung akut berat karena dapat menurunkan
kecemasan, nyeri dan stress, serta menurunkan kebutuhan oksigen. Opiat
juga menurunkan preload dan tekanan pengisian ventrikel serta udem paru.
Dosis pemberian 2 – 3 mg intravena dan dapat diulang sesuai kebutuhan.
13

Pemberian nitrat (sublingual, buccal dan intravenus) mengurangi


preload serta tekanan pengisian ventrikel dan berguna untuk pasien dengan
angina serta gagal jantung. Pada dosis rendah bertindak sebagai
vasodilator vena dan pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan
vasodilatasi arteri termasuk arteri koroner. Sehingga dosis pemberian
harus adekuat sehingga terjadi.keseimbangan antara dilatasi vena dan
arteri tanpa mengganggu perfusi jaringan. Kekurangannya adalah teleransi
terutama pada pemberian intravena dosis tinggi, sehingga pemberiannya
hanya 16 – 24 jam. 13
Sodium nitropusside dapat digunakan sebagai vasodilator yang
diberikan pada gagal jantung refrakter, diberikan pada pasien gagal
jantung yang disertai krisis hipertensi. Pemberian nitropusside dihindari
pada gagal ginjal berat dan gangguan fungsi hati. Dosis 0,3 – 0,5
μg/kg/menit. 13

27
Nesiritide adalah peptide natriuretik yang merupakan vasodilator.
Nesiritide adalah BNP rekombinan yang identik dengan yang dihasilkan
ventrikel. Pemberiannya akan memperbaiki hemodinamik dan
neurohormonal, dapat menurunkan aktivitas susunan saraf simpatis dan
menurunkan kadar epinefrin, aldosteron dan endotelin di plasma.
Pemberian intravena menurunkan tekanan pengisian ventrikel tanpa
meningkatkan laju jantung, meningkatkan stroke volume karena
berkurangnya afterload. Dosis pemberiannya adalah bolus 2 μg/kg dalam 1
menit dilanjutkan dengan infus 0,01 μg/kg/menit. 13
Pemberian inotropik dan inodilator ditujukan pada gagal jantung
akut yang disertai hipotensi dan hipoperfusi perifer. Obat inotropik dan /
atau vasodilator digunakan pada penderita gagal jantung akut dengan
tekanan darah 85 – 100 mmHg. Jika tekanan sistolik < 85 mmHg maka
inotropik dan/atau vasopressor merupakan pilihan. Peningkatan tekanan
darah yang berlebihan akan dapat meningkatkan afterload. Tekanan darah
dianggap cukup memenuhi perfusi jaringan bila tekanan arteri rata - rata >
65 mmHg. 13
Pemberian dopamin 2 μg/kg/mnt menyebabkan vasodilatasi
pembuluh darah splanknik dan ginjal. Pada dosis 2 – 5 μg/kg/mnt akan
merangsang reseptor adrenergik beta sehingga terjadi peningkatan laju dan
curah jantung. Pada pemberian 5 – 15 μg/kg/mnt akan merangsang
reseptor adrenergik alfa dan beta yang akan meningkatkan laju jantung
serta vasokonstriksi. Pemberian dopamin akan merangsang reseptor
adrenergik 1 dan 2, menyebabkan berkurangnya tahanan vaskular sistemik
(vasodilatasi) dan meningkatnya kontrkatilitas. Dosis umumnya 2 – 3
μg/kg/mnt, untuk meningkatkan curah jantung diperlukan dosis 2,5 – 15
μg/kg/mnt. Pada pasien yang telah mendapat terapi penyekat beta, dosis
yang dibutuhkan lebih tinggi yaitu 15 – 20 μg/kg/mnt. 13
Phospodiesterase inhibitor menghambat penguraian cyclic-AMP
menjadi AMP sehingga terjadi efek vasodilatasi perifer dan inotropik
jantung. Yang sering digunakan dalam klinik adalah milrinone dan

28
enoximone. Biasanya digunakan untuk terapi penderia gagal jantung akut
dengan hipotensi yang telah mendapat terapi penyekat beta yang
memerlukan inotropik positif. Dosis milrinone intravena 25 μg/kg bolus
10 – 20 menit kemudian infus 0,375 – 075 μg/kg/mnt. Dosis enoximone
0,25– 0,75 μg/kg bolus kemudian 1,25 – 7,5 μg/kg/mnt. 13
Pemberian vasopressor ditujukan pada penderita gagal jantung akut
yang disertai syok kardiogenik dengan tekanan darah < 70 mmHg.
Penderita dengan syok kardiogenik biasanya dengan tekanan darah < 90
mmHg atau terjadi penurunan tekanan darah sistolik 30 mmHg selama 30
menit.Obat yang biasa digunakan adalah epinefrin dan norepinefrin.
Epinefrin diberikan infus kontinyu dengan dosis 0,05 – 0,5 μg/kg/mnt.
Norepinefrin diberikan dengan dosis 0,2 – 1 μg/kg/mnt. 13
Penanganan yang lain adalah terapi penyakit penyerta yang
menyebabkan terjadinya gagal jantung akut de novo atau dekompensasi.
Yang tersering adalah penyakit jantung koroner dan sindrom koroner akut.
Bila penderita datang dengan hipertensi emergensi pengobatan bertujuan
untuk menurunkan preload dan afterload. Tekanan darah diturunkan
dengan menggunakan obat seperti lood diuretik intravena, nitrat atau
nitroprusside intravena maupun natagonis kalsium intravena(nicardipine).
Loop diuretik diberkan pada penderita dengan tanda kelebihan cairan.
Terapi nitrat untuk menurunkan preload dan afterload, meningkatkan
aliran darah koroner. Nicardipine diberikan pada penderita dengan
disfungsi diastolik dengan afterload tinggi. Penderita dengan gagal
ginjal,diterapi sesuai penyakit dasar. Aritmia jantungharus diterapi. 13
Penanganan invasif yang dapat dikerjakan adalah Pompa balon

intra aorta, pemasangan pacu jantung, implantable cardioverter

defibrilator, ventricular assist device. Pompa balon intra aorta ditujukan


pada penderita gagal jantung berat atau syok kardiogenik yang tidak
memberikan respon terhadap pengobatan, disertai regurgitasi mitral atau
ruptur septum interventrikel. Pemasangan pacu jantung bertujuan untuk

29
mempertahankan laju jantung dan mempertahankan sinkronisasi atrium
dan ventrikel, diindikasikan pada penderita dengan bradikardia yang
simtomatik dan blok atrioventrikular derajat tinggi. Implantable
cardioverter device bertujuan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel dan
takikardia ventrikel. Vascular Assist Device merupakan pompa mekanis
yang mengantikan sebgaian fungsi ventrikel, indikasi pada penderita
dengan syok kardiogenik yang tidak respon terhadap terapi terutama
inotropik. 13

VIII. PROGNOSA

Meskipun penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung telah


sangat berkembang, tetapi prognosisnya masih tetap jelek, dimana angka
mortalitas setahun bervariasi dari 5% pada pasien stabil dengan gejala
ringan, sampai 30-50% pada pasien dengan gejala berat dan progresif.
Prognosisnya lebih buruk jika disertai dengan disfungsi ventrikel kiri berat
(fraksi ejeksi< 20%), gejala menonjol, dan kapasitas latihan sangat
terbatas (konsumsi oksigen maksimal < 10 ml/kg/menit), insufisiensi
ginjal sekunder, hiponatremia, dan katekolamin plasma yang meningkat.
Sekitar 40-50% kematian akibat gagal jantung adalah mendadak.
Meskipun beberapa kematian ini akibat aritmia ventrikuler, beberapa
diantaranya merupakan akibat infark miokard akut atau bradiaritmia yang
tidak terdiagnosis. Kematian lainnya adalah akibat gagal jantung progresif
atau penyakit lainnya. Pasien-pasien yang mengalami gagal jantung
stadium lanjut dapat menderita dispnea dan memerlukan bantuan terapi
paliatif yang sangat cermat. 11

30
Deep Vein Thrombosis (DVT)

A. DEFINISI

Deep vein thrombosis (DVT) merupakan pembentukan bekuan darah pada


lumen vena dalam (deep vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding
pembuluh darah dan jaringan perivena (Wakefield, 2008). DVT disebabkan oleh
disfungsi endotel pembuluh darah, hiperkoagulabilitas dan gangguan aliran darah
vena (stasis) yang dikenal dengan trias virchow (JCS Guidelines, 2011; Bailey,
2009; Hirsh, 2002).

B. PATOGENESIS

Berdasarkan “Triad of Virchow”, terdapat 3 faktor yang berperan dalam


patogenesis terjadinya trombosis pada arteri atau vena yaitu kelainan dinding
pembuluh darah, perubahan aliran darah dan perubahan daya beku darah.

Trombosis vena adalah suatu deposit intra vaskuler yang terdiri dari fibrin, sel
darah merah dan beberapa komponen trombosit dan lekosit.

Patogenesis terjadinya trombosis vena adalah sebagai berikut :

1. Stasis vena.

2. Kerusakan pembuluh darah.

3. Aktivitas faktor pembekuan.

Faktor yang sangat berperan terhadap timbulnya suatu trombosis vena adalah
statis aliran darah dan hiperkoagulasi.

1. Statis Vena

Aliran darah pada vena cendrung lambat, bahkan dapat terjadi statis terutama
pada daerah-daerah yang mengalami immobilisasi dalam waktu yang cukup
lama.

31
Statis vena merupakan predisposisi untuk terjadinya trombosis lokal karena
dapat menimbulkan gangguan mekanisme pembersih terhadap aktifitas faktor
pembekuan darah sehingga memudahkan terbentuknya trombin.

2. Kerusakan pembuluh darah

Kerusakan pembuluh darah dapat berperan pada pembentukan trombosis vena,


melalui :

a. Trauma langsung yang mengakibatkan faktor pembekuan.

b. Aktifitasi sel endotel oleh cytokines yang dilepaskan sebagai akibat


kerusakan jaringan dan proses peradangan.

Permukaan vena yang menghadap ke lumen dilapisi oleh sel endotel.


Endotel yang utuh bersifat non-trombo genetik karena sel endotel
menghasilkan beberapa substansi seperti prostaglandin (PG12), proteoglikan,
aktifator plasminogen dan trombo-modulin, yang dapat mencegah
terbentuknya trombin.

Apabila endotel mengalami kerusakan, maka jaringan sub endotel akan


terpapar. Keadaan ini akan menyebabkan sistem pembekuan darah di aktifkan
dan trombosir akan melekat pada jaringan sub endotel terutama serat kolagen,
membran basalis dan mikro-fibril. Trombosit yang melekat ini akan
melepaskan adenosin difosfat dan tromboksan A2 yang akan merangsang
trombosit lain yang masih beredar untuk berubah bentuk dan saling melekat.
Kerusakan sel endotel sendiri juga akan mengaktifkan sistem pembekuan
darah.

32
3. Perubahan daya beku darah

Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam sistem


pembekuan darah dan sistem fibrinolisis. Kecendrungan terjadinya trombosis,
apabila aktifitas pembekuan darah meningkat atau aktifitas fibrinolisis
menurun.

Trombosis vena banyak terjadi pada kasus-kasus dengan aktifitas


pembekuan darah meningkat, seperti pada hiperkoagulasi, defisiensi Anti
trombin III, defisiensi protein C, defisiensi protein S dan kelainan
plasminogen.

A. FAKTOR RESIKO

Faktor utama yang berperan terhadap terjadinya trombosis vena adalah


status aliran darah dan meningkatnya aktifitas pembekuan darah.

Faktor kerusakan dinding pembuluh darah adalah relatif berkurang


berperan terhadap timbulnya trombosis vena dibandingkan trombosis arteri.
Sehingga setiap keadaan yang menimbulkan statis aliran darah dan meningkatkan
aktifitas pembekuan darah dapat menimbulkan trombosis vena.

Faktor resiko timbulnya trombosis vena adalah sebagai berikut :

1. Defisiensi Anto trombin III, protein C, protein S dan alfa 1 anti tripsin.

Pada kelainan tersebut di atas, faktor-faktor pembekuan yang aktif tidak di


netralisir sehinga kecendrungan terjadinya trombosis meningkat.

2. Tindakan operatif

Faktor resiko yang potensial terhadap timbulnya trombosis vena adalah


operasi dalam bidang ortopedi dan trauma pada bagian panggul dan
tungkai bawah.

33
Pada operasi di daerah panggul, 54% penderita mengalami trombosis vena,
sedangkan pada operasi di daerah abdomen terjadinya trombosis vena
sekitar 10%-14%.

Beberapa faktor yang mempermudah timbulnya trombosis vena pada


tindakan operatif, adalah sebagai berikut :

a. Terlepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah karena


trauma pada waktu di operasi.

b. Statis aliran darah karena immobilisasi selama periode preperatif,


operatif dan post operatif.

c. Menurunnya aktifitas fibrinolitik, terutama 24 jam pertama sesudah


operasi.

d. Operasi di daerah tungkai menimbulkan kerusakan vena secara


langsung di daerah tersebut.

3. Kehamilan dan persalinan

Selama trimester ketiga kehamilan terjadi penurunan aktifitas fibrinolitik,


statis vena karena bendungan dan peningkatan faktor pembekuan VII, VIII
dan IX.

Pada permulaan proses persalinan terjadi pelepasan plasenta yang


menimbulkan lepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah,
sehingga terjadi peningkatkan koagulasi darah.

4. Infark miokard dan payah jantung

Pada infark miokard penyebabnya adalah dua komponen yaitu kerusakan


jaringan yang melepaskan plasminogen yang mengaktifkan proses
pembekuan darah dan adanya statis aliran darah karena istirahat total.

34
Trombosis vena yang mudah terjadi pada payah jantung adalah sebagai
akibat statis aliran darah yang terjadi karena adanya bendungan dan proses
immobilisasi pada pengobatan payah jantung.

5. Immobilisasi yang lama dan paralisis ekstremitas.

Immobilisasi yang lama akan menimbulkan statis aliran darah yang


mempermudah timbulnya trombosis vena.

6. Obat-obatan konstrasepsi oral

Hormon estrogen yang ada dalam pil kontrasepsi menimbulkan dilatasi


vena, menurunnya aktifitas anti trombin III dan proses fibrinolitik dan
meningkatnya faktor pembekuan darah. Keadaan ini akan mempermudah
terjadinya trombosis vena.

7. Obesitas dan varices

Obesitas dan varices dapat menimbulkan statis aliran darah dan penurunan
aktifitas fibriolitik yang mempermudah terjadinya trombosis vena.

8. Proses keganasan

Pada jaringan yang berdegenerasi maligna di temukan “tissue thrombo


plastin-like activity” dan “factor X activiting” yang mengakibatkan
aktifitas koagulasi meningkat. Proses keganasan juga menimbulkan
menurunnya aktifitas fibriolitik dan infiltrasi ke dinding vena. Keadaan ini
memudahkan terjadinya trombosis. Tindakan operasi terhadap penderita
tumor ganas menimbulkan keadaan trombosis 2-3 kali lipat dibandingkan
penderita biasa.

35
A. MANIFESTASI KLINIK

Trombosis vena terutama mengenai vena-vena di daerah tungkai antara


lain vena tungkai superfisialis, vena dalam di daerah betis atau lebih proksimal
seperti v poplitea, v femoralis dan viliaca. Sedangkan vena-vena di bagian tubuh
yang lain relatif jarang di kenai.

Trombosis v superfisialis pada tungkai, biasanya terjadi varikositis dan


gejala klinisnya ringan dan bisa sembuh sendiri. Kadang-kadang trombosis v
tungkai superfisialis ini menyebar ke vena dalam dan dapat menimbulkan emboli
paru yang tidak jarng menimbulkan kematian.

Manifestasi klinik trombosis vena dalam tidak selalu jelas, kelainan yang
timbul tidak selalu dapat diramalkan secara tepat lokasi / tempat terjadinya
trombosis. Trombosis di daerah betis mempunyai gejala klinis yang ringan karena
trombosis yang terbentuk umumnya kecil dan tidak menimbulkan komplikasi
yang hebat. Sebagian besar trombosis di daerah betis adalah asimtomatis, akan
tetapi dapat menjadi serius apabila trombus tersebut meluas atau menyebar ke
lebih proksimal.

Trombosis vena dalam akan mempunyai keluhan dan gejala apabila


menimbulkan :

- bendungan aliran vena.

- peradangan dinding vena dan jaringan perivaskuler.

- emboli pada sirkulasi pulmoner.

Keluhan dan gejala trombosis vena dalam dapat berupa :

1. Nyeri

Intensitas nyeri tidak tergantung kepada besar dan luas trombosis. Trombosis
vena di daerah betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan bisa menjalar
ke bagian medial dan anterior paha.

36
Keluhan nyeri sangat bervariasi dan tidak spesifik, bisa terasa nyeri atau kaku
dan intensitasnya mulai dari yang enteng sampai hebat. Nyeri akan berkurang
kalau penderita istirahat di tempat tidur, terutama posisi tungkai ditinggikan.

2. Pembengkakan

Timbulnya edema dapat disebabkan oleh sumbatan vena di bagian


proksimal dan peradangan jaringan perivaskuler. Apabila pembengkakan
ditimbulkan oleh sumbatan maka lokasi bengkak adalah di bawah sumbatan
dan tidak nyeri, sedangkan apabila disebabkan oleh peradangan perivaskuler
maka bengkak timbul pada daerah trombosis dan biasanya di sertai nyeri.
Pembengkakan bertambah kalau penderita berjalan dan akan berkurang kalau
istirahat di tempat tidur dengan posisi kaki agak ditinggikan.

3. Perubahan warna kulit

Perubahan warna kulit tidak spesifik dan tidak banyak ditemukan pada
trombosis vena dalam dibandingkan trombosis arteri. Pada trombosis vena
perubahan warna kulit di temukan hanya 17%-20% kasus. Perubahan warna
kulit bisa berubah pucat dan kadang-kadang berwarna ungu. Perubahan warna
kaki menjadi pucat dan pada perabaan dingin, merupakan tanda-tanda adanya
sumbatan vena yang besar yang bersamaan dengan adanya spasme arteri,
keadaan ini di sebut flegmasia alba dolens.

4. Sindroma post-trombosis.

Penyebab terjadinya sindroma ini adalah peningkatan tekanan vena


sebagai konsekuensi dari adanya sumbatan dan rekanalisasi dari vena besar.
Keadaan ini mengakibatkan meningkatnya tekanan pada dinding vena dalam
di daerah betis sehingga terjadi imkompeten katup vena dan perforasi vena
dalam.

37
Semua keadaan di atas akan mengkibatkan aliran darah vena dalam
akan membalik ke daerah superfisilalis apabila otot berkontraksi, sehingga
terjadi edema, kerusakan jaringan subkutan, pada keadaan berat bisa terjadi
ulkus pada daerah vena yang di kenai.

Manifestasi klinis sindroma post-trombotik yang lain adalah nyeri pada


daerah betis yang timbul/bertambah waktu penderitanya beraktivitas (venous
claudicatio), nyeri berkurang waktu istirahat dan posisi kaki ditinggikan,
timbul pigmentasi dan indurasi pada sekitar lutut dan kaki sepertiga bawah.

A. DIAGNOSIS

Diagnosis trombosis vena dalam berdasarkan gejala klinis saja kurang


sensitif dan kurang spesifik karena banyak kasus trombosis vena yang besar tidak
menimbulkan penyumbatan dan peradangan jaringan perivaskuler sehingga tidak
menimbulkan keluhan dan gejala.

Ada 3 jenis pemeriksaan yang akurat, yang dapat menegakkan diagnosis


trombosis vena dalam, yaitu:

1. Venografi

Sampai saat ini venografi masih merupakan pemeriksaan standar untuk


trombosis vena. Akan tetapi teknik pemeriksaanya relatif sulit, mahal dan
bisa menimbulkan nyeri dan terbentuk trombosis baru sehingga tidak
menyenangkan penderitanya.

Prinsip pemeriksaan ini adalah menyuntikkan zat kontras ke dalam di daerah


dorsum pedis dan akan kelihatan gambaran sistem vena di betis, paha,
inguinal sampai ke proksimal ke v iliaca.

38
2. Flestimografi impendans

Prinsip pemeriksaan ini adalah mengobservasi perubahan volume darah pada


tungkai. Pemeriksaan ini lebih sensitif pada tombosis vena femoralis dan
iliaca dibandingkan vena di betis.

3. Ultra sonografi (USG) Doppler

Pada akhir abad ini, penggunaan USG berkembang dengan pesat, sehingga
adanya trombosis vena dapat di deteksi dengan USG, terutama USG Doppler.

Pemeriksaan ini memberikan hasil sensivity 60,6% dan spesifity 93,9%.


Metode ini dilakukan terutama pada kasus-kasus trombosis vena yang
berulang, yang sukar di deteksi dengan cara objektif lain.

DVT dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe sentral (iliac DVT dan femoral DVT)
dan tipe perifer (DVT pada vena poplitea dan daerah distal). Berdasarkan gejala
dan tanda klinis serta derajat keparahan drainase vena DVT dibagi menjadi DVT
akut dan kronis. Diagnosis DVT ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan
tanda yang ditemukan pada pemeriksaan fisik serta ditemukannya faktor resiko
(Bates, 2004). Tanda dan gejala DVT antara lain edema, nyeri dan perubahan
warna kulit (phlegmasia alba dolens/milk leg, phlegmasia cerulea dolens/blue
leg) (JCS Guidelines, 2011). Skor dari Wells (tabel 1) dapat digunakan untuk
stratifikasi (clinical probability) menjadi kelompok resiko ringan, sedang atau
tinggi (JCS Guidelines, 2011; Hirsh, 2002).

39
Tabel-1. Skor Wells (Hirsh, 2002)

Pasien dengan DVT dapat memiliki gejala dan tanda yang minimal dan
tidak khas karenanya pemeriksaan tambahan seringkali diperlukan untuk
menegakkan diagnosa (Hirsh, 2002). Pemeriksaan D-dimer <0,5 mg/ml dapat
menyingkirkan diagnosis DVT. Nilai prediktif negatif pemeriksaan D-dimer pada
DVT lebih dari 95%, pemeriksaan ini bersifat sensitif tapi tidak spesifik, sehingga
tidak dapat dipakai sebagai tes tunggal untuk diagnosis DVT (Adam, 2009;
Wolberg, 2009). Angiografi (venografi atau flebografi) merupakan pemeriksaan
baku yang paling bermakna (gold standard), namun pemeriksaan non invasive
ultrasound (USG Doppler) dapat menggantikan peran angiografi pada kondisi
tertentu. USG Doppler memberikan sensitivitas 95% dan spesifisitas 96% untuk
mendiagnosa DVT yang simptomatis dan terletak pada bagian proksimal akan
tetapi pada isolated calf vein thrombosis sensitivitasnya hanya 60% dan
spesifisitasnya kurang lebih 70% (JCS Guidelines, 2011; Righini, 2007; Hirsh,
2002: Ramzi, 2004). Jika dengan metode pemeriksaan USG doppler dan D-dimer
diagnosis DVT belum dapat ditegakkan maka magnetic resonance
venography (MRV) harus dilakukan (JCS Guidelines, 2011). Algoritme diagnosis
DVT dapat dilihat sebagai berikut :

40
Algoritme diagnosis DVT (Hirsh, 2002)

A. PENATALAKSANAAN

Pengobatan trombosis vena diberikan pada kasus-kasus yang diagnosisnya sudah


pasti dengan menggunakan pemeriksaan yang objektif, oleh karena obat-obatan
yang diberikan mempunyai efek samping yang kadang-kadang serius.

Berbeda dengan trombosis arteri, trombosis vena dalam adalah suatu keadaan
yang jarang menimbulkan kematian.

Oleh karena itu tujuan pengobatan adalah :

1. Mencegah meluasnya trombosis dan timbulnya emboli paru.

2. Mengurangi morbiditas pada serangan akut.

3. Mengurangi keluhan post flebitis

4. Mengobati hipertensi pulmonal yang terjadi karena proses trombo emboli.

41
1. Mencegah meluasnya trombosis dan timbulnya emboli paru

Meluasnya proses trombosis dan timbulnya emboli paru dapat di cegah dengan
pemberian anti koagulan dan obat-obatan fibrinolitik. Pada pemberian obat-obatan
ini di usahakan biaya serendah mungkin dan efek samping seminimal mungkin.
Pemberian anti koagulan sangat efektif untuk mencegah terjadinya emboli paru,
obat yang biasa di pakai adalah heparin.

Prinsip pemberian anti koagulan adalah Save dan Efektif. Save artinya anti
koagulan tidak menyebabkan perdarahan. Efektif artinya dapat menghancurkan
trombus dan mencegah timbulnya trombus baru dan emboli. Pada pemberian
heparin perlu dipantau waktu trombo plastin parsial atau di daerah yang
fasilitasnya terbatas, sekurang-kurangnya waktu pembekuan.

2. Pemberian Heparin standar

 Heparin 5000 ini bolus (80 iu/KgBB), bolus dilanjutkan dengan drips konsitnus
1000 – 1400 iu/jam (18 iu/KgBB), drips selanjutnya tergantung hasil APTT. 6
jam kemudian di periksa APTT untuk menentukan dosis dengan target 1,5 –
2,5 kontrol.

1. Bila APTT 1,5 – 2,5 x kontrol dosis tetap.

2. Bila APTT < 1,5 x kontrol dosis dinaikkan 100 – 150 iu/jam.

3. Bila APTT > 2,5 x kontrol dosis diturunkan 100 iu/jam.

 Penyesuaian dosis untuk mencapai target dilakukan pada hari ke 1 tiap 6 jam,
hari ke 2 tiap 2 - 4 jam. Hal ini di lakukan karena biasanya pada 6 jam pertama
hanya 38% yang mencapai nilai target dan sesudah dari ke 1 baru 84%.

42
 Heparin dapat diberikan 7–10 hari yang kemudian dilanjutkan dengan
pemberian heparin dosis rendah yaitu 5000 iu/subkutan, 2 kali sehari atau
pemberian anti koagulan oral, selama minimal 3 bulan.

 Pemberian anti koagulan oral harus diberikan 48 jam sebelum rencana


penghentian heparin karena anti koagulan orang efektif sesudah 48 jam.

1. Pemberian Low Milecular Weight Heparin (LMWH)

Pemberian obat ini lebih di sukai dari heparin karena tidak memerlukan
pemantauan yang ketat, sayangnya harganya relatif mahal dibandingkan heparin.
Saat ini preparat yang tersedia di Indonesia adalah Enoxaparin (Lovenox) dan
(Nandroparin Fraxiparin). Pada pemberian heparin standar maupun LMWH bisa
terjadi efek samping yang cukup serius yaitu Heparin Induced Thormbocytopenia
(HIT).

2. Pemberian Oral Anti koagulan oral

Obat yang biasa di pakai adalah Warfarin Cara. Pemberian Warfarin di mulai
dengan dosis 6 – 8 mg (single dose) pada malam hari. Dosis dapat dinaikan atau
di kurangi tergantung dari hasil INR (International Normolized Ratio). Target
INR : adalah 2,0 – 3,0

Cara penyesuaian dosis

INR

Penyesuaian

1,1 – 1,4 hari 1, naikkan 10%-20% dari total dosis mingguan.

Kembali : 1 minggu

1,5 – 1,9 hari 1, naikkan 5% – 10% dari total dosis mingguan.

Kembali : 2 minggu

43
2,0 – 3,0 tidak ada perubahan.

Kembali : 1 minggu

3,1 – 3,9 hari : kurang 5% – 10% dari dosis total mingguan.

Mingguan : kurang 5 – 150 dari dosis total mingguan

Kembali : 2 minggu

4,0 – 5,0 hari 1: tidak dapat obat

mingguan : kurang 10%-20% TDM

kembali : 1 minggu

> 50 :

 Stop pemberian warfarin.

 Pantau sampai INR : 3,0

 Mulai dengan dosis kurangi 20%-50%.

 kembali tiap hari.

Lama pemberian anti koagulan oral adalah 6 minggu sampai 3 bulan apabila
trombosis vena dalam timbul disebabkan oleh faktor resiko yang reversible.
Sedangkan kalau trombosis vena adalah idiopatik di anjurkan pemberian anti
koagulan oral selama 3-6 bulan, bahkan biasa lebih lama lagi apabila ditemukan
abnormal inherited mileculer.

Kontra indikasi pemberian anti koagulan adalah :

1. Hipertensi : sistolik > 200 mmHg, diastolik > 120 mmHg.

2. Perdarahan yang baru di otak.

44
3. Alkoholisme.

4. Lesi perdarahan traktus digestif.

` Pemberian trombolitik selama 12-14 jam dan kemudian di ikuti dengan


heparin, akan memberikan hasil lebih baik bila dibandingkan dengan hanya
pemberian heparin tunggal. Peranan terapi trombolitik berkembang dengan pesat
pada akhir abad ini, terutama sesudah dipasarkannya streptiknase, urokinase dan
tissue plasminogen activator (TPA).

TPA bekerja secara selektif pada tempat yang ada plasminon dan fibrin,
sehingga efek samping perdarahan relatif kurang. Brenner menganjurkn
pemberian TPA dengan dosis 4 ugr/kgBB/menit, secara intra vena selama 4 jam
dan Streptokinase diberikan 1,5 x 106 unit intra vena kontiniu selama 60 menit.
Kedua jenis trombolitik ini memberikan hasil yang cukup memuaskan. Efek
samping utama pemberian heparin dan obat-obatan trombolitik adalah perdarahan
dan akan bersifat fatal kalau terjadi perdarahan serebral. Untuk mencegah
terjadinya efek samping perdarahan, maka diperlukan monitor yang ketat terhadap
waktu trombo plastin parsial dan waktu protombin, jangan melebihi 2,5 kali nilai
kontrol.

1. Mengurangi Morbiditas pada serangan akut.

Untuk mengurangi keluhan dan gejala trombosis vena dilakukan.

- Istirahat di tempat tidur.

- Posisi kaki ditinggikan.

- Pemberian heparin atau trombolitik.

- Analgesik untuk mengurangi rasa nyeri.

45
- Pemasangan stoking yang tekananya kira-kira 40 mmHg.

Nyeri dan pembengkakan biasanya akan berkurang sesudah 24 – 48 jam


serangan trombosis. Apabila nyeri sangat hebat atau timbul flagmasia alba
dolens di anjurkan tindakan embolektomi.

Pada keadaan biasa, tindakan pembedahan pengangkatan thrombus atau


emboli, biasanya tidak di anjurkan.

2. Pencegahan Sindroma post-flebitis.

Sindroma post flebitis disebabkan oleh inkompeten katup vena sebagai akibat
proses trombosis. Biasanya terjadi pada trombosis di daerah proksimal yang
eksistensif seperti vena-vena di daerah poplitea, femoral dan illiaca. Keluhan
biasanya panas, edema dan nyeri terjadinya trombosis. Sindroma ini akan
berkurang derajatnya kalau terjadi lisis atau pengangkatan trombosis.

3. Pencegahan terhadap adanya hipertensi pulmonal.

Hipertensi pulmonal merupakan komplikasi yang tidak sering dari emboli


paru. Keadaan ini terjadi pada trombosis vena yang bersamaan dengan adanya
emboli paru, akan tetapi dengan pemberian anti koagulan dan obat-obatan
trombolitik, terjadinya hipertensi pulmonal ini dapat di cegah.

Tujuan terapi jangka pendek DVT adalah mencegah pembentukan trombus yang
makin luas dan emboli paru. Tujuan jangka panjangnya adalah mencegah
kekambuhan dan terjadinya sindrom post trombotik. Kombinasi heparin dan
antikoagulan oral merupakan terapi inisial dan drug of choice DVT (Key, 2010;
Scarvelis , 2006; Ramzi, 2004; Bates, 2004).

Unfractionated Heparin (UFH)

Unfractionated heparin (UFH) memiliki waktu mula kerja yang cepat tapi
harus diberikan secara intravena. UFH berikatan dengan antitrombin dan
meningkatkan kemampuannya untuk menginaktivasi faktor Xa dan trombin
(Mackman, 2010; Deitcher, 2009). Dosis Unfractionated heparin berdasarkan

46
berat badan dan dititrasi sesuai kadar activated partial-thromboplastin
time (APTT). Dosis heparin yang disesuaikan berdasarkan berat badan dan APTT
dapat dilihat pada tabel-2. Target APTT yang diinginkan adalah antara 1,5 sampai
2,3 kali kontrol. Respon antikoagulan dari UFH berbeda pada tiap-tiap individu
karena obat ini berikatan secara nonspesifik dengan plasma dan protein sel. Efek
samping meliputi perdarahan dan trombositopeni. Pada terapi inisial resiko
terjadinya perdarahan kurang lebih 7%, hal ini tergantung pada dosis, usia,
penggunaan bersama dengan antitrombotik atau trombolitik. Trombositopeni
transien terjadi pada 10-20% pasien. Pemberian heparin dapat dihentikan 4-5 hari
setelah penggunaanya bersama warfarin jika target International Normalized
Ratio (INR) dari prothrombin clotting time lebih dari 2,0 (Ramzi, 2004; Bates,
2004).

Low Molecular Weight heparin (LMWH)


Low Molecular Weight Heparin (LMWH) bekerja dengan cara
menghambat faktor Xa melalui ikatan dengan antitrombin (Mackman, 2011).
LMWH merupakan antikoagulan yang memiliki beberapa keuntungan dibanding
UFH antara lain respon antikoagulan yang lebih dapat diprediksi, waktu paruh
yang lebih panjang, dapat diberikan sub kutan satu sampai dua kali sehari, dosis
yang tetap, tidak memerlukan monitoring laboratorium. LMWH banyak
menggantikan peranan UFH sebagai antikoagulan (Deitcher, 2009; Hirsh, 2002).

47
Tabel-2. Dosis heparin berdasarkan berat badan dan APTT

(Ramzi, 2004)

Efek samping trombositopeni dan osteoporosis LMWH lebih jarang terjadi


dibanding penggunaan UFH. Kontraindikasi terapi antikoagulan antara lain
kelainan darah, riwayat stroke perdarahan, metastase ke central nervous
system (CNS), kehamilan peripartum, operasi abdomen atau ortopedi dalam
tujuh hari dan perdarahan gastrointestinal. Penggunaan LMWH pada pasien
rawat jalan aman dan efektif terutama jika pasien edukatif serta ada sarana
untuk memonitor. Penggunaan LMWH pada pasien rawat jalan sebaiknya tidak
dilakukan pada pasien dengan trombosis masif, memiliki kecenderungan
perdarahan yang tinggi seperti usia tua, baru saja menjalani pembedahan,
riwayat penyakit ginjal dan liver serta memiliki penyakit penyerta yang berat
(Hirsh, 2002; Bates, 2004; Ramzi, 2004). LMWH diekskresikan melalui ginjal, oleh

48
karena itu pada penderita ganguan fungsi ginjal perannya dapat digantikan oleh
UFH (Mackman, 2011; Key, 2010).

Seperti UFH pemberian LMWH juga dikombinasikan dengan warfarin


selama empat sampai lima hari dan dihentikan jika kadar INR setelah
penggunaanya bersama warfarin mencapai 2 atau lebih. Enoxaparin (lovenox)
adalah LMWH pertama yang dikeluarkan oleh U.S. Food and Drug
Administration (FDA) untuk terapi DVT dengan dosis 1 mg/kgBB, dua kali sehari.
Dalteparin (Fragmin) hanya digunakan untuk terapi profilaksis dengan dosis 200
IU/kgBB/hari dalam dosis terbagi dua kali sehari. Tinzaparin (Innohep) diberikan
dengan dosis 175 IU/kgBB/hari (Ramzi, 2004). Pilihan lain adalah penggunaan
fondaparinux (Arixtra). Fondaparinux adalah pentasakarida sintetik yang bekerja
menghambat faktor Xa dan trombin (Mackman, 2011). Dapat digunakan sebagai
profilaksis dan terapi pada kondisi akut dengan dosis 5 mg (BB <50 kg), 7,5 mg
(BB 50-100 kg), atau 10 mg (BB >100 kg) secara subkutan, satu kali perhari
(Mackman, 2011; Buller, 2004).

TERAPI JANGKA PANJANG

Setelah terapi inisial dengan UFH atau LMWH, terapi antikoagulan


dilanjutkan dengan pemberian derivat kumarin sebagai profilaksis sekunder
untuk mencegah kekambuhan (Bates, 2004). Warfarin adalah obat yang paling
sering diberikan. Warfarin adalah antagonis vitamin K yang menghambat vitamin
K-dependent clotting factor(faktor II, VII, IX, X) melalui hambatan terhadap
enzim vitamin K epoxide reductase(Dietrich, 2009). Dosis awal yang diberikan
adalah 5 mg pada hari pertama sampai hari keempat, dosis dititrasi tiap 3 sampai
7 hari dengan target kadar INR berkisar 2,0 sampai 3,0. Dosis yang lebih kecil (2-4
mg) diberikan pada usia tua, BB rendah dan kondisi malnutrisi (Bates, 2004; Hirsh,
2002).

49
Therapeutic window warfarin sangat sempit sehingga monitoring INR
secara berkala diperlukan untuk mencegah trombosis rekuren dan efek samping
perdarahan. INR sebaiknya diperiksa 2 kali per minggu selama 1 sampai 2 minggu
awal penggunaan, diikuti 1 kali perminggu untuk 4 minggu berikutnya, lalu tiap 2
minggu sekali untuk 1 bulan berikutnya dan akhirnya tiap sebulan sekali jika
target INR tercapai dan pasien dalam kondisi optimal (Bates, 2004; Hirsh, 2002).
Penggunaan LMWH sebagai terapi alternatif jangka panjang sedang dievaluasi.
LMWH memiliki beberapa keuntungan dibanding warfarin yaitu tidak
memerlukan monitoring INR sehingga cost effective dan dapat digunakan jika ada
kesulitan akses laboratorium, LMWH juga memiliki onset dan offset of
action yang lebih cepat daripada warfarin, lebih efektif pada trombosis pasien
kanker dan kasus rekurensi trombosis pada penggunaan warfarin jangka lama.
Akan tetapi kelemahan LMWH adalah penggunaannya yang tidak nyaman bagi
pasien karena harus diberikan subkutan disamping harganya yang mahal (Hirsh,
2002: Bates, 2004).

Warfarin sebagai terapi jangka panjang DVT memiliki banyak kelemahan


antara lain onset of action yang lambat, dosis yang bervariasi antar individu,
interaksi dengan banyak jenis obat dan makanan, therapeutic window yang
sempit sehingga membutuhkan monitoring ketat. Oleh karenanya dibutuhkan
agen antikoagulan oral yang baru dan lebih baik untuk menggantikannya. Ada
beberapa macam antikoagulan baru yang telah banyak dipakai sebagai profilaksis
DVT seperti rivaroxaban (inhibitor faktor Xa), apixaban (inhibitor faktor Xa) dan
dabigatran etexilate (inhibitor trombin) tetapi belum ada yang digunakan sebagai
terapi pada DVT akut. Secara teori obat antikoagulan baru memiliki kelebihan
dibanding warfarin antara lain onset of action yang cepat dan tidak
membutuhkan terapi inisial dengan antikoagulan parenteral, tapi belum ada
penelitian tentang hal ini. Kekurangan obat antikoagulan baru adalah tidak
adanya antidotum yang spesifik terehadap efek samping perdarahan sehingga
penggunaan obat-obat ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut, selain itu

50
harganya jauh lebih mahal dari warfarin (Key, 2010; Garcia, 2010; Mackman,
2010).

Obat antikoagulan baru dapat dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan target


tempat bekerja

1. Inhibitor langsung thrombin (atau


faktor lIa) , seperti dabigatran etexilate (Pradaxa ®) dan AZD0837;
2. Oral inhibitor faktor Xa
Mmeliputi Rivaroxaban (Xarelto ®), apixaban, betrixaban , edoxabandan eri
baxaban, dan
3. Inhibitor faktor Xa parenteral, yang
meliputi idrabiotaparinux (idraparinux terbiotinilasi, turunan
darifondaparinux) dan semuloparin.

DURASI PENGGUNAAN ANTIKOAGULAN

Durasi penggunaan antikoagulan tergantung pada resiko terjadinya


perdarahan dan rekurensi dari trombosis. Resiko perdarahan selama terapi inisial
dengan UFH atau LMWH kurang lebih 2-5%, sedangkan pada penggunaan
warfarin kurang lebih 3% pertahun. Annual case fatality rate pada penggunaan
antikoagulan adalah 0,6%. Case fatality rate rekurensi DVT kurang lebih 5%
(Hirsh, 2002). Banyak studi membandingkan keuntungan dan kekurangan
pemberian oral vitamin K antagonis jangka panjang (>3 bulan) karena adanya
fakta bahwa kejadian DVT sebenarnya merupakan kasus kronik dengan angka
rekurensi jangka panjang yang cukup signifikan (<50% setelah 10 tahun
penghentian antikoagulan) (Key, 2010; Zhu, 2009). Terapi antikoagulan yang
inadekuat dapat meningkatkan resiko terjadinya rekurensi dan sindroma post
trombotik (Zhu, 2009).

51
Secara umum antikoagulan diberikan selama minimal 3 bulan. Pasien
dengan faktor resiko reversibel memiliki resiko rekurensi yang rendah setelah
terapi antikoagulan selama 3 bulan, sebaliknya pada pasien DVT
idiopatik/unprovoked yang hanya diterapi selama 3 bulan memiliki resiko
rekurensi sekitar 10-27%. Berdasarkan hasil penelitian prospektif dan
ekstrapolasi dari penelitian terhadap resiko rekurensi setelah episode awal
trombosis, pasien dapat diklasifikasikan menjadi kelompok resiko rendah, sedang,
tinggi dan sangat tinggi (Bates, 2004; Hirsh, 2002)

Tabel-4. Kategori resiko rekurensi dan rekomendasi durasi terapi (Hirsh, 2002)

TERAPI TROMBOLITIK

Trombolitik memecah bekuan darah yang baru terbentuk dan


mengembalikan patensi vena lebih cepat daripada antikoagulan (Bates, 2004).
Trombolitik dapat diberikan secara sistemik atau lokal dengan catheter-directed
thrombolysis (CDT). Terapi trombolitik pada episode akut DVT dapat menurunkan
resiko terjadinya rekurensi dan post thrombotic syndrome (PTS) (Key, 2010; Kahn,
2009). Serine protease inhibitor endogen seperti urokinase dan
rekombinan tissue plasminogen activator (r-TPA) menggantikan fungsi
streptokinase sebagai obat pilihan pada terapi trombolitik sistemik dengan efek

52
samping yang lebih minimal, akan tetapi banyak pusat-pusat kesehatan lebih
memilih menggunakan alteplase (Patterson, 2010). Trombolitik sistemik dapat
menghancurkan bekuan secara cepat tapi resiko perdarahan juga tinggi.
Penggunaan trombolitik dengan CDT akan menghasilkan konsentrasi lokal yang
lebih tinggi daripada secara sistemik dan secara teori seharusnya dapat
meningkatkan efikasinya dan menurunkan resiko perdarahan (Patterson, 2010;
Scarvelis, 2006; Bates, 2004).

Resiko terjadinya perdarahan pada penggunaan trombolitik lebih besar


dibanding penggunaan heparin (Bates, 2004; Patterson, 2010). Indikasi dilakukan
trombolisis antara lain trombosis luas dengan resiko tinggi terjadi emboli paru,
DVT proksimal,threatened limb viability, adanya predisposisi kelainan anatomi,
kondisi fisiologis yang baik (usia 18-75 tahun), harapan hidup lebih dari 6 bulan,
onset gejala <14 hari, tidak ada kontraindikasi dilakukan trombolisis (Patterson,
2010; Scarvelis, 2006). Kontraindikasi trombolisis antara lain bleeding
diathesis/trombositopeni, resiko perdaraham spesifik organ (infark miokard akut,
trauma serebrovaskular, perdarahan gastrointestinal, pembedahan, trauma),
gagal hati atau gagal ginjal, keganasan (metastase otak), kehamilan, stroke
iskemi dalam waktu 2 bulan, hipertensi berat yang tidak terkontrol (SBP>180
mmHg, DBP>110 mmHg) (JCS Guiedelines, 2011; Patterson, 2010).

CDT dilakukan dengan tuntunan ultrasound sehingga dapat


meminimalkan terjadinya komplikasi dan punksi multipel pembuluh darah
(Patterson, 2010). Protokol tindakan trombolisis dapat dilihat pada tabel 3.

Pemilihan untuk dilakukan trombolisis atau tidak, pemilihan agen


trombolitik, penggunaan venous stenting tambahan dan inferior vena cava
filter (IVC) berbeda-beda pada tiap pusat kesehatan. IVC tidak rutin dilakukan
dan umumnya hanya dipakai sementara, penggunaannya dilakukan pada kondisi
tertentu seperti adanya kontraindikasi penggunaan antikoagulan dan timbulnya
DVT pada penggunaan rutin antikoagulan. Penggunaanya harus melalui diskusi

53
tim multidisiplin dan kasus per kasus (Patterson, 2010; Scarvelis, 2006; Bates,
2004). Pemasangan stent endovaskular pada saat dilakukan CDT dapat dilakukan
pada kasus tertentu seperti adanya kelainan anatomi yang mendasari timbulnya
DVT (May-Thurner syndrome). Pada sindrom ini vena iliaka komunis ditekan oleh
arteri iliaca komunis sehingga terjadi tekanan dan kerusakan pembuluh darah.
Penyebab lain yaitu kompresi oleh tumor daerah pelvis, osteofit, retensi urin
kronik, aneurisma arteri iliaka, endometriosis, kehamilan, tumor uterus
(Patterson, 2010). Aspiration thrombectomy juga dapat dilakukan bersama CDT
pada kasus tertentu. Terapi antikoagulan tetap harus dilakukan setelah tindakan
trombolisis untuk mencegah progresivitas dan munculnya kembali trombus (JCS
Guidelines, 2011; Patterson, 2010).

Tabel-3. Protokol trombolisis pada DVT (Patterson, 2010)

54
TERAPI NON FARMAKOLOGIS

Terapi non farmakologis/physical therapy hanya sedikit evidence based nya.


Latihan dan compression dapat mengurangi pembengkakan, nyeri serta
mengurangi insiden terjadinya post thrombotic syndrome (PTS).
Penggunaan compression stockings selama kurang lebih 2 tahun dimulai 2-3
minggu ketika diagnosa DVT ditegakkan menurunkan resiko timbulnya PTS.

Peranan compression stockings atau intermitten pneumatic


compression (IPC) dalam mencegah PTS belum sepenuhnya dimengerti, namun
penggunaannya telah digunakan secara luas. Compression stockingssebaiknya
digunakan pada pasien dengan gejala berat dan mereka yang memiliki fungsi
vena yang jelek (JCS Guidelines, 2011; Kahn, 2009; Bates, 2004).

55
TROMBEKTOMI

Indikasi open surgical thrombectomy antara lain DVT iliofemoral


akut tetapi terdapat kontraindikasi trombolitik atau gagal dengan
trombolitik maupun mechanical thrombectomy, lesi yang tidak dapat
diakses oleh kateter, lesi dimana trombus sukar dipecah dan pasien yang
dikontraindikasikan untuk penggunaan antikoagulan. Trombus divena
iliaka komunis dipecah dengan kateter embolektomi fogarty dengan
anestesi lokal. Trombus pada daerah perifer harus dihilangkan dengan
cara antegrade menggunakan teknik milking dan esmarch
bandage. Kompresi vena iliaka harus diatasi dengan dilatasi balon dan
atau stenting. Setelah tindakan pembedahan, heparin diberikan selama 5
hari dan pemberian warfarin harus dimulai 1 hari setelah operasi dan
dilanjutkan selama 6 bulan setelah pembedahan. Untuk hasil yang
maksimal tindakan pembedahan sebaiknya dilakukan kurang dari 7 hari
setelah onset DVT. Pasien dengan phlegmasia cerulea dolens harus
difasiotomi untuk tujuan dekompresi kompartemen dan perbaikan
sirkulasi (JCS Guidelines, 2011).

56
DAFTAR PUSTAKA

1. Holmes E.J and Misra R.R; 2004; Humerus fracture – Shaft fracture
In:A- Z of Emergency Radiology (e-book); UK; Cambridge University
Press
2. Kenneth J, dkk. 2002. Fractures Of The Shaft Of The Humerus In
Chapter 43: Orthopedic; In:Handbook of Fracture second edition.
Wolters Klunser Company : New York.
3. Netter, Frank H. 2006. Netter’s Orthopaedics, Edisi ke-1 USA Elseveir
4. Rasjad, C. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: PT. Yarsif
Watampone
5. Santoso M . W.A, Alimsardjono H dan Subagjo . 2002 . Anatomi
Bagian I, Penerbit Laboratorium Anatomi-Histologi Fakultas
Kedokteran UniversitasAirlangga; Surabaya.
6. Tortora G.J. & Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology
12th Edition. New Jersey: John Wiley & Sons, 2009, Chapter 8; The
SkeletalSystem: The Appendicular Skeleton.
7. Wim de Jong & Sjamsuhidajat R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah ke 2.
EGC:Jakarta.
8. Bailey A, Scantlebury D, Smyth S (2009). Thrombosis and
antithrombotic in women. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 29:284-8
9. Bates S, Ginsberg G (2004). Treatment of deep vein thrombosis. N Engl
J Med, 351:268-77
10. Buller H, Davidson B, Decousus H, Gallus A, Gent M (2004).
Fondaparinux or enoxaparin for the initial treatment of symptomatic
deep vein thrombosis. Ann Intern Med, 140:867-73
11. Garcia D, Libby E, Crowther M (2010). The new oral
anticoagulants. Blood, 115:15-20
12. Goldhaber S (2010). Risk factors for venous thromboembolism. Journal
of the American College of Cardiology, 56:1-7

57
13. Hirsh J, Lee A (2002). How we diagnose and treat deep vein
thrombosis.Blood, 99: 3102-3110
14. JCS Guidelines (2011). Guidelines for the diagnosis, treatment and
prevention of pulmonary thromboembolism and deep vein thrombosis
(JCS 2009). Circ J; 75: 1258-1281

58

Anda mungkin juga menyukai