Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Perawat seringkali menjadi orang yang pertama mendeteksi perubahan pada kondisi klien
tanpa memperhatikan latar belakangnya. Oleh karena itu kemampuan berpikir dan
menginterpretasi secara kritis tentang arti perilaku klien dan perubahan fisik yang ditampilkan
merupakan hal yang sangat penting bagi perawat. keterampilan pengkajian dan pemeriksaan fisik
menjadi alat kuat bagi perawat untuk mendeteksi perubahan baik halus maupun nyata yang
terjadi pada kesehatan klien. Pengkajian fisik memungkinkan perawat untuk mengkaji pola yang
mencerminkan masalah kesehatan dan mengevaluasi perkembangan klien sejalan dengan terapi.
Perawat bekerja diberbagai tempat, mencari informasi tentang status kesehatan klien.
Pemeriksaan fisik keperawatan pada prinsipnya dikembangkan berdasarkan model keperawatan
yang berfokus pada respon yang ditimbulkan pasien akibat adanya masalah kesehatan atau
dengan kata lain pemeriksaan fisik keperawatan harus mencerminkan diagnosa fisik yang secara
umum perawat dapat membuat tindakan untuk mengatasinya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pemeriksaan fisik head to toe (thorax, paru, jantung system vaskuler, genitalia
pria dan wanita serta neurologi) ?
2. Apa tujuan dari pemeriksaan fisik head to toe (thorax, paru, jantung system vaskuler, genitalia
pria dan wanita serta neurologi) ?
3. Apa manfaat dari pemeriksaan fisik head to toe (thorax, paru, jantung system vaskuler, genitalia
pria dan wanita serta neurologi) ?
4. Bagaimana teknik pemeriksaan fisik (thorax, paru, jantung system vaskuler, genitalia pria dan
wanita serta neurologi) ?
5. Apa indikasi dari pemeriksaan fisik (thorax, paru, jantung system vaskuler, genitalia pria dan
wanita serta neurologi) ?
6. Bagaimana prosedur pelaksanaan dari pemeriksaan fisik head to toe (thorax, paru, jantung
system vaskuler, genitalia pria dan wanita serta neurologi) ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa pengertian dari pemeriksaan fisik head to toe (thorax, paru, jantung
system vaskuler, genetalia pria dan wanita serta neurologi).
2. Untuk megetahui apa tujuan dari pemeriksaan fisik head toe toe (thorax, paru, jantung system
vaskuler, genetalia pria dan wanita serta neurologi).
3. Untuk mengetahui apa manfaat dari pemeriksaan fisik head to toe (thorax, paru, jantung system
vaskuler, genetalia pria dan wanita serta neurologi).
4. Untuk mengetahui bagaimana teknik pemeriksaan fisik (thorax, paru, jantung system vaskuler,
genetalia pria dan wanita serta neurologi).
5. Untuk mengetahui apa indikasi dari pemeriksaan fisik (thorax, paru, jantung system vaskuler,
genetalia pria dan wanita serta neurologi).
6. Untuk mengetahui bagaimana prosedur pelaksanaan dari pemeriksaan fisik head to toe (thorax,
paru, jantung system vaskuler, genetalia pria dan wanita serta neurologi).

D. Ruang Lingkup
Dalam menyelesaikan makalah ini, penulis menggunakan berbagai macam metode seperti
mencari informasi dari buku-buku sumber yang berhubungan dengan tema, dan juga beberapa
dari searching di internet.

BAB II
PEMBAHASAN
THORAX, PARU DAN JANTUNG SYSTEM VASCULER
A. Pengertian Pemeriksaan Thorax
Pemeriksaan dada adalah untuk mendapatkan kesan dari bentuk dan fungsi dari dada dan organ
di dalamnya. Pemeriksaan dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Pada
pemeriksaan dada yang perlu diperhatikan antara lain :
1. Posisi pasien diusahakan duduk sama tinggi dengan pemeriksa atau berbaring tergantung bagian
mana yang akan diperiksa.
2. Daerah dada yang akan diperiksa harus terbuka.
3. Usahakan keadaan pasien santai dan relaksasi untuk mengendorkan otot-otot, terutama otot
pernapasan.
4. Usahakan pemeriksa untuk tidak kontak langsung dengan pernapasan pasien, untuk menghindari
penularan melalui pernapasan, caranya dengan meminta pasien memalingkan muka ke arah
samping.
B. Tehnik Pemeriksaan Thorax
1. Inspeksi Dinding Dada
a. Posisi pasien duduk sama tinggi dengan pemeriksa atau berbaring.
b. Bila pasien duduk, pemeriksaan pada dada depan, kedua tangan pasien diletakkan di paha atau
pinggang. Untuk pemeriksaan bagian belakang dada, kedua lengan disilangkan didepan dada
atau tangan kanan dibahu kiri dan tangan kiri dibahu kanan.
c. Bila pasien berbaring posisi lengan pada masing- masing sisi tubuh
d. Secara keseluruhan perhatikan bentuk dan ukuran dinding dada, deviasi, tulang iga, ruang antar
iga, retraksi, pulsasi, bendungan vena dan penonjolan epigastrium.
e. Pemeriksaan dari depan perhatikan klavikula, fossa supra/infraklavikula, lokasi iga pada kedua
sisi.
f. Pemeriksaan dari belakang perhatikan vertebra servikalis 7, bentuk skapula, ujung bawah
skapula setinggi v. torakalis 8 dan bentuk atau jalannya kolumna vertebralis.

2. Palpasi Dada
a. Palpasi Gerakan Diafragma
1) Posisi pasien berbaring terlentang menghadap pemeriksa.
2) Posisi lengan pasien disamping dan sejajar dengan badan.
3) Letakan kedua telapak tangan pemeriksa dengan merenggangkan jari-jari pada dinding dada
depan bagian bawah pasien.
4) Letakkan sedemikian rupa sehingga kedua ujung ibu jari pemeriksa bertemu di ujung tulang iga
depan bagian bawah.
5) Pasien diminta bernapas dalam dan kuat.
6) Gerakan diafragma normal, bila tulang iga depan bagian bawah terangkat pada waktu inspirasi .
b. Palpasi Posisi Tulang Iga ( Kosta )
1) Posisi pasien duduk atau tidur terlentang dan berhadapan dengan pemeriksa.
2) Bila duduk posisi kedua tangan pasien dipaha atau dipinggang, bila tidur terlentang posisi kedua
tangan disamping dan sejajar dengan badan.
3) Lakukan palpasi dengan memakai jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan.
4) Palpasilah mulai dari cekungan suprasternalis ke bawah sepanjang tulang dada.
5) Carilah bagian yang paling menonjol (angulus lodovisi) kira- kira 5 cm dibawah fossa
suprasternalis yaitu sudut pertemuan antara manubrium sterni dan korpus sterni dimana ujung
tulang iga kedua melekat.
6) Dari angulus lodovisi, tentukan pula letak tulang iga pertama kearah atas/ superior dan untuk
tulang iga ketiga dan seterusnya kearah bawah/ inferior.
c. Palpasi Tulang Belakang ( Vertebrata )
1) Posisi pasien duduk dengan kedua tangan dipaha atau dipinggang sambil menundukkan kepala
dan pemeriksa dibelakang pasien.
2) Pemeriksa melakukan palpasi dengan jari tangan kedua dan ketiga sepanjang tulang belakang
bagian atas (leher bawah).
3) Rasakanlah bagian yang paling menonjol pada leher bagian bawah, inilah yang disebut prosesus
spinosus servikalis ketujuh.(C7).
4) Dari prosesus servikalis spinosus ketujuh (C7), kearah superior yaitu prosesus spinosus
servikalis keenam dan seterusnya. Bila kearah inferior yaitu prosesus spinosus thorakalis
pertama, kedua dan seterusnya.
d. Palpasi Iktus Jantung
1) Posisi pasien duduk atau tidur terlentang dan berhadapan dengan pemeriksa.
2) Bila duduk posisi kedua tangan pasien dipaha atau dipinggang, bila tidur terlentang posisi kedua
tangan disamping dan sejajar dengan badan.
3) Tentukan ruang antar iga ke-5 kiri yaitu ruang antara tulang iga ke-5 dan ke-6.
4) Tentukan garis midklavikula kiri yaitu dengan menarik garis lurus yang memotong pertengahan
tulang klavikula kearah inferior tubuh.
5) Tentukan letak iktus dengan telapak tangan kanan pada dinding dada setinggi ruang antar iga ke-
5 digaris midklavikula.
6) Apabila ada getaran pada telapak tangan, kemudian lepaskan telapak tangan dari dinding dada.
7) Untuk mempertajam getaran gunakan jari ke-2 dan ke-3 tangan kanan.
8) Tentukan getaran maksimumnya, disinilah letak iktus kordis.
e. Palpasi Sensasi Rasa Nyeri Dada
1) Posisi pasien duduk atau tidur terlentang dan berhadapan dengan pemeriksa.
2) Bila duduk posisi kedua tangan pasien dipaha atau dipinggang, bila tidur terlentang posisi kedua
tangan disamping dan sejajar dengan badan.
3) Tentukan daerah asal nyeri pada dinding dada.
4) Dengan menggunakan ujung ibu jari tangan kanan tekanlah dengan perlahan tulang iga atau
ruang antar iga dari luar menuju tempat asal nyeri.
5) Rasa nyeri akan bertambah akibat tekanan ibu jari, nyeri dapat disebabkan fraktur tulang iga,
fibrosis otot antar iga, pleuritis local dan iritasi akar syaraf.
f. Palpasi Pernapasan Dada
1) Posisi pasien duduk dengan kedua tangan dipaha atau dipinggang berhadapan dengan
pemeriksa.
2) Letakkan kedua telapak tangan pemeriksa pada dinding dada pasien sesuai posisi yaitu telapak
tangan kanan pemeriksa ke dinding dada kiri pasien, sedangkan telapak kiri pemeriksa pada
dinding dada kanan pasien.
3) Letakkan jari telunjuk dibawah tulang klavikula dan jari- jari lainnya disebar sedemikian rupa
sehingga masing- masing berada di tulang iga berikutnya.
4) Pasien diminta bernapas dalam dan kuat dan perhatikan gerakan jari- jari.
Pada orang muda jari-jari akan terangkat mulai dari atas disusul oleh jari- jari dibawahnya
secara berturut-turut seperti membuka kipas. Sedangkan pada orang tua semua jari-jari bergerak
bersama-sama.
g. Palpasi Getaran Suara Paru (Fremitus Raba)
1) Posisi pasien duduk untuk pemeriksaan dada depan dan posisi duduk kedua tangan dipaha atau
dipinggang.
2) Sedangkan posisi pasien tidur miring untuk pemeriksaan dada belakang sesuai dengan keadaan
pasien. Pada posisi tidur terlentang/miring kedua tangan disamping dan sejajar dengan badan
3) letakkan sisi ulnar tangan kanan pemeriksa di dada kiri pasien dan sebaliknya
4) Minta pasien mengucapkan kata-kata seperti satu, dua, … dst berulang-ulang
5) Pemeriksaan dilakukan mulai dari dada atas sampai dada bawah
6) Perhatikan intensitas getaran suara dan bandingkan kanan dan kiri
Normal getaran kedua sisi sama, kecuali apeks kanan karena letaknya dekat dengan bronkus.
Fremitus raba meningkat apabila terdapat konsolidasi paru, fibrosis paru selama bronkus masih
tetap terbuka . Fremitus suara menurun bila ada cairan/ udara dalam pleura dan sumbatan
bronkus.
3. Perkusi Dada
Tujuan untuk mengetahui batas, ukuran, posisi dan kualitas jaringan di dalamnya. Perkusi hanya
menembus sedalam 5 – 7 cm, sehingga tidak dapat mendeteksi kelainan yang letaknya dalam.
Lakukan perkusi secara sistimatis dari atas ke bawah dengan membandingkan kanan dan kiri.
a. Perkusi Dada Depan
1) Posisi pasien duduk dengan kedua tangan dipaha atau dipinggang dan berhadapan dengan
pemeriksa.
2) Lakukan perkusi secara dalam pada fossa supraklavikula kanan, kemudian lanjutkan kebagian
dada kiri.
3) selanjutnya lokasi perkusi bergeser kebawah sekitar 2- 3 cm, Begitulah seterusnya kebawah
sampai batas atas abdomen.
4) Mintalah pasien untuk mengangkat kedua lengan untuk melakukan perkusi aksila dari atas
kebawah di kanan dan kiri.
5) Bandingkan getaran suara yang dihasilkan oleh perkusi.
Normal suara dada/ paru adalah sonor. Bila redup kemungkinan adanya tumor, cairan, sekret.
Suara hipersonor akibat adanya udara dalam pleura.
b. Perkusi Dada Belakang
1) Posisi pasien duduk dengan kedua tangan dipaha atau dipinggang dan membelakangi pemeriksa.
2) Lakukan perkusi secara dalam pada supraskapula dada belakang kanan, kemudian lanjutkan
kebagian dada kiri .
3) Selanjutnya lokasi perkusi bergeser kebawah sekitar 2- 3 cm, Begitulah seterusnya kebawah
sampai batas atas abdomen.
4) Bandingkan suara yang dihasilkan oleh perkusi dada kanan dan kiri
Suara sonor paru kanan bila diperkusi kebawah akan lebih cepat menghilang, karena adanya
keredupan hati.
c. Perkusi Batas Paru dan Hati
1) Posisi pasien duduk dengan kedua tangan disamping tubuh dan berhadapan dengan pemeriksa.
2) Lakukan perkusi pada dada kanan depan dari atas kebawah secara sistimatis.
3) posisi pasien dirubah sehingga membelakangi pemeriksa, selanjutnya lakukan perkusi pada
bagian dada belakang dari atas kebawah secara sistimatis.
Pada daerah batas paru dan hati terjadi perubahan suara, dari sonor menjadi pekak/ redup.
Normal batas paru bagian depan terletak antara kosta 5 dan 6, sedangkan paru bagian belakang
setinggi prosesus spinosus vertebra torakalis 10 atau 11.

C. Pemeriksaan Paru (Pulmonalis)


1. Auskultasi Paru
Tujuan pemeriksaan auskultasi paru adalah untuk menentukan adanya perubahan dalam saluran
napas dan pengembangan paru. Dengan auskultasi dapat didengarkan suara napas, suara
tambahan, suara bisik dan suara percakapan.
Suara napas adalah suara yang dihasilkan aliran udara yang masuk dan keluar paru pada
waktu bernapas. Pada proses pernapasan terjadi pusaran/ eddies dan benturan/ turbulensi pada
bronkus dan percabangannya. Getaran dihantarkan melalui lumen dan dinding bronkus. Pusaran
dan benturan lebih banyak pada waktu inspirasi/ menarik napas dibanding ekspirasi/
mengeluarkan napas, hal inilah yang menyebabkan perbedaan suara antara inspirasi dan
ekspirasi. Suara napas ada 3 macam yaitu suara napas normal/ vesikuler, suara napas campuran/
bronkovesikuler dan suara napas bronkial. Suara napas vesikuler bernada rendah, terdengar lebih
panjang pada fase inspirasi daripada ekspirasi dan kedua fase bersambung/ tidak ada silent gaps.
Suara napas bronkial bernada tinggi dengan fase ekspirasi lebih lama daripada inspirasi dan
terputus/ silent gaps. Sedangkan kombinasi suara nada tinggi dengan inspirasi dan ekspirasi yang
jelas dan tidak ada silent gaps disebut bronkovesikuler/ vesikobronkial.
Suara napas vesikuler pada kedua paru normal dapat meningkat pada anak, orang kurus
dan latihan jasmani,. Bila salah satu meningkat berarti ada kelainan pada salah satu paru. Suara
vesikuler melemah kemungkinan adanya cairan, udara, jaringan padat pada rongga pleura dan
keadaan patologi paru.
Suara napas bronkial tidak terdengar pada paru normal, baru terdengar bila paru menjadi
padat, misalkan konsolidasi. Suara napas asmatik yaitu inspirasi normal/ pendek diikuti ekspirasi
lebih lama dengan nada lebih tinggi disertai wheeze.
Suara tambahan dari paru adalah suara yang tidak terdengar pada keadaan paru sehat.
Suara ini timbul akibat dari adanya secret didalam saluran napas, penyempitan dari lumen
saluran napas dan terbukanya acinus/ alveoli yang sebelumnya kolap. Karena banyaknya istilah
suara tambahan, kita pakai saja istilah “ Ronki” yang dibagi menjadi 2 macam yaitu ronki basah
dengan suara terputus- putus dan ronki kering dengan suara tidak terputus.
Ronki basah kasar seperti suara gelembung udara besar yang pecah, terdengar pada
saluran napas besar bila terisi banyak secret. Ronki basah sedang seperti suara gelembung kecil
yang pecah, terdengar bila adanya secret pada saluaran napas kecil dan sedang, biasanya pada
bronkiektasis dan bronkopneumonia. Ronki basah halus tidak mempunyai sifat gelembung lagi,
terdengar seperti gesekan rambut, biasanya pada pneumonia dini.
Ronki kering lebih mudah didengar pada fase ekspirasi, karena saluran napasnya
menyempit. Ronki kering bernada tinggi disebut sibilan, terdengar mencicit/squacking, ronki
kering akibat ada sumbatan saluran napas kecil disebut wheeze. Ronki kering bernada rendah
akibat sumbatan sebagaian saluran napas besar disebut sonourous, terdengar seperti orang
mengerang/ grouning,.
Suara tambahan lain yaitu dari gesekan pleura/ pleural friction rub yang terdengar seperti
gesekan kertas, seirama dengan pernapasan dan terdengar jelas pada fase inspirasi, terutama bila
stetoskop ditekan.
a. Auskultasi Paru Depan
1) Posisi pasien duduk dengan kedua tangan dipaha atau dipinggang dan berhadapan dengan
pemeriksa.
2) Tempelkan stetoskop pada dinding dada.
3) Mintalah pasien menarik napas pelan-pelan dengan mulut terbuka.
4) Dengarkan satu periode inspirasi dan ekspirasi.
5) Mulailah dari depan diatas klavikula kiri dan teruskan kesisi dinding dada kanan.
6) Selanjutnya geser kebawah 2-3 cm dan seterusnya, sampai kedada bagian bawah.
7) Mintalah pasien mengangkat lengan nya untuk pemeriksaan di daerah aksila kanan dan kiri.
8) Bandingkan suara napas kanan dan kiri, serta dengarkan adanya suara napas tambahan.
b. Auskultasi Paru Belakang
1) Posisi pasien duduk dengan kedua tangan dipaha atau dipinggang dan membelakangi pemeriksa.
2) Tempelkan kepala stetoskop pada supraskapula dada belakang kiri, dan dengarkan dengan
seksama, kemudian lanjutkan kebagian dada kanan.
3) Selanjutnya geser kebawah 2-3 cm dan seterusnya, sampai kedada bagian bawah.
4) Mintalah pasien mengangkat lengan nya untuk auskultasi pada aksila posterior kanan dan kiri.
5) Bandingkan getaran suara kanan dan kiri, dengarkan adanya suara napas tambahan.
c. Auskultasi Daerah Jantung
1) Posisi pasien berbaring dengan sudut 30 derajat.
2) Mintalah pasien relak dan bernapas biasa.
3) tempelkn kepala stetoskop pada ictus cordis dengarkan suara dasar jantung.
4) Bila auskultasi dengan corong stestokop untuk daerah apek dan ruang interkosta 4 dan 5 kiri
kearah sternum. Dengan membran untuk ruang interkosta 2 kiri kearah sternum.
5) Perhatikan irama dan frekuensi suara jantung.
6) Bedakan irama systole, diastole dan intensitasnya.
7) Perhatikan suara tambahan yang mungkin timbul.
8) Gabungkan auskultasi dengan kualitas pulsus (denyut nadi).
9) Tentukan daerah penjalaran bising dan titik maksimumnya

D. Pemeriksaan Jantung Vascular System


1. Inpeksi
Hal – hal yang perlu diperhatikan :
a. Bentuk perkordial
b. Denyut pada apeks kordis
c. Denyut nadi pada daerah lain

a. Denyut vena
Cara Kerja :
1) buka pakaian dan atur posisi pasien terlentang, kepala ditinggikan 15-30
2) Pemeriksa berdiri sebelah kanan pasien setinggi bahu pasien
3) Motivasi pasien tenang dan bernapas biasa
4) Amati dan catat bentuk precordial jantung
Normal ,datar dan simetris pada kedua sisi,
Abnormal Cekung, Cembung ( bulging precordial )
5) Amati dan catat pulsasi apeks cordis
Normal nampak pada ICS 5 MCL selebar 1-2 cm ( selebar ibu jari ).
Sulit dilihat ,payudara besar, dinding toraks yang tebal, emfisema, dan efusi perikard.
Abnormal --> bergeser kearah lateroinferior , lebar > 2 cm, nampak meningkat dan bergetar (
Thrill ).
6) Amati dan catat pulsasi daerah aorta, pulmonal, trikuspidalis, dan ephygastrik.
Normal Hanya pada daerah ictus
7) Amati dan cata pulsasi denyut vena jugularis
Normal tidak ada denyut vena pada prekordial. Denyut vena hanya dapat dilihat pada vena
jugularis interna dan eksterna.

2. Auskultrasi
Hal – hal yang perlu diperhatikan :
1. Irama dan frekwensi jantung
Normal : reguler ( ritmis ) dengan frekwensi 60 – 100 X/mnt
2. Intensitas bunyi jantung
Normal :
a. Di daerah mitral dan trikuspidalis intensitas BJ1 akan lebih tinggi dari BJ 2
b. Di daerah pulmonal dan aorta intensitas BJ1 akan lebih rendah dari BJ 2
3. Sifat bunyi jantung
Normal :
a. bersifat tunggal.
b. Terbelah/terpisah dikondisikan ( Normal Splitting )
Splitting BJ 1 fisiologik
Normal Splitting BJ1 yang terdengar saat “ Ekspirasi maksimal, kemudian napas ditahan
sebentar” .
Splitting BJ 2 fisiologik
normal Spliting BJ2, terdengar “ sesaat setelah inspirasi dalam
Abnormal :
a. Splitting BJ 1 ganngguan sistem konduksi ( misal RBBB )patologik
b. Splitting BJ 2 Patologik : karena melambatnya penutupan katub pulmonal pada RBBB, ASD,
PS.

4. Fase Systolik dan Dyastolik


Normal : Fase systolik normal lebih pendek dari fase dyastolik ( 2 : 3)
Abnormal : a) Fase systolic memanjang / fase dyastolik memendek
b) Tedengar bunyi “ fruction Rub” gesekan perikard dengan ephicard.
5. Adanya Bising ( Murmur ) jantung
Adalah bunyi jantung ( bergemuruh ) yang dibangkitkan oleh aliran turbulensi ( pusaran
abnormal ) dari aliran darah dalam jantung dan pembuluh darah.
Normal : tidak terdapat murmur
Abnormal : terdapat murmur kelainan katub , shunt/pirau
6. Irama Gallop ( gallop ritme )
Adalah irama diamana terdengar bunyi S3 atau S4 secara jelas pada fase Dyastolik, yang
disebabkan karena darah mengalir ke ventrikel yang lebih lebar dari normal, sehingga terjadi
pengisian yang cepat pada ventrikel
Normal : tidak terdapat gallop ritme
Abnormal :
a) Gallop ventrikuler ( gallop S3 )
b) Gallop atrium / gallop presystolik ( gallop S4 )
c) Gallop dapat terjadi S3 dan S4 ( Horse gallop )
Cara Kerja :
1) Periksa stetoskop dan gosok sisi membran dengan tangan
2) Tempelkan stetoskop pada sisi membran pada daerah pulmonal, kemudian ke daerah aorta,
simak Bunyi jantung terutama BJ2, catat : sifat, kwalitas di banding dg BJ1, splitting BJ2, dan
murmur Bj2.
3) Tempelkan stetoskop pada sisi membran pada daerah Tricus, kemudian ke daerah mitral, simak
Bunyi jantung terutama BJ1, catat : sifat, kwalitas di banding dg BJ2, splitting BJ1, murmur Bj1,
frekwensi DJ, irama gallop.
4) Bila ada murmur ulangi lagi keempat daerah, catat mana yang paling jelas.
5) Geser ke daerah ephigastrik, catat adanya bising aorta.
3. Palpasi
Cara Kerja :
a. Dengan menggunakan 3 jari tangan dan dengan tekanan ringan, palpasi daerah aorta, pulmo dan
trikuspidalis. catat : adanya pulsasi.
Normal tidak ada pulsasi
Geser pada daerah mitral, catat : pulsasi, tentukan letak, lebar, adanya thrill, lift/heave.
Normal terba di ICS V MCL selebar 1-2cm ( 1 jari )
Abnormal ictus bergeser kea rah latero-inferior, ada thriil / lift
b. Geser pada daerah ephigastrik, tentukan besar denyutan.
Normal : teraba, sulit diraba
Abnormal : mudah / meningkat

4. Perkusi
Cara Kerja :
a. Lakukan perkusi mulai intercota 2 kiri dari lateral ( Ant. axial line ) menuju medial, catat
perubahan perkusi redup
b. Geser jari ke ICS 3 kiri kemudian sampai ICS 6 , lakukan perkusi dan catat perubahan suara
perkusi redup.
c. Tentukan batas-batas jantung

BAB III
PEMBAHASAN
GENITALIA PRIA DAN WANITA
A. Genitalia Wanita
Pemeriksaan genitalia wanita dapat dianggap memalukan untuk banyak wanita kecuali jika
perawat menggunakan pendekatan yang tenang dan rileks. Pemeriksaan genikologis merupakan
pengalaman yang paling sulit untuk orang dewasa. Latar belakang budaya dapat menambah rasa
ketakutan. Posisi litotomi yang dilakukan selama pemeriksaan menambah rasa malu.
Kenyamanan diciptakan dengan posisi dan penyelimutan yang tepat. Setiap bagian pemeriksaan
harus dijelaskan terlebih dahulu sebagian pemeriksaan harus dijelaskan terlebih dahulu sehingga
klien dapat mengantisipasi tindakan perawat. Remaja dapat meminta kehadiran orang tua di
kamar pemeriksaan. Penundaan yang akan memperburuk rasa malu harus dihindari.
Klien dapat memerlukan pemeriksaan yang lengkap terhadap oragan reproduksi wanita, yang
mencakup pengkajian genitalia eksterna dan pemeriksaan vagina. Kebanyak perawat tidak
melakukan pemeriksaan vagina sampai mereka menjadi perawat praktisi yang berpengalaman.
Tetapi penting bagi perawat untuk memahami prosedur tersebut karena dokter akan
membutuhkan bantuan perawat. Pemeriksaan harus menjadi bagian dari setiap layanan kesehatan
preventif karena kanker uterus memiliki angka insiden yang tinggi dan kanker ovarium
menyebabkan lebih banyak kematian daripada kanker sistem reproduksi wanita lainnya
(ACS,1995). Seringkali klien menjalani pemeriksaan genitalia eksternal selama tindakan higiene
rutin atau perawatan kateter urine.
Remaja dan dewasa muda harus diperiksa karena adanya pertumbuhan insiden penyakit
menular seksual. Usia rata-rata menarke pada anak perempuan mengalami penurunan dan
mayoritas remaja pria dan wanita aktif secara seksual pada usia 19 tahun(Wong, 1995).

B. Persiapan Klien
Jika akan dilakukan pemeriksaan yang lengkap, diperlukan alat-alat khusus berikut ini:
1. Meja pemeriksaan dengan sanggurdi
2. Spekulum vagina dgn ukuran yang tepat
3. Sumber cahaya yang dapat di ukur
4. Baskom
5. Sarung tangan bersih sekali pakai
6. Slide mikroskopik dari kaca dan coverslip
7. Spatula plastik/cytobrush
8. Botol spesimen dengan semprotan fiksatif (hairspray).
Peralatan harus sudah siap sebelum pemeriksaan dimulai. Klien diminta untuk berkemih
sehingga urine tidak keluar secara tidak sengaja selama pemeriksaan dan untuk melakukan tes
skrining unrine. Bantu klien melakukan posisi litotomi, di tempat tidur atau di meja periksa
untuk pengkajian genitalia eksternal. Bantu klien naik ke sanggurdi ketika akan menjalani
pemeriksaan spekulum. Minta klien menstabilkan setiap kaki pada sanggurdi dan kemudian
minta ia menggeser bokongnya ke bawah ke tepi meja periksa. Perawat menempatkan tangan
ditepi meja dan menginstruksikan klien untuk bergeser sampai menyentuh tangan tersebut.
Lengan klien harus berada di samping atau tersilang di dada untuk mencegah pengerasan otot-
otot abdomen.
Seorang wanita yang mengalami nyeri atau deformitas sendi mungkin tidak biasa melakukan
posisi litotomi. Pada situasi ini klien perlu mengabdusikan salah satu tungkainya atau meminta
perawat membantu meregangkan paha klien. Posisi miring juga dapat digunakan dengan klien
miring ke kiri dan paha serta lutut kanan ditarik ke dada.
Selimut segiempat diberikan kepada klien. Ia memegang salah satu ujung untuk menutupi
sternumnya, dua sudut lainnya di setiap lutut, dan sudut keempat menutupi perineum. Perawat
sering kali meminta bantuan sejawat untuk menemani selama pemeriksaan guna menghilangkan
kecemasan klien. Remaja yang diperiksa pertama kali cenderung memilih diperiksa oleh
pemeriksa pria.
C. Genitalia Eksternal
Area perineal harus disinari dengan baik. Perawat menggunakan sarung tangan pada kedua
tangan untuk mencegah kontak dengan organisme infeksius . perineum sangat sensitif dan lunak.
Area tersebut tidak boleh disentuh tiba-tiba tanpa terlebih dahulu memberi tahu klien. Cara yang
terbaik adalah menyentuh paha yang berdekatan terlebih dahulu sebelum berlanjut ke perineum.
Untuk mengkaji maturasi seksual, kuantitas dan distribusi pertumbuhan rambut harus
diperhatikan. Usia praremaja tidak memiliki rambut pubis kecuali rambut tubuh yang halus pada
abdomen. Selama remaja, rambut tumbuh panjang labia, menjadi lebih gelap dan kasar, dan
kriting menyebar di seluruh simfisis pubis. Pertumbuhan rambut akhirnya membentuk segitiga
diatas perineum wanita dan sepanjang permukaan tengah paha. Rambut tidak boleh menyebar
sampai ke abdomen. Rambut harus bebas dari telur kutu dan kutu. Kulit yang berada di
bawahnya harus bebas dari inflamasi, iritasi dan lesi.
Perawat menginspeksi karakteristik permukaan labia mayora. Kulit perineum halus, bersih
dan sedikit lebih gelap dari kulit yang lain. Membran mukosa tampak merah muda dan lembap.
Labia mayora bisa membuka atau menutup dan tampak kering atau lembap. Labia tersebut
biasanya simetris. Setelah melahirkan labia mayora terpisah, menyebabkan labia minora lebih
mononjol. Pada saat seorang wanita mencapai menupause, labia mayora menipis dan sejalan
dengan usia., menjadi atrofi. Labia mayora nprmalnya tanpa inflamasi, edema, lesi atau laserasi.
D. Pemeriksaan Spekulum pada Genitalia Internal
Pemeriksaan genitalia internal memerlukan ketrampilan dan latihan. Biasanya pemeriksaan
tersebut hanya dilakukan praktisi perawat yang berpengalaman atau perawat bidan. Peserta didik
pemula cenderung hanya mengobservasi prosedur atau membantu pemeriksa. Pemeriksa tersebut
melibatkan penggunaan spekulum plastik atau logam. Terdiri dari dua bilah atau satu skrup ibu
jari, spekulum tersebut dimasukan ke dalam vagina untuk mengkaji genitalia internal untuk
adanya lesi kanker atau abnormalitas lainnya. Selama pemeriksaan Papanicolaou (Pap) smear
diambil untuk menguji adanya kanker serviks atau vagina.
Untuk membantu pemeriksa, perawat memastikan bahwa klien sudah berada pada posisi yang
nyaman di atas sanggurdi. Berbagai ukuran spekulum (kecil, sedang, besar) harus tersedia
sehingga pemeriksa dapat memilih ukuran yang tepat untuk klien. Ukuran paling kecil dipakai
untuk yang masih perawan. Jika wanita tersebut aktif secara seksual, maka spekulum yang
terbaik adalah yang berukuran sedang. Untuk wanita yang telah melahirkan anak melalui vagina,
pemeriksa menggunakan spekulum sedang sampai besar.
Selain itu, perawat juga harus menyediakan sarung tangan, slide spesimen, dan
spatula/cytobrush di dekatnya. Lubrikan larut air hanya boleh digunakan jika spesimen tidak
akan di ambil. Kebanyakan pemeriksa membasahi spekulum dengan air hangat.
E. Serviks
Bagian pertama dari pemeriksaan melibatkan insersi spekulum yang cermat sampai pemeriksa
dapat melihat serviksa secara keseluruhan. Pemeriksa duduk dibangku menghadap perineum
klien. Lampu yang dapat diatur diletakkan diatas bahu pemeriksa, diarahkan ke tempat
pemeriksaan. Pemeriksa memegang spekulum dengan tangan dominan dan menjelaskan prosedur
tersebut kepada klie. Jika wanita tersebut belum pernah diperiksa sebelumnya, masukan dua jari
ke dalama vagina untuk mengekplorasi abnormalitas. Kemudian dengan dua jari pemeriksa
menekan badan perineal tepat di dalam introitus. Setelah pemeriksaan untuk memastikan
bahwabilah spekulum sudah tertutup, pemeriksa memasukan spekulum yang tertutup secara
miring (diputar 50 derajat berlawanan dengan arah jarum jam dari posisi vertikal) melewati jari-
jari tersebut. Spekulum tersebut dimasukkan ke bawah pada sudut 45 derajat ke arah meja
pemeriksaan untuk menghindari trauma pada uretra (manuver ini berhubungan dengan lereng ke
bawah abnormal dari kanal vagina). Kewaspadaan dilakukan agar tidak menarik rambut pubis
atau menjepit labia. Setelah bagian yang lebar dari bilah tersebut melewati intoitus, spekulum
dirotasi sehingga bilah tersebut berada pada posisi horisontal.Bilah tersebut dibuka secara
perlahan setelah insersi lengkap dan spekulum digerakan untuk memvisualisasikan
serviks.Setelah serviks terlihat sepenuhnya,bilah tersebut dikunci pada posisi terbuka.
Pemeriksaan menginfeksi serviks untuk warna, tampilan tulang atau lubang, posisi,
ukuran, karakteristik permukaan dan rabas. Serviks normal berwarna merah muda mengkilat,
halus dan bulat. Diameternya kira-kira 2,5-3 cm pada wanita muda dan lebih kecil pada lansia.
Serviks harus berada pada garis tengah dan tanpa lesi.

F. Papanicolalou Semear
Permukaan serviks pad lubang knal serviks dilapisi oleh lapisan-lapisan sel skuamosa
vagina.Sel tersebutbertemu dengan kelompok sel yang berbeda. Sel kolumnar mengeluarkan
mukus dan melapisi jalur yang mengarah ke dalam kavitas sentral dari uterus. Sel skuamosa
memiliki peran protektif terhadap serviks,dan sel kolumnar memiliki peran reproduktif (
membantu sperma memasuki uterus untuk fertilisasi ). Pap smear merupakan tes skrining tanpa
nyeri untuk kanker serviks.Spesimen diambil dari endoserviks dan ektoserviks. Tes ini sederhana
dan tidak berefek samping. Tes ini harus dilakukan setiap tahun bersama pemeriksaan pelvik
pada wanitayang, atau lelah, aktif secara seksual dan pada wanita yang berusia 18 tahun. Setelah
tiga atau lebih pemeriksan tahunan berturut-turut dengan normal, tes Pap daat dilakukan lebih
jarang. Wanita-wanita yang berisiko tinggi menderita kanker serviks dan yang sudah berusia di
atas 40 tahun harus menjalanipemeriksaan setiap tahun.
Pemeriksa harus mengambil sampel terlebih dahulu dari bagian luar serviks atau
ektoserviks. Spatula plastik diputar 360 derajat dari permukaan serviks.Setelah spatula ditarik,
pemeriksa meratakan spesimen tersebut secara tipis diatas slide kaca. Perawat membantu
menyemprot spesimen dengan fiksatif sitologik dan memeberi label pada slide. Kemudian
pemeriksa menggunakan cytobrush untuk mengambil sel endoserviks. Citybrosuh dimasukkan
ke dalam os servikal dan dirotasi satu putaran penuh. Spesimen tersebut kemudian dioleskan
secaramerata pada slide dengan memutar sikat tersebut dengan tekanan sedang. Sekali lagi
spesimen tersebut disemprot dan diberi label. Diakhir prosedur, perawatmemberi tahu klien
bahwa bercak darah merupakan hal yang normal selama beberapa jam.
Terdapat jugaalat paintbrush (Cervex-brush) yang dapat digunakan untuk mengambil kedua
spesimen pada saat yang bersamaan. Alat tersebut menggunakan bulu-bulu plastik yang
fleksibel, yang sudah dilaporkan hanya sedikit menimbulkan bercak darah.
G. Vagina
Setelah spesimen diambil, pemeriksa melihat dinding vagina pada saat spekulum ditarik
secara perlahan. Pada saat spekulum dikeluarkan dari serviks, skrup dilongarkan, tetapi bilah
dijaga agartetap terbukadengan ibu jari.Pada saat penarikan tersebut, pemeriksamencatat
warna,karakteristik permukaan, dan sekresi. Dindingvagina normalnya berwarna merah muda
dan bebas dari rabas dan lesi.Permukaan harus lembap dan halus. Sekresi normal brsifat encer,
jernih atau keruh, dan tidak berbau.Wanita yang menderita infeksi jamur ,memiliki rabas yang
kental,putih,berbau aneh, dan seperti dadih.
Setelah spekulum ditarik perawat membantu klien keposisi duduk dan membiarkan klien
berpakaian dan melakukan higiene. Padalingkungan rumah sakit klien mungkin memerlukan
bantuan dalamhiginie perineal.Perawat memastikan bahwa sarung tangan, spekulum, dan
peralatan sekali pakai lainnyatelah dibuang dengan tepat diwadahnya.Klien diberi tahu bahwa
hasil Pap smear akan diperoleh alam 3 sampai 4 hari (periksa kebijakan institusi).
H. Genitalia Pria
Pemeriksan genitalia pria mencakup pengkajian genitalia eksternal dan cincin serta kanal
inguinal.Karena tingginya insiden penyakit menular seksual pada remaja dan dewasa muda,
pengkajian genitalia harus menjadi bagian yang rutin dari pemeriksaan pemeliharaan kesehatan
untuk kelompok usia 15 tahun atau lebih. Pemeriksaan dimulai dengan klien berbaring telentang,
dengan dada, abdomen,dan tungkai bawah diselimuti.Digunakan teknik inspeksi dan palpasi.
Perawat menggunakan sarung tangan sekali pakai untuk mencegah infeksi silang dari rabas
uretra.
Perawat harusbelajar rileks danmembantu klien rileks selama pemeriksaan untuk
menghindari rasa malu atau cemas pada klien.Seringkali remaja atau pria merasa takut
mengalami ereksi pada saat pemeriksaan. Anak lelaki dan remaja merasa khawatir
tentang”kenormalan” genital mereka. Perawat harus membatasi diskusi tentang aktivitas seksual
klien selama pemeriksaan karena klien dapat menggangap hal tersebut sebagai tindakan yang
evaluatif atau menghakimi. Klien harusdiperlakukan dengan sopan. Hal tersebut dapat membantu
penyuluhan yang dilakukan setelah pemeriksaan.Jangan bergurau atau menggunakan ekspresi
non verbal yang dapat menimbulkankekhawatiran atau ketakutan.Genitalia dimanipulasi secara
hati-hati agartidak menyebabkan ereksi atau ketidaknyamanan.Riwayat keprawatan yang
menyeluruh sebelum pemeriksaan memastikan pemeriksaan yang lengkap.
I. Maturasi Seksual
Perawat memulainya dengan mengkaji kematangan seksual klien, mencatat ukuran dan
bentuk penis dan testis,warna dan tekstur kulitskrotum, dan karakter serta distribusi rambut
pubis.Tanda-tanda awal dari pubertas, peningkatan pertumbuhan genitalbdan rambut pubis
bervariasi tetapi umumnya tidak dimulai sebelum usia 9,5tahun.Selama tahap praremaja tidak
ada rambut pubis kecuali rambut halus yang ditemukan di abdomen. Pada usia remaja, rambut
pubis meluas dari dasar penis diatas sampai ke simfisis pubis dan menjadi kasar dan
keriting.Testis dan penis berkembang dengan semakin gelapnya kulit skrotum dan teksturnya
menjadi lebih tipis dan keriput. Penis memanjang secara perlahan,akhirnya mencapaibagian
dasar skrotum. Perawat menginspeksi kulit yang menutupi genitalia untuk adanya
kutu,ruam,ekskoriasi,atau lesi.
J. Penis
Perawat menginspeksi struktur penis, termasuk batang, korona, prepusium, glans, dan meatus
uretra. Vena dorsalis harus terlihat pada saat inspeksi. Pada pria yang tidak disirkumsisi,
prepusium harus diretraksi untuk melihat glans dan meatus uretral.Prepusium harus mudah
diretraksi. Sejumlah kecil cairan kental, putihdi antara glansdan prepusium merupakan hal yang
normal.Jika terdapat bukti-bukti rabas abnormal, biasanya diambil kultur. Meatus uretra seperti
celah dan harus terdapat di permukaan ventral hanya beberapa milimeter dariujung glans. Pada
beberapa kondisi kongenital meatus terletak di sepanjang batang penis. Kompresi ringan glans
dengan ibu jari dan jari telunjuk untuk membuka meatus uretra memungkinkan dilakukannya
inspeksi untuk adanyarabas.Meatus juga diinspeksi untuk adanya lesi, edema,dan inflamasi.
Glans dperiksa dengan cermat disekeliling lingkarannya untuk adanya lesi. Area diantara
prepusium dan glans merupakan tempat umum terjadinya penyakit kelamin.Lesi dipalpasi secara
perlahan untukadanya nyeri tekan, ukuran, konsistensi, dan bentuk.
Perawat harus menginspeksi keseluruhan batang penis, termasuk permukaan di
bawahnya, mencari adanya lesi, eskar, dan edema. Batang dipalpasi diantara ibu jari dan dua jari
pertama untuk mendeteksi adanya area-area pengerasan atau nyeri tekan lokal. Jikainspeksi dan
palpasi sudah selesai, prepusium ditarik ke bawah kembali ke tempat asalnya. Penting bagi klien
pria untuk belajar melakukan pemeriksaan genital sendiri untuk mendeteksi tanda-tanda atau
gejalapenyakit menular seksual. Banyak orang yang menderita PMS yang tidak mengetahuinya.
Pemeriksaan sendiri merupakan bagian rutin dari perawatan diri.
K. Skrotum
Perawat harus waspada pada saatmenginspeksi dan mempalpasi skrotum karena struktur yang
berada di dalam sakus skrotumsangat sensitif. Skrotum merupakan struktur seperti kantung yang
dibagi secara internal menjadi dua. Normalnya testis kiri lebih rendah dari testis kanan. Perawat
menginspeksi ukuran skrotum, bentuk dan kesimetrisannya sambil menobservasiadanya lesi
danedema. Skrotum biasanya berpigmen lebih gelap dari pada kulit tubuh dan permukaannya
kasar. Diangkat secara perlahan untuk melihat permukaan posterior. Kantung skrotum biasanya
mudah diangkat. Ukuran skrotum normalnya berubah berdasarkan variasi suhu otot dartos
,berkontraksi pada suhu dingin dan rileks pada suhu hangat.
Kanker testis merupakan tumor padat yang banyak terjadi pada priayang berusia 18
sampai 34 tahun. Deteksi dini merupakan hal yang sangat penting, dan oleh karena itu klien
harus belajar melakukan pemeriksaan testis sendiri. Perawat dapat melaksanakan teknik tersebut
sambil memeriksa klien. Testis normalnya ovoid dan kira-kira berukuran 2 sampai 4 cm.Testis
dan epididimis dipalpasi secara perlahan dengan ibu jari dan dua jari pertama. Keduanya harus
sensitif terhadap kompresi ringan tetapi tidak nyeri tekan, dan terasa lembut dan kenyal serta
bebas dari nodul. Gejala paling umum dari kanker testis adalah pembesaran satu testis yang tidak
nyeri dan adanya benjolan keras, kecil yang dapat dipalpasi, seukuran kacang polong, di bagian
depan atau samping testis.Ukuran, bentuk, dan konsistensi organ harus dicatat. Pada lansia
ukurann testis menurun dan kurang keras pada saat palpasi. Klien harus ditanyakan tentang
adanya nyeri tekanyang tidak wajar. Perawat melanjutkan mempalpasi vas deferens secara
terpisah karena membentuk korda spermatik ke arah cincin inguinal ,catat adanya nodul atau
pembengkakan.
L. Cincin dan Kanal Inguinalis
Cincin inguinal eksternala pada lubang padakorda spermati untuk masuk ke dalam kanal
inguinal. Kanal tersebut membentuk jalan ke dinding abdomen, daerah potensial untuk
pembentukan hernia. Gulungan usus dapat memasuki skrotum. Klien berdiri selama bagian
pemeriksaan ini.
Kedua area inguinal tersebut diinspeksi untuk adanya tanda-tanda nyata penonjolan.
Selama inspeksi klien diminta untuk mengejan. Manuver ini membantu agar hernia lebih mudah
dilihat.
Perawat menyelesaikan pemeriksaan dengan mempalpasi nodus limfe inguinalis. Nodus
yang kecil, tidak nyeri tekan, dan bergerak secara horizontal merupakan nodus yang normal.
Normalnya nodus tersebut tidak dapat dipalpasi. Adanya abnormalitas dapat mengindikasikan
infeksi lokal atau sistemik atau penyakit metastatik.

BAB IV
PEMBAHASAN
SISTEM NEUROLOGIS
A. Sistem Neurologis
Sistem ini berperan pada banyak fungsi, termasuk inisiasi dan koordinasi gerakan, resepsi
dan persepsi stimulus sensorik, organisasi proses berpikir, pengendalian bicara, dan
penyimpanan memori. Terdapat integrasi erat antara sistem neurologis dengan semua sistem
tubuh lainnya. Sebagai contoh, produksi urine bergantung pada keadekuatan aliran darah ke
ginjal, dan ukuran arteriol yang mensuplai ginjal berada di bawah kontrol saraf. Pengkajian
fungsi neurologi dapat menghabiskan banyak waktu. Perawat yang efisien mengintegrasikan
pemeriksaan neurologis dengan bagian pemeriksaan fisik lainnya. Sebagai contoh, fungsi saraf
kranial dapat diuji ketika survei kepala dan leher. Status mental dan emosi diobservasi pada saat
data riwayat keperawatan dikumpulkan.
Banyak variabel yang harus dipertimbangkan ketika menentukan luasnya pemeriksaan.
Tingkat kesadaran klien mempengaruhi kemampuan mengikuti petunjuk. Status fisik seseorang
mempengaruhi toleransi terhadap pengkajian. Sebagai contoh, ketidakmampuan berjalan
membuat pengkajian rinci terhadap koordinasi sulit untuk dilakukan. Keluhan utama klien juga
membantu menentukan perlunya pengkajian neurologis yang lengkap. Jika klien mengeluh sakit
kepala atau kehilangan fungsi ekstremitas, diperlukan pengkajian neurologis yang lengkap.
Untuk pemeriksaan yang lengkap, peralatan khusus yang dibutuhkan adalah sebagai berikut :
1. Materi bacaan.
2. Vial yang mengandung cairan beraroma ( vanila atau kopi ).
3. Usapan kapas atau spekulum lidah yang dibelah dua.
4. Kartu Snellen.
5. Senter.
6. Vial yang berisi gula atau garam.
7. Spekulum lidah.
8. Dua tabung periksa, satu berisi air panas dan satunya lagi berisi air dingin.
9. Gumpalan kapas.
10. Garpu tala.
11. Palu refleks.
Pemeriksaan sistem neurologis meliputi pengkajian status mental termasuk tingkat
kesadaran, saraf kranial, refleks, fungsi motorik, dan fungsi sensori.
1. Status mental dan emosional.
Banyak hal yang dapat dipelajari tentang kapasitas mental dan status emosi dengan
berinteraksi bersama klien. Perawat dapat mengajukan pertanyaan - pertanyaan selama
pemeriksaan untuk mengumpulkan data dan mengobservasi emosi dan ide - ide yang tepat. Ada
alat pengkajian khusus yang dirancang untuk mengkaji status mental klien. Kuesioner status
mental Kahn ( 1960 ) adalah instrumen yang terdiri dari sepuluh soal dan merupakan alat yang
banyak digunakan. Folstein Et Al dan McHugh, ( 1975 ), membuat Mini - Mental State ( MMS )
untuk mengukur orientasi dan fungsi kognitif. Untuk memastikan pengkajian yang objektif
perawat mempertimbangkan latar belakang budaya dan pendidikan, nilai - nilai, keyakinan, dan
pengalaman klien sebelumnya. Faktor - faktor semacam itu mempengaruhi respons klien
terhadap pertanyaan.
Gangguan mental yang banyak menyerang lansia adalah delirium. Delirium adalah
gangguan mental akut yang dicirikan dengan konfusi, disorientasi, dan gelisah. Kondisi akut
tersebut seringkali salah didiagnosa sebagai bentuk demensia, gangguan mental organik yang
lebih progresif seperti penyakit Alzheimer. Oleh karena itu, penyebab utama dari kondisi ini
tidak diketahui. Pada saat delirium terjadi banyak perawat dan dokter yang beranggapan bahwa
hal tersebut merupakan perilaku lansia yang umum. Delirium seringkali diabaikan pada lansia
karena kegagalan mengkaji status mental secara adekuat ( Barry, 1993 ). Kondisi tersebut
untungnya dapat pulih jika dikaji dengan benar. Seringkali klien yang mengalami delirium diberi
label dengan “ sundowner’s syndrome ” karena delirium sering memburuk di malam hari.
Banyak praktisi yang salah mengartikan hal ini sebagai sesuatu yang umum pada lansia. Perawat
harus mendapatkan riwayat yang baik tentang perilaku klien sebelum terjadi delirium sehingga
kondisi tersebut dapat dikenali secara dini. Keluarga biasanya dapat menjadi sumber yang baik.
Beberapa area utama pada pengkajian status mental meliputi pengkajian bahasa, orientasi,
memori, dan rentang perhatian serta kemampuan berhitung.
a. Bahasa.
Kemampuan individu memahami pembicaraan atau kata - kata tertulis dan mengekspresikan
diri melalui tulisan, kata - kata, atau bahasa tubuh merupakan fungsi dari korteks serebri.
Perawat mengkaji perubahan infleksi suara, nada, dan cara berbicara klien. Suara klien harus
mempunyai infleksi, jelas, dan kuat, dan meningkatkan suara dengan tepat. Bicara harus lancar.
Jika komunikasi sudah jelas tidak efektif ( misalnya, hilangnya atau tambahan huruf atau kata -
kata, salah menggunakan kata - kata, keengganan ), perawat mengkaji adanya afasia. Cedera
pada korteks serebri dapat menyebabkan afasia.
Dua jenis afasia adalah sensorik ( atau reseptif ), dan motorik ( atau ekspresif ). Pada afasia
reseptif, seseorang tidak dapat memahami kata - kata tertulis atau verbal. Pada afasia ekspresif,
seseorang memahami kata - kata tertulis dan verbal tetapi tidak dapat menulis atau berbicara
dengan tepat pada saat mencoba berkomunikasi. Klien dapat menderita afasia gabungan reseptif
dan ekspresif, bergantung pada bagian korteks serebri yang terkena. Perawat mengkaji
kemampuan bahasa jika sudah jelas bahwa komunikasi klien tidak efektif. Beberapa teknik
pengkajian sederhana mencakup yang berikut ini :
1) Menanyakan pada klien nama benda yang dikenal yang ditunjuk oleh perawat.
2) Meminta klien untuk berespons terhadap perintah sederhana baik verbal maupun tertulis seperti
“ berdiri ” atau “ duduk ”.
3) Meminta klien membaca dengan keras kalimat - kalimat sederhana.
Normalnya klien menyebutkan nama benda dengan benar, mengikuti perintah, dan
membaca kalimat dengan benar.
b. Orientasi.
Aspek pengkajian ini menentukan kemampuan klien untuk mengenali individu lain ( orang
), kesadaran tentang kapan dan di mana mereka berada saat itu ( waktu dan tempat ), dan siapa
diri mereka ( diri sendiri ).
c. Memori.
Perawat mengkaji ingatan sekarang, pertengahan dan masa lalu. Seringkali ingatan dengan
masalah menjadi jelas pada saat klien mengumpulkan data riwayat keperawatan. Untuk mengkaji
ingatan segera, perawat meminta klien mengulangi serangkaian angka ( misalnya, 7, 4, 1 ) sesuai
urutan atau dalam urutan kebalikan. Perawat secara bertahap meningkatkan jumlah angka
tersebut ( misalnya 7, 4, 1, 8, 6 ) sampai klien gagal mengulang angka tersebut dengan benar.
Normalnya seseorang dapat mengulang serangkaian angka sebanyak 5 sampai 8 angka ke depan
dan 4 sampai 6 ke belakang.
Perawat menanyakan apakah ingatan klien dapat diuji. Kemudian perawat berkata dengan
jelas dan perlahan nama tiga benda yang tidak berhubungan. Setelah klien mengucapkan
ketiganya, klien diminta untuk mengulangi setiap nama benda tersebut. Hal ini dilakukan terus
sampai klien berhasil. Kemudian, di akhir pengkajian, perawat meminta klien untuk mengulangi
kembali ketiga kata tersebut. Klien harus dapat mengidentifikasi ketiga kata tersebut. Tes lain
untuk ingatan sekarang melibatkan meminta klien mengingat - ingat kejadian yang terjadi di hari
yang sama ( misalnya, apa yang dimakan saat sarapan ). Informasi tersebut perlu divalidasi
dengan anggota keluarga.
Untuk mengkaji ingatan di masa lalu perawat dapat meminta klien mengingat - ingat nama
gadis ibunya, tanggal lahir, atau tanggal khusus dalam sejarahnya. Lebih baik jika pertanyaan
yang diajukan adalah pertanyaan terbuka bukan pertanyaan sederhana ( ya / tidak ). Klien harus
segera mengingat informasi - informasi semacam itu. Pada klien lansia perawat tidak boleh
menginterpretasikan kehilangan pendengaran sebagai konfusi. Teknik komunikasi yang baik
diperlukan selama pemeriksaan untuk memastikan bahwa klien memahami dengan jelas semua
petunjuk dan pengujian.
d. Rentang perhatian dan kemampuan berhitung.
Komponen ini menentukan kemampuan klien untuk berfokus pada tugas mental yang
seharusnya mampu dilakukan oleh individu yang memiliki intelegensi normal.
2. Tingkat kesadaran.
Tingkat kesadaran berada pada suatu kontinum dari kesadaran penuh, awas, dan koperatif,
sampai tidak responsif terhadap semua stimulus luar. Bicaralah dengan klien, berikan pertanyaan
tentang peristiwa yang melibatkan klien atau masalah kesehatan. Klien yang sadar penuh akan
merespons pertanyaan dengan cepat dan mengekspresikan ide secara logis. Dengan penurunan
kesadaran, gunakan Skala Koma Glasgow ( GCS ) untuk pengukuran objektif berdasarkan skala
numerik. Klien harus seawas mungkin sebelum diperiksa. Berikan perhatian tambahan pada
klien dengan masalah sensorik ( penglihatan atau pendengaran ). GCS memungkinkan evaluasi
seiring waktu. Semakin tinggi skor, semakin baik fungsi neurologis klien. Tanyakan pertanyaan
sederhana seperti, “ Siapa nama Anda ? ”, “ Dimana Anda sekarang berada ? ”, “ Hari apakah
sekarang ? ”. Minta klien mengikuti perintah sederhana seperti, “ Gerakkan jari kaki Anda ”.
Jika klien tidak sadar dan tidak dapat mengikuti perintah, cobalah timbulkan respons nyeri.
Berikan tekanan kuat dengan ibu jari pada pangkal kuku. Respons yang normal adalah menarik
anggota tubuh tersebut dari stimulus. Klien dengan gangguan neurologis berat memperlihatkan
postur abnormal sebagai respons nyeri. Respons yang lambat mengindikasikan ketiadaan tonus
otot pada ekstremitas dan cedera jaringan otak.
3. Perilaku dan penampilan.
Perilaku, mood, higiene, dandanan, dan pilihan pakaian memberikan informasi tentang
status mental. Amati perilaku dan aksi klien selama pemeriksaan fisik. Lihat perilaku lisan dan
nonlisan. Apakah klien merespons sesuai arahan ? Apakah mood klien berubah tanpa alasan
yang jelas ? Apakah klien memperhatikan penampilannya ? Apakah klien memiliki rambut dan
dandanan yang bersih, apakah kuku bersih dan dipotong ? Klien normalnya berperilaku sesuai
dengan fokus pemeriksaan. Klien semestinya memberikan kontak mata dengan perawat dan
mengekspresikan perasaan yang sesuai dengan situasi tersebut. Normalnya, klien menunjukkan
higiene personal.
Pilihan baju memperlihatkan latar sosial ekonomi atau selera pribadi. Hindari sikap
menghakimi dan fokuskan pemeriksaan pada ketepatan pakaian sesuai cuaca. Lansia terkadang
mengabaikan penampilannya karena ketiadaan energi, uang, atau penglihatan yang berkurang.
4. Fungsi intelektual.
Fungsi intelektual, mencakup pengetahuan, berpikir abstrak, asosiasi, dan penilaian. Setiap
aspek dari fungsi intelektual harus dikaji dengan teknik yang spesifik. Tetapi, karena latar
belakang budaya dan pendidikan mempengaruhi kemampuan untuk berespons terhadap
pertanyaan, perawat tidak boleh mengajukan pertanyaan - pertanyaan yang berkaitan dengan
konsep - konsep atau ide - ide yang tidak diketahui klien.

a. Pengetahuan.
Perawat dapat mengkaji pengetahuan dengan menanyakan pada klien apa yang mereka
ketahui tentang penyakit mereka atau alasan mencari layanan kesehatan. Dengan mengkaji
pengetahuan perawat menentukan kemampuan klien untuk belajar atau mengerti. Jika terdapat
kesempatan untuk penyuluhan, perawat dapat menguji status mental klien dengan meminta
umpan balik pada saat pemeriksaan tindak lanjut.
b. Berpikir abstrak.
Menginterpretasikan ide atau konsep - konsep abstrak mencerminkan kapasitas berpikir
abstrak. Tingkat fungsi yang lebih tinggi diperlukan oleh seseorang untuk menjelaskan
peribahasa seperti “ Bagai air di daun talas ” atau “ Bersakit - sakit dahulu, bersenang - senang
kemudian ”. Perawat mencatat apakah penjelasan klien relevan atau konkret. Klien dengan
gangguan mental cenderung akan menginterpretasikan frase tersebut secara harfiah atau hanya
memfrasekan kembali kata - kata tersebut.
c. Asosiasi.
Tingkat fungsi intelektual yang lebih tinggi lainnya melibatkan menemukan kesamaan atau
hubungan antar konsep. Beagle adalah sejenis anjing sedangkan Siames adalah sejenis kucing.
Perawat menyebutkan konsep - konsep yang berhubungan dan meminta klien mengidentifikasi
hubungan antar konsep - konsep tersebut. Pertanyaan harus sesuai dengan tingkat kecerdasan
klien. Cukup menggunakan konsep - konsep yang sederhana.
d. Penilaian.
Penilaian membutuhkan pembandingan dan evaluasi fakta dan ide - ide untuk memahami
keterkaitan keduanya dan untuk membentuk suatu kesimpulan yang tepat. Perawat mencoba
mengukur kemampuan untuk membuat keputusan logis. Dengan mengkaji penilaian perawat
juga mengukur kemampuan untuk mengatur proses berpikir. Perawat dapat memilih dengan
bertanya pada klien mengapa mereka memutuskan mencari bantuan medis atau bagaimana
rencana mereka untuk menyesuaikan keterbatasan yang ada setelah kembali ke rumah. Tes yang
lebih sederhana akan melibatkan pengajuan pertanyaan apa yang akan klien lakukan jika berada
dalam situasi seperti dikunci di rumah atau tiba - tiba sakit ketika sedang sendiri di rumah.
5. Saraf kranial.
Perawat dapat mengkaji 12 saraf otak atau menguji satu saraf atau kelompok saraf terkait.
Tes saraf okulomotor mengukur respons pupil. Pengkajian saraf glosofaring dan nervus vagus
mengungkapkan integritas refleks muntah. Pengukuran yang digunakan untuk mengkaji
integritas organ di dalam kepala dan leher juga mengkaji fungsi saraf otak. Sebagai contoh,
cabang koklear saraf otak kedelapan diuji selama pengkajian pendengaran. Fungsi saraf otak
kesembilan dan kesepuluh dapat dikaji selama pemeriksaan faring. Suatu disfungsi pada saraf
manapun menunjukkan gangguan pada beberapa titik sepanjang distribusi saraf otak. Pengkajian
saraf otak lebih mudah setelah perawat mengetahui fungsi saraf normal.
6. Refleks.
Memunculkan reaksi refleks memungkinkan perawat untuk mengkaji integritas jaras
sensorik dan motorik dari arkus refleks dan segmen medula spinalis spesifik. Pengkajian refleks
tidak menentukan fungsi pusat saraf yang lebih tinggi. Setiap otot terdiri dari sebuah unit
sensorik kecil yang disebut kumparan otot, yang mengendalikan tonus otot dan mendeteksi
perubahan pada panjang serat otot. Dengan mengetuk tendon menggunakan palu refleks, perawat
meregangkan otot dan tendon, memanjangkan kumparan tersebut. Kumparan tersebut mengirim
impuls saraf sepanjang jaras saraf aferen ke ujung dorsal dari segmen medula spinalis. Dalam
hitungan milidetik impuls tersebut mencapai medula spinalis dan sinaps menjalar ke neuron
motorik eferen di medula spinalis. Saraf motorik mengirim impuls tersebut kembali ke otot,
menyebabkan respons refleks.
Dua kategori refleks normal adalah refleks tendon profunda, dimunculkan dengan sedikit
meregangkan otot dan mengetuk tendon, dan refleks kutaneus, dimunculkan dengan
menstimulasi kulit secara superfisial. Refleks dinilai sebagai berikut :
a. 0, tidak ada respons.
b. 1 +, normal rendah dengan sedikit kontraksi otot.
c. 2+, normal dengan kedutan otot yang dapat terlihat dan gerakan lengan atau tungkai.
d. 3 +, lebih cepat dari normal, tidak mengindikasikan penyakit.
e. 4 +, hiperaktif dan sangat cepat, seringkali berhubungan dengan gangguan medula spinalis.
Pada saat refleks sedang dikaji, klien harus serileks mungkin untuk menghindari gerakan
volunter atau ketegangan otot. Perawat memposisikan ekstremitas untuk sedikit meregangkan
otot yang akan diperiksa. Palu refleks dipegang dengan ibu jari dan telunjuk perawat sehingga
dapat mengayun bebas dan mengetuk tendon dengan cepat. Perawat membandingkan
kesimetrisan refleks dari satu sisi tubuh ke sisi tubuh yang lain. Pada lansia, refleks tersebut
normalnya lambat. Refleks dapat bersifat hiperaktif pada klien dengan intoksikasi alkohol,
kokain, atau opioid ( Caulker - Burnett, 1994 ). Praktisi sering kali menggunakan gambaran tetap
untuk mencatat refleks.
7. Fungsi motorik.
Pengkajian fungsi motorik mencakup pengukuran yang sama yang dilakukan selama
pemeriksaan muskuloskeletal. Selain itu, dikaji juga fungsi serebelar. Serebelum mengoordinasi
aktivitas motorik dengan menghasilkan gerakan yang halus, stabil dan efisien dari sekelompok
otot. Pemeliharaan keseimbangan dan ekuilibrium juga merupakan fungsi dari serebelum. Impuls
sensorik dari bagian vestibuler telinga dalam dihantarkan ke serebelum, dimana impuls tersebut
dihantarkan ke saraf - saraf motorik yang tepat untuk mempertahankan ekuilibrium tubuh.
Serebelum juga mengendalikan postur.

a. Koordinasi.
Sulit bagi perawat untuk menjelaskan tes yang digunakan untuk mengukur koordinasi.
Untuk menghindari kebingungan perawat mendemonstrasikan setiap manuver dan kemudian
meminta klien mengulanginya setelah menentukan bahwa mobilitas mereka normal dan mereka
secara fisik mampu melakukan gerakan - gerakan yang diperlukan. Perawat mengobservasi
kelancaran dan keseimbangan gerakan. Pada lansia waktu reaksi yang lambat dapat
menyebabkan gerakan menjadi kurang berirama.
Untuk mengkaji fungsi motorik halus perawat meminta klien untuk mengekstensikan lengan
ke samping dan secara bergantian menyentuhkan jari telunjuk ke hidung ( pertama dengan mata
terbuka, kemudian dengan mata tertutup ). Normalnya klien dapat menyentuh hidung secara
bergantian dengan lancar. Melakukan gerakan yang cepat, berirama, dan bergantian,
menunjukkan koordinasi ekstremitas atas. Dalam keadaan duduk, klien mulai menepuk - nepuk
lutut dengan kedua tangan. Kemudian klien secara bergantian memutar telapak tangan dan
bagian belakang tangan sambil terus menepuk - nepuk. Manuver tersebut harus dilakukan
dengan lancar dan teratur dengan kecepatan makin meningkat.
Manuver lain untuk ekstremitas atas melibatkan menyentuhkan setiap jari dengan ibu jari di
tangan yang sama dengan urutan yang cepat. Klien berpindah dari jari telunjuk sampai ke jari
kelingking dan kembali dengan satu tangan yang lain. Tangan dominan klien tidak begitu aneh
ketika melakukan ini. Gerakan tersebut harus lancar dan berhasil dilakukan.
Koordinasi ekstremitas bawah diuji dengan klien pada posisi terlentang, tungkai
diekstensikan. Perawat meletakkan tangan di mata kaki klien. Klien mengetuk tangan perawat
dengan telapak kaki secepat mungkin. Setiap kaki diuji untuk kecepatan dan kelancaran. Kaki
tidak bergerak secepat tangan.

b. Keseimbangan.
Perawat dapat menggunakan salah satu atau kedua tes berikut ini untuk mengkaji
keseimbangan dan fungsi motorik kasar :
1) Minta klien melakukan tes Romberg dengan posisi berdiri kaki rapat, lengan di samping, kedua
mata terbuka dan tertutup. Sambil melindungi keselamatan klien dengan berdiri di samping,
observasi adanya ayunan tubuh. Sedikit ayunan merupakan hal yang normal. Klien normalnya
tidak berubah cara berdirinya.
2) Minta klien menutup mata, dengan lengan lurus di samping, dan berdiri dengan satu kaki
bergantian. Secara normal keseimbangan dapat dipertahankan selama 5 detik dengan sedikit
goyangan.
3) Minta klien untuk berjalan di atas garis lurus dengan menempatkan tumit satu kaki langsung di
depan jari dari kaki satunya.
8. Fungsi sensori.
Jaras sensori sistem saraf pusat meliputi sensori nyeri, suhu, posisi, vibrasi, dan akhirnya
sentuhan lokal yang halus. Jaras saraf yang berbeda mengirimkan sensasi - sensasi tersebut. Pada
kebanyakan klien skrining cepat terhadap fungsi sensori sudah cukup kecuali ada gejala
penurunan sensasi, gangguan motorik, atau paralisis. Normalnya seorang klien memiliki respons
motorik terhadap semua stimulus yang dites. Sensasi di sepanjang permukaan tubuh terasa sama
di kedua sisi wajah, tubuh, dan ekstremitas. Perawat dapat mengkaji saraf sensori mayor dengan
mengetahui zona dermaton sensori. Beberapa area kulit dipersarafi oleh akar dorsal saraf
kutaneus spesifik. Sebagai contoh, jika perawat mencatat penurunan sensasi ketika memeriksa
sentuhan ringan di sepanjang area kulit ( misalnya, leher bawah ), perawat dapat menentukan
secara umum, di mana letak lesi neurologis tersebut ( misalnya, segmen medula spinalis servikal
keempat ).
Semua tes sensorik dilakukan dengan mata klien tertutup sehingga klien tidak dapat melihat
kapan atau dimana stimulus tersebut menyentuh kulit. Stimulus diberikan secara acak, dengan
urutan yang tidak dapat diperkirakan untuk mempertahankan perhatian klien dan mencegah
deteksi pola yang dapat diperkirakan. Klien diminta untuk memberi tahu perawat kapan, apa, dan
dimana setiap stimulus tersebut dirasakan. Perawat membandingkan area simetris dari tubuh
pada saat memberikan stimulus pada lengan klien, tubuh, dan tungkai.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemeriksaan head to toe adalah pemeriksaan tubuh klien secara keseluruhan atau hanya
bagian tertentu yang di anggap perlu, untuk memperoleh data yang sistematis dan komprehensif,
memastikan atau membuktikan hasil anamnesa, mementukan masalah dan merencanakan
tindakan keperawatan yang tepat bagi klien.
Pendekatan ini dilakukan mulai dari kepala dan secara berurutan sampai ke kaki. Mulai dari :
keadaan umum, tanda-tanda vital, kepala, wajah, mata, telinga, hidung, mulut dan tenggorokan,
leher, dada, paru, jantung, abdomen, ginjal, punggung, genetalia, rectum, ektremitas.
Tehnik yang diperlukan dalam pengkajian fisik ada 4 yaitu : palpasi, inspeksi, auskultsi dan
perkusi.
Indikasi mutlak dilakukan pada setiap klien, terutama pada : 1. klien yang baru masuk ke
tempat pelayanan kesehatan untuk di rawat. 2. Secara rutin pada klien yang sedang di rawat. 3.
Sewaktu-waktu sesuai kebutuhan klien.
Prosedur Pelaksanaan : 1. Pengukuran tanda-tanda vital. 2. Pemeriksaan Kulit, Rambut dan
Kuku. 3. Pemeriksaan kepala, wajah, mata, telinga, hidung, mulut dan leher. 4. Pemeriksaan
dada( dada dan punggung). 5. Pemeriksaan Abdomen (Perut). 6. Pemeriksaan ekstermitas atas
(bahu, siku, tangan). 7. Pemeriksaan ekstermitas bawah (panggul, lutut, pergelangan kaki dan
telapak kaki). 8. Pemeriksaan genitalia (alat genital, anus, rectum)

B. Saran – Saran
Diharapkan kepada perawat agar dapat melakukan pemeriksaan fisik head toe secara benar,
sesuai dengan persiapan, teknik, dan prosedur yang telah ditentukan.

Anda mungkin juga menyukai