Anda di halaman 1dari 6

Acute Decompensated Chronic Heart Failure (ADHF)

a. Definisi
Gagal jantung kronis terdekompensasi akut didefinisikan sebagai
sindrom klinis sebagai akibat dari perubahan struktural dan/atau fungsional
pada jantung, sehingga menyebabkan jantung tidak mampu memompa atau
menampung darah dalam jumlah normal (Bocchi et al, 2005).

b. Epidemiologi
Gagal jantung kronis dekompensasi akut (ADHF) memiliki insidensi dan
prevalensi yang tinggi di seluruh dunia. Satu sampai dua persen dari populasi
di negara berkembang diperkirakan menderita ADHF, dengan peningkatan
prevalensi sampai 10% pada populasi dengan usia lebih dari sama dengan 70
tahun (Mangini et al, 2013).

c. Klasifikasi
Gagal jantung kronis dekompensasi akut dapat merupakan bentuk gagal
jantung dengan onset akut ataupun merupakan eksaserbasi akut dari gagal
jantung kronis, dan dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Montera, 2012):
a. Gagal jantung akut “baru”
Terjadi pada pasien yang tidak mengalami tanda-tanda dan gejala gagal
jantung sebelumnya. Kondisi ini dipicu oleh kondisi seperti infark
miokard akut, krisis hipertensi atau hipertensi emergensi, dan ruptur dari
tendon korda mitral. Pada kondisi ini, sering terdapat kongesti pulmonal
tanpa kongesti sistemik, dan tekanan darah dalam batas normal.
Penggunaan loop diuretik pada pasien gagal jantung akut “baru” tidak
diindikasikan. Penatalaksanaannya berupa terapi untuk penyebab, seperti
vasodilator pada krisis hipertensi atau Percutaneous Coronary
Intervention (PCI) pada pasien dengan sindrom koroner akut.
b. Gagal jantung kronis terdekompensasi
Pada pasien dengan ADHF, terdapat tanda dan gejala gagal jantung yang
akut atau bertahap yang memburuk pada pasien yang sebelumnya sudah
terdiagnosis dengan gagal jantung. Penyebab paling umum adalah
kepatuhan terapi yang rendah, seperti pembatasan air, natrium, dan
pengobatan yang memicu ADHF. Juga dapat disebabkan oleh adanya
emboli paru, obat-obat seperti antiinflamasi non-steroid, dan takiaritmia
atau bradiaritmia. Kondisi ini biasa disertai dengan kongesti paru dan
sistemik, sehingga manajemen volume darah dengan diuretik sangat
penting.

d. Manifestasi Klinis
Pada pasien dengan ADHF, manifestasi klinis tersering adalah sesak
napas. Selain itu, ditemukan juga keluhan pada pasien seperti batuk pada
malam hari, edema tungkai, dan ronkhi basah halus. Manifestasi seperti
paroxysmal nocturnal dyspnea, sesak yang dipengaruhi oleh posisi, bunyi
jantung 3, merupakan gejala khas dari gagal jantung (Wang, 2015). Riwayat
penyakit sebelumnya dan riwayat penyakit keluarga perlu ditanyakan saat
anamnesis untuk melihat kemungkinan etiologi dan komorbiditas.
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditentukan kondisi hemodinamik pasien
yang bertujuan untuk menentukan terapi yang diberikan, serta melihat risiko
dengan menggunakan parameter kongesti dan perfusi. Adanya kongesti dapat
dilihat dari takipnea, suara ronkhi pada auskultasi paru, bunyi jantung tiga,
peningkatan tekanan vena jugularis, hepatomegali, hepatojugular reflux, efusi
pleura dan asites. Kondisi hipoperfusi ditandai dengan adanya takipnea,
hipotensi, pulsus alterans, capilarry refill time kurang dari 2 detik, sianosis,
dan penurunan kesadaran (Mangini, 2013).

e. Penegakan Diagnosis
Alur penegakan diagnosis ADHF sama seperti penyakit-penyakit lainnya,
dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Langkah-langkah diagnosis harus dilakukan dengan benar untuk dapat
menentukan derajat cardiac remodelling, melihat apakah ada disfungsi sistol
atau diastol, etiologi dari ADHF tersebut, penyebab dekompensasi,
kemungkinan komorbiditas, dan risiko-risiko lainnya.

Algoritma penegakan diagnosis ADHF

f. Pemeriksaan Penunjang
a. Elektrokardiografi (EKG)
Pada hasil pemeriksaan EKG, dapat ditemukan gelombang Q patologis,
tidak ada gelombang R di lead prekordial, dan terdapat repolarisasi yang
abnormal, terutama di segmen ST yang menandakan adanya iskemik
miokardium. Adanya gambaran dari left bundle branch block pada hasil
EKG merupakan hasil yang sesuai pada kasus infark miokar akut atau
remodelling miokardium, yang menunjukkan prognosis yang buruk.
b. Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin, kreatinin, gula darah sewaktu, elektrolit, dan
urinalisis dilakukan untuk melihat kemungkinan komorbiditas, penyebab
dari dekompensasi, prognosis, dan menentukan terapi.
c. Biomarker
Biomarker sangat membantu dalam menentukan diagnosis dan prognosis
ADHF. Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah peptida natriuretik,
BNP, dan NT-ProBNP, yang diproduksi di ventrikel sebagai bentuk
respon dari peningkatan tekanan dinding ventrikel (Marcondez-Braga et
al, 2012).
d. Ekokardiografi
Merupakan metode noninvasif utama dalam mendiagnosis gagal jantung.
Pada pasien dengan ADHF, ekokardiografi diindikasikan untuk
menemukan etiologi dan menentukan prognosisnya. Pemeriksaan ini juga
digunakan untuk mencari jenis disfungsi, ruang jantung yang rusak, lesi
katup jantung, serta kelainan kontraktilitas atau perikardium. Pada ADHF
dapat ditemukan adanya disfungsi progresif dan penyebab dari
dekompensasi (efusi perikardial, emboli paru, dan iskemia) (Cotter,
2008).

g. Tatalaksana
Tujuan awal dari pengobatan ADHF adalah mencapai perbaikan
hemodinamik dan gejala. Setelah hemodinamik terkoreksi dan gejala
membaik, harus dicari target lain seperti pemeliharaan dan/atau peningkatan
fungsi ginjal, pencegahan kerusakan miokardium, modulasi aktivitas
neurohormonal dan/atau inflamasi, dan manajemen komorbiditas (de Luca,
2007).
Algoritma penatalaksanaan ADHF

Sebagian pasien dengan ADHF menunjukkan kongesti paru dan/atau


sistemik yang dominan, serta perfusi perifer (pola B), dan pengobatannya
menggunakan vasodilator dan diuretik. Jika terjadi penurunan fungsi ginjal,
harus dipertimbangkan pemberian obat inotropik, terutama ketika tekanan
darah sistolik 90-120mmHg. Dalam situasi kongesti dan hipoperfusi (pola C),
pemberian obat inotropik dan diuretik diindikasikan, dan jika tekanan darah
dipantau secara intensif dapat juga diberikan vasodilator secara intravena atau
bolus. Pasien dengan hipoperfusi dan kongesti yang parah (pola L) jarang
ditemukan, dan biasanya diberikan terapi inotropik.
Daftar Pustaka
Bocchi EA, Vilas-Boas F, Perrone S, Caamano AG, Clausell N, Moreira Mda C,
Thierer J, et al (2005). I latin american guidelines for the assessment and
management of decompensated heart failure. Arq Bras Cardiol 85(3): 49-94.
Cotter G, Cotter OM, Kaluski E (2008). Hemodynamic monitoring in acute heart
failure. Crit Care Med 36:40-43.
de Luca L, Fonarow GC, Adams KF, Mebazza A, Tavazzi L, Swedberg K, et al
(2007). Acute heart failure syndromes: clinical scenarios and
pathophysiologic targets for therapy. Heart Fail Rev 12(2): 97-104.
Mangini S, Pires PV, Braga FGM, Bacal F (2013). Decompensated heart failure.
Einstein (Sao Paulo) 11(3): 383-391.
Marcondez-Braga FG, Gutz IG, Batista GL, Saldiva PH, Ayub-Ferreira M, Issa
VS, et al (2012). Exhaled acetone as a new biomarker of heart failure
severity. Chest 142(2): 457-466.
Montera MW, Pereira SB, Silva CP, Grativvol PS, Segura LF, Ayub SM, et al
(2008). Insufuciencia cardiaca descompensada na unidade de emergencia de
hospital especializado em cardiologia. Arq Bras Cardiol 90(6): 400-406.
Wang CS, FirtzGerald JM, Schulzer M, Mak E, Ayas NT (2005). Does this
dyspneic patient in the emergency department have congestive heart failure?
JAMA 294(15): 1944-1956.

Anda mungkin juga menyukai