Seorang remaja laki-laki berusia 17 tahun datang dengan keluhan mengalami penurunan
kesadaran kurang lebih 1 jam SMRS. Pasien datang ke IGD setelah mengalami kecelakaan mo-
tor (tunggal), terjatuh sendiri dan masuk kedalam lubang irigasi jalan. Pasien ditemukan
sudah tidak sadarkan diri kurang lebih 1 jam SMRS.
TTV : TD : 130/60mmHg
RR : 28 x/menit, fangkal
Suhu : 35,8 C
SpO2 : 82%
Status generalis :
Mata : Pupil isokor (3mm), reflek pupil langsung dan tidak langsung mata kanan dan kiri (+)
Dada :
I : pergerakan dada asimetris (pergerakan dada kiri tertinggal), retraksi dinding dada bagian
bawah kanan dan kiri (+), pada regio anterior toraks sinistra di atas processus xypoideus ter-
dapat jejas, ukuran ± 1x5 cm
Ekstremitas : vulnus eksoriasum pada regio cruris 1/3 proksimal kearah medial dengan dia-
meter kurang lebih 5 cm.
Status lokalis
regio anterior toraks sinistra terdapat jejas (+) ukuran ± 1x5 cm.
Lab :
- Pantau Hb serial
- Analgetik supp
- WSD
- Antibiotic
- Antifibrinolitik
- Antihistamin
1. Pendahuluan
Trauma toraks atau dada yang terjadi, menyebabkan gagal ventilasi )keluar ma-
suknya udara), kegagalan pertukaran gas pada tingkat alveolar, kegagalan sirkulasi ka-
rena perubahan hemodinamik. Ketiga faktor ini dapat menyebabkan hipoksia(keku-
rangan suplai O2) seluler yang berkelanjutan pada hipoksia jaringan. Hipoksia pada
tingkat jaringan dapat menyebabkan ransangan terhadap cytokines yang dapat memacu
terjadinya Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS), Systemic Inflamation Re-
sponse Syndrome (SIRS) dan sepsis. Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering
disebabkan oleh trauma toraks. Hipokasia jaringan merupakan akibat dari tidak ad-
ekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena hipovolemia (kehilangan
darah), pulmonary ventilation/perfusion mismatch (contoh kontusio, hematoma, kolaps
alveolus) dan perubahan dalam tekanan intratoraks (contoh tension pneumothoraks,
pneumothoraks terbuka). Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh tidak adekuatnya
ventilasi akibat perubahan tekanan intratoraks atau penurunan tingkat kesadaran. Asi-
dosis metabolik disebabkan oleh hipoperfusi dari jaringan (syok).
Pada trauma thoraks perlu dipikirkan juga syok berasal dari trauma di organ
intrathorakal. Pemasangan intubasi diperlukan untuk mengontrol airway. Dilihat juga
peningkatan JVP guna membedakan dengan tension pneumothoraks dan tamponade
jantung. Lihat retraksi interkostal dan supraklavikular dapat menunjukkan adanya ob-
struksi jalan nafas. Evaluasi banyak dan persebaran luka (abrasi, emfisema subkutis,
krepitasi, dan adanya fraktur costae). Jangan lupa juga penilaian terhadap daerah tho-
raks posterior.
2. Definisi
3. Anatomi Paru
Paru merupakan salah satu organ vital yang memiliki fungsi utama se-
bagai alat respirasi dalam tubuh manusia, paru secara spesifik memiliki peran
untuk terjadinya pertukaran oksigen (O2) dengan karbon dioksida (CO2). Per-
tukaran ini terjadi pada alveolus – alveolus di paru melalui sistem kapiler. Paru
terdiri atas 3 lobus pada paru sebelah kanan, dan 2 lobus pada paru sebelah
kiri. Pada paru kanan lobus – lobusnya antara lain yakni lobus superior, lobus
medius dan lobus inferior. Sementara pada paru kiri hanya terdapat lobus su-
perior dan lobus inferior. Di antara lobus – lobus paru kanan terdapat dua fis-
sura, yakni fissura horizontalis dan fissura obliqua, sementara di antara lobus
superior dan lobus inferior paru kiri terdapat fissura obliqua.
Paru terletak pada sebuah ruangan di tubuh manusia yang di kenal se-
bagai cavum thoraks. Karena paru memiliki fungsi yang sangat vital dan pent-
ing, maka cavum thoraks ini memiliki dinding yang kuat untuk melindungi
paru, terutama dari trauma fisik. Cavum thoraks memiliki dinding yang kuat
yang tersusun atas 12 pasang costa beserta cartilago costalisnya, 12 tulang
vertebra thoracalis, sternum, dan otot – otot rongga dada. Otot – otot yang
menempel di luar cavum thoraks berfungsi untuk membantu respirasi dan alat
gerak untuk extremitas superior.
Selain mendapatkan perlindungan dari dinding cavum thoraks, paru
juga dibungkus oleh sebuah jaringan yang merupakan sisa bangunan embri-
ologi dari coelom extra embryonal yakni pleura. Pleura sendiri dibagi menjadi
tiga yakni pleura parietal, pleura visceral dan pleura bagian penghubung.
Pleura visceral adalah pleura yang menempel erat dengan substansi paru itu
sendiri. Sementara pleura parietal adalah lapisan pleura yang paling luar dan
tidak menempel langsung dengan paru. Pelura bagian penghubung yakni
pleura yang melapisi radiks pulmonis, pleura ini merupakan pelura yang
menghubungkan pleura parietal dan pleura visceral.
Pleura parietal memiliki beberapa bagian antara lain yakni pleura di-
afragmatika, pleura mediastinalis, pleura sternocostalis dan cupula pleura.
Pleura diafragmatika yakni pleura parietal yang menghadap ke diafragma.
Pleura mediastinalis merupakan pleura yang menghadap ke mediastinum tho-
raks, pleura sternocostalis adalah pleura yang berhadapan dengan costa dan
sternum. Sementara cupula pleura adalah pleura yang melewati apertura tho-
racis superior. Pada proses fisiologis aliran cairan pleura, pleura parietal akan
menyerap cairan pleura melalui stomata dan akan dialirkan ke dalam aliran
limfe pleura.
Di antara pleura parietal dan pleura visceral, terdapat celah ruangan
yang disebut cavum pleura. Ruangan ini memiliki peran yang sangat penting
pada proses respirasi yakni mengembang dan mengempisnya paru, dikare-
nakan pada cavum pleura memiliki tekanan negatif yang akan tarik menarik,
di mana ketika diafragma dan dinding dada mengembang maka paru akan ikut
tertarik mengembang begitu juga sebaliknya. Normalnya ruangan ini hanya
berisi sedikit cairan serous untuk melumasi dinding dalam pleura.
4. Etiologi
Trauma pada thoraks dapat dibagi menjadi dua yaitu trauma tumpul
dan trauma tajam. Penyebab trauma thoraks tersering adalah kecelakaan ken-
daraan bermotor (63-78%). Dalam trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis
tabrakan (impact) yang berbeda, yaitu depan, samping, belakang, berputar,
dan terguling. Oleh karena itu harus dipertimbangkan untuk mendapatkan ri-
wayat yang lengkap karena setiap orang memiliki pola trauma yang berbeda.
Penyebab trauma thoraks oleh karena trauma tajam dibedakan menjadi 3 ber-
dasarkan tingkat energinya, yaitu berenergi rendah seperti trauma tusuk, ber-
energi sedang seperti pistol, dan berenergi tinggi seperti pada senjata militer.
Penyebab trauma thoraks yang lain adalah adanya tekanan yang berlebihan
pada paru-paru yang bisa menyebabkan pneumothoraks seperti pada scuba.
5. Patofisiologi
HEMOTORAKS
A. Definisi
Hemotoraks merupakan suatu keadaan dimana darah terakumulasi
pada rongga pleura yang disebabkan karena adanya trauma pada dada yang
menjadi predisposisi terpenting perembesan darah berkumpul di kantong
pleura tidak bisa diserap oleh lapisan pleura.
B. Etiologi
Sejauh ini penyebab umum dari hemotoraks adalah trauma pada dind-
ing toraks. Luka tembus paru, jantung, pembuluh darah besar atau dinding
dada adalah penyebab lain dari hemotoraks. Trauma tumpul pada dada ka-
dang-kadang dapat menyebabkan hemotoraks oleh karena laserasi pembuluh
darah.
Hemotoraks massif adalah terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari 1500
cc dalam rongga pleura. Penyebabnya adalah luka tembus yang merusak pem-
buluh darah sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru. Selain itu juga
dapat disebabkan cidera benda tumpul. Kehilangan darah dapat menyebab-
kan hipoksia.
C. Derajat Hematotoraks
a. Hemotoraks kecil: yang tampak sebagian bayangan kurang dari 15%
pada foto rontgen, perkusi pekak sampai iga ke IX, dan jumlah darah
mencapai 300 ml.
b. Hemotoraks sedang: 15-35% tertutup bayangan pada foto rontgen,
perkusi pekak sampai iga ke VI, jumlah darah mencapai 800 ml.
c. Hemotoraks besar: lebih dari 35% tertutup bayangan pada foto rontgen,
perkusi pekak sampai cranial iga ke IV. Jumlah darah melebihi 800 ml.
D. Patofisiologi
Hemotoraks disebabkan adanya laserasi paru atau laserasi dari pem-
buluh darah interkostal atau arteri mamaria internal yang diakibatkan oleh
trauma tajam atau trauma tumpul. Dislokasi fraktur dari vertebra torakal juga
dapat menyebabkan terjadinya hemotoraks. Perdarahan di dalam rongga
pleura dapat terjadi dengan hampir semua gangguan dari jaringan dada di
dinding dan pleura atau struktur intrathoracic. Respon fisiologis terhadap
perkembangan hemothorax diwujudkan dalam 2 area utama: hemodinamik
dan pernafasan. Tingkat respon hemodinamik ditentukan oleh jumlah dan ke-
cepatan kehilangan darah.
Perubahan hemodinamik bervariasi tergantung pada jumlah perdara-
han dan kecepatan kehilangan darah. Kehilangan darah hingga 750 mL pada
seorang pria 70-kg seharusnya tidak menyebabkan perubahan hemodinamik
yang signifikan. Hilangnya 750-1500 mL pada individu yang sama akan me-
nyebabkan gejala awal syok (yaitu, takikardia, takipnea, dan penurunan
tekanan darah). Tanda-tanda signifikan dari shock dengan tanda-tanda perfusi
yang buruk terjadi dengan hilangnya volume darah 30% atau lebih (1500-2000
mL). Karena rongga pleura seorang pria 70-kg dapat menampung 4 atau lebih
liter darah, perdarahan exsanguinating dapat terjadi tanpa bukti eksternal dari
kehilangan darah.
Efek pendesakan dari akumulasi besar darah dalam rongga pleura
dapat menghambat gerakan pernapasan normal. Dalam kasus trauma, ke-
lainan ventilasi dan oksigenasi bisa terjadi, terutama jika berhubungan dengan
luka pada dinding dada. Sebuah kumpulan yang cukup besar darah menyebab-
kan pasien mengalami dyspnea dan dapat menghasilkan temuan klinis takip-
nea. Volume darah yang diperlukan untuk memproduksi gejala pada individu
tertentu bervariasi tergantung pada sejumlah faktor, termasuk organ cedera,
tingkat keparahan cedera, dan cadangan paru dan jantung yang mendasari.
Dispnea adalah gejala yang umum dalam kasus-kasus di mana hemo-
thorax berkembang dengan cara yang membahayakan, seperti yang sekunder
untuk penyakit metastasis. Kehilangan darah dalam kasus tersebut tidak akut
untuk menghasilkan respon hemodinamik terlihat, dan dispnea sering menjadi
keluhan utama.
Darah yang masuk ke rongga pleura terkena gerakan diafragma, paru-
paru, dan struktur intrathoracic lainnya. Hal ini menyebabkan beberapa dera-
jat defibrination darah sehingga pembekuan tidak lengkap terjadi. Dalam be-
berapa jam penghentian perdarahan, lisis bekuan yang sudah ada dengan en-
zim pleura dimulai.
Lisis sel darah merah menghasilkan peningkatan konsentrasi protein
cairan pleura dan peningkatan tekanan osmotik dalam rongga pleura. Tekanan
osmotic tinggi intrapleural menghasilkan gradien osmotik antara ruang pleura
dan jaringan sekitarnya yang menyebabkan transudasi cairan ke dalam rongga
pleura. Dengan cara ini, sebuah hemothorax kecil dan tanpa gejala dapat
berkembang menjadi besar dan gejala efusi pleura berdarah.
Dua keadaan patologis yang berhubungan dengan tahap selanjutnya
dari hemothorax: empiema dan fibrothorax. Empiema hasil dari kontaminasi
bakteri pada hemothorax. Jika tidak terdeteksi atau tidak ditangani dengan
benar, hal ini dapat mengakibatkan syok bakteremia dan sepsis.
Fibrothorax terjadi ketika deposisi fibrin berkembang dalam hemotho-
rax yang terorganisir dan melingkupi baik parietal dan permukaan pleura vis-
eral. Proses adhesive ini menyebkan paru-paru tetap pada posisinya dan
mencegah dari berkembang sepenuhnya. Adapun tanda dan gejala adanya
hemotoraks dapat bersifat simptomatik namun dapat juga asimptomatik.
Asimptomatik didapatkan pada pasien dengan hemothoraks yang sangat min-
imal sedangkan kebanyakan pasien akan menunjukan symptom, diantaranya:
Nyeri dada yang berkaitan dengan trauma dinding dada
Tanda-tanda shok seperti hipotensi, dan nadi cepat, pucat, akral dingin
Tachycardia
Dyspnea
Hypoxemia
Anxiety (gelisah)
Cyanosis
Anemia
Deviasi trakea ke sisi yang tidak terkena
Gerak dan pengembangan rongga dada tidak sama (paradoxical)
Penurunan suara napas atau menghilang pada sisi yang terkena
Dullness pada perkusi
Adanya krepitasi saat palpasi
F. Penegakkan Diagnosis
Penegakkan diagnosis hemothoraks berdasarkan pada data yang di-
peroleh dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari
anamnesa didapatkan penderita hemothoraks mengeluh nyeri dada dan sesak
napas. Pada pemeriksaan fisik dari inspeksi biasanya tidak tampak kelainan,
mungkin didapatkan gerakan napas tertinggal atau adanya pucat karena
perdarahan kecuali hemothoraks akibat trauma. Pada perkusi didapatkan
pekak dengan batas tidak jelas, sedangkan pada auskultasi didapatkan bunyi
napas menurun atau bahkan menghilang. Sedangkan untuk pemeriksaan
penunjang dapat dilakukan:
a) Foto Rontgen/Chest X-Ray
Adanya gambaran hipodense pada rongga pleura di sisi yang
terkena dan adanya mediastinum shift. Chest x-ray sebagi
penegakkan diagnostik yang paling utama dan lebih sensitif
dibandingkan yang lainnya.
b) CT Scan
Diindikasikan untuk pasien dengan hemothoraks yang untuk
evaluasi lokasi clotting (bekuan darah) dan untuk menentukan
kuantitas atau jumlah bekuan darah di rongga pleura.
c) USG
USG yang digunakan adalah jenis FAST dan diindikasikan untuk
pasien yang tidak stabil dengan hemothoraks minimal.
d) Analisis Gas Darah
Hipoksemia mungkin disertai hiperkarbia yang menyebabkan
asidosis respiratori. Saturasi O2 arterial mungkin menurun
pada awalnya tetapi biasanya kembali ke normal dalam waktu
24 jam.
e) Pengecakan Darah Lengkap
Kadar Hb menurun <10 gr% menunjukkan adanya kehilangan
darah.
G. Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi dari hemothoraks adalah untuk menstabilkan he-
modinamik pasien, menghentikan perdarahan dan mengeluarkan darah serta
udara dari rongga pleura. Langkah pertama untuk menstabilkan hemodinamik
adalah dengan resusitasi seperti diberikan oksigenasi, cairan infus, transfusi
darah, dilanjutkan pemberian analgetik dan antibiotik.
Langkah selanjutnya untuk penatalaksanaan pasien dengan hemothoraks ada-
lah mengeluarkan darah dari rongga pleura yang dapat dilakukan dengan cara:
Chest tube (Tube thoracostomy drainage): Tube thoracostomy drain-
age merupakan terapi utama untuk pasien dengan hemothoraks. Insersi
chest tube melalui dinding dada untuk drainase darah dan udara.
Pemasangannya selama beberapa hari untuk mengembangkan paru ke
ukuran normal. Indikasi untuk pemasangan chest tube antara lain:
o Adanya udara pada rongga dada (pneumotoraks)
o Perdarahan di rongga dada (hemotoraks)
o Post operasi atau trauma pada rongga dada (pneumothorax atau
hemotoraks)
o Abses paru atau pus di rongga dada (empyema)
Adapun langkah-langkah dalam pemasangan chest tube thoracostomy
adalah sebagai berikut:
o Memposisikan pasien pada posisi trandelenberg
o Disinfeksi daerah yang akan dipasang chest tube dengan
menggunakan alkohol atau povidin iodine pada ICS VIII atau
ICS IX posterior Axillary Line
o Kemudian dilakukan anastesi local dengan menggunakan li-
dokain
o Selanjutnya insisi sekitar 3-4 cm pada Mid Axillary Line
o Pasang curved hemostat diikuti pemasangan tube dan selanjut-
nya dihubungkan dengan WSD (Water Sealed Drainage)
o Lakukan jahitan pada tempat pemasangan tube
Thoracotomy
Merupakan prosedur pilihan untuk operasi eksplorasi
rongga dada ketika hemothoraks massif atau terjadi perdarahan
persisten. Thoracotomy juga dilakukan ketika hemothoraks parah
dan chest tube sendiri tidak dapat mengontrol perdarahan se-
hingga operasi (thoracotomy) diperlukan untuk menghentikan
perdarahan. Perdarahan persisten atau berkelanjutan yang segera
memerlukan tindakan operasi untuk menghentikan sumber
perdarahan di antaranya seperti ruptur aorta pada trauma berat.
Operasi (Thoracotomy) diindikasikan apabila:
o Satu liter atau lebih dievakuasi segera dengan chest tube
o Perdarahan persisten, sebanyak 150-200cc/jam selama 2-4 jam
o Diperlukan transfusi berulang untuk mempertahankan stabilitas
hemodinamik
PEMBAHASAN
trandelenberg.
- Disinfeksi daerah yang akan dipasang chest