Anda di halaman 1dari 41

BAHAN

AJAR STIKES MEDISTRA LUBUK PAKAM


FARMASI

PENULIS :

1. ICA ZAHARA
2. NABILA RAHAYU NASUTION

PROGRAM STUDI FARMASI (S1)


STIKes MEDISTRA LUBUK PAKAM
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke Hadirat Allah SWT atas berkat dan rahmatnya penulis
dapat menyelesaikan masalah UU & Etika dengan judul Undang-Undang Rumah Sakit.

Pada kesempatan ini dengan kerendahan hati & hormat, penulis mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Muhammad Ridho, SH.,MH sebagai dosen bidang studi UU & Etika.
Penulisan modul ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu dengan segala
kerendahan hati, penulis menerima kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini.

Akhirnya, penulis berharap semoga modul ini dapat member manfaat bagi kita semua.

Lubuk Pakam, November 2016

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

ii
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Kesehatan merupakan salah satu unsure yang sangat penting bagi setiap manusia,
karena dengan tubuh yang sehat setiap manusia dapat hidup produktif baik secara social
maupun ekonomi. Derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat dapat diwujudkan dengan
menyelenggarakan upaya kesehatan yang dapat dilakukan dengan menyelenggarakan upaya
kesehatan yang dapat dilakukan oleh pemerintah atau masyarakat.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1332/Menkes/SK/X/2002 tentang Ketentuan dan Tata cara Pemberian Izin Apotek, Apotek
merupakan suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran
sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat.
Apoteker di apotek hendaknya mempunyai wawasan pengetahuan yang luas
mengenai bidang kefarmasian, perundang-undangan dan etika di bidang farmasi. Selain itu
seorang apoteker harus mempunyai kemampuan di bidang manajemen apotek dan organisasi
agar dapat mengelola apotek dan dapat menyelesaikan tugasnya secara professional.
Berdasarkan Keputusan Republik Indonesia Nomor 1332/MenKes/SK/X/2002 tentang
Ketentuan dan Tata cara Pemberian Izin Apotek. apoteker adalah sarjana farmasi yang telah
lulus dan mengucapkan sumpah jabatan apoteker, mereka yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku berhak melakukan pekerjaan Kefarmasian di Indonesia
sebagai apoteker.
Peran seorang apoteker sebagai pengelola apotek sangat berpengaruh dalam
peningkatan pelayanan kesehatan kepada pasien, dan dengan adanya standar pelayanan
kefarmasian maka apoteker harus memiliki pengetahuan dan keterampilan mengenai
pengadaan, penerimaan, penyimpanan, penataan, pencatatan dan pelaporan obat, penyaluran
obat kepada pasien serta pelayanan KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) kepada pasien.
Pekerjaan kefarmasian meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan, pengadaan penyimpanan, distribusi obat, pelayanan,serta
pengembangan obat dan bahan obat.Sebuah apotek dikelola oleh seorang Apoteker Pengelola
Apoteker (APA) yang mempunyai Surat Ijin Apotek (SIA). Apotek merupakan sarana praktek
profesi apoteker dalam melaksanakan tugas dan fungsinya yang berdasarkan filosofi
“Pharmaceutical Care” atau “Pelayanan Kefarmasian”, yang mendorong perubahan pola dari
drug oriental menjadi patient oriented.

1
Apoteker memiliki peranan penting dalam pekerjaan kefarmasian dan berhak
melakukan peracikan obat, mulai dari penerimaan resep, pemeriksaan keabsahan resep,
penyiapan, pembuatan, pengemasan, penandaan, penyerahan hingga penyampaian informasi,
cara penggunaan obat dan perbekalan kefarmasian yang tepat, benar dan aman serta
komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) kepada pasien. Selain bertanggung jawab di bidang
kesehatan seorang apoteker juga harus menguasai kemampuan pengelolaan apotek dari segi
bisnis, dengan memperhatikan unsure atau sarana yang sering disebut “the tool of
management” yang terdiri dari Man, Money, Methods, Matherials, dan Machines. Untuk
menjalankan sistem tersebut agar dapat berjalan dengan baik, dapat berkembang serta
mencapai target, maka perlu juga diperhatikan beberapa factor seperti Planning,Organizing,
Actuating, dan Controlling (POAC). (Seto S.dkk.,2008)
Menyadari pentingnya peran dan tanggung jawab yang besar dari seorang apoteker dalam
melaksanakan tugasnya secara professional dibidang kesehatan, maka para calon apoteker
wajib mengikuti Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di apotek untuk pembekalan dan
pengalaman bagi seorang apoteker dalam mempersiapkan dan melatih diri sebelum terjun
langsung di lapangan. Diharapkan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Apotek Pandugo dapat
memberikan pengetahuan dan pengalaman yang cukup bagi calon apoteker serta
meningkatkan pengetahuan. Keterampilan dan kemampuan untuk memberikan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat dibidang kefarmasian khususnya mengenai peran dan fungsi
apoteker di apotek.

b. Tujuan
a. Meningkatkan pemahaman calon apoteker tentang peran, fungsi, dan tanggung jawab
apoteker dalam pelayanan kefarmasian di apotek.
b. Membekali calon apoteker agar memilik wawasan, pengetahuan, keterampilan dan
pengalaman praktis untuk melakukan pekerjaan kefarmasian di Apotek.
c. Mempersiapkan calon apoteker dalam memasuki dunia kerja sebagai tenaga farmasi
yang professional.
d. Memberi gambaran nyata tentang permasalahan pekerjaan kefarmasian di apotek.
e. Agar mengetahui peraturan perundang-undangan Kesehatan.
f. Menetapkan ketentuan-ketentuan dasar dibidang farmasi dalam rangka pelaksanaan
undang-undang tentang pokok-pokok kesehatan.

2
c. Manfaat
a. Mengetahui, memahami tugas, dan tanggung jawab apoteker dalam mengelola apotek.
b. Mendapatkan pengalaman praktis mengenai pekerjaan kefarmasian di apotek.
c. Mendapatkan pengetahuan manajemen praktis di apotek.
d. Meningkatkan rasa percaya diri untuk menjadi apoteker yang professional.

3
BAB II
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN FARMASI

a. Definisi Profesi Farmasi


Profesi farmasi adalah profesi yang menyangkut manusia sehingga diatur melalui
peraturan perundang-undangan sehingga diatur melalui peraturan perundang-undangan yang
sangat rinci. Banyak sekali peraturan yang menyangkut profesi dan kegiatan profesi. Oleh sebab
itu, sebaiknya apoteker memiliki buku peraturan perundang-undangan farmasi yang telah
diterbitkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Himpunan Peraturan Perundang-
undangan bidang kesehatan khusus farmasi).(Darmawan,Iwan.,2007).
Peraturan perundang-undangan yang sangat penting dan satu peraturan menteri
kesehatan, yaitu :
 Peraturan Pemerintah RI No 51 tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian.
 Undang-undang RI No 25 Tahun 2009 Tentang Narkotika, dan
 Peraturan Mentri Kesehatan RI Nomor HK 02.02/MENKES/068/I/2010 tentang kewajiban
menggunakan obat Generik.
Ketiga peraturan dan perundang-undangan ini memadu Apoteker dalam melakukan
kegiatan profesionalnya dan diharapkan dapat bekerja secara professional dengan hasil oftimal.
Peraturan Pemerintah RI No.51 Tahun 2009 merupakan pula panduan untuk pelaksanaan racikan
obat secara baik. Undang-undang RI No.35 tahun 2009 tentang narkotika yang marak disalah
gunakan. Peraturan MENKES RI No.HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tentang kewajiban
menggunakan obat generic difasilitas pelayanan kesehatan pemerintah (14 Januari 2010)
merupakan dasar hukum penggunaan obat generic pada fasilitas pelayanan kesehatan
pemerintah.

b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1963 Tentang Farmasi.


 Pasal 1.
Maksud dan tujuan undang-undang ini ialah menetapkan ketentuan-ketentuan dasar
dibidang farmasi dalam rangka pelaksanaan undang-undang tentang pokok-pokok
Kesehatan.

4
 Pasal 2.
Yang dimaksud dengan undang-undang ini dengan perbekalan kesehatan dibidang
farmasi,adalah perbekalan yang meliputi obat, obat asli Indonesia. Bahan obat asli
Indonesia, alat kesehatan, kosmetik dan sebagainya.

 Pasal 3
Usaha-usaha untuk keperluan rakyat akan perbekalan kesehatan dibidang farmasi, adalah
sebagai berikut :
Usaha-usaha dalam bidang produksi,yang meliputi : penggalian kekayaan alam.
Penamaan tumbuh-tumbuhan,pemeliharaan dan pengembangan binatang yang berguna
untuk farmasi, pembuatan obat-obat syntetis, pembuatan obat-obat jadi, pembuatan alat-
alat kesehatan dan alat-alat yang berhubungan dengan kesehatan, termasuk alat-alat
untuk laboratorium dan alat-alat untuk pembuatan obat-obat dan lain-lain.
 Usaha-usaha dalam bidang industry yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta yang
meliputi : alat-alat distribusi, apotek-apotek, rumah obat, took penyalur obat dan lain-
lain.
 Membentuk dan menggunakan Dewan Farmasi
 Usaha-usaha pengawasan oleh pemerintah, pusat maupun daerah.

 Pasal 4
Menteri Kesehatan menetapkan peraturan-peraturan mengenai penyelidikan dan
pengawasan konsumsi dibidang farmasi, pekerjaan kefarmasian dan hal-hal lain yang
dianggap perlu.

 Pasal 5
Untuk kepentingan rakyat, pemerintah berusaha agar tercapai harga obat dan alat
kesehatan serendah-rendahnya.

5
 Pasal 7
Pemerintah memberi bimbingan dalam pengawasan terhadap usaha-usaha yang
mempergunakan obat asli Indonesia.

 Pasal 8
Menteri Kesehatan mengusahakan :
 Penyelidikan baik tentang cara membuat dan menggunakan maupun tentang
khasiat obat-obat asli Indonesia.
 Standardisasi dalam pemakaian obat-obat asli Indonesia.

 Pasal 9
Sesuai dengan pasal 14 ayat (1),(2),dan (5) Undang-undang Pokok Kesehatan, badan-
badan swasta diberi kesempatan melakukan usaha-usaha dilapangan farmasi, terutama
dibidang produksi.

 Pasal 10
Untuk melakukan usaha swasta yang dimaksud dalam pasal 9, badan-badan swasta harus
mendapat izin dari Menteri Kesehatan.

 Pasal 11
Peraturan perundang-undangan atau ketentuan-ketentuan dibidang farmasi yang
bertentangan dengan undang-undang ini, tidak berlaku lagi sejak diundangkannya
undang-undang farmasi ini.

c. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian

 Pasal 1, ayat :
(3) Tenaga kefarmasian adalah tenga yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri dari
apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian.

6
(4) Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada
pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dan bermaksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien.

(5) Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker, dan telah mengucapkan
sumpah jabatan Apoteker.

(11) Fasilitas pelayanan kefarmasian adalah sarana yang digunakan untuk menyelenggarakan
pelayanan kefarmasian yaitu apotik, instalasi farmasi rumah sakit, Puskesmas Klinik, took obat,
atau praktek bersama.

(13) Apotik adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh
apoteker.

(15) Standar profesi adalah pedoman untuk menjalankan praktek profesi secara baik.

(16) Standar prosedur operasional adalah prosedur tertulis berupa petunjuk operasional tentang
pekerjaan kefarmasian

(17) Standar kefarmasian adalah pedoman untuk melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas
produksiv, ditribusi, atau penyaluran dan pelayanan kefarmasian.

(20) Surat Tanda Registrasi Apoteker, selanjutnya disingkat, STRA bukti tertulis yang diberikan
oleh menteri kepada Apoteker yang sudah di registrasi.

(22) Surat Izin Praktek Apoteker selanjutnya di singkat SIPA adalah surat izin yang diberikan
kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada apotik atau instalasi
rumah sakit.

7
BAB III
PELANGGARAN APOTEK DAN SANKSI

a. Pelanggaran Apotek
Berdasarkan berat dan ringannya pelanggaran, maka pelanggaran di apotek dapat dikategorikan
dalam dua macam, yaitu :

1. Kegiatan yang termasuk pelanggaran berat di apotek meliputi :


a. Melakukan kegiatan tanpa ada apoteker atau tenaga teknis farmasi.
b. Terlibat dalam penyaluran atau penyimpanan obat palsu atau gelap.
c. Pindah alamat apotek tanpa izin.
d. Menjual narkotika tanpa resep dokter.
e. Kerja sama dengan PBF dalam menyalurkan obat kepada pihak yang tidak berhak dalam
jumlah besar.
f. Tidak menunjuk apoteker pendamping atau apoteker pengganti pada waktu APA keluar
daerah.

2. Yang termasuk pelanggaran ringan apotek meliputi :


a. Tidak menunjuk Apoteker pendamping pada waktu APA tidak bisa hadir pada jam buka
apotek (apotek yang buka 24 jam).
b. Mengubah denah apotek tanpa izin.
c. Menjual obat daftar G kepada yang tidak berhak.
d. Melayani resep yang tidak jelas dokternya.
e. Menyimpan obat rusak, tidak mempunyai penandaan atau belum dimusnahkan.
f. Obat dalam kartu stok tidak sesuai dengan jumlah yang ada.
g. Salinan resep yang tidak ditandatangani oleh apoteker
h. Melayani salinan resep narkotika dari apotek lain.
i. Lemari narkotika tidak memenuhi syarat.
j. Resep narkotika tidak dipisahkan.
k. Buku narkotika tidak diisi atau tidak dapat dilihat atau diperiksa.

8
b. Sanksi Apotek
Setiap pelanggaran apotek terhadap ketentuan yang berlaku dapat dikenakan sanksi, baik
sanksi administrative maupun sanksi pidana. Sanksi administrative yang diberikan menurut
keputusan.
Menteri Kesehatan RI No.1332/MENKES/SK/X/2002 dan Permenkes
No.922/MENKES/PER/X/1993 adalah :
a.Peringatan secara tertulis kepada APA secara 3 kali berturut-turut dengan tenggang
waktu masing-masing 2 bulan.
b. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama-lamanya 6 bulan sejak
dikeluarkannya penetapan pembekuan izin apotek. Keputusan pencabutan SIA
disampaikan langsung oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan
kepada Menteri Kesehatan dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi setempat. Pembekuan
izin apotek tersebut dapat dicairkan kembali apabila apotek tersebut dapat membuktikan
bahwa seluruh persyaratan yang ditentukan dalam keputusan Menteri Kesehatan RI dan
Permenkes tersebut telah dipenuhi.
Sanksi Pidana berupa denda maupun hukuman penjara diberikan bila terdapat pelanggaran
terhadap :
a.Undang-undang obat keras (ST.1937 No.541).
b. Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
c.Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
d. Undang-Undang No.5 tahun 1997 tentang Psikotropika
.

9
BAB IV
PELAYANAN APOTEKER
a. Kasus Apoteker
1. Bagaimana perlindungan hukum bagi pasien apabila terjadi kelalaian yang dilakukan
Apoteker dan bagaiman upaya hukum yang dapat ditempuh pasien apabila terjadi Kerugian
?
Jawab :
Apoteker dapat mendirikan apotek dengan modal sendiri dan atau modal dari pemilik
modal baik perorangan maupun perusahaan. Ini menunjukkan bahwa apoteker bertindak juga
sebaagai pelaku usaha dan pasien bertindak sebagai konsumen, yakni pemakai jasa layanan
kesehatan. Sebagai pelaku usaha, apoteker salah satunya dilarang tidak memenuhi atau tidak
sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan perundang-undangan. Jika pelaku
usaha melanggar kewajiban standar ini, maka ia dapat dipidana maupun diberikan sanksi etik.
Pasien yang dirugikan dapat melaporkan apoteker yang bersangkutan kepada pihak
berwajib untuk diproses secara pidana atau melakukan gugatan kepada Bada Penyelesaian
Sengketa Konsumen, yakni badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara
pelaku dan usaha konsumen.

b. Standar Pelayanan Kefarmasian


Prinsipnya, dalam menjalankan praktek kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian, apoteker harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian. Di samping itu,
penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh apoteker.
Standar pelayanan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (Permenkes 35/2014).
Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi
tenaga kefarmasian dalam menyelenggara pelayanan kefarmasian.
(Firmansyah,Muhammad.,2009).

10
Menurut Permenkes 35/2014 ini, Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi 2 (dua)
kegiatan, yaitu:
1. Kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan
dan Bahan Medis Habis Pakai.
2. Pelayanan Farmasi Klinik.

c. Apoteker sebagai Pelaku Usaha


Apoteker dapat mendirikan apotek dengan modal sendiri dan atau modal dari pemilik
modal sendiri dan atau modal dari pemilik modal baik perorangan maupun perusahaan. Ini
menunjukkan bahwa apoteker bertindak juga sebagai pelaku usaha dan pasien bertindak sebagai
konsumen, yakni pemakai jasa layanan kesehatan. Oleh karena itu, hubungan yang terjadi di
antara keduanya adalah hubungan pelaku usaha dan konsumen yang dilindungi oleh Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen).
(Siahaan.N.H.T.,2005).

d. Standar Pelayanan Kefarmasian Terkait Pemberian Obat oleh Apoteker.


Standar yang dipersyaratkan ini menjadi tolak ukur untuk melihat kelalaian apoteker dalam
memberikan obat. Secara umum, standar-standar pelayanan kefarmasian itu antara lain adalah :
1. Peran apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku
agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut
antara lain adalah pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien yang
membutuhkan.
2. Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan
Pengobatan (medication eror) dalam proses pelayanan dan mengidentifikasi, mencegah,
Serta mengatasi masalah terkait obat (drug related problems), masalah farmakoekonomi
,dan farmasi social (sociopharmacoeconomy).
Sedangkan secara khusus, terkait pemberian obat, standar pelayanan kefarmasian atau yang
khususnya dikenal sebagai Pelayanan Kefarmasian atau yang khususnya dikenal sebagai
pelayanan farmasi klinik yang wajib dipatuhi oleh apoteker :

11
1. Pengkajian Resep :
Meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik dan pertimbangan klinis.
2. Dispensing :
Terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pembrian informasi obat.
3. Pelayanan Informasi Obat (PIO).
4. Konseling.
5. Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy Care).
6. Pemantauan Terapi Obat (PTO), dan
7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO).

e. Langkah Hukum Jika Pasien Dirugikan atas Apoteker Yang Lalai


Pasien yang dirugikan dapat melaporkan apoteker yang bersangkutan kepada pihak
berwajib untuk di proses secara pidana atau melakukan gugatan kepada badan penyelesaian
sengketa antara pelaku usaha dan konsumen :
Tugas dan wewenang BPSK ini adalah :
1. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara konsilia
si, mediasi atau arbitrase.
2. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dri konsumen tentang
terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.

12
BAB V
HAK DAN KEWAJIBAN APOTEKER

a. Pengertian Apoteker
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1027/Menkes/SK/IX/2004, Apoteker
adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah lulus pendidikan profesi dan
telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundang- apoteker. Apoteker pengelola
apotek (APA) adalah apoteker yang telah diberi surat izin apotek (SIA). Izin apotek berlaku
seterusnya selama apoteker pengelola apotek yang bersangkutan masih aktif melakukan kegiatan
sebagai seorang apoteker. Apoteker pengelola apotek harus memenuhi persyaratan yang sudah
ditentukan :
1. Ijazah apoteker telah terdaftar di Departemen Kesehatan.
2. Telah mengucapkan sumpah/janji sebagai apoteker.
3. Memiliki Surat Izin Kerja dari Menteri Kesehatan (SIK).
4. Sehat fisik dan mental untuk melaksanakan tugas sebagai apoteker.
5. Tidak bekerja di perusahaan farmasi atau apotek lain.
Dalam pengelola apotek, apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan menyediakan
dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, kemampuan
berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan, kemampuan mengelola
sumber daya manusia secara efektif, selalu sabar sepanjang karir, dan membantu member
pendidikan dan member peluang untuk meningkatkan pengetahuan. (Soekamto,Soerjono.,1990).

b. Hak Apoteker
Hak-hak apoteker sebagai pelaku usaha pelayanan kefarmasian diatur dalam pasal 6 Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :
1. Mendaptkan perlindungan hokum dari tindakan konsumen yang beriktikad tidak baik.
2. Melakukan pembelaan diri yang sepatutnya di dalam penyelesaian hokum sengketa
konsumen.
3. Rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen
tidak diakibatkan oleh barang dan atau jasa yang diperdagangkan.

13
c. Kewajiban Apoteker
Kewajiban-kewajiban apoteker sebagai pelaku usaha pelayanan kefarmasian diatur dalam
pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :
1. Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
3. Memperakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur secara diskriminatif.
4. Menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan atau jasa yang berlaku.
5. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan mencoba barang dan atau
jasa tertentu serta memberikan jaminan atas barang yang dibuat dan atau jasa yang
diperdagangkan
6. Memberikan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian,dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang diperdagangkan,
selain itu, sebagai pelayanan kefarmasian kewajiban apoteker juga diatur dalam pasal 15.

14
BAB VI
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEKERJAAN FARMASI

a. Pasal 1

Dalam peraturan pemerintahan ini yang dimaksud dengan:

1.Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan,


penyimpanan, dan distribusi atau penyalurahan obat, pengelolaan obat,pelayanan obat
atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan
obat tradisional.
2.Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika.
3.Tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang terdir
atas: Apoteker,dan tenaga teknis kefarmasian.
4.Pelayanan kefarmasian suatu pelayanan langsung dan bertanggu jawab kepada pasien yang
bekaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkat mutu kehidupan pasien.
5.Apoteker adalah sarjana farmasi yang telat lulus sebagai apoteker yang telah mengucapkan
sumpah jabatan apoteker.
6.Tenaga teknis kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani
sebagai pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas sarjana farmasi,ahli madiya
farmasi,analisis farmasi, dan tenaga ahli farmasi/asisten apoteker.
7.Pasilitas kesehatan adalah sarana yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayan
kesehatan.
8.Fasilitan kefarmasi adalah sarana yang digunankan untuk melakukan pekerjaan
kefarmasian.
9.Fasilitas produksi farmasi adalah sarana yang digunakan untuk memprodukdi obat, bahan
baku obat, obat tradisional dan kosmetika.

15
10. Fasilitas distribusi atau penyaluran sediaan farmasi adalah sarana yang digunakan untuk
mendistribusikan atau menyalurkan sediaan farmasi, yaitu pedangan besar farmasi dan
instalasi sediaan farmasi, yaitu pedagang farmasi dan instalasi sediaan farmasi.
11.Fasilitas pelayanan kefarmasian adalah saranan yang digunakan untuk menyelenggarakan
pelayanan kefarmasian, yaitu Apotek,instalasi farmasi rumah sakit, pukesmas, klinik, toko
obat, atau praktek bersama.
12.Pedagang besar farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin
untuk pengadaan,penyimpanan, penyaluran perbekalan farmasi dan dalam jumlah besar
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
13.Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh
apoteker.
14.Toko obat adalah sarana yang memiliki izin untuk menyimpan obat-obat bebas dan obat
bebas terbatas untuk dijual secara eceran.
15.Standar profesi adalah pedoman untuk menjalankan praktek profesi kerfarmasian secara
baik.
16.Standar prosedur operasional adalah prosedur tertulis berupa petunjuk operasional tentang
pekerjaan kefarmasian.
17.Standar kefarmasian adalah pedoman untuk melakukan pekerjaan kefarmasian pda fasilitas
produksi, distribusi atau penyaluran, dan pelayanan kefarmasian.
18.Asosiasi adalah perhimpunan dari perguruan tinggifarmasi yang ada diindonesia.
19.Organisasi profesi adalah organisasi tempat berhimpun para apoteker diindonesia.
20.Surat Tanda Registrasi Apoteker selanjutnya disingkat STRA adalah bukti tertulis yang
diberikan oleh menteri kepada apoteker yang telah diregistrasi.
21.Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian selanjutnya disingkat STRTTK adalah
bukti tertulis yang diberikan oleh menteri kepada Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah
di registrasi.
22. Surat Izin Praktik Apoteker selanjutnya disingkat SIPA adalah surat izin yang diberikan
kepada apoteker untuk dapat melaksanakan perkejaan kefarmasian pada Apotek atau
instalasi farmasi rumah sakit.

16
b. Pasal 2 :
1. produksi,distribusi atau penyaluran, dan pelayanan sediaan farmasi.
2. Pekerjaan kefarmasian sebagai mana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.

c.Pasal 3 :
Pekerjaan kefarmasian dilakukan berdasarkan pada nila ilmiah, keadilan, kemanusiaan,
keseimbangan, dan perlindungan serta keselamatan pasien atau masyarakat yang berkaitan
dengan sediaan farmasi yang memenuhi standart dan persyaratan keamanan,mutu dan
kemanfaatan.

d. Pasal 4 :
Tujuan pengaturan pekerjaan kefarmasian untuk:
1. Memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam memperoleh dan atau
menetapkan sediaan farmasi dan jasa kefarmasian.
2. Mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta peraturan perundang-
undangan, dan
3. Memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan tenaga kefarmasian.

e. Pasal 5 :
Pelaksanaan pekerjaan kefarmasian meliputi:
1. Pekerjaan kefarmasian dalam pengadaan sediaan farmasi.
2. Pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi.
3. Pekerjaan kefarmasian dalam distribusi atau penyaluran sediaan farmasi, dan
4. Pekerjaan kefaramasian dalam pelayanan sediaan farmasi.

17
BAB VII
ETIKA KESEHATAN

a. Pengertian Etika
Berasal dari bahasa Inggris yaitu ethics adalah istilah yang muncul dari Aristoteles. Asal dari
kata ethos yaitu adat, budi pekerti.
Etika pada umumnya adalah setiap manusia mempunyai hak kewajiban untuk menentukan
sendiri tindakan-tindakannya dan mempertanggung jawabkannya di hadapan tuhan.

b. Jenis-Jenis Etika
1. Etika Umum
Etika Umum adalah membicarakan mengenai kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia
bertindak secara etis, teori-teori etika prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi
manusia dalam bertindak, serta tolak ukur menilai baik atau buruk.
2. Etika Khusus
Etika Khusus adalah penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang
khusus, etika khusus dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
1.Etika Individual, menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap diri sendiri.
2.Etika Social mengenai kewajiban sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota
masyarakat.

c.HAM dalam Kesehatan


1. Hak Asasi Manusia Di Indonesia.
HAM (Hak Asasi Manusia) adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal
dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun.
Dasar Hukum HAM :
UU No 39 tahun 1999 Hak Asasi Manusia.
UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

2. Hak yang paling dasar meliputi :

18
Hak Hidup.
Hak kemerdekaan atau kebebasan.
Hak memiliki sesuatu.

3.Pengelompokan Hak-hak dasar meliputi :


Hak sipil dan Politik.
Hak Hidup.
Hak persamaan dan kebebasan.
Kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat.
Kebebasan berkumpul.
Hak Beragama.
Hak ekonomi, social dan budaya.
Hak pelayanan kesehatan.
Hak memperoleh pendidikan.

4.Hak (UU No 36 thn 2009 Pasal 4-8)


Kesehatan
Akses atau sumber daya dibidang kesehatan.
Pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.
Menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.
Lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan.
Informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab.
Informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah
maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.

19
BAB VIII
KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA
a. Sejarah
Praktik kedokteran dalam pengertian luas pada hakikatnya adalah perwujudan idealisme
dan spirit pengabdian seorang dokter, sebagaimana yang diikrarkan dalam Sumpah Dokter dan
Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Dalam perkembangannya kemudian, seluruh aspek
kehidupan di dunia ini mengalami perubahan paradigma secara bermakna, termasuk dalam
profesi kedokteran, dengan akibat terjadi pula perubahan orientasi dan motivasi pengabdian
tersebut pada diri sebagian dokter. Sebagai dampak perubahan yang semakin global,
individualistik, materialistik, dan hedonistik tersebut, maka perilaku dan sikap tindak profesional
di sebagian kalangan dokter juga berubah.
Masyarakat kemudian juga semakin memandang negatif profesi kedokteran karena
melihat dan menyaksikan maraknya praktik-praktik kedokteran yang semakin jauh dari nilai-
nilai luhur Sumpah Dokter dan KODEKI. Masyarakat atau pasien merasa perlu "melindungi diri"
terhadap perilaku hedonistik dan unethical para dokter itu.
Kode etik kedoktran Indonesia pertama kali disusun tahun 1969 dalam Musyawarah
Kerja Susila Kedokteran yang dilaksanakan di Jakarta. Bahan rujukan yang digunakan adalah
Kode Etik Kedokteran Internasional yang telah disempurnakan pada tahun 1968 melalui
Muktamar ke-22 Ikatan Dokter Sedunia.
Seperti halnya dengan Kode Etik Internasional yang mengalami berbagai panyempurnaan, Kode
Etik Kedokteran Indonesia pun mengalami perubahan-perubahan, yaitu melalui Musyawarah
Kerja Nasional Etik Kedokteran ke-2 yang dilaksanakan di Jakarta, untuk kemudian pada tahun
1983 dinyatakan berlaku bagi semua dokter di Indonesia melalui surat keputusan
No.434/MENKES/SK/X/1983 tanggal 28 Oktober 1983. Pada Musyawarah Kerja Nasional IDI
XIII, 1993, Kode Etik Kedokteran Indonesia itu telah diubah menjadi 20 pasal.
Sebagai pedoman dalam perilaku, Kode Etik Kedokteran Indonesia mengandung beberapa
ketentuan yang semuanyan tertuang dalam kedua puluh pasalnya. Secara umum pasal-pasal
tersebut dapat dibedakan atas lima bagian, yaitu :

20
 Kewajiban umum seorang dokter
 Kewajiban dokter terhadap penderita

 Kewajiban dokter terhadap teman sejawat

 Kewajiban dokter terhadap diri sendiri

 Penutup

b. Definisi Kode Etik Kedokteran


Kode etik Kedokteran adalah suatu landaskan atas norma-norma etik dalam praktik
seorang dokter yang mengatur hubungan manusia umumnya dan dimiliki azas-azasnya dalam
falsafah masyarakat yang diterima dan dikembangkan terus. Khusus di Indonesia- azas itu adalah
Pancasila sebagai landasan idiil dan UndangUndang Dasar 1945 sebagai landasan struktural.
Dengan maksud untuk lebih nyata mewujudkan kesungguhan dan keluhuran ilmu
kedokteran, para dokter Indonesia, baik yang bergabung secara fungsional terikat dalam Ikatan
Dokter Indonesia, maupun secara fungsional terikat dalam organisasi di bidang pelayanan,
pendidikan dan penelitian kesehatan dan kedokteran, dengan rakhmat Tuhan Yang Maha Esa,
telah merumuskan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).

c. Fungsi dari Kode etik kedokteran ini adalah :


 Memberikan perlindungan kepada pasien

 Meningkatkan dan mempertahankan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter
dan dokter gigi

 Memberikan kepastian hokum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi.

d. Tujuan kode etik kedoteran :


 Agar seorang dokter dapat menaati dan mengamalkan petunjuk-petunjuk yang tertera
dalam kode etik kedokteran.

 Agar seorang dokter dan dokter gigi dapat bekerja dengan sepenuh hati dalam
memberikan pelayanan kesehatan.

21
 Menjungjung tinggi norma luhur dalam menjalankan pekerjaan maupun kehidupan
pribadinya.

21
e. Prinsip Etika Kedokteran
Prinsip adlah berpihak pada pasien, artinya dalam mengambil tindakan seorang dokter
harus mempertimbangkan manfaat dan resiko yang sekecil mungkin, termasuk resiko biaya.
Prinsip etika Kedokteran tersebut meliputi :
 Autonomy, yaitu prinsip moral dokter untuk selalu menghargai dan menghormati hak
otonomi pasien, terutama dalam hal hak untuk memperoleh informasi yang jujur dan
benar serta hak untuk melakukan apa-apa yang boleh dilakukan terhadap dirinya.
 Beneficience, yaitu melakukan tindakan untuk kebaikan pasien

 Non-Malefience, yaitu prinsip moral yang selalu berorientasi kepada kebaikan pasien dan
tidak melakukan tindakan yang memperburuk keadaan pasien.

 Justice, yaitu sikap keadilan dan tidak diskriminatif

 Altruisme, yaitu pengabdian profesi dokter sebagai profesi seumur hidup dan aplikasinya
untuk masyarakat.

22
BAB IX
PELANGGARAN ETIKA KEDOKTERAN

a. Pelanggaran Etika Murni


 Menarik Imbalan yang tidak wajar atau menarik imbalan jasa dari keluarga
sejawat dokter dan dokter gigi.

Dalam melakukan pekerjaannya, seorangdokter tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan


keuntungan pribadi. Seorang dokter dapat menerima imbalan jasanya, jika diberikan dengan
keikhlasan, sepengetahuan atau atas kehendak penderita.
 Mengambil alih pasien tanpa persetujuan sejawatnya.

Seorang dokter yang baik tidak menyalahkan sejawatnya di depan pasiennya (walaupun itu
benar), tetapi secara bijaksana membahas kasusnya dengan sejawatnya dan sebaliknya
mengembalikan pasien sejawatnya yang pertama kali dikunjungi pasien tersebut.
 Memuji diri sendiri di depan pasien.

Pada dasanrnya dokter sama sekali tidak boleh melibatkan diri dalam berbagai kegiatan promosi,
karena promosi tersebut terkait dengan kepentingan-kepentingan yang sering kali bertentangan
atau tidak menunjang tugas mulia seorang dokter. Perbuatan dokter sebagai pemeran langsung
atau iklan promosi komoditi yang dimuat media masa atau elektronik merupakan perbuatan
tercela, karena tidak dapat disingkirkan penafsiran adanya suatu niat lain untuk memuji diri
sendiri. Walaupun hal itu dilakuakn dalam wahana ilmiah kedokteran, dianggap juga sebagai
perbuatan tercela, apalagi jika tidak berlandaskan pengetahuan kedokteran tertinggi dalam
bidangnya, sehingga tidak diyakini sebagai produk yang layak diberikan kepada pasien, sehingga
untuk dirinya sendiri maupun kepada sanak keluarganya bila mengalami hal yang sama.
 Tidak pernah mengikuti pendidikan kedokteran berkesinambungan.
 Dokter mengabaikan kesehatan dirinya

23
b. Hukum Yang Terkait Dengan Kode Etik Kedokteran
Sumber dan dasar hukum kewajiban dokter pasien adalah :
1. Dunia Kesehatan
Sumpah Hippocrates (460-377 S.M.)
2. Internasional
 Deklarasi Jenewa/ World Medical Association (WMA) (1948)..
 Declaration of Human Rights PBB.
 International Code of Medical Ethics/ WMA (1949).
 Konstitusi WHO (Jenewa, 1976).
 Deklarasi Helsinki dari WMA.

c. Declaration of Human Rights (PBB)


 Hak merdeka dan hak yang sama.
 Dihormati sebagai manusia dimanapun.
 Tidak boleh diperlakukan kejam.
 Sama di depan hokum.
 Berhak atas pendidikan, pekerjaan dan jaminan sosial.
 Hak memberikan pendapat.
 Hak mendapatkan pelayanan dan perawatan kesehatan diri sendiri dan keluarga.

24
BAB X
KODE ETIK FARMASI

a. Fungsi :
Sebagai pengembangan dan perlindungan bagi profesi kefarmasian.

b. Kode etik kefarmasian dibagi menjadi 3 bagian utama, yaitu :


1. Kewajiban terhadap masyarakat dalam melakukan pekerjaan kefarmasian.
2. Kewajiban terhadapa teman sejawat.
3. Kewajiban terhadap rekan kesehatan lainnya.b

 Kewajiban Umum

Pasal 1
Seorang Apoteker harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah / Janji
Apoteker.

Pasal 2
Seorang Apoteker harus berusaha dengan sungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan
Kode Etik Apoteker Indonesia.

Pasal 3
Seorang Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi Apoteker
Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam
melaksanakan kewajibannya.

Pasal 4
Seorang Apoteker harus selalu aktif mengikuti perkembangan di bidang kesehatan pada
umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya.

25
Pasal 5
Di dalam menjalankan tugasnya Seorang Apoteker harus menjauhkan diri dari usaha mencari
keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan
kefarmasian.

Pasal 6
Seorang Apoteker harus berbudi luhur dan menjadi contoh yang baik bagi orang lain.

Pasal 7
Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya.

Pasal 8
Seorang Apoteker harus aktif mengikuti perkembangan peraturan perundang-undangan di
bidang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya.

26
BAB XI
KODE ETIK PROFESI
a. Definisi Kode Etik
Kode; yaitu tanda-tanda atau simbol-simbol yang berupa kata-kata, tulisan atau benda yang
disepakati untuk maksud-maksud tertentu, misalnya untuk menjamin suatu berita, keputusan atau
suatu kesepakatan suatu organisasi. Kode juga dapat berarti kumpulan peraturan yang sistematis.
Kode etik; yaitu norma atau azas yang diterima oleh suatu kelompok tertentu sebagai
landasan tingkah laku sehari-hari di masyarakat maupun di tempat kerja. Kode etik: susunan
moral yang normatif yang disebut etika/susila yang dirumuskan.

b. Perkembangan Kode Etik


 Masyarakat primer
 bila terjadi pelanggaran moral.
 penyelesaian relatif lebih mudah.
 Masyarakat sekunder berkembang.
 masalah moral lebih kompleks.
 penyelesaian lebih sulit.
 menyadari pentingnya pembagian kerja dan upaya spesialisasi agar semakin terampil dan
bermutu untuk pelayanan yang lebih baik bagi peningkatan kesejahteraan hidup bersama.
 Ada sebagian ahli ( spesialis) yang bekerja tidak profesional ( amatir).
 Garis batas demarkasi antara seorang yang profesional dengan yang tidak profesional
menjadi tidak jelas norma moral bagi pekerjaan profesi terancam.
 Ancaman bagi pekerjaan profesi perlu diatasi dengan menyusun norma moral yang
mudah dan jelas bagi anggota kelompok spesialis seprofesi membedakan mana yang
profesional dan mana yang tidak professional.
 Susunan moral yang normatif disebut etika/susiladirumuskan tertuliskode etik
profesi.

27
c. Tujuan Kode Etik Profesi
1. Untuk menjunjung tinggi martabat profesi.
2. Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota.
3. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi.
4. Untuk meningkatkan mutu profesi.
5. Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi.
6. Meningkatkan layanan di atas keuntungan pribadi.
7. Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
8. Menentukan baku standarnya sendiri.

28
BAB XII
PENYEBAB,SANKSI dan PRAKTIK PELAKSANAAN KODE ETIK

a) Penyebab Pelanggaran Kode Etik.


1. Apoteker tidak faham/tidak mengetahui kode etik.
Misal: melaporkan teman sejawat sehingga mencoreng nama profesi, mengadu domba organisasi.
2. Persaingan kerja.
Misal: ingin mendapatkan status, sehingga menerima gaji tidak sesuai standar.
 Tugas apoteker di PBF:
1. Pengawasan penyimpanan obat, quality control.
2. Pengaturan FEFO dan FIFO.
3. Pelayanan, memahami kriteria dari masing-masing obat.
4. Pemusnahan obat
 Tugas apoteker di industri farmasi, antara lain:
1. Pembuatan obat yang baik dan benar.
2. Pengawasan pembuatan obat.

b) Sanksi Pelanggaran Kode Etik


 Sanksi moral.
 Sanksi dikeluarkan dari organisasi.
Kasus-kasus pelanggaran kode etik akan ditindak dan dinilai oleh suatu dewan kehormatan
atau komisi yang dibentuk khusus untuk itu. Karena tujuannya adalah mencegah terjadinya perilaku
yang tidak etis, seringkali kode etik juga berisikan ketentuan-ketentuan profesional, seperti
kewajiban melapor jika ketahuan teman sejawat melanggar kode etik. Ketentuan itu merupakan
akibat logis dari self regulation yang terwujud dalam kode etik; seperti kode ituberasal dari niat
profesi mengatur dirinya sendiri, demikian juga diharapkan.
kesediaan profesi untuk menjalankan kontrol terhadap pelanggar. Namun demikian, dalam
praktek sehari-hari control ini tidak berjalan dengan mulus karena rasa solidaritas tertanam kuat
dalam anggota-anggota profesi, seorang profesional mudah merasa segan melaporkan teman
sejawat yang melakukan pelanggaran.
.

29
Tetapi dengan perilaku semacam itu solidaritas antar kolega ditempatkan di atas kode etik
profesi dan dengan demikian maka kode etik profesi itu tidak tercapai, karena tujuan yang
sebenarnya adalah menempatkan etika profesi di atas pertimbangan-pertimbangan lain. Lebih lanjut
masing-masing pelaksana profesi harus memahami betul tujuan kode etik profesi baru kemudian
dapat melaksanakannya.
Kode Etik Profesi merupakan bagian dari etika profesi. Kode etik profesi merupakan
lanjutan dari norma-norma yang lebih umum yang telah dibahas dan dirumuskan dalam etika
profesi. Kode etik ini lebih memperjelas, mempertegas dan merinci norma-norma ke bentuk yang
lebih sempurna walaupun sebenarnya norma-norma tersebut sudah tersirat dalam etika profesi.
Dengan demikian kode etik profesi adalah sistem norma atau aturan yang ditulis secara jelas dan
tegas serta terperinci tentang apa yang baik dan tidak baik, apa yang benar dan apa yang salah dan
perbuatan apa yang dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh seorang profesional.

c. Praktik Pelaksanaan “Kode Etik”


a.Kewajiban Umum.
1. Sumpah apoteker.
2. Kode etik.
3. Menjalankan sesuai standar kompetensi.
4. Aktif mengikuti perkembangan dibidang kesehatan dan farmasi.
b. Di dalam melaksanakan praktik, apoteker menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan
semata bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur kefarmasian.
c. Apoteker harus berbudi luhur dan menjadi contoh baik bagi orang lain.
d. Tidak ada praktik kefarmasian dengan prinsip ekonomi (melalui usaha sekecil-kecilnya
namun mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya). Tetapi yang terpenting patient
safety dengan terapi yang rasionala dengan harga terjangkau.
e. Apoteker menjadi sumber informasi.

30
BAB XIII
SANKSI SANKSI PELANGGARAN ETIKA PROFESI APOTEKER

a) Pelanggaran Etika Profesi Apoteker

Dalam melakukan tugas dan fungsinya, apotek mengenal beberapa istilah pelanggaran dalam
melakukankegiatannya.Jenis pelanggaran apotek dapat dikategorikan dalam dua macam,
berdasarkan berat dan ringannya pelanggaran tersebut.
 Kegiatan yang termasuk pelanggaran berat apotek meliputi :
a. Melakukan kegiatan tanpa ada tenaga teknis farmasi. Kegaiatan ini menurut perundangan
yang berlaku tidak boleh terjadi dan dilakukan. Karena komoditi dari sebuah apotek, salah
satunya adalah obat, dimana obat ini dalam peredarannya di atur dalam perundangan yang
berlaku.
b. Terlibat dalam penyaluran atau penyimpangan obat palsu atau gelap. Peredaran gelap yang
dimaksud adalahgolongan obat dari Narkotika dan Psikotropika.
c. Pindah alamat apotek tanpa izin. Dalam pengajuan untuk mendapatkan izin apotek, telah
dicantumkan denah danlokasi apotek.
d. Menjual narkotika tanpa resep dokter. Ini adalah pelanggaran yang jarang terjadi. Para
tenaga teknis farmasi diapotek, biasanya sudah mengetahui apa yang harus mereka perbuat,
ketika mengahadapi resep dengan komposisisalah satunya obat narkotika.
e. Kerjasama dengan Pedagang Besar Farmasi (PBF) dalam menyalurkan obat kepada pihak
yang tidak berhak dalam jumlah besar. Selain dari merusak pasar, kegaiatan seperti ini akan
mengacaukan sistem peredaran obat baik di apotek, distrbutor, maupun pabrik. Akibat yang
mungkin ditimbulkan adalah kesulitan konsumen untuk memilihobat mana yang baik dan
benar karena banyaknya obat yang beredar.
f. Tidak menunjuk Apoteker Pendamping atau Apoteker Pengganti pada waktu Apoteker
Pengelelola Apotek (APA)keluar daerah.
g. Kegiatan yang termasuk pelanggaran ringan apotek meliputi :
h. a. Tidak menunjuk Apoteker Pendamping pada waktu Apoteker Pengelelola Apotek (APA)
tidak bisa hadir pada jam buka apotek.

32
i. Mengubah denah apotek tanpa izin. Tidak ada pemberitahuan kepada suku dinas kesehatan
setempat.
j. Menjual obat daftar G kepada yang tidak berhak. Obat dengan daftar G yang dimaksud
adalah daftar obat keras.Lihat selengkapnya penggolongan obat menurut undang-undang
yang berlaku di Indonesia disini.
k. Melayani resep yang tidak jelas dokternya. Nama, Surat Izin Kerja (SIK) dan alamat
praktek dokter yang tidak terlihat jelas di bagian kepala resep. Jika resep semacam ini
dilayani, maka ini termasuk suatu tindakan pelanggaran.
l. Menyimpan obat rusak, tidak mempunyai penandaan atau belum dimusnahkan. Termasuk
obat yang dikategorikan expired date atau daluarsa. Obat-obatan diatas tidak berhak sebuah
apotek menyimpan danmendistribusikannya ke pasien.
m. Obat dalam kartu stok tidak sesuai dengan jumlah yang ada. Pelanggaran administratif ini
sering kali terjadi disebuah apotek dengan sistim manual. Sistim komputerisasi adalah solusi
terbaik untuk mengatisipasi hal ini.
n. Salinan resep yang tidak ditandatangani oleh Apoteker. Sebagai penanggung jawab teknis,
apoteker wajibmenandatangani salinan resep dari resep asli, untuk dapat memonitor sejauh
mana pemakaian dan obat apa saja yangdimasukkan dalam salinan resep.
o. Melayani salinan resep narkotika dari apotek lain. Dalam peraturan narkotika, resep yang
berasal dari apotek laindengan permintaan sejumlah obat narkotika kepada apotek yang kita
pimpin adalah boleh dilakukan. Syarat yangharus dipenuhinya adalah berupa surat
keterangan dari apoteker pengelola apotek tersebut bahwa akanmempergunakan obat
narkotika untuk keperluan stok dan resep serta sifatnya adalah cito atau butuh cepat.

b) Sanksi administratif yang diberikan menurut keputusan MenteriKesehatan RI No.


1332/ MENKES/ SK/ X/ 2002 dan Permenkes No. 922/ MENKES/ PER/ X/ 1993 adalah :

 Peringatan secara tertulis kepada APA secara tiga kali berturut-turut dengan tenggang
waktu masing- masing dua bulan.

32
 Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama lamanya enam bulan sejak
dikeluarkannya penetapan pembekuan izin apotek. Keputusan pencabutan SIA disampaikan
langsung oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupatenatau Kota dengan tembusan kepada
Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Menteri Kesehatan RI di Jakarta.
 Pembekuan izin apotek tersebut dapat dicairkan kembali apabila apotek tersebut dapat
membuktikan bahwaseluruh persyaratan yang ditentukan dalam keputusan Menteri
Kesehatan RI dan Permenkes tersebut telah dipenuhi.

c) Sanksi pidana berupa denda maupun hukuman penjara diberikan bila terdapat
pelanggaran terhadap :
a. Undang- Undang Obat Keras (St. 1937 No. 541).
b. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
c. Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

33
BAB XIV
SANKSI PIDANA BIDANG KESEHATAN SESUAI UU NO. 36 TAHUN 2009
TENTANG KESEHATAN

Secara umum sebagian besar sudah tercakup dalam peraturan tersebut, namun untuk sanksi
berkaitan dengan tindakan pidana yang dilakukan oleh tenaga kesehatan belum tercakup, walaupun
sebagian sudah diatur dalam Kitab Undang – undang Hukum Pidana. Bisa juga, akan diatur lebih
detail dalam Undang – undang tentang Tenaga Kesehatan sebagaimana amanah dari undang –
undang ini. Berikut secara detail pasal – pasal yang menyangkut sanksi pidana yang terdapat pada
Bab XX tentang Ketentuan Pidana mulai pasal 190 s/d pasal 201 :

a) Pasal 190
(1). Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau
pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan
pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2). Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan
atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

b) Pasal 191
Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan tradisional yang
menggunakan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) sehingga
mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)

33
c) Pasal 192
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih
apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

d) Pasal 193
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastik dan rekonstruksi untuk tujuan
mengubah identitas seseorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 diancam dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).

e) Pasal 194
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

33
BAB XV
PENUTUP

33
DAFTAR PUSTAKA

33

Anda mungkin juga menyukai