Pembimbing :
dr. Lopo Triyanto, SpB Onk (K)
Disusun oleh :
Nadila Nur Pratiwi G1A014111
Disusun oleh :
Nadila Nur Pratiwi G1A014111
Mengetahui,
Pembimbing
Puji syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT atas berkat, rahmat, hidayah, dan inayah-Nya,
sehingga presentasi kasus dengan judul “EFUSI PLEURA ET CAUSA CA MAMMAE
SINISTRA” ini dapat diselesaikan. Presentasi kasus ini merupakan salah satu tugas di SMF Ilmu
Bedah. Oleh karena itu penyusun mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan penulisan di masa
yang akan datang.
Tidak lupa penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. dr. Lopo Triyanto, SpB Onk (K) selaku dokter pembimbing
2. Dokter-dokter spesialis bedah di SMF Ilmu Bedah RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto
3. Orang tua serta keluarga penulis atas doa dan dukungan yang tidak pernah henti diberikan
kepada penulis
4. Rekan-rekan ko-assisten Bagian Ilmu Bedah atas semangat dan dorongan serta bantuannya.
Penulis menyadari presentasi kasus ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran
yang membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan demi kesempurnaannya. Demikian
yang dapat penulis sampaikan, semoga referat ini bermanfaat bagi semua pihak yang ada di dalam
maupun di luar lingkungan RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
A. Identitas Penderita
Nama : Ny. S
Umur : 44 tahun
No RM : 00724028
Status : Menikah
B. Anamnesis
Keluhan utama :
Sesak Nafas
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien mengeluhkan sesak nafas sejak 1 minggu yang lalu. Awalnya payudara kanan dan
kiri pasien terasa ada benjolan akhir Desember 2018. Kemudian pasien memeriksakan diri
ke dr. Lopo Triyanto, SpB Onk pada Januari 2019 dan disarankan untuk dioperasi, namun
pasien menolak. Pada bulan Februari 2019, benjolan kedua payudara semakin membesar dan
payudara kiri bernanah. Pasien kemudian dibawa ke IGD RSMS pada tanggal 10 Maret
2019.
Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat keluhan yang sama (-)
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat DM (-)
Riwayat penyakit keluarga :
Riwayat keluhan yang sama (-)
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat DM (-)
Riwayat sosial ekonomi :
Pasien tinggal bersama anaknya. Pasien merupakan ibu rumah tangga. Pasien memiliki
kebiasaan makan mie instan 1x sehari. Pasien jarang berolahraga.
C. Pemeriksaan Fisik
7) Pemeriksaan ekstremitas
Pemeriksaan Ekstremitas Ekstremitas
superior Inferior
Edema - + - -
Sianosis - - - -
Akral dingin - - - -
2) Pemeriksaan lokalis
Mammae dextra
Inspeksi :
Palpasi :
Konsistensi : keras
Massa Tumor : terletak di kuadran kiri atas dan bawah, konsistensi keras, batas tidak
tegas, nyeri -, jumlahnya 1 buah
Mammae sinistra
Inspeksi :
Bentuk : tampak luka terbuka bernanah ukuran 7x7 cm, kassa perban +
Palpasi :
Permukaan : basah +
Efusi pleura et causa Tumor mammae dextra sinistra post WSD kiri dan insisi biopsi tumor
mammae sinistra
F. Planning
Kanker Payudara
A. Definisi
B. Epidemiologi
Kanker payudara adalah salah satu kanker paling umum di Amerika Serikat lebih dari
160,000 wanita mengalami kanker ini setiap tahun, dan 40.000 perempuan meninggal setiap
tahun karena keganasan ini. Kira-kira 1 dari 9 wanita di Amerika Serikat akan menderita kanker
payudara, walaupun 1% kasus terjadi pada pria. Risiko meningkat dengan usia, dan meningkat
pesat saat menopouse. risiko besar. Terjadi pada wanita usia 60 tahun ke atas, dan memiliki
kesempatan 3-4% menderita kanker payudara selama 1 dekade kehidupan mereka. Lokasi yang
sering terkena kanker payudara adalah sebagai berikut.6
16
C. Faktor Risiko6,7
7. Obesitas
D. Kriteria Diagnostik8
1. Anamnesis
Keluhan Utama
Benjolan di payudara
Kecepatan tumbuh dengan/tanpa rasa sakit
Nipple discharge, retraksi puting susu, dan krusta
Kelainan kulit, dimpling, peau d’orange, ulserasi, venektasi
Benjolan ketiak dan edema lengan
Keluhan Tambahan
5. Pemeriksaan fisik
17
b. Status lokalis :
2)Massa tumor :
Lokasi
Ukuran
Konsistensi
Bentuk dan batas tumor
Terfiksasi atau tidak ke kulit, m.pectoral atau dinding dada
Perubahan kulit
Tertarik
Erosi
Krusta
Discharge
Kgb aksila: Jumlah, ukuran, konsistensi, terfiksir terhadap sesama atau jaringan sekitar
Kgb infraklavikula
Kgb supraklavikula
18
Keluhan
3. Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan kimia darah sesuai dengan perkiraan metastasis
Tumor marker: apabila hasil tinggi, perlu diulang untuk follow up
4. Pemeriksaan Radiologik/Imaging
5. Atas indikasi
Bone scanning (bilamana sitologi dan atau klinis sangat dicurigai ganas, pada lesi > 5 cm)
Computed Tommography (CT) scan
CT torak jika ada kecurigaan infiltrasi tumor ke dinding dada atau metastasis paru
CT abdomen jika klinis ada kecurigaan metastasis ke organ intraabdomen namun
tidak terdeteksi dengan USG abdomen.
Scintimamography jika ada kecurigaan residif atau residu
Pemeriksaan MRI untuk kasus dengan kecurigaan ca mammae intraduktal
PET CT Scan
6. Pemeriksaan Patologi
19
1. Potong beku (PB) , yang bertujuan :
o Menentukan diagnosis lesi, pada lesi berukuran > 1 cm - <5cm. Lesi kurang dari
1 sm tidak dianjurkan.
2. Sediaan parafin rutin dengan pulasan HE (hematoxilin-eosin). Jaringan berasal dari biopsi
”core”/ insisi/eksisi/mastektomi.
E. Klasifikasi Staging9
T1
Tx
T1 mic
T0
T1 a
Tis (DCIS)
Tis (LCIS)
T1 b
Tis (Paget’s)
T1 c
Tumor primer tidak dapat dinilai
Tumor lebih dari 0.5 cm tetapi tidak lebih dari 1 cm pada dimensi
terbesar
20
T4 Tumor berukuran apapun dengan ekstensi langsung ke (a)
dinding dada atau (b) kulit
T4b Edema (termasuk peau d’orange) atau ulserasi kulit payudara atau
satellite skin nodules pada payudara yang sama
N2a Metastatis pada KGB aksila ipsilateral yang terfiksir satu sama lain (matted) atau terfiksir
pada struktur lain
N2b Metastasis hanya pada KGB mamaria interna yang terdekteksi secara klinis* dan jika
tidak terdapat metastasis KGB aksila secara klinis
21
N3b Metastasis pada KGB mamaria interna ipsilateral dan KGB aksila
Mx
M0
Stadium IIIB
M1
Stadium IIIC
Stadium IV
Stadium 0
Stadium I
F. Klasifikasi Histologik8,9
Stadium IIA
1. Non invasive carcinoma
Stadium IIB
T2 N0 M0
T2 N1 M0
Metastasis jauh tak dapat dinilai
T0-2 N2 M0
Terdapat Metastasis jauh
T3 N1-2 M0
T1 s N0 M0
T4 N0-2 M0
T1 N0 M0
Setiap T N3 M0
T0-1 N1 M0
Setiap T Setiap N M1
22
Ductal carcinoma in situ, juga disebut intraductal cancer, merujuk pada sel
kanker yang telah terbentuk dalam saluran dan belum menyebar.
Meskipun sebenarnya ini bukan kanker, tetapi LCIS kadang digolongkan sebagai tipe
kanker payudara non-invasif. Bermula dari kelenjar yang memproduksi air susu, tetapi
tidak berkembang melewati dinding lobulus.
2. Invasive carcinoma
Invasive ductal carcinoma
Adenocarcinoma with productive fibrosis (scirrhous, simplex, NST)
Kanker ini biasanya terdapat pada wanita perimenopause or postmenopause dekade
kelima sampai keenam, sebagai massa soliter dan keras. Batasnya kurang tegas dan
pada potongan meilntang, tampak permukaannya membentuk konfigurasi bintang di
bagian tengah dengan garis berwarna putih kapur atau kuning menyebar ke sekeliling
jaringan payudara.
Medullary carcinoma
Merupakan kanker payudara herediter yang berhubungan dengan BRCA-1.
Peningkatan ukuran yang cepat dapat terjadi sekunder terhadap nekrosis dan
perdarahan.
Mucinous (colloid) carcinoma
Mucinous carcinoma (colloid carcinoma), merupakan tipe khusus lain dari kanker
payudara, sekitar 2% dari semua kanker payudara yang invasif, biasanya muncul
sebagai massa tumor yang besar dan ditemukan pada wanita yang lebih tua.
Papillary carcinoma
23
Biasanya ditemukan pada wanita dekade ketujuh dan sering menyerang wanita non
kulit putih. Ukurannya kecil dan jarang mencapai diameter 3 cm. Tubular carcinoma
(2%)
G. Jalur Penyebaran
a. Invasi lokal
Kanker mammae sebagian besar timbul dari epitel duktus kelenjar. Tumor pada mulanya
menjalar dalam duktus, lalu menginvasi dinding duktus dan ke sekitarnya, ke anterior mengenai
kulit, posterior ke otot pektoralis hingga ke dinding toraks 2
Metastasis tersering karsinoma mammae adalah ke kelenjar limfe aksilar. Data di China
menunjukkan: mendekati 60% pasien kanker mammae pada konsultasi awal menderita metastasis
kelenjar limfe aksilar. Semakin lanjut stadiumnya, diferensiasi sel kanker makin buruk, angka
metastasis makin tinggi. Kelenjar limfe mammaria interna juga merupakan jalur metastasis yang
penting. Menurut observasi klinik patologik, bila tumor di sisi medial dan kelenjar limfe aksilar
positif, angka metastasis kelenjar limfe mammaria interna adalah 50%; jika kelenjar limfe aksilar
negative, angka metastasis adalah 15%. Karena vasa limfatik dalam kelenjar mammae saling
beranastomosis, ada sebagian lesi walaupun terletak di sisi lateral, juga mungkin bermetastasis ke
kelenjar limfe mammaria interna. Metastasis di kelenjar limfe aksilar maupun kelenjar limfe
mammaria interna dapat lebih lanjut bermetastasis ke kelenjar limfe supraklavikular.6
c. Metastasis hematogen
Sel kanker dapat melalui saluran limfatik akhirnya masuk ke pembuluh darah, juga dapat
langsung menginvasi masuk pembuluh darah (melalui vena kava atau sistem vena interkostal-
24
vertebral) hingga timbul metastasis hematogen. Hasil autopsy menunjukkan lokasi tersering
metastasis adalah paru, tulang, hati, pleura, dan adrenal.
H. Tatalaksana8
1. Kanker payudara stadium 0 (TIS / T0, N0M0) dilakukan terapi definitif pada T0
bergantung pada pemeriksaan histopatologi.
2. Kanker payudara stadium dini dini / operabel (stadium I dan II, tumor <= 3 cm)
dilakukan tindakan operasi (mastektomi), kemoterapi, dan radiasi.
3. Kanker payudara stadium IIIA dapat dioperasi namun stadium IIIB tidak dapat dioperasi
I. Prognosis10
Stadium I 100%
Stadium IIa 92%
Stadium IIb 81%
Stadium IIIa 67%
Stadium IIIb 54%
Stadium IV 20%
J. Pencegahan11
3. Mammografi
25
3.2 Efusi Pleura
A. Definisi
Efusi pleura adalah akumulasi abnormal cairan dalam rongga pleura yang dihasilkan dari
produksi cairan yang berlebihan atau penurunan penyerapan.
Efusi pleura dipastikan dengan adanya sel-sel kanker pada ruang pleura. Efusi pleura
berasal dari metastatik sel-sel ganas dari tempat sekitar (seperti pada keganasan paru, payudara,
dan dinding dada), invasi dari vaskularisasi paru dengan embolisasi dari sel-sel tumor ke pleura
viseralis, atau metastasis jauh hematogen dari tumor ke pleura parietalis. Begitu didapatkan pada
ruangan pleura, deposit tumor menyebar di sepanjang membran pleura parietalis dan menyumbat
stomata limfatik yang akan mengalirkan cairan intraleural.2,7
Rongga pleura normal berisi cairan dalam jumlah yang relatif sedikit yakni 0,1 – 0,2
mL/kgbb pada tiap sisinya. Fungsinya adalah untuk memfasilitasi pergerakan kembang kempis
paru selama proses pernafasan. Cairan pleura diproduksi dan dieliminasi dalam jumlah yang
seimbang. Jumlah cairan pleura yang diproduksi normalnya adalah 17 mL/hari dengan kapasitas
absorbsi maksimal drainase sistem limfatik sebesar 0,2-0,3 mL/kgbb/jam. Cairan ini memiliki
konsentrasi protein lebih rendah dibanding pembuluh limfe paru dan perifer.
Efusi bersifat eksudat, tapi sebagian kecil bisa transudat. Warna efusi bisa sero-santokrom
ataupun hemoragik (terdapt lebih dari 10.000 sel eritrosit per cc). Di dalam cairan ditemukan sel-
sel limfosit (yang dominan) dan banyak sel mesotelial. Jenis-jenis neoplasma dapat didiagnosis
dengan pemeriksaan sitologi terhadapp cairan efusi atau biopsi pleura parietalis. Terdapat
beberapa teori tentang timbulnya efusi pleura pada neoplasma yakni:
Menumpuknya sel-sel tumor akan meningkatkan permeabilitas pleura terhadap air dan
protein.
Adanya massa tumor mengakibatkan tersumbatnya aliran pembuluh darah vena dan getah
bening, sehingga rongga pleura gagal dalam memindahkan cairan dan protein.
Adanya tumor membuat infeksi lebih mudah terjadi dan selanjutnya timbul
hipoproteinemia.
Tumor pleura juga akan menstimulasi pelepasan kemokin yang akan meningkatkan
permeabilitas vaskuler dan membrane pleura, sehingga akan memicu efusi pleura.
27
kemokin CCL22 dikatakan meningkat pada pasien dengan EPM dan secara langsung akan
menginduksi infiltrasi sel T menuju ke ruang pleura.
Efusi pleura terhadap neoplasma biasanya unilateral, tetapi bisa juga bilateral karena
obstruksi saluran getah bening, adanya metastasis dapat mengakibatkan pengaliran cairan dari
rongga pleura via diafragma.
C. Kriteria diagnostik
1. Anamnesis
Gejala yang biasanya muncul pada efusi pleura yang jumlahnya cukup besar yakni :
1. Nafas terasa pendek hingga sesak nafas yang nyata dan progresif
2. Nyeri khas pleuritik pada area yang terlibat, khususnya jika penyebabnya adalah
keganasan. Nyeri dada meningkatkan kemungkinan suatu efusi eksudat misalnya infeksi,
mesotelioma atau infark pulmoner.
3. Batuk kering berulang juga sering muncul, khususnya jika cairan terakumulasi dalam
jumlah yang banyak secara tiba-tiba.
4. Riwayat penyakit pasien juga perlu ditanyakan misalnya apakah pada pasien terdapat
hepatitis kronis, sirosis hepatis, pankreatitis, riwayat pembedahan tulang belakang,
riwayat keganasan, dll.
2. Pemeriksaan fisik
2. Bila sesak napasnya yang menonjol, kemungkinan besar karena proses keganasan.
3. Efusi berbentuk kantong (pocketed) pada fisura interlobaris tidak memberi gejala-gejala.
Begitu pula bila efusinya berada di atas diafragma.
4. Pada perkusi, suara ketok terdengar redup sesuai dengan luasnya efusi pada auskultasi
suara napas berkurang atau menghilang.
6. Jika jumlah cairan pleura < 300 mL, cairan ini belum menimbulkan gejala pada
pemeriksaan fisik.
28
7. Jika jumlah cairan pleura telah mencapai 500 mL, baru dapat ditemukan gejala berupa
gerak dada yang melambat atau terbatas saat inspirasi pada sisi yang mengandung
akumulasi cairan. Fremitus taktil juga berkurang pada dasar paru posterior. Suara perkusi
menjadi pekak dan suara napas pada auskultasi terdengar melemah walaupun sifatnya
masih vesikuler.
8. Jika akumulasi cairan melebihi 1000 mL, sering terjadi atelektasis pada paru bagian
bawah. Ekspansi dada saat inspirasi pada bagian yang mengandung timbunan cairan
menjadi terbatas sedangkan sela iga melebar dan menggembung. Pada auskultasi di atas
batas cairan, sering didapatkan suara bronkovesikuler yang dalam, sebab suara ini
ditransmisiskan oleh jaringan paru yang menagalami atelektasis. Pada daerah ini juga
dapat ditemukan fremitus vokal dan egofoni yang bertambah jelas.
9. Jika akumulasi cairan melebihi 2000 mL, cairan ini dapat menyebabkan seluruh paru
menjadi kolaps kecuali bagian apeks. Sela iga semakin melebar, gerak dada pada
inspirasi sangat terbatas, suara napas, fremitus taktil maupun fremitus vocal sulit
didengar karena sangat lemah. Selain itu terjadi pergeseran mediastinum ke arah
kontralateral dan penurunan letak diafragma.
3. Pemeriksaan penunjang
Efusi subpulmonal
Hampir semua efusi awalnya terkumpul dibawah paru antara pleura parietal yang
melapisi diafgrama dengan pleura viseralis lobus inferior.
Gambaran diafgrama bukan merupakan gambaran diafgrama yang sebenarnya, melainkan
cairan pleura yang terkumpul diatas diafgrama.
Menggeser titik tertinggi diafgrama ( bukan diafgrama sebenarnya) ke arah lateral.
Pada efusi pleura subpulmonal kiri terdapat peningkatan jarak antara udara lambung
dengan udara di paru
Pada foto lateral biasanya terdapat penumpulan sulkus kostofrenikus posterior
29
Penumpulan sulkus kostofrenikus
Sulkus kostofrenikus posterior ( foto lateral) menjadi tumpul terlebih dahulu, kemudian
diikuti sulkus kostofrenikus lateral (foto toraks tegak)
Penebalan pleura juga dapat menyebabkan penumpulan sulkus kostofrenikus, namun
penebalan pleura biasanya berbentuk skilope ( lereng untuk ski) dan tidak akan berubah
jika terdapat perubahan posisi pasien.
Tanda meniskus
Perselubungan hemitoraks
Efusi laminar
Bentuk efusi pleura yang menyerupai pita tipis disepanjang dinding lateral toraks,
terutama didekat sulkus kostofrenikus.
30
Sulkus kostofrenikus cenderung tetap tajam
Biasanya akibat gagal jantung atau penyebaran limfatik dari suatu keganasan.
Tidak bergerak bebas sesuai posisi pasien.
Pemeriksaan radiologis dengan foto dada standar dapat mendeteksi efusi pleura dengan
volume minimal 50 cc pada pandangan lateral, tetapi pemeriksaan ini hanya bersifat sugestif
untuk diagnosis EPM. Efusi pleura yang massif meningkatkan kemungkinan terbentuknya
meniscus sign dengan cairan yang terlihat memanjat pada dinding dada lateral, pergeseran
mediastinum ke sisi kontralateral, dan inverse dari diafragma. Tanda radiograÞ dari suatu EPM
termasuk penebalan pleura terlobulasi yang sirkumferensial, penuhnya iga (crowded ribs), dan
peninggian hemidiafragma atau pergeseran mediastinu ipsilateral konsisten dengan atelektasis
karena obstruksi oleh tumor.
31
D. Tatalaksana2
Manajemen EPM pada prinsipnya adalah paliatif. Sampai saat ini beberapa
penatalaksanaan yang sering dilakukan pada kasus EPM adalah torakosentesis terapeutik,
pleurodesis, drainase yang dengan kateter indwelling jangka panjang, serta pembuatan shunt
pleuroperitoneal.
1. Torakosentesis terapeutik
Awal manajemen untuk EPM yang simtomatik adalah torakosentesis terapeutik. Dengan
pendekatan ini akan dapat dinilai respon sesak nafas terhadap pengeluaran cairan. Walaupun
keluhan dapat membaik setelah torakosentesis, sekitar 98% ! 100% pasien dengan EPM akan
mengalami reakumulasi cairan dan sesak nafas yang berulang dalam 30 hari. Cairan yang
dikeluarkan berkisar antara 1 sampai 1,5 liter.
Pengeluaran cairan yang lebih banyak akan berakibat terjadinya oedem paru re-ekspans.
Bronkhoskopi intervensional untuk membuka jalan nafas yang mengalami obstruksi sebelum
dilakukan torakosentesis dikatakan dapat mengurangi resiko terjadinya oedem paru tersebut.
2. Pleurodesis
Pleurodesis adalah pilihan tindakan pada pasien-pasien EPM yang mengalami perbaikan
setelah dilakukan thorakosentesis dan terjadi re-ekspansi paru yang baik pada radiograÞ dada
pasca tindakan. Sampai saat ini kombinasi tindakan drainase dan pleurodesis dengan agen
sklerosan merupakan tindakan efektif untuk menangani EPM.
Keberhasilan pleurodesis selain dilihat dari perspektif pasien, juga dapat dilihat dari aspek
tehnik, khususnya agen sklerosan yang dignakan. Agen sklerosan yang dimasukkan ke dalam
ruang pleura untuk pleurodesis makin lama makin berkembang serta makin banyak. Dari sekian
banyak agen ini, talc bebas-asbestos dikatakan paling baik untuk pleurodesis. Banyak penelitian
klinis yang mendukung efektivitas talc yang lebih superior dibandingkan agen sklerosan lainnya,
serta belakangan ini talc telah diterima sebagai agen sklerosan pilihan untuk pleurodesis pada
kasus EPM.
32
3. Drainase dengan indwelling catheter
33
dengan Prolene 2/0 dilakukan pada terowongan, sedangkan insisi kulit ditutup dengan nylon 4/0.
Bagian kateter dengan katup tersisa di luar kulit dan dilindungi dengan cap. Drainase inisial
dilakukan dengan suction -10kPa untuk mencegah terperangkapnya udara pada rongga pleura.
Drainase dapat dilakukan di rumah, dengan 3 kali seminggu untuk 3 minggu pertama, selanjutnya
tergantung keluhan klinis dan produksi cairan pleura.
Pemasangan kateter indwelling ini merupakan pilihan manajemen paliatif apabila pasien
tidak memenuhi syarat untuk dilakukan pleurodesis. Belakangan juga ditemukan bahwa
pemasangan kateter indwelling jangka panjang ini memberikan kemungkinan terjadinya
pleurodesis spontan berkisar antara 40% sampai 58% dalam 2 sampai 6 minggu drainase. Putnam
dkk. juga membuktikan tidak adanya perbedaan dalam keluhan pada pasien dengan drainase
jangka panjang dibandingkan pleurodesis dengan agen doksisiklin.
4. Pleuroperitoneal shunting
Pleuroperitoneal shunting adalah sebuah tehnik alternatif untuk menangani EPM yang
refrakter dengan pleurodesis kimiawi maupun pada pasien dengan trapped lung syndrome.
Beberapa kasus serial mengenai shunting pleuroperitoneal mendapatkan perbaikan gejala sekitar
95% dari seluruh kasus shunting. Pemasangan alat dilakukan dengan bantuan thorakoskopi atau
34
minithorakotomi. Perlengkapan untuk tehnik ini yaitu dua buah katup unidireksional dengan
kateter pleural dan peritoneal yang berlubanglubang pada kedua ujungnya. Kerja alat ini
diaktivasi oleh tekanan yang diberikan oleh pasien untuk mengatasi tekanan positif dari rongga
peritoneum. Suatu kasus serial dari 160 pasien EPM yang dipasang pleuroperitoneal shunting,
didapatkan komplikasi pada 15% pasien. Komplikasi yang terjadi antara lain erosi kulit, infeksi,
dan oklusi dari shunt sehingga memerlukan perbaikan atau penggantian.
Daftar Pustaka
1. Sjamsuhidajat R., Karnadihardja W., Prasetyono T., Rudiman R., Buku Ajar Ilmu Bedah.
Edisi 3. Jakarta: EGC. 2012
3. Snell SR. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2012
4. Mescher LA. Histologi Dasar Junqueira Teks dan Atlas. Edisi 12. Jakarta: EGC 2012
5. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2012
6. Walker AR. Prognostic and Predictive Factors in Breast Cancer. 2th Edition. Informa
Helalthcare. 2008
7. Papadakis AM. Current Medical Diagnosis and Treatment 2015. 54th Edition.
McGrawhill Education. 2015
9. Berger DP. Concise Manual of Hematology and Oncology. New York: Springer. 2008
10. Ferronica, R. Kuliah Kanker Payudara. Palangka Raya: RSUD Doris Sylvanus. 2015
11. Rovere, G. Early Breast Cancer From Screening to Multidisciplinary Management. New
York: Taylor and Francis Group. 2006
12. Syarif A., Estuningtyas A., Setiawati A., dkk. Farmakolgi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta:
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2007