Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

Penyakit hipertensi dalam kehamilan (HDK) termasuk preeklampsia dan


eklampsia sampai saat ini masih merupakan masalah dalam pelayanan obstetri di
Indonesia. Walaupun sudah jauh menurun, angka morbiditas dan mortalitas
maternal dan perinatal akibat penyakit ini masih tinggi (MMR 33,3% dan PMR
50%) dan merupakan salah satu dari ketiga penyebab utama kematian ibu, di
samping perdarahan dan infeksi. Insiden hipertensi dalam kehamilan umumnya
berkisar 7-12%.1-3
Hipertensi adalah tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg sistolik
atau 90 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit
4
menggunakan lengan yang sama. Definisi hipertensi berat adalah peningkatan
tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg
diastolik.4,5 Mat tensimeter sebaiknya menggunakan tensimeter air raksa, namun
apabila tidak tersedia dapat menggunakan tensimeter jarum atau tensimeter
otomatis yang sudah divalidasi. Laporan terbaru menunjukkan pengukuran
tekanan darah menggunakan alat otomatis sering memberikan hasil yang lebih
rendah.6
Klasifikasi hipertensi yang dikemukakan oleh The Committee on
Terminology of the American College of Obstetricians and Gynecologist dan di
Indonesia dibakukan oleh Satgas Gestosis POGI sebagai berikut:1,3,7,8
 Hipertensi dalam kehamilan sebagai penyulit yang berhubungan langsung
dengan kehamilan: preeklampsia dan eklampsia
 Hipertensi dalam kehamilan sebagai penyulit yang tidak berhubungan
langsung dengan kehamilan: hipertensi kronik
 Preeklampsia/eklampsia pada hipertensi kronik (superimposed)

8
 Hipertensi gestasional atau transient hypertension
 Hipertensi dalam kehamilan yang tidak dapat diklasifikasikan
Hipertensi kronik dalam kehamilan adalah hipertensi yang menetap oleh
sebab apapun, ditemukan pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu, atau
hipertensi yang menetap setelah 12 minggu pasca persalinan. Preeklampsia adalah
penyakit dengan tanda-tanda hipertensi dan proteinuria ≥300 mg/24 jam yang
timbul karena kehamilan. Superimposed preeclampsia/eclampsia adalah
preeklampsia/eklampsia pada penderita hipertensi kronik. Hipertensi gestasional
(disebut juga transient hypertension) adalah hipertensi yang timbul pada
kehamilan tanpa disertai proteinuria dan hipertensi menghilang setelah 3 bulan
pasca persalinan.
Preeklampsia adalah sindrom klinis pada masa kehamilan (setelah

kehamilan 20 minggu) yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah (>140/90

mmHg) dan proteinuria (0,3 gram/hari) pada wanita yang tekanan darahnya

normal pada usia kehamilan sebelum 20 minggu. Preeklampsia merupakan

penyakit sistemik yang tidak hanya ditandai oleh hipertensi, tetapi juga disertai

peningkatan resistensi pembuluh darah, disfungsi endotel difus, proteinuria, dan

koagulopati.9 Pada 20% wanita preeklampsia berat didapatkan sindrom HELLP

(Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low Platelet Count) yang ditandai dengan

hemolisis, peningkatan enzim hepar, trombositopenia akibat kelainan hepar dan

sistem koagulasi. Angka kejadian sindrom HELLP ini sekitar 1 dari 1000

kehamilan. Sekitar 20% sindrom HELLP mengalami koagulasi intravaskuler

diseminata, yang memper buruk prognosis baik ibu maupun bayi. Eklampsia

merupakan jenis preeklampsia berat yang ditandai dengan adanya kejang, terjadi

pada 3% dari seluruh kasus preeklampsia. Kerusakan otak pada eklampsia

disebabkan oleh edema serebri. Perubahan substansia alba yang terjadi

9
menyerupai ensefalopati hipertensi. Komplikasi serebrovaskuler, seperti stroke

dan perdarahan serebri, merupakan penyebab kematian terbesar pada

eklampsia.9,10,11,12

Preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan

darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai proteinuria lebih 5 g/24 jam disebut sebagai

preeklampsia berat. Beberapa tanda dan gejala dari preeklampsia berat antara lain

nyeri epigastrium, sakit kepala dan gangguan penglihatan akibat edema serebral.12

Tabel 2.1. Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC-7 dibandingkan dengan


NHBPEP (National High Blood Pressure Education Program).9

2. Faktor Risiko

Etiologi preeklampsia tidak diketahui secara pasti. Diketahui ada beberapa

faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian preeklampsia.10

Tabel 2.2. Faktor risiko preeklampsia.10

10
a. Primigravida

Primigravida diartikan sebagai wanita yang hamil untuk pertama kalinya.

Preeklampsia tidak jarang dikatakan sebagai penyakit primagravida karena

memang lebih banyak terjadi pada primigravida daripada multigravida.10

b. Primipaternitas

Primipaternitas adalah kehamilan anak pertama dengan suami yang kedua.

Berdasarkan teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin dinyatakan bahwa

ibu multipara yang menikah lagi mempunyai risiko lebih besar untuk terjadinya

preeklampsia jika dibandingkan dengan suami yang sebelumnya.10

c. Umur yang ekstrim

Kejadian preeklampsia berdasarkan usia banyak ditemukan pada

kelompok usia ibu yang ekstrim yaitu kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35

tahun. Tekanan darah meningkat seiring dengan pertambahan usia sehingga pada

usia 35 tahun atau lebih terjadi peningkatkan risiko preeklamsia.10

d. Hiperplasentosis

11
Hiperplasentosis ini misalnya terjadi pada mola hidatidosa, kehamilan

multipel, diabetes mellitus, hidrops fetalis, dan bayi besar.10

e. Riwayat pernah mengalami preeklampsia

Wanita dengan riwayat preeklampsia pada kehamilan pertamanya

memiliki risiko 5 sampai 8 kali untuk mengalami preeklampsia lagi pada

kehamilan keduanya. Sebaliknya, wanita dengan preeklampsia pada kehamilan

keduanya, maka bila ditelusuri ke belakang ia memiliki 7 kali risiko lebih besar

untuk memiliki riwayat preeklampsia pada kehamilan pertamanya bila

dibandingkan dengan wanita yang tidak mengalami preeklampsia di

kehamilannya yang kedua.10

f. Riwayat keluarga yang pernah mengalami preeklampsia

Riwayat keluarga yang pernah mengalami preeklampsia akan

meningkatkan risiko sebesar 3 kali lipat bagi ibu hamil. Wanita dengan

preeklampsia berat cenderung memiliki ibu dengan riwayat preeklampsia pada

kehamilannya terdahulu.10

g. Penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil

Pada penelitian yang dilakukan oleh Davies dkk dengan menggunakan

desain penelitian case control study dikemukakan bahwa pada populasi yang

diselidikinya wanita dengan hipertensi kronik memiliki jumlah yang lebih banyak

untuk mengalami preeklampsia dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat

penyakit ini.10

h. Obesitas

12
Obesitas merupakan salah satu faktor risiko penting terjadinya

preeklampsia. Dislipidemia dan diabetes melitus gestasional meningkatkan risiko

preeklampsia dua kali lipat, mungkin berhubungan dengan disfungsi endotel.10

Obesitas merupakan suatu penyakit multifaktorial yang terjadi akibat

akumulasi jaringan lemak berlebihan sehingga dapat menganggu kesehatan.

Indikator yang paling sering digunakan untuk menentukan berat badan lebih dan

obesitas pada orang dewasa adalah indeks massa tubuh (IMT). Seseorang

dikatakan obesitas bila memiliki IMT ≥ 25 kg/m2.10

Risiko terjadinya preeklampsia meningkat dua kali setiap peningkatan

indeks massa tubuh ibu 5-7 kg/m2, terkait dengan obesitas dalam kehamilan,

dengan mengeksklusikan sampel ibu dengan hipertensi kronis, diabetes mellitus,

dan kehamilan multipel. Sedangkan penelitian yang dilakukan di RSUP Dr

Kariadi didapatkan ibu hamil dengan obesitas memiliki risiko 3,9 kali lebih besar

untuk menderita preeklampsia.10

Faktor risiko yang telah diidentifikasi dapat membantu dalam melakukan

penilaian risiko kehamilan pada kunjungan awal antenatal. Berdasarkan hasil

penelitian dan panduan Internasional terbaru dibagi dua bagian besar faktor risiko

yaitu risiko tinggi / mayor dan risiko tambahan / minor.8

 Riwayat preeklampsia

 Kehamilan multipel

 Hipertensi kronis

 Diabetes Mellitus tipe 1 atau 2

 Penyakit ginjal

13
 Penyakit autoimun (contoh: systemic lupus erythematous,

antiphospholipid syndrome)

Risiko Sedang

 Nulipara

 Obesitas (Indeks masa tubuh > 30 kg/m2 )

 Riwayat preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan

 Usia ≥ 35 tahun

 Riwayat khusus pasien (interval kehamilan > 10 tahun)

3. Patofisiologi

Patofisiologi preeklampsia dibagi menjadi dua tahap, yaitu perubahan

perfusi plasenta dan sindrom maternal. Tahap pertama terjadi selama 20 minggu

pertama kehamilan. Pada fase ini terjadi perkembangan abnormal remodelling

dinding arteri spiralis. Abnormalitas dimulai pada saat perkembangan plasenta,

diikuti produksi substansi yang jika mencapai sirkulasi maternal menyebabkan

terjadinya sindrom maternal. Tahap ini merupakan tahap kedua atau disebut juga

fase sistemik. Fase ini merupakan fase klinis preeklampsia, dengan elemen pokok

respons inflamasi sistemik maternal dan disfungsi endotel.13,14

14
Gambar 1. Hipotesis tentang peranan soluble fms-like tyrosine kinase 1 (sFlt1)
pada preeklampsia.10

Gambar 2. Patofisiologi preeklampsia.13

Selain itu, didapatkan perubahan irama sirkadian normal, yaitu tekanan

darah sering kali lebih tinggi pada malam hari disebabkan peningkatan aktivitas

15
vasokonstriktor simpatis, yang akan kembali normal setelah persalinan. Hal ini

mendukung penggunaan metildopa sebagai antihipertensi. Tirah baring sering

dapat memperbaiki hipertensi pada kehamilan, mungkin karena perbaikan perfusi

uteroplasenta.10

Pada preeklampsia, fraksi filtrasi renal menurun sekitar 25%, padahal

selama kehamilan normal, fungsi renal biasanya meningkat 35-50%. Klirens asam

urat serum menurun, biasanya sebelum manifestasi klinis. Kadar asam urat >5,5

mg/dL akibat penurunan klirens renal dan filtrasi glomerulus merupakan penanda

penting preeklampsia.10

4. Diagnosis

Menurut American College of Obstetrics and Gynecology, diagnosis

dibuat jika tekanan darah >140/90 mmHg pada dua kali pengukuran disertai

proteinuria >300 mg/hari. Edema, yang merupakan gambaran klasik

preeklampsia, tidak lagi digunakan sebagai dasar diagnosis karena sensitivitas

maupun spesifisitasnya rendah. Pada 20% kasus tidak ditemukan proteinuria

ataupun hipertensi. Pemeriksaan laboratorium, seperti tes fungsi hepar,

pemeriksaan protein urin, dan kreatinin serum dapat membantu mengetahui

derajat kerusakan target organ, tetapi tidak ada yang spesifik untuk diagnosis

preeklampsia.11

16
Gambar 2.3. Algoritma diagnosis hipertensi pada kehamilan.12

5. Tatalaksana

Terdapat perbedaan manajemen hipertensi pada kehamilan dan di luar

kehamilan. Kebanyakan kasus hipertensi di luar kehamilan merupakan hipertensi

esensial yang bersifat kronis. Terapi hipertensi di luar kehamilan ditujukan untuk

mencegah komplikasi jangka panjang, seperti stroke dan infark miokard,

sedangkan hipertensi pada kehamilan biasanya kembali normal saat post-partum,

sehingga terapi tidak ditujukan untuk pencegahan komplikasi jangka panjang.

Preeklampsia berisiko menjadi eklampsia, sehingga diperlukan penurunan tekanan

darah yang cepat pada preeklampsia berat. Selain itu, preeklampsia melibatkan

komplikasi multisistem dan disfungsi endotel, meliputi kecenderungan

protrombotik, penurunan volume intravaskuler, dan peningkatan permeabilitas

endotel.11

17
Preeklampsia onset dini (<34 minggu) memerlukan penggunaan obat

antihipertensi secara hati-hati; selain itu, diperlukan tirah baring dan monitoring

baik terhadap ibu maupun bayi. Pasien preeklampsia biasanya sudah mengalami

deplesi volume intravaskuler, sehingga lebih rentan terhadap penurunan tekanan

darah yang terlalu cepat; hipotensi dan penurunan aliran uteroplasenta perlu

diperhatikan karena iskemi plasenta merupakan hal pokok dalam patofisiologi

preeklampsia. Selain itu, menurunkan tekanan darah tidak mengatasi proses

primernya. Tujuan utama terapi antihipertensi adalah untuk mengurangi risiko ibu,

yang meliputi abrupsi plasenta, hipertensi urgensi yang memerlukan rawat

inap, dan kerusakan organ target (komplikasi serebrovaskuler dan

kardiovaskuler). Risiko kerusakan organ target meningkat jika kenaikan tekanan

darah terjadi tiba-tiba pada wanita yang sebelumnya normotensi.15

Tekanan darah >170/110 mmHg merusak endotel secara langsung. Pada

tekanan darah 180-190/120-130 mmHg terjadi kegagalan autoregulasi serebral

yang meningkatkan risiko perdarahan serebral. Selain itu, risiko abrupsi plasenta

dan asfiksia juga meningkat. Penurunan tekanan darah yang terlalu cepat dan

mendadak dapat menurunkan perfusi uteroplasenta, sehingga dapat menyebabkan

hipoksia janin. Target tekanan darah adalah sekitar 140/90 mmHg.13

Obat Antihipertensi

a. Hipertensi ringan-sedang

Keuntungan dan risiko terapi antihipertensi pada hipertensi ringan-sedang

(tekanan darah sistolik 140-169 mmHg dan tekanan darah diastolik 90-109

mmHg) masih kontroversial. Guideline European Society of Hypertension (ESH) /

18
European Society of Cardiology (ESC) terbaru merekomendasikan pemberian

terapi jika tekanan darah sistolik 140 mmHg atau diastolik 90 mmHg pada wanita

dengan:16

• Hipertensi gestasional (dengan atau tanpa proteinuria)

• Hipertensi kronis superimposed hipertensi gestasional

• Hipertensi dengan kerusakan target organ subklinis atau adanya gejala selama

masa kehamilan.

b. Hipertensi berat

ESC merekomendasikan jika tekanan darah sistolik >170 mmHg atau diastolik

>110 mmHg pada wanita hamil diklasifi kasikan sebagai emergensi dan

merupakan indikasi rawat inap. Terapi farmakologis dengan labetalol intravena,

metildopa oral, atau nifedipin sebaiknya segera diberikan. Obat pilihan untuk

preeklampsia dengan edema paru adalah nitrogliserin (gliseril trinitrat), infus

intravena dengan dosis 5 μg/menit dan ditingkatkan bertahap tiap 3-5 menit

hingga dosis maksimal 100 μg/menit.16

Furosemid intravena dapat digunakan untuk venodilatasi dan diuresis (20-

40 mg bolus intravena selama 2 menit), dapat diulang 40-60 mg setelah 30 menit

jika respons diuresis kurang adekuat. Morfin intravena 2-3 mg dapat diberikan

untuk venodilator dan ansiolitik. Edema paru berat memerlukan ventilasi

mekanik.17

Tabel 2.3. Obat antihipertensi untuk hipertensi kronis atau gestasional selama
kehamilan.9

19
Tabel 2.4. Obat untuk kontrol cepat hipertensi berat pada kehamilan.9

Magnesium Sulfat

Magnesium sulfat mempunyai efek antikejang dan vasodilator.

Magnesium sulfat merupakan agen pencegahan eklampsia paling efektif, dan obat

lini pertama untuk terapi kejang pada eklampsia. Selain itu, direkomendasikan

untuk profilaksis eklampsia pada wanita dengan preeklampsia berat.17

20
Pengobatan Obstetrik

a. Cara Terminasi Kehamilan yang Belum Inpartu:12

1. Induksi persalinan :12 tetesan oksitosin dengan syarat nilai Bishop 5 atau lebih

dan dengan fetal heart monitoring.

2. Seksio sesaria bila :12

a. Fetal assesment jelek

b. Syarat tetesan oksitosin tidak dipenuhi (nilai Bishop kurang dari 5) atau adanya

kontraindikasi tetesan oksitosin.

c. 12 jam setelah dimulainya tetesan oksitosin belum masuk fase aktif. Pada

primigravida lebih diarahkan untuk dilakukan terminasi dengan seksio sesaria.

b. Cara Terminasi Kehamilan yang Sudah Inpartu

Kala I

1. Fase laten :12 6 jam belum masuk fase aktif maka dilakukan seksio sesaria.

2. Fase aktif :12 Amniotomi saja. Bila 6 jam setelah amniotomi belum terjadi

pembukaan lengkap maka dilakukan seksio sesaria (bila perlu dilakukan tetesan

oksitosin).

Kala II

Pada persalinan per vaginam maka kala II diselesaikan dengan partus

buatan. Amniotomi dan tetesan oksitosin dilakukan sekurang-kurangnya 3 menit

setelah pemberian pengobatan medisinal. Pada kehamilan 32 minggu atau kurang;

bila keadaan memungkinkan, terminasi ditunda 2 kali 24 jam untuk memberikan

kortikosteroid.12

21
b. Perawatan konservatif yaitu kehamilan tetap dipertahankan ditambah

pengobatan medisinal.12

a. Indikasi

Bila kehamilan preterm kurang 37 minggu tanpa disertai tanda-tanda

impending eklampsia dengan keadaan janin baik.12

b. Pengobatan medisinal

Sama dengan perawatan medisinal pada pengelolaan aktif. Hanya loading

dose MgSO4 tidak diberikan intravenous, cukup intramuskuler saja dimana 4

gram pada bokong kiri dan 4 gram pada bokong kanan.12

c. Pengobatan obstetri :12

1. Selama perawatan konservatif : observasi dan evaluasi sama seperti perawatan

aktif hanya disini tidak dilakukan terminasi.

2. MgSO4 dihentikan bila ibu sudah mempunyai tanda-tanda pre eklampsia

ringan, selambat-lambatnya dalam 24 jam.

3. Bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan maka dianggap pengobatan medisinal

gagal dan harus diterminasi.

4. Bila sebelum 24 jam hendak dilakukan tindakan maka diberi lebih dahulu

MgSO4 20% 2 gram intravenous

d. Penderita dipulangkan bila:12

1. Penderita kembali ke gejala-gejala / tanda-tanda pre eklampsia ringan dan telah

dirawat selama 3 hari.

2. Bila selama 3 hari tetap berada dalam keadaan pre eklampsia ringan :

22
penderita dapat dipulangkan dan dirawat sebagai pre eklampsia ringan

(diperkirakan lama perawatan 1-2 minggu).

Terminasi kehamilan dilakukan dengan memperhatikan kondisi ibu dan

janin. Indikasi terminasi bisa oleh karena faktor ibu (misal eklamsi, Hellp

syndrome, udema paru) dan atau faktor janin (misal fetal distress).14

Konseling dan Follow Up Pascapersalinan

Hipertensi sering menetap pasca-persalinan pada pasien dengan hipertensi

antenatal atau preeklampsia. Tekanan darah sering tidak stabil pada beberapa hari

postpartum. Tujuan terapi adalah untuk mencegah terjadinya hipertensi berat.

Obat antihipertensi antenatal sebaiknya diberikan kembali post-partum dan dapat

dihentikan dalam beberapa hari hingga beberapa minggu setelah tekanan darah

normal. Jika tekanan darah sebelum konsepsi normal, tekanan darah biasanya

normal kembali dalam 2-8 minggu. Hipertensi yang menetap setelah 12 minggu

postpartum mungkin menunjuk kan hipertensi kronis yang tidak ter diag nosis

atau ada nya hipertensi sekunder.10

Evaluasi post-partum perlu dilakukan pada pasien preeklampsia onset dini,

preeklampsia berat atau rekuren, atau pada pasien dengan proteinuria yang

menetap; perlu dipikirkan kemungkinan penyakit ginjal, hipertensi sekunder, dan

trombofilia (misalnya sindrom antibodi antifosfolipid).10

Wanita yang mengalami hipertensi gestasional mempunyai risiko lebih

tinggi untuk mengalami hipertensi di kemudian hari. Setelah follow up selama 7

tahun pada 223 wanita yang mengalami eklampsia, didapatkan bahwa risiko

paling tinggi adalah pada wanita yang mengalami hipertensi pada usia kehamilan

23
sebelum 30 minggu. Wanita dengan hipertensi gestasional juga mengalami

resistensi insulin lebih tinggi.9,16

Wanita preeklampsia memiliki risiko penyakit kardiovaskuler lebih tinggi

bahkan hingga bertahun-tahun pascapersalinan, serta mempunyai risiko lebih

besar terjadinya disfungsi dan hipertrofi ventrikel kiri asimptomatik dalam 1-2

tahun pasca-persalinan.18

Risiko kematian karena penyakit kardio-serebrovaskuler juga dua kali

lebih besar pada wanita dengan riwayat preeklampsia. Wanita dengan riwayat

preeklampsia onset sebelum 34 minggu atau preeklampsia yang disertai

persalinan preterm mempunyai risiko kematian karena penyakit kardiovaskuler 4-

8 kali lebih besar dibandingkan wanita dengan kehamilan normal.11,19

Mekanismenya masih belum diketahui pasti, tetapi disfungsi endotel yang

berkaitan erat dengan proses aterosklerosis menetap selama bertahun-tahun

setelah kejadian preeklampsia. Tiga bulan hingga paling tidak tiga tahun pasca-

persalinan masih di dapat kan gangguan dilatasi endotel. Wanita dengan riwayat

preeklampsia juga dilaporkan lebih sensitif terhadap angiotensin II dan garam.

Penanda aktivasi endotel, meliputi vascular cell adhesion molecule-1 dan

intercellular adhesion molecule-1 kadarnya lebih tinggi hingga >15 tahun pasca-

persalinan. Adanya diabetes melitus, hipertensi kronis, dan penyakit ginjal

sebelum kehamilan dapat meningkatkan risiko preeklampsia.11,20

Obat antihipertensi larut lemak konsentrasinya dapat lebih tinggi di air

susu ibu (ASI). Paparan neonatus pada penggunaan obat metildopa, labetalol,

captopril, dan nifedipin rendah, sehingga obat-obat ini dianggap aman diberikan

24
selama menyusui. Diuretik juga didapatkan pada konsentrasi rendah, tetapi dapat

mengurangi produksi ASI.10 Metildopa sebaiknya dihindari pascapersalinan

karena dapat menyebabkan depresi pasca-melahirkan.17

B. PRETERM

1. Definisi

Persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi sebelum usia kehamilan

37 minggu (Alston, 2012). Organisasi Kesehatan Dunia yaitu WHO (2013)

membagi persalinan prematur menjadi tiga kategori berdasarkan umur kehamilan,

yaitu:

a. extremely preterm bila kurang dari 28 minggu

b. very preterm bila kurang dari 32 minggu

c. moderate to late preterm antara 32 dan 37 minggu.

Persalinan preterm dapat disebabkan oleh banyak faktor. Cunningham,

et.al., (2004) menyatakan bahwa penyebab persalinan prematur dapat dibagi

menjadi:

1. Komplikasi medis dan obstetrik Kurang lebih 1/3 dari kejadian persalinan

prematur disebabkan oleh halhal yang berkaitan dengan komplikasi medis atau

obstetrik tertentu misalnya pada kasus-kasus perdarahan antepartum atau

hipertensi dalam kehamilan yang sebagian besar memerlukan tindakan terminasi

saat kehamilan preterm. Akan tetapi, 2/3 dari kejadian persalinan prematur tidak

diketahui secara jelas penyebabnya karena persalinan prematur pada kelompok ini

terjadi persalinan yang spontan atau idiopatik (Feryanto, 2011).

25
2. Faktor gaya hidup Perilaku seperti merokok, gizi buruk, penambahan berat

badan yang kurang baik selama kehamilan, serta penggunaan obat seperti kokain

atau alkohol telah dilaporkan memainkan peranan penting pada kejadian prematur

dan hasil akhir bayi dengan berat lahir rendah (Cunningham et al, 2004).

Penyalahgunaan alkohol tidak hanya dikaitkan dengan kelahiran prematur

melainkan dengan peningkatan cedera otak pada bayi yang lahir prematur.

Konsumsi alkohol yang berlebihan selama kehamilan dapat memengaruhi

perkembangan fetus dan harapan hidup neonatus. Wanita yang mengonsumsi

alkohol lebih dari satu gelas per hari dapat meningkatkan risiko persalinan

prematur sementara jika mengosumsi akohol kurang dari 4 gelas tiap miggu tidak

memberikan efek meningkatkan risiko persalinan premature (Offiah, Donoghue,

dan Kenny, 2012). Faktor usia juga diduga berhubungan dengan kejadian

persalinan prematur. Wanita usia muda cenderung mempunyai pasangan seksual

yang lebih banyak dan infeksi pada vagina, sementara wanita usia yang lebih tua

cenderung mengalami kontaksi uterus yang irregular, seperti mioma

(Chalermchockcharoenkit, 2002).

3. Faktor genetik

Kelahiran prematur juga diduga sebagai suatu proses yang terjadi secara familial

karena sifat persalinan prematur yang berulang dan prevalensinya yang berbeda-

beda antar ras (Cunningham et al, 2004).

4. Infeksi cairan amnion dan korion Infeksi koriamnion yang disebabkan oleh

berbagai mikroorganisme telah muncul sebagai penyebab kasus pecah ketuban

dini dan persalinan prematur. Proses persalinan aterm diawali dengan aktivasi dari

26
fosfolipase A2 (PLA-2) yang melepaskan bahan asam arakidonat dari selaput

amnion janin sehingga meningkatkan penyediaan asam arakidonat benas untuk

sintesis prostaglandin. Banyak mikroorganisme yang menghasilkan fosfolipase A2

sehingga mencetuskan persalinan prematur. Endotoksin bakteri (liposakarida)

dalam cairan amnion merangsang sel desidua untuk memproduksi sitokin dan

prostaglandin yang memicu persalinan (Cunningham, 2004). Drife dan Magowan

dalam Prawirohardjo (2011) menyatakan bahwa proses persalinan prematur yang

dikaitkan dengan infeksi diperkirakan diawali dengan pengeluaran produk

sebagai hasil dari aktivasi monosit. Berbagai sitokin termasuk interleukin-1,

tumor nekrosing faktor (TNF), dan interleukin 6 adalah produk sekretorik yang

dikaitkan dengan persalinan prematur. Sementara itu, Platelet Activating Factor

(PAF) yang ditemukan dalam air ketuban terlibat secara sinergik pada aktivasi

jalinan sitokin tadi. PAF diduga dihasilkan dari paru dan ginjal janin. Dengan

demikian janin memerankan peran sinergik dalam mengawali proses persalinan

prematur yang disebabkan oleh infeksi. Bakteri sendiri mungkin menyebabkan

kerusakan membran melalui pengaruh langsung dari protease.

Sedangkan Prawirohardjo (2011) menyatakan bahwa kondisi yang terjadi

selama kehamilan dapat berisiko terhadap kejadian persalinan prematur yang

dibagi dalam dua faktor, yaitu:

1. Janin dan plasenta

a. perdarahan trimester awal

b. perdarahan antepartum (plasenta previa, solution plasenta, vasa previa)

27
c. ketuban pecah dini (KPD)

d. pertumbuhan janin terhambat

e. cacat bawaan janin

f. kehamilan ganda/gemeli

g. polihidramnion

2. Ibu

a. penyakit berat pada ibu

b. diabetes mellitus

c. preeklamsia/hipertensi

d. infeksi saluran kemih/genital/intrauterin

e. penyakit infeksi dengan demam

f. stress psikologik

g. kelainan bentuk uterus/serviks

h. riwayat persalinan prematur/abortus berulang

i. inkompetensia serviks (panjang serviks kurang dari 1 cm)

j. pemakaian obat narkotik

k. trauma perokok berat

l. kelainan imunologik/kelainan resus

28

Anda mungkin juga menyukai