Anda di halaman 1dari 11

REFERAT

TETANUS

Disusun oleh :
Syarafah Dara Gifari
1102014260

Pembimbing :
dr. Maula Nuruddin Gaharu, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK SYARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RUMAH SAKIT BHAYANGKARA Tk. I R.S. SUKANTO
PERIODE 06 AGUSTUS 2018 – 08 SEPTEMBER 2018
BAB I

PENDAHULUAN

Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan
oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat.. Tetanus disebut
juga dengan "Seven day Disease ". Dan pada tahun 1890, diketemukan toksin seperti
strichnine, kemudian dikenal dengan tetanospasmin, yang diisolasi dari tanah anaerob yang
mengandung bakteri. lmunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan
pencegahan dari tetanus.
Tetanus merupakan penyakit yang disebakan oleh tetanospasmin, yaitu sejenis
neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani yang menginfeksi sistem saraf dan otot
sehingga saraf dan otot menjadi kaku (rigid). Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani yaitu
tetanos dari teinein yang berarti menegang. Penyakit ini adalah penyakit infeksi di saat spasme
otot tonik dan hiperrefleksia menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum,
melengkungnya punggung (opistotonus), spasme global, kejang, dan paralisis pernapasan.
Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh karena
terpotong , tertusuk ataupun luka bakar serta pada infeksi tali pusat (Tetanus Neonatorum ).
BAB II

Tinjauan Pustaka

Definisi
Tetanus adalah Gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan
spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan
oleh Clostridium tetani. Penyakit ini disebabkan oleh Clostridium tetani, merupakan basil
Gram positif anaerob. Bakteri ini nonencapsulated dan berbentuk spora, yang tahan panas,
pengeringan dan desinfektan. Spora adalah di mana-mana dan ditemukan di tanah, debu rumah,
usus hewan dan kotoran manusia. Spora ini akan memasuki tubuh penderita, lalu mengeluarkan
toksin yang bernama tetanospasmin.

Epidemiologi

Menurut penelitian angka kejadian tetanus berhubungan dengan benca alam yang
terjadi disuatu negara. Seperti di Indonesia, terjadi outbreak tetanus setelah bencana alam
tsunami pada tahun 2004 dan gempa bumi di Yogyakarta pada tahun 2006. Menurut Aceh
Epidemiology Group 2006, dari data rekam medis yang dikupulakan menunujakan rata-rata
usia pasien yang terkena tetanus pasca tsunami adalah 40 tahun, dengan kisaran usia 1-70
tahun.

Tetanus banyak terjadi pada laki-laki dibandingan dengan perempuan. Sebagai contoh
angka kejadi tetanus pada laki-laki pasca tsunami tahun 2004 sebanyak 67 kasus dan pada
perempuan sebanyak 39 kasus. Kejadian tetanus pasca gempabumi di Yohyakarta pada tahun
2006 pada laki-laki sebanyak 20 kasus dan pada perempuan sebanyak 6 kasus.

Etiologi

C. tetani termasuk dalam bakteri Gram positif, anaerob obligat, dapat membentuk spora, dan
berbentuk drumstick. Spora yang dibentuk oleh C. tetani ini sangat resisten terhadap panas dan
antiseptik. Ia dapat tahan walaupun telah diautoklaf (1210C, 10-15 menit) dan juga resisten
terhadap fenol dan agen kimia lainnya. Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di
tanah, kotoran manusia dan hewan peliharaan dan di daerah pertanian. Umumnya, spora bakteri
ini terdistribusi pada tanah dan saluran penceranaan serta feses dari kuda, domba, anjing,
kucing, tikus, babi, dan ayam. Ketika bakteri tersebut berada di dalam tubuh, ia akan
menghasilkan neurotoksin (sejenis protein yang bertindak sebagai racun yang menyerang
bagian sistem saraf). C. tetani menghasilkan dua buah eksotoksin, yaitu tetanolysin dan
tetanospasmin. Fungsi dari tetanolysin tidak diketahui dengan pasti, namun juga dapat
menyebabkan lisis dari sel-sel darah merah. Tetanospasmin merupakan toksin yang cukup
kuat. Tetanospasmin merupakan protein dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air,
labil pada panas dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik

Bentuk vegetative tidak tahan terhadap panas dan beberapa antiseptic. Kuman tetanus tumbuh
subur pada suhu 17o C dalam media kaldu daging dan media agar darah. Demikian pula media
bebas gula karena kuman tetanus tidak dapat mengfermentasi glukosa.

Patogenesis dan Patofisiologi

Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke susunan saraf pusat:
(1) Toksin diabsorpsi di neuro- muscular junction, kemudian bermigrasi melalui jaringan
perineural ke susunan saraf pusat,

(2) Toksin melalui pembuluh limfe dan darah ke susunan saraf pusat. Masih belum jelas
mana yang lebih penting, mungkin keduanya terlibat.

Pada mekanisme pertama, toksin yang berikatan pada neuromuscular junction lebih memilih
menyebar melalui saraf motorik, selanjutnya secara transinaptik ke saraf motorik dan otonom
yang berdekatan, kemudian ditransport secara retrograd menuju sistem saraf pusat.
Tetanospasmin yang merupakan zinc dependent endopeptidase memecah vesicle associated
membrane protein II (VAMP II atau synaptobrevin) pada suatu ikatan peptida tunggal.
Molekul ini penting untuk pelepasan neurotransmiter di sinaps, sehingga pemecahan ini
mengganggu transmisi sinaps. Toksin awalnya mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah
pelepasan glisin dan γ-amino butyric acid (GABA). Pada saat interneuron menghambat
motor neuron alpha juga terkena pengaruhnya, terjadi kegagalan menghambat refleks
motorik sehingga muncul aktivitas saraf motorik tak terkendali, mengakibatkan peningkatan
tonus dan rigiditas otot berupa spasme otot yang tiba-tiba dan potensial merusak. Hal ini
merupakan karakteristik tetanus. Otot wajah terkena paling awal karena jalur axonalnya
pendek, sedangkan neuron-neuron simpatis terkena paling akhir, mungkin akibat aksi toksin
di batang otak. Pada tetanus berat, gagalnya penghambatan aktivitas otonom menyebabkan
hilangnya kontrol otonom, aktivitas simpatis yang berlebihan dan peningkatan kadar
katekolamin. Ikatan neu- ronal toksin sifatnya irreversibel, pemulihan membutuhkan
tumbuhnya terminal saraf yang baru, sehingga memanjangkan durasi penyakit ini.

Manifestasi klinik

Masa inkubasi tetanus adalah 4-14 hari,, dengan rata-rata 7 hari (pada 73% dari
kasus). Pasien dengan manifestasi klinis yang terjadi dalam 1 minggu setelah cedera memiliki
gambaran klinis yang lebih parah (makin pendek masa inkubasi makin jelek prognosisnya).

Toxin tetanus menyebabkan hiperaktivitas dari voluntary muscles yang berakibat


rigiditas dan spasme. Rigiditas adalah keadaan tonik dimana terjadi kontraksi otot involunter
dan spasme adalah keaadan kontraksi otot yang terjadi akibat peregangan otot atau karena
stimulasi sensorik. Misalnya, rigiditas otot temporal dan masseter mengarah ke trismus
(lockjaw), keadaan diamana ketidak mampuan untuk membuka mulut. Gejala lain yang dapat
terjadi yaitu risus sardonicus, disfagia, kekakuan leher, kekakuan perut, dan opistotonus, yaitu,
merupakan manifestasi dari hiperaktif otot-otot kepala, leher, dan punggung. Eksterimatas
tidak terlalu terpengaruh, tetapi pada opistotonus penuh terdapat fleksi lengan dan ekstensi
kaki, seperti pada postur yang terdekortasi. Trismus sering merupakan gejala awal pada tetanus
lokal / cephalic dan generalisata .Selain itu, nyeri otot umum, paralisis flaksid fokal, dan
berbagai gejala seperti diplopia, nystagmus, dan vertigo dapat terjadi.

Disfungsi otonom seperti takikardia, hipertensi, dan berkeringat, kadang-kadang cepat


bergantian dengan bradikardi dan hipotensi sering terjadi, terutama pada tetanus generalisata.
Gejala otonom cenderung terjadi seminggu setelah terjadinya gejala motorik.

Toksin dari tetanus juga dapat menginvasi saraf sensorik, yang menyebabkan sensasi
sensorik yang berubah, seperti nyeri dan allodynia. Namun tidak jelas di mana efek ini terjadi,
karena penelitian menunjukkan bahwa toksin tidak dapat melewati ganglia sensoris tulang
belakang. Oleh karena itu, efek sensori dari racun bersifat perifer. Sensasi yang berubah dalam
tetanus secara dominan terlihat di wilayah kepala, yaitu, di area saraf trigeminal.

Tiga bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yaitu:

1. Localited tetanus ( Tetanus Lokal )


Tetanus local merupakan tetanus yang jarang terjadi. Pada lokal tetanus
dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah tempat terjadinya luka.
Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa
progressif dan biasanya menghilang secara bertahap. Tetanus local dapat berkembang
menjadi tetanus generalis.
2. Cephalic Tetanus
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Tetanus ini disebabkan
karena luka pada daerah daerah muka dan kepala. Tetanus cephalic paling sering
ditandai oleh lumpuhnya saraf kranial VII.
3. Generalized tetanus (Tetanus umum) dan tetanus neonatal
Tetanus generalis dan neonatal mempengaruhi otot seluruh badan dan berakibat
opistotonus (keadaan dimana terjadinya backward arching karena rigiditas dari otot
leher dan punggung) dan dapat juga menyebabkan gagal nafas dan kematian akibat
rigiditas dan spasme dari otot laring dan otot-otot pernafasan.

Tetanus neonatal adalah tetanus yang terjadi pada bayi yang berusia dibawah
1 bulan.. Tetanus ini terjadi pada bayi yang tidak mempunyai kekebalan imun dari
ibunya. Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat sewaktu
proses pertolongan tali pusat. Spora yang masuk disebabkan oleh proses pertolongan
persalinan yang tidak steril, dari penggunaan alat yang telah terkontaminasi spora
C.tetani, maupun penggunaan obat-obatan untuk tali pusat yang telah terkontaminasi.

Tetanus neonatal juga berhubungan dengan infeksi kulit, seperti pada kasus
yang terjadi pada bayi berusia 8 hari yang di bawa ke IGD karena adanya luka pada
bagian bawah abdomennya yang disertai dengan kejang generalis.

Diagnosis

Diagnosis tetanus adalah murni diagnosis klinis berdasarkan riwayat penyakit dan
temuan saat pemeriksaan. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan uji spatula, dilakukan
dengan menyentuh dinding posterior faring menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan
steril. Hasil tes positif jika terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil
negatif berupa refleks muntah. Pemeriksaan darah dan cairan cerebrospinal biasanya normal.
Kultur C. tetani dari luka sangat sulit (hanya 30% positif), dan hasil kultur positif mendukung
diagnosis, bukan konfirmasi
Tatalaksana

1. Membersihkan luka
2. Antibiotik
Pemebrian metronidazole secara intravena sebanyak 3x500 mg atau penisilin 100.00-
200.00 IU/kg/hari.
Pemberian antobiotik diteruskan untuk 7-10 hari .
3. Antitoxin tetanus
 Antitoxin tetanus diberikan secara intramuscular dengan dosis 500 IO,3000 IU
, atau lebih, namun masih menjadi perdepan mengenai ke efektifan dosis yang
lebih tinggi. Dapat pula diberika intratekal. Peberian intrateka (contohnya
memalui pungi lumbal) dipercaya lebih efektif karena dapat menonaktifkan
toksin tetanus selama trans-sinaptik. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian
intratekal lebih unggul dibandingkan pemberian intramuskular
 Antitoxin diberikan untuk menginaktifasi toxin tetanus yang masih bebas di
dalam darah. Toxin yang sudah bergabung dengan jaringan saraf tidak dapat
dinetralisir oleh antioksin tetanus.

4. Muscle relaxation
 Bertujuan untuk menghilangkan gejala rigiditas dan spasme otot.
 Benzodiazepine
o Merupakan obat standard untuk terapi Muscle relaxation
o Diazepam :
1. Merupakan obat golongan benzodiazepine yang paling banyak
digunakan karena harganya yang terjangkau
2. Dosis diazepam yang diekomendasikan adalah 0,1-0,3
mg/kgBB/ kali dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis,
dosis yang direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah 8
mg/kgBB/hari oral dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam.
3. Untuk bayi (tetanus neonatorum) diberikan dosis awitan 0,1-0,2
mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infus
tetesan tetap 15-40 mg/ kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis
diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat
diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis maksimal adalah 40
mg/kgBB/hari.
4. Tambahan efek sedasi bisa didapat dari barbiturate khususnya
phenobarbital dan phenotiazine seperti chlorpromazine,
penggunaannya dapat menguntungkan pasien dengan gangguan
otonom. Phenobarbital diberikan dengan dosis 120-200 mg
intravena, dan diazepam dapat ditambahkan terpisah dengan
dosis sampai 120 mg/hari. Chlorpromazine diberikan setiap 4-8
jam dengan dosis dari 4-12 mg bagi bayi sampai 50-150 mg
bagi dewasa. Morphine bisa memiliki efek sama dan biasanya
digunakan sebagai tambahan sedasi benzodiazepine.
5. Magnesium sulfat intravena dicoba untuk mengendalikan
spasme dan disfungsi otonom; dosis loading 5 g (atau 75 mg/
kg) IV dilanjutkan 1 sampai 3 g/jam sampai spasme terkontrol
telah digunakan untuk mendapatkan konsentrasi serum 2
sampai 4 mmol/L. Untuk menghindari overdosis, dimonitor
reflek patella.

5. Tempatkan dilikungan yang tenang untuk menghidari trigger dari spasme

Pencegahan

 Edukasi, support dan vaksin


Vaksin merupakan program jangka Panjang.

Vaccination programs are a long-term effort. Therefore, other factors play important roles in
preventing tetanus outbreaks, including health education and disaster management following
the national guidelines (Kouadio et al. 2012). To prevent tetanus outbreaks following a disas-
ter, external support is necessary for an immediate response including aid and supplies and
also post-disaster surveil- lance system. To treat injured people appropriately, surgi- cal and
medical care of contaminated open wounds and avoidance of late treatment are crucially
important. Medical aid such as tissue debridement supplies, disinfec- tants, tetanus
prophylaxis, and antibiotic treatment are expected to be available and be provided (WHO
2010). During emergencies, skilled health workers or staff mem- bers should be made
available in primary-level health facil- ities to provide clinical management, wound care, and
teta- nus prevention (The Sphere Project 2011).

Adanya dua program yang dilakukan untuk mencegah tetanus neonatal :

1. Imunisasi pada ibu hamil


2. Menjaga kebersihan proses persalinan. Terdapat 6 “clean” dalam persalinan,yaitu :
a. Clean hand
b. Clean perineum
c. Clean delivery surface
d. Cleand cord cutting
e. Clean cord tying
f. Cleand cord care

Prevention of tetanus in children

Serum immunoglobulin levels of >0.01 IU/mL are protective. Infants should be immunised,
as advised by the WHO. In SA, this guideline is offered in the national ‘Road To Health’
booklet. It is important to administer a booster after every 5 years and to follow antenatal
tetanus immunisation protocols. Neonates who have had tetanus should be immunised at
discharge, as per the guidelines. However,

it is safe to immunise patients at diagnosis. This also avoids the possibility of its being
forgotten on the day of discharge.
BAB III

Kesimpulan

Tetanus adalah penyakit yang gejalanya adalah kekakuan otot, terutama otot wajah dan leher.
Hal ini disebabkan oleh masuknya spora dari kuman Clostridium tetani yang masuk melalui
luka pada tubuh. Angka kejadian tetanus dapat berhubungan dengan kejadian benca alam yang
tejadi disuatu negara. Berdasarkan gejala klinisinya tetanus dapat dibagi menjadi tetanus
generalis, neonatorum, lokal dan cephalic. Untuk mediagnosis tetanus dapat dilakukan
berdasarkan riwayat peyakit, gejala klinis dan pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan fisik dapat
dilakukan uji spatula. Tatalaksana yang dapat diberikan berupa pembersihan luka, antibiotik,
antitoxin tetanus, Muscle relaxation, dan ditempatkan di tempat yang tenang untuk mencegah
triger dari spasme.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai