Dalam Memorie van Toelichting alasan tidak dapat dipertanggung jawabkan pidana kepada
pelaku dibedakan menjadi dua . Pertama , alasan yang berada dalam diri pelaku (inwendige orrzaken
van ontorekenbaarheid) sebagaimana yang terdapat dalam pasal 44 KUHP perihal kemampuan
bertanggungjawab yang dirumuskan secara negatif. Kedua , alasan yang berada diluar diri pelaku
(uitwendige oorzaken van ontoerekenbaarheid) sebagaimana yang tertuang dalam pasal 48 sampai
dengan pasal 51 KUHP. Selain alasan penghapus pidana yang dibedakan menjadi alasan pembenar –
alasan pemaaf dan alasan yang berada dalam diri pelaku – alasan yang berada diluar diri pelaku,
pembagian alasan penghapus pidana lainnya adalah alasan penghapus pidana yang umum dan alasan
penghapus pidana khusus. Alasan penghapus pidana umum adalah alasan penghapus pidana yang
terdapat baik dalam KUHP maupun diluar KUHP. Sedangkan alasan penghapus pidana khusus yaitu
alasan penghapus pidana yang hanya berlaku untuk delik-delik tertentu saja.
A. TEORI-TEORI ALASAN PENGHAPUS PIDANA
George P.Fletcher dalam Rethinking Criminal Law mengemukakan ada 3 teori terkait alasan
penghapus pidana. Pertama, Theory of Pointless Punishment (teori hukuman yang tidak perlu). Teori
ini berpijak pada The Utilitarian Theory of Punishment atau toeri manfaat dari hukuman. Menurut
teori ini tidak ada gunanya menjatuhkan pidana kepada orang gila atau orang yang menderita sakit
jiwa. “If punishment is pointless in a particular class of casses, in inflict pain without a
commensurate benefit and therefore should not be permitted”, Fletcher.
Teori ini tidak terlepas dari ajaran Jeremy Bentham – bahwa pemidanaan haruslah
bermanfaat. Ada 3 kemanfaatan dari pemidanaan. Pertama, pemidanaan akan sangat bermanfaat jika
dapat meningkatnya perbaikan diri pada pelaku kejahatan. Kedua , pemdanaan harus menghilangkan
kemampuan untuk melakukan kejahatan. Ketiga , pemidanaan harus memberikan ganti rugi kepada
pihak yang dirugikan. Bentham kemudian menyatakan bahwa pidana sama sekali tidak memiliki
nilai pembenaran apapun bila semata-mata dijatuhkan untuk sekedar menambahkan lebih banyak
penderitaan atau kerugian pada masyarakat.
Tidak ada gunanya menjatuhkan pidana kepada orang yang tidak menyadari apa yang
diperbuatnya. Pelaku yang gila atau sakit jiwa atau cacat dalam tumbuhnya tidak mampu menginsyafi
perbuatannya dan tidak dapat mencegah terjadinya perbuatan yang dilarang , sehingga penjatuhan
pidana kepada orang yang demikian tidak akan memberikan manfaat sedikitpun, justru akan melukai
rasa keadilan masyarakat.
Kedua , Theory of Lessers Evils atau teori peringkat kejahatan yang ringan. Teori ini
merupakan alasan pembenar, oleh karena itu teori ini merupakan alasan penghapus pidana yang
berasal dari luar diri pelaku atau uitwendig. Disini pelaku haurs memilih salah satu dari dua perbuatan
yang sama-sama menyimpang dari aturan. Perbuatan yang dipilih sudah tentu adalah perbuatan yang
peringkat kejahatannya lebih ringan.
Menurut Theory of Lessers Evils perbuatan dapat dibenarkan atas dasar dua alasan. Pertama,
meskipun perbuatan tersebut melanggar aturan , namun perbuatan tersebut harus dilakukan untuk
mengamankan kepentingan yang lebih besar. Kedua , perbuatan yang melanggar aturan tersebut
hanya merupakan satu-satunya yang dapat dilakukan secara cepat dan paling mudah untuk
mmenghindari bahaya atau ancaman yang akan timbul.
Teori ini lebih mempertimbangkan sudut peringkat “kurang-lebihnya” atau “untung-ruginya”
dampak dari suatu perbuatan pidana yang dilakukan. Jika perbuatan itu dilakukan untuk
mengutamakan kepentingan yang lebih besar atau kepentingan yang lebih baik lebih menguntungkan,
maka perbuatan yang melaggar aturan itu dapat dibenarkan. Ketiga , Theory of Necessary Defense
atau teori pembelaan yang diperlukan. Teori ini dapat menghapuskan sifat yang dicelanya pelaku, dan
digolongkan dalam teori alasan pemaaf .
B. ALASAN PENGHAPUS PIDANA UMUM
1) Alasan penghapus pidana umum menurut Undang-Undang
Terdapat dalam pasal 44, pasal 48, pasal 49 , pasal 50 dan pasal 51 KUHP.
a. Tidak mampu bertanggung jawab
Kemampuan bertanggung jawab meliputi 3 hal yaitu : pertama, mampu memahami secara
sungguh-sungguh akibat dari perbuatannya . kedua, mampu untuk menginsyafi perbuatan itu
bertentangan dengan ketertiban masyarakat. Ketiga, mampu untuk menentukan kehendak berbuat.
Praduga dari semua pertanggungjawaban dalam hukum pidana yaitu pelaku cukup normal
untuk dapat menginsyafi baik-buruk dan dapat mengarahkan perbuatannya. Berdasarkan pernyataan
Pompe , pertama, bertanggung jawab dalam konteks kemampuan bertanggungjawab adalah sesuatu
yang terlepas dari perbuatan pidana . Kedua, setiap orang dianggap bertanggung jawab atas apa yang
dilakukan olehnya. Ketiga, jika tidak mampu bertanggung jawab , maka hal itu merupakan dasar
penghapus pidana. Kemampuan bertanggung jawab dalam KUHP tidak dirumuskan secara positif,
melainkan secara negatif. Pasal 44 KUHP menyatakan :
Tidak mampu bertanggung jawab:
(1). Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya,
disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit.
(2) Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan
karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya aau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat
memerintahkan supaya orang itu dimasukkan kedalam rumah sakit jiwa, paling lama satu
tahun sebagai waktu percobaan.
(3) Ketentuan tersebut dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung , Pengadilan
Tinggi dan Pengadilan Negeri.
Berdasarkan yang dikemukakan oleh Schaffmeister, Keijzer dan Sutorius dapat disimpulkan bahwa
tidak mampu bertanggungjawab adalah alasan penghapus pidana yaitu alasan pemaaf yang berasla
dari diri pelaku. Dengan demikian berlakulah theory of pointless punishment atau hukuman yang tidak
perlu. Artinya tidak ada manfaatnya sama sekali untuk menghukum atau menjauhkan pidana terhadap
pelaku yang mengalami gangguan jiwa yang telah melakukan suatu tindak pidana.
b. Daya Paksa
Pasal 48 KUHP menyatakan , “Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya
paksa, tidak dipidana”. Daya paksa adalah terjemahan dari overmacht . Terdapat beberapa postulat
terkait daya paksa yakni : pertama , quod alias non fuit licitium necessitas licitum facit . Artinya
keadaaan terpaksa memperbolehkan apa yang tadinya dilarang oleh hukum. Kedua, in casu extremae
nessecitates omnia sunt communia yang berarti dalam keadaan terpaksa , tindakan yang diambil
dipandang perlu. Ketiga, necessitas quod cogit defendit : keadaan terpaksa melindungi apa yang
harus diperbuat. Keempat , necessitas sub lege non continetur, quia quod alias non est licitum
necessitas facit licitum . Artinya, keadaan terpaksa tidak ditahan oleh hukum, perbuatan yang
dilarang oleh hukum , namun dilakukan dalam keadaan terpaksa maka perbuatan tersebut dianggap
sah. Van Bemmelen dan van Hattum menyatakan bahwa paksaan disini berarti tekanan fisik atau
psikis; paksaan itu dapat dilaksanakan oleh pihak ketiga dangan kekerasan atau ancaman atau cara-
cara yang lain atau paksaan itu terletak dalam kodrat alam atau hal-hal disekitar kita. Jan Remmelink
menyatakan bahwa dalam pandangan hukum alam, perbuaan yang dilakukan dalam keadaan
overmacht dianggap tercakup dalam hukum. Hukum Kanonik mengajarkan necessitas non hebet
legen atau not kent kein gebot atau keadaan darurat tidak mengenal larangan. Hazelwinkel Suringa
demikian pula Remmelink dengan mengutuip pendapat Fichte menyatakan bahwa siapa yang
bertindak karena adanya daya paksa, exempt von der rechtsordnung atau dikecualikan dari tertib
hukum.
Jonkers membagi daya paksa menjadi tiga . Pertama , daya paksa absolut. Contohnya, A
dihipnotis oleh B untuk membunuh C. Artinya A membunuh C dalam keadaan dihipnotis oleh B .
Kedua , daya paksa relatif. Kekuasaan dan kekuatan yang memaksa orang itu tidak mutlak. Orang
yang dipaksa masih ada kesempatan untuk memilih perbuatan yang mana. Sudarto, memberi contoh
seorang kasir bank yang ditodong kawanan perampok dipaksa untuk menyerahkan uang. Disini
paksaan tersebut sebenarnya dapat melawan namun dari orang yang berada dalam paksaan itu tidak
dapat diharapkan bahwa ia akan melakukan perlawanan. Sekalipun dipaksa pelaku sesungguhnya
mewujudkan kehendak bebasnya. Moeldjatno, menyebutkan karena pengaruh daya paksa. Dayapaksa
yang relatif juga disebut sebagai vis compulsiva dalam arti sempit atau karena paksaan psikis atau
contrainte morale. Dalam keadaan demikian juga berlaku adagium ignoscitur ei qui sanguinem suum
qualiter redemptum voluit: apapun yang dilakukan oleh seseorang karena ketakutan akan kehilangan
hidupnya , tidak akan dihukum.
Keiga, adalah keadaan darurat. Disini seseorang berada dalam dua pilihan untuk melakukan
perbuatan pidana yang mana berdasarkan keadaan-keadaan tertentu. Kalau vis compulsiva dalam arti
sempit juga disebut daya paksa relatif karena daya paksa tersebut berasal dari orang lain, maka
keadaan darurat berasal dari keadaan atau situasi tertentu. Menuru Jonkers , baik daya paksa maupun
keadaan darurat merupakan alasan pembenar dan bukan alasan pemaaf. Van Hamel juga
memasukkan daya paksa ke dalam alasan pembenar. Demikian juga Pompe yang berpandat bahwa
daya paksa yang termasuk dalam alasan pembenar. Menurut Pompe, pelaku tidak perlu melawan
paksaan tersebut. Artinya paksaan tersebutlah yang membenarkan tindakan pelaku. Alasan yang
membenarkan tindakan pelaku adalah alasan yang menghilangkan unsur melawan hukumnya
perbuaan karena ada paksaan tersebut. Dengan demikian daya paksa adakah suatu alasan pembenar.
Pendapat Jonkers , van Hamel, dan Pompe yang memasukkan daya paksa sebagai alasan
pembenar disanggah oleh van Bemmelen dan van Hattum yang menggolongkan daya paksa sebagai
alasan pemaaf. Demikian pula Moeljatno yang mengikuti pendapat van Bemmelen dan van
Hattum. Berbeda dengan van Hammel, Jonkers, Pompe , Moeljatno, van Bemmelen dan van
Hattum adalah Simons , Noyon dan Langemeijer. Simons membedakan daya paksa dalam arti
sempit sebagai tekanan psikis dan keadaaan darurat. Menurut Simons , demikian juga Noyon dan
Langemeijer, menyatakan bahwa daya paksa dalam arti sempit adalah alasan pemaaf, sedangkan
keadaan darurat adalah alsan pembenar. Pendapat lain adalah Vos yang mnyatakan daya paksa absolut
dan daya paksa relatif dalam arti sempit sebagai tekanan psikis termasuk dalam alasan pemaaf.
Sementara keadaan darurat harus dilihat kasus demi kasus karena dapat saja keadaan darurat sebagai
alasan pemaaf, namun keadaaan darurat dapat juga sebagai alasan pembenar.
Hazewinkel Suringa berbeda dengan pendapat para ahli hukum pidana lainnya. Suringa
tidak sependapat dengan pembedaan daya paksa dalam arti sempit sebagai alasan pemaaf dan keadaan
darurat sebagai alasan pembenar. Menurutnya, sifa darikeadaan daya paksa sangat bermacam-macam
sehingga tidak dpat dipastikan sebagai alasan pemaaf ataukah alasan pemebanr, tergantung dari sifat
suatu kejadian , apakah akan digolongkan kedalam alasan pemaaf ataukah alasan pembenar.
Scaffmeister, Keijzer dan Sutorius yang menggolongkan daya paksa kedalam golongan
alasan pemaaf menyatakan pembelaan atas daya paksa pskikis atau daya paksa subjektif berpegang
pada beberapa prinsip . Pertama, apakah pelaku dalam keadaan tersebut, tidak ada jalan keluar lain.
Kedua , apakah situasi daya paksa itu tidak disebabkan oleh terdakwa sendiri. Dalam konteks yang
demikian berarti kita berbicara mengenai prinsip culpa in causa.Schaffmeister, Keijzer dan
Sutorius menambahkan keadaan darurat sebagai daya paksa yang objektif dan memasukkan kedalam
golongan alasan pembenar.
Selain daya paksa ada juga yang disebut sebagai tekanan moral atau constantain morale
sebagai bagian dari tekanan psikis. Tekanan psikis bernuansa moral ini akan diukur secara
berdasarkan kekuatan tekanan tersebut. Putusan Hoge Raad 24 April 1939 memutuskan constrainte
morale tidak sebagai daya paksa namun dipertimbangkan sebagai hal yang meringankan. Seorang
anak dilarang orang tuanya untuk mendaftarkan diri sebagai anggota bersenjata daam rangka wajib
militer . Anak tersebut tidak dapat dibebaskan dari kesalahan atas dasar tekanan moral.
c. Keadaan Darurat
Dalam KUHP tidak ada aturan mengenai apa saja yang dimaksud dengan keadaan daarurat.
Menurut sejarah pembenntukan KUHP dan notulensi Komisis De-Wal , situasi keadaan darurat
digolongkan dalam overmacht atau daya paksa sehhingga pengaturan keadaan darurat tersendiri
dianggap tidak perlu. Keadaan darurat atau noodtoestand adalah alasan pembenar .Artinya perbuatan
pidana yang dilakukan dalam keadaan daruurat menghapuskan elemen melawan hukumnya perbuatan.
Dalam keadaan darurat ada 3 kemungkinan. Pertama , pertentangan antara dua kepentingan. Kedua,
pertentangan antara kepentingan dan kewajiban. Ketiga, pertentangan antara dua kewajiban.
d. Pembelaan Terpaksa
Pembelaan terpaksa atau noodweer dalam KUHP diatur pada pasal 49 ayat (1), menyatakan ,
“Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan dan ancaman
serangan seketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain, terhadap
kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana” . Kendatipun
dalam Memorie van Toelitching tidak ditemukan istilah “Pembelaan Terpaksa”. namun ketentuan
Pasal 49 ayat (1) secara implisit memberikan persyaratan terhadap pembelaan terpaksa.
Pada awalnya pembelaan terpaksa tidak dikenal karena didasarkan pada postulat zaman kuno
yang menyatakan , vim vi rapellere licet . Artinya , kekrasan tidak boleh dibalas dengan kekerasan.
Dalam perkembangannya adagium ini sudah ditinggalkan dalam rangka penegakkan ketertiban
umum. Demikian juga prinsip moral pada proses pidana, tidak selayaknya orang melakukan
pembelaan terpaksa dijatuhi pidana. Esensi dari pembelaan terpaksa adalah pelaku melakukan
tindakan untuk menghindari kejahatan yang lebih besar atau menghindari bahaya yang mengancam.
Pembelaan terpaksa adalah alasan pembenar yang menghaouskan elemen melawan hukumnya
perbuatan. Necessitas excusat aut extenuate delictum in capitalibus, quod non operator idem in
civilibus . Artinya, pembelaan terpaksa membebaskan seseorang dari hukuman namun tidak demikian
dalam hal perkara perdata.
Berdasarkan ketentuan Pasal 49 ayat (1) KUHP , ada beberapa persayaratan pembelaan
terpaksa. Pertama, ada serangan seketika . Kedua, serangan tersebut bersifat melawan hukum.
Ketiga, cara pembelaan adalah patut. Mengenai syarat keempat ini tidak disebutkan dalam a quo.
Perihal persyaratan pertama dan kedua, ongeblikkelijke wederrechttelijke aanranding atau serangan
seketika melawan hukum , paling tidak ada 3 pertanyaan yang harus dipilah. Pengertian Serangan
dalam pasal a quo adalah serangan nyata yang berlanjut, baik terhadap badan, martabat atau
kesusilaan, dan harta benda . Sedangkan pengertian seketika ,yaitu antara saat melihat adanya
serangan dansaat mengadakan pembelaan harus tidak ada selang waktu yang lama. Tegasnya begitu
terjadi serangan , seketika ada pembelaan. Sementara pengertian melawan hukum adalah serangan
yang bertentangan atau melanggar Undang-undang.
Berikut adalah npersyaratan ketiga pembelaan terpaksa yaitu, pembelaan merupakan
keharusan . Artinya sudah tidak ada lagi jalan lain untuk menghindar dari serangan tersebut. Misalnya
dalam sebuah ruangan tertutup , S berniat membunuh T, tiba-tiba masuk dan mengunci pintu
kemudian S dengan pisau yang terhunus mendekati T untuk menusuknya. T kemudian memberikan
perlawanan atas tindakan S dengan menggunakan ilmu bela diri yang dikuasainya. Tindakan T
termasuk dalam pembelaan terpaksa karena ada serangan seketka yang melawan hukum dan
pembelaan tersebut merupakan suatu keharusan. Bandingkan jika S yang berniat membunuh T
,kemudian dengan pisau yang terhunus S mendekati T tetapi keduanya berada ditanah lapang . Disini
T masih bisa menghindari S dengan melarikan diri.
Terkait persyaratan keempat, bahwa cara pembelaan adalah patut. Terhadap persayaratan
keempat, demikian pula persyaratan ketiga diatas, sangat berkaitan erat dengan prinsip-prinsip dalam
alasan penghapus pidana pada umumnya termasuk juga pembelaan terpaksa. Pertama, prinsip
subsidaritas. Artinya tidak ada kemungkinan yang lebih baik atau jalan lain sehingga pembelaan
tersebut harus dilakukan. Tegasnya , pembelaan tidak menjadi keharusan selama masih bisa
menghindar.
Kedua , prinsip Proporsionalitas . Artinya harus ada keseimbangan antara kepentingan yang
dilindungi dengan kepentingan yang dilanggar. Dalam konteks pembelaan terpaksa , delik yang
dilaukan untuk pembelaan diri harus seimbang dengan serangan yang dihadapi. Moeljatno memberi
contoh, Putusan Hoge Raad 1934. Duduk perkara; seorang pemilik sero (perangkap) ikan
menggunakan tali untuk menghubungkan sero dengan pelatuk pistol. Jika ada pencuri yang akan
mengambil ikan dari sero tersebut , maka tali akan bergerak sehingga melepaskan tembakan. Ketika
ada pencuri yang menyentuh sero dengan sendirinya tali bergerak dan melepaskan tembakan
mengenai mta pencuri yang mengakibatkan kebutaan. Hoge Raad menolak pembelaan terpaksa
pemilik sero atas dasar Pasal 49 ayat (1) KUHP dengan alasan tidak memenuhi prinsip
proporsionalitas.
Ketiga, prinsip culpa in causa . Artinya seseorang yang karena ulahnya sendiri siderang oleh
orang lain secara melawan hukum , tidak dapat membela diri karena pembelaan terpaksa . Misalnya,
A menghina B secara lisan. Oleh karena hinaan tersebut, B menghampiri A dan hendak
menamparnya. Ketika B hendak menampar A, dengan seketika A memukul B sehingga terjatuh.
Tindakan A tidak dapat dikatakan pembelaan terpaksa karena ulah A sendiri yang mengakibatkan B
menamparnya.
Selanjutnya terkait kepentingan apa saja yang mungkin diserang sehingga pembelaan terpaksa
dibolehkan. Pasal a quo secara tegas menyatakan bahwa serangan tersebut baik terhadap diri sendiri
maupun orang lain, terhadap kehormatan dan terhadap harta benda. Serangan terhadap diri sendiri
adalah dalam pengertian serangan terhadap nyawa dan atau fisik. Sedangkan serangan terhadap
kehormatan dalam kaitannya dengan kesusilaan. Sementara serangan terhadap harta benad termasuk
didalamnya adalah hak keperdataan. Kendatipun demikian , Fletcher membatasi pembelaan terpaksa
hanya meliputi nyawa dan tubuh seseorang.
e. Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas
Pembelaan terpaksa melampaui batas merupakan alasan pemaaf. Artinya, elemen dapat
dicelanya pelaku dapat dihapuskan. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas atau noodwerexcess
terdapat dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP yang berbunyi “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas ,
yang langsung desebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman
serangan itu, tidak dipidana “ .
Pembelaan terpaksa yang melampaui batas dapat terjadi dalam 2 bentuk . Pertama , orang
yang mwnghapi suatu serangan mengalami goncangan batin yang demikian hebat kemudian
mengubah pembelaan diri menjadi suatu serangan. Kedua orang yang melakukan pembelaaan
terpaksa mengalami goncangan jiwa yang begitu hebat dengan serta merta menggunakan upaya bela
diri yang berlebihan atau setidak-tidaknya menggunakan upaya drastis untukmembela diri. Ada 2
syarat untuk menyatakan seseorang melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Pertama,
harus ada situasi yang menimbulkan pembelaan terpaksa. Kedua, harus ada goncangan jiwa yang
hebat akibat serangan tersebut sehingga menimbulkan pembelaan terpaksa yang melampaui batas.
Menurut Hazewinkel Suringa kegoncangan jjiwa yang hebat tidak hanya astheniche juga sthenische
affecten seperti kemarahan , kemurkaan atau ketersinggungan.
Menurut Sudarto, ada 3 syarat dalam pembelaan terpaksa yang melampaui batas . Pertama ,
kelampauan batas yang diperlukan. Kedua , pembelaan yang dilakukan sebagai akibat langsung dari
goncangan jiwa yang hebat. Ketiga , kegoncangan jiwa yang hebat itu disebabkan karena adanya
serangan . Artinya ada hubungan kausalitas antara kegoncangan jiwa dengan serangan. Alasan tidak
dijatuhinya pidana terhadap orang yang melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas bukan
karena tidak ada kesalahan , namun pembentuk undang-undang menganggap adil , jika pelaku
menghadapi serangan yang demikian tidak dijatuhi pidana . Hal ini berdasarkan adagium non tam ira
quam causa irae excusat, Artinya tindakan atas suatu serangan yang provokatif dimaafkan.
f. Melaksanakan Perintah Undang-Undang
Pasal 50 KUHP mengatur, “Barangsiapa melakuka perbuatan untuk melaksanakan ketentuan
undang-undang , tidak dipidana’. Ketentuan ini merupakan pertentangan antara 2 kewajiban hukum.
Artinya perbuatan tersebut di satu sisi untuk mentaati suatu peraturan, namun disis lain perbuatan
tersebut melanggar peraturan yang lain. Oleh karena itu untuk melaksanakan perintah undang-undang
digunakan theory of lesser evils atau teori tingkat kejahatan yang lebih ringan. Dengan demikian
melaksanakan perintah undang-undang merupakan alasan pembenar yang menghapuskan elemen
melawan hukumnya perbuatan.
Pada awalnya, “ketentuan undang-undang “ , yang dimaksud dalam hal pasal a quo ,
hanyalah undang-undang dalam arti formil. Ketentuan undang-undang diartikan secara luas atau
undang –undang dalam arti materiil yaitu segala peraturan umum yang bersifat mengikat. Hal ini
didasarkan pada Arrest Hoge Raad 26 Juni 1899. W. 7307. Bahkan lebih dari itu, melaksanakan
ketenutan undang-undang termasuk didalamnya adalah melaksanakan suatu kekuasaan sebagaimana
pertimbangan Hoge Raad dalam putusannya tertanggal 28 Oktober 1895.
Pertimbangan Hoge Raad ini tidak disetujui oleh Pompe yang menyatakan bahwa ketentuan
Pasal 50 KUHP hanyalah untuk melaksanakan suatu kewajiban yang timbul dari undang-undang.
Pendapat Pompe ini didasarkan pada Memorie van Tolicthing. Demikian juga menurut Noyon dan
Langemeijer yang menyatakan melaksanakan ketentuan undang –undang hanyalah melaksanakan
kewajiban yang berasal dari undang-undang tertulis. Sebaliknya, baik Jonkers maupun Vos
sependapat dengan putusan Hoge Raad yang mengartikan undang-undang secara luas termasuk
melaksanakan suatu kekuasaan .
Dalam melaksanakan perintah undang-undang prinsip yang dipakai adalah subsidaritas dan
proporsionalitas. Prinsip subsidaritas dalam kaitannya dengan perbuatan pelaku adalah untuk
melaksanakan peraturan perundang –undangan dan mewajibkan pelaku berbuat demikian. Sedangkan
prinsip Proporsionalitas, yaitu pelaku hanya dibenarkan jika dalam pertentangan antara dua kewajiban
hukum yang lrbih besar lah yang diutamakan .
g. Perintah Jabatan
Id damnum dat qui ubet dare; euis vero nulla culpa est, cui parrere necesse sit . Yang berarti
pertanggungjawaban tidak akan diminta terhadap mereka yang patuh melaksanakan perintah
melainkan akan diminta kepada pihak yang memberikan perintah.Oleh karena itu menurut Teori of
pointless punishment, tidak ada gunanya menjatuhkan pidana kepada seorang yang melaksanakan
peintah jabatan dengan patuh. Postulat tersebut berasal dari hukum Romawi yang kemudian dalam
peraturan hukum konkret dituangkan dalam Pasal 51 ayat (1) KUHP. Secara tegas , pasal a quo
berbunyi, “barangsiapa melakukan perbuatann untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan
oleh penguasa yang berwenang , tidak dipidana”. Perintah jabatan yang dikeluarkan oleh berwenang
memberikan hak kepada yang menerima perintah untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
Dengan demikian hak ini menghapuskan elemen melawan hukumnya perbuatan sehingga dimasukkan
sebagai alasan pembenar.
Ada 3 syarat seseorang dapat dibebaskan dari pertanggung jawaban pidana atas dasar
melakukan perintah jabatan yakni , pertama . antara yang memerintah dan yang diperintah berada
dalam dimensi hukum publik. Kedua, antara yang memerintah dan yang diperintah terdapat hubungan
subordinasi atau hubungan dalam dimensi kepegawaian. Ketiga, melaksanakan perintah jabatan harus
dengan cara yang patut , dan seimbang sehingga tidak melampaui batas kewajaran.
h. Perintah Jabatan Tidak Sah
Perintah jabatan tidak sah merupakan alasan pemaaf yang bisa menghapuskan elemen yang
dicelanya pelaku. Perintah jabatan yang tidak dah tersimpul dalam Pasal 51 KUHP ayat (2) yang
mengatur ; “Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyababkan hapusnya pidana, kecuali jika yang
diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah yang diberikan dengan wewenang dan
pelaksanaannya dalam lingkungan pekerjaannya”
Berdasarkan kontruksi pasal a quo , pada hakikatnya perintah jabatan yang tidak sah tidak
menghapuskan patut dipidananya pelaku. Oleh sebab itu , agar perintah jabatan yang tidak sah dapat
berfungsi sebagai alasan pemaaf , haruslah memenuhi 3 syarat, yaitu : Pertama, perintah itu dipandang
sebagai perintah yang sah . Kedua, perintah tersebut dilaksanakan dengan itikad baik. Ketiga ,
Pelaksanaan perintah tersebut berada dalam ruang lingkup pekerjaannnya.