Anda di halaman 1dari 38

1

LAPORAN PRAKTIKUM
MANAJEMEN HATCHERI

Diajukan sebagai salah satu syarat kelulusan pada


Mata Kuliah Manajemen Hatcheri

OLEH :

ARDANA KURNIAJI
I1A2 10 097

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN


JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2013
2

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas keridhoaan
serta keberkahannya, sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan Praktikum
Manajemen Hatcheri. Laporan ini disusun dengan harapan nantinya laporan ini
dapat menjadi bahan untuk menambah wawasan praktikan dan seluruh mahasiswa
dalam dunia akademik. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan Laporan
Praktikum Manajemen Hatcheri ini tidak dapat tersusun karena bantuan berbagai
pihak, oleh sebab itu kami menyampaikan terima kasih kepada para Dosen dan
seluruh mahasiswa yang telah membantu kami dalam menyelesaikan laporan ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini terdapat banyak
kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan pengetahuan
yang kami miliki. Maka dari itu, kami harapkan agar segala saran dan masukan
yang membangun dapat disampaikan kepada kami guna perbaikan laporan
selanjutnya. Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah
memberikan bantuan kepada praktikan dan semoga Laporan Praktikum
Manajemen Hatcheri ini dapat memberikan manfaat sebaimana yang diharapkan.

Kendari, Desember 2013

Penulis
3

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL .................................................................................... i


KATA PENGANTAR .................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................. iii
DAFTAR TABEL ........................................................................................ iv
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... v
I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2. Tujuan dan Manfaat .......................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 3
2.1. Pengelolaan Air ................................................................................. 3
2.2. Penanganan Induk ............................................................................. 9
2.3. Pakan ................................................................................................. 9
2.4. Penyakit ............................................................................................. 10
III. METODE PRAKTIKUM .................................................................. 12
3.1.Waktu dan Tempat ............................................................................. 12
3.2. Prosedur Kerja................................................................................... 12
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 17
4.1. Hasil Praktikum................................................................................. 17
4.2. Pembahasan ....................................................................................... 20
V. PENUTUP ........................................................................................... 32
A. Kesimpulan ..................................................................................... 32
B. Saran ............................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA
4

DAFTAR TABEL

Tabel Teks Halaman

1 Komponen dan ukuran bangunan Hatchery UKM Balai benih


unggul……………………………………………………........... 18
2 Peralatan yang digunakan pada UKM Balai benih 18
unggul...…………………........................................................
3 Pakan yang digunakan pada hatchery UKM Balai benih 19
unggul..............................……………………….........................
4 Obat-obatan yang digunakan pada hatchery UKM Balai Benih 19
Udang.…………...........................................................................
5

DAFTAR GAMBAR

Gambar Teks Halaman

1 Desain Lokasi Balai Benih Udang............................................. 17

2 Tangki Penampungan Air............ …………………………….. 20

3 Persiapan Bak Larva................................................................... 22

4 Bak Induk.................................................................................... 23

5 Bak Inkubasi Telur...................................................................... 26


6

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pemanfaatan Sumber daya hayati perairan saat ini merujuk kepada sistem

pengelolaan akuakultur berkelanjutan yang mencakup beberapa komoditi dengan

sistem perairan yang terdiri dari air tawar, air payau dan air laut. Pemanfaatan

pada budidaya air payau saat ini terus digalakkan dengan komoditi budidaya

unggulan. Teknologi yang diterapkan juga berkembang pesat dari mulai

tradisional yang mengandalkan benih dari alam sampai dari hatchery–hatchery

dengan pola budidaya yang terencana. Ketersediaan benih-benih unggulan yang

diperoleh dari alam saat ini semakin berkurang. Kondisi demikian menjadi alasan

utama bahwa penggunaan bibit yang berasal dari alam dalam kegiatan-kegiatan

pembudidayaan ikan sudah tidak lagi bisa diandalkan, sehingga kebanyakan

pembudidaya saat ini merujuk pada penggunaan bibit dari balai-balai pembenihan.

Pembenihan adalah salah satu bentuk unit pengembangan budidaya ikan.

Pembenihan ini merupakan salah satu titik awal untuk memulai budidaya. Ikan

yang akan dibudidayakan harus dapat tumbuh dan berkembang biak agar

kontinuitas produksi budidaya dapat berkelanjutan. Untuk dapat menghasilkan

benih yang bermutu dalam jumlah yang memadai dan waktu yang tepat mesti

diimbangi dengan pengoptimalan penanganan induk dan larva yang dihasilkan

melalui pembenihan yang baik dan berkualitas.

Untuk dapat mencapai hal tersebut maka diperlukan adanya manajemen

pembenihan yang baik dan mengarahkan produksi pada sustainablity guna

tersedianya bibit unggul yang berkualitas. Perlunya upaya berkelanjutan ini


7

ditunjang dari ketersediaan sarana dan prasarana pembenihan yang memadai dan

akses pasar yang tersedia. Oleh sebab itu, aktifitas pembenihan perlu

memperhatikan kebutuhan dan aspek kehidupan organisme sebagai salah satu

syarat kegiatan pembenihan.

Salah satu organisme yang menjadi target pembenihan oleh usaha-usaha

hathcery saat ini adalah Udang Windu (Panaeus monodon). Udang windu adalah

jenis ikan konsumsi air payau, badan udang windu beruas berjumlah 13 (5 ruas

kepala dan 8 ruas dada) dan seluruh tubuh ditutupi oleh kerangka luar yang

disebut eksosketelon. Manajemen pembenihan udang windu terdiri atas persiapan

induk hingga pemeliharaan larva. Diamana masing-masing tahapan memiliki

manajemen dan pengelolaan yang berbeda-beda. Untuk dapat mengetahui lebih

jauh mengenai manajemen pembenihan udang khususnya Udang Windu

(P.monodon), maka dilakukanlah praktikum ini untuk mengetahui lebih jauh

mengenai prosedur manajemen pembenihan yang baik dan berkelanjutan.

1.2. Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui teknik manajemen

pembenihan Udang Windu (P.monodon) mulai dari penanganan induk hingga

pemanenan bibit. Sedangkan manfaatnya adalah mahasiswa dapat menambah

pengetahu dan keterampilan dalam mengelola suatu usaha pembenihan secara

berkelanjutan.
8

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengelolaan Air

2.1.1. Parameter Fisika

1. Suhu

Suhu optimum habitat hidup ikan berkisar 24-28oC dengan kandungan

oksigen terlarut di perairan 3-5 ppm dan pH 7-8. Kepekaannya yang rendah

terhadap senyawa-senyawa beracun dalam air merupakan nilai lebih dari ikan

karena kebanyakan ikan air tawar akan mati pada kadar CO2 terlarut sebesar 15

ppm (Saparianto, 2009).

Warm water fish (ikan yang hidup di daerah tropis atau daerah yang

beriklim panas) paling baik berkembang pada suhu antara 25oC dan 32 oC. Suhu

air semacam ini terdapat pada daerah-daerah tropis dengan ketinggian dari

permukaan laut yang rendah. Akan tetapi pada temperate region (daerah

bermusim empat), suhu air sangat rendah pada musim dingin bagi pertumbuhan

yang cepat dari ikan dan organisme makanan ikan (ikan yang dimaksud adalah

warm water fish). Untuk alasan inilah, maka prosedur-prosedur pengelolaan

seperti pemberian makanan dan pemberian pupuk dihentikan sama sekali atau

dikurangi pada musim dingin. Suhu mempunyai pengaruh besar terhadap proses-

proses kimia dan biologi. Secara umum kecepatan reaksi kimia dan biologi

menjadi dua kali lipat untuk tiap kenaikan suhu sebesar 10 oC. Hal ini berarti

bahwa hewan-hewan air akan menggunakan oksigen terlarut dua kali lebih banyak

pada temperatur 30 oC dibanding pada temperatur 20 oC. Oleh karena itu, oksigen

terlarut yang dibutuhkan ikan akan lebih kritis pada air hangat/panas dibanding
9

pada air dingin. Perubahan-perubahan kimiawi terhadap kolam juga dipengaruhi

oleh suhu. Pada air hangat, pupuk dilarutkan lebih cepat, herbisida bertindak

lebih cepat, rotenon daya racunnya menurun lebih cepat, dan kecepatan konsumsi

oksigen untuk proses penguraian bahan organik menjadi lebih besar (Idris, 2013).

Suhu air juga akan mempengaruhi kekentalan (viskositas) air . perubahan

suhu air yang drastis dapat mematikan biota air karena terjadi perubahan daya

angkut darah. Suhu berkaitan erat dengan konsentrasi oksigen terlarut dalam air

dan konsumsi oksigen. Pergantian atau pencampuran air merupakan cara yang

dapat dilakukan untuk mengurangi pengaruh suhu tinggi. Pergantian air yang

diupayakan untuk pengenceran metabolit sekaligus dapat mempengaruhi

pengaruh suhu tinggi (Kordi, 2010).

2. Kekeruhan (Turbidity)

Beberapa kolam menerima input-input yang besar berupa bahan organik

nabati dari sumber airnya. Bahan organik nabati ini seringkali memberi warna teh

atau warna kopi lembut terhadap air. Perairan seperti ini biasanya memiliki ciri

khas keasaman yang kuat dan total alkalinitas yang rendah. Meskipun warna

tidak mempengaruhi ikan secara langsung, namun hal ini akan membatasi daya

penetrasi cahaya dan dengan sendirinya akan mengurangi tingkat pertumbuhan

plankton. Agricultural limestone (dolomit) dapat dimanfaatkan untuk

menghilangkan bahan tersebut dari air (Idris, 2013).

Turbiditas atau kekeruhan digunkan untuk menyatakan derajat kegelapan

di dalam air yang disebabkan oleh bahan-bahan yang melayang. Kekeruhan


10

biasanya terdiri dari partikel organic maupun anorganik yang berasal dari DAS

(Daerah Aliran Sungai) dan resuspensi sediment di dasar danau (Huda, 2009).

3. Padatan Total

TSS (Total Suspended Solid) atau total padatan tersuspensi adalah padatan

yang tersuspensi di dalam air berupa bahan-bahan organik dan inorganic yang

dapat disaring dengan kertas millipore berporipori 0,45 μm. Materi yang

tersuspensi mempunyai dampak buruk terhadap kualitas air karena mengurangi

penetrasi matahari ke dalam badan air, kekeruhan air meningkat yang

menyebabkan gangguan pertumbuhan bagi organisme produser (Huda, 2009).

2.1.2. Parameter Kimia

1. DO (Oksigen Terlarut)

Oksigen terlarut (Dissolved Oxygent = DO) mungkin merupakan variabel

yang paling kritis dalam budidaya ikan, oleh karena itu budidayawan ikan

seharusnya akrab dengan dinamika konsentrasi oksigen terlarut dalam kolam.

Atmosfir adalah tempat penyediaan oksigen yang paling besar. Kelarutan

oksigen (Solubility of Oxygent) dalam air pada suhu berbeda dan pada standar

tekanan atmosfir di atas permukaan laut. Meskipun oksigen terlarut akan berdifusi

ke dalam air namun kecepatan berdifusinya sangat rendah. Oleh karena itu,

fotosintesa yang dilakukan oleh fitoplankton adalah sumber utama oksigen

terlarut dalam suatu sistem budidaya ikan. Budidayawan ikan sangat

berkepentingan dengan kecepatan hilangnya oksigen terlarut dari air. Penyebab

utama habisnya oksigen terlarut dalam suatu kolam adalah respirasi oleh plankton,
11

respirasi oleh ikan-ikan, respirasi oleh organisme bentik serta difusi oksigen ke

udara (Idris, 2013).

Oksigen yang diperlukan biota air untuk pernapasannya harus dalam

kondisi terlarut dalam air. Oksigen merupakan salah satu faktor pembatas

sehingga bila ketersediaannya di dalam air tidak mencukupi kebutuhan biota

budidaya maka segala aktivitas biota akan terlambat (Kordi, 2010).

Oksigen terlarut dapat membentuk presipitasi (endapan) dengan besi dan

mangan. Kedua unsur tersebut menimbulkan rasa yang tidak enak pada air. Untuk

keperluan air perairan biasanya memiliki nilai jenuh kecuali untuk kadar oksigen

yang tinggi akibat peningkatan korosivitas. Profil sebaran vertikal oksigen terlarut

pada kolam air dapat mengambarkan tingkat kesuburan perairan. Kadar oksigen

terlarut yang tinggi tidak menimbulkan pengaruh fisiologi. Ikan dan organisme

akuatik membutuhkan oksigen terlarut dengan jumlah cukup. Kebutuhan oksigen

sangat dipengaruhi oleh suhu, dan bervariasi antara organisme. Keberadaan logam

berat yang berlebihan di perairan mempengaruhi sistem respirasi organisme

akuatik sehingga pada saat kadar oksigen terlarut rendah dan terdapat logam berat

dengan konsentrasi tinggi (Effendi, 2003).

Sumber oksigen dalam perairan dapat diperoleh dari hasil proses

fotosintesis phytoplankton atau tumbuhan hijau dan proses difusi dari udara, serta

hasil proses kimiawi dari reaksi-reaksi oksidasi. Keberadaan oksigen di perairan

biasanya diukur dalam jumlah oksigen terlarut (dissolved oxygen) yaitu jumlah

miligram gas oksigen yang terlarut dalam satu liter air. Pada ekosistem perairan,

keberadaan oksigen sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain distribusi
12

temperatur, keberadaan produser autotrop yang mampu melakukan fotosintesis,

serta proses difusi oksigen dari udara. Di perairan umumnya oksigen memiliki

distribusi yang tidak merata secara vertikal . Distribusi ini berkaitan dengan

kelarutan oksigen yang dipengaruhi oleh temperatur perairan. Kelarutan oksigen

bertambah seiring dengan penurunan temperatur perairan (Huda, 2009).

2. pH (Derajat Keasaman)

pH adalah suatu ukuran besarnya konsentrasi ion hidrogen dan

menunjukkan apakah air itu bersifat asam atau basa dalam reaksinya. Skala pH

berkisar dari 0 sampai 14, dengan pH 7 sebagai titik netral. Jadi air yang pH-nya

7 tidak bersifat asam atau basa, sementara air yang pH-nya di bawah 7 adalah

asam dan air yang pH-nya di atas 7 adalah basa. Makin besar jarak pH tersebut

dari pH 7, maka makin asam atau makin basa air tersebut. pH air netral paling

dipengaruhi oleh konsentrasi karbondioksida, sebagai substansi asam (Idris,

2013).

Derajat keasaman atau pH air menunjukkan aktivitas ion hidrogen dalam

larutan tersebut dan dinyatakan sebagai konsentrasi ion hodrogen (dalam mol per

liter) pada suhu tertentu. Nilai pH pada banyak perairan alam berkisar antara 4-9,

walaupun demikian, pada perairan di daerah rawa-rawa, pH dapat mencapai nilai

sangat rendah karena kandungan asam sulfat pada tanah dasar perairan tersebut

tinggi (Kordi, 2010).

Pada umumnya, bakteri tumbuh dengan baik pada pH netral dan alkalis,

sedangkan jamur lebih mneyukai pH rendah (kondisi asam). Oleh karena itu
13

proses dekomposisi bahan organik berlangsung lebih cepat pada kondisi pH netral

dan alkalis (Effendi, 2009).

3. Kesadahan (Hardness)

Kesadahan biasanya digunakan sebagai petunjuk kandungan garam-garam

dari kedua kation alkali tanah tersebut. Berbeda dengan alkalinitas, nilai

kesadahan tidak dapat digunakan untuk menduga kapasitas penyanggah dari

perairan. Hal ini disebabkan karena ikatan garam-garam yang termasuk dalam

kesadahan adalah sangat kuat, sehingga tidak efektif sebagai penyanggah

perubahan pH maupun cadangan CO2 agresif. Kesadahan total dapat digunakan

untuk klasifikasi kualitas air bagi keperluan perikanan (Idris, 2013).

2.1.2. Parameter Biologi

Mikroalga merupakan kelompok tumbuhan berukuran renik, baik sel

tunggal maupun koloni yang hidup di seluruh wilayah perairan air tawar dan laut.

Mikroalga lazim disebut fitoplankton. Mikroalga saat ini menjadi salah satu

alternative sumber energi baru yang sangat potensial. Makanan utama mikroalga

ialah karbondioksida. Ia mampu tumbuh cepat dan dipanen dalam waktu singkat

yakni 7-10 hari. Kegiatan kultivasi tumbuhan produsen primer ini menghemat

ruang (save space), memiliki efisiensi dan efektivitas tinggi. Panen mikroalga

minimal 30 kali lebih banyak dibandingkan tumbuhan darat (Chisti, 2007).

Plankton adalah makhluk (tumbuhan atau hewan) yang hidupnya

mengapung, mengambang, atau melayang di dalam air yang kemampuan

renangnya (kalaupun ada) sangat terbatas hingga selalu terbawa hanyut oleh arus.

Istilah olankton diperkenalkan oleh Victor Hensen tahun 1887, yang berasal dari
14

bahasa Yunani, ”planktos”, yang berarti menhanyut atau mengembara. Plankton

berbeda dengan nekton yang merupakan hewan yang mempunyai kamampuan

aktif berenang bebas, tidak tergantung pada arus, seperti misalnya ikan, cumi-

cumi, paus. Lain pula dengan bentos yang merupakan biota yang hidupnya

melekat, emancap, merayap, atau meliang (membuat liang) di dasar laut, seperti

misalnya kerang, teripang, bintang laut, dan karang (coral). Plankton dapat dibagi

menjadi beberapa golongan sesuai dengan fungsinya, ukurannya, daur hidupnya,

atau sifat sebarannya (Nontji, 2008).

2.2. Penanganan Induk

Induk dapat diperoleh dari hasil tangkapan para nelayan. Dengan induk

yang berasal dari alam, ketersediaan nutrisinya masih lengkap, sehingga dapat

diperoleh benur yang baik. Ukuran induk yang digunakan berkisar 18-29 cm

dengan warna hitam kecokelatan. Adapun syarat induk yang digunakan adalah di

atas 1 tahun, untuk induk betina memiliki berat diatas 70 gr. Induk sebaiknya

berasal dari perairan yang paling dalam. Untuk mencegah terjadinya penyebaran

penyakit, induk yang sampai ke hatceri harus dikarantina terlebih dahulu. Induk

ditampung dalam bak terpisah sebelum dimasukkan ke dalam bak penampungan

induk dan direndam dalam larutan formalin dengan dosis 1 ml/5 1 selama 2-3

menit (Aslan dkk., 2013).

2.3. Pakan

Jenis pakan yang diberikan pada larva berupa pakan alami dan pakan buatan.

Pakan alami yang diberikan adalah skeletonema dan artemia salina. Larva yang

memasuki stadium nauplius 6 sampai mysis 3 diberi pakan skeletonema yang


15

dibarengi dengan penambahan pakan buatan berupa larva Z Plus, larva ZM, Flake,

dan lain-lain. Setelah larva mencapai stadium postlarva, skeletonema diganti

dengan pakan alami yang lain yaitu A salina (Aslan dkk., 2013).

Artemia merupakan pakan alami yang sangat penting dalam pembenihan

ikan laut , krustacea, ikan konsumsi air t awar dan ikan hias. Ini terjadi

karenaArtemia memiliki nilai gizi yang tinggi, serta ukuran yang sesuai dengan

bukaan mulut hampir seluruh jenis larva ikan tersebut. Mengingat hal itu, maka

keterampilan di dalam menetaskan Artemia seperti yang tertuang dalam modul ini

dapat diterapkan di berbagai pembenihan ikan dan udang, baik itu air laut, payau

maupun tawar. Artemia adalah filter feeder, sebab cara makannya dengan

menyaring bahan apa saja yang berada disekitarnya. Ukuran pakan yang dapat

dimakan adalah lebih kecil dari 60 mikron. Dengan demikian, pemeliharaan

Artemia membutuhkan pakan tambahan berupa pakan buatan atau pakan alami

(plankton). Jenis pakan buatan yang mudah diperoleh dan memiliki kualitas cukup

baik untuk makanan Artemia adalah dedak halus.(Mudjiman, 1985)

2.4. Penyakit

Masalah serius dalam penyediaan benur di hathceri selama ini adalah adanya

kematian missal yang disebabkan oleh pathogen, terutama penyakit akibat bakteri

Luminescent vibriosis atau dikenal dengan penyakit kunang-kunang. Vibrio

harveyi banyak ditemukan pada kerang dan udang windu. Penyakit ini bersifat

akut dan virulen karena dapat mematikan populasi larva yang terserang hanya

dalam waktu 1-3 hari sejak gejala awal tampak. Masalah penyakit
16

dapatditanggulangi dengan melakukan pencegahan melalui pengontrolan kualitas

air, baik berupa faktor fisik maupun kimia air (Aslan dkk., 2013).

Penyakit vibriosis atau udang menyala merupakan penyakit yang sering

menyebabkan kerugian bagi para pembudidaya, tercatat bahwa hampir setiap

tahun pembudidaya mengalami gagal panen disebabkan penyakit ini. Data

menunjukkan bahwa terjadi pasang surut produksi setiap tahunnya yang

diakibatkan oleh timbulnya berbagai penyakit, utamanya penyakit vibriosis. Hal

ini karena penyakit vibriosis merupakan penyakit yang paling serius dan sering

menyebabkan kematian massal pada budidaya udang utamanya pada stadia larva

(Tepu, 2006).
17

III. METODE PRAKTIKUM

3.1. Waktu dan Tempat

Praktikum ini dilaksanakan pada tanggal 1 Desember 2013 pada pukul

08.00 sampai 13.00 WITA, bertempat di UKM Balai Benih Unggul Desa Soropia

Kecamatan Lalunggosumeeto Kabupaten Konawe.

3.2. Prosedur Kerja

Prosedur kerja pada praktikum ini dibagi atas dua tahapan berdasarkan

penggunaan sarana dan prasarana balai pembenihan, adapun prosedur tersebut

adalah sebagai berikut:

3.2.1. Main Hatchery

Pada main hatchery ini dilakukan pengelolaan pembenihan dari

penyediaan media-media pembenihan yang akan digunakan pada proses produksi

dan penanganan instalasi air agar tersedia saat proses produksi pembenihan

sedang berlangsung.

1. Pengambilan Air

Pada tahapan ini perlu dilakukan pengelolaan mutu air secara baik, sebab

pada dasarnya kualitas air menjadi penting dalam setiap kegiatan pembenihan.

Hal ini disebabkan ukuran organisme yang sangat kecil dan rentan terhadap

perubahan-perubahan lingkungan, sehingga kondisi air harus optimum untuk

masa pemeliharaan. Sebagaimana yang telah dipahami bersama bahwa dalam

penentuan lokasi pembenihan sangat penting memperhatikan sumber air diareal

sekitar. Sebab kondisi kualitas air sangat dipengaruhi oleh sumber air itu sendiri.

Air yang tercemar oleh limbah industri dan rumah tangga sangat berpotensi
18

menggagalkan kegiatan produksi. Oleh sebab itulah manajemen kualitas air dalam

kaitannya dengan pengelolaan balai benih ini sangat penting dilakukan. Adapun

tahapan pelaksanaannya adalah sebagai berikut:

- Pengambilan Air Laut

Pengambilan air laut ini harus memperhatikan kondisi setempat dimana

sumber air akan diambil. Air laut tidak tercemar oleh aktifitas manusia baik itu

adanya aktifitas pertambangan, limbah industri, limbah rumah tangga ataupun

jalur transportasi kapal pengangkut. Karena hal ini dapat menurunkan kualitas air

yang akan digunakan.

Pengambilan air harus sebaik dan semurah mungkin, oleh sebab itu

topografi lokasi pembenihan terhadap laut tidak terlalu tinggi agar memudahkan

proses pengambilan air. Sehingga pompa air yang digunakan tidak menghbiskan

energi listrik yang banyak.

- Pengambilan Air Tawar

Dalam penentuan lokasi pembenihan juga harus memperhatikan

keberadaan sumber air tawar terdekat, hal ini penting karena instalasi air tawar

sangat membantu dalam proses pembenihan, utamanya untuk pengaturan salinitas,

penghambaran air untuk kultur plankton dan untuk mencuci peralatan serta

kebutuhan rumah tangga lainnya. Dalam hal ini air tawar diambil dari sumur bor

yang tidak jauh dari lokasi pembenihan.

- Perlakuan Air

Untuk air yang telah diambil tidak langsung digunakan, melainkan terlebih dahulu

diberikan perlakuan untuk memastikan bahwa air yang digunakan benar-benar


19

berkualitas baik dan terhindar dari organisme patogen dan partikel-partikel yang

akan mengahambat pertumbuhan larva nantinya. Oleh sebab itu, dilakukan

filterisasi air dengan sistem filter yang memanfaatkan gaya grafitas sehingga air

akan secara ototmatis tersaring tanpa perlu dipompa kembali.

2. Persiapan Bak

Bak sangat penting dalam pengelolaan pembenihan, setiap bak memiliki

perbedaan fungsi dan ukuran yang berbeda pula. Persiapan bak dilakukan dengan

mencuci semua bak-bak yang akan digunakan dengan menggunakan deterjen

untuk membunuh organisme renik utamanya yang bersifat patogen, menyikat

dinding-dinding bak agar tidak ada lagi kotoran yang menempel, seperti lumut

dan sisa kotoran bak yang sudah lama tidak digunakan. Untuk mencegah

timbulnya penyakit bak direndam dengan kaporit selama 1-2 jam, untuk

menghilangkan baunya maka bak dibilas sampai bersih dan dijemur. Bak-bak

yang harus disiapkan dalam praktiku ini adalaha sebagai berkit:

- Bak Induk

Bak induk adalah bak untuk penyimpanan induk-induk yang sudah siap

dipijahkan, atau setelah dipijahkan. Biasanya bak membundar dan terbagi dua

yakni bak untuk udang jantan dan bak untuk udang betina. Pemisahan ini

dimaksudkan agar menghindari fertilisasi diluar pengontrolan.

- Bak Pemijahan

Bak pemijahan adalah bak yang digunakan untuk memijahkan induk

jantan dan betina. Bentuk yang ideal untuk bak pemeliharaan dan bak pemijahan

induk adalah segi empat, dengan panjang 8 meter, lebar 5 meter, dan tinggi 1,5
20

meter, dengan tinggi air wadah 1,2 meter. Fasilitas pendukung yang perlu

dipersiapkan dalam pemeliharaan induk dibak adalah Pipa paralon diameter 4

inch, untuk pemasukan dan pengeluaran air, Fasilitas aerasi, untuk memberikan

tambahan oksigen di dalam air, Terpal plastik, untuk mengurangi insensitas

cahaya yang masuk dalam bak, Bentuk pengeluaran berupa pipa goyang (stand

pipe), agar sirkulasi air dapat berjalan.

- Bak Penetasan

Induk yang telah memijah pada bak pemijahan, kemudian dipindahkan

telurnya dibak penetasan untuk memudahkan pengontrolan dan mencegah

pemangsaan telur oleh induk serta menjaga kualitas air agar tetap baik.

- Bak Larva

Telur-telur yang telah ditetaskan kemudian dipindahkan dibak larva untuk

pemeliharaan larva. Untuk memudahkan pengontrolan maka volume air yang

digunakan tidak terlalu besar. Panjang bak sektar 6 meter dengan lebar 3 meter.

Sehingga dalam masa pemeliharaan larva penyakit dan pertumbuhannya dapat

dikontrol.

- Bak Pakan Alami

Bak pakan alami adalah bak yang digunakan untuk kultur pakan alami

seperti spirulina dan Artemia. Biasanya pakan alami ini diberikan pada saat udang

mencapai ukuran nauplius hingga post larva.

- Bak Panen

Larva yang telah memasuki ukuran post larva (PL) dan sudah bisa dipanen,

maka seluruhnya dipindahkan di bak panen untuk dipasarkan.


21

3.2.2. Sarana Penunjang Hatcheri

Untuk menunjang kegiatan produksi benih, maka balai benih udang yang

digunakan dilengkapi dengan sarana penunjang seperti kantor, asrama dan

laboratorium. Sarana penunjang ini sangat penting untuk pelaksanaan kegiatan

pembenihan. Ketersediaan kantor untuk urusan administrasi dan keuangan,

asrama sebagai tempat penginapan tenaga kerja serta laboratorium guna

melakukan pemeriksaan berbagai bentuk perubahan fisik, kimia dan biologi pada

saat produksi sedang berlangsung.


22

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Praktikum

Pada praktikum ini dilakukan penentuan layout balai pembenihan,

penggunaan sarana untuk manajemen pembenihan dan produksi larva benih

Udang Windu.

4.1.1. Layaout Hatchery

Lay out hatchery UKM BBU dapat dilihat pada gambar 1 sebagai berikut:

7 8

9 11
5

10

Keterangan: 8. Bak Pemijahan


3 1. Kantor 9. Bak Pakan
2. Asrama Alami
3. Penampungan Air 10. Bak Induk
4. Bak Filter Matang Gonad
1 2 5. Bak Pemeliharaan 11. Bak Induk
6. Pompa Aerasi Setelah
7. Bak Larva Memijah

Gambar 1. Desain Lokasi Balai Benih Udang


23

4.1.2. Komponen Bangunan Hatchery Balai Benih Udang

Komponen dan ukuran bangunan Hatchery UKM Balai Benih Unggul

disajikan pada tabel 1 berikut :

Tabel 1. Komponen dan ukuran bangunan Hatchery UKM Balai benih unggul
No Komponen Bangunan Ukuran Volume Konstruksi
Hatchery
1. Kantor Cor Beton
2. Ruang Mesin (3 x 3) m Cor Beton
3. Ruang Pakan (3 x 3) m Cor Beton
4. Bak Penampungan air laut (10 x 5) m 160 ton Cor Beton
5. Bak Penampungan air Tinggi 1,5 m dan 10 m3 Cor Beton
tawar diameter 3m
6. Bak Induk Tinggi 1,5 m dan 10 m3 Cor Beton
diameter 3m
7. Bak Pemeliharaan Larva (3 x 3 x 1,5) m 12 ton Cor Beton
(A,B, C, D, E,)
8. Bak Pemeliharaan Larva (8 x 2,5) m 20 ton Cor Beton
(4,7,9,10)

4.1.3. Peralatan Hatchery Balai Benih Udang

Peralatan yang digunakan pada UKM Balai benih unggul disajikan pada

tabel 2 berikut :

Tabel 2. Peralatan yang digunakan pada UKM Balai benih unggul


No Peralatan Satuan Jumlah
1. Selang Aerasi Rol 9
2. Keran Aerasi Buah 500
3. Batu Aerasi Buah 500
4. Blower Kodok 200 watt Buah 3
5. Blower 100 watt Buah 2
7. Pompa Air Laut 2 inci Buah 1
8. Dinamo Pompa Air Laut 4.000 watt Buah 1
9. Bak Viber Volume 1 ton Buah 4
10. Bak Viver Volume 1,5 ton Buah 4
11. Bak Viber Volume 2 ton Buah 2
12. Seser Induk Mesh 150 Buah 2
13. Seser Naupli Mesh 300 Buah 2
14. Seser Post Larva Mesh 200 Buah 2
15. Tali Penggantung Bag 1
Jumlah
24

4.1.4. Pakan

Pakan yang digunakan pada hatcheri UKM Balai benih unggul disajikan

pada tabel 3 berikut :

Tabel 3. Pakan yang digunakan pada hatchery UKM Balai benih unggul
No Jenis pakan Fase
1. Pakan Induk Pakan induk -
(pakan alami) Cumi-cumi, hati sapi, cacing laut,
kepiting rajungan, kepiting bakau
dan kerang dara
2. Pakan larva Spirulina Sp 400 gr Nauplius
(pakan buatan)
Spirulina Sp 400 gr Zoea
Spirulina Sp 200 gr Post larva
Vitamin C 500 gr
Artemia 400 gr Post Larva
Flag Post Larva
BP (Campuran Pakan)

4.1.5. Obat-obatan

Obat-obatan yang digunakan pada hatchery UKM Balai Benih Udang

disajikan pada tabel 4 berikut :

Tabel 4. Obat-obatan yang digunakan pada hatchery UKM Balai Benih Udang
No Jenis Obat Satuan Jumlah
1 Kaporit Kg 15
2. Tiosulfat Kg 1
3. EDTA Kg 1
4. Trefplan Ml 100
5. PK Kg 1
6. Prebiotik Bag 1
25

4.2. Pembahasan

4.2.1. Manajemen Mutu Air

Mutu air sangat urgen untuk menunjang berlangsungnya produksi benih di

usaha pembenihan. Hal ini karena mutu air berkaitan dengan lingkungan dimana

dilakukan teknis pembenihan seperti pemijahan sampai pemeliharaan larva.

Sehingga pengelolaan mutu air menjadi penting untuk dilakukan. Dalam upaya

penanganan mutu air, dilakukan pengambilan air secara berkala dengan

memperhatikan sumber air. Air yang diambil terhindar dari pencemaran dan tidak

berpasir. Kemudian dilakukan water treatment sebaik dan semurah mungkin

dengan menggunakan saringan mikro seperti kapas, filter bass dan karpet. Hal ini

untuk mencegah pertumbuhan organisme patogen.

Gambar 2. Tangki Penampungan Air


26

4.2.2. Manajemen Sarana

Manajemen atau pengelolaan sarana dilakukan berdasarkan standar

pengelolaan hatcheri berbasis BMPs atau Better Management Practices.

Pengelolaan ini memperhatikan penggunaan sarana yang ramah lingkungan dan

berkelanjutan. Dimulai dari penggunaan bak yang didesain sebaik mungkin guna

meningkatkan hasil produksi dan tetap ramah lingkungan, serta menyesuaikan

kondisi sarana dengan kebiasaan hidup organisme yang akan dibenihkan. Pada

manajemen sarana ini memperhatikan kondisi bak sebagai wadah produksi, perlu

dipisahkan bak-bak pada masing-masing tahapan pembenihan yakni bak induk,

bak pemijahan, bak larva, bak pemeliharaan hingga bak panen dan bak pakan

alami. Masing-masing bak didesain sesuai kebutuhan organisme dan

memperhatikan efisiensi serta efektifitas kegiatan produksi.

4.2.3. Manajemen Operasional

Manajemen operasional meliputi kegiatan-kegiatan teknis pembenihan

yang mencangkup persiapan hingga pemanenan, berikut manajemen operasional

pembenihan:

a. Persiapan

Hal penting yang perlu diperhatikan selain pembersihan bak adalah

Pemeriksaan aerasi sehari sebelum penebaran. Aerasi perlu dicek apakah

penyebaran gelembung dari aerasi sudah merata. Untuk mengetahui hidupnya

blower yang digerakkan dengan tenaga listrik agar dapat mengeluarkan udara

yang sama dalam setiap titik, lalu kran udara dibuka, bila gelembung yang

dihasilkan sama rata berarti aerasi berjalan dengan baik.


27

Gambar 3. Persiapan Bak Larva

Fungsi aerasi selain meningkatkan oksigen dalam air juga berperan

menciptakan sirkulasi air dalam media pemeliharaan dan mempercepat penguapan

gas beracun sebagai proses hasil pembusukan sisa–sisa pakan dan kotoran lain.

Pembersihan bak dilakukan dengan mencuci bak menggunakan deterjen (rinso)

dan disikat hingga bersih lalu dibilas dengan air. Kementrian Perikanan dan

Kelautan (2010) menerangkan bahwa bahwa agar pemeliharaan larva berhasil,

bak pemeliharaan larva harus bersih dan terbebas dari kotoran serta parasit dan

lumut yang menempel di dinding dan dasar bak. Bak larva disikat dan dicuci

dengan menggunakan deterjen. Kemudian bak larva dibilas dengan air tawar dan

diberi desinfektan berupa kaporit dengan konsentrasi sebanyak 1-10 ppm.

Pemberian desinfektan ini dilakukan dengan cara melarutkan kaporit tersebut


28

dalam air tawar, kemudian disiramkan pada permukaan bak larva atau digosok

dengan lap yang dicelupkan dalam larutan kaporit tadi.

b. Penanganan Induk

Induk yang digunakan diperoleh dari alam, yang diperkirakan telah

melakukan pemijahan di alam. Udang windu yang pada bagian abdomennya

berwarna kemerah-merahan menunjukan bahwa udang tersebut berasal pada

daerah kedalaman (pada laut dalam) sedangkan induk yang pada bagian

abdomennya berwarna kehitam-hitaman menunjukan bahwa udang tersebut

terletak pada daerah yang dangkal.

Gambar 4. Bak Induk

Seleksi induk terus ditingkatkan dan hanya induk yang berukuran 25–30

cm untuk betina dan 20–25 cm untuk jantan yang digunakan dengan perbandingan
29

1:1 dengan berat 100 gram–150 gram, warna induk yang baik untuk calon induk

adalah warna cerah atau hitam kecoklatan. Harga induk yang dibeli mencapai

Rp.250, 000 per ekornya. Umumnya induk yang dibeli tersebut adalah induk yang

sudah matang gonad. Jadi tidak perlu dipelihara dalam waktu yang lama, hal ini

dapat menghemat biaya pemeliharaan induk.

Induk yang ditangkap di alam sebelum dilepas ke dalam bak pemijahan

yang sekaligus bak pemeliharan telur, induk terlebih dahulu ditreatmen atau

aklimatisasi terhadap suhu dan salinitas air media tempat pemeliharan dengan

tujuan agar induk tidak mengalami stress karena perubahan lingkungan dan

kualitas air yang mendadak.

Setelah mengalami aklimatisasi maka induk yang matang gonad dilepas

ke dalam bak konikoltank untuk pelepasan telur. Dalam satu bak konikel terdapat

satu induk udang, hal ini bertujuan untuk mengetahui jumlah telur yang dihasilkan

perinduk setelah pelepasan. Juga sekaligus mengetahui jumlah nauplius yang

dihasilkan setelah penetasan.

Induk udang windu akan melepaskan telurnya pada ¾ malam menjelang

subuh. Hal ini merupakan kebiasaan yang dimilikinya sejak nenek moyangnya.

Induk udang windu dengan ukuran 90–140 gram dapat menghasilkan telur rata–

rata 500.000 butir, jumlah telur maksimum yang dapat dihasilkan induk udang

windu sampai 1000.000 butir. Jika penetasannya baik, maka satu induk dapat

menghasilkan 600.000–1000.000 butir telur yang dapat menetas menjadi

400.000–500.000 ekor nauplius.


30

c. Ablasi Mata

Ablasi mata dilakukan pada udang yang belum matang gonad untuk

meransang penetasan telur. Fungsi larutan tersebut untuk menghindari terjadinya

infeksi pada mata udang yang telah diablasi serta menghilangkan ektoparasit yang

ada pada tubuh udang. Fungsi ablasi pada mata udang yaitu untuk mengilangkan

hormon x yang dapat menghambat pematangan gonad. Kemudian mengiiris mata

udang menggunakan silet lalu mengeluarkan isi dalam mata udang tersebut.

d. Penanganan Telur

Induk udang yang menetaskan telur biasanya berjumlah 1 sampai 1,3 juta

butir telur. Udang windu akan melepaskan telurnya pada malam hari sekitar pukul

20.00–00.00 malam. Telur yang dilepas akan mengapung dipermukaan air dan

melayang–layang mengikuti pergerakan air. Setelah telur–telur lepas dari

induknya, maka induk diangkat dan dipindahkan ke bak pemeliharaan induk yang

telah disiapkan.Telur–telur udang tersebut dicuci kemudian disimpan di bak

konikel sampai menetas menjadi nauplius. Setelah keseluruhan telur–telur

menetas, maka nauplius udang ini dipindahkan ke bak pemeliharaan larva yang

sebelumnya telah disiapkan.

e. Penebaran Nauplius

Benur atau benih udang merupakan salah satu mata rantai dari budidaya

udang.Penebaran nauplius ke dalam bak pemeliharaan larva dilakukan dengan

padat tebar 50 – 70 ekor / lt (hitungan berdasarkan volume air). Penebaran

nauplius ini dilakukan pada pagi hari dengan tujuan untuk menghindari perubahan

suhu yang terlalu tinggi. Ciri – ciri nauplius yang baik antara lain. Warna gelap
31

kecoklatan, ukuran relative seragam, gerakan aktif, respon terhadap cahaya,

mengumpul dipermukaan bila aerasi dimatikan. Penebaran nauplius ke dalam bak

pemeliharaan larva harus dilakukan dengan hati – hati agar nauplius tidak stress

dengan lingkungan barunya harus diaklimatisasi terlebih dahulu, juga sebelum

ditebar ke dalam bak pemeliharaan larva air media yang ada di bak pemeliharaan

larva harus dicek terlebih dahulu baik salinitas, pH, oksigen terlarut, juga

suhunya. Hal ini dilakukan agar nauplius udang dapat tumbuh dengan baik.

Aklimatisasi dilakukan dengan cara, air media yang ada di dalam bak

pemeliharan larva dialirkan perlahan ke dalam baskom yang berisi nauplius

dengan menggunakan tangan secara perlahan dan hati – hati. Setelah itu nauplius

dilepaskan ke dalam bak pemeliharaan dengan cara baskom dijungkirkan perlahan

– lahan ke dalam bak pemeliharaan larva sampai nauplius habis keluar dari

baskom. Setelah Nauplius berada di dalam bak pemeliharaan maka aerasi diatur

dengan baik dan diperiksa keadaan aerasi apakah berjalan dengan lancar.

Gambar 5. Bak Inkubasi Telur


32

f. Pemberian Pakan

Udang windu termasuk hewan pemakan segala atau omnivora makanannya

berupa hewan-hewan kecil, seperti invertebrata (hewan tidak bertulang belakang)

air, udang kecil, kerang (bivalvi), dan ikan kecil. Induk udang memerlukan

makanan alami yang mempunyai kandungan kolesterol tinggi yang berasal dari

kerang-kerangan dan krustase lain (kepiting). Jenis makanan ini diperlukan untuk

mempercepat proses pematangan telur. Larva udang membutuhkan sejumlah

pakan untuk kelangsungan hidupnya. Secara garis besar pakan yang dimakan

dipergunakan untuk kelangsungan hidup, selebihnya baru untuk pertumbuhan.

Dengan demikian dalam pemberian pakan untuk larva jumlahnya harus melebihi

kebutuhan untuk pemeliharaan tubuhnya, oleh karena itu seorang pembenih harus

mengetahui jumlah pakan, kebiasan dan cara makan dari setiap stadium agar

tingkat efisiensinya tinggi.

Gambar 6. Kultur Pakan Alami


33

g. Pemanenan

Waktu tebar yang paling baik dilakukan adalah pukul 04.00 pagi. Untuk

itu pengusaha pembenihan udang yang akan memanen benurnya harus

mengetahui lama angkut dari pembenihan ke tambak. Biasanya untuk angkutan

jarak pendek (1–3 jam perjalanan) panen benur dimulai pada pukul 23.00,

sedangkan untuk jarak jauh 4–6 jam perjalanan, panen dimulai pada pukul 21.00

malam.

Cara pemanenan dilakukan dengan menurunkan air bak terlebih dahulu

hingga air bak tinggal 50%. Hal ini dimaksudkan agar benur mudah ditangkap

dengan seser. Seser yang digunakan untuk menangkap benur menggunakan seser

yang halus, supaya tidak merusak fisik benur. Disamping itu penangkapan benur

tidak boleh dilakukan dengan kasar tetapi harus dengan ekstra hati–hati dan pelan-

pelan.

Kemudian benur yang telah ditangkap dimasukkan kedalam wadah

penampungan yang telah disiapkan sebelumnya, yaitu ember besar yang

dilengkapi dengan aerasi. Bersamaan dengan pemanenan benur, dipersiapkan pula

kantong plastik untuk wadah benur yang akan diangkut. Dalam kantong plastik

tersebut dimasukkan 10–15 liter air yang mempunyai kadar garam yang sama

dengan air pemeliharan sebelumnya.

Kemudian kantong plastik tersebut diberi Artemia hidup secukupnya

untuk pakan benur selama perjalanan, sehingga kondisi benur tidak lemah dan

selalu sehat. Tetapi jangan sekali–kali memberikan pakan buatan dalam proses

packing karena bisa berakibat fatal terhadap benur yang akan diangkut.
34

Sambil menunggu pemanenan benur dari bak, benur yang telah terkumpul

dalam baskom penampungan sebaiknya ditakar dahulu untuk dihitung jumlahnya.

Perhitungan benur biasanya dilakukan dengan cara penimbangan dan cara

penakaran.

4.2.4. Manajemen Penanganan Benih

Manajemen penanganan benih yang dimaksud disini adalah penanganan

benih paska panen yang akan dipasarkan atau dapat disebut juga manajemen

teknik pengemasan. Pengemasan sangat penting untuk pemasaran benih, hal ini

karena selama masa pengiriman, benih yang dikemas harus berada dalam kondisi

normal dan tidak kekurangan oksigen, sehingga sangat diperlukan teknik

pengemasan yang baik.

Teknik pengemasan yang baik harus dimulai dari penggunaan kantong

plastik yang baik, tidak tipis dan terhindar dari senyawa beracun hasil pabrikan.

Sehingga perlu dicuci dan dibersihkan sebelum digunakan. Kemudian untuk

menghindari bocor dan kerusakan kantong maka pengemasan dilakukan dengan

membuat kantong yang digunakan berlapis atau doubel. Selanjutnya adalah

pemberian oksigen dalam kentong, tidak terlalu banyak dan terlalu sedikit. Jika

terlalu banyak akan menyebabkan kantong mudah rusak, sedangkan jika terlalu

sedikit akan menyebabkan kematian pada benih. Selain itu pula perlu diperhatikan

lama pengiriman untuk menentukan jumlah oksigen. Sehingga diperlukan

informasi tempat pengiriman, perhitungan lama pengiriman dan kebutuhan

oksigen untuk menyesuaikan besar kantong yang akan digunakan.


35

4.2.5. Manajemen Transportasi

Pada manajemen transportasi ini memperhatikan medan dan jarak yang

akan dilalui selama pengiriman. Manajemen ini berhubungan dengan teknik

pengemasan. Jika medan jauh dan sulit dijangkau maka digunakan transportasi

mobil yang tertutup dan tidak terkena sinar matahari langsung. Sedangkan jika

tempat pengiriman dekat dan bibit yang dipasarkan tidak banyak, dapat

menggunakan motor untuk pengiriman. Seluruh manajemen ini mempengaruhi

efisien dan efektifitas penggunaan dana dan keuntungan. Oleh sebab itu perlu

untuk diperhitungakan seluruhnya.

4.2.6. Manajemen Pemasaran

Pemasaran adalah faktor yang sangat menentukan bagi suatu usaha

pembenihan udang, mengingat hasilnya (benur) tidak dapat disimpan lama.

Semakin lama benur berada di tempat pembenihan berarti semakin bertambah

biaya produksi yang akan dikeluarkan, sehingga akan mengurangi jumlah

pendapatan yang diperoleh.

Harga memegang peranan penting dalam memasarkan hasil dari suatu usaha

pembenihan. Harga yang ditetapkan harus sesuai dengan mutu/kualitas benur

yang dihasilkan. Pemasaran merupakan langkah akhir dari suatu usaha untuk

memperoleh pendapatan yang diharapkan. Pemasaran adalah faktor yang sangat

menentukan bagi suatu usaha pembenihan udang, mengingat hasilnya (benur)

tidak dapat disimpan lama. Semakin lama benur berada di tempat pembenihan

berarti semakin bertambah biaya produksi yang akan dikeluarkan, sehingga akan

mengurangi jumlah pendapatan yang diperoleh.


36

Untuk menghindari hal tersebut perlu rencana kerja yang melihat ke depan.

Artinya untuk memulai suatu usaha pembenihan udang harus terlebih dahulu

melihat keadaan dari usaha budidaya tambak. karena usaha budidaya tambak

merupakan sasaran dari pemasaran usaha pembenihan. Selain itu faktor yang

sangat berpengaruh dalam pemasaran benur adalah mutu benur yang dihasilkan.

Jika benur yang dihasilkan dengan mutu yang berkualitas akan menarik minat

petani tambak untuk membeli benur yang dihasilkan oleh pembenih tersebut.

Sistem pemasaran yang berlaku pada usaha pembenihan udang windu pada

BBU ada 2 macam, yaitu konsumen langsung datang ke tempat pembenihan untuk

membeli benur yang diinginkan. Atau juga dapat melalui perantara/agen. Untuk

jenis konsumen yang kedua, biasanya dikirim disetiap tempat-tempat yang

membutuhkan pasokan bibit ditambaknya. Untuk disulawesi tenggara pengiriman

dilakukan di Kabupaten Konawe Selatan yakni di Tinanggea, Palangga Selatan,

Lainea, Kolono, Laia, Wawatu, Moramo. Sedangkan di Kota Kendari dikirim di

Tambak-tambak Kelurahan Anduonohu dan Mandonga. Di Kabupaten Kolaka

dikirim di Pomala, Wundulako, Wolo dan Samaturu. Sedangkan di Kabupaten

Muan dikirim di desa Kabangka dan di Kabupaten Bau-Bau.


37

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat ditarik beberapa

kesimpulan sebagai berikut:

1. Manajemen Pembenihan dimulai dari manajemen mutu air, manajemen

sarana, manajemen operasional, manajemen penanganan benih, manajemen

transportasi hingga manajemen pemasaran.

2. Manajemen operasional terdiri dari kegiatan persiapan, penanganan induk,

ablasi mata, penebaran nauplius, pemberian pakan, pemanenan. Persiapan

dilakukan dengan persiapan bak seperti bak induk, bak pemijahan, bak

inkubasi telur, bak larva dan bak pemanenan.

3. Manajemen sarana dilakukan untuk menunjang berlangsungnya kegiatan

produksi, sarana yang dibutuhkan meliputi sarana utama (main hathcery),

sarana penunjang seperti jalur transportasi, dan sarana pendukung.

B. Saran

Adapun saran yang dapat kami ajukan dalam pelaksanaan praktikum ini

sebaiknya dilakukan penanganan dan pengamatan nauplius hingga menjadi post

larva untuk diperoleh informasi mengenai manajemen yang dapat dilakukan

dalam setiap tahapan pertumbuhan nauplius tersebut.


38

DAFTAR PUSTAKA

Aslan, L.M., Balubi, A. M., Yusnaini. 2013. Manajemen Hatcheri Udang Windu
(Panaeus monodon). PT Penerbit IPB Press. Kampus IPB Taman
Kencana Bogor.
Christi, P. 2007. Microalgae. In: Manual on Production and Use of Live Food for
Aquaculture. FAO Fisheries Technical Paper. Lavens, P and P.
Sorgeloos Edition. Rome. Italia. Pp:8-47.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air, Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.
Huda. 2009. Hubungan Antara Total Suspended Solid dengan turbidity dan
dissolved oxygen. http://thorik.staff.uii.ac.id. Dikases pada tanggal 20
Maret 2013.
Idris, M. 2013. Diktat Kuliah Manajemen Kualitas Air. Jurusan Perikana, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Haluoleo. Kendari.
Koordi, M. G. H. 2010. Panduan Lengkap memelihara Ikan Air Tawar di Kolam
Terpal. Lily Publiser. Yogyakarta.
Mudjiman, A., 1983. Udang Renik Air Asin (Artemia Salina). P.T. Bhratara Karya
Aksara. Jakarta.
Nontji, A. 2008. Plankton Laut. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Lipi Press.
Jakarta. 331 hal.
Parwati, E., Kartika, T. dan Indarto, J. 2008. Ektraksi Informasi Total Suspended
Solid (TSS) Menggunakan Data Penginderaan Jauh Untuk Kawasan
Pesisir Berau, Kalimantan Timur. Peneliti Kedeputian Penginderaan
Jauh LAPAN. Bandung.
Rukmini. 2012. Teknologi Budidaya Biota Air. Karyaputra Darwati. Bandung.
Saparianto, C. 2009. Budidaya Ikan di Kolam Terpal. Penebar Swadaya. Bogor.
Tepu, Indo. 2006. Seleksi Bakteri Probiotik Untuk Biokontrol Vibriosis pada
Larva Udang Windu Penaeus monodon Menggunakan Cara Kultur
Bersama. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor.

Anda mungkin juga menyukai