Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN

LATIHAN KESEIMBANGAN TERHADAP PENURUNAN RESIKO JATUH


PADA LANSIA DI RT 06 RW 04 DESA SEMBUNGAN KELURAHAN UNGARAN

KECAMATAN UNGARAN BARAT KABUPATEN SEMARANG

Dosen Pengampu: Ns. Puji Purwaningsih, S.Kep., M.Kep.

OLEH :

DEFI PUJI LESTARI

070118A009

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS NGUDI WALUYO UNGARAN

2019
TINJAUAN PUSTAKA

I. Proses Penuaan

A. Pengertian

Menua (aging) merupakan proses yang harus terjadi secara umum pada seluruh

spesies secara progresif seiring waktu yang menghasilkan perubahan yang menyebabkan

disfungsi organ dan menyebabkan kegagalan suatu organ atau suatu sistem tubuh

tertentu. Proses menua dipengaruhi oleh faktor eksogen dan endogen yang dapat menjadi

faktor risiko penyakit degenerative yang bisa dimulai sejak usia muda atau produktif,

namun bersifat subklinis (Fatmah, 2010).

Proses penuaan merupakan tahap tubuh mencapai titik perkembangan yang

maksimal. Setelah itu tubuh mulai menyusut dikarenakan berkurangnya jumlah sel-sel

yang ada di dalam tubuh. Sebagai akibatnya, tubuh juga akan mengalami penurunan

fungsi secara perlahan-lahan. Penuaan atau proses terjadinya tua adalah suatu proses

menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki

diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan

terhadap infeksi serta memperbaiki kerusakan yang diderita. Penuaan adalah suatu proses

alami yang tidak dapat dihindari, berjalan secara terus-menerus, dan berkesinambungan

(Maryam dkk, 2012).

Penuaan merupakan proses normal perubahan yang berhubungan dengan waktu,

sudah dimulai sejak lahir dan berlanjut sepanjang hidup. Usia tua adalah fase akhir dari

rentang kehidupan (Fatimah, 2010).


Proses menua merupakan kombinasi berbagai macam faktor yang saling

berkaitan. Sampai saat ini banyak definisi dan teori yang menjelaskan tentang proses

menua yang tidak seragam. Secara umum, proses menua didefinisikan sebagai perubahan

yang terkait waktu, bersifat universal, intrinsik, progresif dan detrimental. Keadaan

tersebut dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan

untuk dapat bertahan hidup (Dewi, 2014).

B. Teori-Teori Proses Penuaan

Teori biologik dapat dipisahkan menjadi 2 golongan besar, yaitu teori

perkembangan genetik (atau disebut juga penuaan primer) atau teori non stokhastik. Teori

ini menunjukkan adanya penurunan fungsi yang terkontrol secara genetik. Golongan

kedua adalah teori stokhastik (proses penuaan sekunder), dimana terjadi perubahan acak

sebagai akibat penyakit yang didapat dan/ atau trauma.

1. Teori “Genetic clock”

Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk spesies-spesies

tertentu. Tiap spesies mempunyai didalam nuclei (inti sel)nya suatu jam genetik yang

telah diputar menurut suatu replikasi tertentu. Jam ini akan menghitung mitosis dan

menghentikan replikasi sel bila tidak diputar, jadi menurut konsep ini bila jam kita itu

berhenti akan meninggal dunia, meskipun tanpa disertai kecelakaan lingkungan atau

penyakit akhir yang katastrofal.

2. Mutasi Somatik (Teori Error Catastrophe)

Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan dalam menganalisis faktor-faktor

penyebab terjadinya proses menua adalah faktor lingkungan yang menyebabkan

terjadinya mutasi somatik. Sekarang sudah umum diketahui hawa radiasi dan zat kimia
dapat memperpendek umur, sebaliknya menghindari terkenanya radiasi atau tercemar zat

kimia yang bersifat karsinogenik atau toksik, dapat memperpanjang umur. Menurut teori

ini terjadinya mutasi yang progresif pada DNA sel somatik, akan menyebabkan

terjadinya penurunan kemampuan fungsional sel tersebut.

Menurut hipotesis tersebut, menua disebabkan oleh kesalahan-kesalahan yang

beruntun sepanjang kehidupan setelah berlangsung dalam waktu yang beruntun

sepanjang kehidupan setelah berlangsung dalam waktu yang cukup lama, terjadi

kelelahan dalam proses transkripsi (DNA U RNA), maupun dalam proses translasi (RNA

U protein/enzim).

3. Rusaknya Sistem Imun Tubuh

Mutasi yang berulang atau perubahan protein pascatranslasi dapat menyebabkan

berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenali dirinya sendiri (selfrecognition).

Jika mutasi somatik menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka

hal ini dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami

perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya. Hasilnya dapat pula berupa

reaksi antigen/antibody yang luas mengenai jaringan-jaringan beraneka ragam, efek

menua jadi akan menyebabkan reaksi histoinkompatibilitas pada banyak jaringan.

Dipihak lain sistem imun tubuh sendiri daya pertahanannya mengalami penurunan

pada proses menua, daya serangnya terhadap sel kanker menjadi menurun, sehingga sel

kanker leluasa membelah-belah. Semua sel somatik akan mengalami proses menua,

kecuali sel seks dan sel yang mengalami mutasi menjadi kanker.
4. Teori Menua Akibat Metabolisme

Perpanjangan umur karena penurunan jumlah kalori tersebut, antara lain

disebabkan karena penurunan jumlah kalori tersebut, antara lain disebabkan karena

menurunnya salah satu atau beberapa proses metabolisme. Terjadi penurunan

pengeluaran hormon yang merangsang proliferasi sel, misalnya insulin, dan hormon

pertumbuhan.

Modifikasi cara hidup yang kurang bergerak menjadi lebih banyak bergerak

mungkin juga meningkatkan umur panajng. Hal ini menyerupai hewan yang hidup dialam

bebas yang banyak bergerak dibandingkan dengan hewan yang kurang bergerak dan

banyak makan.

5. Kerusakan Akibat Radikal Bebas

Radikal bebas (RB) yang sering dianggap sebagai fragmen molekuler yang

mempunyai elektron tidak berpasangan, dapat terbentuk didalam tubuh akibat proses

metabolik normal didalam mitokondria juga sebagai produk sampingan didalam rantai

pernafasan (Oen dalam Darmojo, 2015). Untuk organism aerobik, RB terutama terbentuk

pada waktu respirasi (aerob) didalam mitokondria, karena 90% oksigen yang diambil

tubuh, masuk kedalam mitokondria. Waktu terjadi proses respirasi tersebut oksigen

dilibatkan dalam mengubah bahan bakar menjadi ATP, melalui enzim-enzim respirasi

didalam mitokondria, maka radikal bebas akan dihasilkan sebagai zat antara. RB yang

terbentuk tersebut adalah: Superoksida (O2), radikal hidroksil (OH), dan juga peroksida

hydrogen (H2O2). RB bersifat merusak, karena sangat reaktif, sehingga dapat bereaksi

dengan DNA, protein, asam lemak tak jenuh, seperti dalam membran sel, dan dengan

gugus SH (Darmojo & Martono, 2015).


C. Batasan-Batasan Umur Lansia

Usia yang dijadikan patokan untuk lanjut usia berbeda-beda, umumnya berkisar

antara 60-65 tahun. Beberapa pendapat para ahli tentang batasan usia adalah sebagai

berikut (Kushariyadi, 2012).

1. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ada empat tahapan yaitu:

a. Usia pertengahan (middle age) usia 45-59 tahun

b. Lanjut usia (elderly) usia 60-74 tahun

c. Lanjut usia tua (old) usia 75-90 tahun

d. Usia sangat tua (very old) usia >90 tahun

2. Menurut Prof.DR.Ny. Sumiati Ahmad Mohammad, Guru Besar Universitas Gajah Mada

Fakultas Kedokteran, periodisasi biologis perkembangan manusia dibagi menjadi:

a. Masa bayi (usia 0-1 tahun)

b. Masa prasekolah (usia 1-6 tahun)

c. Masa sekolah (usia 6-10 tahun)

d. Masa setengah umur, prasenium (usia 40-65 tahun)

e. Masa lanjut usia, senium (usia >65 tahun)

3. Menurut Dra.Ny. Jos Masdani, psikolog dari Universitas Indonesia, kedewasaan dibagi

menjadi empat bagian:

a. Fase iuventus (usia 25-40 tahun)

b. Fase verilitas (usia 40-50 tahun)

c. Fase prasenium (usia 55-65 tahun)

d. Fase senium (usia 65 tahun hingga tutup usia)


4. Menurut Prof. DR.Koesoemanto Setyonegoro, Sp.Kj., batasan usia dewasa sampai lanjut

usia dikelompokkan menjadi:

a. Usia dewasa muda (elderly adulthood) usia 18/20-25 tahun

b. Usia dewasa penuh (middle years) atau maturitas usia 25-60/65 tahun

c. Lanjut usia (geriatric age) usia> 65/70 tahun, terbagi atas:

1) Young old (usia 70-75 tahun)

2) Old (usia 75-80 tahun)

3) Very old (usia >80 tahun)

5. Menurut Bee (1996), bahwa tahapan masa dewasa adalah sebagai berikut:

a. Masa dewasa muda (usia 18-25 tahun)

b. Masa dewasa awal (usia 25-40 tahun)

c. Masa dewasa tengah (usia 40-65 tahun)

d. Masa dewasa lanjut (usia 65-75 tahun)

e. Masa dewasa sangat lanjut (usia >75 tahun)

6. Menurut Hurlock (1979), perbedaan lanjut usia ada dua tahap:

a. Early old age (usia 60-70 tahun)

b. Advanced old age (usia >70 tahun)

7. Menurut Burnsie (1979), ada empat tahap lanjut usia yaitu:

a. Young old (usia 60-69 tahun)

b. Middle age old (usia 70-79 tahun)

c. Old-old (usia 80-89 tahun)

d. Very old-old (usia >90 tahun)


8. Menurut sumber lain, mengemukakan:

a. Elderly (usia 60-65 tahun)

b. Junior old age (usia >65-75 tahun)

c. Formal old age (usia >75-90 tahun)

d. Longevity old age (usia > 90-120 tahun)

D. Klasifikasi Lansia

Klasifkasi berikut ini adalah lima klasifikasi pada lansia (Maryam dkk, 2012).

1. Pralansia

Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun

2. Lansia

Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih

3. Lansia Resiko Tinggi

Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/ seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih

dengan masalah kesehatan (Depkes RI, 2003).

4. Lansia Potensial

Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang

dapat menghasilkan barang/jasa (Depkes RI, 2003).

5. Lansia Tidak Potensial

Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya

bergantung pada orang lain (Depkes RI, 2003).


E. Tipe-Tipe Lansia

Banyak ditemukan bermacam-macam tipe lansia. Beberapa yang menonjol

diantaranya (Nugroho dalam Dewi, 2014).

1. Tipe Arif Bijaksana

Lansia ini kaya dengan hikmah pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan

zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan,

memenuhi undangan, dan menjadi panutan.

2. Tipe Mandiri

Lansia kini senang mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam

mencari pekerjaan dan teman pergaulan, serta memenuhi undangan.

3. Tipe Tidak Puas

Lansia yang selalu mengalami konflik lahir batin, menentang proses penuaan yang

menyebabkan kehilangan kecantikan, kehilangan daya tarik jasmani, kehilangan

kekuasaan, status, teman yang disayangi, pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung,

menuntut, sulit dilayani, dan pengkritik.

4. Tipe Pasrah

Lansia yang selalu menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan beribadat,

ringan kaki, melakukan berbagai jenis pekerjaan.

5. Tipe Bingung

Lansia yang sering kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, merasa minder,

menyesal, pasif, dan acuh tak acuh.


Lansia dapat pula dikelompokkan dalam beberapa tipe yang bergantung pada

karakter, pengalaman hidup, lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial dan ekonominya.

Tipe ini antara lain (Dewi, 2014)

a. Tipe Optimis

Lansia santai dan periang, penyesuaian cukup baik, memandang lansia dalam bentuk bebas

dari tanggung jawab dan sebagai kesempatan untuk menuruti kebutuhan pasifnya.

b. Tipe Konstruktif

Mempunyai integritas baik, dapat menikmati hidup, mempunyai toleransi tinggi, humoris,

fleksibel dan sadar diri. Biasanya sifat ini terlihat sejak muda.

c. Tipe Ketergantungan

Lansia ini masih dapat menerima di tengah masyarakat, tetapi selalu pasif, tidak berambisi,

masih sadar diri, tidak mempunyai inisiatif, dan tidak praktis dalam bertindak.

d. Tipe Defensif

Sebelumnya mempunyai riwayat pekerjaan/jabatan yang tidak stabil, selalu menolak

bantuan, emosi sering tidak terkontrol, memegang teguh kebiasaan, bersifat kompulsif aktif,

takut megahadi “menjadi tua” dan menyenangi masa pensiun.

e. Tipe Militant dan Serius

Lansia yang tidak mudah menyerah, serius, senang berjuang dan bisa menjadi panutan.

f. Tipe Pemarah Frustasi

Lansia yang pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, selalu menyalahkan orang lain,

menunjukkan penyesuaian yang buruk, dan sering mengekspresikan kepahitan hidupnya.


g. Tipe Bermusuhan

Lansia yang menganggap orang lain yang menyebabkan kegagalan, selalu mengeluh, bersifat

agresif dan curiga. Umumnya memiliki pekerjaan yang tidak stabil di saat muda,

menganggap menjadi tua sebagai hal yang tidak baik, takut mati, iri hati pada orang yang

masih muda, senang mengadu untung pekerjaan, dak aktif menghindari masa yang buruk.

h. Tipe Putus Asa, Membenci dan Menyalahkan Diri Sendiri

Bersifat kritis dan menyalahkan diri sendiri, tidak memiliki ambisi, mengalami penurunan

sosio-ekonomi, tidak dapat menyesuaikan diri, lansia tidak hanya mengalami kemarahan,

tetapi juga depresi, menganggap usia lanjut sebagai masa yang tidak menarik dan berguna.

F. Perubahan-Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia

Perubahan yang terjadi pada lansia meliputi perubahan fisik, sosial, dan

psikologis (Maryam dkk, 2012).

1. Perubahan Fisik

a. Sel

Jumlah berkurang, ukuran membesar, cairan tubuh menurun, dan cairan intraseluler

menurun.

b. Kardiovaskular

Katub jantung menebal dan kaku, kemampuan memompa darah menurun

(menurunnya kontraksi dan volume), elastisitas pembuluh darah menurun, serta

meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer sehingga tekanan darah meningkat.


c. Respirasi

Otot-otot pernapasan kekuatannya menurun dan kaku, elastisitas paru menurun,

kapasitas residu meningkat sehingga menarik napas lebih berat, alveoli melebar dan

jumlahnya menurun, kemampuan batuk menurun, serta terjadi penyempitan pada

bronkus.

d. Persarafan

Saraf panca indera mengecil sehingga fungsinya menurun serta lambat dalam

merespon dan waktu bereaksi khususnya yang berhubungan dengan stress.

Berkurang atau hilangnya lapisan myelin akson, sehingga menyebabkan

berkurangnya respon motorik dan refleks.

e. Muskuloskeletal

Cairan tulang menurun sehingga mudah rapuh (osteoporosis), bungkuk (kifosis),

persendian membesar dan menjadi kaku (atrofi otot), keram, tremor, tendon

mengkerut, dan mengalami sklerosis.

f. Gastrointestinal

Esofagus melebar, asam lambung menurun, lapar menurun, dan peristaltik menurun

sehingga daya absorpsi juga ikut menurun. Ukuran lambung mengecil serta fungsi

organ aksesori menurun sehingga menyebabkan berkurangnya produksi hormon

dan enzim pencernaan.

g. Genitourinaria

Ginjal : mengecil, aliran darah ke ginjal menurun, penyaringan di glomerulus

menurun, dan fungsi tubulus menurun sehingga kemampuan mengonsentrasi urine

ikut menurun.
h. Vesika uriaria

Otot-otot melemah, kapasitasnya menurun, dan retensi urine. Prostat : hipertrofi

pada 75% lansia.

i. Vagina

Selaput lendir mengering dan sekresi menurun.

j. Pendengaran

Membran timpani atrofi sehingga terjadi gangguan pendengaran. Tulang-tulang

pendengaran mengalami kekakuan.

k. Penglihatan

Respons terhadap sinar menurun, adaptasi terhadap gelap menurun, akomodasi

menurun, lapang pandang menurun, dan katarak.

l. Endokrin

Produksi hormon menurun

m. Kulit

Keriput serta kulit kepala dan rambut menipis. Rambut dalam hidung dan telinga

menebal. Elastisitas menurun, vaskularisasi menurun, rambut memutih (uban),

kelenjar keringat menurun, kuku keras dan rapuh, serta kuku kaki tumbuh

berlebihan seperti tanduk.

n. Belajar dan memori

Kemampuan belajar masih ada tetapi relative menurun. Memori (daya ingat)

menurun karena proses encoding menurun.


o. Inteligensi

Secara umum tidak banyak berubah.

p. Personality dan adjustment

(Pengaruh) tidak banyak berubah, hampir seperti saat muda.

q. Pencapaian

(Achievement) sains, filosofi, seni, dan musik sangat memengaruhi.

2. Perubahan Sosial

a. Peran

Post power syndrome, single woman, dan single parent.

b. Keluarga

Emptiness kesendirian, kehampaan.

c. Teman

Ketika lansia lainnya meninggal, maka muncul perasaan kapan akan meninggal.

d. Abuse

Kekerasan berbentuk verbal (dibentak) dan nonverbal (dicubit, tidak diberi makan).

e. Masalah hukum

Berkaitan dengan perlindungan aset dan kekayaan pribadi yang dikumpulkan sejak

masih muda.

f. Pensiun

Kalau menjadi PNS akan ada tabungan (dana pensiun). Kalau tidak, anak dan cucu

yang akan memberi uang.


g. Ekonomi

Kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang cocok bagi lansia dan income

security.

h. Rekreasi

Untuk ketenangan batin.

i. Keamanan

Jatuh, terpeleset.

j. Transportasi

Kebutuhan akan sistem transportasi yang cocok bagi lansia.

k. Politik

Kesempatan yang sama untuk terlibat dan memberikan masukan dalam sistem

politik yang berlaku.

l. Pendidikan

Berkaitan dengan pengentasan buta aksara dan kesempatan untuk tetap belajar

sesuai dengan hak asasi manusia.

m. Agama

Melaksanakan ibadah.

n. Panti jompo

Merasa dibuang/diasingkan.

3. Perubahan Psikologis

Perubahan psikologis pada lansia meliputi short term memory, frustasi, kesepian, takut

kehilangan kebebasan, takut menghadapi kematian, perubahan keinginan, depresi, dan

kecemasan.
II. Balance Exercise (Latihan Keseimbangan)

A. Pengertian

Balance Exercise adalah intervensi fisioterapi yang dapat mengatasi permasalahan

yang dihadapi lansia yang mempengaruhi keseimbangan postural (Kusnanto dalam

Masitoh, Itoh. 2013).

Keseimbangan adalah kemampuan untuk mempertahankan keseimbangan tubuh

ketika di tempatkan di berbagai posisi. Definisi menurut O’Sullivan, keseimbangan

adalah kemampuan untuk mempertahankan pusat gravitasi pada bidang tumpu terutama

ketika saat posisi tegak. Kemampuan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan dan

kestabilan postur oleh aktivitas motorik tidak dapat dipisahkan dari faktor lingkungan dan

sistem regulasi yang berperan dalam pembentukan keseimbangan merupakan definisi dari

keseimbangan. Keseimbangan melibatkan berbagai gerakan di setiap segmen tubuh

dengan di dukung oleh sistem muskuloskletal dan bidang tumpu. Kemampuan untuk

menyeimbangkan massa tubuh dengan bidang tumpu akan membuat manusia mampu

untuk beraktivitas secara efektif dan efisien (Irfan, 2010).

Keseimbangan merupakan penyebab utama yang sering mengakibatkan seorang

lansia mudah jatuh. Keseimbangan merupakan tanggapan motorik yang dihasilkan dari

berbagai faktor, diantaranya input sensorik dan kekuatan otot. Penelitian menunjukkan

bahwa keseimbangan menurun dengan lanjutnya usia, yang bukan hanya sebagai akibat

menurunnya kekuatan otot atau akibat penyakit yang diderita (Darmojo & Martono,

2015).
Keseimbangan merupakan kemampuan tubuh untuk mempertahankan koordinasi

pada posisi berdiri dan bereaksi mencegah jatuh bergantung pada koordinasi sistem

muskuloskeletal, neurologi dan sistem penglihatan (Dewi, 2014).

B. Klasifikasi Keseimbangan

Keseimbangan di klasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu, (Irfan, 2010).

1. Keseimbangan statis

Kemampuan tubuh untuk menjaga kesetimbangan pada posisi tetap (sewaktu berdiri

dengan satu kaki, berdiri di atas papan keseimbangan).

2. Keseimbangan dinamis

Kemampuan untuk mempertahankan kesetimbangan ketika bergerak.

C. Tujuan Keseimbangan

Tujuan dari keseimbangan yaitu mempertahankan keseimbangan adalah

menyanggah tubuh melawan gravitasi dan faktor eksternal lain, untuk mempertahankan

pusat massa tubuh agar sejajar dan seimbang dengan bidang tumpu, serta menstabilisasi

bagian tubuh ketika bagian tubuh lain bergerak (Irfan, 2010).

D. Komponen-Komponen Pengontrol Keseimbangan

1. Sistem informasi sensoris

Sistem informasi sensoris meliputi visual, vestibular, dan somatosensoris.

a. Visual

Visual memegang peran penting dalam sistem sensoris. Cratty dan Martin

mengatakan bahwa keseimbangan akan terus berkembang sesuai umur, mata akan

membantu agar tetap fokus pada titik utama untuk mempertahankan keseimbangan,

dan sebagai monitor tubuh selama melakukan gerak statik atau dinamik. Penglihatan
juga merupakan sumber utama informasi tentang lingkungan dan tempat kita berada,

penglihatan memegang peran penting untuk mengidentifikasi dan mengatur jarak

gerak sesuai lingkungan tempat kita berada. Penglihatan muncul ketika mata

menerima sinar yang berasal dari objek sesuai jarak pandang.

Dengan informasi visual, maka tubuh dapat menyesuaikan atau bereaksi

terhadap perubahan bidang pada lingkungan aktivitas sehingga memberikan kerja otot

yang sinergi untuk mempertahankan keseimbangan tubuh.

b. Sistem Vestibular

Komponen vestibular merupakan sistem sensoris yang berfungsi penting

dalam keseimbangan, kontrol kepala, dan gerak bola mata. Reseptor sensoris

vestibular berbeda di dalam telinga. Reseptor pada sistem vestibular meliputi kanalis

semisirkularis, utrikulus, serta sakulus. Reseptor dari sistem sensoris ini disebut

dengan sistem labyrinthine.

Sistem labyrinthine mendeteksi perubahan posisi kepala dan percepatan

perubahan sudut. Melalui refleks vestibule-occular, mereka mengontrol gerak mata,

terutama ketika melihat obyek yang bergerak. Mereka meneruskan pesan melalui

kedelapan saraf kranialis ke nucleus vestibular yang berlokasi di batang otak.

Beberapa stimulus tidak menuju nucleus vestibular tetapi ke serebellum, reticular

formasi, thalamus dan korteks serebri.

Nukleus vestibular menerima masukan (input) dari reseptor labyrinth,

reticular formasi, dan serebellum. Keluaran (output) dari nukleus vestibular menuju

ke motor neuron melalui medulla spinalis, terutama ke motor neuron yang

menginervasi otot-otot proksimal, kumparan otor pada leher dan otot-otot punggung
(otot-otot postural). Sistem vestibular bereaksi sangat cepat sehingga membantu

mempertahankan keseimbangan tubuh dengan mengontrol otot-otot.

c. Somatosensoris

Sistem somatosensoris terdiri dari taktil atau proprioseptif serta persepsi-

kognitif. Informasi propriosepsi disalurkan ke otak melalui kolumna dorsalis medula

spinalis. Sebagian besar masukan (input) proprioseptif menuju serebellum, tetapi ada

pula yang menuju ke korteks serebri melalui lemniskus medialis dan thalamus.

Kesadaran akan posisi berbagai bagian tubuh dalam ruang sebagian

bergantung pada implus yang datang dari alat indera dalam dan sekitar sendi. Alat

indera tersebut adalah ujung-ujung saraf yang beradaptasi lambat di sinovia dan

legamentum. Implus dari alat indera ini dari reseptor raba di kulit dan jaringan lain,

serta otot di proses di korteks menjadi kesadaran akan posisi tubuh dalam ruang.

2. Respon otot-otot postural yang sinergis

Respon otot-otot postural yang sinergis mengarah pada waktu dan jarak dari

aktivitas kelompok otot yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan dan

kontrol postur. Beberapa kelompok otot baik pada ekstrimitas atas maupun bawah

berfungsi mempertahankan postur saat berdiri tegak serta mengatur keseimbangan tubuh

dalam berbagai gerakan. Keseimbangan pada tubuh dalam berbagai posisi hanya akan

dimungkinkan jika respon dari otot-otot postural bekerja secara sinergi sebagai reaksi

dari perubahan posisi, titik tumpu, gaya gravitasi, dan aligment tubuh.

Kerja otot yang senergi berarti bahwa adanya respon yang tepat (kecepatan dan

kekuatan) suatu otot terhadap otot yang lainnya dalam melakukan fungsi gerak tertentu.
3. Kekuatan otot (Muscle Strength)

Kekuatan otot umumnya diperlukan dalam melakukan aktivitas. Semua gerakan

yang dihasilkan merupakan hasil dari adanya peningkatan tegangan otot sebagai respon

motorik.

Kekuatan otot dapat digambarkan sebagai kemampuan otot menahan beban baik

berupa beban eksternal (eksternal face) maupun beban internal (internal face). Kekuatan

otot sangat berhubungan dengan sistem neuromuskuler yaitu seberapa besar kemampuan

sistem saraf mengaktifasi otot yang teraktifasi, maka semakin besar pula kekuatan yang

dihasilkan otot tersebut.

Kekuatan otot dari kaki, lutut serta pinggul harus adekuat untuk mempertahankan

keseimbangan tubuh saat adanya tekanan gaya dari luar. Kekuatan otot tersebut

berhubungan langsung dengan kemampuan otot untuk melawan gaya gravitasi serta

beban eksternal lainnya yang secara terus menerus mempengaruhi posisi tubuh.

4. Adaptive Systems

Merupakan kemampuan adaptasi akan memodifikasi masukan sensoris dan

keluaran motorik ketika terjadi perubahan tempat sesuai dengan karakteristik lingkungan.

Kemampuan adaptasi terhadap lingkungan dan perubahannya akan sangat menentukan

proses pembelajaran motorik sampai menghasilkan gerakan terampil dan fungsional.

5. Lingkungan Gerak Sendi (Joint Range Of Motion)

Kemampuan sendi untuk membantu gerak tubuh dan mengarahkan gerakan

terutama saat gerakan yang memerlukan keseimbangan yang tinggi, serta keterjangkauan
lingkup gerak sendi untuk memenuhi kebutuhan gerak yang memungkinkan untuk

seimbang ( Irfan, 2010).

E. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keseimbangan

1. Gaya Gravitasi Bumi

Gaya gravitasi merupakan gaya tarik bumi terhadap suatu benda, hal ini juga

berlaku pada tubuh manusia di mana tekanan gravitasi bekerja pada tubuh manusia baik

dalam keadaan statis maupun dinamis.

2. Pusat Gravitasi (Center Of Gravity-COG)

Pusat gravitasi terdapat pada semua objek. Pada benda, pusat gravitasi terletak

tepat di tengah benda tersebut. Pada manusia, pusat gravitasi berpindah sesuai dengan

arah atau perubahan berat. Pusat gravitasi manusia ketika berdiri tegak adalah tepat di

atas pinggang diantara depan dan belakang vertebra sakrum ke dua.

3. Garis Gravitasi (Line of Gravity-LOG)

Garis gravitasi merupakan garis imajiner yang berada vertikal melalui pusat

gravitasi dengan pusat bumi. Hubungan antara garis gravitasi, pusat gravitasi dengan

bidang tumpu adalah untuk menentukan derajat stabilitas tubuh.

4. Bidang tumpu (Base of Support-BOS)

Bidang tumpu merupakan bagian dari tubuh yang berhubungan dengan

permukaan tumpuan. Ketika garis gravitasi tepat berada di bidang tumpu, tubuh dalam

keadaan seimbang. Semakin besar bidang tumpu, semakin tinggi stabilitas.

BOS merupakan kemponen stabilisasi pada fungsi gerak, sehingga kondisi BOS

akan menghasilkan reaksi gerak pada tubuh. BOS pada gerak manusia akan memberikan

reaksi pada pola gerak individu (Irfan, 2010).


F. Keseimbangan Berdiri

Pada posisi berdiri seimbang, susunan saraf pusat berfungsi untuk menjaga pusat

massa tubuh (center of body massa) dalam keadaan stabil dengan batas bidang tumpu

tidak berubah kecuali tubuh membentuk batas bidang tumpu lain (misalnya: melangkah).

Selain itu masukan (input) visual berfungsi sebagai kontrol keseimbangan, pemberi

informasi, serta memprediksi datangnya gangguan. Masukan (input) dari kulit di telapak

kaki juga merupakan hal penting untuk mengatur keseimbangan saat berdiri dan saat

ingin melangkah.

Postur adalah posisi atau sikap tubuh di mana tubuh dapat membentuk banyak

bentuk yang memungkinkan tubuh dalam posisi yang nyaman selama mungkin. Pada

saat berdiri tegak, hanya terdapat gerakan kecil yang muncul dari tubuh, yang biasa di

sebut dengan ayunan tubuh. Luas dan arah ayunan diukur dari permukaan tumpuan

dengan menghitung gerakan yang menekan di bawah telapak kaki, yang disebut pusat

tekanan center of pressure-COP). Jumlah ayunan tubuh ketika berdiri tegak dipengaruhi

oleh faktor posisi kaki dan lebar dari bidang tubuh.

Posisi tubuh ketika berdiri dapat dilihat kesimetrisannya dengan kaki selebar

sendi pinggul, lengan di sisi tubuh, dan mata menatap ke depan. Walaupun posisi ini

dapat dikatakan sebagai posisi yang paling nyaman, tetapi tidak dapat bertahan lama,

karena seseorang akan segera berganti posisi untuk mencegah kelelahan (Irfan, 2010).

G. Tahap-Tahap Dalam Melakukan Latihan Keseimbangan

Latihan keseimbangan pada pasien lansia meliputi (Darmojo & Martono, 2015).

1. Berdiri dengan bertumpu pada kursi dan menggerakan pinggul ke samping kiri dan ke

samping kanan.
2. Dengan berpegangan pada kursi yang ditempatkan di depan penderita, penderita berlatih

untuk mengangkat tumit bergantian dengan mengangkat ujung jari kaki.

3. Tempatkan satu kaki didepan dan kaki yang lain dibelakang dan posisi lurus, bersandar

kedepan/ kursi dengan punggung tumit tetap mendatar.


4. Berdiri dengan satu kaki, mencoba mempertahankan keseimbangan selama beberapa

detik atau selama mungkin tanpa bantuan.

5. Berdiri dengan kedua tangan didepan kepala, gerakan mata dari satu tangan ke tangan

yang lain secepatnya sesuai dengan kemampuan. Hentikan bila kepala terasa berputar

atau mual.
6. Dengan berpegangan dengan kursi yang ditempatkan di depan penderita, satu kaki

menyilang di depan kaki yang lain, kemudian mengangkat kaki yang belakang disamping

kaki yang terdepan.

7. Melatih dengan berjalan dengan membentuk angka delapan. Latihan berlanjut sampai

dapat membentuk formasi angka delapan yang makin kecil.

8. Satu kaki yang berhimpit di setengah kaki didepannya gerakan kepala untuk melihat ke

samping kanan beberapa kali, kemudian ke samping kiri beberapa kali, ke atas beberapa

kali; Dengan menggunakan tangan kanan gerakkan ke kiri ke depan dan ke belakang.
G. Penilaian Keseimbangan

Pemeriksaan keseimbangan seharusnya dilakukan saat berdiri secara statis dan dinamik,

termasuk pemeriksaan kemampuan untuk bertahan terhadap ancaman baik internal dan eksternal.

Pemeriksaan statis termasuk lebar cara berdiri sendiri dan cara berdiri sempit dengan kedua kaki

yang nyaman tanpa dukungan ekstremitas atas, diikuti oleh berdiri dengan mata tertutup untuk

menghilangkan pengaruh visual untuk penderita gangguan keseimbangan. Penilaian ini biasanya

menggunakan tes Romberg atau sering dikenal dengan berg balance score (Darmojo & Martono,

2015).

III. Jatuh

A. Pengertian Jatuh

Kejadian yang sering dialami oleh lansia yaitu jatuh. Jatuh merupakan salah satu

geriatric giant, sering terjadi pada usia lanjut, penyebab tersering adalah masalah di dalam

dirinya sendiri (gangguan gait, sensorik, kognitif, sistem syaraf pusat) didukung oleh
keadaan lingkungan rumahnya yang berbahaya (alat rumah tangga yang tua/tidak stabil,

lantai yang licin dan tidak rata, dan lain-lain) (Darmojo & Martono, 2015).

Jatuh merupakan kejadian terbesar dari kecelakaan pada lansia. Jatuh adalah suatu

kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata yang melihat kejadian, sehingga

mengakibatkan seseorang mendadak terbaring/terduduk dilantai atau tempat yang lebih

rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka (Reuben, 1996 dalam Maryam

dkk, 2012).

B. Faktor Risiko Jatuh

Menurut Darmojo & Martono, 2015. Untuk dapat memahami faktor risiko jatuh, maka

dimengerti bahwa stabilitas badan ditentukan atau dibentuk oleh:

1. Sistem Sensorik

Yang berperan di dalamnya adalah : visus (penglihatan), pendengaran, fungsi

vestibuler, dan proprioseptif. Semua gangguan atau perubahan pada mata akan

menimbulkan gangguan penglihatan. Semua penyakit telinga akan menimbulkan

gangguan pendengaran. Vertigo tipe perifer sering terjadi pada lansia yang diduga

karena adanya perubahan fungsi vestibuler akibat proses menua.

2. Sistem Saraf Pusat (SSP)

SSP akan memberikan respon motorik untuk mengantisipasi input sensorik.

3. Kognitif

Pada beberapa penelitian, dementia, diasosiasikan dengan meningkatnya risiko jatuh.

4. Muskuloskeletal

Faktor ini disebut oleh beberapa peneliti merupakan faktor yang benar-benar murni

milik lansia yang berperan besar terhadap terjadinya jatuh. Gangguan muskuloskeletal
menyebabkan gangguan gaya berjalan (gait) dan ini berhubungan dengan proses menua

yang fisiologis.

C. Penyebab-Penyebab Jatuh Pada Lansia

Menurut Darmojo & Martono, 2015 yang menyebabkan lansia jatuh yaitu:

1. Kecelakaan

Merupakan penyebab jatuh yang utama (30-50% kasus jatuh lansia)

a. Murni kecelakaan misalnya terpeleset, tersandung

b. Gabungan antara lingkungan yang jelek dengan kelainan-kelainan akibat proses

menua misalnya karena mata kurang awas, benda-benda yang ada di rumah

tertabrak, lalu jatuh.

2. Nyeri Kepala dan atau Vertigo

3. Hipotensi Orthostatic

a. Hipovolemia/ curah jantung rendah

b. Disfungsi otonom

c. Penurunan kembalinya darah vena ke jantung

d. Terlalu lama berbaring

e. Pengaruh obat-obat hipotensi

f. Hipotensi sesudah makan

4. Obat-obatan

a. Diuretic/antihipertensi

b. Antidepresan trisiklik

c. Sedativa

d. Antipsikotik
e. Obat-obat hipoglikemik

f. Alkohol

5. Proses Penyakit yang Spesifik

a. Kardiovaskuler

1) Aritmia

2) Stenosis aorta

3) Sinkope sinus carotis

b. Neurologi

1) TIA

2) Stroke

3) Serangan kejang

4) Parkinson

5) Kompresif saraf spinal karena spondilosis

6) Penyakit cerebellum

c. Idiopatik (tak jelas sebabnya)

d. Sinkope : Kehilangan kesadaran secara tiba-tiba

1) Drop attack (serangan roboh)

2) Penurunan darah ke otak secara tiba-tiba

3) Terbakar matahari
IV. Penelitian Terkait

Berdasarkan hasil penelitian Munawwarah & Nindya, (2015) “Pemberian latihan

pada lansia dapat meningkatkan keseimbangan dan mengurangi resiko jatuh lansia”

didapatkan 28 orang WBS PTSW Budi Mulia 4 dengan kelompok 1 dihasil nilai p=0,000

latihan dengan jalan tandem meningkatkan keseimbangan untuk mengurangi resiko jatuh

pada lansia. Pada kelompok ke 2 dilakukan dengan menggunakan t-Test Related nilai p=

0,000 yang berarti latihan dengan menggunakan Swiss ball meningkatkan keseimbangan

untuk mengurangi resiko jatuh pada lansia. Pada hasil t-Test Independent menunjukkan

nilai p =0,001 yang berarti adanya peningkatan keseimbangan untuk mengurangi resiko

jatuh pada lansia yang signifikan antara kelompok perlakuan 1 dan perlakuan 2.

Berdasarkan hasil penelitian Syah dkk, (2017) “Efek pelatihan senam lansia dan

latihan jalan tandem dalam meningkatkan keseimbangan tubuh lansia dip anti sosial

tresna kasih saying ibu Batusangkar Sumatera Barat” didapatkan dari 34 lansia terdiri

dari 25 pria (73,5%) dan 9 wanita (26,5%), rerata usia lansia adalah 69,3 tahun pada

kelompok perlakuan, dan 67,7 tahun pada kelompok kontrol serta rerata IMT pada

kelompok perlakuan 22,3 dan kelompok kontrol 23,7. Analisis keseimbangan lansia

setalah intervensi pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dengan uji

independent test didapatkan p value 0,015 (p<0,005). Dapat disimpulkan bahwa adanya

efek kombinasi senam lansia dan latihan jalan tandem dalam meningkatkan

keseimbangan tubuh lansia di panti sosial tresna kasih sayang ibu Batusangkar Sumatera

Barat.

Berdasarkan hasil penelitian Masitoh, (2013) “Pengaruh Balance Exercise

Terhadap Keseimbangan Postural Pada Lanjut Usia Di Posyandu Abadi Sembilan


Gonilan Sukoharjo” didapatkan 32 subjek penelitian. Dari hasil penelitian ini didapatkan

pengaruh pemberian perlakuan balance exercise pada kelompok perlakuan 18,65 dan

yang tidak diberikan perlakuan untuk kelompok kontrol -16,48. Dari perhitungan tersebut

pada kelompok perlakuan terdapat rata-rata pengaruh yang lebih besar dibandingkan

dengan kelompok kontrol. Hasil p=0,000 ini menyimpulkan bahwa ada perbedaan

pengaruh yang signifikan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol terhadap

keseimbangan postural pada lansia.


DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.


Darmojo, Boedhi dan Hadi Martono. Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta : FKUI.
Dewi, Sofia Rhosma. 2014. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Deepublish.
Fatimah. 2010. Merawat Manusia Lanjut Usia. Jakarta : Cv. Trans Info Media.
Irfan, Muhammad. 2010. Fisioterapi Bagi Insan Stoke. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Kushariyadi. 2012. Asuhan Keperawatan pada Klien Lanjut Usia. Jakarta : Salemba Medika.
Maryam, R.S, dkk. 2012. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba Medika.
Masitoh, I. 2013. “Pengaruh balance exercise terhadap keseimbangan postural pada lanjut usia di
posyandu abadi sembilan gonilan Sukaharjo”. Jurnal. Surakarta: Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Munawwarah, M & Parahitha Nindya N. 2015. “Pemberian Latihan pada Lansia dapat
Meningkatkan keseimbangan dan mengurangi risiko jatuh lansia”. Jurnal. Jakarta :
Fakultas Fisioterapi Universitas Esa Unggul.
Panti Sosial Lanjut Usia Harapan Kita Indralaya. 2018. Profil Panti Sosial Lanjut Usia Harapan
Kita Indralaya.
Prasetyo, Adit. Nanang. 2015. “Peningkatan keseimbangan postural menggunakan pengukuran
berg balance scale (bbs) pada lansia di sasana panti mulyo Sragen. Jurnal. Semarang:
Universitas Negeri Semarang.
Syah, Irhas, dkk. 2017. “Efek pelatihan senam Lansia dan latihan jalan tandem dalam
meningkatkan keseimbangan tubuh lansia di panti sosial tresna kasih saying ibu
Batusangkar Sumatera Barat. Jurnal.Denpasar Bali: Universitas Udayana Denpasar
Bali.

Anda mungkin juga menyukai