Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sepsis neonatorum adalah infeksi sistemik yang terjadi pada bayi di usia

hingga 28 hari dan merupakan penyebab utama dari morbiditas dan kematian bayi

baru lahir.1 Infeksi awal bakteri sistemik/ early onset of septicemia (EOS)

ditentukan berdasarkan pada usia saat kejadian, dengan bakteremia atau

meningitis bakteri yang terjadi pada 72 jam pertama bayi yang dirawat di rumah

sakit unit perawatan intensif neonatal (NICU) dan di bawah usia 7 hari untuk bayi

aterm.2,3,4 . Pada bayi prematur, EOS lebih sering didefinisikan dengan infeksi

yan terjadi pada 3 hari pertama kehidupan dan disebabkan oleh bakteri patogen

ditularkan secara vertikal dari ibu ke bayi sebelum atau saat melahirkan.4

Data terbaru WHO (2015) terdapat 4,5 juta kematian bayi dibawah lima

tahun, 75% diantaranya terjadi pada tahun pertama kehidupan. Insiden global

sepsis neonatorum berkisar 1−8 kasus/1.000 kelahiran hidup dengan case fatality

rate (CFR) yang berkisar 10−50%. Insiden kematian oleh karena sepsis

neonatorum di Indonesia dilaporkan oleh WHO terjadi 6 kasus dari 1000

kelahiran hidup.5 Di Rumah Sakit DR. Soetomo Surabaya pada tahun 2015

Djajakusli dkk. melaporkan dari 807 kelahiran neonatus didapatkan 101 (12,5%)

kematian dan sepsis sebagai penyebab kedua tertinggi yaitu hingga 54 kasus.6

Identifikasi bakteri pada Sepsis neonatorum sangat penting karena terkait

dengan keputusan mengenai pemilihan antibiotik dan lamanya pengobatan

tergantung hal tersebut. Pemeriksaan penunjang untuk hal tersebut yaitu

pemeriksaan darah lengkap dengan diferensial, kultur darah, kultur urin, dan

1
pungsi lumbal.7 Sebagai tambahan, dapat pula diambil kultur dan pewarnaan

Gram aspirasi trakea pada neonatus yang diintubasi tak lama setelah lahir.

Pemeriksaan reaktan fase akut, seperti C-reaktif protein (CRP) dan prokalsitonin

(PCT), menjadikan penilaian semakin kuat dalam diagnosis bayi dengan dugaan

sepsis. Kebutuhan akan foto rontgen dada biasanya ditentukan oleh adanya gejala

gangguan pernapasan.7 Pada neonatal kultur darah yang sampel darahnya diambil

dari vena perifer merupakan Gold standard untuk penegakkan diagnosis sespsis

neonatarum.8 Pada pemeriksaan ini darah yang diperlukan sekitar 1.5-5 ml. Pada

bayi baru lahir dengan berat sangat rendah maka diperkirakan kehilangan darah

hingga 3-10 %. Jumlah ini mewakili kehilangan darah iatrogenik hingga

10%.9,10,11 Meminimalisir pengambilan darah menjadi hal yang sangat penting

terhadap semua bayi terutama pada bayi prematur, terkhusus untuk bayi dengan

berat lahir extrim rendah, yaitu mereka yang memiliki berat lahir <1000 g. Darah

pada tali pusat sebagai sumber alternatif untuk pemeriksaan laboratorium dapat

memberikan dokter informasi yang diperlukan tanpa harus kehilangan darah sama

sekali.11

Pengambilan sampel darah dari tali pusat untuk pemeriksaan laboratorium

pada bayi baru lahir belum rutin dilakukan di Indonesia. Masih diperlukan studi

lebih lanjut serta evaluasi khususnya di Indonesia untuk kedepannya hal ini dapat

diterapkan.

2
1.2 Tujuan

Tujuan dari tinjauan kepustakaan ini adalah untuk membahas apakah

kultur darah tali pusat dapat digunakan sebagai acuan penegakkan diagnosis

sepsis neonatorum.

3
BAB 2

SEPSIS NEONATORUM

Sepsis neonatorum adalah sindrom klinik penyakit sistemik, disertai

bakteremia yang terjadi pada bayi dalam satu bulan pertama kehidupan. Angka

kejadian Sepsis neonatorum adalah 1-10 per 1000 kelahiran hidup, dan mencapai

13-27 per 1000 kelahiran hidup pada bayi dengan berat <1500 gram. Angka

kematian 13-50%, terjadi pada bayi prematur (5-10 kali kejadian pada neonatus

cukup bulan) dan neonatus dengan penyakit berat.12

2.1 Patofisiologi

Secara klinis sepsis neonatorum dapat dikategorikan menjadi dua yaitu,

sepsis dini/EOS dan sepsis lambat/late onset sepsis (LOS). EOS, terjadi pada 5-7

hari pertama, dengan tanda distres pernapasan lebih mencolok, mikroorganisme

penyebab penyakit didapat dari intrapartum, atau melalui saluran genital ibu. Pada

keadaan ini kolonisasi patogen terjadi pada periode perinatal. Beberapa

mikroorganisme penyebab, seperti treponema, virus, listeria dan candida,dengan

transmisi ke janin melalui plasenta secara hematogenik. Cara lain masuknya

mikroorganisme, dapat melalui proses persalinan. Dengan pecahnya selaput

ketuban, mikro-organisme dalam flora vagina atau bakteri patogen lainnya secara

asenden dapat mencapai cairan amnion dan janin. Hal ini memungkinkan

terjadinya khorioamnionitis atau cairan amnion yang telah terinfeksi teraspirasi

oleh janin atau neonatus, yang kemudian berperan sebagai penyebab kelainan

pernapasan. Adanya vernix atau mekoneum merusak peran alami bakteriostatik

cairan amnion. Akhirnya bayi dapat terpapar flora vagina waktu melalui jalan

lahir. Kolonisasi sering terjadi pada kulit, nasofaring, orofaring, konjungtiva, dan

4
tali pusat. Trauma pada permukaan ini mempercepat proses infeksi. Penyakit dini

ditandai dengan kejadian yang mendadak dan berat, yang berkembang dengan

cepat menjadi syok sepsis dengan angka kematian tinggi.12

Gambar 1. Trasmisi bakteri pada korioamnionitis13

Sumber : Malachi R. Chorioamnionitis: What Is It And How Is It Treated [Internet]. 2018


[cited 2019 Jun 1]. Available from:
https://www.momjunction.com/articles/chorioamnionitis-in-pregnancy_00381892/#gref

2.2 Patogen

Bakteri yang paling sering menyebabkan EOS pada bayi cukup bulan dan

prematur adalah Group B streptococcus (GBS) dan Escherichia coli,(E. Coli)

yang menyumbang sekitar 70% dari infeksi secara keseluruhan. Patogen

tambahan yang perlu diwaspadai, adalah streptokokus jenis lain (kebanyakan grup

Streptokokus kelompok viridans dan Streptococcus pneumoniae), Staphylococcus

aureus, Enterococcus spp., Basil Gram-negatif enterik seperti Enterobacter spp.,

Haemophilus influenzae dan Listeria monocytogenes. Ketika bayi prematur dan

BBLSR dikondisikan secara terpisah, maka bakateri penyebab paling sering

adalah E. coli dan batang Gram negatif, hal ini meyebabkan sepsis oleh Gram

negatif merupakan etiologi yang paling sering untuk EOS. Hal yang perlu di catat

5
juga bahwa saat ini bakteri pathogen kemungkinan besar akan dikonfirmasi oleh

metode kultur, ada banyak episode sepsis neonatorum secara klinis yang dikelola

secara empiris dengan antibiotik meskipun tidak memiliki patogen yang diisolasi.7

2.2.1 Group B Streptococcus

Pada kehamilan, GBS menetap tanpa gejala di lendir situs membran,

termasuk mukosa genital, rektal, dan faring. Tingkat kolonisasi global

mengungkapkan variasi regional yang signifikan dalam prevalensi kolonisasi.7 Di

Amerika Serikat, kolonisasi ibu diperkirakan 26% . Faktor risiko untuk kolonisasi

GBS ibu termasuk ras Afrika-Amerika, usia ibu 20 tahun, paritas rendah, dan

diabetes. Kolonisasi GBS pada maternal menghasilkan bayi dengan kolonisasi

sekitar 50% dari kasus, dan bayi menjadi terkolonisasi baik secara intrapartum

atau melalui translokasi bakteri meskipun membran masih dalam keadaan utuh.

Diperkirakan 85% kasus EOS sekarang dapat dihindari dengan antibiotik

intrapartum profilaksis, tetapi sering menggunakan antibiotik pada saat kelahiran

mungkin resiko lebih tinggi dari Sepsis neonatorum yang disebabkan untuk E.

coli yang resisten terhadap ampisilin dari waktu ke waktu.7

2.2.2 Eschericia coli

E. coli adalah penyebab utama kedua EOS pada neonatus, Shane dkk.

(2013) meaporkan diperkirakan sekitar 24% dari semua episode EOS, dengan

81% kasus terjadi di bayi prematur.14 Khusus ntuk bayi dengan berat lahir sangat

rendah, E. coli adalah penyebab paling sering pada EOS, terhitung 33,4% episode

dalam penelitian multi center yang besar.2 Insiden berbasis populasi baru-baru ini

di salah satu NICU di Amerika Serikat dilaporkan menjadi 0,28 / 1.000 langsung

kelahiran .15 Insiden sepsis disebabkan oleh organisme Gram-negatif mungkin

6
meningkat sebagian karena frekuensi ibu profilaksis antibiotik untuk GBS.

Coliform, termasuk E. coli, sering berkolonisasi dari saluran vagina ibu, dan bayi

mendapatkannya pada saata atau sebelum persalinan. EOS sekunder dari E. coli

sering hadir dengan bakteremia dengan atau tanpa meningitis di waktu kelahiran.

Syok septik dengan gambaran klinis yang terkait dengan endotoksemia mungkin

ada.7

2.2.3 Manifestasi klinis

Tanda-tanda klinis dan gejala sepsis pada bayi baru lahir bervariasi sesuai

dengan usia kehamilan dan tingkat keparahan infeksi. Sangat jarang bayi lahir

dengan demam kecuali mereka dilahirkan oleh ibu yang demam dan segera

demam setelah kelahiran. Hal yang lebih umum yaitu bayi sepsis cenderung

menjadi hipotermis saat kelahiran. Tanda sistemik ini adalah salah satu dari

banyak penanda sepsis yang tidak spesifik. Gejala umum termasuk lesu,

hipotermia, dan makan yang buruk, dan tanda-tanda yang tidak spesifik mungkin

termasuk anuria dan asidosis. Seperti pneumonia , sepsis pada bayi yang baru

lahir juga menampakkan gejala pernapasan yang umum seperti apnea, takipnea,

mendengus, pernafasan cuping hidung, dan retraksi interkostal. Gejala kelainan

kardiopulmonal seperti sianosis, desaturasi, bradikardia, tanda tanda perfusi yang

buruk, berkurangnya waktu isi ulang kapiler, dan hipotensi. Pada gangguan

gastrointestinal menampakkan gejala toleransi minum yang buruk, muntah, diare,

kembung dengan atau tanpa adanya bowel loop. Jadi sangat penting untuk

diperhatikan bahwa perubahan pernapasan bayi baru lahir, ketidakstabilan suhu,

atau masalah menyusui bisa menjadi tanda pertama infeksi yang mengancam

jiwa.7,12

7
2.2.4 Pemeriksaan Laboratorium

Hitung darah putih dan diferensial.

Jumlah neutrofil absolut; dan rasio imatur terhadap total neutrofil

dalam darah banyak digunakan sebagai tes skrining untuk Sepsis neonatorum.

Hanya saja, tidak satupun tes tersebut yang secara akurat dalam

mengidentifikasi mayoritas sepsis pada bayi. Nilai neutrofil normal

bergantung pada usia, dengan puncak selama 12 hingga 14 jam pertama usia

(kisaran, 7.800 sel / mm3 hingga 14.500 sel / mm3).16 Selama 72 jam hingga

240 jam, rentang nilainya dari 2.700 sel / mm3 (persentil ke-5) hingga 13.000

sel / mm3 (peresntil ke-95 ) pada bayi cukup bulan.17 Hitung jumlah total sel

darah putih memiliki nilai prediktif positif yang buruk untuk sepsis.18,19

Neutropenia memiliki spesifisitas lebih besar untuk sepsis neonatorum, tetapi

definisi neutropenia tergantung pada usia kehamilan, dan metode persalinan.

Jumlah absolut neutrophil yang belum matang mencapai puncak pada usia 12

jam, dari nilai maksimum 1.100 sel / mm3 hingga 1.500 sel / mm3 pada 12

jam.16 Sebaliknya, maksimum rasio normal sel darah putih belum matang

terhadap total (rasio I: T) sebesar 0,16 terjadi saat lahir dan mencapai titik

terendah 0,12 dengan peningkatan usia pasca kelahiran. Nilai tunggal dari

rasio I: T (0,3) miliki nilai prediktif negatif yang sangat tinggi (99%) tetapi

sangat buruk pada nilai prediksi positif (25%) untuk Sepsis neonatorum.20,21,22

Murphy dan Weiner pada studinya dengan 1.539 neonatus, menemukan

sebuah kombinasi dari 2 pemeriksaan serial normal I: T rasio dan kultur darah

negatif pada 24 jam pada neonatus segera setelah lahir secara akurat

mengeluarkan diagnosis sepsis neonatorum.23

8
Hitung Jumlah Platelet

Hitung jumlah pletelet sangat tidak sensitif dan spesifik untuk

penegakkan diagnosis dari sepsis neonatorum dan tidak begitu berperan dalam

mengevaluasi respon terapi.24,25

Kultur darah

Semua neonatus yang diduga menderita sepsis harus dilakukan kultur

darah. Volume darah dibutuhkan untuk kultur untuk neonatus jauh lebih

rendah dari darah yang dibutuhkan pada orang dewasa karena neonatus

cenderung memiliki 1-log-lebih tinggi konsentrasi bakteri dalam aliran darah

mereka daripada orang dewasa. Sebagai hasilnya, 0,5 ml sudah bisa dianggap

sebagai volume standar darah yang memadai untuk mendeteksi bakteremia

pada neonatus. Namun, beberapa studi terbaru menunjukkan bahwa hingga

seperempat dari semua neonatus dengan sepsis memiliki bakteremia yang

melibatkan jumlah koloni rendah (4 CFU / ml), dan dua pertiga dari mereka

yang berumur 2 bulan memiliki koloni jumlah 10 CFU / ml.26,27 Volume 0,5

ml darah terbukti tidak cukup untuk mendeteksi sebagian besar bayi dengan

kadar bakteremia ini, sedangkan 1,0 ml lebih memungkinan untuk

mendapatkan hasil positif.28 Untuk alasan ini, beberapa ahli sekarang

merekomendasikan bahwa 1,0 ml darah harus menjadi volume minimum yang

dimasukkan ke dalam satu botol kultur darah.29 Darah yang paling sering

diambil berasal dari vena perifer, tetapi sampel darah yang diperoleh dari

kateter arteri umbilikal sesaat setelah insersi juga dapat digunakan. Darah

diambil dari vena umbilikal memiliki risiko yang lebih besar terkontaminasi

kecuali diperoleh dari umbilikal antara dua clamp yang bersih.30,31

9
BAB 3

DARAH TALI PUSAT

Darah tali pusat (dikenal juga dengan darah tali pusat ) adalah darah yang

berada di umbilikal dan plasenta setelah kelahiran bayi dan setelah terpotongnya

tali pusat.32 Darah tali pusat mengandung banyak sel janin yang dapat dipelajari

dan memiliki peran dalam berbagai penyakit. Sebagai sampel darah ini sangat

membantu dalam respon imun dan studi gizi. Darah tali pusat mengandung sel

hematopoietik dan sel progenitor yang dapat menggantikan sumsum tulang pada

transplantasi sumsum tulang manusia. Mereka dapat menjadi cryopreserved di

laboratorium untuk digunakan nanti.34

Kultur darah tali pusat diambil setelah bayi dilahirkan dan tali pusat telah

dipotong/terpisah antara bayi dan plasenta. Darah yang tersisa di plasenta / tali

pusat tidak lagi berguna bagi bayi dan dianggap sebagai limbah biologis. Karena

itu tidak ada risiko bagi ibu atau bayi dalam proses pengumpulan darah tali

pusat.33 Pengambilan darah tali pusat sebagai sampel dengan beberapa indikasi

diantaranya : a) diagnosis kelainan genetik atau kromosom, b) evaluasi dan

tatalaksana anemia berat pada janin, c) penilaian kadar oksigen janin, d) penilaian

adanya infeksi pada janin.34

Keberhasilan prosedur pengambilan darah tali pusat tergantung pada

pengambilan, proses, penyediaan, penyimpanan, transportasi dari sampel.33

Pengambilan darah tali pusat Ex-Utero harus sesegera mungkin dilakukan segera

setelah plasenta dilahirkan dan sebelum proses pembekuan alami terjadi.33 (proses

pembekuan ini dapat menyebabkan berkurangnya ketersediaan jumlah darah tali

pusat)

10
Berikut prosedur kerja pengambilan darah dari umbilikal :35

 Setelah bayi dilahirkan, jepit tali pusat di dua tempat yaitu tali pusat di

dekat bayi dan tali pusat di dekat plasenta masing masing dengan

menggunakan dua klamp dan potong tali pusat diantara masing kedua

klamp tersebut.

Gambar 2. Prosedur pengambilan darah umbilical dengan menggunakan klamp ganda


di kedua sisi ( sisi bayi dan sisi plasenta)
Sumber : ACTG/IMPAACT Lab Tech Committee. Umbilical Cord Blood Collection
Standard Operating Procedure [Internet]. 2013 [cited 2019 Jun 1]. Available from:
https://www.hanc.info/labs/labresources/procedures/ACTGIMPAACT Lab
Manual/Umbilical Cord Blood Collection.pdf

 Bersihkan tali pusat 3 kali dengan alcohol swap 70% dengan

menggunakan teknik steril.

 Gunakan jarum steril nomor 22 dan spuit, keluarkan darah sekitar 1.5 ml

– 2 ml dari arteri atau vena umbilical

Gambar 3. Prosedur pengambilan darah tali pusat dengan spuit36


Sumber :Aundhakar CD, Tatiya H, Karande G, Akhila S, Madhura K. Study of
umbilical cord blood culture in diagnosis of early-onset sepsis among newborns with
high-risk factors. Int. J. Med. Health Res. 2018;4(1):41–6

11
 Ganti jarum dari spuit dengan jarum yang steril dan bersihkan tutup

botol kultur dengan alcohol.

 Kirim ke laboratorium 1 ml darah untuk kultur dan 0.5 ml darah untuk

pemeriksaan darah lengkap dan differential untuk menghitung I:T ratio

12
BAB 4

KULTUR DARAH TALI PUSAT DALAM PENILAIAN SEPSIS

NONATORUM

Studi tentang diagnosis sepsis pada neonatal dengan menggunakan darah

tali pusat telah di lakukan sejak lebih dari 50 tahun yang lalu oleh beberapa

peneliti. Beberapa studi dilakukan dengan membandingkan hasil dari kultur darah

tali pusat dengan kultur darah vena perifer pada neonatus telah di lakukan dengan

hasil mayoritas menyatakan kultur darah tali pusat layak untuk digunakan untuk

penilaian sepsis neonatorum.

Dari sekian banyak penelitian tentang kultur darah tali pusat dengan hasil

yang lebih banyak keunggulan dibanding kultur darah vena perifer namun tetap

sampai sekarang kultur darah tali pusat masih belum dapat menggantikan kultur

darah vena perifer sebagai gold standard penegakkan diagnosis sepsis pada bayi

baru lahir. Dikatakan pada beberapa studi masih membutuhkan penelitian

penelitian yang dilakukan oleh pusat pusat penelitian yang lebih besar dengan

sampel yang lebih besar pula.

Tabel 1. Studi kultur darah tali pusat yang telah dilakukan

Peneliti,tahun Laporan

Pryles, 1963 Efek dari infeksi korioamnionitis pada bayi baru lahir dengan

menggunakan kultur darah tali pusat pada 150 pasien

Albers dan Tyler, 1966 Studi hubungan faktor faktor obstetric yang berhubungan dengan

bakteremia pada 319 pasien bayi yang baru lahir

Anagostakis, 1975 Hubungan risiko infeksi dengan kateterisasi vena umbilical pada 185

pasien.

Polin, 1981 Diagnosis sepsis neonatorum dengan menggunakan kultur darah tali

13
pusat pada 200 pasien

Beram, 2012 Utilisasi dari darah tali pusat untuk mengevaluasi Group B

Streptococcus pada skrining sepsis

Kalathia, 2013 Studi darah tali pusat dalam diagnosis EOS di antara 45 bayi baru lahir

dengan faktor risiko tinggi

Meena, 2015 Utilitas kultur darah tali pusat dalam diagnosis EOS pada 40 neoatus

dengan dua atau lebih faktor risiko EOS

Mandot, 2017 Perbandingan kultur darah tali pusat dengan kultur darah vena perifer

dala diagnosis EOS pada 80 bayi

Aundhakar, 2018 Studi kultur darah dalam diagnosis EOS pada 75 bayi dengan faktor

risiko tinggi

Greer, 2019 Studi tentang kelayakan vena umbilikal sebagai sampel untuk

pemeriksaan darah lengkap dan kultur darah pada 110 pasien yang

masuk NICU

4.1 Hubungan kultur darah tali pusat dengan ketuban pecah dini sebagai

salah satu faktor risiko sepsis neonatorum

Prylers dkk. Pada tahun 1963 pada studinya melaporkan adanya korelasi

antara pemeriksaan kultur darah tali pusat, vaskulitis umbilikal, dan gejala klinis.

Kultur yang positif di dapatkan dari 47% dan 37% pada populasi control, pada

insiden vaskulitis umbilikalis didapatkan 20% pada populasi studi dan 6% pada

populasi control. Dari 62 ibu dengan ketuban pecah dini (KPD) 12-38 jam proses

kelahiran dan yang dilakukan pemeriksaan secara histologi pada tali pusatnya

kultur positif terdapat pada 23 kasus(37%), 10 kasus dengan vaskulitis umbilical

16% memperlihatkan keduanya infalamasi pada vena umbilical dan hasil kultur

tali pusat yang positif. Lima dari bayi yang terakhir adalah bayi yang sakit dan 2

14
diantaranya sepsis terbukti secara bakteriologis. Dari 13 bayi dengan kondisi tali

pusat yang normal tapi kultur positif 2 diantaranya secara klinis sakit dan 1 bayi

sepsis terbukti secara bakteriologis. Satu dari dua bayi dengan vaskulitis

umbilikalis dan kultur darah negatif, namun secara klinis dinyatakan sepsis .37

Pada tahun 1966 Albers dan Tyler, melakukan studi hubungan faktor

faktor obstetrik yang berhubungan dengan bakteremia pada 319 pasien bayi yang

baru lahir, hampir serupa dengan prylers dkk. Albers dan tyler melaporkan

kondisi bakteremia pada bayi baru lahir berhubungan dengan KPD lebih dari 24

jam sebelum kelahiran, pemanjangan durasi dari periode laten hingga 24 jam,

warna dan bau dari cairan ketuban, dan adanya gangguan nafas pada bayi.

Bakteremia nenonatal terjadi pada 30 kasus dari 319 pasien yang diteliti.

Frekwensi bakteremia bertambah seiring dengan penambahan durasi dari KPD,

dari 178 pasien dengan KPD kurang dari 24 jam hanya 6(3%) yang didapatkan

bakteremia, sedangkan pada 141 pasien dengan KPD 24 lebih didapatkan 24

kasus(17%).38

4.2 Bakteri pada kultur darah tali pusat dibandingkan dengan kultur darah

vena perifer

Albers dan tyler (1966) dalam penelitiannya, dari 30 kejadian bakteremia

neonatal , dua kasus dengan dua bakteri yang berbeda yang terisolasi dalam kultur

darah tali pusat. Kasus yang pertama didapatkan streptococcus dari group

streptococcus dengan Staphylococcus epidermidids, dan pada kasus kedua

didapatkan streptococcus dari group viridans dengan spesies Proteus.38

15
Tabel.2 Bakteri yang terisolasi pada kultur darah

Sumber : Tyler CW, Albers WH. Obstetric factors related to bacteremia in the newborn infant.
Am J Obstet Gynecol.1966;94(7):970–6.

Pada tahun 1981 Polin dkk. melaporkan dari 200 kultur darah tali pusat

didapatkan 6 spesimen dengan pertumbuhan bacterial namun 2 diantaranya

dianggap terkontaminasi. Pada kultur darah vena perifer dengan 29 sampel

didapatkan 2 dengan hasil positif namun salah satunya dianggap terkontaminasi.31

Table.3 Hasil kultur darah tali pusat

Sumber : Polin JI, Knox I, Baumgart S, Campman E,Mennuti ME, Polin RA. Use of umbilical
cord blood culture for detection of neonatal bacteremia. Obstet Gynecol
1981;57(2):233-37

16
Beeram dkk.(2012) melaporkan pada 198 bayi yang diambil kultur darah

tali pusat, terdapat 2 kultur yang positif yaitu pada kasus pertama dengan bakteri

group B streptococcus dan yang kedua dengan bakteri microaerophilic

streptococcus, namun pada kasus kedua hasil kulturnya dianggap terkontaminasi.

Pada keseluruhan kultur darah pada 305 sampel di dapatkan E.coli 1 kasus (0.3%)

dan Staphylococcus auricularis 1 kasus (0.3%) tetapi seperti halnya dengan kultur

darah tali pusat pada kasus kedua juga dianggap terkontaminasi. 39

Tabel 4. Perbandingan hasil kultur darah

Sumber : Beeram MR, Loughran C, Cipriani C, Govande V. Utilization of Umbilical Cord Blood

for the Evaluation of Group B Streptococcal Sepsis Screening. Clinical Pediatrics

2012;51(5):447-53

Aundhakar dkk. (2019) dalam studinya kultur darah tali pusat pada

diagnosis EOS di antara anak dengan faktor risiko tinggi melaporkan 75 neonatus

yang diambil kultur darah tali pusatnya 2(2.7%) kultur positif dengan bakteri

Group B streptococcus. E. coli ditemukan pada 3(4%) sampel, Klebsiella 2(2.7%)

kasus, Acynetobacter 1(1.3%), Pseudomonas 4(5.3%), dan Staphylococcus

1(1.3%). Pada kultur darah vena perifer didapatkan hasil Group B streptococcus

dan E.Coli masing-masing 1 kasus (1.3%), dan Pseudomonas pada 2 kasus. 36

17
Tabel 5. Bakteri yang ditemukan pada kultur darah tali pusat dan vena perifer

Sumber :Aundhakar CD, Tatiya H, Karande G, Akhila S, Madhura K. Study of umbilical cord

blood culture in diagnosis of early-onset sepsis among newborns with high-risk factors.

Int. J. Med. Health Res. 2018;4(1):41–6

Greer dkk. pada tahun 2019 melaporkan hasil studinya tentang kelayakan

vena umbilikal sebagai sampel untuk pemeriksaan darah lengkap dan kultur darah

pada 110 pasien yang masuk NICU didapatkan kultur darah tali pusat positif 9

dari 107 sampel yaitu E.coli (n=2), Streptococcus group viridans (n=2)

Staphylococcus koagulasi negatif (n-3) dan bakteri campuran (n=2). Pada

pemeriksaan kultur darah vena perifer 1 dari 91 sampel didapatkan 1 sampel

positif dengan bakteri E.Coli. 10

Tabel 6. Laboratorium dan klinis dari bayi dengan true-positif cultures

Sumber : Greer R, Koeppel R. Can Fetal Umbilical Venous Blood Be a Reliable Source for
Admission Complete Blood Count and Culture in NICU Patients ? Neonatology
2019;115:49–58

18
4.3 Perbandingan diagnosis pada kultur darah tali pusat dibandingkan

dengan kultur darah vena perifer

Pada tahun 2015 oleh Meena dkk. studinya tentang utilitas kultur darah

tali pusat pada diagnosis EOS pada neonatal melaporkan dari 40 nenonatus 2

dengan positif pertumbuhan bakteri Enterococcus faecalis dan 1 dengan bakteri

E.coli yang pada kultur darah vena perifer juga didapatkan pertumbuhan bakteri

ini. Dari ketiga kasus ini telah didiagnosis dengan sepsis klinis dan juga positif

pada sepsis screen.40

Tabel 7. Parameter diagnosis kultur darah tali pusat plasenta, sepsis screen, dan
CRP darah tali pusat plasenta

Sumber : Meena J, Victor M, Charles P, Kali A, Ramakrishnan S, Gosh S, et al. Utility of cord
blood culture in early onset neonatal sepsis. AMJ : 2015;8(8):263–7.

Waktu rata rata menentukan hasil positif pada BACTEC adalah 9.6 jam

pada kultur darah tali pusat dan 15.2 jam pada kultur darah vena perifer, meskipun

CRP pada darah tali pusat negatif di semua bayi, 11 bayi (27.5%) merupakan

positif pada sepsis screen, 3 bayi (7.5%) positif kultur darah tali pusat, dan 1

(2.5%) positif kultur darah vena perifer.40

19
Tabel 8. Hasil tes diagnosis pada sepsis neonatorum dengan sepsis screen dan
CRP darah tali pusat

Sumber : Meena J, Victor M, Charles P, Kali A, Ramakrishnan S, Gosh S, et al. Utility of cord
blood culture in early onset neonatal sepsis. AMJ : 2015;8(8):263–7.

Pada studi yang lain oleh Mandot dkk.(2017) 80 neonatus dengan 2 atau

lebih faktor risiko untuk EOS, 23 diantaranya positif pada sepsis screen, dan 6

kemudian didapatkan positif pertumbuhan bakteri dengan 4 di antaranyahanya

pada kultur darah tali pusat, 2 lainnya terdapat di kedua baik kultur darah tali

pusat maupun kultur darah vena perifer. Bakteri yang tumbuh adalah E. Coli,

Klebsiella, Pseudomonas dan Acinotebacter.41

Tabel 9. Hasil tes diagnosis pada sepsis neonatorum dengan sepsis screen

Sumber: Mandot S, Gandhi JS, Mandot S, Pediatr JC. Umbilical cord blood culture versus
peripheral venous blood culture in early onset neonatal sepsis. Int J Contemp Pediatr
2017;4(1):1–4.

Waktu rata-rata untuk hasil positif pada BACTEC adalah 10 jam untuk

kultur darah tali pusat dan 16 jam untuk kultur darah vena perifer, pada table

berikut di tunjukkan sensitifitas kultur darah tali pusat adalah 100% dan

spesifitasnya 98.8%.41

20
Tabel 10. Sensitifitas dan spesifitas dari kultur darah tali pusat

Sumber: Mandot S, Gandhi JS, Mandot S, Pediatr JC. Umbilical cord blood culture versus
peripheral venous blood culture in early onset neonatal sepsis. Int J Contemp Pediatr
2017;4(1):1–4.

Aundhakar dkk (2018) dengan studinya tentang kultur darah dalam

diagnosis EOS pada 75 bayi dengan faktor risiko tinggi melaporkan perbandingan

efisiensi diagnosis dari sepsis screen dengan kultur darah tali pusat yaitu

sensitifitas dari sepsis screen 61.54 % dan spesifitasnya 74.19% dengan nilai

prediksi positif dan negatif 33.33% dan 72%.36

Tabel 11. Efisiensi diagnosis dari sepsis screen dibandingkan kultur darah tali
pusat

Sumber: Aundhakar CD, Tatiya H, Karande G, Akhila S, Madhura K. Study of umbilical cord
blood culture in diagnosis of early-onset sepsis among newborns with high-risk factors.
Int. J. Med. Health Res. 2018;4(1):41–6

Jika dibandingkan dengan kultur darah vena perifer sensitifitas sepsis

screen menjadi 100% dan sepsifitasnya menjadi 71.83% dengan nilai prediksi

positif dan negatif adalah 16.67 % dan 100 %. Keseluruhan kultur darah vena

perifer yang positif juga didapatkan dengan sepsis screen positif.36

21
Tabel 11. Efisiensi diagnosis dari sepsis screen dibandingkan kultur darah vena
perifer

Sumber: Aundhakar CD, Tatiya H, Karande G, Akhila S, Madhura K. Study of umbilical cord
blood culture in diagnosis of early-onset sepsis among newborns with high-risk factors.
Int. J. Med. Health Res. 2018;4(1):41–6

Untuk perbandingan efisiensi diagnosis kultur darah tali pusat dengan

kultur darah vena perirfer, sensitifitas kultur darah tali pusat adalah 75% dan

speisfitasnya 85.92% dengan nilai prediksi positif dan negatif adalah 23.08% dan

98.39%.36

Tabel 12. Efisiensi diagnosis dari kultur darah tali pusat dibandingkan kultur
darah vena perifer

Sumber: Aundhakar CD, Tatiya H, Karande G, Akhila S, Madhura K. Study of umbilical cord
blood culture in diagnosis of early-onset sepsis among newborns with high-risk factors.
Int. J. Med. Health Res. 2018;4(1):41–6

Selanjutnya dari penelitian penelitian ini akan tampak perbandingan

keunggulan masing-masing metode pengambilan kultur darah pada bayi baru

lahir. Pengambilan darah tali pusat memiliki beberapa keunggulan serta

kekurangan dibandingkan pengambilan darah melalui vena perifer dalam

prosesnya. Keunggulannya adalah : a) Tingkat sensitivitas dan spesifitas yang

tinggi35, b) Mengurangi risiko kehilangan darah iatrogenic dan hasil lebih cepat 10,

22
c) Tidak terdapat risiko baik pada bayi maupun pada ibu33, d) Tidak

menyakitkan10,39 , e)Mudah dilakukan dengan volume darah lebih banyak40.

Adapun kekurangannya yaitu : a) Pengambilan darah tidak dapat di lakukan di

tempat tanpa fasilitas laboratorium, waktu pengambilan yang terbatas33, b) Mudah

terkontaminasi30,

23
BAB 5

RINGKASAN

Sepsis neonatorum adalah infeksi sistemik yang terjadi pada bayi di usia

hingga 28 hari dan merupakan penyebab utama dari morbiditas dan kematian bayi

baru lahir. Identifikasi dan penegakkan diagnosis dengan cepat harus segera

dilakukan untuk kondisi ini. Untuk itu diperlukan dengan segera pemeriksaan-

pemeriksaan penunjang yang dapat memenuhi hal tersebut, salah satu

pemeriksaan yang dipakai dengan segera yaitu dengan kultur darah. Sampai saat

ini kultur darah masih menjadi gold standard untuk penegakkan diagnosis sepsis,

terutama pada neonatal. Dalam hal ini pemeriksaan kultur darah yang paling

sering dilakukan adalah kultur darah dengan pengambilan darah dari vena perifer

dari bayi. Namun hal ini kadang kadang terkendala dalam proses pengambilan

yaitu karena vena bayi yang sangat kecil dan tipis sehingga sulit untuk

didapatkan, bahkan kadang hasilnya meragukan dikarenakan jumlah darah yang di

gunakan sedikit. Di samping itu, pada saat pengambilan bayi tampak sangat

kesakitan.

Oleh karena itu sangatlah bijaksana apabila dipikirkan darah dari Tali

pusat sebagai alternatif/pengganti sampel untuk dilakukannya kultur darah pada

bayi baru lahir. Kultur darah tali pusat menurut penelitian penelitian yang telah

ada sejak lebih 50 tahun yang lalu telah memperlihatkan keunggulan dan juga

keterbasan dibanding pengambilan kultur darah dari vena perifer, seperti tingkat

sensitivitas dan spesifitas yang tinggi, mengurangi risiko kehilangan darah

iatrogenic dan hasil lebih cepat, tidak terdapat risiko baik pada bayi maupun pada

ibu, tidak menyakitkan, mudah dilakukan dengan volume darah lebih banyak, dan

24
untuk keterbatasanya yaitu pengambilan darah tidak dapat di lakukan di tempat

tanpa fasilitas laboratorium, waktu pengambilan yang terbatas, mudah

terkontaminasi. Saat ini kultur darah tali pusat masih belum lazim di gunakan di

Indonesia, meskipun studi-studi tentang kultur darah tali pusat di bebrapa center

di dunia telah melakukannya. Untuk itu sangat perlu dilakukan penelitian

penelitian tentang validitas kultur darah tali pusat darah plasenta khususnya di

Indonesia agar ke depannya prosedur ini dapat diterapkan.

25

Anda mungkin juga menyukai