Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan ikterus yang berifat patologis dimana terjadinya
peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari standar yang
diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari persentil 90.[1] Ikterus neonatorum
adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai dengan warna kuning pada kulit, sklera dan
mukosa akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yeng berlebih dalam serum, dimana
keluhan akan mulai tampak bila kadar bilirubin darah adalah 5-7 mg/dL.[2] Perhatian
utama pada hiperbilirubinemia adalah potensinya dalam menimbulkan komplikasi
terhadap kerusakan sel-sel saraf berupa bilirubin ensefalopati atau kern ikterus, meskipun
kerusakan sel-sel tubuh lainnya juga dapat terjadi. Kern ikterus dapat terjadi pada bayi
cukup bulan bila kadar bilirubin mencapai 20-25 mg/dL sedangkan pada bayi kurang
bulan bila kadar bilrubin mencapai lebih dari 15 mg/dL, sehingga bila terjadi kern ikterus
dapat mengakibatkan gangguan perkembangan dari bayi kedepannya. [3,4]
Menurut studi penelitian Mauliku et al tahun 2009, di Indonesia didapatkan ikterus
dan hiperbillirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada
bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbillirubinemia ditemukan pada 95% dan
56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509
neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbillirubinemia.[5]
Terdapat 2 jenis ikterus, yaitu ikterus fisiologis dan ikterus patologis. Dikatakan
ikterus fisiologis jika memiliki karakteristik seperti ikterus muncul pada hari kedua sampai
ketiga, kadar bilirubin indirek tidak melebihi 12 mg/dL pada neonatus cukup bulan dan 10
mg/dL pada neonatus kurang bulan, gejala ikterus akan hilang pada 10 hari pertama
kehidupan, dan kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg/dL per hari.
Ikterus patologis memiliki karakteristik seperti ikterus terjadi pada 24 jam pertama
kehidupan, kadar bilirubin indirek melebihi 12 mg/dL pada neonatus cukup bulan dan 10
mg/dL pada neonatus kurang bulan, kecepatan peningkatan kadar bilirubin melebihi 5
mg/dL perhari, ikterus yang menetap sesudah 2 minggu pertama, dan ikterus yang
mempunyai hubungan dengan proses hemolitik, infeksi atau keadaan patologis
lainnya.[1,2,3] Manifestasi klinis dari hiperbilirubinemia yang paling utama adalah adanya
warna kuning di kulit, sklera dan mukosa. Selain itu dapat juga disertai dengan gejala-
gejala lainnya seperti dehidrasi, pucat, letargi, petekie, hepatosplenomegali, omfalitis dan
feses dempul disertai urine warna coklat tua.[1]

1
Salah satu pemeriksaan derajat ikterus pada bayi baru lahir dengan penilaian secara
visual menurut Kramer. Caranya adalah dengan menekan kulit bayi sehingga daerah yang
ditekan akan tampak pucat dan kuning. Derajat ikterus menurut Kramer ada 5, yaitu
derajat 1: daerah ikterus pada kepala dan leher dengan perkiraan kadar bilirubin 5,4
mg/dL. Derajat 2: daerah ikterus sampai badan atas (diatas umbilikus) dengan perkiraan
kadar bilirubin 9,4 mg/dL. Derajat 3: daerah ikterus sampai badan bawah (dibawah
umbilikus) hingga tungkai atas (diatas lutut) dengan perkiraan kadar bilirubin 11,4 mg/dL.
Derajat 4: daerah ikterus sampai lengan, tungkai bawah lutut dengan perkiraan kadar
bilirubin 13,3 mg/dL. Derajat 5: daerah ikterus sampai telapak tangan dan kaki dengan
perkiraan kadar bilirubin 15,8 mg/dL.[6]
Hiperbilirubinemia yang berat dan tidak di tatalaksanakan dengan benar dapat
menimbulkan komplikasi berupa bilirubin ensefalopati atau kern ikterus. Istilah bilirubin
ensefalopati lebih menunjukan kepada manifestasi klinis yang timbul akibat efek toksik
bilirubin pada sistem saraf pusat yaitu basal ganglia dan pada berbagai nukleus batang
otak. Keadaan ini akan tampak pada minggu pertama setelah bayi lahir yang disebut
dengan istilah akut bilirubin ensefalopati. Sedangkan istilah kern ikterus adalah perubahan
neuropatologi yang ditandai dengan deposisi pigmen bilirubin pada beberapa daerah di
otak terutama di ganglia basalis, pons dan serebelum.[2]
Kern ikterus biasanya tidak terjadi pada bayi cukup bulan bila kadar bilirubin kurang
dari 20-25 mg/dL, insidensinya akan meningkat bila melampaui 25 mg/dL. Namun bila
kadar bilirubin darah indirek melebihi 20 mg/dL dapat terjadi kerusakan otak pada bayi
cukup bulan. Kemungkinan kerusakan otak yang terjadi tidak hanya disebabkan oleh
kadar bilirubin yang tinggi tetapi tergantung kepada lamanya hiperbilirubinemia. Kern
ikterus dapat terjadi pada bilirubin kurang dari 20 mg/dL bila disertai sepsis, meningitis,
hemolisis, asfiksia, hipoksia, hipotermia, hipoglikemia dan prematuritas. Risiko lain yang
dapat menimbulkan kern ikterus pada bayi cukup bulan adalah hemolisis, ikterus yang
timbul dalam 24 jam pertama, dan terhambatnya diagnosis hiperbilirubinemia. Pada bayi
sangat prematur dapat terjadi kern ikterus bila berat lahir lebih dari 1000 gram ketika
kadar bilirubin kurang dari 10 mg/dL. Selain itu, bayi prematur yang disertai sindrom
distress pernafasan, asidosis dan sepsis mempunyai risiko yang tinggi untuk terjadinya
kern ikterus.[3,4]
Manifestasi klinis yang terjadi paling awal dari kern ikterus adalah letargi, hipotonia,
iritabilitas, berkurangnya refleks hisap dan malas menetek. Gejala lainnya adalah tangisan
yang melengking (high pitched cry) dan emesis. Tanda dini ini terlihat setelah hari

2
keempat kehidupan. Tanda selanjutnya mencakup ubun-ubun menonjol, postur
opistotonus, perdarahan paru, demam, hipertonisitas dan kejang. Bayi dengan kasus kern
ikterus berat dapat meninggal pada periode neonatus tetapi tidak menutup kemungkinan
untuk sembuh. Namun pada bayi yang selamat atau sembuh dapat berlanjut menjadi gejala
sisa yang menetap seperti paralisis lirikan keatas terdapat pada 90% kasus, tuli saraf atau
kehilangan pendengaran frekuensi tinggi yang terdapat pada 60% kasus, retardasi mental
terdapat pada 25% kasus, palsi serebral, koreoatetoid, displasia enamel dan diskolorasi
gigi sehingga akan mengganggu perkembangan dari bayi kedepannya.[3,4]
Dampak hiperbilirubinemia dapat mempengaruhi perkembangan seorang anak terkait
dengan pengaruh bilirubin terhadap kerusakan sel otak karena peran bilirubin indirek
serum (BIS) bersifat neurotoksik. BIS dalam konsentrasi tinggi dapat berdifusi melewati
sawar darah otak (SDO). SDO mengatur masuknya bilirubin ke otak dan mencegah difusi
zat-zat tertentu dari pembuluh darah ke jaringan otak sehingga bila terjadi kerusakan pada
SDO dapat mengakibatkan peningkatkan permeabilitas otak terhadap bilirubin.[7] Bilirubin
dapat menghambat enzim mitokondria dan dapat menganggu sintesis DNA, menginduksi
kerusakan rantai DNA, serta menghambat sintesis protein dan phosporilasi. Bilirubin juga
dapat menghambat fungsi dari N-methyl-D-aspartate-receptor ion channels yang
mengakibatkan bilirubin dapat mengganggu sinyal neuroexcitatory dan merusak konduksi
syaraf, terutama pada syaraf auditori sehingga dapat terjadi gangguan pada pendengaran.
Bilirubin juga dapat menghambat pertukaran ion dan transpor air di dalam sel ginjal,
sehingga terjadi neuronal swelling pada bilirubin ensefalopati yang berhubungan dengan
kern ikterus.[8]
Terdapat 2 fase terjadinya metabolisme bilirubin yaitu fase prehepatik dan fase
intrahepatik. Pada fase prehepatik terjadi pemecahan hemoglobin menjadi heme dan
globin. Heme akan dipecah menjadi biliverdin oleh enzim heme oksigenase. Biliverdin
akan direduksi menjadi bilirubin oleh biliverdin reductase. Tahapan ini terjadi di
retikuloendotelial dimana bilirubin indirek akan berikatan dengan albumin untuk transport
dalam plasma masuk ke dalam hati. Fase intrahepatik terjadi di dalam hati dimana
bilirubin indirek akan dikonjugasi dengan asam glukoronat oleh enzim glukuronosil
transferase menjadi bilirubin direk. Bilirubin direk akan disekresikan ke dalam empedu
dan diekskresikan ke duodenum. Di duodenum terdapat flora normal bakteri dalam usus
untuk mereduksi bilirubin direk menjadi sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagian
besar ke dalam feses. Sebagian kecil akan diserap dan dikeluarkan kembali ke dalam
empedu, dalam jumlah kecil mencapai urin sebagai urobilinogen.[9]

3
Bila terjadi peningkatan kadar bilirubin direk dapat dicurigai terjadinya ikterus
obstruktif. Ikterus obstruktif adalah ikterus yang terjadi karena obstruksi pada saluran
empedu sehingga aliran bilirubin yang telah terkonjugasi (bilirubin direk) terganggu
sehingga terjadi kegagalan aliran bilirubin ke duodenum. Penyebab dari ikterus obstruktif
adalah hepatitis, adanya sumbatan saluran empedu, batu atau tumor empedu, pankreatitis
dan tumor pankreas. Mekanisme terjadinya ikterus obstruktif yaitu bilirubin direk tidak
bisa diekskresikan ke dalam usus halus sehingga terjadi aliran balik ke dalam pembuluh
darah yang menyebabkan bilirubin direk pada darah tinggi dan terjadilah ikterus pada
tubuh. Bila kadar bilirubin dalam darah meningkat mengakibatkan sekresi bilirubin dari
ginjal akan meningkat sehingga warna urine menjadi gelap. Pada bilirubin direk yang
tidak bisa dieksresikan ke dalam usus halus menyebabkan bilirubin yang diekskresikan ke
dalam feses berkurang sehingga pewarnaan feses berkurang dimana feses akan berwarna
pucat seperti dempul.[9]
Hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan biasanya terjadi karena adanya
peningkatan destruksi eritrosit atau hemoglobin menyebabkan terjadinya pemecahan
bilirubin berlebih atau bilirubin yang tidak berikatan dengan bilirubin meningkat, suplay
bilirubin melebihi kemampuan hepar. Hal tersebut mengakibatkan hepar tidak mampu
melakukan konjugasi sehingga terjadi peningkatan bilirubin indirek dalam darah.
sedangkan pada bayi kurang bulan biasanya terjadi karena gangguan proses uptake dan
konjugasi hepar karena adanya imaturitas pada hepar. Imaturitas pada hepar menyebabkan
terjadinya defisiensi enzim glukuronosil transferase dimana akan terjadi peningkatan
bilirubin indirek dalam darah. Kedua hal tersebut yang terjadi pada bayi cukup bulan dan
bayi kurang bulan akan memberikan warna kuning atau ikterus pada tubuhnya.[3,9]

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

5
BAB III
LAPORAN KASUS

I. KASUS
Pasien bayi NMS, laki-laki berusia 6 hari, asal Br. Batanancak Mas Ubud, Gianyar Bali,
datang ke IGD RSUD Sanjjiwani pada 17 Juni 2017 pukul 10.30 WITA dengan keluhan
kuning. Berdasarkan hasil heteroanamnesis dikatakan bahwa pasien mengalami kuning
sejak 2 hari yang lalu ketika pasien berumur 4 hari dan memberat sejak kemarin. Kuning
dikeluhkan pada seluruh tubuh. Keluhan kuning dikatakan muncul terus menerus. Untuk
mengurangi keluhan kuning, ibu pasien sudah menjemur pasien selama 30 menit setiap
pagi namun keluhan tidak membaik. Keluhan ini timbul tiba-tiba yang berawal dari wajah,
badan, tangan dan kaki. Keluhan lain seperti demam disangkal pasien. Minum ASI (+)
kuat, gerak (+) aktif, BAB dan BAK dikatakan masih normal. Pasien merupakan anak
kedua, lahir spontan di RSUD Sanjiwani pada usia kehamilan dikatakan cukup bulan
dengan berat badan lahir 2800 gram, panjang badan 49 cm dan segera menangis setelah
lahir. Pada riwayat penyakit keluarga, saat bayi kakak kandung pasien mengalami keluhan
yang sama seperti pasien. Riwayat demam pada ibu saat hamil disangkal. Ibu bergolongan
darah B, golongan darah ayah tidak diketahui.
Saat dilakukan pemeriksaan fisik ditemukan nadi 140 kali/menit, frekuensi nafas 36
kali/menit, suhu 36,6˚C dengan berat badan 2900 gram. Pemeriksaan status gizi
berdasarkan WHO didapatkan berat badan ideal 3100 gram, berat badan actual 2900
gram, panjang badan 49 cm, BB/U : -1 SD, PB/U : -1 SD – 0 SD, BB/PB : -1 SD, Status
Gizi menurut Water Low 93 % (Gizi baik). Pada pemeriksaa kulit ditemukan derajat
ikterus menurut Kramer adalah derajat 4. Dari pemeriksaan darah lengkap didapatkan
peningkatan lymph% (55,4%) dan penurunan gran% (31,5%). Dari hasil tes bilirubin
didapatkan bilirubin total sebesar 16,93 mg/dL, bilirubin direk sebesar 0,53 mg/dL dan
bilirubin indirek sebesar 16,40 mg/dL. Pasien didiagnosis dengan hiperbilirubinemia
dengan diberikan penatalaksanaan fototerapi. Pasien di rawat selama 3 hari. Hasil tes
bilirubin pada tanggal 20 juni 2017 ditemukan kadar bilirubin total sebesar 6,97 mg/dL,
bilirubin direk sebesar 0,30 mg/dL, dan bilirubin indirek sebesar 6,67 mg/dL sehingga
pasien diperbolehkan pulang dalam keadaan membaik. Pasien kontrol kembali pada
tanggal 24 juni 2017 di poli tumbuh kembang dengan hasil pasien tidak mengalami kuning
kembali, minum ASI kuat serta tidak ada keluhan lainnya seperti manifestasi klinis kern

6
ikterus yang ibu pasien keluhkan atau yang ditemukan pada saat pemeriksaan dan
dilakukan imunisasi BCG pada pasien.

7
BAB IV
PEMBAHASAN
II. PEMBAHASAN
Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan ikterus yang berifat patologis dimana kadar
bilirubin indirek melebihi 12 mg/dL pada neonatus cukup bulan dan 10 mg/dL pada
[1,2]
neonatus kurang bulan Pada kasus, pasien datang dengan keluhan kuning yang
semakin memberat, dimana kuning berawal dari wajah, badan, tangan dan kaki hingga ke
seluruh tubuh. ibu pasien sudah menjemur pasien selama 30 menit setiap pagi namun
keluhan tidak membaik. Dilakukan tes bilirubin pada pasien dan ditemukan kadar
bilirubin indirek sebesar 16,40 mg/dL. Antara teori dengan kasus pada pasien sudah
sesuai.
Angka kejadian ikterus dan hiperbillirubinemia di Indonesia didapatkan terjadi pada
82% dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus
dan hiperbillirubinemia ditemukan pada 95% dan 56% bayi.[5] Pada kasus, pasien
dimasukkan dalam kasus bayi cukup bulan yang menderita hiperbilirubinemia.
Untuk menentukan derajat ikterus menurut Kramer, pada kasus pasien mengalami
kuning yang berawal dari wajah, badan, tangan dan kaki kemudian ke seluruh tubuh
sehingga pasien menunjukan Kramer derajat 4. Hasil tes bilirubin ditemukan kadar
bilirubin indirek sebesar 16,40 mg/dL. Berdasarkan teori, dikatakan Kramer derajat 4
bila ditemukan ikterus dari daerah kepala sampai lengan, tungkai bawah lutut dengan
perkiraan kadar bilirubin 13,3 mg/dL.[6] terdapat ketidaksesuaian antara teori dengan
kasus. Hal tersebut dapat terjadi karena kramer bersifat subjektif dimana apa yang kita
lihat belum tentu sesuai dengan kenyatannya yang terjadi pada pasien.
Hiperbilirubinemia yang berat dan tidak di tatalaksanakan dengan benar dapat
menimbulkan komplikasi berupa kern ikterus. Kern ikterus biasanya tidak terjadi pada
bayi cukup bulan bila kadar bilirubin kurang dari 20-25 mg/dL, insidensinya akan
meningkat bila melampaui 25 mg/dL.[2] manifestasi klinis awal kern ikterus berupa
letargi, hipotonia, iritabilitas, berkurangnya refleks hisap dan malas menetek.[3] Pada
kasus, ibu pasien segera menyadari bahwa anaknya mengalami keluhan kuning dan
segera membawanya ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan yang tepat. Minum
ASI pasien masih kuat dan gerakan pasien aktif dalam batas normal. Tes bilirubin pasien
menunjukan kadar bilirubin indirek sebesar 16,40%. Hal tersebut menunjukan bahwa
pada pasien tidak ditemukannya manifestasi klinis dari kern ikterus. Kadar bilirubin yang

8
adpat menyebabkan kern ikterus menurut teori adalah lebih dari 20 mg/dL sedangkan
pada pasien kadar bilirubin sebesar 16,40%.
Dilihat dari perkembangan pasien, setelah dirawat di rumah sakit selama 3 minggu,
hasil tes bilirubin indirek didapatkan sebesar 6,67 mg/dL sehingga pasien diperbolehkan
pulang dalam kondisi membaik. Pada saat kontrol kembali di poli tumbuh kembang,
pasien tidak mengalami kuning kembali, minum ASI kuat serta tidak ada keluhan lainnya
seperti manifestasi klinis kern ikterus yang ibu pasien keluhkan atau yang ditemukan
pada saat pemeriksaan. Dapat disimpulkan bahwa hiperbilirubinemia pada pasien tidak
mengalami komplikasi berupa kern ikterus.

9
BAB V
SIMPULAN

10
DAFTAR PUSTAKA

1. Sanglah R. Pedoman pelayanan medis. 2010. Pp 417-422


2. IDAI, 2008. Buku Ajar Neonatologi Ed 1. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. Pp 147 – 168.
3. Kliegman RM., et al. 2011. Nelson Textbook of Pediatrics 20th ed. Philadelphia: Elsevier.
Pp 274-278
4. IDAI, 1999. Buku Ajar neurologi Anak. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. Pp 265.
5. Mauliku NE, Nurjanah A. 2009. Faktor-faktor pada ibu bersalin yang berhubungan
dengan kejadian hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir di rumah sakit Dustira Cimahi
Tahun 2009. Jurnal Kesehatan Kartika. Pp 16-23
6. Keren R, Luan X, Friedman S, Saddlemire S, Cnaan A, Bhutani VK. 2008. A
Comparison of Alternative Risk-Assessment Strategies for Predicting Significant
Neonatal Hyperbilirubinemia in Term and Near-Term Infants. American Academy of
Pediatrics. Vol: 7, No: 1. Pp 170-172
7. Irwanto IGNTA. 2009. Skrining Perkembangan Bayi Usia 4-6 Bulan dengan Riwayat
Hiperbilirubinemia. Sari Pediatri. Vol: 11, No: 3. Pp 184-187
8. Hutahaean B, Putranti AH, Rahardjani KB, Sidhartani M. 2007. Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Gangguan Perkembangan Neurologis pada Bayi dengan Riwayat
Hiperbilirubinemia. Sari Pediatri. Vol: 9, No: 3. Pp 201-2015
9. Guyton AC, Hall JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC. Pp
903-907

11

Anda mungkin juga menyukai