Dewasa ini, tekanan utama dari pendidikan di sekolah terletak pada sistem pengajaran
(Kognitif). Tidak dapat disangkal, tekanan pada aspek kognitif memang dibutuhkan guna
menumbuhkembangkan Ilmu Pengetahuan, namun bila focus tersebut tidak melibatkan
pendidikan nilai (aspek affektif), maka siswa yang terbentuk adalah siswa yang berilmu tinggi,
namun tidak memiliki moral. Dan jika hal ini terjadi dalam bidang pendidikan, maka dunia akan
mengalami bencana besar yang berupa “bom waktu”, karena dunia akan diisi oleh manusia yang
tidak mengenal moral dalam mengembangkan Ilmu Pengetahuannya. Akibatnya, Ilmu
Pengetahuan berubah menjadi alat penghancur peradaban dunia.
Kenyataan ini semakin dipertajam saat system pendidikan di sekolah ditandai dengan proses
“Transfer of Knowledge”. Tujuan proses ini, di satu sisi, adalah menciptakan pribadi yang pintar,
cerdas dan dipandang mampu untuk memecahkan masalah. Namun di sisi lain proses ini
seringkali menafikan nilai-nilai spiritual yang memadai untuk menghantar siswa menjadi
manusia yang berkualitas. Jadi bisa dikatakan bahwa proses “Transfer of Knowledge”, meskipun
secara an-sich itu baik, tetapi dapat juga diwaspadai sebagai jebakan bagi sekolah untuk
menekankan unsur pengajaran saja. Padahal dalam sekolah, proses yang diharapkan terjadi
adalah keseimbangan antara unsur pengajaran (kognitif) dengan unsur pendidikan (affektif).
Melalui pengajaran siswa diharapkan dapat memperoleh ilmu pengetahuan seluas-luasnya dan
melalui pendidikan siswa diharapkan dapat mengenal nilai-nilai kehidupan. Tetapi apabila
sekolah hanya menekankan unsur pengajaran saja, maka sekolah akan menjadi tempat
persaingan antar siswa yang diwarnai dengan unsur kekerasan tanpa mengindahkan nilai-nilai
kemanusiaan yang berlaku. Situasi ini mengakibatkan sekolah tidak menjadi tempat yang
harmonis dalam mengembangkan kepribadian siswa, karena sekolah hanya diiisi oleh siswa yang
memiliki nilai keilmuan tinggi tetapi tidak memiliki nilai-nilai kemanusiaan, akibat dari
ketiadaan unsur pendidikan.
Situasi di atas dapat dikatakan sebagai bentuk pengingkaran terhadap arti dan hakikat sekolah.
Karena sekolah tidak menjadi tempat yang kondusif dalam pengintegrasian ilmu pengetahuan
dengan tata nilai kehidupan yang ada, melainkan hanya sebagai tempat belajar yang
mempersiapkan manusia berilmu tinggi tanpa diikuti dengan tata nilai kehidupan. Bila hal ini
terus dipertahankan, maka sekolah akan menjadi tempat berkembangnya sistem pendidikan yang
menempatkan siswa sebagai objek pendidikan, bukan sebagai subjek pendidikan. Sekolah bukan
lagi menjadi sarana untuk memanusiakan siswa, melainkan menjadikan siswa sebagai robot-
robot pendidikan yang secara kuantitatif baik tetapi miskin dalam kualitas moral. Kelak sistem
ini akan menghasilkan manusia-manusia pintar tetapi tidak berperi-kemanusiaan.
55
56
56
57
mereka dapat membentuk diri mereka melalui kebebasan berpendapat dan kebebasan untuk
mengembangkan diri sendiri.
Hal ini juga yang sempat menjadi bahan perenungan dari seorang Filsuf yang bernama
Louis O. Kattsoff dalam rangka memprotes sistem pendidikan yang dipandang sebagai sebuah
“penjara” bagi seseorang, apabila sistem pendidikan tersebut hanya bertujuan untuk membentuk
dan mengarhkan siswa sesuai dengan apa yang diharapkan oleh si pembuat sistem. Dalam
bukunya tersebut, L.O. Kattsoff mengatakan :
“Sesungguhnya perbudakan akali jauh lebih menyedihkan ketimbang perbudakan
ragawi. … Jika seseorang diperbudak secara akali, maka segala cara dan
tindakan akan diperbuat untuk mengauskan akal pikirannya, sehingga akal
pikiran tersebut tidak dapat bekerja lagi --- suatu kisah yang jauh lebih
menyedihkan …”
Penulis melihat bahwa pandangan Kattsoff merupakan suatu upaya untuk mengembalikan
hakikat pendidikan itu pada dirinya sendiri, sehingga bahan perenungan yang diungkapkannya
perlu mendapatkan perhatian secara serius. Karena melalui pendidikan yang benar, maka setiap
siswa yang terhisab dalam sekolah atau sistem pendidikan adalah siswa yang memiliki
kemerdekaan dalam mengembangkan diri serta memiliki keberanian untuk berpendapat. Apabila
pendidikan selalu diwarnai dengan semangat seperti ini, maka segala hal yang menyangkut
tentang pengembangan potensi diri seorang siswa (secara umum : manusia) akan mengalami
kemajuan pesat, yang pada akhirnya membawa mereka menjadi manusia yang utuh dan
berkualitas.
57
58
Dalam konsep pikiran seperti ini terkandung unsur kepedulian yang tinggi terhadap
kehidupan, karena siswa yang terbentuk merupakan siswa yang selalu menyadari bahwa
keberadaan dirinya haruslah memiliki arti yang sangat besar terhadap keberadaan orang lain.
Kepintaran dan keahlian yang dimilikinya haruslah berkembang bersamaan dengan kemampuan
berbela rasa terhadap setiap rekannya.
Disinilah pentingnya pendidikan nilai yang harus dikembangkan oleh setiap sekolah.
Melalui pendidikan nilai, setiap siswa tidak hanya diajarkan dan diajak untuk memiliki rasa
tanggung jawab dalam pengembangan diri sendiri, melainkan ia pun harus memiliki kemampuan
untuk mengarahkan perhatiannya keluar dari dalam dirinya, yaitu mempedulikan setiap rekan
(dan sesamanya). Para siswa yang terdidik melalui pendidikan nilai ini pun diarahkan untuk
memiliki rasa tanggung jawab ke depan, dalam pengertian bahwa siswa tersebut mampu untuk
melakukan langkah antisipatif dalam menentukan masa depannya.
Kahlil Gibran (dalam bukunya yang berjudul SANG NABI) pernah menyinggung
mengenai pendidikan nilai terhadap seorang anak sebagai berikut :
“… Engkau bisa memberi kasih sayang, tetapi engkau tidak bisa memberikan
pendirianmu, sebab mereka memiliki pendirian sendiri.
Engkau dapat memberikan tempat pijak bagi raganya, tapi tidak untuk jiwanya,
sebab jiwa mereka ada di masa depan yang tidak bisa engkau capai sekalipun
dalam mimpi.
Engkau boleh mengikuti alam mereka, tetapi jangan harap mereka dapat
mengikuti alammu, sebab hidup tidaklah surut ke belakang, tidak pula tertambat
di masa lalu.
Engkau adalah busur dari mana bagai anak panah, kehidupan anakmu melesat
ke masa depan …”
Tampak jelas dalam tulisan dan pendapat Kahlil Gibran di atas, bahwa nilai pendidikan yang
harus dikembangkan oleh setiap institusi pendidikan adalah membebaskan para siswa untuk
dapat menentukan jalan hidupnya sendiri, dan kemudian merumuskan langkah antisipatif dalam
menentukan masa depannya. Sedangkan seorang guru/pendidik haruslah berlaku sebagai seorang
fasilitator yang mendampingi mereka (para siswa) tanpa harus membentuk dan memaksa mereka
sesuai dengan keinginan para guru tersebut.
Penulis berpendapat, inilah arti dan hakikat dari pendidikan dan sekolah ! Pendidikan dan
Sekolah harus mampu mengembangkan kemampuan dalam diri siswa seperti apa yang
digambarkan melalui deskripsi di atas. Karena dengan menciptakan kondisi sekolah dan
pendidikan seperti di atas, maka integrasi antara ilmu pengetahuan dan tata nilai kehidupan dapat
dicapai dengan baik. Sekolah bukan lagi menjadi tempat bagi berlangsungnya proses belajar dan
mengajar saja, melainkan sekolah pun menjadi tempat bagi perkembangan pendidikan nilai bagi
kehidupan.
Untuk menuju pada situasi yang digambarkan di atas, maka penulis memandang bahwa
salah satu mata pelajaran yang dapat direkomendasikan bagi terciptanya iklim integrasi antara
ilmu pengetahuan dan tata nilai kehidupan adalah Pendidikan Agama. Karena Pendidikan Agama
bukanlah hanya berbicara mengenai hubungan antara manusia dengan Tuhan saja, tetapi
58
59
Pendidikan Agama pun harus mampu berbicara tentang hubungan antara manusia dengan sesama
melalui praksis pendidikan (menyearahkan dan menyeimbangkan nilai pendidikan dalam pola
kehidupan sehari-hari).
59
60
pemahamannya mengenai Allah yang bekerja melalui Ilmu Pengetahuan yang berkembang
desawa ini. Dalam bahasa teologis dapat diterangkan sebagai berikut : bagaimana seorang guru
dapat mengajak siswanya untuk bertemu dengan Allah melalui kenyataan hidup sehari-hari
dalam pergumulannya untuk mengembangkan Ilmu Pengetahuan. Karena dalam Ilmu
Pengetahuan Allah juga turut bekerja untuk mendatangkan kesejahteraan bagi manusia.
Dengan demikian, setiap mata pelajaran yang berlaku dalam bidang pendidikan di
sekolah harus mampu mengintegrasikan pemahaman mengenai Allah yang bekerja dalam setiap
bidang Ilmu Pengetahuan. Pendidikan Agama dibutuhkan dalam mengembangkan pemahaman
ini, sehingga siswa bukan hanya menyerap hasil-hasil dari Ilmu Pengetahuan, tetapi siswa dapat
juga mengenal nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam perkembangan Ilmu Pengetahuan
tersebut.
Sistem pengajaran semakin dikokohkan melalui sistem pendidikan nilai (melalui
Pendidikan Agama), sehingga ranah penilaian Kognitif bukan menjadi hal yang utama dalam
penilaian terhadap seorang siswa, melainkan ranah penilaian Kognitif ini akan menjadi semakin
tajam dan sempurna bila dihubungkan dengan ranah penilaian Affektif. Dengan demikian,
seorang siswa baru dapat dikatakan pandai ataupun pintar apabila ia dapat menyerap kemajuan
Ilmu Pengetahuan yang diikuti dengan ketajaman/kemampuan moralitasnya dalam menyerap
nilai-nilai spiritual. Seorang siswa yang baik adalah siswa bermoral yang memiliki Ilmu
pengetahuan tinggi. Inilah tujuan dari institusi Pendidikan yang bernama Sekolah yang sekaligus
menggambarkan arti – hakikat dan visi – misi dari sekolah dan pendidikan.
KESIMPULAN
Dari uraian yang telah dipaparkan di atas, penuli dapat menarik kesimpulan bahwa pada
hakikatnya sekolah bukanlah sarana yang hanya menekankan aspek pengajaran saja (kognitif),
melainkan harus diimbangi dengan aspek pendidikan (affektif), karena apabila sekolah hanya
berfungsi sebagai tempat pengajaran belaka, maka siswa yang dihasilkan adalah siswa yang
berilmu tinggi, tetapi tidak memiliki moral. Oleh sebab itu, pendidikan di sekolah harus
dijadikan sebagai sebagai sarana pengembangan nilai-nilai kehidupan dan harus mampu
mewarnai setiap bentuk pengajaran yang ada, karena melalui pendidikan siswa diantar untuk
menuju pada kehidupan yang dilandasi dengan moral.
Pendidikan yang diajarkan di sekolah bukanlah merupakan upaya untuk menyeragamkan
cara pandang seorang siswa dengan guru/fasilitator, melainkan merupakan upaya untuk
mengantarkan siswa keluar dari keterkungkungan dan memiliki kebebasan untuk
mengembangkan diri sesuai dengan apa yang menjadi potensi dan harapannya. Dengan demikian
pendidikan merupakan upaya antisipatif dalam menentukan arah dan kebijakan masa depan dari
kehidupan seorang siswa.
Untuk menjadikan sekolah dan pendidikan sebagai tempat pengembangan kepribadian
seorang siswa, maka sekolah harus kembali pada jati dirinya (kembali pada visi dan misinya)
60
61
selaku sekolah yang diwarnai oleh pendidikan, maksudnya sekolah harus dapat mengembangkan
kepedulian dalam diri siswa dalam menghadapi situasi kehidupan. Dan untuk menuju pada
sasaran yang tepat dan mengembalikan visi – misi sekolah, maka sekolah harus mampu
menempatkan mata pelajaran Pendidikan Agama sebagai sarana yang dapat mengintegrasikan
antara Iman dan Ilmu Pengetahuan.
Pengintegrasian itu dilandaskan atas pemahaman bahwa Allah ikut bekerja dalam
perkembangan Ilmu Pengetahuan, dengan sebuah catatan penting bahwa pandangan ini tidak
hendak menempatkan Ilmu Pengetahuan sebagai “agama baru”, melainkan merupakan sebuah
pengakuan bahwa Ilmu Pengetahuan adalah ciptaan Allah yang dimandatkan kepada manusia
untuk ditumbuhkembangkan.
Pada akhirnya, pengintegrasian itu dapat berjalan dengan baik apabila disadari bahwa
Ilmu Pengetahuan merupakan sebuah wujud praksis dari karya Allah dalam menciptakan
manusia yang berkualitas, yaitu manusia bermoral yang memiliki Ilmu Pengetahuan tinggi.
Untuk mewujudnyatakan apa yang telah diuraikankan di atas, maka beberapa langkah di
bawah ini perlu untuk diperhatikan, yaitu:
1. Perlunya sosialisasi bagi pemahaman yang benar tentang sekolah dan pendidikan
diberikan kepada para guru/fasilitator, agar melalui pendidikan dan pengajaran seorang
guru/fasilitator dapat menghantarkan anak pada pengintegrasian antara Iman dan Ilmu
Pengetahuan.
2. Sekolah harus dapat mengembangkan pola pendidikan yang tidak lagi diwarnai dengan
kekerasan (persaingan yang diikuti dengan ketidakpedulian terhadap siswa yang kurang
mampu), karena dengan pola pendidikan yang diwarnai dengan kekerasan akan
menumbuhkan pengingkaran terhadap nilai-nilai pendidikan itu sendiri.
3. Sekolah harus dapat mengembangkan pola pendidikan yang diwarnai dengan kebebasan
dalam mengungkap pendapat dan mengembangkan kepribadian seorang siswa, tanpa harus
diikuti dengan penyeragaman dalam berbagai macam hal. Dalam hal ini sekolah harus
mampu menjadikan siswa sebagai Subjek Pendidikan, bukan sebagai Objek Pendidikan.
4. Sekolah juga harus mampu mengembangkan nilai-nilai yang membangkitkan siswa untuk
menjadi seorang manusia bermoral tinggi, dengan cara menghargai setiap perbedaan potensi
setiap manusia.
5. Yang Terakhir, sekolah harus dapat menjadi tempat bagi berkembangnya citra diri (self-
esteem) seorang siswa agar ia mampu menjadi manusia yang bermoral dan memiliki ilmu
pengetahuan tinggi.
SAPAAN PENUTUP
61
62
Sebaliknya,
Anak yang hidup dengan dukungan, akan belajar untuk punya yakin diri
Anak yang hidup dengan pujian, akan belajar untuk menghargai
Anak yang hidup dalam suasana adil, akan belajar bersikap adil
Anak yang hidup dengan rasa aman, akan mempunyai iman
Anak yang hidup dengan restu, akan menyukai dirinya
Anak yang hidup dalam suasana diterima, akan belajar menemukan kasih dalam dunia
DOROTHY NOLTE
(pakar pendidikan dari Australia)
62