Anda di halaman 1dari 23

STOP KEKERASAN !

(Tafsir Kej. 4: 17 – 26)

1. Pendahuluan

Kehidupan dewasa ini telah dipenuhi dengan kekerasan, baik itu kekerasan fisik maupun psikologis. Dalam
bentuk kekerasan psikologis kita dapat melihat wujudnya baik melalui permainan kekuasaan maupun melalui
permainan kuasa – kata (istilah, jargon, maupun dalam bentuk simbol-simbol yang bertujuan untuk menekan
dan menyerang).1 Sedangkan kekerasan dalam bentuk fisik dapat kita temukan dalam bentuk perang,
penyiksaan fisik dan segala bentuk tindakan yang bertujuan hendak menyakiti seseorang secara badaniah/fisik.2
Fenomena ini tidak dapat disangkal lagi keberadaannya, karena sudah menjadi “bagian” dari fenomena yang
hidup dalam keseharian. Dan yang lebih menarik lagi fenomena kekerasan (baik secara fisik maupun
psikologis) ini telah merambah jauh ke dalam setiap aspek kehidupan manusia sehingga tidak ada satupun
bagian dari kehidupan manusia (politik, sosial, ekonomi, budaya, dan teknologi) yang bisa melepaskan diri dari
unsur kekerasan. Dari fenomena yang tampak ini kita dapat melihat dan mengatakan bahwa kekerasan
merupakan sebuah sarana – yang paling efektif – yang dipakai oleh manusia (baik secara kelompok maupun
pribadi) untuk menguasai manusia lain (juga secara kelompok/pribadi). Akibatnya muncul strata kehidupan
yang bersifat hierarkis dalam kepemilikan dan penguasaan (penguasa – yang dikuasai).
Menyadari fenomena yang kita jumpai selama ini dalam kehidupan, timbul pertanyaan besar dalam
benak kita: Bagaimana hal ini dapat terjadi ? Apa yang menjadi akar sehingga kekerasan menjadi bagian yang
nyata dalam kehidupan manusia sehari-hari ? Bagaimana kita harus bersikap dan menyikapi kekerasan ini ?
Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi sangat penting untuk dijawab, ketika kita menyadari bahwa hidup di bawah
bayang-bayang kekerasan dapat mengakibatkan jiwa manusia semakin rusak dan rapuh; sehingga unsur
kemanusiaan sudah tidak dapat berperan secara maksimal. Terlebih apabila kita mengingat bahwa penciptaan
Allah terhadap manusia adalah bertujuan agar manusia dapat mengisi bumi dan kehidupan ini dalam suasana
yang harmonis yang didasarkan atas posisi yang sejajar satu sama lain (tidak ada yang saling menguasai dan
dikuasai – bdk. Kej. 1:26-31), dimana dalam kisah ini digambarkan bahwa penciptaan manusia yang berada
dalam bingkai “segambar dan serupa dengan Allah”.3

1
Bandingkan dengan pendapat yang diungkapkan oleh Michael Amalados. Teologi Pembebasan Asia. (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001) h. 60 – 61
2
Untuk kekerasan semacam ini, penulis membandingkannya dengan pendapat dari A.Nunuk P.M. Gerakan Anti kekerasan
terhadap perempuan (Jogyakarta: Kanisius, 1998) h .24.
3
Meskipun tulisan EG Singgih tidak bertujuan hendak menjelaskan tentang hal di atas, namun penulis melihat dan
menangkap kesan bahwa pendapat EG Singgih hendak menggambarkan kebaikan nilai diri manusia karena ia (manusia) memiliki
hakikat diri sebagai makhluk Theomorf, dan sebagai makhluk Theomorf manusia harus menyadari dirinya sebagai makhluk yang
sejajar dengan sesamanya (baik yang memiliki kelamin sama maupun berbeda) sehingga tidak ada yang saling menguasai dan
dikuasai. Uraian selanjutnya lih. EG Singgih, Dunia yang Bermakn, Kumpulan Karangan Tafsir Perjanjian Lama. (Jakarta: Persetia,
1999), h. 117 – 121.
tafsir perjanjian lama
Untuk menjawab pertanyaan di atas, Sigmund Freud4, melalui teori Psiko Analisanya, mengungkapkan
bahwa keinginan manusia untuk melakukan tindak kekerasan adalah akibat dorongan dari dalam diri manusia,
yang disebut dengan “insting kematian”. Melalui “insting kematian” ini manusia memiliki hasrat untuk merusak
dan menghancurkan, baik kepada diri sendiri atau tertuju keluar, yaitu kecenderungan untuk
merusak/menghancurkan pihak/orang lain. Penyeimbang dari “insting kematian” ini adalah “insting kehidupan”
yang digambarkan sebagai sebuah bentuk hasrat untuk mencintai kehidupan. Dengan demikian, Freud hendak
mengungkapkan bahwa unsur kekerasan yang dilakukan oleh manusia, bukan berasal dari luar manusia
melainkan hal itu berakar dan berpusat dari dalam diri manusia itu sendiri. Sejalan dengan pemikiran di atas,
Newton Garver5 menggambarkan bahwa kekerasan yang terjadi dalam kehidupan ini muncul akibat
penginstitusionalisasian dalam diri yang timbul akibat rasa tidak aman di dalam dirinya. Rasa tidak aman
tersebut muncul akibat aspek psikis dalam diri manusia yang seringkali labil, dan hal ini semakin lama semakin
terakumulasi sehingga memunculkan tindakan yang diwarnai dengan kekerasan. Internalisasi gejolak psikis
akan mendorong seseorang untuk mengaktualisasi gejolak tersebut dalam bentuk kekerasan. Melalui pendapat
ini, kita melihat bahwa Garver juga setuju untuk mengatakan bahwa akar kekerasan – pada hakikatnya –
berawal dari dalam diri manusia.
Penulis melihat bahwa apa yang diungkapkan oleh Freud dan Garver memiliki kebenaran, meskipun
mereka sedikit menafikan bahwa ada unsur dari luar yang juga mampu mendorong manusia untuk melakukan
tindak kekerasan, misalnya saja adanya unsur ketidakadilan dan ketidaknyamanan yang diakibatkan oleh
kondisi sosial. Hal ini dapat dipandang sebagai pengaruh dari luar yang mendorong manusia untuk melakukan
tindak kekerasan.6 Dengan demikian penulis beranggapan bahwa tindak kekerasan yang telah menjadi gejala
fenomenologis dewasa ini adalah berakar dari dalam diri manusia dan semakin menghebat ketika mendapat
stimuli dari luar diri manusia.
Namun pendapat di atas belum selesai dijawab, karena masih ada sisa pertanyaan lain khususnya
mengenai sikap yang bagaimana yang harus kita ambil bila menghadapi kekerasan dalam fenomena kehidupan
ini ? Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis mencoba untuk melihat Kej. 4:17-26. Karena – menurut
pemikiran awal penulis – bagian/perikop ini hendak menggambarkan mengenai fenomena kekerasan, namun
sekaligus memiliki nuansa untuk menghentikan kekerasan. Penulis sengaja memilih bagian ini dengan sebuah
asumsi dasar bahwa awal dari budaya kekerasan dalam Alkitab mengalami puncaknya pada bagian/perikop
yang hendak penulis tafsirkan ini. Tetapi di sisi lain, penulis juga memiliki asumsi bahwa puncak dari awal
budaya kekerasan ini mengalami pengeliminasian – justru – di dalam perikop yang sama. Hal inilah yang
4
Teori ini didukung juga oleh Konrad Lorenz, lih. kedua pendapat ini dalam Erich Fromm, Akar Kekerasan, Analisis Sosio
Psikologis atas Watak Manusia (terjemahan dari: The Anatomy of Human Destructiveness) (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. vx-
xvi; 5-8, 12-14
5
Lih. pendapatnya dalam Robert McAfee Brown, Religion and Violence (Philadelphia: The Westminster Press, 1987), h. 7-8
6
Dalam hal ini penulis setuju dengan pendapat dari Dom Helder Camara yang mengatakan bahwa tindak kekerasan manusia
muncul akibat rasa tidak adil yang dialami oleh manusia, lih. Robert McAfee Brown, Religion ..., h. 9-13.
2
tafsir perjanjian lama
hendak penulis buktikan melalui tulisan dalam paper kecil ini. Dan setelah upaya tafsir berakhir, penulis akan
mencoba menarik sebuah relevansi bagi kehidupan masa kini sekaligus mencari sebuah solusi untuk menjawab
pertanyaan: bagaimana kita harus bersikap dan menyikapi fenomena kekerasan ini ?

2. Permasalahan Di Sekitar Kej. 4:17-26

a. Hubungan antara Kej. 4:17-26 dengan Kej. 5:1-32


Para penafsir, umumnya, melihat dan menggolongkan bagian ini dengan istilah “Daftar Keturunan Kain” yang
dipandang berasal dari tradisi Y.7 Dan umumnya mereka pun melihat bahwa silsilah/daftar keturunan produk
redaktor Y ini memiliki ciri khas yang berbeda dengan silsilah/daftar keturunan yang dibuat oleh redaktor P,
karena diprediksikan bahwa daftar keturunan yang ada dalam kitab Kejadian umumnya berasal dari redaktor P;
dengan demikian perikop Kej. 4:17-26 ini merupakan kali pertama redaktor Y menyusun sebuah daftar silsilah.
Daftar silsilah yang disusun redaktor Y ini memiliki perbedaan yang mencolok apabila dibandingkan
dengan daftar silsilah yang dibuat oleh redaktor P (seperti yang dapat dilihat dalam Kej. 5:1-32), meskipun bila
dilihat dari nama-nama yang ditampilkan memiliki kesamaan (hanya berbeda dalam artikulasi kata saja,
sehingga dapat dikatakan sebagai bentuk varian dari nama-nama tersebut). Untuk lebih jelasnya di bawah ini
penulis hadirkan perbandingan daftar silsilah dan persamaan (bentuk varian) antara redaktor Y dan P :8

Psl: Ayt Psl: Ayt Redaktor P


Redaktor Y
Adam 4: 25 5: 1 Adam
Seth 4: 25 5: 2 Seth
Enos 4: 26 5: 9 Enos
Kain 4: 17 5: 12 Kenan
Mehuyael 4: 18 5: 15 Mahalaleel
Irad 4: 18 5: 18 Yared
Henokh 4: 17 5: 21 Henokh
Metusael 4: 18 5: 25 Metusalah
Lamekh 4: 18 5: 28 Lamekh
Dari bagan di atas tampak persamaan daftar silsilah antara produk redaktor Y dan P, meskipun letak
ayat-ayat yang disusun oleh redaktor Y menjadi sangat tidak beraturan apabila hendak disejajarkan dengan hasil

7
Lempp menyebut bagian ini dengan Daftar Keturunan Kain, lih. W. Lempp, Tafsir Alkitab, Kejadian 1:1 – 4:26 (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1987), h. 119-120; Gowan menyebutnya dengan Cain’s Family and teh Beginnings of Civilization, lih. Donald E.
Gowan, From Eden to Babel, A Commentary on the Book of Genesis 1-11. Edinburgh: The Handset Press Ltd., 1988), h. 72-74;
Westermann menyebut bagian ini dengan The Cainites, lih. C. Westermann, Genesis 1-11, A Commentary (diterjemahkan oleh JJ
Scullion). (London: SPCK, 1984), h. 321, 326; Brueggemann menyebutnya dengan The Genealogy of Cain, meskipun ia sendiri tidak
menghubungkannya dengan tradisi Y, lih. Walter Brueggemann, Genesis (Atlanta: John Knox Press, 1982), h. 64; Speiser menyebut
bagian ini dengan istilah The Line of Cain, lih. E.A. Speiser, The Anchor Bible - Genesis. (New York: Doubleday & Caompany, Inc.,
1964), h. 34-36; sedangkan Davidson menyebutnya dengan The Family Tree of Cain, lih. R. Davidson, Genesis 1-11 (Cambridge:
University Press, 1973), h. 54. Meskipun para penafsir di atas perbedaan istilah, namun dari peristilahan ini kita lihat bahwa umumnya
mereka sepakat untuk menggolongkan bagian ini ke dalam golongan Daftar Keturunan Kain.
8
Bdk. dengan yang ada dalam C. Westermann, Genesisi ... , h. 349 dan D.E. Gowan, From Eden ..., h. 73
3
tafsir perjanjian lama
redaktor P. Pertanyaannya sekarang adalah: Apakah daftar silsilah ini memang dapat disejajarkan satu sama
lain?
Dalam menanggapi pertanyaan di atas, Gowan 9 berpendapat bahwa dalam daftar silsilah Adam dan
Hawa, terdapat 2 tradisi yang saling berhadapan. Satu tradisi mengawalinya dengan Kain (Y) dan yang lain
memulainya dengan Seth (P), tetapi dalam daftar keturunan selanjutnya memiliki kesamaan, termasuk akhir dari
daftar silsilah ini yaitu Lamekh. Jika demikian halnya, yang membedakan di sini adalah masalah kepentingan
dan tujuan dari para redaktor. Bila Y menggunakan jalur Kain, maka tujuan sebenarnya dari Y adalah hendak
menekankan pembangunan peradaban manusia, tetapi sekaligus memperlihatkan kelemahan manusia yang tidak
bisa taat kepada YHWH, karena dalam peradaban tersebut tampak kepongahan manusia. Hal ini sejalan dengan
kekhasan tradisi Y yang menekankan unsur ketidaktaatan dan kelemahan manusia di hadapan YHWH.10 Di
pihak lain. bila redaktor P memulai silsilahnya dari Seth, ini juga sesuai dengan kekhasan tradisi P yang
menekankan unsur kekudusan hidup manusia yang terikat dalam perjanjian dengan Allah.11
Westermann12 mengungkapkan pendapat yang berbeda, dimana ia mengungkapkan bahwa dalam
penyusunan terhadap silsilah ini redaktor P (yang ditengarai usianya lebih muda) telah mengambil alih hasil
penyusunan silsilah yang telah dilakukan oleh redaktor Y, tetapi di sisi lain radaktor P juga mengambil alih
tradisi lain yang tidak diketahui sumbernya untuk melengkapi daftar silsilah ini sampai dengan Lamekh.
Pendapat lain diungkapkan oleh Robert Davidson yang juga memiliki kesamaan dengan pendapat
Speiser.13 Kedua penafsir ini mengungkapkan bahwa redaktor Y dan P mengambil sumber yang sama melalui
tradisi oral (lisan) untuk menyusun daftar silsilah ini. Namun karena ada perbedaan jarak antara redaktor Y dan
P, maka masing-masing redaktor menangkap sumber tersebut secara berbeda sehingga muncullah daftar silsilah
yang kelihatannya saling berlawanan, tetapi bila diurut memiliki kesamaan satu sama lain. Penulis lebih
cenderung menyetujui pendapat terakhir ini. Penulis menduga bahwa kedua silsilah di atas berasal dari sumber
yang sama, yang telah mengalami proses tradisi yang lama. Itulah sebabnya terdapat beberapa perbedaan dalam
mengeja nama-nama dan urutannya. Apabila pendapat Westermann yang diikuti, maka pendapat ini sangatlah
riskan. Sebab agak sulit dipahami apabila pengambilalihan silsilah yang dilakukan redaktor P memiliki
kerancuan urutan dengan daftar silsilah dari redaktor Y. Demkian juga dengan pendapat Gowan; penulis
berpendapat bahwa penyusunan daftar silsilah ini bukan hanya sekadar didasarkan atas kepentingan dan tujuan,
melainkan lebih dari pada itu. Penyusunan daftar silsilah ini memiliki tujuan untuk menjembatani jurang
pemisah antara peristiwa Adam – Hawa (Kej. 3) dengan peristiwa Air bah (Kej. 6-9).14 Maksudnya: melalui
9
Lih. D.E. Gowan, From Eden ..., h. 73-74, hal ini memiliki kemiripan dengan pendapat Chr. Barth, Theologia Perjanjian
Lama 1 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984), h. 68 yang mengatakan bahwa kedua kisah ini tidak memiliki hubungan satu sama lain.
10
J. Blommendaal, Pengantar Kepada Perjanjian Lama (Jakata: BPK Gunung Mulia, 1983), h. 18-19
11
J Blommendaal, Pengantar ..., h. 21
12
Lih. C. Westermann, Genesis ..., h. 349
13
Lih. R. Davidson, Genesis ..., h. 55 dan E.A. Speiser, Genesis ..., h. 36
14
Pendapat ini diungkap juga oleh R. Davidson, Genesis ..., h. 55, E.A. Speiser, Genesis ..., h. 36 dan juga C. Westermann,
Genesis ..., h. 349-350.
4
tafsir perjanjian lama
daftar silsilah ini hendak digambarkan bahwa air bah yang diturunkan oleh YHWH merupakan akibat dari
akumulasi ketidaktaatan manusia terhadap perintah YHWH, karena dalam daftar keturunan ini terdapat
peristiwa-peristiwa yang menggambarkan kesombongan manusia yang merupakan perkembangan lanjutan dari
kesombongan manusia pasca “peristiwa pembunuhan Kain terhadap Habil” (untuk lebih lengkapnya, silakan
lihat tafsir Kej, 4:17-26 di bawah).

b. Masalah dalam Kej. 4:17-26


Masalah lain yang timbul adalah dalam tubuh perikop itu sendiri (Kej. 4:17-26). Beberapa penafsir mengatakan
bahwa Kej. 4:17-26 terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu: ayat 17-24 dan ayat 25-26; masing-masing berdiri sendiri
(independen) karena memiliki kisah yang berbeda.15 Dalam hal ini penulis tidak sependapat dengan para
penafsir di atas, dengan beberapa pertimbangan yaitu :
1. Kej. 4:17-26 adalah hasil produk pemikiran redaktor Y. Dengan demikian, tentunya ada maksud/warta
tertentu dari redaktor Y melalui perikop ini. Oleh sebab itu, tidaklah berlebihan apabila perikop ini
dipandang sebagai satu kesatuan.
2. Jika ditilik dari alur cerita. Cerita diawali dengan penggambaran kesombongan. Alur ini bergerak dengan
cepat dan mencapai titik kulminasinya pada kisah nyanyian Lamekh. Setelah melewati titik kulminasi,
intensitas cerita kemudian mengalami penurunan dan – kemudian – diakhiri dengan suasana yang “happy
ending”. Dari sini dapat dilihat bahwa cerita ini merupakan satu kesatuan cerita yang tidak terpisahkan.
Dengan pertimbangan di atas, penulis beranggapan bahwa Kej. 4:17-26 adalah satu kesatuan yang tidak
bisa dipisahkan. Ada maksud tertentu dari redaktor untuk menggabungkan kisah, yang tampaknya tidak
berhubungan satu sama lain ini. Hal ini akan semakin tampak melalui upaya tafsir di bawah ini.

3. Tafsir Kej. 4:17-26

a. Teks dan Terjemahan Teks 16

ar'q.YIw: ry[i hn<Bo yhiy>w: %Anx]-ta, dl,Tew: rh;T;w:


ATv.ai-ta, !yIq; [d;YEw: .17
`%Anx AnB. ~veK. ry[ih' ~ve]

15
Dalam hal ini kita dapat melihat pendapat C. Westermann, Genesis ..., h. 348; demikian juga halnya dengan Davidson yang
secara terpisah mencoba menafsirkan Kej. 4:17-26 ini dalam 2 bagian yang terpisah yaitu: Kej. 4:17-24 dan Kej. 4:25-26; lih. R.
Davidson, Genesis ..., h. 56-58, hal yang sama juga dilakukan oleh D.E. Gowan, Genesis ..., h. 72-79.
16
Naskah Teks diambil dari R. Kittel. Biblia Hebraica Stuttgartensia (Stuttgart: Deutsche Bibelgesellschaft, 1993) hal. 6-7;
sedangkan terjemahan teks merupakan upaya penulis untuk mengerti teks sesuai dengan teks aslinya, dengan alat bantu B. Davidson,
The Analytical Hebrew and Chaldee Lexicon (Michigan: Regency Reference Library, 1970).
5
tafsir perjanjian lama
17. Lalu Kain mengenal (secara daging) istrinya, dan ia (feminin) menjadi hamil dan
kemudian ia (feminin) melahirkan Henokh. Lalu ia (maskulin – Kain) membangun
sebuah kota dan menyebut nama kota (itu) menurut/seperti nama anaknya, Khenokh.

dl;y" laey"Yxim.W laey"Wxm.-ta, dl;y" dr'y[iw> dr'y[i-


ta, %Anx]l; dleW"YIw: .18
`%m,l'-ta, dl;y" laev'Wtm.W laev'Wtm.-ta,
18. Dan kemudian Khenokh menjadi ayah bagi Irad, dan Irad memperanakkan
Mekhuyael dan Mekhuyael memperanakkan Metusael dan Metusael memperanakkan
Lamekh.

`hL'ci tynIVeh; ~vew> hd'[ tx;a;h' ~ve ~yvin" yTev.


%m,l, Al-xQ;YIw' .19
19. Kemudian Lamekh mengambil 2 (dua) orang istri; nama (istri) yang pertama adalah
Adah dan nama (istri) yang kedua adalah Tsilah.

`hn<q.miW lh,ao bveyO ybia] hy"h' aWh lb'y"-ta,


hd'[' dl,Tew: .20
20. Dan Adah memperanakkan Yaval (yang kemudian) ia (Yaval) menjadi bapa (bagi
orang yang) menempati/diam di dalam tenda dan memiliki kekayaan ternak.

`bg"W[w> rANKi fpeTo-lK' ybia] hy"h' aWh lb'Wy


wyxia' ~vew> .21
21. Dan nama saudara laki-lakinya (Yaval) adalah Yuval (yang kemudian) ia (Yuval)
menjadi bapa (bagi semua orang) yang memainkan kecapi (dan sajak) dan ahli
memainkan suling

tv,xon> vrexo-lK' vjel !yIq; lb;WT-ta, hd'l.y" awhi-


~g: hL'ciw> { .22
`hm'[]n: !yIq;-lb;WT tAxa]w: lz<r>b;W
22. Dan Tsilah, ia (feminin) juga memperanakkan Tuval Kain (yaitu orang) yang ahli
dalam mengasah alat-alat untuk memotong yang terbuat dari tembaga dan besi. Dan
saudara perempuan Tuval Kain adalah Naamah.

wyv'n"l. %m,l, rm,aYOw: .23

6
tafsir perjanjian lama
y.tir'm.ai hN"zEa.h; %m,l, yven yliAq ![;m;v.
hL'ciw> hd'['
`ytir'Bux;l. dl,y<w> y[ic.pil. yTig>r;h'
vyai yKi
23. Lalu berkatalah Lamekh kepada istri-istrinya,
“Adah dan Tsilah, berilah perhatian (dan ketaatan kalian) kepada suaraku.
(Hai) istri-istri Lamekh, dengarlah dengan sungguh-sungguh perkataanku,
Aku telah membunuh (dengan pedang) seorang laki-laki dewasa
(untuk perbuatannya) yang melukai aku;
dan seorang anak remaja (untuk perbuatannya) yang membuat aku memar,

`h['b.viw> ~y[ib.vi %m,l,w> !yIq'-~Q;yU


~yIt;['b.vi yKi .24
24. Karena jika balasan kepada Kain (sebesar) tujuh kali lipat
maka kepada Lamekh (sebesar) tujuh puluh kali tujuh lipat”.

yKi tve Amv.-ta, ar'q.Tiw: !Be dl,Tew: ATv.ai-ta,


dA[ ~d'a' [d;YEw: .25
`!yIq' Agr'h} yKi lb,h, tx;T; rxea; [r;z< ~yhil{a/
yli-tv'
25. Lalu Adam mengenal (secara daging) lagi istrinya dan memperanakkan seorang
anak laki-laki (yang) kemudian ia (maskulin) memanggil (anak itu) dengan nama
Syeth; karena Allah telah meletakkan dasar (fondasi) bagiku sebuah benih yang lain
sebagai pengganti Khabel yang telah dibunuh oleh Kain

aroq.li lx;Wh za' vAna/ Amv.-ta, ar'q.YIw: !Be-dL;yU


aWh-~G: tvel.W .26
@ `hw"hy> ~veB.
26. Dan kemudian Syeth juga memperanakkan seorang anak laki-laki, dan ia (maskulin)
memanggil nama (anak itu) Enosh. Sejak saat itu dimulailah panggilan (terhadap)
nama YHWH.

b. Kritik Teks

Ayat 17

- Beberapa kodeks manuskrip Ibrani mengusulkan agar kata hn,Bo diganti dengan kata hneBo.
Kedua kata ini memiliki arti yang sama, yaitu: membangun. Namun permasalahannya adalah kata

7
tafsir perjanjian lama
hneBo memiliki bentuk construct, dan bentuk construct ini hanya dapat terjadi bila ada
penggabungan dengan bentuk absolute (ditandai dengan garis penghubung – ).17 Dalam kasus ini tidak
ada bentuk absolute yang mengiringi, sehingga usulan ini dapat diabaikan.

- Dan beberapa teks massoret pun mengusulkan agar kata ~vek. diganti dengan kata ~veb..
Dengan demikian ada usulan untuk mengganti kata depan ke dengan be. Dalam hal ini penulis
kurang sependapat, karena bila digunakan kata depan be maka artinya akan menjadi dengan memberi
nama, padahal yang dimaksud adalah bahwa kota yang dibangun oleh Kain diberi nama sesuai dengan
nama anaknya. Oleh sebab itu, usulan ini pun dapat diabaikan.

Ayat 18

- Teks Masoret mengusulkan agar kata laey"Yxim.W diganti dengan kata laey".Wxm.W.
Kedua kata ini memiliki arti sama (yaitu proper name = kata ganti nama). Usulan dari teks Masoret
adalah untuk menjaga konsistensi penggunaan kata laey".Wxm.W seperti dalam ayat
sebelumnya, oleh sebab itu usulan ini dapat diterima.

Ayat 20

- Frase hn<q.miW lh,ao diusulkan diganti dengan frase `m ylex\a' sehingga memiliki
kesamaan bentuk dengan II Taw. 14:14. Permasalahannya adalah bahwa kata ylex\a' bukanlah kata
benda (seperti yang ada dalam kata lh,ao), melainkan kata keterangan (adverb) yang berarti “oh that”.
Apabila usulan ini diikuti, maka frase itu “tidak berbunyi” dan mengaburkan makna. Untuk itu usulan
ini dapat kita abaikan.

Ayat 22

- Targum versi Pseudo-Jonathae memandang bahwa frase vrexo-lK' vjel sebaiknya diganti dengan
frase vrexo-lK' ybia], yang berarti Bapa dari semua (orang yang membuat) perkakas (hal ini
agaknya dipakai dalam terjemahan LAI). Namun penulis lebih mempertahankan kalimat awal karena
pekerjaan Tuval-Kain lebih mengarah pada pembuatan senjata tajam (nanti tampak dalam tafsir),
sedangkan bila usulan dipakai berarti pekerjaan Tuval Kain lebih menunjuk pada seorang pandai besi,
padahal bukan itu maksudnya. Oleh sebab itu usulan dapat diabaikan.

- dalam kritik teks ini juga dipertanyakan, apakah frase vrexo-lK' merupakan tambahan ? Penulis
berpendapat bahwa ini bukanlah tambahan, karena frase ini akan menunjukkan siapa Tuval Kain, dan
apa makna dari pekerjaannya. Hal ini sangat mempengaruhi makna dari tafsiran yang akan dibuat.

Ayat 25
- Diusulkan agar kata ~d'a' mendapat tambahan partikel ah'. Ada keberatan terhadap usulan ini,
karena kata ~d'a' bukan lagi menunjuk pada manusia, melainkan sudah mengarah pada nama
seseorang. Oleh sebab itu usulan dapat diabaikan

17
Lih. J. Weingreen, A Practical Grammar for Classical Hebrew (Oxford: The Clarendon Press, 1959), h. 44.
8
tafsir perjanjian lama
- LXX menambahkan kata legousa = rmoal; (berbentuk nominatif, singuler feminin – menunjuk
pada Hawa) sesudah kata tve. Bila diperhatikan penambahan kata ini tidak merusak tata bahasa, oleh
sebab itu usulan ini dapat diterima.

- Beberapa Targum juga menambahkan kata ‘mrt = hrma sesudah kata yki. Sama kasusnya seperti di
atas, maka usulan ini pun dapat digunakan.

Ayat 26

- Targum mengubah kata lx;Wh za' dengan outoj hlpisen = lxiAh (yang merupakan
bentuk tidak sempurna dari kata yliyxi dengan kata dasar lxy yang berarti harapan). Penulis
berpandangan bahwa secara utuh kalimat dalam ayat 26 bukan mengungkap mengenai harapan,
melainkan mengungkap tentang dimulainya sesuatu pada jaman tertentu; sehingga usulan ini pun dapat
diabaikan.

c. Tafsiran

Dalam upaya menafsir perikop ini, penulis akan membagi Kej. 4:17-26 ke dalam 3 bagian18, dimana masing-
masing bagian memiliki keterkaitan yang erat dengan bagian yang lainnya. Pembagian tersebut (beserta sub-
judul yang penulis buat) adalah :
1. Kej. 4:17-22 = Membangun Kebudayaan (Kebudayaan yang Bagaimana ?)
2. Kej. 4:23-24 = Puncak Budaya Kekerasan
3. Kej. 4:25-26 = Mengganti Budaya Kekerasan melalui Pergaulan dengan YHWH

c.1. Kej. 4:17-22 = Membangun Kebudayaan (Kebudayaan yang Bagaimana ?)


Kisah ini dimulai dengan peristiwa Kain ‘bersetubuh’ (mengenal dalam daging) dengan istrinya, kemudian
istrinya melahirkan seorang anak yang diberi nama Henokh. Kisah awal ini sudah mengandung pertanyaan:
siapakah istri Kain ? Dalam kisah-kisah sebelumnya, kita tidak menjumpai cerita mengenai perempuan lain
yang mengikuti pelarian Kain dari Eden. Lalu mendadak kisah ini dibuka dengan aktivitas Kain “menyetubuhi”
istrinya.19 Para penafsir20 umumnya berpendapat bahwa kisah ini diambil oleh redaktor Y dari tradisi yang tidak
dapat diketahui sumbernya. Namun hal ini tetap dipandang penting karena peristiwa ini hendak

18
Dalam hal ini penulis setuju dengan pembagian von Rad, lih. G. von Rad, Genesis A Commentary (Philadelphia:
Westminster Press, 1961), h.107-108
19
Agaknya kata [dy (mengenal dalam daging – bersetubuh) dalam tadisi Y menjadi sesuatu yang sangat penting, karena jika
diamati dengan seksama kata ini muncul 3 kali dalam Pasal 4 (yaitu: 4:1, 4:17 dan 4:25). Dalam pemahaman tafsir narasi,
pengulangan kata/istilah yang berkali-kali tentu memiliki arti tersendiri bagi narator. Namun untuk sementara kita menahan diri dulu,
karena kata ini akan dibahas secara mendalam dalam ayat 25.
20
Mengenai hal ini banyak penafsir mengungkapkan bahwa kisah ini adalah kisah yang janggal, karena dalam kisah ini
digambarkan Kain sudah beristri. Dengan demikian ada bagian kisah lain yang “hilang” yaitu kisah yang mendahului kisah ini.
Namun para penafsir umumnya sependapat bahwa kisah yang janggal ini terjadi karena adanya perbedaan tradisi yang diterima oleh Y
dan P. Untuk lebih lengkapnya diskusi tersebut dapat diperdalam melalui bahan bacaan seperti yang terdapat dalam catatan kaki nomer
7.
9
tafsir perjanjian lama
menggambarkan awal mulanya keturunan Kain, dan dalam hal ini penulis setuju dengan apa yang diungkapkan
oleh para penafsir ini.
Kisah ini berlanjut dengan kisah yang menggambarkan upaya Kain untuk membangun sebuah kota (dan
peradaban). EG Singgih21 menggambarkan bahwa peradaban dan kota yang dibangun oleh Kain merupakan
kota dan peradaban yang dipenuhi dengan kesombongan serta kekerasan (dan juga pelanggaran HAM – Hak
Azasi Manusia). Penulis setuju dengan pendapat EG Singgih ini, namun pertanyaannya: manakah petunjuk
yang dapat dijadikan indikator bahwa peradaban yang dibangun Kain dipenuhi dengan kekerasan ? Apakah
dengan menyebut nama kota tersebut dengan nama anaknya, Henokh, sudah menjadi indikator dari sebuah
sikap kesombongan ? Bukankah justru hal itu menunjukkan kebanggan Kain terhadap anaknya ? Pertanyaan-
pertanyaan ini begitu menggoda penulis untuk mencari penyebab dan indikator dari peradaban kesombongan
yang dibangun oleh Kain.
Setelah meneliti dengan seksama, penulis menjumpai beberapa indikator yang dapat dijadikan dasar dari
pernyataan yang mengatakan bahwa peradaban yang dibangun Kain adalah peradaban yang diwarnai dengan
kesombongan dan kekerasan. Indikator tersebut adalah sebagai berikut:
1. Setelah perintah YHWH kepada Kain agar dari Eden adalah untuk menjadi seorang pengembara. Namun
dalam kenyataannya ia justru menetap di sebuah lokasi di sebelah timur Eden, yng berarti ia tidak
mengindahkan perintah YHWH tersebut. EG Singgih22 secara implisit hendak mengungkapkan bahwa di
sini jugalah salah satu bentuk “kesalahan” Kain, seperti halnya yang dilakukan oleh bangsa Israel; dimana
pada hakikatnya Israel adalah bangsa pengembara, tetapi pada akhirnya mereka pun menetap di Kanaan. Hal
ini – menurut penulis – dikarenakan sikap YHWH yang “salah”. Penulis melihat bahwa kesombongan yang
berlebihan (akibat over-convidence) terbangun dalam diri Kain karena ia menyadari bahwa dirinya berada
dalam perlindungan YHWH (ay. 15) yang berupa tanda di tubuhnya. Jadi permasalahannya di sini adalah
“masalah yang dibuat oleh YHWH” itu sendiri !
Dalam peristiwa ini narator hendak mengisahkan tentang YHWH YANG SANGAT BAIK (IA tidak
mau cuci tangan kepada Kain meskipun Kain telah membunuh adiknya sendiri).23 Wajarlah apabila
kesombongan Kain semakin tinggi, karena ia merasa dirinya telah terlindungi oleh YHWH dan tidak ada
satu tangan pun yang berhak untuk menyakiti dirinya.
2. Kesombongan Kain juga nampak ketika ia memiliki anak dan menamai anaknya dengan nama Henokh

(&Anx) yang berarti mengajar, memprakarsai.. Selanjutnya nama ini dikenakan kepada kota yang

21
Uraian yang apik ini dapat dilihat dalam EG Singgih, “Di Sebelah Timur Eden: Kej. 4:1-16” dalam Yusri Panggabean, dkk.
(Peny.), Menuju Manusia Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), h. 153.
22
.EG Singgih, “Di Sebelah Timur ...”
23
EG Singgih, “Di Sebelah Timur ...”, h. 152
10
tafsir perjanjian lama
dibangun oleh Kain. Dalam hal ini kita lihat bahwa Kain sedang ‘mencari nama bagi dirinya sendiri’ (bdk.
dengan kisah Menara Babel – Kej. 11).24
Namun kesombongan Kain tidak berhenti sampai di situ, melainkan semakin memuncak pada saat Kain
mulai membangun kota.25 Disini kita melihat permainan kata mulai ditampilkan oleh narator. Kata yang

dipakai oleh narator untuk menunjuk pada aktivitas “membangun” adalah kata hnb, dimana kita ketahui
bahwa kata ini merupakan kata yang dipakai oleh Allah dalam proses penciptaan. Jika Kain menggunakan

kata hnb untuk menunjukkan aktivitasnya , berarti ada indikasi bahwa Kain hendak menyaingi Allah
dalam menciptakan sesuatu26.
Permainan kata tersebut tidak berhenti sampai di situ saja, karena kata hnb ini kemudian digabungkan

dengan kata ‘(sebuah) kota’/ry[i, yaitu sebuah kata tidak hanya memiliki satu pengertian saja, melainkan

beberapa pengertian. Disini penulis sadar bahwa sebenarnya narator hendak menghadirkan kata ry[i ini
dalam bentuk permainan kata dengan tujuan agar para pembaca mengerti mengenai gambaran keadaan kota
dan peradaban itu dibangun. Permainan kata tersebut adalah :
1. Bila kata ry[i dipandang berasal dari kata dasar ry[, maka kata ini bisa berarti ketakutan,
kemarahan, teror dan musuh/permusuhan.
2. Namun bila kata ry[i ini dipandang berasal dari kata dasar rw[ maka kata ini dapat diterjemahkan
dengan kota. Adapun kota yang dimaksud di sini lebih menunjukkan pada sebuah tempat yang
dikelilingi oleh tembok perlindungan, sehingga keberadaannya seringkali digambarkan sebagai kota
eksklusif.27
3. Tetapi kata rw[ ini pun dapat diterjemahkan dengan pengintai, sehingga melalui kata ini didapat kesan
bahwa kota yang dibangun ini juga merupakan tempat pengintaian.
Dengan demikian, bila kita menggabungkan kata hnb dengan kata ry[i menjadi satu kesatuan, maka kita
akan menemukan makna bahwa kota yang dibangun oleh Kain adalah kota eksklusif yang dipenuhi dengan
permusuhan, kemarahan, dan oleh karenanya kota tersebut dipenuhi dengan nafsu permusuhan satu sama
lain.

24
Di sini penulis setuju dengan W. Lempp, Kejadian ..., h. 120-121
25
Inilah salah satu bentuk ironis dalam kisah ini, dimana kota pertama yang bangun justru berasal dari seorang pembunuh
manusia pertma, lih. D.E. Gowan, Genesis ..., h. 75.
26
Hal ini berkaitan erat (mungkinkah merupakan keturunan sifat ?) dengan ‘ungkapan kegembiraan Hawa’ pada saat ia
melahirkan Kain. Beberapa penafsir mengatkan bahwa ungkapan kegembiraan ini sekaligus menunjukkan kesombongan Hawa yang
berhasil “menyaingi” Allah dalam menciptakan kehidupan; dan agaknya sikap ini sedikit terwariskan kepada Kain. Lih. Bruce Vawter,
On Genesis, A New Reading (New York: Doubleday, 1977), h. 92; dan D.E. Gowan, Genesis ..., h. 66
27
Keterangan dapat dilihat dalam G. Johannes Botterweck, dkk (ed.), Theological Dictionary of Tthe Old Testament (TDOT)
Vol. xi (Michigan/Cambridge: William B. Eerdmans Publishing Company, 2001), h. 52-54.
11
tafsir perjanjian lama
Kisah ini dilanjutkan dengan kisah mengenai keturunan Kain berikutnya. Henokh memperanakkan

(menjadi ayah) bagi Irad. Nama dr\y[i dapat diartikan dengan kebodohan yang liar. Dan bila kata ini ditilik

sampai kata dasarnya, maka kita akan menemukan kata dr[ yang berarti melarikan diri. Penulis melihat bahwa
penamaan terhadap keturunan Kain ini hendak menggambarkan suasana kebudayaan apa yang sedang
dibangun, yaitu suasana yang selain dipenuhi dengan kekerasan, juga diikuti dengan sikap-sikap pengecut, yaitu
selalu melarikan diri dari setiap permasalahan yang dihadapi.
Nama anak Irad adalah Mekhuyael. Mengenai nama dan arti dari nama ini ada dua (2) kemungkinan
yang terjadi, yaitu :
1. Melalui nama ini hendak digambarkan bahwa peradaban yang dibangun mengakibatkan YHWH menjadi
murka sehingga YHWH menurunkan tanganNya untuk menghukum bangsa dan peradaban yang dibangun

tersebut ( la;y\wxm. = smitten of God).


2. Namun kata ini pun dapat mengandung pengertian yang lain, dimana istilah pukulan YHWH (seperti
yang terkandung dalam nama Mekhuyael) dapat diartikan sebagai bentuk kekuatan dari peradaban
kekerasan yang dibangun, sehingga peradaban kekerasan tersebut digambarkan secara superlatif, yaitu sama
seperti pukulan YHWH kepada setiap orang yang tidak taat kepadaNya.
Penulis menduga bahwa hal ke-2 inilah yang dimaksud dan terkandung dalam nama Mekhuyael, karena setelah
Mekhuyael diikuti dengan nama Metusyael (man of God) yang juga menampakkan nilai kesombongan dalam
arti sebuah nama.
Kisah ini untuk sementara diakhiri dengan hadirnya Lamekh (sebagai penutup keturunan ke-7 mulai dari
Adam).28 Arti dari nama Lamekh ini tidak ada dalam bahasa Ibrani29, kata ini lebih dekat pengertiannya dengan
bahasa Sumerian dan Akkadian (yang menunjukkan the title of the sky god Ea as patron of song and music).30
Ada kesan yang penulis jumpai melalui nama Lamekh, yaitu bahwa keturunan Kain selanjutnya mulai
“melupakan” YHWH dan mulai mempersekutukan diri dengan “dewa-dewa” di sekitar mereka. Jika demikian
halnya, maka kebudayaan yang dibangun oleh Kain dan keturunannya bukan hanya diisi dengan kekerasan dan
kesombongan, melainkan juga kebudayaan yang menempatkan YHWH di tempat yang kurang penting.
Jika kita mengamati secara khusus “pohon keturunan” Adam – Lamekh, yang berjumlah 7 turunan,
penulis menduga bahwa ada massage yang hendak disampaikan oleh narator melalui jumlah ini. Dalam budaya
Yahudi, angka 7 adalah angka sempurna.31 Jadi melalui kisah garis keturunan Adam – Lamekh, narator hendak
28
Kalau mau diurut, maka kita akan menjumpai “pohon keturunan” Adam melalui Kain demikian: (1) Adam – (2) Kain – (3)
Henokh – (4) Irad – (5) Mekhuyael – (6) Metusyael – (7) Lamekh.
29
Penulis sudah berusaha mencarinya dalam B. Davidson, The Analytical Hebrew and Chaldee Lexicon (Michigan: Regency
Reference Library), namun penulis tidak dapat menemukan arti hurufiah dari kata Lamekh ini.
30
C. Westermann, Genesis ..., h. 329
31
Bdk. dengan “pohon keturunan” Abraham – Yesus Kristus yang berjalan dalam 6 generasi dan masing-masing generasi
terdiri dari 7 keturunan (Mat. 1). Dengan demikian Yesus Kristus adalah permulaan dari generasi ke-7, yaitu generasi yang
menyempurnakan dan si-Penyempurna masa. Lih. Sefan Leks, Yesus Kristus Menurut Keempat Injil, Jilid 1. (Yogyakarta: Kanisius,
12
tafsir perjanjian lama
mengungkapkan bahwa jaman yang dipenuhi dengan kekerasan, kesombongan dan ketidakpedulian kepada
YHWH telah dimulai. Jaman ini mencapai puncaknya pada Lamekh (sebagai keturunan yang ke-7 – keturunan

penyempurna), yang ditandai dengan perbuatan Lamekh mengambil (xql) 2 orang istri. Penggunakan kata

xql memang sengaja dilakukan oleh narator untuk menunjukkan ‘pemberontakan’ Lamekh terhadap tatanan
kesepadanan antara laki-laki dengan perempuan yang telah dibuat oleh YHWH (bdk. Kej. 2), dan sekaligus
peristiwa ini menggambarkan munculnya superioritas laki-laki terhadap perempuan32 Dengan demikian Lamekh
telah mematahkan hubungan kesetaraan dan menggantikannya dengan unsur kepemilikan, penguasaan dan
ketidakberdayaan perempuan di hadapan laki-laki.33
Sebagai puncak keturunan, Lamekh menurunkan keturunan yang “luar biasa” yaitu sang pemula dari
beberapa kebudayaan. Kita bisa lihat melalui keturunan Lamekh dimulailah budaya seni, kerajinan dan nomad.
Namun agaknya semua budaya yang dibangun ini perlu kita periksa dengan teliti, apakah memang budaya-
budaya yang dibangun tersebut selalu positif ? Untuk itu kita akan mengamati satu persatu :
1. Budaya nomad (Ay. 20).
Kalimat yang digunakan disini adalah hn<q.miW lh,ao bveyO (tinggal di dalam tenda dan
memiliki kekayaan ternak). Memang budaya yang ditumbuhkan adalah tinggal di dalam tenda, tetapi tetap
harus diingat bahwa hal tinggal di dalam tenda diikuti dengan hal memiliki kekayaan. Jadi bukan hanya
budaya nomad yang ditumbuhkan, tetapi budaya mengejar kekayaan pun menjadi hal yang utama di sini.
Bila kekayaan menjadi unsur utama dalam budaya nomad ini, maka dapat kita bayangkan bahwa budaya ini
pun menawarkan budaya lain, yaitu: ketiadaan penghargaan terhadap orang-orang yang tidak memiliki
kekayaan; dan nilai diri seseorang diukur dari kaya – tidak kayanya orang tersebut.
2. Budaya Seni (Ay. 21)
Gambaran munculnya budaya ini diwakili dengan kalimat bg"W[w> rANKi fpeTo-lK' (yang
memainkan kecapi (dan membacakan sajak) dan ahli memainkan suling). Di satu sisi memang ini
menunjukkan munculnya kebudayaan seni, tetapi seperti dalam pemahaman Ibrani sendiri permainan kecapi
dan suling seringkali dikaitkan dengan pesta pora dan hura-hura. Dengan demikian budaya seni yang
dibangun di sini juga hendak menggambarkan budaya pesta pora yang diiringi dengan kemabukan dan
tindakan-tindakan asusila lainnya.

1977), h. 25-26.
32
Bdk. kisah ini dengan kisah Adam yang menerima perempuan yang dibawa oleh Allah untuk menjadi istrinya. Dengan
demikian ada keyakinan bahwa Hawa merupakan pasangan sepadan yang berasal dari Allah karena ia dibawa oleh Allah. Sedangkan
dalam kisah ini Lamekh mengambil ke-2 istrinya, yang menandakan adanya kekuasaan dalam diri Lamekh kepada istri-istrinya
sekaligus menunjukkan ketidakseimbangan hubungan lelaki-perempuan. Bdk. pendapat ini dengan W. Lempp, Kejadian ...,h. 121
33
Nuansa ini diwakili dengan nama kedua istri Lamekh yang menggambarkan tentang ketidakberdayaan. Istri pertama
bernama Adah (hd[] yang berarti “pass by – lewat begitu saja” dan istri yang kedua bernama Tsilah (hlc) yang berarti “tingle –
geletar/gatal”
13
tafsir perjanjian lama
Namun di sisi lain, penulis juga menduga bahwa kisah permulaan budaya seni ini juga bukan sekadar
hendak menggambarkan tentang budaya hura-hura dan pesta pora yang penuh dengan kemabukan saja,
melainkan ada maksud narator untuk menyeimbangkan dan memberikan nuansa baru di dalam budaya
kekerasan yang tercipta. Penulis melihat bahwa ada upaya narator untuk memperlihatkan bahwa di tengah-
tengah budaya kekerasan yang tercipta, ada upaya dari YHWH (yang tidak kelihatan dalam kisah ini) untuk
menyeimbangkan budaya kekerasan dengan budaya seni (karena seni juga dapat dipandang sebagai bentuk
dari pengeliminasian dari sebuah tindak kekerasan). YHWH tidak mau budaya yang tercipta hanya berisikan
tentang kekerasan saja; sehingga melalui keturunan Lamekh, YHWH hendak membangun budaya baru juga
yang dipenuhi dengan lagu, tarian, dan pembacaan sajak yang semuanya hendak mengeliminir budaya
kekerasan yang dibentuk.
Dengan demikian, budaya seni ini dapat saja berjiwakan kekerasan dan kemabukan, tetapi juga memiliki
wajah sebagai penyeimbang dan pengeliminasi budaya kekerasan yang ada dan tercipta.
3. Budaya Kerajinan (Ay. 22)
Perwakilan dari kemunculan budaya kerajinan ini adalah kalimat lz<r>b;W tv,xon> vrexo-
lK' vjel (... ahli membuat alat-alat potong yang terbuat dari besi dan tembaga ...). Bagi penulis, kita

perlu mengarahkan perhatian pada kata vrexo-lK' vjel, karena dalam kata ini terkandung pengertian
bahwa kerajinan yang dimaksud adalah kerajinan dalam membuat alat/senjata untuk berperang (berupa
pedang, pisau ...). Jikalau demikian, budaya kerajinan yang diciptakan terarah pada budaya perang; budaya
untuk saling menghancurkan satu sama lain.
Namun, seperti halnya budaya seni di atas, budaya kerajinan ini pun memiliki wajah positif karena
melalui budaya kerajinan ini diperkenalkan kemajuan berpikir (yang berarti adanya kemajuan peradaban)
untuk memainkan kreativitas yang ada dalam diri manusia. Budaya kerajinan ini sekaligus menggambarkan
bahwa keberadaan manusia pada saat itu sudah mengalami kemajuan, sehingga di satu sisi budaya ini
memang menunjuk pada keinginan untuk berperang (membuat senjata tajam) tetapi di sisi lain juga
sekaligus menunjukkan kemajuan peradaban dan kreativitas manusia.
Keinginan YHWH (yang tidak kelihatan peranNya dalam kisah ini) untuk menyeimbangkan budaya
kekerasan dengan budaya yang lain yang lebih “smart” semakin tampak pada saat narator menghadirkan kisah
tentang anak perempuan Lamekh yang bernama Naamah. Mengenai nama ini memang ada 2 kemungkinan,
yaitu :
1. Di satu sisi, penulis melihat bahwa nama Naamah ini hendak menampakkan munculnya budaya baru,

yaitu budaya prostitusi. Alasan penulis adalah dengan melihat dan memperhatikan kata hm'[]n
(Naamah) yang berarti cantik, dicintai, yang menghibur; tetapi juga bisa berarti menyenangkan, erotic

14
tafsir perjanjian lama
love.34 Penulis menduga bahwa melalui kata ini narator hendak menggambarkan bahwa pada saat itu
muncul budaya prostitusi, yaitu menggunakan kecantikan untuk kesenangan. Hal ini tampaknya
memang sengaja dimunculkan narator, yang secara mendadak menyebutkan seorang perempuan –
keturunan Kain – yang memiliki wajah cantik dan bernuansa erotik.
2. Di sisi lain sosok dan peran Naamah ini dapat dikaitkan dengan suasana yang dipenuhi dengan
kegembiraan. Naamah seringkali dikaitkan dengan suasana yang dipenuhi dengan alunan musik yang
bernada manis dan gembira.35 Dengan demikian, kehadiran tokoh Naamah ini sebenarnya hendak
memberikan nuansa baru di tengah-tengah budaya kekerasan yang sedang terjadi.
Terhadap dua kemungkinan di atas, penulis cenderung setuju dengan kemungkinan kedua; karena bila
kita mempertimbangkan kemungkinan pertama, maka penulis menjumpai kejanggalan khususnya terletak pada
peran tersembunyi YHWH dalam kisah ini. Dalam kisah sebelumnya penulis melihat bahwa ada peran YHWH
yang hendak menyeimbangkan dan mengeliminasi budaya kekerasan melalui budaya seni dan budaya kerajinan
(yang menunjuk pada kemajuan peradaban manusia). Apabila kemudian kisah ini dilanjutkan dengan
menampilkan Naamah sebagai simbol dari budaya prostitusi, agaknya peran tersembunyi YHWH untuk
menyeimbangkan dan mengeliminasi budaya kekerasan telah “dimatikan” oleh narator, karena upaya eliminasi
dan minimalisasi YHWH terhadap budaya kekerasan tidak dilanjutkan melainkan semakin di semarakkan
dengan memunculkan budaya baru yang tidak kalah negatifnya, yaitu budaya prostitusi. Kemungkinan ini
agaknya sulit untuk kita terima karena adanya pemutusan alur cerita yang “tersembunyi”.
Oleh sebab itu, dengan berkaca pada kisah sebelumnya penulis melihat bahwa penempatan kisah tentang
Naamah ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari upaya YHWH untuk meminimalisasi budaya kekerasan
melalui penumbuhan suasana yang selalu dipenuhi dengan alunan musik dan kegembiraan (lihat dan perhatikan
makna dan pengertian kata Naamah). Jadi kita dapat melihat, bahwa di satu sisi narator hendak mengisahkan
munculnya budaya kekerasan tetapi di pihak lain pun digambarkan oleh narator bahwa YHWH (yang bekerja
secara diam-diam dan tidak kelihatan perannya) tidak berkenan dengan budaya kekerasan yang terjadi, sehingga
YHWH menghadirkan beberapa “budaya tandingan” untuk meminimalisasi dan mengeliminasi budaya
kekerasan yang ada. Dengan demikian, kemungkinan kedua inilah yang lebih baik kita ikuti.

c.2. Kej. 4:23-24 = Puncak Budaya Kekerasan

34
G. Johannes Botterweck, dkk. (ed.), TDOT Vo. IX ..., h. 469-470
35
Pendapat ini penulis kutip dari ungkapan EG Singgih pada saat penulis mempresentasikan makalah ini di hadapan seminar.
Dan EG Singgih sendiri mengutip pendapat U. Cassuto mengenai arti dan makna kata Naamah. Namun sayang sekali penulis tidak
dapat menemukan buku karangan Cassuto ini (karena di perpustakaan sedang tidak ada/dipinjam), sehingga penulis tidak dapat
memeriksa sendiri pendapat dari Cassuto ini. Namun dalam perbaikan makalah ini sengaja penulis masukkan sebagai sebuah
pertimbangan, dimana melalui pertimbangan ini penulis lebih condong untuk setuju terhadap pendapat Cassuto.
15
tafsir perjanjian lama
Budaya kekerasan dan kesombongan yang dibangun Kain dan keturunannya mencapai puncaknya pada saat
“Nyanyian Dendam dan Pedang Lamekh” dikumandangkan.36 Mengapa hal ini disebut dengan “Nyanyian
Dendam dan Pedang” ? Bukankah dalam terjemahan yang dilakukan oleh LAI dan BIS tidak ada kata “pedang”
sama sekali ? Menurut penulis, inilah salah satu kelemahan dalam penterjemahan, karena bila kita mau

menterjemahkan kata yTig>r;h' sebenarnya kita harus menerjemahkan dengan kalimat: I’ve killed
(someone) with sword = saya telah membunuh (seseorang) dengan pedang. Jadi makna dari kata kerja
membunuh selalu diikuti dengan penggunaan kata pelengkap (benda - pedang). Itulah sebabnya penulis
menyebut dengan “Nyanyian Dendam dan Pedang Lamekh”.
Beberapa penafsir mengatakan bahwa “Song of the Sword” ini adalah adopsi redaktor Y terhadap
“nyanyian dendam” yang ditemukan di daerah-daerah sekitar Asia Barat Daya Kuno.37 Penulis tidak dapat
menyangkal kebenarannya, namun – bagi penulis – untuk mengerti bagian ini kita tidak perlu melacak sampai
jauh ke budaya-budaya lain di luar Israel. Penulis setuju untuk mencari makna dari bagian ini di dalam teks itu
sendiri, karena penulis berpendapat38 bahwa bagi redaktor Y pemahaman mengenai teks itu ada di dalam teks itu
sendiri; bukan berada di luar teks. Di tempat lain, penulis pun menjumpai bahwa ada seorang penafsir yang
mengatakan bahwa peristiwa Lamekh ini pada dasarnya bukanlah merupakan kisah tentang kekerasan dan
dendam, melainkan lebih bisa disebut sebagai kisah pengakuan dan penyesalam Lamekh yang telah membunuh
dan meniadakan kehidupan. 39 Namun penulis tidak setuju dengan pendapat ini, karena bila diamati kalimat
yang dihadirkan dalam kisah ini tampak sekali bahwa tidak ada nada penyesalan yang diungkapkan oleh
Lamekh, yang ada justru adalah nada kebanggan dan perintah untuk ditaati. Oleh sebab itu, penulis lebih senang
untuk berupaya menafsirkannya berdasarkan teks yang ada dengan memperhatikan dan mempertimbangkan
nada-nada bahasa yang ada dalam kisah/puisi/nyanyian Lamekh. Dan untuk mengerti bagian ini, baiklah kita
memperhatikan beberapa hal yang ada dalam puisi/nyanyian ini :
1. Bila kita perhatikan permulaan kalimat dalam ayat 23 (y.tir'm.ai hN"zEa.h; %m,l,
yven yliAq ![;m;v. hL'ciw> hd'[' = Adah dan Tsilah, berilah perhatian (dan ketaatan
kalian) kepada suaraku. (Hai) istri-istri Lamekh, dengarlah dengan sungguh-sungguh perkataanku] kita
akan mendapatkan adanya kesan nada kesombongan dan nada kekuasaan laki-laki terhadap perempuan.

36
von Rad menyebut bagian ini dengan “Song of the Sword”, lih. G. von Rad, Genesis..., h. 107. Menurut penulis ungkapan
“Song of the Sword” ini belum lengkap, karena dalam kalimat berikutnya Lamekh pun mengumandangkan nyanyian dendam. Oleh
sebab itu penulis menggunakan istilah “Nyanyian Dendam dan Pedang Lamekh”.
37
Perhatikan saja pendapat-pendapat yang dituliskan beberapa penafsir, antara lain: G. von Rad, Genesis ...,h.108; C.
Westermann, Genesis ..., 325-326, 335-336;
38
Pendapat ini didasarkan atas pendapat G. von Rad, Genesis ..., h. 108
39
Dengan mempertajam pengertian dari kalimat “... Aku telah membunuh ...”, Ellen van Wolde mengungkapkan bahwa para
penafsir Yahudi pada umumnya mengatakan bahwa kisah Lamekh ini adalah kisah “as a confession and espression of regret.” dimana
Wolde menekankan bahwa hal yang dilakukan oleh Lamekh adalah merupakan akibat dari sebuah sebab sebelumnya, yaitu melukai
Lamekh, sehingga secara tidak langsung hal ini sudah menggambarkan adanya bentuk keadilan (?). Lih. Ellen van Wolde, Stories of
The Beginning. (USA: Morehouse Publishing, 1977), h. 96-97.
16
tafsir perjanjian lama
Dengan sengaja narator menggunakan kata ![;m;v. dan hN"zEa.h; (yang berarti: listen be carefull
dan give attention, obey) terhadap objek Adah dan Tsilah. Melalui kata ini narator hendak mengungkapkan
bahwa keberadaan Adah dan Tsilah, sebagai istri-istri Lamekh, tidaklah memiliki arti penting bagi Lamekh.
Mereka hanya dipandang sebagai pelengkap yang harus selalu taat dan tunduk di hadapan Lamekh. Kedua
kata di atas memang digunakan sebagai indikator ketundukan seseorang kepada orang lain. Dengan
demikian, dalam kisah awal ini intensitas cerita sudah mulai naik, dari kemunculan budaya kekerasan dan
kesombongan kemudian naik menjadi budaya penguasaan dan kepemilikan.
Tampak sekali bahwa bagian ini hendak menggambarkan bahwa generasi yang diwakili oleh Lamekh
telah meninggalkan YHWH dan telah membuat hukum dan aturan baru (lihat dalam tafsir selanjutnya di
bawah ini) sesuai dengan keinginan dan kepentingannya. Kesetaraan yang telah digaungkan oleh Allah
(Kej. 2) dipatahkan sedemikian rupa dan diganti dengan hierarki antara laki-laki dan perempuan atas dasar
kepemilikan (bdk. dengan kata mengambil – ay. 20).
Menurut pengamatan dan dugaan penulis, kalau mau meruntut budaya patriarkhi dalam Perjanjian
Lama, mungkin, kita dapat me-refer bagian ini, karena bagian dengan gamblang menggambarkan budaya
kepemilikan laki-laki terhadap perempuan dan sekaligus menggambarkan budaya “diam” perempuan karena
dipandang tidak sejajar dengan laki-laki dan tidak memiliki kuasa apa pun terhadap laki-laki.
2. Budaya yang digambarkan di atas kemudian dilengkapi dengan kemunculan budaya baru, yaitu:

budaya dendam. Dalam bagian selanjutnya kita menemukan perkataan: ytir'Bux;l. dl,y<w>
y[ic.pil. yTig>r;h' vyai yKi (Aku telah membunuh (dengan pedang) seorang laki-laki dewasa
(untuk perbuatannya) yang melukai aku; dan seorang anak remaja (untuk perbuatannya) yang membuat
aku memar). Dari perkataan ini kita jumpai lagi nada kesungguhan dan nada kesombongan seorang Lamekh
dalam menentukan sebuah kehidupan bagi orang lain. Sungguh menarik untuk diperhatikan bahwa
perbuatan Lamekh membunuh seorang laki-laki dewasa dan seorang laki-laki muda (jadi yang dibunuh
Lamekh adalah 2 orang !) adalah akibat dari perbuatan mereka yang dipandang telah menyakiti dan melukai
Lamekh. Jadi ada formulasi pembalasan yang disusun oleh Lamekh, yaitu: menyakiti – bunuh !
Jikalau dalam budaya Yahudi ada hukum mengenai mata ganti mata, gigi ganti gigi (Kel 21:24-25),
maka hukum itu tidak berlaku bagi Lamekh. Yang berlaku adalah hukuman mati bagi setiap orang yang
dipandang telah menyakiti Lamekh ! Dengan demikian Lamekh hendak menciptakan hukum baru, yaitu:
pembalasan dendam sampai tuntas dengan menggunakan hukum pedang !
3. Pembalasan dendam yang dikumandangkan Lamekh didasarkan atas pemahaman mengenai dendam
yang tiada batas. Lamekh berkata: Jikalau kepada Kain dibalaskan 7 kali lipat, maka kepada Lamekh harus
70 kali 7 kali lipat. Kalimat ini dapat diartikan sebagai berikut :

17
tafsir perjanjian lama
a. Dendam yang harus dibalaskan kepada Kain harus bernilai sempurna40. Aturan ini didapat
oleh Kain dari YHWH (Kej. 4:15), dengan demikian Kain masih hidup dalam otoritas YHWH.
b. Namun dendam yang harus dibalaskan kepada Lamekh haruslah bernilai lebih dari
sempurna ! Dalam arti jika seseorang merasa disakiti oleh orang lain, maka orang tersebut layak untuk
menuntaskan dendamnya melalui cara membunuh. Segala sesuatu harus diselesaikan di ujung pedang,
dan darah harus mengalir sampai tuntas apabila orang berhadapan dengan dendam ! Jikalau demikian
halnya, maka Lamekh tidak hidup dalam otoritas YHWH, ia hidup di dalam otoritasnya sendiri. Lamekh
yang membuat hukum, karena hukum itu adalah Lamekh !

c.3. Kej. 4:25-26 = Mengganti Budaya Kekerasan melalui Pergaulan dengan YHWH
Kisah ini dapat dipandang sebagai bentuk anti-klimaks dari cerita sebelumnya. Bila kisah sebelumnya
menggambarkan intensitas cerita yang mencapai titik kulminasi, maka melalui kisah ini hendak digambarkan
anti-klimaksnya. Dengan cepat (dan terkesan dipotong begitu saja) cerita dialihkan ke arah cerita yang sama
sekali lain. Wajarlah apabila banyak orang berpendapat bahwa bagian dari kisah ini merupakan bagian yang
terpisah dari kisah sebelumnya.
Kisah dibuka dengan laporan mengenai Adam menyetubuhi istinya. EG Singgih41 mengungkapkan
bahwa hal inilah (persetubuhan Adam dan Hawa) yang seringkali dilaporkan oleh narator setelah peristiwa
keluarnya Adam dan Hawa dari Eden, meskipun diakui dan diduga bahwa persetubuhan itu sebenarnya sudah
dilakukan pada saat mereka masih berada di Eden.. Bagi penulis, hal ini menarik, karena dalam pasal 4 redaktor
Y mengungkapkan aktivitas persetubuhan ini sebanyak 3 kali.42 Jikalau demikian, ada apa ini ? Menurut

penulis, penghadiran kata [dy (mengenal dalam daging – bersetubuh – LAI = menghampiri) dilakukan oleh
redaktor Y dalam rangka menggambarkan sebuah bentuk genealogi (daftar silsilah). Jika demikian nuansa dan
makna persetubuhan menurut redaktor Y selalu mengacu pada makna prokreasi. Tidak ada makna lain di dalam
makna persetubuhan kecuali prokreasi !
Kisah ini dilanjutkan dengan hadirnya Syeth, yang dipandang sebagai pondasi/dasar yang teguh bagi
Hawa.43 Hadirnya Syeth membawa harapan baru bagi Hawa, karena ia dipandang sebagai pengganti Habel.
Menjadi pondasi berarti mengakibatkan Hawa memiliki kemauan untuk melanjutkan kehidupan yang diberikan

40
Ingat: angka 7 adalah angka sempurna, maka setiap kerugian pada mata harus dibalas dengan mata juga; gigi ganti gigi, dll
(Kel. 21:24-25).
41
EG Singgih, “Di Sebelah Timur ...”, h. 147-148
42
Bdk. dengan laporan yang diberikan oleh redaktor P mengenai genealogi. Umumnya redaktor P sama sekali tidak
menyinggung tentang aktivitas persetubuhan bila ia berbicara mengenai genealogi. Kemungkinan (dugaan penulis) hal ini berkaitan
erat dengan masalah “tabu – tidak tabu” sebuah terminologi dipakai. Redaktor P, yang berasal dari kalangan imam, agaknya enggan
menggunakan kata persetubuhan (yang berbau seksualitas) karena itu tidak merupakan bagian dari ritual. Sedangkan bagi redaktor Y,
aktivitas ini sangat penting untuk menghasilkan keturunan (prokreasi).
Perhatikan kata yli-tv' yang lebih baik diterjemahkan dengan menjadi dasar bagiku (Hawa), dengan demikian Hawa
43

kembali memiliki harapan untuk hidup setelah kejadian dibunuhnya Habel oleh Kain.
18
tafsir perjanjian lama
oleh YHWH. Syeth juga dipandang sebagai [r;z, (benih - kehidupan 44
) yang baru, yang mampu menghibur
serta menumbuhkan pengharaan bagi kehidupan. Harapan terhadap kehidupan semakin tampak, ketika Enosh

(vAna/ = manusia pada umumnya) lahir; dan redaktor Y mengatakan bahwa semenjak jaman Enosh,
manusia mulai memanggil nama YHWH.
Terhadap pernyataan terakhir, timbul pertanyaan: Bukankah nama YHWH baru dikenal dan dipanggil
pada jaman Musa (Kel. 3:14 dan 6:3)? Mengapa dalam bagian ini digambarkan bahwa manusia telah
mengenal dan memanggil nama YHWH ? Mana yang benar dari antara keduanya ? Menjawab pertanyaan ini,
penulis setuju dengan argumentasi yang diberikan oleh Speiser45 yang mengatakan bahwa Kej 4:26 hendak
menegaskan bahwa pada saat itu manusia mulai memanggil nama YHWH, sedangkan dalam Kel. 3:14 (hasil
redaktor E) dan Kel. 6:3 (hasil redaktor P) hendak mengatakan bahwa pada saat itu mereka mengenal nama
dari YHWH. Tampak di sini perbedaan nuansa. Bila redaktor Y menunjuk pada pemanggilan nama YHWH
sebagai sebuah pribadi, maka redaktor E dan P hendak mengatakan bahwa arti nama pribadi dari YHWH itu
baru dikenal (yaitu: Ehyeh Asyer Ehyeh). Tentu tekanannya berbeda !
Kembali pada ayat 26 di atas, penulis melihat bahwa kata vAna/ sengaja digunakan oleh redaktor Y,

dimana kata ini memiliki kesejajaran dengan kata mda (bdk. dengan Mz. 8:4).46 Penulis menangkap kesan
bahwa redaktor Y hendak mengisahkan mengenai kegagalan Adam dalam membangun keturunannya melalui
garis Kain, sehingga dibangunlah garis keturunan baru dari Syeth untuk menggambarkan adanya pembaharuan
ciptaan (re-creation). Dengan kata lain, semenjak jaman Enosh, jaman baru telah dimulai yaitu jaman
pembaharuan ciptaan yang ditandai dengan hidup bergaul dan memanggil nama YHWH. Jika dalam jaman
Lamekh YHWH telah diabaikan, maka dalam jaman baru ini nama dan posisi YHWH dikembalikan sebagai
yang utama dan terutama dalam hidup manusia.47
Di atas penulis telah menegaskan meskipun ayat 25-26 kelihatannya terpisah dengan bagian sebelumnya
(ayat 17-24), namun tetap merupakan satu kesatuan (ada benang merahnya). Kalau begitu, dimana letak
kesatuannya ? Bagi penulis, letak kesatuan (benang merah) bagian cerita ayat 17-24 dengan ayat 25-26 adalah
pada maksud dan tujuan narator mengisahkan kisah ini. Sejak awal (ayat 17) narator mengajak pembaca untuk
menyaksikan sebuah kebudayaan yang dibangun di atas dasar kekerasan, kesombongan dan keterpisahan
dengan YHWH. Kemudian budaya ini mencapai klimaksnya saat nyanyian dendam dikumandangkan dengan
pongah. Namun mendadak cerita ini distop/dihentikan dengan begitu saja oleh narator, dan kemudian diganti
dengan kisah yang menggambarkan pengharapan, pembaharuan ciptaan dan pergaulan dengan YHWH. Upaya
menghentikan kisah dendam – oleh narator – dapat dilihat sebagai upaya narator untuk mengatakan bahwa
44
Kata ini adalah tambahan dari penulis.
45
Argumentasi selengkapnya dapat dibaca dalam EA Speiser, Genesis ..., h. 37.
46
R. Davidson, Genesis ..., h. 58.
47
Pengertian dari kalimat: memanggil nama YHWH dapat dimengerti sebagai bentuk peribadatan kepada YHWH. Bdk.
dengan W. Lempp, Kejadian ..., h. 124.
19
tafsir perjanjian lama
segala macam kisah kekerasan haruslah dihapus dari kehidupan manusia dan kemudian diganti dengan budaya
baru, yaitu budaya “pergaulan” dengan YHWH. Penghapusan budaya kekerasan dapat dilakukan melalui
kesadaran akan adanya harapan di dalam pembaharuan ciptaan yang didasarkan atas pemahaman dan pergaulan
yang benar dengan YHWH. Oleh sebab itu, kisah Kej. 4:17-26 ini merupakan kisah yang hendak
menggambarkan mengenai upaya apa yang harus dibangun oleh manusia dalam menghentikan budaya
kekerasan.
Selain itu narator pun memiliki tujuan agar budaya dendam yang telah dilegitimasi oleh keturunan
Lamekh harus diganti dengan upaya manusia untuk membangun hubungan yang lebih baik dengan YHWH.
Budaya dendam yang diciptakan berarti sudah melupakan YHWH dan menempatkan YHWH dalam urutan
yang “kesekian” dalam pengambilan keputusan, hanya dapat diatasi apabila manusia mau berbalik kembali
untuk menempatkan YHWH sebagai pusat kehidupan, baik itu dalam hal pengambilan keputusan ataupun
dalam setiap aspek kehidupan. Dengan demikian budaya dendam dapat diatasi dengan cara hidup dalam
pergaulan dengan YHWH yang berarti manusia hidup dalam pola YHWH-sentris (Teosentris).

4. Relevansi

1. Jika kita kembali pada permasalah awal (lih. bagian 1) yang hendak berbicara mengenai kekerasan;
maka melalui kisah yang baru saja kita tafsirkan bersama di atas dapat kita jumpai bahwa tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh seseorang bisa saja berasal dari dorongan dalam dirinya sendiri (mengikuti
teori Freud), namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa hal itu bisa terjadi karena dorongan dari luar (bdk.
dengan nyanyian Lamekh, dimana nafsu membunuhnya muncul akibat stimulasi dari rasa sakit yang
dialaminya akibat perlakuan orang lain). Dengan demikian, segala bentuk tindak kekerasan memiliki akar
dari dalam diri manusia yang mendapatkan stimuli dari luar diri manusia.
Tindak kekerasan di Indonesia yang terjadi dewasa ini pun – menurut penulis – berawal dari dalam diri
yang mendapatkan stimuli dari luar (bisa berupa masalah di sekitar perbedaan agama, masalah
ketimpangan sosial, masalah kepentingan, bahkan dalam wujud ideologi). Bisa kita runtut kejadiannya
masing-masing; misalkan saja kasus di Ambon dimana awal masalahnya adalah mengenai ketimpangan
sosial dan kecemburuan sosial, namun berkembang sampai demikian hebat akibat ada “stimuli lain” yang
ikut bermain, yaitu: kepentingan politis dan agama. Manusia yang pada dasarnya memiliki insting kematian,
kemudian mendapatkan stimuli yang tepat dengan insting tersebut, maka tindakan yang ditumbuhkan pun
akan mengikuti insting kematiannya. Akal sehat telah hilang, karena stimuli terhadap akal sehat (yang
didasarkan atas insting kehidupan) tidak dijumpai.
Hal ini jugalah yang menimpa Kain dan keturunannya. Kain dan keturunannya telah mengembangkan
insting kematian mereka sampai pada puncaknya, sehingga budaya yang mereka bangun dipenuhi dengan

20
tafsir perjanjian lama
kekerasan. Bahkan lebih dari pada itu, Lamekh kemudian menempatkan insting kematian manusia sebagai
pusat dari kehidupan, sehingga jaman Lamekh dapat dikatakan sebagai jaman yang memuja kematian dan
tidak menghargai kehidupan. Siapa kuat, dia yang bertahan – survival at the fittest. Agaknya budaya
Lamekh ini dekat dengan budaya kita saat ini, dimana manusia Indonesia lebih mengasah insting kematian
mereka guna mempertahankan kehidupan. Apabila manusia mempertahankan kehidupan, bukan berarti
bahwa ia mencintai kehidupan; karena manusia dewasa ini bertahan untuk hidup agar dapat merengkuh
kekuasaan setinggi-tingginya. Dan bila kekuasan itu telah diperoleh, maka ia dapat mengatur, menentukan
dan menjadi hukum bagi kehidupan. Bukankah hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya manusia telah
dikuasai oleh insting kematiannya, dan bukan insting kehidupan ?!
Untuk itu kita harus mengaca pada kisah selanjutnya, yaitu ayat 25-26. Bagian ini hendak
mengembalikan manusia untuk memperhatikan dan mengasah insting kehidupannya. Dengan
mengembangkan insting kehidupan, manusia akan didorong untuk mencintai kehidupan. Mencintai
kehidupan juga berarti menempatkan hidup dan SANG PEMBERI HIDUP (YHWH) sebagai pusat
kehidupan. Hal ini hendak menunjukkan bahwa upaya untuk menumbuhkan kembali insting kehidupan
manusia dapat dilakukan dengan cara mengarahkan hidup dan tujuan hidup pada kehidupan itu sendiri.
Dengan demikian orientasi kehidupan yang diciptakan melalui kisah ini terletak pada: harapan dan
pembaharuan ciptaan. Apabila harapan dan pembaharuan ciptaan itu didapatkan, maka upaya menghentikan
kekerasan dapat segera dijalankan. Dan harapan serta pembaharuan ciptaan itu hanya dapat diperoleh
apabila manusia mau memperbaharui pergaulannya dengan YHWH. Kekuatan utama manusia adalah
YHWH; bila manusia membalikkan dirinya dari hadapan YHWH, maka ia menjadi pemuja kekerasan, tetapi
bila ia mau menghadapkan dirinya kepada YHWH dan bergaul denganNya, maka ia akan menjadi pemuja
YHWH, pemuja cinta dan pencinta kehidupan.
Upaya yang bisa dilakukan dalam rangka menghadapi dan menyikapi kekerasan yang terjadi di
Indonesia adalah upaya untuk menumbuhkan rasa cinta dan mengasah insting kehidupan manusia Indonesia.
Diperlukan sentuhan-sentuhan cinta dalam setiap aspek kehidupan, sehingga melalui sentuhan ini insting
kehidupan manusia Indonesia selalu mendapat stimuli dan kemudian berkembang dengan pesat. Perlu upaya
untuk bersama-sama menghentikan kekerasan; bersama-sama untuk membalikkan arah dan menghadapkan
wajah manusia Indonesia kepada Wajah Tuhan, agar manusia Indonesia dapat merasakan tatapan cinta
Tuhan yang menjadi pendorong utama dalam membangun kehidupan yang didasarkan atas cinta kasih.
2. Melalui kisah ini hendak digambarkan bahwa budaya kekerasan yang terjadi dewasa ini hanya dapat
dieliminasi dan diminimalisasi dengan cara menumbuhkan budaya baru, yaitu budaya pergaulan. Apabila
dalam ayat 26 dikatakan bahwa manusia hidup bergaul dengan YHWH, hal ini sebenarnya juga
berimplikasikan bahwa manusia dalam kehidupannya pun harus hidup bergaul dengan sesamanya.

21
tafsir perjanjian lama
Pergaulan dan perjumpaan manusia dengan YHWH hanya bisa terjadi dalam pergaulan dan perjumpaan
manusia dengan sesamanya (bdk. dengan pandangan pan-entheisme). Dalam pergaulan ini akan tercipta
interaksi yang baik, dimana masing-masing pribadi dapat melihat bahwa melalui pergaulan dan komunikasi
dengan sesamanya, mereka pun sebenarnya sedang membangun pergaulan dan komunikasi dengan YHWH;
dengan perkataan lain: YHWH hanya dapat dijumpai dalam pergaulan dan komunikasi dengan sesama.
Melalui kisah mengenai upaya YHWH (yang tersembunyi) untuk mengeliminasi dan meminimalisasi
budaya kekerasan lewat pembangunan budaya seni, budaya kerajinan dan penghadiran nama serta makna
nama Naamah, hal ini berarti bahwa budaya kekerasan dapat diatasi dengan cara mengganti budaya tersebut
dengan budaya yang baru, yaitu budaya yang bernuansakan kelembutan dan kegembiraan, sehingga
kehidupan terisi dengan hal-hal yang bernuansa manis dan menyenangkan. Oleh sebab itu dibutuhkan upaya
dalam diri manusia untuk “bekerja sama dengan YHWH yang tidak tampak” untuk bisa mengupayakan dan
menumbuhkembangkan budaya baru tersebut, agar kehidupan baik yang telah diciptakan oleh YHWH pada
awal penciptaan dapat dimunculkan kembali.
Sengaja penulis menghadirkan istilah “manusia yang bekerja sama dengan YHWH” untuk
mengupayakan dan menumbuhkembangkan budaya baru, karena penulis melihat bahwa YHWH telah
memerintahkan manusia untuk berupaya dan berjuang untuk menata kehidupan menjadi baik kembali, dan
di dalam upaya manusia tersebut YHWH selalu terlibat dan melibatkan diri untuk membuat tatanan
kehidupan kembali menjadi baik seperti sedia kala (saat penciptaan awal terjadi). Oleh sebab itu setiap
upaya untuk mengeliminasi, meminimalisasi dan mengganti budaya kekerasan dengan budaya yang lebih
baik adalah upaya yang dilakukan oleh manusia bersama-sama dengan YHWH.
Dalam hal ini penulis tidak berpendapat bahwa budaya kekerasan harus diganti dengan kehidupan tanpa
budaya karena kehidupan itu sendiri sudah merupakan budaya. Yang penulis maksudkan adalah bagaimana
mengganti budaya kekerasan yang sedang berlangsung dengan cara menumbuhkembangkan budaya baru
yang dipenuhi dengan seni, kreativitas dan selalu diwarnai kegembiraan dan nuansa kehidupan yang manis.
Karena dengan penumbuhkembangan budaya baru tersebut, maka secara pasti budaya kekerasan dapat
dieliminasi, diminimalisan dan bahkan dipinggirkan sehingga pada akhirnya dilupakan manusia.

Daftar Pustaka
Amalados, Michael.
2001 Teologi Pembebasan Asia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Barth, Chr.
1984 Theologia Perjanjian Lama 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Blommendaal, J.
1983 Pengantar kepada Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Botterweck, G. Johannes, dkk (ed.),

22
tafsir perjanjian lama
2001 Theological Dictionary of Tthe Old Testament (TDOT) Vol. IX& XI
Michigan/Cambridge: William B. Eerdmans Publishing Company.
Brown, Robert McAfee.
1987 Religion and Violence Philadelphia: The Westminster Press.
Brueggemann, Walter
1982 Genesis. Atlanta: John Knox Press.
Davidson, Benjamin
1970 The Analytical Hebrew and Chaldee Lexicon. Michigan: Regency
Reference Library
Davidson, Robert
1973 Genesis 1-11. Cambridge: The University Press
Gowan, Donald E.
1988 From Eden to Babel. Edinburgh: The Handset Press, Ltd.
Fromm, Erich
2001 Akar Kekerasan (terjemahan dari buku: The Anatomy of Human
Destuctiveness). Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Kittel, Rudolf
1993. Biblia Hebraica Stuttgartensia Stuttgart: Deutsche Bibelgesellschaft.
Lembaga Alkita Indonesia
1980 Alkitab Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.
Leks, Stefan.
1986 Yesus Kristus Menurut Keempat Injil, jilid 1 Yogyakarta: Kanisius
Lempp, Walter
1987 Tafsiran Alkitab Kejadian 1-1 – 4:26 Jakarta: BPK Gunung Mulia
Nunuk, A.
1998 Gerakan Anti kekerasan terhadap perempuan. Jogyakarta: Kanisius.
Singgih, E.G.
1999 Dunia yang Bermakna. Jakarta: Persetia.
2000 “Di Sebelah Timur Eden” dalam Panggabean, Yusri, dkk. (ed.). Menuju
Manusia Baru Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Speiser, E.A.
1964 Genesis. New York: Doubleday & Company Inc.
Vawter, Bruce
1977 On Genesis, A New Reading New York: Doubleday, 1977
van Wolde, Ellen
1977 Stories of The Beginning. USA: Morehouse Publishing
von Rad, Gerhard
1961 Genesis A Commentary Philadelphia: The Westminster Press
Westermann, Claus
1974 Genesis 1-11 A Commentary. USA: SPCK

23

Anda mungkin juga menyukai