Anda di halaman 1dari 21

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN MARET 2019


UNIVERSITAS HALU OLEO

DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER (DHF)

PENYUSUN:
YUYUN USRATIN , S.Ked
K1A1 11 071

PEMBIMBING:
dr. Dwiana Pertiwi. T. M.Sc., Sp.PD

KEPANITRAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


BLUD RUMAH SAKIT KONAWE
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019

1
BAB I

PENDAHULUAN

Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh


infeksi virus dengue, yang ditandai dengan demam tinggi mendadak 3-14 hari
setelah tergigit nyamuk yang terinfeksi virus dengue. Virus Dengue mempunyai 4
jenis serotipe, yaitu DEN-1, DEN- 2, DEN-3, DEN-4.Di dunia, insidensi DBD
mencapai 390 juta kasus per tahun, dan 96 juta di antaranya bermanifestasi secara
klinis, dengan apapun tingkat keparahannya. (WHO 2018) Dari jumlah tersebut,
sekitar 75% berada di wilayah Asia Pasifik, dan vektor-vektor primer DBD (Aedes
aegypti dan Aedes albopictus) telah tersebar dalam beberapa dekade terakhir akibat
perubahan-perubahan sosial, lingkungan, dan demografik. Di Indonesia, pada tahun
2015, prevalensi DBD mencapai 49,5 per 100.000 penduduk, dan case fatality rate
(CFR) DBD di tahun itu adalah 0,97%. (DIASKES 2018) Penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan luas daerah
penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan
kepadatan penduduk.

Demam berdarah dengue menyebabkan banyak komplikasi, terutama pada


populasi anak-anak, seperti kejang demam dan dehidrasi, hingga terjadinya syok
(dengue shock syndrome, DSS). Tatalaksana DBD berfokus pada meringankan
gejala nyeri, mengendalikan demam, rehidrasi cairan intravena, dan menjaga agar
jangan terjadi perdarahan. (Centers for Disease Control and Prevention, Diakses
2018) Referat ini bertujuan memberikan informasi mengenai DBD kepada para
pemberi layanan kesehatan, terutama para dokter muda,agar tatalaksana DBD dapat
dilakukan dengan sebaik-baiknya demi meminimalisir morbiditas dan mortalitas
akibat DBD.

2
BAB II

A. DEFINISI

Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue


haemorrhagic fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang
disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis
hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga
tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam
berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok. (Sudoyo, 2006).

Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah infeksi akut yang


disebabkan oleh Arbovirus (arthropodborn virus) dan ditularkan melalui gigitan
nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus (Sumarno dkk, 2008 )

Demam dengue atau demam berdarah dengue merupakan penyakit


demam akut yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan
nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus serta memenuhi kriteria WHO
untuk DBD. DBD ditandai dengan demam tinggi mendadak 3-14 hari setelah
tergigit nyamuk yang terinfeksi virus dengue. ( kemenkes 2016. Diaskes 2018)

B. EPIDEMIOLOGI

Demam berdarah dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-


tropis. Resiko terkena DBD pada laki–laki dan perempuan hampir sama, tidak
tergantung jenis kelamin. Kasus cenderung meningkat pada musin penghujan
(Desember-Maret) dan menurun pada musin kemarau (Juni-September). Di
dunia, insidensi DBD mencapai 390 juta kasus per tahun, dan 96 juta di
antaranya bermanifestasi secara klinis, dengan apapun tingkat keparahannya.
(WHO 2018) Dari jumlah tersebut, sekitar 75% berada di wilayah Asia Pasifik,
dan vektor-vektor primer DBD (Aedes aegypti dan Aedes albopictus) telah
tersebar dalam beberapa dekade terakhir akibat perubahan-perubahan sosial,
lingkungan, dan demografik. Di Indonesia, pada tahun 2015, prevalensi DBD

3
mencapai 49,5 per 100.000 penduduk, dan case fatality rate (CFR) DBD di
tahun itu adalah 0,97%. (Kemenkes 2016) Penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di
Indonesia. Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya semakin bertambah
seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk.

C. ETIOLOGI

Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus


dengue, yang termasuk dalam group B arthropod borne virus (arbovirus) dan
sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Flavivirus
merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai
tunggal dengan berat molekul 4x106 (Sudoyo, 2006; Soedarmo, 2012)

Demam dengue atau demam berdarah dengue disebabkan oleh virus


dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Terdapat
4 serotipe virus tipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya
dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Infeksi
serotipe manapun memberi kekebalan seumur hidup terhadap virus tersebut.
Infeksi sekunder dengan serotipe lain atau beberapa infeksi dengan serotipe
berbeda akan menyebabkan demam berdarah dengan bentuk yang parah
(dengue hemorrhagic fever, DHF/dengue shock syndrome, DSS). (WHO 2011)

D. PATOGENESIS
Patogenesis terjadinya demam berdarah hingga saat ini masih
diperdebatkan. Dua teori yang banyak dianut pada DHF dan DSS adalah
Hipotesis immune enhancement dan hipotesis infeksi sekunder (teori
secondary hetelogous dengue infection). Berdasarkan data yang ada,
terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme Imunopatologis berperan dalam
terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue (Sudoyo,
2006)
Respon imun yang diketahui berperan dalam pathogenesis DHF adalah:

4
a. Respon humoral berupa pembentukan antibody yang berperan
dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi
komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibody. Sel
target virus ini adalah sel monosit terutama dan sel makrofag
sebagai tempat replikasi.
b. Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan
dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. TH1 akan
memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin. Sedangkan
TH2 memproduksi IL-4, IL-5,IL-6,dan IL-10.
c. Monosit dan makrofag berferan dalam fagositosis virus dengan
opsonisasi antibody.

Aktifasi komplemen oleh kompleks imun yang menyebabkan


terbentuknya C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 yang akan
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan
merembesnya plasma dari ruang intravaskuler ke ruang ekstravaskuler
(Sudoyo dkk, 2006 ; Rejeki dan Adinegoro, 2004)

Hipotesis ”the secondary heterologous infection” yang di rumuskan


oleh Suvatte,1977. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue
yang berlainan pada seorang pasien, respon antibody anamnestik yang akan
terjadi dalam beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi
dengan menghasilkan titer tinggi antibody IgG anti dengue (Rejeki dan
Adinegoro, 2006)

5
Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara
tidak langsung bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus
heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DHF
berat. Antibodi herterolog yang telah ada akan mengenali virus lain
kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan Fc
reseptor dari membran leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari
proses ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok (WHO, 2016 ; BHJ, 2016).

E. MANIFESTASI KLINIS

Spektrum infeksi virus dengue dapat bervariasi, antara asimptomatik


atau berupa demam yang tidak khas (sindrom virus), demam dengue (DF),
demam berdarah dengue (DHF), atau sindrom syok dengue (DSS). (Hadinegoro
SR. dkk .2012 )

6
Gambar 2.2 Manifestasi Infeksi Virus Dengue (4)

1. Demam ringan (undifferentiated febrile illness)

Bayi, anak dan orang dewasa yang telah terinfeksi virus dengue
pertama kali (infeksi primer) mungkin berkembang menjadi demam ringan
yang sulit dibedakan dengan infeksi virus. Ruam-ruam makulopapular
mungkin dapat menyertai demam atau muncul selama masa penurunan
suhu. Gejala saluran nafas atas dan pencernaan umumnya juga dapat
ditemui. (Hadinegoro SR. dkk .2012)

2. Demam dengue (Dengue Fever/DF)

Masa tunas berkisar antara 3-5 hari. Awal penyakit biasanya


mendadak, disertai gejala prodormal, seperti nyeri kepala, nyeri berbagai
bagian tubuh, anoreksia, rasa menggigil, dan malaise. Dijumpai trias
sindrom, yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota badan, dan timbulnya
ruam (rash). Ruam timbul 6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali, yaitu
pada hari ke 3-5 sakit dan berlangsung selama 3-4 hari. Ruam bersifat
makulopapular yang menghilang dengan tekanan. Ruam terdapat di dada,
tubuh, serta abdomen, menyebar ke anggota gerak dan muka. Pada lebih
dari separuh pasien, gejala klinis timbul mendadak, disertai kenaikan suhu,
nyeri kepala hebat, nyeri retroorbita, punggung, otot, sendi disertai rasa

7
menggigil. Dapat pula dijumpai bentuk kurva suhu menyerupa pelana kuda
atau bifasik. Anoreksia dan obstipasi sering dilaporkan, juga nyeri
epigastrium disertai nyeri kolik. Gejala klinis lain yang sering adalah
fotofobia, keringat bercucuran, suara serak, batuk, epistaksis, dan disuria.
Kelainan darah tepi demam dengue adalah leukopenia selama periode pra
demam dan demam, neutrofilia relatif dan limfopenia, disusul oleh
neutropenia relatif dan limfositosis pada periode puncak penyakit dan pada
masa konvalesens. Eosinofil menurun atau menghilang pada permulaan dan
pada puncak penyakit, hitung jenis neutrofil bergeser ke kiri selama periode
demam, sel plasma meningkat pada periode puncak penyakit disertai
trombositopenia. Darah tepi menjadi normal kembali dalam 1 minggu.
(Hadinegoro SR. dkk .2012)

3. Demam berdarah dengue (Dengue hemorrhagic fever/DHF)

Ditandai dengan 4 manifestasi klinis, yaitu demam tinggi,


perdarahan, terutama perdarahan kulit, dan kegagalan sirkulasi. Fenomena
patofisiologi utama yang membedakan DF dan DHF adalah peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma,
trombositopenia, dan diatesis hemoragik. Pada DHF terdapat perdarahan
kulit, uji torniquet positif, memar, dan hematom pada tempat pengambilan
darah vena. Petekie halus yang tersebar di anggota gerak, muka, aksila
seringkali ditemukan pada masa dini demam. Epistaksis dan perdarahan
gusi terkadang dijumpai, sedangkan perdarahan 12 saluran cerna hebat agak
jarang dan biasanya timbul setelah syok yang gagal diatasi. Perdarahan lain,
seperti perdarahan subkonjungtiva kadang ditemukan. Pada masa
konvalesens seringkali ditemukan eritema pada telapak tangan/telapak kaki.
( Hadinegoro SR. dkk .2012)

4. Sindrom syok dengue (Dengue shock syndrome / DSS)

Pada DBD derajat syok, setelah demam berlangsung selama


beberapa hari, keadaan umum tiba-tiba memburuk, yang biasanya terjadi

8
pada saat atau setelah demam menurun, yaitu antara hari sakit ke 3-7. Pada
sebagian besar kasus ditemukan tanda kegagalan peredaran darah, kulit
teraba lembab dan dingin, sianosis sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan
lambat. Anak tampak lesu, gelisah, dan secara cepat masuk dalam fase syok.
Pasien seringkali mengeluh nyeri di daerah perut sesaat sebelum syok. Nyeri
perut hebat seringkali mendahului perdarahan gastrointestinal. Nyeri di
daerah retrosternal tanpa sebab jelas dapat memberikan petunjuk adanya
perdarahan gastroinstestinal yang hebat. Syok yang terjadi selama periode
demam biasanya mempunyai prognosis buruk. (Hadinegoro SR. dkk .2012)

Syok ditandai dengan :

 Kulit pucat, dingin dan lembab, terutama pada ujung jari kaki, tangan
dan hidung, dan kuku menjadi biru. Hal ini disebabkan oleh sirkulasi
yang tidak memadai yang menyebabkan peningkatan aktivitas saraf
simpatis secara refleks.
 Anak yang semula rewel, cengeng dan gelisah lambat laun
kesadarannya menurun menjadi apatis, sopor, dan koma. Hal ini
disebabkan kegagalan sirkulasi serebral.
 Perubahan nadi, baik frekuensi maupun amplitudonya. Nadi menjadi
cepat dan lembut sampai tidak dapat diraba karena kolaps sirkulasi.
 Tekanan nadi (pulse pressure) menyempit menjadi 20 mmHg atau
kurang.
 Tekanan sistolik pada anak menurun menjadi 80 mmHg atau kurang.
 Oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang
memasuki arteri renalis.

Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan trombositopenia dan


hemokonsentrasi. Jumlah trombosit < 100.000/Ul ditemukan antara hari
sakit ke 3-7. Peningkatan kadar hematokrit merupakan bukti adanya
kebocoran plasma, walaupun dapat terjadi pada kasus derajat ringan
meskipun tidak sehebat keadaan syok. Hasil laboratorium lain yang sering
ditemukan ialah hiponatremia, hipoproteinemia, kadar transaminase serum

9
dan ureum darah meningkat. Pada beberapa kasus ditemukan asidosis
metabolik. Jumlah leukosit bervariasi antara leukopenia dan leukositosis.
Kadang ditemukan albuminuria yang bersifat sementara. (Hadinegoro SR.
dkk .2012)

5. Expanded Dengue Syndrome

Kasus infeksi dengue dengan manifestasi tidak lazim tidak jarang


terjadi pada anak dan umumnya berhubungan dengan keterlibatan beberapa
organ seperti hepar, ginjal, jantung, dan gangguan neurologis. Manifestasi
tidak lazim dikaitkan dengan ko-infeksi, ko-morbiditas, atau komplikasi
syok yang berkepanjangan (prolonged shock) disertai kegagalan organ
(organ failure). Pada ensefalopati seringkali dijumpai gejala kejang,
penurunan kesadaran, dan paresis transien. Ensefalopati dengue dapat
disebabkan oleh perdarahan atau oklusi pembuluh darah. Infeksi dengue
berat dapat disebabkan oleh kondisi ko-morbid pada pasien seperti usia
bayi, obesitas, lansia, ibu hamil, ulkus peptikum, menstruasi, penyaki
temolitik, penyakit jantung bawaan, penyakit kronik seperti DM, hipertensi,
asma, gagal ginjal kronik, sirosis, pengobatan steroid, atau NSAID.
(Hadinegoro SR. dkk .2012)

10
Gambar 2.3 Manifestasi Expanded Dengue Syndrome (4)

F. KRITERIA DIAGNOSIS
Diagnosis DHF ditegakkan berdasarkan Kriteria diagnosis menurut WHO
tahun 1997 terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris (Sudoyo dkk, 2006)

Kriteria klinis :
 Demam tinggi mendadak,tanpa sebab yang jelas, atau riwayat demam
akut, berlangsung terus-menerus selama 2-7 hari, biasanya bifasik (plana
kuda).
 Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut :
- Uji torniquet positif. - Ptekie, ekimosis, purpura.

11
- Perdarahan mukosa ( epitaksis atatu perdarahan gusi )
- Hematemesis atau melena.
 Pembesaran hati
 Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi,
hipotensi,kaki dan tangan dingin,kulit lembab, dan pasien tampak gelisah.
Kriteria Laboratoris :
 Trombositopenia ( jumlah trombosit <100.000/Ul)
 Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma)
sebagai berikut :
- Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur
dan jenis kelamin.
- Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan sebelumnya.
- Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau
hipoproteinemia.)

Gambar 2.4 Klasifikasi Infeksi DBD dan Pengelompokan Keparahan DBD

12
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka
demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin,
hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat
adanya limfositosis relative disertai gambaran limfosit plasma biru.
Ada 4 jenis pemeriksaan laboratorium yang digunakan yaitu :
 Uji serologi:deteksi antibodi IgG dan IgM, uji HI
 Isolasi virus
 Deteksi RNA/DNA dengan tehnik Polymerase Chain Reaction
(PCR).
 Deteksi antigen (pemeriksaan NS-I) Lebih Spesifisitas 100%
dan sensitivitas 92.3%

Pemeriksaan Dengue NSl Antigen adalah pemeriksaan baru


terhadap antigen non struktural-I dengue (NSl) yang dapat mendeteksi
infeksi virus dengue dengan lebih awal bahkan pada hari pertama onset
demam.

Pemeriksaan NS-I perlu dilakukan pada pasien yang megalami


gejala Demam/klinis lain < 3 hari, dikarenakanEarly detection sangatlah
penting untuk menentukan pengobatan (terapisupportif) yang tepat (cegah
Resistensi antibiotik), serta pemantauanpasien dengan segera.

Tanpa meninggalkan pemeriksaan Dengue serologi karena


pemeriksaaan NS1 bersifat komplementer (saling menunjang),
terkhususapabila didapatkan hasil Ns1 (-) dan gejala infeksi tetap muncul.

Penggunaan Dengue IgG / IgM juga diperlukan bagi dokter


penganut paham "infeksi sekunder dapat menyebabkan infeksi yang lebih
berat dan memerlukan penanganan yang berbeda dengan infeksi primer

13
Dengan adanya Spesifisitas 100% dan sensitivitas 92.3%. Dengan
demikian pomakaian pemeriksaan ini akan dapat meningkatkan sensitivitas
dan spesifisitas untuk diagnosis infeksi dengue

b. Pemeriksaan radiologis
Pada foto thorak didapati efusi pleura, terutama pada hemitoraks
kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat. Pemeriksaan foto
rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan ( pasien
tidur pada sisi badan sebelah kanan ).
H. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding dari demam dengue meliputi spektrum penyakit yang


luas yaitu:

1. Infeksi arbovirus  Chikungunya virus (sangat sering mis-diagnosis dengan


dengue di Asia Tenggara)

2. Infeksi virus lainnya  Measles, rubella and eksantem viral lainnya: Epstein-
Barr Virus (EBV), enterovirus, influenza, hepatitis A, Hantavirus.

3. Infeksi bakteri  Meningococcaemia, leptospirosis, tifoid, meliodosis,


penyakit rickettsia, demam scarlet.

4. Infeksi parasit  Malaria

Diagnosis banding dari demam berdarah dengue pada awal fase demam
meliputi spektrum penyakit yang luas seperti infeksi viral, bakterial dan
protozoa. Manifestasi perdarahan seperti tes torniket yang positif dan
leukopenia (<=5000 sel/mm3 ) mengarah ke infeksi dengue. Adanya
trombositopenia bersamaan dengan hemokonsentrasi membedakan DHF/DSS
dari penyakit yang lain. Pada pasien yang tidak terdapat hemokonsentrasi
bermakna akibat pendarahan yang berat dan atau terapi cairan intravena awal,
terdapatnya efusi pleura atau asites mengindikasinya adanya perembesan
plasma. Hipoproteinemia atau albuminemia menandakan adanya perembesan

14
plasna. Laju endap darah (LED) yang normal juga membantu membedakan
dengue dari infeksi bakteri dan syok septik. Harus diperhatikan bahwa pada
masa syok pun, LED pada dengue tetap <10mm/jam (WHO 2011)

I. PENATALAKSANAAN

Pada prinsipnya terapi DHF adalah bersifat suportif dan simtomatis.


Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat
kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah
bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapicairan, hal terpenting yang
perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris.
Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya
terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7
proses kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari
ruang interstitial ke intravascular (Rejeki dan Adinegoro, 2004).
Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama
penatalaksanaan DHF dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada
protokol WHO ( Sudoyo dkk, 2006 ; Rejeki dan Hadinegoro dkk, 2004 ;
Isnar, 2016 )

Protokol ini terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut :

1. Penanganan DHF dewasa tanpa syok.


Seorang yang tersangka menderita DHF dilakukan pemeriksaan
haemoglobin, hematokrit, dan trombosit, bila :
 Hb, Ht, dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000,
pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke
poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya ( dilakukan pemeriksaan Hb,
Ht, lekosit dan trombosit tiap 24 jam ) atau bila keadaan penderita
memburuk segera kembali ke instalansi gawat darurat.
 Hb, Ht normal dengan trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat.

15
 Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan
dirawat.
2. Pemberian cairan pada tersangka DHF dewasa di ruang rawat.
Pasien yang tersangka DHF tanpa perdarahan spontan dan masif dan
tanpa syok maka diruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan
jumlah seperti rumus berikut ini : Volume cairan kristaloid per hari yang
diperlukan, sesuai rumus berikut :

1500 + (20 x( BB-20) ml

Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, HT tiap 24 jam :

 Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit <100.000 jumlah


pemberian cairan tetap, tetapi pemantauan Hb, Ht, trombo dilakukan
tiap 12 jam.

 Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit >20% dan trombosit


<100.000 maka Pemberian cairan sesuai dengan protokol
penatalaksanaan DHF dengan peningkatan Ht >20%

3. Penatalaksanaan DHF dengan peningkatan Ht>20%.

16
4. Penatalaksanaan Perdarahan spontan pada DHF dewasa

Perdarahan spontan dan masif pada penderita DHF dewasa


adalah : perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali, perdarahan
saluran cerna (henatemesis dan melena atau hematokesia), perdarahan
saluran kencing (hematuria), 18 perdarahan otak atau perdarahan
tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4- 5 ml/kgBB/jam.

5. Tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa.


Bila kita berhadapan dengan sindroma syok dengue pada dewasa
(SSD) maka hal pertama yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus
segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan intravaskular yang
hilang harus segera dilakukan. Angka kematian pada sindrom syok
dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DHF tanpa
renjatan, dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DHF
mendapatkan pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan tidak tepat
termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda renjatan dini,
dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat ( Sudoyo dkk, 2006 ;
Rejeki dan Adinegoro, 2004)
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang
diberikan. Selain resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-
4liter/menit. Pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan
darah perifer lengkap, hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium,
kalium dan klorida, serta ureum dan kreatinin.
Fase awal:
 Cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20ml/kg/bb dan di evaluasi
selama 15-30menit bila renjatan telah teratasi, jumlah cairan
dikurangi menjadi 7ml/kg/bb/jam
 Jika dalam waktu 60-120menit keadaan tetap stabil pemberian
cairan diturunkan menjadi 3ml/kg/bb/jam

17
 Dan bila 24-48jam setelah renjatan teratasi TTV dan hematokrit
tetap stabil serta diuresis cukup, pemberian cairan infus bisa
dihentikan
Menurut Sudoyo dkk (2006) kriteria memulangkan pasien,
apabila memenuhi semua keadaan dibawah ini :
1. Tampak perbaikan secara klinis
2. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
3. Tidak dijumpai distress pernafasan (efusi pleura atau asidosis)
4. Hematokrit stabil
5. Jumlah trombosit cendrung naik > 50.000/nl
6. Tiga hari setelah syok teratasi
7. Nafsu makan membaik
J. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi biasanya merupakan kelanjutan dari
keadaan syok, seperti asidosis metabolic, perdarahan yang dapat
menyebabkan DIC dan multi organ failure seperti disfungsi hati dan ginjal.
Yang lebih penting, terdapat komplikasi akibat terapi cairan yang
berlebihan, menyebabkan terjadinya efusi yang massif yang dapat
menyebabkan depresi dari pernapasan, oedem pulmonal hingga gagal
jantung. Kelainan elektrolit dan metabolik juga dapat ditemui seperti
hipoglikemia, hiponatremia, hipokalsemia dan hiperglikemia
Terdapat berbagai komplikasi pada pasien dengan DHF yaitu
sebagai berikut :
1. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DHF dengan maupun tanpa syok
2. Kelainan ginjal berupa gagal ginjal akut akibat syok berkepanjangan
3. Edema paru, akibat over loading cairan (Sudoyo, 2006)
K. PENCEGAHAN

Dalam penanganan DBD, peran serta masyarakat untuk menekan kasus


ini sangat menentukan. Oleh karenanya program Pemberantasan Sarang

18
Nyamuk (PSN) dengan cara 3M Plus perlu terus dilakukan secara berkelanjutan
sepanjang tahun khususnya pada musim 26 penghujan.

Program PSN yaitu:

1) Menguras, adalah membersihkan tempat yang sering dijadikan tempat


penampungan air seperti bak mandi, ember air, tempat penampungan air
minum, penampung air lemari es dan lain-lain

2) Menutup, yaitu menutup rapat-rapat tempattempat penampungan air seperti


drum, kendi, toren air, dan lain sebagainya; dan

3) Memanfaatkan kembali atau mendaur ulang barang bekas yang memiliki


potensi untuk jadi tempat perkembangbiakan nyamuk penular Demam
Berdarah.

Adapun yang dimaksud dengan 3M Plus adalah segala bentuk kegiatan


pencegahan seperti :

1) Menaburkan bubuk larvasida pada tempat penampungan air yang sulit


dibersihkan;

2) Menggunakan obat nyamuk atau anti nyamuk;

3) Menggunakan kelambu saat tidur;

4) Memelihara ikan pemangsa jentik nyamuk;

5) Menanam tanaman pengusir nyamuk,

6) Mengatur cahaya dan ventilasi dalam rumah;

7) Menghindari kebiasaan menggantung pakaian di dalam rumah yang bisa


menjadi tempat istirahat nyamuk, dan lain-lain. ( Depkes 2016, DIaskes 2018)

19
BAB III

KESIMPULAN

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah


kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. DBD ditandai khas dengan demam
tinggi yang mendadak, peningkatan hematokrit, penurunan jumlah trombosit yang
bermakna, penurunan hitung leukosit, dan adanya manifestasi perdarahan spontan.
Tatalaksana DBD harus dilakukan dengan cepat dan berfokus pada rehidrasi
(pemulihan volume plasma darah), pengendalian nyeri, pengendalian demam, dan
pencegahan komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi dari hipoperfusi. DBD
terutama dapat dicegah dengan tindakan 3M dengan memberantas habitat nyamuk
vektor (Aedes aegypti dan Aedes albopictus), agar rantai transmisi penyakit ini
terputus.

20
DAFTAR PUSTAKA

World Health Organization. Dengue and Severe Dengue. 2018 Feb

Diakses 2018 Mei 1 dari http://www.who.int/en/news-room/fact-


sheets/detail/dengue-and-severe-dengue. 2. Kemenkes RI. InfoDATIN:
Situasi DBD di Indonesia. 2016. Diakses 2018 Mei 1 dari infodatin dbd
2016.pdf - Kemenkes.

Centers for Disease Control and Prevention. Dengue and Dengue Hemorrhagic
Fever. Diakses 2018 Mei 1 dari
https://www.cdc.gov/Dengue/resources/HealthCarePract.pdf.

World Health Organization. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control


of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. 2011. India: WHO Press. 1-
147.

World Health Organization. Handbook for Clinical Management of Dengue. 2012.


Geneva: WHO Press. 1-67.

Soedarmo, Poorwo SS. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Ed 2. 2012. Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Sudoyo A W, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Buku ajar Ilmu


penyakit dalam, Pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam FK-UI,
jakarta, 2006, ed.4, (III) 1709-1713

Hadinegoro SR, Kadim M, Devaera Y, Idris NS, Ambarsari CG. Update


Management of Infectious Diseases and Gastrointestinal Disorders. 2012.
Jakarta: Departemen IKA FKUI-RSCM. 27-51.

Depkes. Kendalikan DBD dengan PSN 3M Plus. [Online] 2016 Feb 7. Diakses
2018 Mei 1 dari www.depkes.go.id.

21

Anda mungkin juga menyukai