Anda di halaman 1dari 7

128

Buku Ajar Infeksi & Penyakit  Tropis : Infeksi Stafilokokus

30
Infeksi Stafilokokus 

Stafilokokus dapat menyebabkan infeksi lokal atau dapat menyebabkan


bakteriemia serta toxic shock syndrome. Pada umumnya bakteri ini
berkolonisasi terutama di hidung dan kulit. Infeksi nososkomial yang
disebabkan oleh Stafilokokus perlu mendapat perhatian pada pasien
dengan pemasangan kateter, prostesa dan terutama pasien
imunokompromais. Adanya S. aureus yang resisten terhadap metisilin,
pemilihan antibiotik harus disesuaikan.

Etiologi

Stafilokokus adalah bakteri kokus Gram-positif, yang secara mikroskopis


berbentuk rangkaian buah anggur. Terdapat 32 spesies yang berhubungan
dengan komposisi dasar DNA, namun hanya 14 spesies yang hidup dalam
tubuh manusia. Staphylococcus aureus merupakan satu-satunya spesies yang
menghasilkan enzim koagulase, sedangkan 13 spesies lain yang mempunyai
koagulasi-negatif antara-lain adalah S. epidermidis, S. haemolyticus, S.
saprophyticus, dan Staphylococcus lugdunensis. Stafilokokus dapat hidup dalam
suasana lingkungan yang sangat kering, panas, kadar oksigen rendah, dan
lingkungan yang mengandung garam tinggi. Staphylococcus aureus
mempunyai beberapa reseptor permukaan (surface receptors) yang dapat
mengikat jaringan dan benda asing yang telah tertutup oleh fibronektin,
fibrinogen, dan kolagen, yang mempermudah inokulum kuman melekat
pada kateter, katup prostesa, atau benda asing lainnya. Stafilokokus
koagulase negatif menghasilkan exopolysaccharide slime biofilm sehingga
129 Buku Ajar Infeksi & Penyakit  Tropis : Infeksi Stafilokokus

mikroorganisme ini dapat berikatan dengan benda asing misalnya kateter,


yang rentan terhadap pertahanan tubuh maupun antibiotik.
Epidemiologi

Masa inkubasi infeksi stafilokokus sangat bervariasi, sedangkan masa


inkubasi toxin-mediated scalded skin syndrome sekitar 1-10 hari. Staphylococcus
aureus koagulase-negatif merupakan penyebab sepsis dan infeksi nosokomial
seperti halnya Pseudomonas aeruginosa merupakan penyebab terbanyak
pneumonia nosokomial dan luka nosokomial. Staphylococcus aureus
mengadakan kolonisasi di kulit dan membrana mukosa dan terdapat pada
30-50% orang dewasa dan anak sehat. Nares anterior, aksila dan perineum
merupakan tempat koloni terbanyak. Koloni pada nares anterior dapat
menetap selama setahun pada 10-20% orang yang mengidap. Sekitar 25-50%
dari karier hidung akan mencemari tangan dan kulit lainnya. Angka
kejadian karier meningkat 50% pada anak yang mengalami deskuamasi kulit
atau luka bakar.
Transmisi S. aureus di rumah sakit pada umumnya melalui kontak
langsung. Penularan dari kolonisasi pada nares dan tangan paramedis
kepada pasien seringkali terjadi, bahkan dapat menularkan dari pasien satu
ke pasien lain yang sedang dirawatnya. Kolonisasi pada bayi baru lahir
dapat pula menularkan bayi lain, sedangkan peran baju atau lingkungan
pada penularan S. aureus tidak jelas. Penularan melalui udara oleh droplet
dapat terjadi, terutama saat perawat mengganti sprei pasien. Penularan
makin meningkat apabila terjadi infeksi saluran nafas bagian atas. Tempat
yang mempunyai risiko tinggi terjadi infeksi nosokomial oleh S.aureus
adalah kamar bayi, bangsal luka bakar, prosedur bedah, perawatan lama,
dan pemasangan berbagai alat prostesa. Pemberian antibiotik sebagai
pencegahan akan meningkatkan resistensi kuman.

Methicillin-resistant S. aureus (MRSA)

Kejadian MRSA terdapat pada sekitar seperempat dari kejadian infeksi


nosokomial oleh S. aureus. Hampir semua galur MRSA telah resisten
terhadap antibiotik ß-laktam, sefalosporin, dan antibiotik lainnya. Risiko
terjadinya MRSA adalah kolonisasi karier MRSA pada perawatan
sebelumnya, pemakaian antibiotik sebelumnya (dalam waktu 60 hari),
perawatan di rumah sakit yang cukup lama, sering kontak dengan tempat
perawatan, pasien yang mengalami trakeostomi atau pemasangan kateter.
Seorang pasien yang pernah menderita MRSA, apabila dirawat kembali di
Buku Ajar Infeksi & Penyakit  Tropis : Infeksi Stafilokokus 130

rumah sakit harus tetap dianggap mempunyai kolonisasi MRSA, oleh karena
kolonisasi pada nasal dapat bertahan beberapa tahun. Epidemi MRSA dapat
terjadi sebagai akibat penularan dari pasien ke pasien melalui tangan
paramedik. Galur ini pada umumnya telah mengalami resistensi terhadap
antibiotik, hanya vankomisin yang direkomendasikan. Galur MRSA yang
berada di masyarakat telah meningkat, diduga berasal dari rumah sakit dan
terbanyak dijumpai pada perawatan/penitipan bayi.

Manifestasi Klinis

Staphylococcus aureus menyebabkan infeksi yang bervariasi baik lokal


maupun invasif dan supuratif dan 3 sindrom yang berhubungan dengan
toksin yaitu toxic shock syndrome, scalded skin syndrome, dan keracunan
makanan. Infeksi lokal termasuk furunkel, karbunkel, impetigo (bulosa dan
nonbulosa), paronikia, ektima, selulitis, limfadenitis, dan luka yang
terinfeksi. Infeksi pada prostesa dapat menyebabkan infeksi lokal maupun
bakteriemia. Bakteremia menyebabkan komplikasi sepsis, endokarditis,
perikarditis, pneumonia, abses, artritis, osteomielitis, tromboflebitis;
sedangkan kejadian meningitis jarang terjadi.
Infeksi Staphylococcus aureus dapat bersifat fulminan, pada umumnya
berhubungan dengan fokus metastasis dan membutuhkan pengobatan
jangka panjang. Risiko pada infeksi Staphylococcus aureus berat termasuk
pasien neutropenia. Staphylococcus aureus dapat menyebabkan infeksi pada
benda asing termasuk kateter intravena, pacu jantung, kateter peritoneal,
pirau serebrospinal, dan alat protesa.

Coagulase-negative Staphylococcus (Stafilokokus koagulasi negatif)

Stafilokokus koagulasi negatif umumnya didapat pada pemasangan benda


asing dalam tubuh pasien. Infeksi ini meningkat pada pasien
imunokompromais. Stafilokokus koagulasi negatif juga merupakan penyebab
terbanyak sepsis awitan lambat (late-onset) pada bayi baru lahir dengan berat
badan rendah, khususnya berat badan kurang dari 1500 gram. Sedangkan
pada anak merupakan penyebab terbanyak sepsis pada kasus leukemia,
limfoma atau solid tumors, dan pasien transplantasi sumsum tulang. Infeksi
juga berhubungan dengan pemasangan kateter intravena. Stafilokokus
koagulasi negatif menyebar secara sistemik dari infeksi saluran nafas atas
pada bayi kurang bulan dengan ventilator mekanik atau pada bayi yang
131 Buku Ajar Infeksi & Penyakit  Tropis : Infeksi Stafilokokus

menderita enterokolitis nekrotikans. Secara umum infeksi Stafilokokus


koagulasi negatif tidak memperlihatkan gejala kilinis yang nyata.
Diagnosis

Pemeriksaan pewarnaan Gram dari spesimen dapat membantu diagnosis.


Diagnosis pasti ditegakkan apabila didapatkan biakan positif dari cairan
tubuh yang seharusnya steril. Hasil biakan Staphylococcus aureus koagulasi
negatif dari darah seringkali dianggap sebagai kontaminan. Hal ini perlu
mendapat perhatian untuk neonatus, pasien imunokompromais atau pasien
dengan prostesa. Pada kateter yang diduga menyebabkan bakteriemia
diduga mempunyai kepadatan S.aureus 5-10 kali lipat daripada pembuluh
darah perifer.
Kriteria untuk membedakan apakah Stafilokokus koagulasi negatif
adalah patogen atau kontaminan sebagai berikut, (1) pada umumnya bakteri
tumbuh dalam 24 jam, (2) hasil biakan yang dilakukan berulang tetap positif,
(3) terdapat gejala infeksi pada pasien, (4) kateter intravena telah terpasang 3
hari atau lebih, dan (5) pada umumnya terjadi multidrug resistance terhadap
galur staflokokus koagulasi-negatif.

Pengobatan

Infeksi stafilokokus berat memerlukan pengobatan penisilin intravena yang


resisten terhadap enzim penisilinase seperti nafsilin atau oksasilin, oleh
karena sebagian besar galur S. aureus baik di masyarakat maupun rumah
sakit menghasilkan enzim penisilinase dan resisten terhadap penisilin dan
ampisilin. Sefalosporin generasi pertama atau kedua (misalnya, cephalothin
atau cefuroxime) dan klindamisin juga efektif. Sefalosporin spektrum luas
pada umumnya tidak aktif melawan S. aureus atau stafilokokus koagulasi
negatif. Pasien yang mempunyai riwayat alergi terhadap penisilin dapat
diobati dengan sefalosporin, klindamisin, atau vankomisin.
Untuk MRSA direkomendasikan vankomisin intravena. Lama
pengobatan pada infeksi invasif yang berat tergantung dari lokasi infeksi,
pada umumnya selama 3 minggu atau lebih. Setelah diberikan parenteral
sebagai terapi inisial, dapat dilanjutkan dengan terapi per-oral untuk
memudahkan pemberian dan mengurangi compliance; namun pada
endokarditis antibiotik parenteral sebagai pengobatan rumatan tetap
dipertahankan. Pada abses perlu dilakukan insisi.
Infeksi pada kulit dan jaringan lunak seperti impetigo atau selulitis
yang disebabkan oleh S.aureus pada umumnya dapat diobati dengan
Buku Ajar Infeksi & Penyakit  Tropis : Infeksi Stafilokokus 132

penicillinase-resistant ß-lactam oral seperti cloxacillin, dicloxacillin, atau


sefalosporin generasi satu dan dua. Untuk topical diberikan antibakterial
topikal seperti mupirosin atau basitrasin, serta meningkatkan kebersihan
pribadi. Pada pemasangan kateter intravena lebih dari 2-3 minggu hampir
dipastikan terjadi infeksi nosokomial oleh S.aureus.
Pada infeksi outbreaks S. aureus pada bangsal infeksi memrlukan
pengobatan hkusus. Pemberian triple dye, iodophor ointment, atau
hexachlorophene powder pada tali pusat dapat mencegah atau memperpanjang
masa kolinisasi. Pada bayi cukup bulan cukup dimandikan dengan air yang
mengnadung hexachlorophene 3% dan kemudian dibilas. Risiko terjadinya
wabah di bangsal bayi akan meningkat apabila jumlah petugas ataupun bayi
yang terlalu berdesakan serta melupakan kebiasaan cuci tangan sebelum
memegang bayi. Sabun yang mengandung antiseptik perlu disiapkan dalam
situasi wabah S.aureus. Biakan dari nares dan umbilikus bayi serta kulit
personel terhadap S.aureus harus segera dilakukan. Untuk petugas yang
menjadi karier nasal perlu diobati dengan mupirosin.

Toxic Shock Syndrome (TSS) 

Manifestasi klinis
Toxic shock syndrome disebabkan oleh Staphylococcus aureus atau Streptococcus
pyogenes (group A streptococci). Kedua mikroorganisme tersebut akan
menyebabkan penyakit infeksi akut dengan gejala klinis demam, pasien
mendadak mengalami hipotensi, cepat terjadi gagal ginjal, dan akhirnya
gangguan organ multi sistem. Diare cair, muntah, injeksi konjungtiva, dan
rasa nyeri otot hebat pada umumnya berhubungan dengan infeksi S. aureus–
mediated TSS dan jarang disebabkan oleh S pyogenes–mediated TSS. Kejadian
infeksi jaringan lunak setempat (misalnya selulitis, abses, miositis, atau
necrotizing fasciitis) lebih sering disebabkan oleh S. pyogenes–mediated TSS,
namun tidak oleh S. aureus–mediated TSS. Kedua bentuk TSS berhubungan
dengan penyakit sistemik pneumonia, osteomielitis, bakeremia, piartrosis,
atau endokarditis. Toxic shock syndrome harus dibedakan dari
meningokosemia, Rocky Mountain spotted fever, syok septik, penyakit
Kawasaki, scarlet fever, campak, systemic lupus erythematosus, dan penyakit
febrile mucocutaneous yang lain.

Etiologi

Penyebab TSS adalah Staphylococcus aureus–mediated TSS galur yang


menghasilkan toxic-shock syndrome toxin-1 (TSST-1). Sebagian besar galur juga
133 Buku Ajar Infeksi & Penyakit  Tropis : Infeksi Stafilokokus

menghasilkan paling tidak satu macam staphylococcal enterotoxins dan


sebagian besar kasus S. pyogenes–mediated TSS disebabkan oleh paling tidak
1-5 protein superantigenic exotoxins yaitu streptococcal pyrogenic exotoxins A, B,
or C; faktor mitogenic atau streptococcal superantigen.

Diagnosis

Diagnosis Staphylococcus aureus–mediated TSS ditegakkan berdasarkan gejala


klinis. Biakan darah hanya akan positif sekitar 5% kasus S. aureus–mediated
TSS. Biakan diambil dari tempat infeksi segera setelah dicurigai pasien
menderita TSS. Sekali S. aureus telah dapat diisolasi, maka pengobatan harus
segera dimulai dengan memperhatikan uji resistensi mengingat galur S.
aureus methicillin-resistant dapat menyebabkan TSS walaupun jarang. Tiga
puluh persen dari isolat S. aureus yang bukan berasal dari kasus non-
menstrual tidak memproduksi TSST-1, dan organisme yang menghasilkan
TSST-1 didapati di dalam flora normal di lubang hidung dan vagina, oleh
karena itu apabila dalam isolat ditemukan TSST-1 yang diproduksi oleh S.
aures maka tidak banyak mempunyai arti diagnostik.

Pengobatan

Tahap awal pengobatan adalah segera mungkin mengganti cairan,


tatalaksana respirasi atau kardiovaskular apabila terjadi gagal nafas dan
jantung serta aritmia. Oleh karena tidak mungkin menentukan penyebab
secara klinis, maka antibiotik inisial yang dipilih adalah ß-lactamase–resistant
antistaphylococcus dan antibiotik yang bersifat protein synthesis–inhibiting,
seperti clindamycin. Kedua antibiotik tersebut diberikan dalam dosis
maksimal. Dari percobaan binatang dikatakan bahwa klindamisin lebih
efektif daripada penisilin untuk pengobatan S. pyogenes oleh karena
klindamisin (1) tidak seperti antibiotik ß-lactam, aktifitas antimikrobial
klindamisin tidak tergantung dari ukuran inokulum, (2) mempunyai
postantibiotic effect yang lama, dan (3) reaksi terhadap bakteri dengan cara
menghambat sintesis protein.
Setelah organisme telah diidentifikasi, pengobatan dapat diganti
penisilin dan klindamisin untuk S. pyogenes–mediated TSS. Untuk S. aureus–
mediated TSS, antibiotik ß-lactam parenteral perlu segera diberikan menurut
uji resistensi. Pengobatan eradikasi terhadap S. aureus–mediated TSS minimal
10-14 hari dan mencegah berulangnya penyakit. Antibiotik oral dosis tinggi
dapat diberikan apabila keadaan umum pasien telah memungkinkan.
Buku Ajar Infeksi & Penyakit  Tropis : Infeksi Stafilokokus 134

Pemakaian Immune Globulin Intravenous (IGIV) direkomendasikan


dalam pengobatan S aureus–mediated TSS; walaupun mekanismenya belum
jelas mungkin berhubungan dengan netralisasi circulating bacterial toxins.
Dosis IGIV 150-400 mg/kg berat badan selama 5 hari atau 1-2 g/kg single
dose.

Daftar Bacaan

1. Steele RW. Toxic shock syndrome. Dalam: Pediatric Infectious Disease. Edisi pertama.
Parthenon Publishing Group: new york, London 1994.h.45-8.
2. Red book 2000. Report of the Commitee on Infectious Diseases. Pickering LK, Peter G,
Baker CJ, Walter AO, Patriarca P. Staphyllococcus infection. American Academy of
Pediatrics: Elk Grove Village 2000.h.514-36.
3. Shulman ST, Phair JP, Sommers HM. Staphyllococcus disease. Dalam: The Biologic &
Clinical Basis of Infectious Diseases, Shulman ST, Phair JP, Sommers HM, penyunting.
Edisi keempat WB Saunders: Philadelphia, Tokyo, 1992.h.502-10.
4. Bloch K. Staphyllococci. Dalam: Current Diagnosis & Treatment in Infectious Diseases.
Wilson WR, Sande MA, penyunting. Edisi pertama. Lange Med Book/McGraw-Hill :
NewYork, Toranto, 2001.h.475-86.

Anda mungkin juga menyukai