Evidence Base
Evidence Base
Oleh :
PENDAHULUAN
Evidence-based medicine (EBM) adalah suatu sistem atau cara untuk menyaring semua
data dan informasi dalam bidang kesehatan. Sehingga seorang dokter hanya memperoleh
informasi yang sahih dan mutakhir untuk mengobati pasiennya. Penelitian yang sahih adalah
penelitian yang terbukti valid, akurat, bermakna dengan persisi sempit (powerful), dan aman.
Penelitian tersebut harus juga penting (important) dan dapat diterapkan (applicable) pada
pasien kita, untuk masing-masing aspek yaitu aspek diagnosis, terapi, prognosis, merugikan, dan
sebagainya. Yang paling penting dari kesemuanya itu adalah bagaimana kemampuan kita untuk
dapat melakukan kajian kritis terhadap setiap hasil penelitian.
Penggunaan evidence base dalam praktek akan menjadi dasar scientific dalam
pengambilan keputusan klinis sehingga intervensi yang diberikan dapat dipertanggungjawabkan.
Sayangnya pendekatan evidence base di Indonesia belum berkembang termasuk penggunaan
hasil riset ke dalam praktek. Tidak dapat dipungkiri bahwa riset di Indonesia hanya untuk
kebutuhan penyelesaian studi sehingga hanya menjadi tumpukan kertas semata. Oleh karena itu
Evidence-based medicine (EBM) perlu dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk memperbaiki tata
laksana pasien.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini untuk menelaah dan menentukan diagnosis yang tepat
berdasarkan pada Evidence-based medicine laboratory (EBML) .
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
BAB III
PEMBAHASAN
1. Hepatitis B
Kesimpulan :
HBsAg RDT memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang sangat baik dibandingkan dengan
immunoassays laboratorium sebagai sebuah standar referensi. Sensitivitas HBsAg RDT mungkin
lebih rendah pada orang yang terinfeksi HIV, (Amini A., dkk (2017))
2. Dengue Virus
Skrining :
1. Serologi netralisasi
2. ELISA
3. qRT-PCR
Konfirmasi :
Kesimpulan :
Kedua Kriteria WHO HI dan IgG ELISA sangat kuat untuk menentukan infeksi primer. Namun,
untuk menentukan infeksi sekunder, kriteria IgG ELISA lebih baik dibandingkan dengan kriteria
WHO HI (1) NS1Ag memiliki sensitifitas 64,3% tetapi memiliki spesifisitas 100% (2), (1.
Lukman N., dkk (2016), 2. Ambrose J. H., (2017)).
3. Rheumatoid Artritis (RA)
Skrining :
RF
Konfirmasi :
Kesimpulan :
Dengan spesifisitas yang sangat baik, anti CCP antibodi dapat berguna dalam menegakkan
diagnosis RA, namun RF dapat digunakan sebagai tes penyaring dalam penentuan RA, (Bas S.,
dkk (2002)).
Skrining :
anti-streptolysin O (ASO)
Konfirmasi :
anti-DNaseB(ADB)
Kesimpulan :
4. Inflamasi
Skrining :
CRP
Konfirmasi :
Hs-CRP
Kesimpulan :
CRP merupakan skrining inflamasi namun saat in Hs- CRP dapat digunakan Untuk
komfirmasi karena memiliki spesifisitas yang lebih tinggi, (Helal I., (2012))
5. Rubella
Skrining :
CRP
Konfirmasi :
Hs-CRP
Kesimpulan :
CRP merupakan skrining inflamasi namun saat in Hs- CRP dapat digunakan untuk
komfirmasi karena memiliki spesifisitas yang lebih tinggi (Helal I, 2012).
6. Syphilis
Skrining :
EIA/RPR/VDRL
Konfirmasi :
FTA-ABS test
Kesimpulan :
EIA/RPR/VDRL dapat digunakan untuk skrining pasien yang diduga terinfeksi shipilis,
tetapi untuk penegakan diagnosis digunakan FTA-ABS yang lebih spesifik Dommele V. L.,
(2015).
Skrining :
RPR/VDRL
Konfirmasi :
FTA-ABS test
Kesimpulan :
RPR dapat digunakan untuk skrining pasien yang diduga terinfeksi shipilis, tetapi untuk
penegakan diagnosis digunakan FTA-ABS yang lebih spesifik, HOPKINS, (1977).
7. Tifoid
Skrining :
Widal
Konfirmasi :
Ns1Ag
Elisa
qRT-PCR
Kesimpulan :
Tes Widal memiliki spesifisitas rendah dan tetapi PPV memiliki sensitivitas dan NPV yang
lebih baik kultur tinja. Karena itu, dokter harus tidak sepenuhnya tergantung pada tes Widal di
daerah endemik dan di daerah di mana itu adalah satu-satunya metode diagnostik untuk demam
tifoid, : Bas S., dkk (2002): Ambrose H. J., dkk (2017).
8. HIV
Skrining :
Konfirmasi :
Kesimpulan :
RDT lebih sensitif dibandingkan dengan ELISA, RDT jarang dikonfirmasi menggunakan
ELISA untuk keperluan skrining. Namun RDT harus dikonfirmasi dengan Western Blot (WB),
Mehra B., dkk (2014)
BAB IV
KESIMPULAN