Anda di halaman 1dari 9

UJIAN AKHIR SEMESTER

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan matakuliah


Evidence Based Laboratory
Dosen pengampu : Dr. Budi Santoso, SKM, M.Si. Med

Oleh :

1. Risa Tri Umami (G4C018010)


2. Hayatun Fuad (G4C018011)
3. Sri Rezeki (G4C018015)
4. Astari Nurisani (G4C018018)

PROGRAM STUDI S2 SAINS LABORATORIUM MEDIS


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Evidence-based medicine (EBM) adalah suatu sistem atau cara untuk menyaring semua
data dan informasi dalam bidang kesehatan. Sehingga seorang dokter hanya memperoleh
informasi yang sahih dan mutakhir untuk mengobati pasiennya. Penelitian yang sahih adalah
penelitian yang terbukti valid, akurat, bermakna dengan persisi sempit (powerful), dan aman.

Penelitian tersebut harus juga penting (important) dan dapat diterapkan (applicable) pada
pasien kita, untuk masing-masing aspek yaitu aspek diagnosis, terapi, prognosis, merugikan, dan
sebagainya. Yang paling penting dari kesemuanya itu adalah bagaimana kemampuan kita untuk
dapat melakukan kajian kritis terhadap setiap hasil penelitian.

Makin berkembangnya penelitian di bidang kedokteran yang berlangsung terus menerus


dan memerlukan dana sangat besar, dan kadang kurang dimanfaatkan, karena itu harus dapat
dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk memperbaiki tata laksana pasien. Pada umumnya para
dokter yang bekerja di RS terutama RS daerah tidak memiliki akses yang cukup untuk
memperoleh informasi mutakhir dan sahih tentang kemajuan teknologi. Para dokter sibuk dengan
berbagai macam kegiatan di luar bidang medis. EBM merupakan proses pendekatan terhadap
pembelajaran klinis untuk memperoleh informasi yang mutakhir dan sahih.

Penggunaan evidence base dalam praktek akan menjadi dasar scientific dalam
pengambilan keputusan klinis sehingga intervensi yang diberikan dapat dipertanggungjawabkan.
Sayangnya pendekatan evidence base di Indonesia belum berkembang termasuk penggunaan
hasil riset ke dalam praktek. Tidak dapat dipungkiri bahwa riset di Indonesia hanya untuk
kebutuhan penyelesaian studi sehingga hanya menjadi tumpukan kertas semata. Oleh karena itu
Evidence-based medicine (EBM) perlu dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk memperbaiki tata
laksana pasien.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini untuk menelaah dan menentukan diagnosis yang tepat
berdasarkan pada Evidence-based medicine laboratory (EBML) .
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
BAB III

PEMBAHASAN

1. Hepatitis B

Skrining : HBsAg RDT (IMUNOKROMATOGRAPHI)

Konfirmasi : Enzyme Immunoassay (EIA) dan Asam Nukleat (NAT)

Kesimpulan :

HBsAg RDT memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang sangat baik dibandingkan dengan
immunoassays laboratorium sebagai sebuah standar referensi. Sensitivitas HBsAg RDT mungkin
lebih rendah pada orang yang terinfeksi HIV, (Amini A., dkk (2017))

2. Dengue Virus

Skrining :

1. Serologi netralisasi
2. ELISA
3. qRT-PCR

Konfirmasi :

1. reverse-transcription polymerase chain reaction (RT-PCR)


2. NS1Ag

Kesimpulan :

Kedua Kriteria WHO HI dan IgG ELISA sangat kuat untuk menentukan infeksi primer. Namun,
untuk menentukan infeksi sekunder, kriteria IgG ELISA lebih baik dibandingkan dengan kriteria
WHO HI (1) NS1Ag memiliki sensitifitas 64,3% tetapi memiliki spesifisitas 100% (2), (1.
Lukman N., dkk (2016), 2. Ambrose J. H., (2017)).
3. Rheumatoid Artritis (RA)

Skrining :

 RF

Konfirmasi :

 Anti-cyclin citrulinated peptide (anti-CCP) antibodies

Kesimpulan :

Dengan spesifisitas yang sangat baik, anti CCP antibodi dapat berguna dalam menegakkan
diagnosis RA, namun RF dapat digunakan sebagai tes penyaring dalam penentuan RA, (Bas S.,
dkk (2002)).
Skrining :

 anti-streptolysin O (ASO)

Konfirmasi :

 anti-DNaseB(ADB)

Kesimpulan :

Sumber : Steer C. (2008)

4. Inflamasi

Skrining :

 CRP

Konfirmasi :

 Hs-CRP

Kesimpulan :

CRP merupakan skrining inflamasi namun saat in Hs- CRP dapat digunakan Untuk
komfirmasi karena memiliki spesifisitas yang lebih tinggi, (Helal I., (2012))
5. Rubella

Skrining :

 CRP

Konfirmasi :

 Hs-CRP

Kesimpulan :

CRP merupakan skrining inflamasi namun saat in Hs- CRP dapat digunakan untuk
komfirmasi karena memiliki spesifisitas yang lebih tinggi (Helal I, 2012).

6. Syphilis

Skrining :

 EIA/RPR/VDRL

Konfirmasi :

 FTA-ABS test

Kesimpulan :

EIA/RPR/VDRL dapat digunakan untuk skrining pasien yang diduga terinfeksi shipilis,
tetapi untuk penegakan diagnosis digunakan FTA-ABS yang lebih spesifik Dommele V. L.,
(2015).

Skrining :

 RPR/VDRL

Konfirmasi :

 FTA-ABS test

Kesimpulan :

RPR dapat digunakan untuk skrining pasien yang diduga terinfeksi shipilis, tetapi untuk
penegakan diagnosis digunakan FTA-ABS yang lebih spesifik, HOPKINS, (1977).
7. Tifoid

Skrining :

 Widal

Konfirmasi :

 Ns1Ag
 Elisa
 qRT-PCR

Kesimpulan :

Tes Widal memiliki spesifisitas rendah dan tetapi PPV memiliki sensitivitas dan NPV yang
lebih baik kultur tinja. Karena itu, dokter harus tidak sepenuhnya tergantung pada tes Widal di
daerah endemik dan di daerah di mana itu adalah satu-satunya metode diagnostik untuk demam
tifoid, : Bas S., dkk (2002): Ambrose H. J., dkk (2017).

8. HIV

Skrining :

 Rapid Test HIV

Konfirmasi :

 Western Blot (WB)

Kesimpulan :

RDT lebih sensitif dibandingkan dengan ELISA, RDT jarang dikonfirmasi menggunakan
ELISA untuk keperluan skrining. Namun RDT harus dikonfirmasi dengan Western Blot (WB),
Mehra B., dkk (2014)
BAB IV

KESIMPULAN

Anda mungkin juga menyukai