Anda di halaman 1dari 5

Membuka Kembali Gender dan Seksualitas : Pro-Kontra LGBT di Indonesia 75

Oleh Alfin Mu`akip (1506735912)

Saat ini masalah gender dan seksualitas telah menjadi sorotan di dunia, termasuk.
Terutama di Indonesia, apalagi dengan munculnya kelompok-kelompok homoseksual atau lebih
di kenal dengan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender). Kelompok tersebut banyak
mengalami kecaman dan ancaman dari mayoritas masyarakat Indonesia. Kelompok LGBT
dinilai menjadi salah satu ancaman dan keresahan masyarakat di Indonesia. Bahkan ada yang
menganggap bahwa LGBT merupakan salah satu masalah sosial yang harus dipidanakan.
Berkaitan dengan masalah seksualitas, Indonesia memang cukup keras untuk tidak menerima
adanya kelompok LGBT. Hal ini terjadi karena beberapa faktor seperti agama, sosial budaya dan
pendidikan.
Salah satu faktor yang paling kuat tidak terimanya LGBT berkembang di Indonesia
adalah agama. Dalam beberapa ajaran agama terutama Islam yang menjadi agama mayoritas
melarang adanya hubungan atau orang yang memiliki kecenderungan seksual yang berbeda
dengan bentuk fisik yang dimilikinya. Selain itu, faktor pendidikan juga sangat mempengaruhi
adanya penolakan LGBT ini. Masyarakat yang kurang dalam mengakses pendidikan cenderung
tidak tahu tentang seksualitas itu sendiri. Mereka sudah memiliki pemahaman yang paten baku
terkait dengan gender dan seksualitas yang berasal dari budaya dan nenek moyang mereka
sendiri.
Namun, berbeda dengan negara-negara maju seperti Belanda, Amerika, Spanyol,
Kanada, Portugal dan beberapa negara lain yang telah melegalkan pernikahan antar sejenis.
Belanda merupakan negara pertama yang melegalkan hubungan sejenis ini. Kemudian di susul
oleh beberapa negara lain. Salah satu dasar yang menjadi pelegalan LGBT ini berkaitan dengan
hak kemanusiaan. Manusia memiliki hak untuk bebas. Tahmindjis (2014, 121 dalam
sindonews.com) mengatakan bahwa salah satu hak mendasar yang harus dimiliki oleh setiap
manusia adalah kebebasan untuk mencintai dan melakukan legalisasi hubungan percintaan
mereka dalam lembaga sosial berupa pernikahan, ras, agama, atau kelompok sosial yang
melatarbelakangi keduanya.
Perkembangan globalisasi telah membawa kebebasan dari segi teknologi dan informasi.
Kebebasan ini memberikan pengaruh terhadap orang-orang untuk menyuarakan terkait dengan
isu-isu seksual. Terutama oleh kelompok LGBT yang menjadi kelompok minoritas. Oleh sebab
itu, penulis di sini akan membahas terkait dengan pemahaman seks secara esensialis dan
kontruktivis.
Terdapat dua teori mengenai seksualitas yaitu esensialisme dan kontruktivisme. Kedua
teori ini menjadi salah satu perdebatan yang saat ini berdampak pada keadaan sosial dalam
masyarakat. Sebagian masyarakat percaya bahwa konsep laki-laki dan perempuan merupakan hal
yang esensialis. Namun, dengan perkembangan zaman muncul sebuah konsep bahwa konsep
laki-laki dan perempuan merupakan sebuah kontruksi budaya. Esensialisme muncul lebih dulu
dibanding dengan kontruktivisme. Menurut Lynne (1994) terdapat tiga paradigma dalam sejarah
seksualitas yaitu spiritualitas, bioloigis dan sosial. Pendapat Lynne ini menjelaskan mengenai
perkembangan seksualitas dalam masyarakat.
Esensialisme meyakini bahwa identitas sosal yang dimiliki seseorang (homoseksual,
heteroseksual, atau biseksual) merupakan bawaan dari lahir yang tidak dapat diubah lagi.
Essentialism entails the belief that sexuality is purely a natural phenomenon, outside of
the culture and society, made up of fixed and inherent drives, and dictate our sexual
identities (Wweeks,1995).
Esensialisme merupakan sebuah fenomena alam yang berada di luar budaya dan
masyarakat. Fenomena ini telah mendikte identitas seksual terhadap manusia yang dilahirkan.
Esensialisme kemudian di dukung oleh ilmu kedokteran tentang seksulitas yang disebut
sexology. Sexology menganggap bahwa kebudayaan dan masyarakat lebih dipandang sebagai
sebuah responding daripada sebagai pembentuk (shaping). Sexiologyis juga percaya tentang
positive scientific knowledge yang melihat tentang isu-isu transkultural dan historis. Sexologis
Seksologi percaya bahwa banyak variasi yang berbeda dalam praktik budaya di masyarakat.
Namun, menurutnya bahwa pada dasarnya seksualitas di berbagai macam tempat dan waktu
merupakan hal yang sama. Menurut Wood, insting seksual sudah secara biologis sudah
ditunjukkan intercourse dan berpasangan. Harding (1986) mengatakan bahwa ilmuan dapat
membuat discourse tentang esensialisme ini karena adanya efek dari logika biner, konsep
dikotomi yang akan selalu mengasosiasikan maskulin dan feminim.
Esensialisme ini mendapat beberapa kritikan. Salah satunya dari Foucault yang
mengatakan bahwa esensialisme luput dari pengakuan tentang definisi seksualitas dari sosial dan
histori. Science dianggap bias dan juga tidak secara gamblang menjelaskan mengenai seksualitas
dan serta cenderung melegitimasi praktik seksual. Kontruktivisme meyakini bahwa seksualitas
tidak ada hubungannya dengan apa yang dianggap natural. Tapi harus dipahami sebagai sebuah
konfigurasi dari cultural meaning yang ditentukan oleh relasi sosial dan power.
Foucault mengatakan bahwa tidak ada jenis kelamin yang mampu berdiri sendiri tanpa
adanya pengaruh dari diskursus dan kuasa. Tapi, Foucault juga berpandangan ada sebuah
keseragaman kenikmatan yang berdiri tanpa adanya campur tangan kuasa. Saya bisa berkata
bahwa apa yang dikatakan Foucault ini mengandung dua teori yaitu kontruktivisme dan
esensialisme. Menanggapi hal itu Butler mengkritik pemikiran dari Foucult terkait
kontruktivisme. Menurut Butler seks, gender, maupun orientasi seksual adalah kontruksi sosial.
Menurutnya transgender dan homoseksual bukanlah suatu penyimpangan sosial melainkan suatu
variasi dalam identitas manusia yang didasarkan atas tindakan performatif (Butler, 1990:96).
Butler ini memunculkan sebuah teori performativitas gender. Teori tersebut mengatakan bahwa
terdapat diskursus atau tindakan yang terus dilakukan oleh masyarakat secara berkelanjutan dan
dilakukan secara berulang ulang untuk menghasilkan pengertian tentang seks dan gender baik
sebagai laki laki atau perempuan. Dari penjelasan di atas dapat dilihat terkait dengan kelemahan
teori kontruktivisme. Bagaimana sSetiap orang atau tokoh memiliki pemahaman yang berbeda-
beda terkait dengan seksualitas.
Berkaitan dengan LGBT di Indonesia pemahaman terkait dengan teori-teori inilah yang
masih belum banyak dipahami. Hal tersebut menyebabkan adanya perpecahan tentang
pemahaman seksualitas. Apalagi adanya globalisasi telah membuat masyarakat yang memiliki
orintasi seksual berbeda berani menyuarakan tentang kehidupan seksual mereka. Dapat dipahami
secara jelas bahwa kasus-kasus terkait dengan LGBT berdasarkan dua teori di atas termasuk ke
dalam teori kontruktivisme.
Esensialisme dan kontruktivisme telah memberikan refleksi terkait dengan seksualitas.
Hal ini tentunya menjadi salah satu masalah yang harus diperhatikan. Munculnya LGBT di
berbagai bagian dunia terutama di Indonesia telah menimbulkan berbagai permasalahan.
Penyimpangan yang dialami oleh beberapa kelompok telah menimbulkan berbagai kasus hukum.
Belum adanya hukum positif yang mengatur membuat kelompok-kelompok LGBT mengalami
kebingungan untuk menjalani kehidupan sosialnya. Munculnya hHomophobia telah menyebar ke
berbagai lapisan masyarakat. Perlu adanya diskursus dan hukum yang mampu memberikan rasa
aman dan nyaman terkait dengan kehidupan sosial masyarakat terutama bagi kelompok LGBT.
Penyimpangan harus diminimalisir tidak terjadi lagi. Negosiasi-negosiasi harus cepat dilakukan
untuk menyelesaikan masalah ini, sehingga nantinya tidak ada lagi kekerasan terhadapat
kelompok LGBT.

Referensi

Harding, J. 2002. “Investigating sex: Essentialism and Constructionism”, dalam Susanne LaFont
(ed.), Constructing Sexualities: Readings in Sexuality, Gender and Culture. Pearson, hal. 6-
17.

Vance, C. 1989. ‘Social construction theory: Problems in the history of sexuality’, dalam A. K.
Nierkerk dan T. Van Der Meer (ed.) Homosexuality, Which Homosexuality? London: GMP,
hlm. 13-34.

Butler, Judith P. 1990.Gender trouble: feminism and the subversion of identity, ISBN 0-415-
90042-5:ISBN 0-415-90043-3. New York: Routledge, Chapman and Hall, inc

Demarto, Argyo. Seks, gender, dan seksualits lesbian. Dalam


http://argyo.staff.uns.ac.id/files/2010/08/seks-gender-dan-seksualitas.pdf diaskses pada 5
Maret 2018 pukul 14.00 wib.

Anda mungkin juga menyukai