Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK

MODUL HEMATOLOGI ONKOLOGI

Kelompok 4
Muhammad Wildan Refaldi I1011161004
Giovanni Lawira I1011161007
Muhammad Ibnu Nazari I1011161009
Raditya Tri Prasetyo I1011161012
Nurani Takwim I1011161022
Yessi Yulia Magdalina I1011161024
Dewi Sapitri I1011161032
Dwi Ayu Wulandari I1011161042
Monica Meilany Gultom I1011161053
Andri Muhrim Siddiq I1011161061
Dellaneira Ananda I1011161065

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pemicu
Anak Mela, perempuan, berusia 6 tahun dibawa ibunya ke RS dengan
keluhan pucat. Keluhan muncul sejak 1 bulan yang lalu. Keluhan disertai
pembesaran perut tanpa nyeri dan kadang demam. Demam reda bila diberikan
parasetamol. BAB dan BAK normal.
Tiga minggu lalu Mela mendapatkan transfusi darah di RS dan setelah
itu keadaannya semakin membaik. Sejak 2 minggu lalu muncul beberapa
benjolan sebesar kelereng di lipat paha dan leher. Mela mulai tampak pucat lagi
dan di badannya tumbul memar kebiruan spontan tanpa trauma sebelumnya.
Mela juga tampak semakin kurus meskipun nafsu makannya masih seperti biasa.
Saat tiba di RS kondisi Mela lemah, pucat disertai demam tinggi. Kedua
tungkai membengkak disertai bintk-bintik kemerahan du wajah dan kedua
tungkai. BAB cair kehitaman sedangkan BAK lancar. Asupan makanan menjadi
berkurang.
Riwayat penyakit dahulu: tidak ada riwayat sakit berat sebelumnya. Kadang-
kadang menderita batuk pilek.
Riwayat keluarga: tidak ada riwayat penyakit kelainan darah atau keganasan.
Tidak ada hubungan saudara antara ayah dan ibu pasien.
Lingkungan rumah: terletak di lungkungan padat penduduk dan tidak terdapat
pabrik kimia. Rumah bersebelahan dengan sawah, sering disemprot pestisida.
Riwayat imunisasi dasar lengkap, imunisasi lanjutan belum diberikan.
Riwayat persalinan dan tumbuh kembang baik.
Riwayat kebiasaan: Anak Mela senang mengkonsumsi sosis ayam dan sapi,
ikan kaleng, makanan ringan dengan bumbu cabr didalamnya ada juga minuman
botol.
Pemeriksaan fisik :
Keadaan umum: tampak sakit berat dan sesak (+) sianosis (-)
Tanda vital: kesadaran kompos mentis, frekuensi nadi = 140x/menit, frekuensi
napas = 45x/menit, temperatur = 40,3ºC, tekanan darah = 110/60 mmHg
BB 19,3 Kg, TB 115 cm, LLA 12 cm
Status generalis:
Mata : konjunctiva pucat (+)
Leher : pembesaran kelenjar getah bening (+/+) multipel
Kulit : petekie (+) purpura (+)
Dada, paru : retraksi interkostalis (+) minimal, bunyi napas bronkovesikuler.
Jantung: bunyi jantung dalam batas normal.
Abdomen : heptomegali 5 cm di bawah arkus aorta, tepi tumpul, konsistensi
kenyal, permukaan rata. Limpa shuffner IV, bising usus (+) normal
Ekstremitas : pembesaran kelenjar getah bening (+/+) di axilla dan inguinal
(+/+), diameter 0,5 cm -1 cm. Edema tungkai (+/+)

1.2 Klarifikasi dan Definisi


- Petekie = bintik merah keunguan kecil dan bulat sempurna yang tidak
menonjol akibat perdarahan intradermal atau submukosa
- Shuffner = garis yang menghubungkan titidak SIAS kanan dengan umbilikus
dan diteruskan sampai arcus costae

1.3 Kata Kunci


- Anak Mela, 6 tahun
- Pucat sejak 1 bulan yang lalu
- Pembesaran perut tanpa nyeri
- Demam tinggi
- Riwayat transfusi darah
- Pembesaran KGB (+/+) multipel
- Memar kebiruan tanpa trauma
- Edema tungkai (+/+)
- Petekie
- BAB cair kehitaman
- Semakin kurus
1.4 Rumusan Masalah
Anak Mela, 6 tahun, datang dengan keluhan pucat sejak 1 bulan lalu disertai
pembesaran perut tanpa nyeri, kadang demam, kedua tungkai membengkak, 3
minggu lalu sempat membaik dengan transfusi darah, serta 2 minggu
sebelumnya muncul benjolan di lipat paha dan leher dan mengalami
hepatosplenomegali, pembesaran KGB multipel serta petekie dan purpura.

1.5 Analisis Masalah

Anak Mela 6th

- 3 minggu lalu transfusi KU sekarang: - Pucat sejak 1 bulan lalu


darah & KU membaik 1 - Lemah, pucat - Kadang demam
minggu - Demam tinggi - Pembesaran perut
- Riwayat penyakit - Tungkai bengkak - Benjolan di lipatan paha
sebelumnya (-) - Bintik merah di wajah dan leher sebesar
- Riwayat penyakit - BAB cair hitam kelereng sejak 2 minggu
keluarga (-) lalu
- Tempat tinggal di - Tampak kurus
samping sawah - Timbul memar kebiruan
- Kebiasaan makan instan tanpa trauma

Pemeriksaan fisik
- Tampak sakit berat
- Sesak (+)
- T : 40,3˚C, N : 140x/menit
- BB : 19,3 Kg, TB : 115 cm
- KGB membesar (+)
- Petekie (+) purpura (+)
- Hepatosplenomegali
- Edema tungkai (+)

DD :
- ALL
- AML

Pemeriksaan penunjang

Dx

Tx
1.6 Hipotesis
Anak Mela 6 tahun mengalami ALL

1.7 Pertanyaan Diskusi


1. Proses pembentukan sel darah putih
2. Proses pematangan sel darah
3. Buatlah klasifikasi Leukemia dengan format tabel klasifikasi, deskripsi
(pem.penunjang), epidemiologi usia, tanda dan gejala umum
4. Acute Limfoblastik Leukemia (ALL)
a. Definisi
b. Klasifikasi
c. Epidemiologi
d. Etiologi
e. Klasifikasi
f. Patofisiologi
g. Manifestasi klinis
h. Faktor resiko
i. Diagnosis
j. Prognosis
k. Tatalaksana
5. Acute Myeloid Leukemia
a. Definisi
b. Klasifikasi
c. Epidemiologi
d. Etiologi
e. Klasifikasi
f. Patofisiologi
g. Manifestasi klinis
h. Faktor resiko
i. Diagnosis
j. Prognosis
k. Tatalaksana
6. Jelaskan penyebab terjadinya hepatosplenomegali pada kasus!
7. Jelaskan patofisiologi dari;
a. Petekie
b. Purpura
c. BAB kehitaman
d. Edema tungkai
e. KGB membesar
f. Pucat
8. Bagaimana hubungan paparan pestisida pada kasus?
9. Bagaimana hubungan mengkonsumsi makanan instan pada kasus?
10. Bagaimana komplikasi leukemia akut?
11. Mengapa keluhan sempat membaik ketika diberi transfusi darah?
12. Sebutkan kriteria laboratorium untuk leukemia!
13. Interpretasi data tambahan !
BAB II
PEMBAHASAN
1. Proses pembentukan sel darah putih
Sel – sel polimorfonuklear dan monosit dalam keadaan normal hanya di
bentuk didalam sumsum tulang, sedangkan sel–sel limfosit dan sel–sel plasma
diproduksi dalam bermacam–macam organ limfoid termasuk limfe, limpa,
tonsil, dan bermacam–macam sel–sel limfoid yang lain di dalam sumsum tulang,
usus dan sebagainya. Sel–sel darah putih yang di bentuk di dalam sumsum
tulang, terutama granulosit akan di simpan di dalam sumsum sampai mereka
diperlukan di dalam sistem sirkulasi,kemudian bila kebutuhannya meningkat
maka akan menyebabkan granulosit tersebut dilepaskan. Dalam keadaan normal
granulosit yang bersirkulasi di dalam seluruh aliran darah kira–kira tiga kali
daripada jumlah granulosit yang di simpan dalam sumsum, jumlah ini sesuai
dengan persediaan granulosit selama enam hari.1

2. Proses pematangan sel darah


Sel-sel darah mempunyai umur tertentu, sehingga dibutuhkan
pembentukan sel-sel darah baru yang disebut hematopoesis. Proses
hematopoesis dapat dilihat pada Gambar berikut.

Proses ini berlangsung apabila terjadi pendarahan atau


penghancuran sel, yang terjadi pada sumsum tulang, kemudian setelah
dewasa bermigrasi ke darah perifer. Terdapat 2 stem sel yang berperan
dalam pembentukan sel darah yaitu stem sel mieloid dan stem sel limfoid.
Stem sel limfoid terkait dengan thymus dimana sel limfosit dihasilkan. Stem
sel mieloid jauh lebih kompleks dari stem sel limfoid. Stem sel mieloid
sedikitnya memiliki enam garis keturunan yang berbeda yaitu garis
keturunan eritrosit, trombosit, neutrofil, eosonofil, basofil, dan
monosit/makrofag. Sel-sel ini terbentuk sebelum menjadi matang (dewasa)
terjadi di sumsum tulang. Tahap akhir garis keturunan mieloid ini terdapat
dalam sel darah perifer normal.
Stem sel mieloid jauh lebih kompleks dari stem sel limfoid. Stem sel
mieloid sedikitnya memiliki enam garis keturunan yang berbeda, yaitu garis
keturunan (sel darah merah) eritrosit, trombosit, monosit, eosinofil, basofil,
dan neutrofil/makrofag. Proses terbentuknya eritrosit, trombosit, monosit,
neutrofil, eosinofil, dan basofil sebelum menjadi matur (dewasa) terjadi di
dalam sumsum tulang seperti pada gambar diatas. Tahap akhir dari garis
keturunan mieloid ini terdapat dalam sel darah perifer normal. Sumsum
tulang dan timus merupakan tempat pembentukan sel-sel darah. Apabila
kebutuhan sel darah dalam tubuh berkurang, timus dan sumsum tulang akan
memproduksi sel-sel darah tersebut.2

3. Buatlah klasifikasi Leukemia dengan format tabel klasifikasi, deskripsi


(pem.penunjang), epidemiologi usia, tanda dan gejala umum!3-6
Leukimia Leukimia Leukimia Leukimia
Limfoblastik Mieloblastik Limfoblastik Mieloblastik
Akut Akut Kronik Kronik
Deskripsi Leukemia Leukemia LLK adalah LMK adalah
limfoblastik mieloblastik suatu keganasan gangguan
akut (LLA) akut adalah klonal limfosit mieloproliferatif
adalah suatu keganasan B (jarang pada yang ditandai
keganasan hematologi yang limfosit T). dengan produksi
klonal dari sel ditandai dengan Perjalanan berlebihan sel
– sel prekursor pembentukan penyakit ini mieloid (seri
limfoid dan dan penyebaran biasanya granulosit) yang
paling sering dari sel myeloid perlahan, relatif matang.
terjadi pada yang muda dengan mencakup 20%
anak-anak akumulasi leukemia dan
progresif yang paling sering
berjalan lambat dijumpai pada
dari limfosit orang dewasa usia
kecil yang pertengahan (40-
berumur 50 tahun).
panjang. Abnormalitas
genetik yang
dinamakan
kromosom
philadelphia
ditemukan pada
90-95% penderita
LMK.
Epidemiologi Diperkirakan Insidens LLK cenderung LMK merupakan
merupakan leukemia dikenal sebagai leukemia kronis
30% dari mieloblastik kelainan ringan yang paling sering
akut (LMA)
kanker yang yang menyerang dijumpai di
kira-kira 2-
menyerang individu yang Indonesia yaitu
3/100.000
anak. Sering berusia 50 25-20% dari
penduduk. LMA
ditemukan sampai 70 tahun leukemia. LMK
lebih sering
pada anak-anak ditemukan pada dengan mencakup 20%
(82%) daripada umur dewasa perbandingan leukemia dan
umur dewasa (85%) daripada 2:1 untuk laki- paling sering
(18%). Data anak-anak laki dan dijumpai pada
yang diperoleh (15%). perempuan orang dewasa usia
dari The pertengahan (40-
National 50 tahun).
Cancer
Institute`s
surveillance,
Epidemiology,
and End Result
menyatakan
bahwa
leukemia
limfoblastik
akut pada
anak-anak
terjadi
sebanyak 26
anak
/1.000.000
pertahun.
Tanda dan Penderita letih, Adanya Sekitar 25% LMK memiliki 3
Gejala Umum lemah dengan sitopenia akibat penderita LLK fase yaitu fase
sakit tulang. infiltrasi sel tidak kronik, fase
Kegagalan leukemia akan menunjukkan akselerasi dan
sumsum menyebabkan gejala. Penderita fase krisis blas.
tulang akan kelelahan, pucat, LLK yang Pada fase kronik
terlihat dengan sesak karena mengalami ditemukan
adanya anemia, gejala biasanya hipermetabolisme,
perdarahan, perdarahan ditemukan merasa cepat
bruising, panas karena limfadenopati kenyang akibat
dan trombositopenia, generalisata, desakan limpa
infeksi. Kadang infeksi atau penurunan berat dan lambung.
ditemukan panas karena badan dan Penurunan berat
penderita neutropenia. kelelahan. badan terjadi
dengan sakit Menginfiltrasi Gejala lain yaitu setelah penyakit
kepala karena organ, sehingga hilangnya nafsu berlangsung lama.
infiltrasi makan dan Pada fase
sel leukemia ke menyebabkan penurunan akselerasi
otak, dapat hepatomegali, kemampuan ditemukan
tampak seperti splenomegali, latihan atau keluhan anemia
tanda stroke. limfadenopati olahraga. yang bertambah
Tanda lain dan beberapa Demam, berat, petekie,
arthralgia, kasus keringat malam ekimosis dan
sesak atau menyerang kulit dan infeksi demam yang
hipoksia karena menjadi semakin parah disertai infeksi.
leukostasis. leukemia kulit sejalan dengan
Hepato- perjalanan
splenomegali penyakitnya.
dan
limfadenopati
sering ada

4. Acute Limfoblastik Leukemia (ALL)


a. Definisi
Leukemia limfoblastik akut (ALL) adalah transformasi maligna dan
proliferasi sel-sel progenitor limfoid di sumsum tulang, darah, dan situs
ekstramedulla yaitu sel darah yang nantinya akan berdiferensiasi menjadi
limfosit T dan limfosit B.7

b. Klasifikasi
Subklasifikasi dari ALL yaitu:8
No. Subtipe Biomarker diagnosis
1. Immunophenotype of B-lineage CD19, CD20, CD22, CD24 dan
ALL CD79a
2. Immunophenotype of T-lineage CD1a, CD2, CD3 (membrane
ALL and cytoplasm), CD4, CD5, CD7
dan CD8
3. Mixed Phenotype Acute Memiliki satu dari beberapa
Leukemia gambaran berikut:
1) coexistence of two separate
blast cell populations (i.e. T- or
B-cell ALL plus either myeloid
or monocytic blast cells,
2) single leukemic population of
blast cells co-expressing B- or T-
cell antigens and myeloid
antigens,
3) same plus expression of
monocytic antigens.
Antigen diagnosis myelo-
monocytic lineage yaitu MPO
atau esterase nonspesifik, CD11c,
CD14, CD64 and lysozyme;
Untuk B-lineage yaitu CD19 plus
CD79a, cytoplasmic CD22 and
CD10; dan untuk T-lineage yaitu
cytoplasmic atau surface CD3.
NK Cell ALL. TdT+, CD56+, other T markers
negative, unrearranged TCR
genes

c. Epidemiologi
Leukemia limfoblastik akut didiagnosis pada sekitar 4000 orang di
Amerika Serikat setiap tahun dengan mayoritas berusia di bawah 18 tahun.
Penyakit ini merupakan keganasan yang paling umum pada masa kanan-
kanak. Usia puncak didiagnosis adalah antara dua dan sepuluh tahun.
Leukemia limfoblastik akut lebih sering terjadi pada anak-anak dengan
Trisomi 21 (sindrom down), neurofibromatosis tipe 1, sindrom Bloom, dan
ataksia telangiectasia. Semua itu bisa terjadi pada anak-anak antara dua dan
tiga tahun. Prognosis berkurang pada anak-anak ketika didiagnosis pada bayi
berusia kurang dari 1 tahun dan pada orang dewasa. Asosiasi gen MLL pada
anak-anak di kromosom 11q23 dikaitkan dengan prognosis buruk. Leukemia
limfoblastik akut adalah penyakit dengan insiden rendah secara keseluruhan
dalam studi populasi. Kejadian leukemia limfoblastik akut adalah sekitar 3,3
kasus per 100.000 anak. Tingkat kelangsungan hidup untuk ALL telah
meningkat secara dramatis sejak 1980-an, dengan tingkat kelangsungan hidup
keseluruhan lima tahun saat ini diperkirakan lebih dari 85%.9

d. Etiologi
Penyebab LLA secara pasti pada dewasa sebagian besar tidak diketahui.
Pada anak-anak, LLA berkaitan dengan faktor keturunan dan sindroma
predisposisi genetik. Adapun beberapa faktor lingkungan dan kondisi klinis
yang berhubungan dengan LLA adalah sebagai berikut :10-11
- Radiasi ionic,
- Paparan dengan benzena kadar tinggi,
- Merokok sedikit meningkatkan risiko LLA pada usia diatas 60 tahun,
- Obat kemoterapi,
- Infeksi virus Epstein Barr berhubungan kuat dengan LLA L3,
- Pasien dengan sindroma Down dan Wiskott-Aldrich mempunyai risiko
yang meningkat untuk menjadi LLA.

e. Patofisiologi
Komponen sel darah terdiri atas eritrosit atau sel darah merah (RBC)
dan leukosit atau sel darah putih (WBC) serta trombosit atau platelet. Seluruh
sel darah normal diperoleh dari sel batang tunggal yang terdapat pada seluruh
sumsum tulang. Sel batang dapat dibagi ke dalam lymphpoid dan sel batang
darah (myeloid), dimana pada kebalikannya menjadi cikal bakal sel yang
terbagi sepanjang jalur tunggal khusus. Proses ini dikenal sebagai
hematopoiesis dan terjadi di dalam sumsum tulang tengkorak, tulang
belakang., panggul, tulang dada, dan pada proximal epifisis pada tulang-
tulang yang panjang.
ALL meningkat dari sel batang lymphoid tungal dengan kematangan
lemah dan pengumpulan sel-sel penyebab kerusakan di dalam sumsum
tulang. Biasanya dijumpai tingkat pengembangan lymphoid yang berbeda
dalam sumsum tulang mulai dari yang sangat mentah hingga hampir menjadi
sel normal. Derajat kementahannya merupakan petunjuk untuk
menentukan/meramalkan kelanjutannya. Pada pemeriksaan darah tepi
ditemukan sel muda limfoblas dan biasanya ada leukositosis, kadang-kadang
leukopenia (25%). Jumlah leukosit neutrofil seringkali rendah, demikian pula
kadar hemoglobin dan trombosit. Hasil pemeriksaan sumsum tulang biasanya
menunjukkan sel-sel blas yang dominan. Pematangan limfosit B dimulai dari
sel stem pluripoten, kemudian sel stem limfoid, pre pre-B, early B, sel B
intermedia, sel B matang, sel plasmasitoid dan sel plasma. Limfosit T juga
berasal dari sel stem pluripoten, berkembang menjadi sel stem limfoid, sel
timosit imatur, cimmom thymosit, timosit matur, dan menjadi sel limfosit T
helper dan limfosit T supresor.
Peningkatan prosuksi leukosit juga melibatkan tempat-tempat
ekstramedular sehingga anak-anak menderita pembesaran kelenjar limfe dan
hepatosplenomegali. Sakit tulang juga sering dijumpai. Juga timbul serangan
pada susunan saraf pusat, yaitu sakit kepala, muntah-muntah, “seizures” dan
gangguan penglihatan. Sel kanker menghasilkan leukosit yang imatur /
abnormal dalam jumlah yang berlebihan. Leukosit imatur ini menyusup ke
berbagai organ, termasuk sumsum tulang dan menggantikan unsur-unsur sel
yang normal. Limfosit imatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan
jaringan perifer sehingga mengganggu perkembangan sel normal. Hal ini
menyebabkan haemopoesis normal terhambat, akibatnya terjadi penurunan
jumlah leucosit, sel darah merah dan trombosit. Infiltrasi sel kanker ke
berbagai organ menyebabkan pembersaran hati, limpa, limfodenopati, sakit
kepala, muntah, dan nyeri tulang serta persendian. Penurunan jumlah eritrosit
menimbulkan anemia, penurunan jumlah trombosit mempermudah terjadinya
perdarahan (echimosis, perdarahan gusi, epistaksis dll.). Adanya sel kanker
juga mempengaruhi sistem retikuloendotelial yang dapat menyebabkan
gangguan sistem pertahanan tubuh, sehingga mudah mengalami infeksi.
Adanya sel kanker juga mengganggu metabolisme sehingga sel kekurangan
makanan.12-15
f. Manifestasi klinis
Gejala klinis yang dialami oleh pasien LLA biasanya bervariasi.
Adanya akumulasi dari sel limfoblas abnormal yang berlebihan pada sumsum
tulang menyebabkan supresi pada sel darah normal sehingga tanda-tanda
klinisnya akan menunjukkan kondisi dari sumsum tulang, seperti anemia
(pucat, lemah, takikardi, dispnoe, dan terkadang gagal jantung kongestif),
trombositopenia ( peteki, purpura, perdarahan dari membran mukosa, mudah
lebam), dan neutropenia (demam, infeksi, ulserasi dari membran mukosa).
Selain itu, anoreksia dan nyeri punggung atau sendi juga merupakan salah
satu tanda klinis LLA (Roganovic, 2013). Pada pemeriksaan fisik, didapati
adanya pembesaran dari kelenjar getah bening (limfadenopati), pembesaran
limpa (splenomegali), dan pembesaran hati (hepatomegali). Pada pasien
dengan LLA prekursor sel-T dapat ditemukan adanya dispnoe dan
pembesaran vena kava karena adanya supresi dari kelenjar getah bening di
mediastinum yang mengalami pembesaran. Sekitar 5% kasus akan
melibatkan sistem saraf pusat dan dapat ditemukan adanya peningkatan
tekanan intrakranial (sakit kepala, muntah, papil edema) atau paralisis saraf
kranialis (terutama VI dan VII).16

g. Faktor resiko
Ada beberapa faktor-faktor yang membantu meningkatkan angka
kejadian LLA seperti faktor lingkungan, faktor genetik, dan faktor paparan
terhadap radiasi pada saat sedang dalam kandungan maupun pada saat kanak-
kanak. Selain itu, infeksi virus Epstein-Barr serta sel limfosit B juga berperan
terhadap kejadian LLA pada negara berkembang. Faktor Genetika Sindrom
Down Sindrom Fanconi Sindrom Bloom Diamond-Blackfan anemia Sindrom
Schwachman Sindrom Klinefelter Sindrom Turner Neurofibromatosis tipe 1
Ataxia-telangiectasia Severe combined immune deficiency Paroxysmal
nocturnal hemoglobinuria Sindrom Li-Fraumeni. Factor lingkungan Radiasi
Obat-obat Alkylating agents Nitrosourea Epipodophyllotoxin Benzene
exposure Advanced maternal age.17
h. Diagnosis
Diagnosis LLA ditegakkan melakukan anamnesis yang terarah dan
pemeriksaan lab. Pada pemeriksaan lab, hasil yang didapatkan adalah:18-20
1) Darah tepi : Pemeriksaan hematologik memperlihatkan adanya anemia
normositik normokromik dengan trombositopenia pada sebagian besar
kasus. Jumlah leukosit dapat menurun, normal, atau meningkat hingga 200
X 109/l atau lebih. Pada umumnya akan terjadi anaemia → Hb,Ht, eritrosit
menurun dan trombositopenia (kurang dari 25,000/mm3). Proporsi sel blas
pad hitung leukosit dapat bervariasi dari 0 sampai 100%. Berdasarkan
hitung leukosit dan adanya blas, leukemia dibagi :
a) Leukemia leukemik : leukositosis >30.000, blas ++
b) Leukemia subleukemik : N, 10.000-an, blas +
c) Leukemia aleukemik : leukopeni 4000-an/<, blas (-)
Sediaan Hapus Darah Tepi :
 Eritrosit normositik normokrom, eritrosit berinti
 Sel blas bervariasi , +/-
 Pada ANLL, pada sel blas mungkin terdapat Auer rod
2) Aspirasi dan biopsi tulang: pada sediaan apus tulang ditemukan
hiperseluler dengan limfoblas yang sangat banyak >/=30%, dan gambaran
monoton. Eritropoesis,trombopoesis tertekan. Tapi jika sumsum tulang
digantikan oleh sel-sel leukemia → dry-tap (karena serabut retikulin
bertambah), maka aspirasi sumsum tulang dapat tidak berhasil.
3) Sitokimia : Pada LLA, pewarnaan Sudan black dan mieloperoksidase akan
memberikan hasil yang negatif. Mieloperoksidase adalah enzim
sitoplasmik yang ditemukan pada granula primer dari prekusor
granulositik, yang dapat dideteksi padasel blas LMA. Sitokemia juga
berguna untuk membedakan precusor B dan B-ALLdari T-ALL.
Pewarnaan fosfatase asam akan positif pada limfosit T yang
ganas,sedangkan sel B dapat memberikan hasil yang positif pada
pewarnaan periodic acis Schiff (PAS). TdT yang diekspresikan oleh
limfoblas dapat dideteksi denganpewarnaan imunoperoksidase atau flow
cytometry.
4) Sitogenik: mungkin ditemukan kromosom Philadelphia. Kromosom
Philadelphia ialah kromosom yang mengalami translokasi dimana terdapat
serpihan kromosom 9 dan serpihan kromosom 22 berganti tempat. Hal ini
menyebabkan terbentuknya gen BCR-ABL. Terdapat juga kelaianan
translokasi yang lain misalnya t(8;14), t(2;8), dant(8;22) yang dapat
ditemukan pada LLA sel B.

Gambar 1. Kromosom piladelphia

5) Tes immunophenotyping : tergantung sel limfosit mana yang mengalami


keganasan.Tes ini sangat berguna dalam mengklasifikasi LLA.
6) Biologi molekular: jika terdeteksi gen BCR-LBR maka prognosis buruk.

i. Prognosis
Respon pasien terhadap pengobatan berbeda-beda. Ada yang tingkat
kesembuhannya lebih tinggi, sedangkan ada yang tingkat kesembuhannya
lebih rendah sehingga pengobatan yang dijalani lebih lama. Perbedaan yang
mempengaruhi respon terhadap pengobatan disebut sebagai faktor
prognostik.21
Berdasarkan faktor prognostik, pasien dapat digolongkan ke kelompok
resiko biasa dan resiko tinggi. Faktor prognostik ALL, yaitu:21
1. Usia Pasien anak yang berusia dibawah 18 bulan atau diatas 10 tahun
mempunyai prognosis lebih buruk dibandingkan pasien anak yang berusia
diantara itu. Pasien bayi yang berusia dibawah 6 bulan pada saat
ditegakkan diagnosis, mempunyai prognosis paling buruk.
2. Jumlah leukosit Jumlah leukosit awal pada saat penengakan diagnosis
LLA sangat bermakna tinggi sebagai suatu faktor prognostik. Ditemukan
adanya hubungan antara hitung jumlah leukosit dengan outcome pasien
LLA pada anak, yaitu pada pasien dengan jumlah leukosit > 50.000/mm3
akan mempunyai prognosis yang buruk.
3. Jenis kelaminBeberapa penelitian menyatakan bahwa anak perempuan
cenderung mempunyai prognosis yang lebih baik dibandingkan anak laki-
laki. Hal ini dikarenakan anak laki-laki mempunyai kecenderungan untuk
terjadi relaps testis, insidensi leukemia sel-T yang tinggi,
hiperleukositosis, dan organomegali serta massa pada mediastinum.
4. Imunofenotipe Imunofenotipe juga berperan dalam menentukan faktor
prognostik pasien LLA. Leukemia sel-B (L3) dengan antibodi “kappa”
dan “lambda” pada permukaannya diketahui mempunyai prognosis buruk
tetapi dengan pengobatan yang spesifik, prognosisnya membaik. Sel-T
leukemia juga mempunyai prognosis yang buruk dan digolongkan
sebagai kelompok resiko tinggi.
5. Respon terhadap terapi Respon pasien terhadap terapi dapat kita ukur dari
jumlah sel blas yang ditemukan pada pemeriksaan darah tepi seminggu
setelah dimulai terapi prednison. Prognosis dikatakan buruk apabila pada
fase induksi hari ke-7 atau 14 masih ditemukan adanya sel blas pada
sumsum tulang.
Kelainan jumlah kromosomLLA hiperdiploid (>50 kromosom/sel)
mempunyai prognosis yang baik, sedangkan LLA hipodiploid (< 45
kromosom/sel) mempunyai prognosisyang buruk. Adanya translokasi t(9;22)
atau t(4;11) pada bayi berhubungan dengan prognosis buruk.21

j. Tatalaksana
Penatalaksanaan dari leukemia terbagi atas kuratif dan suportif.
Penatalaksaan kuratif, seperti kemoterapi, bertujuan untuk menyembuhkan
leukemia. Di Indonesia sendiri sudah ada 2 jenis protokol pengobatan yang
umumnya digunakan, yaitu protokol Nasional (Jakarta) dan protokol WK-
ALL 2010. Selain dengan kemoterapi, terapi transplantasi sumsum tulang
juga memberikan kesempatan untuk sembuh terutama pada pasien yang
terdiagnosis leukemia sel-T. Penatalaksanaan suportif hanya berupa terapi
penyakit lain yang menyertai leukemia beserta komplikasinya, seperti
tranfusi darah, pemberian antibiotik, pemberian nutrisi yang baik, dan aspek
psikososial.22
Pengobatan LLA yang umumnya dilakukan adalah kemoterapi. Kemoterapi
bertujuan untuk menyembuhkan leukemia dan proses pengobatannya terdiri
dari beberapa tahapan-tahapan, yaitu fase induksi-remisi, intensifikasi awal,
konsolidasi/terapi profilaksis susunan saraf pusat, intensifikasi akhir (terbagi
atas fase re-induksi dan re-konsolidasi), dan maintenance/rumatan.23
- Terapi Induksi. Tujuan utama dari pengobatan kemoterapi adalah
untuk mencapai remisi komplit dan menggembalikan fungsi
hematopoesis yang normal. Terapi induksi meningkatkan angka remisi
hingga mencapai 98%. Terapi ini berlangsung sekitar 3-6 minggu
dengan menggunakan 3-4 obat, yaitu glukokortikoid
(prednison/deksametason), vinkristin, L-asparaginase dan atau
antrasiklin.
- Intensifikasi awal. Target pengobatan adalah anak-anak yang sudah
mencapai remisi dan fungsi hematopoesis-nya kembali normal. Tujuan
dari tahapan intensifikasi adalah untuk eradikasi sel leukemia yang
tersisa dan meningkatkan angka kesembuhan
- Konsolidasi/Terapi Profilaksis SSP. Tujuan dari tahapan ini adalah
untuk melanjutkan peningkatan kualitas remisi di sumsum tulang dan
sebagai profilaksis susunan saraf pusat.
- Intensifikasi Akhir. Penambahan dari tahap intensifikasi akhir ini
setelah terapi induksi ataupun konsolidasi ternyata meningkatkan
prognosis pasien anak dengan LLA. Tahap ini merupakan tahap
pengulangan dari tahap induksi dan intensifikasi awal dan untuk
menghindari terjadinya resistensi obat maka dilakukan pergantian obat
- Terapi rumatan. Setelah pengobatan dengan dosis tinggi dijalankan
selama 6 sampai 12 bulan, obat sitotoksis dosis rendah digunakan untuk
mencegah terjadinya kondisi relaps. Tujuan dari tahap ini adalah untuk
mengurangi sel leukemia sisa yang tidak terdeteksi. Terapi rumatan
dilaksanakan selama 2 atau 3 tahun setelah diagnosis atau setelah
tercapainya kondisi remisi morfologik. Keberhasilan ini dipantau
dengan melihat hitung leukosit (2.000-3.000/mm3).

5. Acute Myeloid Leukemia


a. Definisi
Acute Myeloid Leukemia (AML) adalah jenis neoplasma dari sumsum
tulang yang sebagian besar mempunyai persamaan gejala klinis, tetapi
mempunyai perbedaan sifat morfologik, imunofenotipik dan sitogenetik.
Leukimia mieloblastik akut dapat menyerang semua umur, tetapi
frekuensinya makin meningkat dengan bertambahnya umur. Sel leukemik
pada AML berasal dari sel blas, yang pada sebagian besar kasus adalah sel
mieloid atau monositik.24

b. Klasifikasi
Klasifikasi AML yang sering digunakan adalah klasifikasi yang dibuat
oleh French American British (FAB) yang mengklasifikasikan leukemia
mieloid akut menjadi 8 subtipe yaitu sebagai berikut:25
c. Epidemiologi
Leukemia myeloid akut (AML) adalah leukemia akut yang paling
umum pada orang dewasa, terhitung ~ 80 persen dari kasus dalam kelompok
ini. Di Amerika Serikat, kejadian AML berkisar dari tiga hingga lima kasus
per 100.000 penduduk. Pada 2015 saja, diperkirakan 20.830 kasus baru
didiagnosis, dan lebih dari 10.000 pasien meninggal karena penyakit ini.
Insiden AML meningkat dengan usia, dari ~ 1,3 per 100.000 populasi pada
pasien berusia kurang dari 65 tahun, menjadi 12,2 kasus per 100.000 populasi
pada mereka yang berusia di atas 65 tahun. Meskipun kemajuan dalam
pengobatan AML telah menyebabkan peningkatan yang signifikan dalam
hasil untuk pasien yang lebih muda, prognosis pada orang tua yang
bertanggung jawab atas sebagian besar kasus baru tetap buruk. Bahkan
dengan perawatan saat ini, sebanyak 70% dari pasien 65 tahun atau lebih tua
akan meninggal karena penyakit mereka dalam 1 tahun diagnosis.26

d. Etiologi
Etiologi untuk sebagian besar kasus AML tidak jelas, tetapi
pengetahuan yang berkembang tentang agen leukemogenenic dalam rejimen
kemoterapi untuk keganasan lainnya sudah tersedia. Ini termasuk asosiasi
spesifik dari translokasi seimbang paling sering di AML, termasuk kelainan
"risiko-baik" yang terdiri dari leukemia faktor pengikat inti (yaitu, AML
dengan translokasi (8; 21) dan inversi kromosom 16, dan leukemia
promyelositik akut. dengan translokasi (15; 17)). Berbeda dengan perubahan
genetik ini, lesi epigenetik, mis., Promotor yang membungkam dengan
hipermetilasi p15 / INK4b dan gen lain, semakin diakui sebagai penting
dalam patogenesis AML.27
Secara umum, faktor-faktor risiko yang diketahui hanya mencakup
sejumlah kecil kasus yang diamati. Ini termasuk usia, penyakit hematologis
yang anteseden, dan kelainan genetik; serta paparan terhadap virus serta
radiasi, bahan kimia, atau bahaya pekerjaan lainnya dan kemoterapi
sebelumnya.27
e. Patofisiologi
Patogenesis utama AML adalah adanya blockade maturitas yang
menyebabkan proses diferensiasi sel-sel myeloid terhenti pada sel-sel muda
(blast) akibat terjadinya akumulasi blast di sumsum tulang. AML merupakan
penyakit dengan transformasi maligna dan perluasan klon-klon sel-sel
hematopoetik yang terhambat pada tingkat diferensiasi dan tidak bisa
berkembang menjadi bentuk yang lebih matang. Sel darah berasal dari sel
induk hematopoesis pluripoten yang kemudian berdiferensiasi menjadi induk
limfoid dan induk mieloid (non limfoid) multipoten. Sel induk limfoid akan
membentuk sel T dan sel B, sel induk mieloid akan berdiferensiasi menjadi
sel eritrosit, granulosit-monosit dan megakariosit. Pada setiap stadium
diferensiasi dapat terjadi perubahan menjadi suatu klon leukemik yang belum
diketahui penyebabnya. Bila hal ini terjadi maturasi dapat terganggu,
sehingga jumlah sel muda akan meningkat dan menekan pembentukan sel
darah normal dalam sumsum tulang. Sel leukemik tersebut dapat masuk
kedalam sirkulasi darah yang kemudian menginfiltrasi organ tubuh sehingga
menyebabkan gangguan metabolisme sel dan fungsi organ.28
AML merupakan neoplasma uniklonal yang menyerang rangkaian
mieloid dan berasal dari transformasi sel progenitor hematopoetik. Sifat alami
neoplastik sel yang mengalami transformasi yang sebenarnya telah
digambarkan melalui studi molekular tetapi defek kritis bersifat intrinsik dan
dapat diturunkan melalui progeni sel. Defek kualitatif dan kuantitatif pada
semua garis sel mieloid, yang berproliferasi pada gaya tak terkontrol dan
menggantikan sel normal.28
Sel-sel leukemik tertimbun di dalam sumsum tulang, menghancurkan
dan menggantikan sel-sel yang menghasilkan sel darah yang normal. Sel
kanker ini kemudian dilepaskan ke dalam aliran darah dan berpindah ke organ
lainnya, dimana mereka melanjutkan pertumbuhannya dan membelah diri.
Mereka bisa membentuk tumor kecil (kloroma) di dalam atau tepat dibawah
kulit dan bisa menyebabkan meningitis, anemia, gagal hati, gagal ginjal dan
kerusakan organ lainnya. Kematian pada penderita leukemia akut pada
umumnya diakibatkan penekanan sumsum tulang yang cepat dan hebat, akan
tetapi dapat pula disebabkan oleh infiltrasi sel leukemik tersebut ke organ
tubuh penderita.28

f. Manifestasi klinis
Gejala berhubungan dengan beratnya penekanan pada sistem
hematopoesis normal, yang mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya
anemia, infeksi, dan perdarahan.29
 Pucat, lelah, dan lemah hampir terhadap semua pasien akibat anemia
 Infeksi disebabkan neutropenia
 Perdarahan, memar, dan petekghia disebabkan oleh trombositopenia
 Pada LMA dapat terjadi infiltrasi ke kulit (leukemia kutis), infiltrasi gusi.
 Splenomegali, hepatomegali, dan limfadenopati ditemukan pada 50%
kasus

g. Diagnosis
Diawali dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, pada anamnesis dicari
tahu tanda dan gejala leukemia. Ditelusuri juga ada atau tidaknya riwayat
keganasan dalam keluarga. Pada pemeriksaan fisik, dilihat adanya
pembesaran kelenjar getah bening, bias juga dilakukan pemeriksaan abdomen
untuk melihat ada tidaknya pembesaran hati atau limpa. Selain anamnesis,
diagnosa yang paling mungkin pada leukemia (limfoid atau myeloid) dapat
ditegakkan dengan morfologi sel blast pada pemeriksaan darah tepi atau
biopsi sum-sum tulang. Sebagian besar pasien memiliki jumlah hitung sel
darah yang abnormal seperti anemia dan trombositopenia (paling sering). Sel
darah putih dapat rendah, normal atau tinggi. 15% -20% pasien mempunyai
sel darah putih lebih dari 50.000/mm.30
Analisis sitogenik harus dilakukan pada semua kasus leukemia akut.
Pada beberapa kasus leukemia limfoid dan leukemia myeloid mempunyai
kelaianan kromosom yang spesifik. Fluorescence insitu hybridization,
polymerase chain reaction atau keduanya saat ini digunakan pada banyak
kasus leukemia karena banyak kromosom abnormal yang tidak jelas tampak
pada karyotipe rutin. Lumbal puncture harus selalu dilakukan pada saat
diagnosa untuk mengevaluasi kemungkinan terlibatnya susunan syaraf
pusat.30

h. Prognosis
Sebagian besar pasien dengan leukemia myeloid akut berusia lebih dari
60 tahun, dan hasilnya masih mengecewakan. Untuk pasien yang lebih muda,
prognosisnya lebih baik jika mereka menerima cytarabine dosis tinggi
sebagai terapi pasca-remisi dan jika mereka dirawat dalam pengaturan uji
klinis.31

i. Tatalaksana
Terapi yang dilakukan yaitu:32
1. Terapi induksi
Terapi induksi kemoterapi intensif sebagai tata laksana utama terapi
AML dengan menggunakan standar anthracycline dan cytarabine, 7+3.
Dosis umum obat beserta waktu pemberian daunorubicin (60 atau 90
mg/m2 on days 1, 2 dan 3) or idarubicin (10–12 mg/m2 on days 1, 2 dam
3) yang disertai pemberian infuse cytarabine terus-menerus selama 7 hari
(100 mg/m2/daily for one week (days 1 through 7). Tujuan utama
kemoterapi induksi adalah untuk mencapai morphologic complete
remission (CR), yang digambarkan dengan: (1) <5% blasts pada sampel
aspirasi sumsum tulang dengan sumsum tulang berspikula dan dengan
perhitungan ≥ 200 sel bernukleus (no blasts with Auer rods or persistence
of extramedullary disease); (2) absolute neutrophil count (ANC)
>1000/µL, and (3) platelets ≥ 100,000/µL.
2. Stratesi konsolidasi
Kensolidasi atau terapi pos-induksi diberikan untuk mencegah
relaps dan menghilangkan leukemia residual minimal pada sumsum
tulang.
6. Jelaskan penyebab terjadinya hepatosplenomegali pada kasus!
Karena sumsum tulang belakang digunakan tidak adekuat untuk
memproduksi sel sel darah sehingga organ organ seperti limpa dan hati berkerja
lebih keras untuk proses pembuatan sel darah untuk mencukupi kebutuhan tubuh
sehingga organ organ tersebut membesar.33

7. Jelaskan patofisiologi dari;


a. Petekie
Petekie merupakan bercak merah kecil pada permukaan kulit yang
timbul dikarenakan pecahnya pembuluh darah kapiler sehingga membuat
darah dari dalam kapiler itu keluar dan merembes ke dalam jaringan
sekitarnya.34

b. Purpura
Purpura yang timbul terjadi akibat pecahnya dinding-dinding kapiler
yang dalam keadaan normal dapat cepat diatasi dengan sistem hemostasis
primer, yaitu trombosit. Tetapi dalam keadaan trombositopenia, pecahnya
kapiler tidak dapat diatasi oleh trombosit dengan cepat, jadi timbul
perdarahan kapiler di bawah kulit.35

c. Pucat
Warna merah pada darah diperankan oleh hemoglobin. Hemoglobin
adalah suatu pigmen (yaitu berwarna secara alami). Karena kandungan
besinya, hemoglobin tampak kemerahan jika berikatan dengan O2 dan
kebiruan jika meng-alami deoksigenasi. Karena itu, darah arteri yang
teroksigenasi penuh akan berwarna merah dan darah vena, yang
telahkehilangan sebagian kandungan O2-nya di tingkat jaringan, memiliki
rona kebiruan. Pucat, lelah, dan lemah hampir terjadi pada semua pasien
akibat anemia. Anemia berhubungan dengan beratnya penekanan pada sistem
hematopoiesis normal. Anemia muncul akibat kegagalan sumsum tulang
mempertahankan fungsinya.36
8. Bagaimana hubungan paparan pestisida pada kasus?
Paparan pestisida melalui pekerjaan orang tua atau bahan kimia rumah
tangga telah muncul sebagai faktor risiko untuk leukemia masa kanak-kanak
terutama AML. Dua meta-analisis menunjukkan bahwa paparan pekerjaan ibu
sebelum melahirkan terhadap pestisida sangat terkait dengan AML . Estimasi
risiko adalah (sOR: 2,64, 95% CI: 1,48-4,71) dan (mRR 2,68; 95% CI 1,06-6,78)
dalam setiap studi. Memang, hubungan yang luar biasa antara paparan terkait
pertanian dan leukemia anak diamati (sOR: 2,44, 95% CI: 1,53-3,89). Hasil
tersebut didasarkan pada beberapa studi yang menilai asosiasi risiko untuk
AML.37
Sebuah studi kasus-kontrol berbasis rumah sakit dari Children's Cancer
Study Group (CCG), yang mengumpulkan 204 kasus AML dibawah 18 tahun
dan kontrol tunggal, menunjukkan hubungan paparan pestisida terhadap
pekerjaan pada ibu dengan risiko AML anak.37

9. Bagaimana hubungan mengkonsumsi makanan instan pada kasus?


Terdapat hubungan mengkonsumsi makanan yang diawetkan dengan
terjadinya leukemia dimana pada makanan yang diawetkan seperti hotdogs,
ham, bacon dan sosis menyebabkan resiko anak terkena leukemia. Kasus
leukemia pada anak dapat meningkat pada anak yang mengkonsumsi 12 atau
lebih hotdogs tiap bulan.38
Seringnya konsumsi daging dan ikan yang diawetkan ataupun diasapi
dengan frekuensi beberapa kali seminggu dapat meningkatkan resiko leukemia
akut sedangkan konsumsi kacang yang diawetkan dapat menurunkan resiko dari
leukemia akut. Selain itu konsumsi sayur juga menurunkan resiko terjadinya
leukemia akut. Konsumsi the, buah dan sayur yang diasamkan (acar) tidak
memiliki hubungan dengan leukemia akut pada anak.39

10. Bagaimana komplikasi leukemia akut?


Komplikasi metabolik pada anak dengan LLA dapat disebabkan oleh lisis
sel leukemik akibat kemoterapi atau secara spontan dan komplikasi ini dapat
mengancam jiwa pasien yang memiliki beban sel leukimia yang besar.
Terlepasnya komponen intraselular dapat menyebabkan hiperurisemia,
hiperkalsemia, dan hiperfosfatemia dengan hipokalsemia sekuder. Beberapa
pasien dapat menderita nefropati asam urat atau nefrokalsinosis. Jarang sekali
timbul urolitiasis dengan obstruksi ureter setelah pasien diobati untuk leukemia.
Hidrasi, pemberian alopurinol dan alumunium hidroksida, serta penggunaan
alkalinisasi urin yang tepat dapat mencegah atau memperbaiki komplikasi ini.
Infiltrasi leukemik yang difus pada ginjal juga dapat menimbulkan kegagalan
ginjal. Terapi vinkristin atau siklofossamid dapat mengakibatkan peningkatan
hormon antidiuretik, dan pemberian antibiotika tertentu yang mengandung
natrium, seperti tikarsilin atau kabernisilin, dapat mengakibatkan hipokalemia.
Hiperglikemia dapat terjadi pada 10 % pasien setelah pengobatan dengan
prednison dan asparaginasi dan memerlukan penggunaan insulin jangka pendek.
Karena efek mielosupresif dan imunosupresif LLA dan juga kemoterapi,
anak yang menderita leukemia lebih rentan terhadap infeksi. Sifat infeksi ini
bervariasi dengan pengobatan dan fase penyakit. Infeksi yang paling awal adalah
bakteri, yang dimanifestasikan oleh sepsis, pneumonia, selulitis, dan otitis
media. Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Staphylococcus aureus,
Klebsiella pneumonia, Staphylococcus epidrmidis, Proteus mirabilis, dan
Haemophilus influenza adalah organisme yang biasanya menyebabkan septik.
Setiap pasien yang mengalami febris dengan granulositopenia yang berat harus
dianggap septik dan diobati dengan antibiotik spektrum luas. Transfusi
granulosit diindikasikan untuk pasien dengan granulositopenia absolut dan
septikemia akibat kuman gram negatif yang berespon buruk terhadap
pengobatan. 40-41
Dengan pengguanaan kemoterapi yang intensif dan pemajanan antibiotika
atau hidrokortison yang lama, infeksi jamur yang diseminata oleh Candida atau
Aspergillus lebih sering terjadi, meskipun organisme itu sulit dibiakkan dari
bahan darah. CT scan bermanfaat untuk mengetahui keterlibatan organ viscera.
Abses paru, hati, limpa, ginjal, sinus,atau kulit memberi kesan infeksi jamur.
Amfositerin B adalah pengobatan pilihan, dengan 5-fluorositosin dan rifamisin
kadang kala ditambahkan untuk memperkuat efek obat tersebut. 40-41
Pneumonia Pneumocytis carinii yang timbul selama remisi merupakan
komplikasi yang sering dijumpai pada masa lalu, tetapi sekarang telah jarang
karena kemoprofilaksisrutin dengan trimetropim-sulfametoksazol. Karena
penderita leukemia lebih rentan terhadap infeksi, vaksin yang mengandung virus
hidup ( polio, mumps, campak, rubella ) tidak boleh diberikan. Karena adanya
trombositopenia yang disebabkan oleh leukemia atau pengobatannya,
manifestasi perdarahan adalah umum tetapi biasanya terbatas pada kulit dan
membranmukosa. Manifestasi perdarahan pada sistem saraf pusat, paru, atau
saluran cerna jarang terjadi, tetapi dapat mengancam jiwa pasien. Transfusi
dengan komponen trommbosit diberikan untuk episode perdarahan. Koagulopati
akibat koagulasi intravaskuler diseminata, gangguan fungsi hati, atau kemoterapi
pada LLA biasanya ringan. Dewasa ini, trombosis vena perifer atau serebral,
atau keduanya, telah dijumpai pada 1 – 3 % anak setelah diinduksi pengobatan
dengan prednison, vinkristin, dan asparaginase. Patogenesis dari komplikasi ini
belum diketahui, tetapi disebabkan oleh status hiperkoagulasi akibat obat.
Biasanya, obat yang dapat menyebabkan gangguan fungsi trombosit, seperti
salisilat, harus dihindari pada penderita leukemia. 40-41
Dengan adanya keberhasilan dalam pengobatan LLA, perhatian sekarang
lebih banyak ditujukan pada efek terapi yang lambat. Profilaksis sistem saraf
pusat dan pengobatan sistemik yang diintensifkan telah mengakibatkan
leukoensefalopati, mineralisasi mikroangiopati, kejang, dan gangguan
intelektual pada beberapa pasien. Pasien juga memilikiresiko tinggi untuk
menderita keganasan sekunder. Efek lambat lainnya adalah
gangguanpertumbuhan dan disfungsi gonad, tiroid, hati, dan jantung. Kerusakan
jantung terutama terjadi secara tersembunyi, karena gangguan fungsional tidak
terlihat sampai beberapa tahun kemudian. Terdapat juga beberapa pertanyaan
mengenai arteri koroner serta insufiensi miokard dini. Sedikit informasi yang
didapat tentang efek teratogenik dan muagenik pada terapi antileukemik;
meskipun demikian, tidak ada bukti meningkatnya cacat lahir di antara anak
yang dilahirkan oleh orang tua yang penah mendapat pengobatan leukemia.40-41
11. Mengapa keluhan sempat membaik ketika diberi transfusi darah?
Hal ini bertujuan untuk meningkatkan jumlah trombosit dan hemoglobin
dalam darah. Kurangnya jumlah platelet dalam darah dapat menyebabkan
memar spontan atau perdarahan mukosa dan bawah kulit, sedangkan rendahnya
nilai hemoglobin akan menyebabkan anemia sehingga anak terlihat pucat, lelah,
lemah, dan kurang berenergi, selain itu rendahnya nilai hemoglobin dalam darah
juga menyebabkan sesak akibat kurangnya jumlah oksigen yang dapat diikat dan
diedarkan ke jaringan tubuh. Transfusi darah bertujuan untuk memperbaiki
kondisi-kondisi di atas.42

12. Sebutkan kriteria laboratorium untuk leukemia!43


a) Leukositosis dengan perhitungan sel darah putih > 20,000 per µL (20.0 x
109 per L)
b) Apusan darah tepi:
 Pemeriksaan spesimen darah lengkap di bawah mikroskop
 Terlihat beberapa sel blast, peningkatan basofil dan eosinofil:
Kemungkinan leukemia myelogenous kronis
 Untuk mengkonfirmasi leukemia myelogenous kronis: Uji sitogenik
atau molekuler dari sumsum tulang atau darah tepi untuk kromosom
Philadelphia (gen fusi BCR-ABL1)
 Adanya peningkatan sel-sel blast: Kemungkinan leukemia akut
 Untuk mengkonfirmasi leukemia myelogenous akut vs leukemia
limfoblastik akut: Immunophenotyping dengan aliran sitometri dan
pengujian sitogenetik darah perifer atau spesimen sumsum tulang
 Peningkatan yang nyata dari limfosit yang muncul secara normal (> 50%
sel pada apusan): Kemungkinan leukemia limfositik kronis
 Untuk mengkonfirmasi leukemia limfositik kronis: Perluasan klonal
setidaknya 5.000 limfosit B per µL (5,0 × 109 per L) oleh aliran
sitometri dan immunophenotyping dalam darah tepi
 Identifikasi batang Auer pada leukemia myelogenous akut, dan sel-sel
blast pada leukemia myelogenous akut dan leukemia lymphoblastic akut
c) Aspirasi atau biopsi sumsum tulang
Pemeriksaan konsentrasi sel hematopoietik yang lebih besar, untuk:
 Identifikasi sel-sel blast pada leukemia myelogenous akut dan leukemia
lymphoblastic akut
 Tingkat keterlibatan sumsum tulang berkorelasi dengan prognosis pada
leukemia limfositik kronis
d) Pengujian sitogenetik
Pemeriksaan seluruh kromosom melalui analisis hibridisasi karyotyping
atau fluoresensi in situ, untuk:
 Deteksi kromosom Philadelphia (gen fusi BCR-ABL1) untuk diagnosis
leukemia myelogenous kronis
 Mengidentifikasi kelainan kromosom untuk mendiagnosis subtipe
leukemia
 Dapat digunakan untuk memandu pengobatan dan menentukan prognosis
e) Flow citometry dengan immunophenotyping
Menyortir dan menghitung sel (dari darah tepi atau sampel sumsum tulang)
berdasarkan penanda permukaan sel tertentu, untuk:
 Menghitung sel klon dari garis keturunan limfoid untuk diagnosis
leukemia limfositik kronis
 Mengidentifikasi penanda permukaan sel tertentu untuk mendiagnosis
subtipe leukemia
f) Pengujian molekuler
Pengujian mutasi spesifik pada tingkat DNA melalui pengujian reaksi
berantai polymerase, untuk:
 Deteksi kromosom Philadelphia (gen fusi BCR-ABL1) untuk diagnosis
leukemia myelogenous kronis
 Membantu diagnosis subtipe leukemia; juga dapat digunakan untuk
memandu pengobatan dan menentukan prognosis
BAB III
KESIMPULAN

Anak Mela 6 tahun mengalami ALL dan diperlukan penatalaksaan segera.


BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton AC. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC; 1995
2. Wellman ML. Hematopoiesis. Di dalam: Douglas J weiss, K Jane Wardrop,
editor. Schalm‟s Veterinary Hematology Sixth Edition. United States of
America: Wiley-Blackwell. 2010. hal: 27-35
3. Abdul-Hamid G. Classification of Acute Leukemia. The Scientist`s Perspective
and Challenge. 2011.
4. Greer J.P, Foerster J, Lukens J.N. Wintrobe`s Clinical Hematology.11th
ed.USA: Lippincott Williams & Wilkins. 2003.
5. Belson M, Kingsley B, Holmes A. Risk factors for Acute Leukemia in Children:
A Review.Environmental Health Perspectives.2007;115:138-143.
6. American Cancer Society. Leukemia: Acute Lymphocytic Overview. American
Cancer Society. 2016
7. Terwilliger T, Abdul-Hay M. Acute lymphoblastic leukemia: a comprehensive
review and 2017 update. Blood Cancer Journal. 2017; 7(e577):1-12.
8. Chiaretti, Sabina et al. “Diagnosis and subclassification of acute lymphoblastic
leukemia.” Mediterranean journal of hematology and infectious diseases. 1 Nov
2014:6.
9. Puckett Y, Chan O. Cancer, Acute Lymphocytic Leukemia (ALL). In:
StatPearls. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing;2019 Jan.
10. Lanzkowsky P, Manual of Pediatric hematology and Oncology. 5th ed.USA:
ELSEVIER. 2011.
11. American Cancer Society. Childhood leukemia. American Cancer Society. 2016
12. Ngastiyah. Perawatan Anak Sakit. Edisi 1. Jakarta: EGC
13. Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8.
Jakarta : EGC; 2002
14. Suriadi. Asuhan Keperawatan pada Anak. Edisi 1. Jakarta: PT Fajar Inter
Pratama; 2001
15. Betz CL, Sowden LA. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Edisi 3. Alih Bahasa:
Tambayong. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
16. Roganovic, J. Acute Lymphoblastic Leukemia in Children, Leukemia. [Online]
Available at: http://www.intechopen.com/books/leukemia/acute lymphoblastic-
leukemia-in-children. 2013.
17. Tubergen, David G., dan Bleyer, Archie. The Leukemias. Dalam : Kliegman,
Robert M., Behrman, Richard E., Jenson, Hal B., and Stanton, Bonita F. (ed.),
Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi XVIII. USA: Saunders Elsevier. 2007.
18. Hoffbrand A.V, Pettit J.E, Moss P.A.H. Kapita selekta Hematologi. Ed.4.
Jakarta: ECG; 2005. p.150-1532)
19. Kurnia Y, Santoso M, Rumawas J et al. Buku Panduan Keteramppilan Medik.
Jakarta: Biro Publikasi Fakultas Kedokteran Ukrida; 2009: p.5
20. Childhood Acute Lymphoblastic Leukemia, National Cancer Institute, US
National Institute of Health; 2011
21. IDAI. Buku Ajar Hematologi- Onkologi Anak. Jakarta: EGC. 2010.
22. Permono B, Ugrasena I. Leukimia Akut. Dalam: Permono B, Sutaryo, Ugrasena,
Windiastuti E, Abdulsalam M, Penyunting. 3rd ed. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2010.
23. Roganovic, J., Acute Lymphoblastic Leukemia in Children, Leukemia. 2013.
24. Saultz JN, Garzon R. Acute myeloid leukemia: A concise review. J Clin Med;
2016.
25. Kouchkovsky ID, Abdul-Hay M. Acute myeloid leukemia: a comprehensive
review and 2016 update. Blood Cancer Journal. 2016; 6(e441):1-10.
26. Deschler, B., & Lübbert, M. (2006). Acute myeloid leukemia: Epidemiology and
etiology. Cancer, 107(9), 2099–2107. doi:10.1002/cncr.22233
27. Kurnianda, J., (2006). Leukemia Mieloblastik Akut. Dalam: Sudoyo, Aru W.,
eds. 2006.
28. Manz GO, Wirawan R. Leukemia mielositik akut subtype M1. In: Kumpulan
ekspertis II Departemen patologi klinik FKUI 2005-2009. Editor: Wirawan R.
Fakultas kedokteran universitas Indonesia. 2009. 25-30
29. American Cancer Society. Cancer Facts & Figures 2014. Atlanta : American
Cancer Society. 2014.
30. Lerch E, et al. Prognosis of acute myeloid leukemia in the general population:
data from southern Switzerland. Tumori. 2009;95(3):303-10.
31. Saultz, Jennifer N, and Ramiro Garzon. “Acute Myeloid Leukemia: A Concise
Review.” Journal of clinical medicine vol. 5,3 33. 5 Mar. 2016.
32. Setiati S, Syam AF. Ilmu penyakit dalam. 6th ed. Jakarta: InternaPublishing;
2014.
33. Gandasoebrata R. Penuntun laboratorium klinik. Jakarta: Dian Rakyat; 2010.
34. Saultz JN, Garzon R. Acute myeloid leukemia: A concise review. J Clin Med;
2016.
35. Lauralle Sherwood. Fisiologi Manusia Dari sel ke sistem. Jakarta. EGC. 2014
hal 412
36. Manz GO, Wirawan R. Leukemia mielositik akut subtype M1. In: Kumpulan
ekspertis II Departemen patologi klinik FKUI 2005-2009. Editor: Wirawan R.
Fakultas kedokteran universitas Indonesia. 2009. 25-30
37. Oliveira MSP., et al. Acute myeloid leukaemia at an early age: Reviewing the
interaction between pesticide exposure and KMT2A-rearrangement. 2017,
11:782
38. Buffler PA, Kwan ML, Reynolds P, Urayama KY. Environmental and genetic
risk factors for childhood leukemia: appraising the evidence. Cancer
investigation. 2005 Jan 1;23(1):60-75.
39. Liu, Chen-Yu et al. Cured meat, vegetables, and bean-curd foods in relation to
childhood acute leukemia risk: a population based case-control study. BMC
cancer. 9. 15. 13 Jan. 2009.
40. Conter V, Rizzari C, Sala A, Chiesa R, Citterio M, Biondi A, Acute
Lymphoblastic Leukemia; 2004.
41. Parveen K, Michael C. Acute Leukaemias, Malignant Disease, Kumar & Clark’s
Clinical Medicine, 7th ed. Spain; 2005: p. 468 – 472
42. Zapater E, Bagan JV, Carbonell F, Basterra J. Malignant lymphoma of the head
and neck. Oral Dis; 2010.
43. Davis AS, Viera AJ, Mead MD. Leukemia: An overview for primary care.
American Family Physician. 2014; 89(9):731-738.

Anda mungkin juga menyukai