Kelompok 4
Muhammad Wildan Refaldi I1011161004
Giovanni Lawira I1011161007
Muhammad Ibnu Nazari I1011161009
Raditya Tri Prasetyo I1011161012
Nurani Takwim I1011161022
Yessi Yulia Magdalina I1011161024
Dewi Sapitri I1011161032
Dwi Ayu Wulandari I1011161042
Monica Meilany Gultom I1011161053
Andri Muhrim Siddiq I1011161061
Dellaneira Ananda I1011161065
Pemeriksaan fisik
- Tampak sakit berat
- Sesak (+)
- T : 40,3˚C, N : 140x/menit
- BB : 19,3 Kg, TB : 115 cm
- KGB membesar (+)
- Petekie (+) purpura (+)
- Hepatosplenomegali
- Edema tungkai (+)
DD :
- ALL
- AML
Pemeriksaan penunjang
Dx
Tx
1.6 Hipotesis
Anak Mela 6 tahun mengalami ALL
b. Klasifikasi
Subklasifikasi dari ALL yaitu:8
No. Subtipe Biomarker diagnosis
1. Immunophenotype of B-lineage CD19, CD20, CD22, CD24 dan
ALL CD79a
2. Immunophenotype of T-lineage CD1a, CD2, CD3 (membrane
ALL and cytoplasm), CD4, CD5, CD7
dan CD8
3. Mixed Phenotype Acute Memiliki satu dari beberapa
Leukemia gambaran berikut:
1) coexistence of two separate
blast cell populations (i.e. T- or
B-cell ALL plus either myeloid
or monocytic blast cells,
2) single leukemic population of
blast cells co-expressing B- or T-
cell antigens and myeloid
antigens,
3) same plus expression of
monocytic antigens.
Antigen diagnosis myelo-
monocytic lineage yaitu MPO
atau esterase nonspesifik, CD11c,
CD14, CD64 and lysozyme;
Untuk B-lineage yaitu CD19 plus
CD79a, cytoplasmic CD22 and
CD10; dan untuk T-lineage yaitu
cytoplasmic atau surface CD3.
NK Cell ALL. TdT+, CD56+, other T markers
negative, unrearranged TCR
genes
c. Epidemiologi
Leukemia limfoblastik akut didiagnosis pada sekitar 4000 orang di
Amerika Serikat setiap tahun dengan mayoritas berusia di bawah 18 tahun.
Penyakit ini merupakan keganasan yang paling umum pada masa kanan-
kanak. Usia puncak didiagnosis adalah antara dua dan sepuluh tahun.
Leukemia limfoblastik akut lebih sering terjadi pada anak-anak dengan
Trisomi 21 (sindrom down), neurofibromatosis tipe 1, sindrom Bloom, dan
ataksia telangiectasia. Semua itu bisa terjadi pada anak-anak antara dua dan
tiga tahun. Prognosis berkurang pada anak-anak ketika didiagnosis pada bayi
berusia kurang dari 1 tahun dan pada orang dewasa. Asosiasi gen MLL pada
anak-anak di kromosom 11q23 dikaitkan dengan prognosis buruk. Leukemia
limfoblastik akut adalah penyakit dengan insiden rendah secara keseluruhan
dalam studi populasi. Kejadian leukemia limfoblastik akut adalah sekitar 3,3
kasus per 100.000 anak. Tingkat kelangsungan hidup untuk ALL telah
meningkat secara dramatis sejak 1980-an, dengan tingkat kelangsungan hidup
keseluruhan lima tahun saat ini diperkirakan lebih dari 85%.9
d. Etiologi
Penyebab LLA secara pasti pada dewasa sebagian besar tidak diketahui.
Pada anak-anak, LLA berkaitan dengan faktor keturunan dan sindroma
predisposisi genetik. Adapun beberapa faktor lingkungan dan kondisi klinis
yang berhubungan dengan LLA adalah sebagai berikut :10-11
- Radiasi ionic,
- Paparan dengan benzena kadar tinggi,
- Merokok sedikit meningkatkan risiko LLA pada usia diatas 60 tahun,
- Obat kemoterapi,
- Infeksi virus Epstein Barr berhubungan kuat dengan LLA L3,
- Pasien dengan sindroma Down dan Wiskott-Aldrich mempunyai risiko
yang meningkat untuk menjadi LLA.
e. Patofisiologi
Komponen sel darah terdiri atas eritrosit atau sel darah merah (RBC)
dan leukosit atau sel darah putih (WBC) serta trombosit atau platelet. Seluruh
sel darah normal diperoleh dari sel batang tunggal yang terdapat pada seluruh
sumsum tulang. Sel batang dapat dibagi ke dalam lymphpoid dan sel batang
darah (myeloid), dimana pada kebalikannya menjadi cikal bakal sel yang
terbagi sepanjang jalur tunggal khusus. Proses ini dikenal sebagai
hematopoiesis dan terjadi di dalam sumsum tulang tengkorak, tulang
belakang., panggul, tulang dada, dan pada proximal epifisis pada tulang-
tulang yang panjang.
ALL meningkat dari sel batang lymphoid tungal dengan kematangan
lemah dan pengumpulan sel-sel penyebab kerusakan di dalam sumsum
tulang. Biasanya dijumpai tingkat pengembangan lymphoid yang berbeda
dalam sumsum tulang mulai dari yang sangat mentah hingga hampir menjadi
sel normal. Derajat kementahannya merupakan petunjuk untuk
menentukan/meramalkan kelanjutannya. Pada pemeriksaan darah tepi
ditemukan sel muda limfoblas dan biasanya ada leukositosis, kadang-kadang
leukopenia (25%). Jumlah leukosit neutrofil seringkali rendah, demikian pula
kadar hemoglobin dan trombosit. Hasil pemeriksaan sumsum tulang biasanya
menunjukkan sel-sel blas yang dominan. Pematangan limfosit B dimulai dari
sel stem pluripoten, kemudian sel stem limfoid, pre pre-B, early B, sel B
intermedia, sel B matang, sel plasmasitoid dan sel plasma. Limfosit T juga
berasal dari sel stem pluripoten, berkembang menjadi sel stem limfoid, sel
timosit imatur, cimmom thymosit, timosit matur, dan menjadi sel limfosit T
helper dan limfosit T supresor.
Peningkatan prosuksi leukosit juga melibatkan tempat-tempat
ekstramedular sehingga anak-anak menderita pembesaran kelenjar limfe dan
hepatosplenomegali. Sakit tulang juga sering dijumpai. Juga timbul serangan
pada susunan saraf pusat, yaitu sakit kepala, muntah-muntah, “seizures” dan
gangguan penglihatan. Sel kanker menghasilkan leukosit yang imatur /
abnormal dalam jumlah yang berlebihan. Leukosit imatur ini menyusup ke
berbagai organ, termasuk sumsum tulang dan menggantikan unsur-unsur sel
yang normal. Limfosit imatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan
jaringan perifer sehingga mengganggu perkembangan sel normal. Hal ini
menyebabkan haemopoesis normal terhambat, akibatnya terjadi penurunan
jumlah leucosit, sel darah merah dan trombosit. Infiltrasi sel kanker ke
berbagai organ menyebabkan pembersaran hati, limpa, limfodenopati, sakit
kepala, muntah, dan nyeri tulang serta persendian. Penurunan jumlah eritrosit
menimbulkan anemia, penurunan jumlah trombosit mempermudah terjadinya
perdarahan (echimosis, perdarahan gusi, epistaksis dll.). Adanya sel kanker
juga mempengaruhi sistem retikuloendotelial yang dapat menyebabkan
gangguan sistem pertahanan tubuh, sehingga mudah mengalami infeksi.
Adanya sel kanker juga mengganggu metabolisme sehingga sel kekurangan
makanan.12-15
f. Manifestasi klinis
Gejala klinis yang dialami oleh pasien LLA biasanya bervariasi.
Adanya akumulasi dari sel limfoblas abnormal yang berlebihan pada sumsum
tulang menyebabkan supresi pada sel darah normal sehingga tanda-tanda
klinisnya akan menunjukkan kondisi dari sumsum tulang, seperti anemia
(pucat, lemah, takikardi, dispnoe, dan terkadang gagal jantung kongestif),
trombositopenia ( peteki, purpura, perdarahan dari membran mukosa, mudah
lebam), dan neutropenia (demam, infeksi, ulserasi dari membran mukosa).
Selain itu, anoreksia dan nyeri punggung atau sendi juga merupakan salah
satu tanda klinis LLA (Roganovic, 2013). Pada pemeriksaan fisik, didapati
adanya pembesaran dari kelenjar getah bening (limfadenopati), pembesaran
limpa (splenomegali), dan pembesaran hati (hepatomegali). Pada pasien
dengan LLA prekursor sel-T dapat ditemukan adanya dispnoe dan
pembesaran vena kava karena adanya supresi dari kelenjar getah bening di
mediastinum yang mengalami pembesaran. Sekitar 5% kasus akan
melibatkan sistem saraf pusat dan dapat ditemukan adanya peningkatan
tekanan intrakranial (sakit kepala, muntah, papil edema) atau paralisis saraf
kranialis (terutama VI dan VII).16
g. Faktor resiko
Ada beberapa faktor-faktor yang membantu meningkatkan angka
kejadian LLA seperti faktor lingkungan, faktor genetik, dan faktor paparan
terhadap radiasi pada saat sedang dalam kandungan maupun pada saat kanak-
kanak. Selain itu, infeksi virus Epstein-Barr serta sel limfosit B juga berperan
terhadap kejadian LLA pada negara berkembang. Faktor Genetika Sindrom
Down Sindrom Fanconi Sindrom Bloom Diamond-Blackfan anemia Sindrom
Schwachman Sindrom Klinefelter Sindrom Turner Neurofibromatosis tipe 1
Ataxia-telangiectasia Severe combined immune deficiency Paroxysmal
nocturnal hemoglobinuria Sindrom Li-Fraumeni. Factor lingkungan Radiasi
Obat-obat Alkylating agents Nitrosourea Epipodophyllotoxin Benzene
exposure Advanced maternal age.17
h. Diagnosis
Diagnosis LLA ditegakkan melakukan anamnesis yang terarah dan
pemeriksaan lab. Pada pemeriksaan lab, hasil yang didapatkan adalah:18-20
1) Darah tepi : Pemeriksaan hematologik memperlihatkan adanya anemia
normositik normokromik dengan trombositopenia pada sebagian besar
kasus. Jumlah leukosit dapat menurun, normal, atau meningkat hingga 200
X 109/l atau lebih. Pada umumnya akan terjadi anaemia → Hb,Ht, eritrosit
menurun dan trombositopenia (kurang dari 25,000/mm3). Proporsi sel blas
pad hitung leukosit dapat bervariasi dari 0 sampai 100%. Berdasarkan
hitung leukosit dan adanya blas, leukemia dibagi :
a) Leukemia leukemik : leukositosis >30.000, blas ++
b) Leukemia subleukemik : N, 10.000-an, blas +
c) Leukemia aleukemik : leukopeni 4000-an/<, blas (-)
Sediaan Hapus Darah Tepi :
Eritrosit normositik normokrom, eritrosit berinti
Sel blas bervariasi , +/-
Pada ANLL, pada sel blas mungkin terdapat Auer rod
2) Aspirasi dan biopsi tulang: pada sediaan apus tulang ditemukan
hiperseluler dengan limfoblas yang sangat banyak >/=30%, dan gambaran
monoton. Eritropoesis,trombopoesis tertekan. Tapi jika sumsum tulang
digantikan oleh sel-sel leukemia → dry-tap (karena serabut retikulin
bertambah), maka aspirasi sumsum tulang dapat tidak berhasil.
3) Sitokimia : Pada LLA, pewarnaan Sudan black dan mieloperoksidase akan
memberikan hasil yang negatif. Mieloperoksidase adalah enzim
sitoplasmik yang ditemukan pada granula primer dari prekusor
granulositik, yang dapat dideteksi padasel blas LMA. Sitokemia juga
berguna untuk membedakan precusor B dan B-ALLdari T-ALL.
Pewarnaan fosfatase asam akan positif pada limfosit T yang
ganas,sedangkan sel B dapat memberikan hasil yang positif pada
pewarnaan periodic acis Schiff (PAS). TdT yang diekspresikan oleh
limfoblas dapat dideteksi denganpewarnaan imunoperoksidase atau flow
cytometry.
4) Sitogenik: mungkin ditemukan kromosom Philadelphia. Kromosom
Philadelphia ialah kromosom yang mengalami translokasi dimana terdapat
serpihan kromosom 9 dan serpihan kromosom 22 berganti tempat. Hal ini
menyebabkan terbentuknya gen BCR-ABL. Terdapat juga kelaianan
translokasi yang lain misalnya t(8;14), t(2;8), dant(8;22) yang dapat
ditemukan pada LLA sel B.
i. Prognosis
Respon pasien terhadap pengobatan berbeda-beda. Ada yang tingkat
kesembuhannya lebih tinggi, sedangkan ada yang tingkat kesembuhannya
lebih rendah sehingga pengobatan yang dijalani lebih lama. Perbedaan yang
mempengaruhi respon terhadap pengobatan disebut sebagai faktor
prognostik.21
Berdasarkan faktor prognostik, pasien dapat digolongkan ke kelompok
resiko biasa dan resiko tinggi. Faktor prognostik ALL, yaitu:21
1. Usia Pasien anak yang berusia dibawah 18 bulan atau diatas 10 tahun
mempunyai prognosis lebih buruk dibandingkan pasien anak yang berusia
diantara itu. Pasien bayi yang berusia dibawah 6 bulan pada saat
ditegakkan diagnosis, mempunyai prognosis paling buruk.
2. Jumlah leukosit Jumlah leukosit awal pada saat penengakan diagnosis
LLA sangat bermakna tinggi sebagai suatu faktor prognostik. Ditemukan
adanya hubungan antara hitung jumlah leukosit dengan outcome pasien
LLA pada anak, yaitu pada pasien dengan jumlah leukosit > 50.000/mm3
akan mempunyai prognosis yang buruk.
3. Jenis kelaminBeberapa penelitian menyatakan bahwa anak perempuan
cenderung mempunyai prognosis yang lebih baik dibandingkan anak laki-
laki. Hal ini dikarenakan anak laki-laki mempunyai kecenderungan untuk
terjadi relaps testis, insidensi leukemia sel-T yang tinggi,
hiperleukositosis, dan organomegali serta massa pada mediastinum.
4. Imunofenotipe Imunofenotipe juga berperan dalam menentukan faktor
prognostik pasien LLA. Leukemia sel-B (L3) dengan antibodi “kappa”
dan “lambda” pada permukaannya diketahui mempunyai prognosis buruk
tetapi dengan pengobatan yang spesifik, prognosisnya membaik. Sel-T
leukemia juga mempunyai prognosis yang buruk dan digolongkan
sebagai kelompok resiko tinggi.
5. Respon terhadap terapi Respon pasien terhadap terapi dapat kita ukur dari
jumlah sel blas yang ditemukan pada pemeriksaan darah tepi seminggu
setelah dimulai terapi prednison. Prognosis dikatakan buruk apabila pada
fase induksi hari ke-7 atau 14 masih ditemukan adanya sel blas pada
sumsum tulang.
Kelainan jumlah kromosomLLA hiperdiploid (>50 kromosom/sel)
mempunyai prognosis yang baik, sedangkan LLA hipodiploid (< 45
kromosom/sel) mempunyai prognosisyang buruk. Adanya translokasi t(9;22)
atau t(4;11) pada bayi berhubungan dengan prognosis buruk.21
j. Tatalaksana
Penatalaksanaan dari leukemia terbagi atas kuratif dan suportif.
Penatalaksaan kuratif, seperti kemoterapi, bertujuan untuk menyembuhkan
leukemia. Di Indonesia sendiri sudah ada 2 jenis protokol pengobatan yang
umumnya digunakan, yaitu protokol Nasional (Jakarta) dan protokol WK-
ALL 2010. Selain dengan kemoterapi, terapi transplantasi sumsum tulang
juga memberikan kesempatan untuk sembuh terutama pada pasien yang
terdiagnosis leukemia sel-T. Penatalaksanaan suportif hanya berupa terapi
penyakit lain yang menyertai leukemia beserta komplikasinya, seperti
tranfusi darah, pemberian antibiotik, pemberian nutrisi yang baik, dan aspek
psikososial.22
Pengobatan LLA yang umumnya dilakukan adalah kemoterapi. Kemoterapi
bertujuan untuk menyembuhkan leukemia dan proses pengobatannya terdiri
dari beberapa tahapan-tahapan, yaitu fase induksi-remisi, intensifikasi awal,
konsolidasi/terapi profilaksis susunan saraf pusat, intensifikasi akhir (terbagi
atas fase re-induksi dan re-konsolidasi), dan maintenance/rumatan.23
- Terapi Induksi. Tujuan utama dari pengobatan kemoterapi adalah
untuk mencapai remisi komplit dan menggembalikan fungsi
hematopoesis yang normal. Terapi induksi meningkatkan angka remisi
hingga mencapai 98%. Terapi ini berlangsung sekitar 3-6 minggu
dengan menggunakan 3-4 obat, yaitu glukokortikoid
(prednison/deksametason), vinkristin, L-asparaginase dan atau
antrasiklin.
- Intensifikasi awal. Target pengobatan adalah anak-anak yang sudah
mencapai remisi dan fungsi hematopoesis-nya kembali normal. Tujuan
dari tahapan intensifikasi adalah untuk eradikasi sel leukemia yang
tersisa dan meningkatkan angka kesembuhan
- Konsolidasi/Terapi Profilaksis SSP. Tujuan dari tahapan ini adalah
untuk melanjutkan peningkatan kualitas remisi di sumsum tulang dan
sebagai profilaksis susunan saraf pusat.
- Intensifikasi Akhir. Penambahan dari tahap intensifikasi akhir ini
setelah terapi induksi ataupun konsolidasi ternyata meningkatkan
prognosis pasien anak dengan LLA. Tahap ini merupakan tahap
pengulangan dari tahap induksi dan intensifikasi awal dan untuk
menghindari terjadinya resistensi obat maka dilakukan pergantian obat
- Terapi rumatan. Setelah pengobatan dengan dosis tinggi dijalankan
selama 6 sampai 12 bulan, obat sitotoksis dosis rendah digunakan untuk
mencegah terjadinya kondisi relaps. Tujuan dari tahap ini adalah untuk
mengurangi sel leukemia sisa yang tidak terdeteksi. Terapi rumatan
dilaksanakan selama 2 atau 3 tahun setelah diagnosis atau setelah
tercapainya kondisi remisi morfologik. Keberhasilan ini dipantau
dengan melihat hitung leukosit (2.000-3.000/mm3).
b. Klasifikasi
Klasifikasi AML yang sering digunakan adalah klasifikasi yang dibuat
oleh French American British (FAB) yang mengklasifikasikan leukemia
mieloid akut menjadi 8 subtipe yaitu sebagai berikut:25
c. Epidemiologi
Leukemia myeloid akut (AML) adalah leukemia akut yang paling
umum pada orang dewasa, terhitung ~ 80 persen dari kasus dalam kelompok
ini. Di Amerika Serikat, kejadian AML berkisar dari tiga hingga lima kasus
per 100.000 penduduk. Pada 2015 saja, diperkirakan 20.830 kasus baru
didiagnosis, dan lebih dari 10.000 pasien meninggal karena penyakit ini.
Insiden AML meningkat dengan usia, dari ~ 1,3 per 100.000 populasi pada
pasien berusia kurang dari 65 tahun, menjadi 12,2 kasus per 100.000 populasi
pada mereka yang berusia di atas 65 tahun. Meskipun kemajuan dalam
pengobatan AML telah menyebabkan peningkatan yang signifikan dalam
hasil untuk pasien yang lebih muda, prognosis pada orang tua yang
bertanggung jawab atas sebagian besar kasus baru tetap buruk. Bahkan
dengan perawatan saat ini, sebanyak 70% dari pasien 65 tahun atau lebih tua
akan meninggal karena penyakit mereka dalam 1 tahun diagnosis.26
d. Etiologi
Etiologi untuk sebagian besar kasus AML tidak jelas, tetapi
pengetahuan yang berkembang tentang agen leukemogenenic dalam rejimen
kemoterapi untuk keganasan lainnya sudah tersedia. Ini termasuk asosiasi
spesifik dari translokasi seimbang paling sering di AML, termasuk kelainan
"risiko-baik" yang terdiri dari leukemia faktor pengikat inti (yaitu, AML
dengan translokasi (8; 21) dan inversi kromosom 16, dan leukemia
promyelositik akut. dengan translokasi (15; 17)). Berbeda dengan perubahan
genetik ini, lesi epigenetik, mis., Promotor yang membungkam dengan
hipermetilasi p15 / INK4b dan gen lain, semakin diakui sebagai penting
dalam patogenesis AML.27
Secara umum, faktor-faktor risiko yang diketahui hanya mencakup
sejumlah kecil kasus yang diamati. Ini termasuk usia, penyakit hematologis
yang anteseden, dan kelainan genetik; serta paparan terhadap virus serta
radiasi, bahan kimia, atau bahaya pekerjaan lainnya dan kemoterapi
sebelumnya.27
e. Patofisiologi
Patogenesis utama AML adalah adanya blockade maturitas yang
menyebabkan proses diferensiasi sel-sel myeloid terhenti pada sel-sel muda
(blast) akibat terjadinya akumulasi blast di sumsum tulang. AML merupakan
penyakit dengan transformasi maligna dan perluasan klon-klon sel-sel
hematopoetik yang terhambat pada tingkat diferensiasi dan tidak bisa
berkembang menjadi bentuk yang lebih matang. Sel darah berasal dari sel
induk hematopoesis pluripoten yang kemudian berdiferensiasi menjadi induk
limfoid dan induk mieloid (non limfoid) multipoten. Sel induk limfoid akan
membentuk sel T dan sel B, sel induk mieloid akan berdiferensiasi menjadi
sel eritrosit, granulosit-monosit dan megakariosit. Pada setiap stadium
diferensiasi dapat terjadi perubahan menjadi suatu klon leukemik yang belum
diketahui penyebabnya. Bila hal ini terjadi maturasi dapat terganggu,
sehingga jumlah sel muda akan meningkat dan menekan pembentukan sel
darah normal dalam sumsum tulang. Sel leukemik tersebut dapat masuk
kedalam sirkulasi darah yang kemudian menginfiltrasi organ tubuh sehingga
menyebabkan gangguan metabolisme sel dan fungsi organ.28
AML merupakan neoplasma uniklonal yang menyerang rangkaian
mieloid dan berasal dari transformasi sel progenitor hematopoetik. Sifat alami
neoplastik sel yang mengalami transformasi yang sebenarnya telah
digambarkan melalui studi molekular tetapi defek kritis bersifat intrinsik dan
dapat diturunkan melalui progeni sel. Defek kualitatif dan kuantitatif pada
semua garis sel mieloid, yang berproliferasi pada gaya tak terkontrol dan
menggantikan sel normal.28
Sel-sel leukemik tertimbun di dalam sumsum tulang, menghancurkan
dan menggantikan sel-sel yang menghasilkan sel darah yang normal. Sel
kanker ini kemudian dilepaskan ke dalam aliran darah dan berpindah ke organ
lainnya, dimana mereka melanjutkan pertumbuhannya dan membelah diri.
Mereka bisa membentuk tumor kecil (kloroma) di dalam atau tepat dibawah
kulit dan bisa menyebabkan meningitis, anemia, gagal hati, gagal ginjal dan
kerusakan organ lainnya. Kematian pada penderita leukemia akut pada
umumnya diakibatkan penekanan sumsum tulang yang cepat dan hebat, akan
tetapi dapat pula disebabkan oleh infiltrasi sel leukemik tersebut ke organ
tubuh penderita.28
f. Manifestasi klinis
Gejala berhubungan dengan beratnya penekanan pada sistem
hematopoesis normal, yang mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya
anemia, infeksi, dan perdarahan.29
Pucat, lelah, dan lemah hampir terhadap semua pasien akibat anemia
Infeksi disebabkan neutropenia
Perdarahan, memar, dan petekghia disebabkan oleh trombositopenia
Pada LMA dapat terjadi infiltrasi ke kulit (leukemia kutis), infiltrasi gusi.
Splenomegali, hepatomegali, dan limfadenopati ditemukan pada 50%
kasus
g. Diagnosis
Diawali dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, pada anamnesis dicari
tahu tanda dan gejala leukemia. Ditelusuri juga ada atau tidaknya riwayat
keganasan dalam keluarga. Pada pemeriksaan fisik, dilihat adanya
pembesaran kelenjar getah bening, bias juga dilakukan pemeriksaan abdomen
untuk melihat ada tidaknya pembesaran hati atau limpa. Selain anamnesis,
diagnosa yang paling mungkin pada leukemia (limfoid atau myeloid) dapat
ditegakkan dengan morfologi sel blast pada pemeriksaan darah tepi atau
biopsi sum-sum tulang. Sebagian besar pasien memiliki jumlah hitung sel
darah yang abnormal seperti anemia dan trombositopenia (paling sering). Sel
darah putih dapat rendah, normal atau tinggi. 15% -20% pasien mempunyai
sel darah putih lebih dari 50.000/mm.30
Analisis sitogenik harus dilakukan pada semua kasus leukemia akut.
Pada beberapa kasus leukemia limfoid dan leukemia myeloid mempunyai
kelaianan kromosom yang spesifik. Fluorescence insitu hybridization,
polymerase chain reaction atau keduanya saat ini digunakan pada banyak
kasus leukemia karena banyak kromosom abnormal yang tidak jelas tampak
pada karyotipe rutin. Lumbal puncture harus selalu dilakukan pada saat
diagnosa untuk mengevaluasi kemungkinan terlibatnya susunan syaraf
pusat.30
h. Prognosis
Sebagian besar pasien dengan leukemia myeloid akut berusia lebih dari
60 tahun, dan hasilnya masih mengecewakan. Untuk pasien yang lebih muda,
prognosisnya lebih baik jika mereka menerima cytarabine dosis tinggi
sebagai terapi pasca-remisi dan jika mereka dirawat dalam pengaturan uji
klinis.31
i. Tatalaksana
Terapi yang dilakukan yaitu:32
1. Terapi induksi
Terapi induksi kemoterapi intensif sebagai tata laksana utama terapi
AML dengan menggunakan standar anthracycline dan cytarabine, 7+3.
Dosis umum obat beserta waktu pemberian daunorubicin (60 atau 90
mg/m2 on days 1, 2 dan 3) or idarubicin (10–12 mg/m2 on days 1, 2 dam
3) yang disertai pemberian infuse cytarabine terus-menerus selama 7 hari
(100 mg/m2/daily for one week (days 1 through 7). Tujuan utama
kemoterapi induksi adalah untuk mencapai morphologic complete
remission (CR), yang digambarkan dengan: (1) <5% blasts pada sampel
aspirasi sumsum tulang dengan sumsum tulang berspikula dan dengan
perhitungan ≥ 200 sel bernukleus (no blasts with Auer rods or persistence
of extramedullary disease); (2) absolute neutrophil count (ANC)
>1000/µL, and (3) platelets ≥ 100,000/µL.
2. Stratesi konsolidasi
Kensolidasi atau terapi pos-induksi diberikan untuk mencegah
relaps dan menghilangkan leukemia residual minimal pada sumsum
tulang.
6. Jelaskan penyebab terjadinya hepatosplenomegali pada kasus!
Karena sumsum tulang belakang digunakan tidak adekuat untuk
memproduksi sel sel darah sehingga organ organ seperti limpa dan hati berkerja
lebih keras untuk proses pembuatan sel darah untuk mencukupi kebutuhan tubuh
sehingga organ organ tersebut membesar.33
b. Purpura
Purpura yang timbul terjadi akibat pecahnya dinding-dinding kapiler
yang dalam keadaan normal dapat cepat diatasi dengan sistem hemostasis
primer, yaitu trombosit. Tetapi dalam keadaan trombositopenia, pecahnya
kapiler tidak dapat diatasi oleh trombosit dengan cepat, jadi timbul
perdarahan kapiler di bawah kulit.35
c. Pucat
Warna merah pada darah diperankan oleh hemoglobin. Hemoglobin
adalah suatu pigmen (yaitu berwarna secara alami). Karena kandungan
besinya, hemoglobin tampak kemerahan jika berikatan dengan O2 dan
kebiruan jika meng-alami deoksigenasi. Karena itu, darah arteri yang
teroksigenasi penuh akan berwarna merah dan darah vena, yang
telahkehilangan sebagian kandungan O2-nya di tingkat jaringan, memiliki
rona kebiruan. Pucat, lelah, dan lemah hampir terjadi pada semua pasien
akibat anemia. Anemia berhubungan dengan beratnya penekanan pada sistem
hematopoiesis normal. Anemia muncul akibat kegagalan sumsum tulang
mempertahankan fungsinya.36
8. Bagaimana hubungan paparan pestisida pada kasus?
Paparan pestisida melalui pekerjaan orang tua atau bahan kimia rumah
tangga telah muncul sebagai faktor risiko untuk leukemia masa kanak-kanak
terutama AML. Dua meta-analisis menunjukkan bahwa paparan pekerjaan ibu
sebelum melahirkan terhadap pestisida sangat terkait dengan AML . Estimasi
risiko adalah (sOR: 2,64, 95% CI: 1,48-4,71) dan (mRR 2,68; 95% CI 1,06-6,78)
dalam setiap studi. Memang, hubungan yang luar biasa antara paparan terkait
pertanian dan leukemia anak diamati (sOR: 2,44, 95% CI: 1,53-3,89). Hasil
tersebut didasarkan pada beberapa studi yang menilai asosiasi risiko untuk
AML.37
Sebuah studi kasus-kontrol berbasis rumah sakit dari Children's Cancer
Study Group (CCG), yang mengumpulkan 204 kasus AML dibawah 18 tahun
dan kontrol tunggal, menunjukkan hubungan paparan pestisida terhadap
pekerjaan pada ibu dengan risiko AML anak.37