Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

INTOKSIKASI PESTISIDA

Oleh:

XXXXXXXXX

PROGRAM PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2011
INTOKSIKASI PESTISIDA
A. PENGERTIAN
Intoksikasi atau keracunan adalah masuknya zat atau senyawa kimia dalam tubuh
manusia yang menimbulkan efek merugikan pada yang menggunakannya.
Keracunan pestisida adalah masuknya bahan-bahan kimia kedalam tubuh manusia
melalui kontak langsung, inhalasi, ingesti dan absorpsi sehingga menimbulkan dampak
negatif bagi tubuh.
Penggunaan pestisida dapat mengkontaminasi pengguna secara langsung sehingga
mengakibatkan keracunan. Dalam hal ini keracunan dikelompokkan menjadi 3 kelompok
yaitu:
1. Keracunan Akut ringan, menimbulkan pusing, sakit kepala, iritasi kulit ringan, badan
terasa sakit dan diare.
2. Keracunan akut berat, menimbulkan gejala mual, menggigil, kejang perut, sulit bernafas,
keluar air liur, pupil mata mengecil dan denyut nadi meningkat, pingsan.
3. Keracunan kronis, lebih sulit dideteksi karena tidak segera terasa dan menimbulkan
gangguan kesehatan. Beberapa gangguan kesehatan yang sering dihubungkan dengan
penggunaan pestisida diantaranya: iritasi mata dan kulit, kanker, keguguran, cacat pada
bayi, serta gangguan saraf, hati, ginjal dan pernafasan.

B. ETIOLOGI
Skenario eksposur yang paling umum pada kasus keracunan pestisida adalah keracunan
akibat kecelakaan; keracunan berupa tindakan bunuh diri, pajanan melalui kontaminasi
lingkungan atau tempat kerja (okupasional).

C. PATOFISIOLOGI

Penghambatan kerja enzim terjadi karena organophosphate melakukan fosforilasi enzim


tersebut dalam bentuk komponen yang stabil.
Pada bentuk ini enzim mengalami phosphorylasi.

Organophosphat adalah insektisida yang paling toksik diantara jenis pestisida lainnya
dan sering menyebabkan keracunan pada orang. Termakan hanya dalam jumlah sedikit saja
dapat menyebabkan kematian, tetapi diperlukan lebih dari beberapa mg untuk dapat
menyebabkan kematian pada orang dewasa.
Organofosfat menghambat aksi pseudokholinesterase dalam plasma dan kholinesterase
dalam sel darah merah dan pada sinapsisnya. Enzim tersebut secara normal menghidrolisis
asetylcholin menjadi asetat dan kholin. Pada saat enzim dihambat, mengakibatkan jumlah
asetylkholin meningkat dan berikatan dengan reseptor muskarinik dan nikotinik pada system
saraf pusat dan perifer. Hal tersebut menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang
berpengaruh pada seluruh bagian tubuh.

D. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala dari intoksikasi organofosfat terbagi menjadi 3 bagian: (1) efek
muskarinik, (2) efek nikotinik, dan (3) efek Sistem Saraf Pusat
1. Efek muskarinik
Tanda dan gejala yang timbul 12-24 jam pertama setelah terpapar termasuk: diare,
urinasi, miosis (tidak pada 10% kasus), bronkospasma/bradikardi, mual muntah, peningkatan
lakrimasi, hipersalivasi dan hipotensi.
Efek muskarinik menurut sistem organ termasuk:
a) Kardiovaskular - Bradikardi, hipotensi
b) Respiratori – bronkospasma, batuk, depresi saluran pernafasan
c) Gastrointestinal – hipersalivasi, mual muntah, nyeri abdomen, diare, inkontinensia alvi
d) Genitourinari – Inkontinensia urin
e) Mata – mata kabur, miosis
f) Kelenjar – Lakrimasi meningkat, keringat berlebihan
2. Efek Nikotinik
Efek nikotinik termasuklah fasikulasi otot, kram, lemah, dan gagal diafragma yang bisa
menyebabkan paralisis otot. Efek nikotinik autonom termasuk hipertensi, takikardi, midriasis,
dan pucat.
3. Efek sistem saraf pusat
Efek sistem saraf pusat termasuk emosi labil, insomnia, gelisah, bingung, cemas, depresi
salur nafas, ataksia, tremors, kejang, dan koma.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Laboratorium klinik
 Analisa gas darah
 Darah lengkap
 Serum elektrolit
 Pemeriksaan fungsi hati
 Pemeriksaan fungsi ginjal
 sedimen urin
2) EKG
 Deteksi gangguan irama jantung

3) Pemeriksaan radiologi
 Dilakukan terutama bila curiga adanya aspirasi zat racun melalui inhalasi atau
dugaan adanya perforasi lambung.

F. KOMPLIKASI
 Gagal nafas
 Kejang
 Pneumonia aspirasi
 Neuropati
 Kematian

G. PENATALAKSANAAN
1. Stabilisasi Pasien
Pemeriksaan saluran nafas, pernafasan, dan sirkulasi merupakan evaluasi primer
yang harus dilakukan serta diikuti evaluasi terhadap tanda dan symptom toksisitas
kolinergik yang dialami pasien. Dukungan terhadap saluran pernafasan dan intubasi
endotrakeal harus dipertimbangkan bagi pasien yang mengalami perubahan status
mental dan kelemahan neuromuskular sejak antidotum tidak memberikan efek. Pasien
harus menerima pengobatan secara intravena dan monitoring jantung. Hipotensi yang
terjadi harus diberikan normal salin secara intravena dan oksigen harus diberikan
untuk mengatasi hipoksia. Terapi suportif ini harus diberikan secara paralel dengan
pemberian antidotum.
2. Dekontaminasi
Dekontaminasi harus segera dilakukan pada pasien yang mengalami keracunan.
Baju pasien harus segera dilepas dan badan pasien harrus segera dibersihkan dengan
sabun. Proses pembersihan ini harus dilakukan pada ruangan yang mempunyai
ventilasi yang baik untuk menghindari kontaminasi skunder dari udara.
Pelepasan pakaian dan dekontaminasi dermal mampu mengurangi toksikan yang
terpapar secara inhalasi atau dermal, namun tidak bisa digunakan untuk
dekontaminasi toksikan yang masuk dalam saluran pencernaan. Dekontaminasi pada
saluran cerna harus dilakukan setelah kondisi pasien stabil. Dekontaminasi saluran
cerna dapat melalui pengosongan orogastrik atau nasogastrik, jika toksikan
diharapkan masih berada di lambung. Pengosongan lambung kurang efektif jika
organofosfat dalam bentuk cairan karena absorbsinya yang cepat dan bagi pasien yang
mengalami muntah.
Arang aktif 1g/kg BB harus diberikan secara rutin untuk menyerap toksikan yang
masih tersisa di saluran cerna. Arang aktif harus diberikan setelah pasien mengalami
pengosongan lambung. Muntah yang dialami pasien perlu dikontrol untuk
menghindari aspirasi arang aktif karena dapat berhubungan dengan pneumonitis dan
gangguan paru kronik.
3. Pemberian Antidotum
a. Agen Antimuskarinik
Agen antimuskarinik seperti atropine, ipratopium, glikopirolat, dan
skopolamin biasa digunakan mengobati efek muskarinik karena keracunan
organofosfat. Salah satu yang sering digunakan adalah Atropin karena memiliki
riwayat penggunaan paling luas. Atropin melawan tiga efek yang ditimbulkan
karena keracunan organofosfat pada reseptor muskarinik, yaitu bradikardi,
bronkospasme, dan bronkorea.
Pada orang dewasa, dosis awalnya 1-2 mg iv yang digandakan setiap 2-3 menit
sampai teratropinisasi. Untuk anak-anak dosis awalnya 0,05mg/kg BB yang
digandakan setiap 2-3 menit sampai teratropinisasi. Tidak ada kontraindikasi
penanganan keracunan organofosfat dengan Atropin.
b. Oxime
Oxime adalah salah satu agen farmakologi yang biasa digunakan untuk
melawan efek neuromuskular pada keracunan organofosfat. Terapi ini diperlukan
karena Atropine tidak berpengaruh pada efek nikotinik yang ditimbulkan oleh
organofosfat. Oxime dapat mereaktivasi enzim kholinesterase dengan membuang
fosforil organofosfat dari sisi aktif enzim.
Pralidoxime adalah satu-satunya oxime yang tersedia. Pada regimen dosis
tinggi (1 g iv load diikuti 1g/jam selam 48 jam), Pralidoxime dapat mengurangi
penggunaan Atropine total dan mengurangi jumlah penggunaan ventilator.
Efek samping yang dapat ditimbulkan karena pemakaian Pralidoxime meliputi
dizziness, pandangan kabur, pusing, drowsiness, nausea, takikardi, peningkatan
tekanan darah, hiperventilasi, penurunan fungsi renal, dan nyeri pada tempat
injeksi. Efek samping tersebut jarang terjadi dan tidak ada kontraindikasi pada
penggunaan Pralidoxime sebagai antidotum keracunan organofosfat.

c. Diazepam
Diberikan pada pasien bagi mengurangkan cemas, gelisah (dosis: 5-10 mg IV)
dan bisa juga digunakan untuk mengkontrol kejang (dosis: sehingga 10-20 mg IV)
.
H. ASUHAN KEPERAWATAN
 Pengkajian
1) Tanda-tanda vital
 Distress pernapasan
 Sianosis
 Takipnoe
2) Neurologi
IFO menyebabkan tingkat toksisitas SSP lebih tinggi, efek-efeknya termasuk letargi,
peka rangsangan, pusing, stupor & koma.
3) GI Tract
Iritasi mulut, rasa terbakar pada selaput mukosa mulut dan esofagus, mual dan
muntah.
4) Kardiovaskuler
Disritmia.
5) Dermal
Iritasi kulit
6) Okuler
Luka bakar kornea
7) Laboratorium
Eritrosit menurun
Proteinuria
Hematuria
Hipoplasi sumsum tulang
8) Diagnostik
Radiografi dada dasar/foto polos dada
Analisa gas darah, GDA, EKG

Diagnosa Keperawatan
1) Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan hilangnya cairan
tubuh secara tidak normal
Tujuan : Tidak terjadi kekurangan cairan
Kriteria evaluasi :
 Keseimbangan cairan adekuat
 Tanda-tanda vital stabil
 Turgor kulit stabil
 Membran mukosa lembab
 Pengeluaran urine normal 1 – 2 cc/kg BB/jam
Intervensi :
a) Monitor pemasukan dan pengeluaran cairan.
Rasional : Dokumentasi yang akurat dapat membantu dalam mengidentifikasi
pengeluran dan penggantian cairan.
b) Monitor suhu kulit, palpasi denyut perifer.
Rasional : Kulit dingain dan lembab, denyut yang lemah mengindikasikan
penurunan sirkulasi perifer dan dibutuhkan untuk pengantian cairan tambahan.
c) Catat adanya mual, muntah, perdarahan.
Rasional : Mual, muntah dan perdarahan yang berlebihan dapat mengacu pada
hipordemia.
d) Pantau tanda-tanda vital
Rasional : Hipotensi, takikardia, peningkatan pernapasan mengindikasikan
kekurangan cairan (dehindrasi/hipovolemia).
e) Berikan cairan parinteral dengan kolaborasi dengan tim medis
Rasional : Cairan parenteral dibutuhkan untuk mendukung volume cairan
/mencegah hipotensi.
f) Kolaborasi dalam pemberian antiemetik
Rasional : Antiemetik dapat menghilangkan mual/muntah yang dapat
menyebabkan ketidak seimbangan pemasukan.
g) Berikan kembali pemasukan oral secara berangsur-angsur.
Rasional : Pemasukan peroral bergantung kepada pengembalian fungsi
gastrointestinal.

h) Pantau studi laboratorium (Hb, Ht).


Rasional : Sebagai indikator/volume sirkulasi dengan kehilanan cairan.
2) Resiko pola napas tidak efektif berhubungan dengan efek langsung toksisitas IFO,
proses inflamasi.
Tujuan : Pola napas efektif
Kriteria Evaluasi :
 RR normal : 14 – 20 x/menit
 Jalan napas bersih, sputum tidak ada
Intervensi :
a) Pantau tingkat, irama pernapasan & suara napas serta pola pernapasan
Rasional : Efek IFO mendepresi SSP yang mungkin dapat mengakibatkan
hilangnya kepatenan aliran udara atau depresi pernapasan, pengkajian yang
berulang kali sangat penting karena kadar toksisitas mungkin berubah-ubah
secara drastis.
b) Tinggikan kepala tempat tidur
Rasional : Menurunkan kemungkinan aspirasi, diagfragma bagian bawah untuk
untuk menigkatkan inflasi paru.
c) Dorong untuk batuk/ nafas dalam
Rasional : Memudahkan ekspansi paru & mobilisasi sekresi untuk mengurangi
resiko atelektasis/pneumonia.
d) Auskultasi suara napas
Rasional : Pasien beresiko atelektasis dihubungkan dengan hipoventilasi &
pneumonia.
e) Berikan O2 jika dibutuhkan
Rasional : Hipoksia mungkin terjadi akibat depresi pernapasan
f) Kolaborasi untuk sinar X dada, GDA
Rasional : Memantau kemungkinan munculnya komplikasi sekunder seperti
atelektasis/pneumonia, evaluasi kefektifan dari usaha pernapasan.
3) Koping individu tidak efektif berhubungan dengan kerentanan pribadi, kesulitan
dalam keterampilan koping menangani masalah pribadi.
Tujuan : Koping individu efektif, tidak terjadi kerusakan perilaku adaptif dalam
pemecahan masalah.

Kriteria Evaluasi :
 Klien mampu mengungkapkan kesadaran tentang penyalahgunaan bahan
insektisida.
 Mampu menggunakan keterampilan koping dalam pemecahan masalah
 Mampu melakukan hubungan /interaksi sosial.
Intervensi :
a) Pastikan dengan apa pasien ingin disebut/dipanggil.
Rasional : Menunjukkan penghargaan dan hormat
b) Tentukan pemahaman situasi saat ini & metode koping sebelumnya terhadap
masalah kehidupan.
Rasional : Memberi informasi tentang derajar menyangkal, mengidentifikasi
koping yang digunakan pada rencana perawatan saat ini
c) Tetap tidak bersikap tidak menghakimi
Rasional : Konfrontasi menyebabkan peningkatan agitasi yang menurunkan
keamanan pasien.
d) Berikan umpan balik positif
Rasional : Umpan balik yang positif perlu untuk meningkatkan harga diri dan
menguatkan kesadaran diri dalam perilaku
e) Pertahankan harapan pasti bahwa pasien ikut serta dalam terapi
Rasional : Keikut sertaan dihubungkan degan penerimaan kebutuhan terhadap
bantuan, untuk bekerja.
f) Gunakan dukungan keluarga/teman sebaya untuk mendapatkan cara-cara koping.
Rasional : Dengnan pemahaman dan dukungan dari keluarga /teman sebaya
dapat membantu menngkatkan kesadaran.
g) Berikan informasi tentang efek meneguk insektisida
Rasional : Agar klien mengetahui efek samping yang berakibat fatal pada organ-
organ vital bila menelan insektisida (baygon)
h) Bantu pasien untuk menggunakan keterampilan relaksasi
Rasional : Relaksasi adalah pengembangan cara baru menghadapi stress.
4) Koping keluarga tidak efektif (tidak mampu) berhubungan dengan kerentanan
pribadi anggota keluarga, krisis situasi, sosial.
Tujuan : Koping keluarga efektif.
Kriteria Evaluasi :
 Mengungkapkan pengertian dinamika saling tergantung dan partisipasi dalam
program individu dan keluarga.
 Mampu mengidentifikasi perilaku koping tidak efektif.
 Melakukanperubahan perilaku.
 Mendukung terhadap program pengobatan & perawatan keluarga.
Intervensi :
a) Kaji riwayat keluarga, gali masing-masing peran anggota keluarga
Rasional : Menentukan area untuk fokus, potensial perubahan.
b) Tentukan pemahaman situasi saat ini dan metode sebelumnya dari koping dengan
masalah kehidupan.
Rasional : Memberikan dasar informasi sebagai dasar perencanaan saat ini
c) Kaji tingkat situasi/fungsi saat ini dari anggota keluarga.
Rasional : Mempengaruhi kemampuan individu untuk mengatasi situasi.
d) Tentukan luasnya perilaku mampu yang dibuktikan oleh anggota keluarga gali
dengan individu dan pasien.
Rasional : Mampu adalah melakukan untuk pasien apa yang perlu untuk dirinya
sendiri, individu ditolong dan tidak ingin merasa tidak tidak berdaya untuk
menolong orang lain & megeluh perilaku yang sangat destruktif.
e) Berikan informasi faktual pada pasien dan keluarga tentang efek perilaku
penalahgunaan zat pada keluarga dan apa yang diharapkan setelah pulang.
Rasional : Banyak orang atau pasien yang tidak sadar tentang sifat bahan
insektisida
f) Dorong orang terdekat menyadari perasaan mereka sendiri dengan melihat situasi
dengan perspektif dan objektivitas.
Rasional : Bila anggota keluarga yang tergantung manjadi sadar tentang tindakan
mereka sendiri yang secara terus-menerus ada masalah, mereka perlu untuk
memutuskan untuk mengubah diri mereka. Bila meeka berubah pasien dapat
menghadapi konsekuensi tindakan pasien sendiri dan dapat memilih untuk
mendapatkan yang baik.
g) Kaji perasaan yang menimbulkan konflik individu.
Rasional : Bermanfaat dalam membuat kebutuhan terapi untuk individu yang
tergantung.
5) Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosis,kebutuhan pengobatan dan efek
samping penggunaan obat zat insektisida berhubungan dengan kurangnya informasi.
Tujuan : Pasien mempunyai pengathuan tentang kondisi, prognosis, kebutuhan
pengobatan dan efek samping penggunaan zat insektisida.
Kriteria Evaluasi :
 Dapat mengungkapkan pemahaman tentang penyakitnya sendiri dan rencana
pengobatan.
 Berpartisipasi dalam program pengoabatan.
 Perubahan perilaku untuk tidak melakukannya lagi.
Intervensi :
a) Sadari dan hadapi ansietas pasien dan anggota keluarga.
Rasional : Ansietas dapat mempengaruhi kemampuan mendegar dan
mengasimilasi informasi.
b) Berikan peran aktif untuk pasien dalam proses belajar.
Rasional : Belajar dapat ditingkatkan bila individu secara aktif terlibat.
c) Berikan informasi tertulis dan verbal untuk indikasi.
Rasional : Membantu pasien membuat pilihan berdasarkan informasi tentang
masa depan yang bermanfaat untuk pendekatan terapi lain.
d) Kaji pengetahuan pasien tangtang situasi sendiri misalnya penyakit, perubahan
kebutuhan dalam gaya hidup.
Rasional : Membantu dalam merencanakan perubahan jangka panjang yang perlu
untuk mempertahankan status pantanan.
e) Pantau ulang kondisi & prognosis/ harapan masa depan.
Rasional : Memberikan pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat pilihan
berdasarkan informasi.
f) Diskusikan efek zat yang digunakan.
Rasional : Informasi akan membentu pasien memahami kemungkinan efek
jangka panjang dari penggunaan zat.
6) Resiko tinggi terhadap tindak kekerasan pada diri sendiri (berulang) berhubungan
dengan perpanjangan depresi/tingkah laku ingin bunuh diri.
Tujuan : Tidak terjadi tindakan ulang kekerasan pada diri sendiri

Kriteria Evaluasi :
 Mengutarakan pemehaman tingkah laku & faktor-faktor yang mempengaruhi.
 Mencapai tahap hilangnya rasa takut & realitas situasi.
 Menunjukkan kontrol diri.
Intervensi :
a) Kurangi ransangan, berikan ruangan yang tenang atau tempatkan pada ruangan
yang stimulasinya dikurangi dibawah pengawasan.
Rasional : Menurunkan kreativitas dan menngkatkan rasa tenang.
b) Izinkan orang-orang yang penting bagi pasien untuk tetap tinggal di dalam
ruangan selama prosedur dilakukan jika dimungkinkan.
Rasional : Dapat memberikan efek ketenangan jika melihat seseorang yang
dikenal oleh pasien dan memberikan penenangan.
c) Pindahkan barang-barang yang berpotensi membahayakan pasien dari
lingkungannya.
Rasional : Menurunkan kemungkin pasien mencelakai orang lain atau melakukan
ide bunuh diri.
d) Berikan kesempatan untuk mengekspresikan perasaan agresif secara verbal.
Rasional : Memberikan jalan yang baru dalam mengekspresikan perasaan akan
membentuk pasien belajar mengembangkan kemampuan memecahkan masalah
yang baik.
e) Bantu pasien mengidentifikasi apa yang dapat menyebabkan pasien menjadi
marah.
Rasional : Kesadaran akan reaksi merupakan tahap pertama dari belajar untuk
berubah
f) Berikan jalan keluar untuk mengekspresikan diri meliputi aktiivitas fisik.
Rasional : Dengan mengaktifkan fisik didalam menciptakan lingkungan yang
aman dapat menurunkan dorongan untuk melakukan tindakan agresif.
DAFTAR PUSTAKA

Arief, dkk (2000), Kapita Selekta Kedokteran ed. 3, jilid 2, Medika Aesculapius, Jakarta.

Hudak & Gallo (1996), Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik, EGC, Jakarta.

Katz K D, Sakamoto K M, Pinsky M R. Organophosphate Toxicity. Medscape eMedicine,


2011. Available on: http://emedicine.medscape.com/article/167726-overview. Accessed:
4th May 2011.

Marylin. D (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, EGC Jakarta.

Sudoyo A W, Setiyohadi B, Alwi I et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I, edisi IV.
2006. Pusat Penerbitan ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Page 214-16

Ooi S, Manning P. Guide to Essentials in Emergency Medicine. Singapore: McGrawHill,


2004. Page: 369-71

Anda mungkin juga menyukai