Anda di halaman 1dari 2

Pagi yang mendung di Sijunjung, 21 Januari 2017

Lugu...
Satu kata yang terlintas saat pertama kali bertemu dengannya. Wajahnya selalu ceria.
Matanya yang kecil dan sipit seperti berkata bahwa dunia berjalan hanya seperti yang
ia lihat. Sungguh naif.

Ia bertubuh gemuk dan tidak cantik. Namun, ada sesuatu yang menarik dari dirinya.
Sesuatu yang hanya dapat dirasakan, entahlah, ia berbeda. Aku tak dapat
menjelaskannya.

Aku suka cara dia berbicara, berpikir, dan bertindak, yang entah bagaimana membuatku
sangat penasaran. Temanku yang mengenalnya bilang, bahwa ia adalah sosok yang
pintar dan pandai bergaul. Sampai akhirnya, kuputuskan untuk mendekatinya.

Waktu berlalu begitu cepat. Kami berpacaran. Ia sangatlah baik, bisa menerimaku apa
adanya.

Aku memang senang, tapi tetap saja merasa kurang. Terkadang, rasa malu
menghinggapiku ketika kuajak dia bertemu teman-teman. Ya, karena dia tidak secantik
pacar mereka. Memang tak ada yang mempermasalahkan. Tapi, di antara celotehan dan
candaan selalu terselip sebuah gunjingan. Mereka menyayangkan karena aku tidak bisa
mendapatkan wanita yang lebih cantik dengan tampangku yang bisa dibilang ganteng.
Sekali, dua kali, tak begitu kuhiraukan. Lama-lama, jadi kepikiran. Mereka benar juga.
Pikirku. Sejak saat itu, kuputuskan untuk bergerilya mencari seseorang yang lebih
cantik dan bersedia menjadi pacarku. Setelah mendapatkan target, kuputuskan untuk
berpisah darinya.

Aku begitu bahagia, bisa memamerkan seseorang yang lebih cantik. Teman-temanku
bilang lumayan. Meningkatlah rasa percaya diriku. Namun, harus berakhir dalam waktu
yang singkat. Aku kecewa.

Untunglah aku orang yang gampang move-on. Tak berselang lama, aku mendapatkan
penggantinya. Hubungan kami lebih lama dari yang sebelumnya. Lagi-lagi, pada
akhirnya aku dikecewakan.

Kemudian aku berpikir, mereka yang baru mengisi hatiku secara fisik memang
menyenangkan. Tapi, tak satupun yang bisa memahamiku, tidak seperti dia. Dia bisa
mengimbangi sifatku yang selalu bikin ibuku geleng-geleng kepala. Tiba-tiba saja,
hatiku diliputi rindu. Sejujurnya, bukan hanya sekali. Ketika aku berpacaran dengan
mereka pun, wajahnya selalu terbayang di setiap tempat yang pernah kami kunjungi.
Akhirnya, ku ajak ia bertemu. Dari situlah baru kusadari, ia sangatlah cantik. Bukan
fisik, melainkan hatinya.

Kemudian, kesan pertama yang pernah kurasakan padanya muncul kembali ; wajahnya
yang lugu dan tatapan matanya yang naif juga perasaan tertarik pada dirinya yang tak
pernah bisa kujelaskan. Ternyata, sejak awal dialah yang aku sayangi. Dalam 6 bulan
yang kupikir indah, hanyalah sebuah ilusi dari hasil membohongi diri sendiri. Butuh
waktu cukup lama untuk menyadarinya.

Cinta bukan terlahir dari keindahan fisik semata. Jika saja kamu mau membuka mata
lebar-lebar, ‘kan kamu lihat betapa luar biasanya mencintai seseorang yang cantik
hatinya..

-JF-

Anda mungkin juga menyukai