Anda di halaman 1dari 152

Arlian Buana

Oleh: Arlian Buana

© Arlian Buana, 2015


Hak cipta dilindungi Undang-undang

Penulis : Arlian Buana


Layout : Agus Mulyadi
Ilustrasi : Inez Kriya
Cover : Damar N. Sosodoro

Cetakan Pertama, Desember 2015


12 x 18 cm, 140 halaman

Diterbitkan oleh:
EA Books
Drono, Gang Elang 6E No.8 RT 04 RW 33
Sariharjo, Ngaglik, Sleman,Yogyakarta

ISBN : 978-602-1318-20-1

ii
Bana, Pemuda
Harapan Akhir
Zaman
Sebuah pengantar
Anti-Islam. Menghina ulama. Liberal. Liberal lagi.
Liberal bingitz. Saya yakin, sekian puluh persen dari
total populasi manusia yang membaca judul buku
Arlian Buana ini akan menangkap kesan demikian.
Apalagi kalau sudah membaca keseluruhan isinya.
Benar-benar anak ini punya otak yang berbahaya, dan
layak diarak bugil secara syar’i.
Saya kira, tudingan demikian sangat pantas
dilemparkan sebagai balasan setimpal atas dosa-dosa
Bana—panggilan kesayangan Arlian—kepada para
penulis Mojok.Co. Benar, kami para kontributor di
situs-web-yang-happening-tiada-henti itu sejujurnya
sudah terlalu lama memendam kengerian tertentu
kepada Bana, yang juga merupakan salah satu dari
duo redaktur Mojok ini. Setiap kali muncul suara
“Ting!” di hape kami, lalu bentuk bundar avatar Bana
nongol di Facebook Messenger, oh Tuhan, suasana
hati kami agaknya sama persis dengan perasaan
Mbak Nikita Mirzani ketika barisan reserse Polri

iii
Merry Christmas, Felix Siauw!

membuka pintu kamar hotel sambil berbisik: “Kena


kau Mbak...”
Ya, itu Si Bana mau menagih tulisan. Dan
standar tulisan Mojok acapkali membuat kami jiper
ketakutan.

Mari kita lupakan dulu soal beban hidup Bana


dalam menghadapi tudingan-tudingan tersebut.
Biarlah dia tanggung-tanggung sendiri. Namun,
terhadap konten pandangan-pandangan wagu yang
tertuding ke arah mukanya, terang saja saya lebih
memilih sikap kontra. Sebab bagi saya, justru anak
muda cemerlang bernama Arlian Buana itu adalah
prototipe ideal pemuda muslim akhir zaman.
Membaca tulisan-tulisan Bana di buku ini, saya
ibarat diajak mengikuti paket safari ziarah wali. Atau
jika itu berlebihan, bolehlah dikatakan semacam
anjangsana seorang santri untuk berguru ke deretan
kiai-kiai mumpuni.
Bana belajar kasih sayang dari simbah tukang
masak di pesantren almamaternya. Bana belajar
ketangguhan dari para perempuan perkasa yang
melawan pendirian pabrik semen. Bana belajar
kehidupan dari para sastrawan idola. Bana belajar
kreativitas dari seorang sahabatnya yang pedagang
minyak rambut. Bana belajar sikap ksatria dalam
diam, dari seorang lelaki muda yang oleh jutaan
orang di Indonesia mungkin dianggap sebagai

iv
Arlian Buana

pendosa paling nista. Bahkan tulisan-tulisannya yang


oleh sebagian orang pasti akan dianggap sebagai
“pelecehan ulama”, pun pada hakikatnya adalah
upaya Bana untuk belajar. Belajar bahwa pandangan-
pandangan yang berpretensi religiositas sama sekali
tak dapat diraih secara instan dan sambil lalu.
Belajar, dan terus belajar. Saya kira sisi itulah
yang ‘krowak’ dari tradisi keberagamaan kita di Era
Digital. Belajar sih belajar, tapi tidak dalam satu varian
ketelatenan dan kedisplinan tertentu. Akibatnya,
kejernihan hilang. Kita jadi makhluk yang serba
terburu, lupa dengan ‘tumakninah’. Lebih banyak
bicara daripada menyimak, lebih banyak menulis
daripada membaca. Itulah juga yang mengawali
kegelisahan Bana di salah satu tulisan awalnya,
hingga alumnus Pondok Pesantren Pabelan ini
memuncaki kegemasannya dengan dukungan total-
totalan kepada Gerakan #AyoMondok.
Belajar, dan terus belajar. Karena itu jugalah, siapa
pun yang membaca buku ini, jangan pula langsung
percaya dan menelan bulat-bulat isinya. Sebab bisa
jadi, suatu saat nanti Bana sendiri akan merevisi
satu-dua atau bahkan tujuh belas pandangan-
pandangannya yang tertuang di buku ini. Dan itu
sah-sah saja. Bukannya ruh pembelajar adalah ruh
yang gelisah, penuh pertanyaan, tak henti “bertukar
tangkap dengan lepas”, dan tak kenal kata final?

Iqbal Aji Daryono


Perth, Desember 2015

v
vi
Daftar Isi
Sebuah Pengantar iii
Daftar Isi vii

Mengislamkan dan Membukanislamkan 1


Mbah Ngah 5
Noah dan Puthut EA 11
Nyanyi Sunyi dari Gang Melati 15
Ariel 26
Jadi Lelaki ala Alawi 29
Pria Punya Selera yang Susunya Susu Bendera 39
Ajip Rosidi 49
PKI 58
Muara Dua 64
Orang-Orang Tegaldowo 71
Pomade Bung 93
Farhat Abbas 102
Habib Rizieq 107
Menjadi Muslim Pintar bersama Palu-Arit 113
Menjadi Penggemar Berat Felix Siauw 118
#SudahlahJokowi 122
Merry Christmas, Felix Siauw 127
Senarai Ulah Felix Siauw 133

vii
Mengislamkan dan
Membukanislamkan

Akhir-akhir ini, seringkali saya gelisah melihat perilaku


orang-orang yang konon muslim di internet. Di sela-
sela kegiatan mengelola mojok.co, hampir setiap
jam saya menyaksikan kebencian dan kemarahan
direproduksi atas nama Islam. Orang-orang yang
konon muslim itu gemar sekali teriak-teriak penuh
kemurkaan, dan mudah sekali mengkafirkan orang
lain.
Perkembangan teknologi memang seperti dua
mata pisau. Ia bisa sangat bermanfaat, bisa juga
berbahaya. Perkembangan internet pun begitu.
Di satu sisi ia sangat berguna, misalnya untuk
mempermudah komunikasi. Namun di sisi lain,
seperti hari-hari ini kita saksikan, internet adalah
media paling efektif yang digunakan Islamic State
of Iraq-Syiria (ISIS) untuk menebar propapaganda
kebencian dan peperangan. Dan di negeri ini, kita
dengan mudah menemukan “ustadz-ustadz konon”
yang gemar sekali menebar amarah dan ancaman.

1
Merry Christmas, Felix Siauw!

Mengingat fenomena tersebut, saya tidak tahu


akan seperti apa wajah Islam-Indonesia ke depan.
Indonesia adalah negara demokratis dengan
penduduk muslim terbesar di dunia. Dan Islam-
Indonesia, selama ini dikenal sebagai Islam yang
ramah, yang rahmatan lil ‘alamin, bukan yang hobi
marah-marah.
Namun rasanya, citra yang baik tersebut mungkin
perlahan-lahan akan luntur jika melihat apa yang
menjadi mainstream di berbagai media sosial seperti
Facebook dan Twitter: munculnya gelombang
besar generasi muslim yang membabi-buta, suka
menyerang kelompok yang berbeda. Padahal kalau
ditelusuri, pemahaman agama kelompok ini hanya
sebatas didapat dari Google. Memprihatinkan sekali.
Untuk menahan derasnya arus kebencian itu,
beberapa orang harus mengambil inisiatif untuk
membuat dan memperbanyak konten yang
mencerahkan. Saya percaya, banyak sekali orang baik
yang jengah terhadap ulah para makelar kebencian.
Dan saya yakin, kelompok santri adalah kelompok
yang pas untuk melawan pendangkalan Islam di
internet, dan memiliki kemampuan berdakwah
dengan cara yang baik, dengan mau’izhah hasanah.
Maka ketika beberapa teman mengkampanyekan
Gerakan #AyoMondok di berbagai media sosial,
dengan senang hati saya langsung mendukung
dan ikut bersuara. Gerakan itu penting, agar anak-
anak muda—yang selama ini memamah informasi-

2
Arlian Buana

informasi yang keliru tentang Islam—mau belajar


di Pondok Pesantren, mendalami Islam dengan cara
yang benar, belajar sampai ke akar-akarnya, bukan
belajar dengan metode serampangan mengandalkan
mesin pencari.
Ketika mendapati orang-orang yang sibuk
bilang bahwa X kafir atau Y bukan Islam, saya selalu
ingat lagi kisah yang pernah saya dapat semasa
nyantri dulu. Kisah Kyai Hamam mendirikan Pondok
Pesantren Pabelan selalu menjadi pengingat bagi
saya.
Di usia 25 tahun, beliau keliling ke rumah-rumah
di desanya yang ketika itu kebanyakan tidak memiliki
jendela. Sebagian besar warga Pabelan di masa itu
meyakini: rezeki masuk lewat pintu, jendela dan
segala jenis ventilasi lain hanya akan membuat rezeki
itu kabur lagi ke luar. Kyai Hamam dengan sabar
memberi penjelasan tentang pentingnya sirkulasi
udara di rumah, bahwa rumah tanpa ventilasi
yang cukup alih-alih mendatangkan rezeki justru
mengundang penyakit.
Selain itu, beliau juga menyampaikan keinginan
untuk membangun pesantren dan meminta putra-
putri Pabelan disekolahkan di sana saja. Akhirnya
hanya sembilan orang yang bergabung menjadi
santri pertama, para pemula, salah satunya adalah
mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Komaruddin Hidayat.

3
Merry Christmas, Felix Siauw!

Selain belajar berbagai macam ilmu dasar,


kesembilan orang itu setiap hari diajak Kyai Hamam
ke Kali Pabelan.
“Ayo Islamkan batu-batu itu,” kata Kyai Hamam.
Batu-batu itu kemudian sebagiannya
dimanfaatkan sebagai fondasi beberapa bangunan,
sebagian lain dijual ke Pasar Muntilan—ditukar
dengan alat-alat tulis. Begitulah batu-batu
diislamkan. Kyai Hamam bersama Sembilan
Pemula mengislamkan batu-batu, membangun
pesantren. Selama mondok di Pabelan, saya sering
sekali mendengar kisah itu diulang-ulang para
guru, dengan berbagai varian, berikut pelajaran
mengislamkan segala sesuatu.
Kyai Hamam tidak muluk-muluk dalam
mengajarkan Islam kepada santri-santrinya. Cukup
dengan menunjukkan bagaimana mengislamkan
batu-batu, mengislamkan sekalian manusia,
mengislamkan seluruh alam. Beda dengan beberapa
orang yang dipanggil “ustadz” yang belakangan
gampang sekali mengkafir-kafirkan orang lain dan
melabeli X atau Y bukan Islam.
Kyai Hamam mengajak mengislamkan, “ustadz-
ustadz sekadar” itu sibuk membukanislamkan.
Selanjutnya, terserah Anda.

4
5
Merry Christmas, Felix Siauw!

Mbah Ngah

Ialah yang paling bertanggungjawab atas apa yang


masuk ke dalam perutku, setidaknya untuk lima
tahun, tiga tahun pertama dan dua tahun terakhir
saya mondok di Pabelan. Untuk waktu yang lama,
tangan Mbah Ngah adalah penguasa lidahku dan
puluhan ribu orang lainnya. Hingga kemarin, Tuhan
memanggilnya, tugas memasaknya dicukupkan
sampai di situ.
Tidak banyak yang seistimewa Mbah Ngah.
Tidak banyak. Siapa yang pernah memasak untuk
puluhan ribu orang selama puluhan tahun? Mengisi
perut orang-orang itu, memanjakan lidah mereka
dan memberikan tawa paling renyah yang tak ada
tandingannya. Kegembiraan yang murni.
Selama di Pabelan, saya memang tidak pernah
menganggap Mbah Ngah istimewa. Mungkin karena
keberadaannya saya anggap sama seperti rutinitas
yang lain, yang mesti dijalani, disentuh dan dilihat

6
Arlian Buana

setiap hari sehingga menjadi biasa saja. Baru setelah


meninggalkan pondok, saat akan atau sedang
menyantap makanan, saya sering tiba-tiba teringat
Mbah Ngah dan keceriaannya, juga Mbak Urip yang
baik, rekan kerja Mbah Ngah yang lebih muda.
Ketika pertama kali datang ke pondok, Bapak
hampir menangis karena mendapati masakan
manis di Ruang Tamu. Hanya nasi dan Tahu Kuah
(belakangan saya menyebutnya Tahu Berenang, yang
disajikan saban pagi) manis!
“Ai, Nak.. Kau bakal makan cak ini terus selamo
enam taun,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Bayangkanlah betapa menderitanya Lidah
Palembang yang hobi pedas mencecap makanan
manis. Bayangkan pula perasaan seorang bapak
melow yang membayangkan anaknya akan
menderita selama enam tahun karena makanan
manis.
Mbah Ngah lantas menjadi juru selamat bagi Lidah
Palembangku. Ia tak pernah memasak tahu berenang
manis. Paling-paling sesekali ia bikin tahu dan
tempe bacem (menu makan siang atau malam) yang
perlahan-lahan mulai kusukai.
Masakan di Ruang Tamu ternyata dari Dapur Putri,
yang bukan Mbah Ngah juru masaknya. Ia juru masak
dari Dapur Utara untuk santri putra kelas satu hingga
kelas tiga. Begitulah Mbah Ngah menjadi penguasa
seleraku selama tiga tahun pertama, sebelum

7
Merry Christmas, Felix Siauw!

akhirnya saya bersama teman-teman harus ganti


dapur, pindah tempat makan ke Dapur Selatan waktu
mulai duduk di kelas empat.
Meski sudah pindah, tak jarang saya juga masih
mencicipi masakan Mbah Ngah jika sedang ingin
atau jika terlambat makan di Selatan. Tentu saja Mbah
Ngah akan menyambut dengan omelan khasnya,
tapi itu bukan berarti ia tidak mempersilakan. Sambil
ngomel ia akan mengambilkan nasi, sayur, dan lauk-
pauk. Lalu terjadilah perbincangan antara kami—
perbincangan yang aneh, ia menggunakan Bahasa
Jawa dan saya berbahasa Indonesia. Lebih banyak
saya mengisengi atau menggodanya agar Mbah
Ngah mencak-mencak. Mbah Ngah terlihat jauh lebih
lucu dan menyenangkan kalau sedang marah-marah.
“Aku kangen masakan Mbah Ngah. Aku pindah
dapur sini lagi aja ya, Mbah. Nanti aku lapor Pak Kyai.”
“Sak karepmu.” Bla-bla-bla dan panjang lebar dan
saya akan terkekeh-kekeh sepanjangan.
Ajong (nenek) meninggal dunia ketika saya kelas
lima. Kesedihan itu semakin menjadi-jadi karena saya
tak bisa pulang ke rumah, melihat wajah Ajong untuk
terakhir kali dalam damainya, dan mengikuti prosesi
pemakaman. Begitu mendengar kabar duka dari
Bapak, yang langsung terlintas di benak saya hanya
Mbah Ngah. Saat itu juga saya langsung berpikir
menemui Mbah Ngah meski belum jam makan.
Hanya demi melihat perwujudan Ajong dalam diri
Mbah Ngah.

8
Arlian Buana

Keceriaan dan kegesitan Mbah Ngah cukup


membantu. Tentu saya tak memberitahunya tentang
berpulangnya nenek. Saya hanya datang untuk
melihat Mbah Ngah melakukan aktivitas dapurnya,
mendengar kebawelannya dan sesekali saja
mengajaknya ngobrol.
Setelah cukup lama mengamati Mbah Ngah,
saya pamit dan minta diperbolehkan untuk makan
di sana di jam makan malam. Seperti biasa Mbah
Ngah ngomel tapi tidak bisa bilang tidak. Saya lantas
pulang dan ke kamar mandi, melakukan apa yang
saya lakukan di hari pertama di sana: menangis
sampai puas.
Tadi pukul tujuh malam, saya baru tiba di Stasiun
Senen. Setelah perjalanan panjang dari Yogyakarta,
saya ngaso sambil membuka email dan media sosial,
barangkali ada yang penting yang harus segera dibalas.
Di Facebook, saya mendapati kabar duka dari seorang
kawan di grup teman-teman seangkatan. Saya buka
video rekaman Mbah Ngah yang ditautkan kawan itu.
Saya harus segera pulang ke Ciputat, minum kopi
di Kopi Marjinal sepuasnya. Saya hubungi beberapa
teman untuk diajak ngobrol, untungnya ada satu
yang sudah stand by di sana. Tapi sampai di Marjinal
pun hanya sebentar kami ngobrol. Selebihnya saya
banyak diam di depan layar laptop, menyunting
tulisan untuk Mojok, menulis catatan ini.
Dua tahun terakhir di Pabelan, saya kembali ke
pelukan dapur Mbah Ngah. Kali ini dengan hak-hak

9
Merry Christmas, Felix Siauw!

sebagai Guru Praktek, tidak harus antre bersama para


santri, tinggal ambil di bagian dalam dapur, dan yang
paling penting kesempatan bercanda dengan Mbah
Ngah setiap hari.
Di usianya yang semakin senja, tak banyak yang
berubah dari Mbah Ngah. Di masa-masa terakhir
di pondok itu, saya melihat Mbah Ngah yang sama
seperti yang saya lihat pertama kali. Ia tetap gesit dan
enerjik. Bicara selalu dengan gestur yang lincah, tak
bisa diam, seperti sedang memasang jurus bermain
silat dan selalu diikuti tawa renyah. Entah bagaimana
menjelaskan stamina kegembiraan Mbah Ngah yang
meluap-luap tanpa henti itu. Seolah kesedihan tak
pernah berhasil memeluk dirinya.
Dan Mbah Ngah selalu minum teh dari cangkir
yang sama, yang katanya tidak pernah dicuci sejak
pertama kali dipakai. Dasar cangkir itu berwarna
merah kecokelatan, endapan ampas teh menahun.
Barangkali itu rahasianya.
Di Magelang, seperti berbagai tempat di Jawa,
umpatan yang jamak terdengar adalah “Mbahmu!”
Di saat-saat akhir mondok, teman-teman saya sering
mengumpat “Mbahmu kungfu!” Atau “Mbahmu salto!”
Terhadap itu saya sering menjawab dengan enteng.
“Lha iya, mbahku kan Mbah Ngah.”
Selamat jalan, Mbah. Selamat beristirahat.

10
Noah dan Puthut EA

“Kenapa sih Bana harus malu kalau memang


mengidolakan Noah dan Ariel? Apa salah?” begitu
kicauan Puthut EA di twitter.
Sebentar. Saya singsingkan lengan baju terlebih
dahulu sebelum kita bicara panjang lebar perkara
darurat dunia- akhirat ini.
Saya tahu, 90 persen orang yang menggunakan
Bahasa Indonesia tahu siapa itu Ariel dan apa itu
Noah. Sebagaimana mereka tahu siapa Jokowi. Saya
juga maklum, barangkali tak sampai 5 persen dari
fans Ariel yang tahu siapa gerangan Puthut EA. Tapi
percayalah, yang tak sampai 5 persen itu adalah
orang-orang beruntung, manusia-manusia terpilih.
Oh, tentu saja saya tak perlu memperkenalkan Puthut
EA di sini. Anda tahu fungsi Google, bukan?
Saran saya, setelah Google memberi rute
perjalanan untuk mengenali Mas Puthut—begitu
saya memanggilnya, telusurilah karya-karya yang

11
Merry Christmas, Felix Siauw!

pernah ditorehkannya. Baiklah, tak perlu basa-basi,


maksud saya belilah buku- bukunya. (Mas Puthut
menyuap saya dengan dua tiket menonton film dan
makan malam gratis agar menuliskan ini)
Enaknya bicara Mas Puthut dulu atau Ariel dulu?
Oke, saya bisa tebak jawaban di otakmu.
Jadi, pertama-tama saya mengenalnya sebagai
cerpenis. Saya ingat dulu waktu semester satu pernah
membeli kumpulan cerpennya, Dua Tangisan pada
Satu Malam. Malang nian, buku itu raib sebelum saya
sempat menyelesaikannya. Barangkali kurang jodoh.
Setelah itu, saya justeru semakin rajin
sembarangan menggondol setiap bukunya yang
ada di depan mata. Entah itu di toko buku atau
perpustakaan. Entah di pondokan teman. Persetan.
Saya keranjingan membaca Puthut EA. Sementara di
pasaran memang semakin jarang. Dan karena banyak
hal, yang terlalu panjang untuk diungkapkan di sini,
saya menggemari Mas Puthut.
Maka saya jauh lebih bahagia berjumpa
dengannya ketimbang Ariel. (Saya menuliskan ini
dengan harapan ditraktir ngopi-ngopi ganteng).
Saya bisa lupa bait lagu Peterpan, tapi saya selalu
ingat ungkapan Mas Puthut: “Kamu harus belajar dari
sejarah dan kenyataan, sejarah bangsa ini kan sejarah
para makelar. Dan kenyataannya, makelar itu ada di
mana-mana,” di buku Makelar Politik: Kumpulan Bola
Liar. Baris itu padahal tidak dilagukan, tapi sangat

12
Arlian Buana

sering terngiang-ngiang di kepala saya. Atau tentang


betapa garis kerasnya ia sebagai seorang Romanisti:
jika nanti anaknya mendukung klub selain AS Roma,
ia akan persilakan anaknya mencari bapak lain selain
dirinya. Anaknya boleh punya agama, keyakinan,
pandangan dan ideologi politik berbeda dengannya,
tapi tidak klub sepakbola. Ngeri-ngeri sedap.
Itulah, saya sangat terperanjat ketika seminggu
yang lalu Mas Puthut mengajak saya nonton film
Noah Awal Semula. Dedik Priyanto, yang duduk di
sebelahnya, tertawa tanpa jeda tanpa alasan yang
jelas. Siapa itu Priyanto? Tidak terlalu penting.
Sejujurnya saya malas nonton film itu, baru sehari
sebelumnya saya membeli Kisah Lainnya di bazar
buku Bintaro Plaza dan dalam empat jam saya sudah
beres membacanya. Lagipula, tak ada yang saya
harapkan dari film Noah. Saya tak perlu lagi sebuah
dokumenter untuk mengetahui perjalanan band
dengan Mimpi yang Sempurna itu.
Ya, saya seorang sahabat Peterpan sejak dari
pikiran, Sahabat Noah dari buaian hingga liang lahat.
Banyak orang di lingkungan saya yang merendahkan
pilihan ini. Apa boleh buat. Paling tidak, saya masuk
golongan yang kurang dari 5 persen yang malahan
lebih beruntung lagi hingga ditraktir Puthut EA—
seorang Dewa Laut yang dengan rendah hati masih
mengaku sebagai Detektif Partikelir.
(Perihal dua julukan barusan, Anda hanya bisa
paham jika telah melahap semua buku Mas Puthut.

13
Merry Christmas, Felix Siauw!

Makanya Anda harus memborong semua bukunya.


Ehm, tidak boleh tidak.)
Nah, lantaran enggan Noah, saya masih coba
merayu Mas Puthut untuk menonton film lain saja.
Misalnya Thor, di mana mantan kekasih saya Natalie
Portman ikut ambil bagian. Tapi Mas Puthut bersikukuh
mau nonton Noah saja. Sampai-sampai saya curiga
kalau-kalau ia juga seorang penggemar Ariel dkk.
“Udahlah, anggap aja ini hadiah buat kamu,”
katanya.
Priyanto semakin menjadi-jadi, terpingkal-pingkal
tanpa alur berpikir yang runtut. Priyanto ini siapa
sih? Nggak penting-penting amat sebenarnya, sebut
saja lelaki yang mendermakan dirinya demi digulung
badai kenangan.
Usaha saya memutar haluan untuk film lain
akhirnya tak membuahkan hasil. Di depan antrean
bioskop, diam-diam saya berani menyimpulkan
bahwa Mas Puthut juga seorang Sahabat Noah.
Lebih-lebih, ia tampak sumringah setelah
pertunjukkan usai.
Pertanyaannya sekarang, benarkah seorang
Puthut EA mengidolakan Noah dan Ariel? Apa salah?

14
Nyanyi Sunyi dari
Gang Melati

Aku mencintai Ciputat sebagaimana aku mencintai


ketupat di hari lebaran. Di kota kecil ini, aku telah
menghabiskan seperempat lebih umurku. Di
sini, jutaan perempuan–errr, maksudku, jutaan
pertemuan, percakapan, dan perdebatan telah
mewarnai hidupku.
Aku juga suka buku-buku dan diskusi
sebagaimana aku menyukai opor ayam.
Ah, Ciputat. Kota kecil yang menyebalkan,
sebenarnya. Kemacetan. Kesemerawutan. Denyut
hidup kaum pinggiran. Semuanya menyatu dalam
diriku. Kautahu, betapapun menyebalkannya sesuatu,
jika itu adalah bagian dari dirimu, mau tak mau kau
akan menerimanya sebagai kewajaran dan perlahan-
lahan kau belajar mencintainya. Misalnya perutmu
yang buncit atau hidungmu yang pesek. Maka aku
mencintai Ciputat sebagaimana aku mencintai
perutku yang sedikit buncit.

15
Merry Christmas, Felix Siauw!

Pertama kali aku menginjakkan kaki di daerah


kekuasaan Komaruddin Hidayat ini pada pertengahan
2007. Waktu itu aku masih kurus, belum sesubur
sekarang. Sebagai perantau, aku telah menancapkan
keinginanku untuk bersungguh-sungguh belajar di
kampus yang katanya sedang merintis jalan menjadi
kampus kelas-dunia. Sampai tahun ketiga, semuanya
memang berjalan lancar. Sampai aku menemukan
kebosanan-kebosanan pada diktat-diktat, ruang
kuliah, dan ceramah dosen yang tak menarik.
Di forum diskusi, aku lebih banyak dibuat
terpesona dengan warna-warna daripada di bangku
kuliah. Aku menemukan banyak hal yang lebih
menggairahkan pada kajian-kajian informal dengan
kawan-kawan kelompok diskusi. Aku merasa lebih
hidup membicarakan karya-karya sastra, telaah
sosial-budaya dan politik, serta mendalami filsafat di
Piramida Circle—forum studi yang kupilih sebagai
pesantrenku selama di Ciputat.
Bagiku, kampus hanya mendiktekan kebosanan
satu ke kebosanan lainnya. Kebanyakan aku
terjelengar dibuatnya. Di Fakultas Psikologi tempatku
pernah kuliah, aku melihat banyak kawanku
digiring menjadi guru konseling atau bagian HRD
di perusahaan-perusahaan. Tentu bukan dosa. Aku
hanya tak mau menjadi bagian darinya.
Otakku tidak merasa merumah di kampusku
sendiri. Otakku justru menemukan rumah di berbagai
kajian dan tongkrongan. Salahkah bila aku alergi

16
Arlian Buana

dengan kegiatan perkuliahan di kampus ini? Oh,


jangan salah, aku tak akan pernah berhenti belajar
dari manapun. Meski aku merasa kampus ini bukan
tempat yang cocok untukku, aku senantiasa mengejar
apa, siapa dan ke mana saja agar aku bisa berguru.
Jangan khawatir, aku tetap akan menjadi pembelajar
seumur hidup.
Apalagi yang harus kukatan tentang Ciputat?
Aku telah mengenal setiap inci tanahnya, rupa-
rupa manusianya, tempat makan termurah sampai
termahal, dan yang paling penting, pergolakan
pemikiran mutakhir yang lahir di kawasan tak rapi
ini. Seorang kawan pernah berseloroh, aku—dengan
sekian pergelutanku di Ciputat selama ini—telah
mencapai Puncak Makrifat Ciputat. Tanyakan
kepadaku semua yang ingin kau tahu tentangnya,
aku akan menjawab dalam satu-dua kedipan mata.
Asal jangan kau tanya cara memikat gadis Ciputat.
Karena hingga kini aku pun masih bingung.
Itulah masalahnya. Aku tidak ingat kapan terakhir
kali aku mendekati perempuan Ciputat. Barangkali
karena aku terlampau sibuk dengan buku-buku,
laptop, dan diskusi.

Aku gandrung akan sepakbola. Bukan hal aneh,


bukan?
Kepalaku bisa mendadak vertigo bila malam

17
Merry Christmas, Felix Siauw!

akhir pekan kulewatkan tanpa laga sepakbola. Oh,


iya, fakta bahwa hanya 0,000000001 hidupku yang
kuhabiskan dengan merasakan kehangatan malam
minggu bersama pacar tentu berkontribusi besar
atas pusing kepala itu, tapi sepakbola selalu berhasil
menjadi obat mujarab. Sepakbola adalah keajaiban
bagi hidupku. Sialnya, sepakbola juga bisa merusak
hari-hariku.
Awalnya aku menikmati sepakbola sebagai
permainan yang menyenangkan. Hanya itu.
Permainan. Bermain. Main-main. Senang-senang.
Berkejaran di bawah guyuran hujan memperebutkan
dan menendang-nendang bola bersama kawan-
kawan di desa tak pernah gagal membuatku
riang-gembira, meski ketika pulang ke rumah pasti
dimarahi orang tua. Tontonan sepakbola baik itu
acara tujuh-belasan di kecamatan atau di televisi
bagiku selalu lebih seru daripada film-film laga atau
tembak-tembakan ala koboi mana pun.
Seiring berjalannya waktu, sepakbola tak lagi
sekadar perwujudan dari kesenangan bagiku, lebih
dari itu, sepakbola menjadi gengsi dan lambat-laun
menjelma egoku. Semua bermula sejak aku memilih
dan menentukan tim sepakbola kesayangan. Pilihan
yang membuatku merasa memiliki klub sepakbola
itu, atau, boleh dibilang, klub itu yang memilikiku.
Emosiku jadi rentan dipengaruhi hasil pertandingan.
Lama-lama aku curiga jangan-jangan skor akhir itu
adalah emosiku sendiri. Menang, senangnya tak alang
kepalang, bunyi nafiri terus bergema di rongga dada,

18
Arlian Buana

dan hari-hariku dalam sepekan akan berlangsung


ringan. Kalah, bawaanku jadi marah-marah, pekanku
terasa bencana.
Seperti malam ini, sehabis kekalahan Inter Milan
dari seekor klub semenjana, rasanya aku ingin
menghancurkan semua barang di atas meja. Piring,
gelas, asbak, biar berdemprang paling garang. Aku
ingin kegaduhan. Bukan keberisikan yang mengusik.
Kegaduhan yang memompa epinefrina.
Di ujung meja sana, Zakky Zulhazmi dan Arlian
Buana menciptakan keberisikan yang mengesalkan.
Ingin rasanya menyumpal mulut dan membanting
badan mereka berdua ke lantai lalu kutimpakan
sengkang rak buku rak piring kompor gas sekalian
wastafel lalu aku akan tertawa terbahak-bahak. Lalu
kubakar markas besar ini dengan satu lemparan kecil
korek kayu pada minyak tanah yang telah kusiramkan
sebelumnya. Semua itu terjadi di kepalaku.
Kenyataannya, mereka berdua yang terpingkal-
pingkal karena obrolan entah yang kesannya
menertawakanku.
“Pernah skor laga klub favoritmu mempengaruhi
mood-mu dalam waktu yang panjang?” Bana
bertanya. Oh, mereka memang menyindirku. Tahu
kau bagaimana rasanya ditimpuk laptop, Ban?
“Mempengaruhi sih iya. Tapi nggak lama juga.
Paling-paling ya kecewa saja selepas nonton. Keyk-
keyk gimana ya… Keyk-keyk gak habis pikir aja, gitu.
Tapi setelah beranjak ya sudah. Toh, hidup harus

19
Merry Christmas, Felix Siauw!

dilajutkan? Banyak tugas lain menunggu. Buat apa


melestarikan kekecewaan jika itu tak membantu
kita berkarya?” Sok serius Zakky menjawab dengan
pertanyaan-pertanyaan yang tak memerlukan
jawaban. Menyebalkan. Pernah kau digebuk pakai
dispenser beserta galon penuhnya, Jek?
Mau bilang kayak-kayak saja pakai keyk-keyk.
Dasar alay!
Aku membolak-balik halaman Lapar-nya Knut
Hamsun. Tapi otakku masih terpaku pada percakapan
dua asu buntung itu.
“Bener banget. Aneh aja ada orang-orang yang
gitu. Tapi ya boleh-boleh aja sih. Yang kelewatan gak
jelasnya itu orang-orang yang berantem gara-gara
membela klubnya. Kalo klubnya kalah, misalnya, terus
di-cengin abis, dia ngamuk-ngamuk sampe ngajak
berantem. Apa coba perlunya gontok-gontokan
perkara klub?” Bana makin tajam menyilet. Perih ulu
hatiku. Biarlah, biar dia mengoceh sampai tamam
nafsunya.
Lebih baik aku masuk kamar daripada terjadi
perkelahian seperti sinetron Indosiar.
“Iya, bener. Banyak banget emang yang gak jelas
keyk-keyk gimana gitu. Ada tuh yang pernah jadi
jurnalis bola tapi masih keyk gitu.” Zakky brengsek!
Berani-beraninya dia terang-terangan menamparku.
Nyamuk-nyamuk di sini pun tak kalah brengseknya.

20
Arlian Buana

Haruskah aku bersepeda untuk memuntahkan


kemarahanku?
“Hahaha. Jonathan Wilson, kolumnis bola terkeren
sejagad Inggris, nulis di Jurnal bola bikinannya, The
Blizzard, edisi Sembilan kalo gak salah: bolakaki itu
emang olahraga kemarahan. Angry sport. Kata dia,
dari dulu emang gitu, dan booming-nya media sosial
makin menelanjangkan fakta itu. Dia juga bilang,
yang paling melelahkan dan membosankan jadi
jurnalis bola itu bukan kerja sampai larut malam atau
perjalanan panjang untuk liputan, tapi menghadapi
fans yang marah dan tolol yang mayoritas itu...”
“Nah, kalo jurnalis bola, atau minimal mantan
jurnalis bola keyk gitu, berarti anehnya kuadrat dong.
Hahaha.”
Babi!
“Seenggaknya, jurnalis bola kan mempelajari
banyak hal ya. Absurd memang kalo otaknya masih
cupet. Hehehe.”
“Padahal jadi suporter itu nggak dibayar lhoh, ya.
Malah harus membayar dengan harga yang nggak
sedikit. Kita bahkan jadi papan iklan berjalan dengan
jersey yang kita pakai.”
“Itulah. Absurd.”
Susah bicara dengan awam yang belum pernah
mendengar apalagi beriman pada firman Bill Shankly.
Lebih baik aku bersepeda.

21
Merry Christmas, Felix Siauw!

22
Arlian Buana

Orang-orang yang menganggap sepakbola


sebagai perkara hidup-mati saja mengecewakan
Shankly, apalagi dua bedebah yang justru berolok-
olok itu. Sepakbola lebih akbar daripada urusan
hidup dan mati!
Lebih cepat aku mengayuh sepedaku kemungkinan
pertumpahan darah akan semakin kecil.

Kau mungkin mengira aku orang yang jiwanya


rusuh. Kau salah. Aku telah berdamai dengan
apa pun. Dengan kesendirian, kegagalan dan
kekecewaan, juga dengan nyamuk dan kenangan. Iya,
kenangan. Tak semuanya menyenangkan, memang.
Tapi sungguh, aku telah berdamai dengan segala.
Zakky salah bila meyakini merawat kekecewaan
tak membantu kita berkarya. Kau salah bila
beranggapan bahwa menggarami luka tak baik bagi
produktivitas. Aku akan buktikan kalian salah. Aku
sedang menulis novel tentang taman kesedihan
yang kukunjungi setiap malam. Semua kisahnya
bersumber dari kenangan-kenangan yang kerap
menindih kepalaku. Aku akan buktikan. Di setiap
kelas menulis, hal pertama yang selalu kuajarkan
kepada peserta didikku adalah ritual memanggil
kenangan. Seburuk apa pun kenangannya tak akan
pernah gagal menjadi tulisan bagus. Percayalah.
Perkara kuliahku, sekali lagi aku telah berdamai.

23
Merry Christmas, Felix Siauw!

Goenawan Mohamad, sastrawan besar itu, toh tidak


menamatkan pendidikannya di Fakultas Psikologi,
fakultas yang sama denganku. Aku punya rencana
untuk menyeriusi studi sastra, entah di kampus mana.
Aku akan memenuhi nubuat kawan karibku: aku akan
menjadi Lumba-Lumba Sastra, suksesor HB. Jassin
Sang Paus Sastra Indonesia.
Kau kira aku belum pernah punya pacar? Enak
saja. Gadis berkacamata itu memang tak terbit dari
Ciputat. Ia datang dari kota kenangan. Ah, aku sedang
tak ingin berpanjang-lebar tentangnya. Tapi kau
harus tahu, paling tidak, aku pernah memenangi
hatinya.
Namaku Dedik Priyanto. Apa lo? Apa lo?

24
Ariel

Ia masih sibuk rapat peluncuran album terbaru ketika


asistennya datang menginterupsi, membisikinya
kabar mengejutkan.
”Ah, itu pasti hoax,” katanya tak ingin percaya.
Rapat dilanjutkan dengan kegelisahan yang mulai
menggelayuti hatinya. Konsentrasinya buyar. Selang
beberapa menit, asistennya kembali menghampiri
dengan wajah lebih pasti: wajah bencana di depan
hidung. Ia menerima ponsel pintar yang disodorkan
sang asisten untuk memastikan sendiri kebenaran
kabar jahanam itu. Seketika pandangannya gelap.
Kepalanya seperti hendak meledak.
Di luar sana, seluruh dunia mulai
membicarakannya. Riuh-rendah. Jejaring sosial.
Portal berita dan forum-forum daring. Koran-koran.
Stasiun-stasiun televisi tak mau ketinggalan. Hiruk-
pikuk.

25
Merry Christmas, Felix Siauw!

Demikianlah Ariel membuka Kisah Lainnya:


Catatan 2010-2012. Dramatis. Indonesia gempar oleh
tragedi kau-tahu-apa.
Dua video terkutuk itu tersebar begitu cepat,
mustahil dihentikan. Ia tak mungkin lari. Rentetan
hari-hari berkebalikan 180 derajat dengan hidupnya
beberapa tahun belakang telah menanti. Dan
ia memilih diam ketimbang berteriak dalam
kerumunan tak karuan ini. Orang-orang berlomba
menghakiminya.
Saya sangat ingat malam itu. Mendadak beberapa
orang menghubungi, bertanya apakah saya sudah
menonton, menanyakan pendapat, dan lain
sebagainya, yang sebenarnya bukan urusan saya.
Hanya karena saya pernah secara terbuka mendaku
sebagai Sahabat Peterpan. Hanya karena semua
orang tahu saya sering menyanyikan lagu-lagunya.
Saya membayangkan apa yang berkecamuk di kepala
Ariel saat itu. Tentu tak mudah.
Video itu tak akan mengubah kesukaan saya akan
Peterpan. Lagipula itu urusan pribadi. Peduli setan
dengan kelakuannya. Lebih penting lagi, ia tidak
melakukan tindak kriminal.
Tapi sebagian orang ternyata lebih suka
menghakimi. Sebagian orang merasa punya otoritas
moral untuk menghukum. Saya sempat teringat
bahwa Ariel mengidolakan Kurt Cobain, jangan-
jangan ia akan mengikuti jejak pentolan Nirvana itu
bunuh diri di umur 27.

26
Arlian Buana

27
Merry Christmas, Felix Siauw!

Kebetulan Ariel sedang di usia yang sama. Kita semua


tahu, ia tak berakhir di situ. Ia masih punya cukup
kekuatan untuk bertahan, mempertahankan diri.
Tentu ia bukan manusia paling suci. Tapi ia
memilih sikap ksatria. Menghadapi apa pun yang
harus dihadapi. Tanpa banyak bicara.
“Jika saya bercerita sekarang, maka itu hanya
akan membuat sebagian orang memaklumi saya
dan sebagian lagi akan tetap menyalahkan saya.
Tetapi itu juga akan membuat mereka memaklumi
dunia yang seharusnya tidak dimaklumi. Dan tidak
ada yang dapat menjamin apakah, semua dapat
memetik yang baik dari kemakluman itu, atau
hanya mengikuti keburukannya. Maka saya lebih
baik diam… Saya hanya akan bercerita kepada
Tuhan, bersuara kepada yang berhak, berkata
kepada diri sendiri, lalu diam kepada yang lainnya.
Lalu biarkan seleksi Tuhan bekerja pada hati setiap
orang.”

28
Jadi Lelaki ala Alawi

Cecunguk forum kajian di Ciputat mana yang tak kenal


Abdullah Alawi?
“Mas, kenalkan, ini Alawi, calon menantu saya,”
kata penyair D. Zawawi Imron memperkenalkan
Abdullah Alawi kepada Atasi Amin, putra sulung
penyair-cum-pelukis Jeihan Sukmantoro. Di samping
Abah Zawawi, duduk pula Sapardi Djoko Damono—
penyair yang puisinya sering dikutip di undangan
pernikahan tapi namanya jarang tercantum.
“Tapi Alawi ini orangnya segan dengan
perempuan. Kalau hanya berteman, memang
banyak dia berteman dengan perempuan. Tapi kalau
sudah menyangkut desir-desir hati, dia ndredeg, lalu
menghindar.”
Abdullah Alawi, biasa saya panggil Bang Abah,
diam triliunan bahasa. Tak pernah sebelumnya saya
melihat ia sematikutu itu.

29
Merry Christmas, Felix Siauw!

Tapi peristiwa itu beberapa jam kemudian justru


menjadi senjata andalannya untuk menyerang lawan-
lawannya.

Ada sebuah legenda suburban di Ciputat yang


sukar dipercayai oleh orang-orang di manapun di
belahan dunia ini. Dongeng tentang seorang lelaki
tampan, dewasa, bersahaja, pintar dan humoris yang
konon jomblo sejak dari pikiran. Ada.
Mula-mula saya sendiri tidak percaya kisah itu.
Apalagi ketika tahu bahwa lelaki yang dimaksud
adalah orang yang saya kenal baik. Semua definisi
dan pujian tentang keagungannya tak kuasa saya
bantah. Tapi cerita bahwa ia belum pernah punya
hubungan istimewa dengan seorang perempuan
bagi saya benar-benar tak masuk akal. Susah dinalar.
Ia orang baik. Sangat baik. Hatinya semulia
Bajak Laut dalam novel Dataran Tortilla.
Dalam hal beragama, ia sereligius Jesus Maria.
Kesetiakawanannya tak kalah dengan Danny.
Kemampuan menyimak dan menyimpan
datanya setajam kecermatan Pilon. Karena itu,
kegandrungannya dalam menulis serupa dengan
tergila-gilanya para Paisano pada anggur.
Maka jangan heran bila suatu hari ia terdampar
di tepi laut, yang pertama kali dicarinya adalah pena
dan buku tulis. Seperti halnya para Paisano akan
mencari setetes anggur.

30
Arlian Buana

Awal Desember 2009, saya mengetuai panitia


bedah buku kumpulan cerpen berjudul Perawan yang
diterbitkan oleh Yayasan Rahima. Ketika akan memilih
moderator, para senior di kampus meyodorkan nama
Abdullah Alawi. Menurut mereka, ia juga mahasiswa
UIN, pecinta sastra dan pentolan kelompok diskusi
Piramida Circle.
Dari beberapa kali interaksi di kegiatan itu, saya
langsung tahu bahwa ia orang yang pintar dan
menyenangkan. Kombinasi yang sulit didapati dalam
diri setiap orang. Kombinasi yang hanya dimiliki oleh
mereka yang terpilih. Ia adalah tipe orang yang, jika
tanpa sengaja seperjalanan atau bertemu di kafé
dengan Anda, akan dengan cepat bersahabat dan
asyik dijadikan kawan bicara.
Sejak itu, saya jadi sering bergaul dengan Bang
Abah. Ia tak pernah membentangkan jarak di
tongkrongan, walaupun saya juniornya dengan
angkatan yang terpaut cukup jauh.
Akhir Desember 2009, Gus Dur, tokoh yang
kerap menjadi primadona dalam diskusi kami,
wafat. Keesokan harinya, kami tahlilan, dilanjutkan
dengan berbagi cerita dan berdiskusi tentang
apa saja mengenai Gus Dur. Bang Abah cerita
tentang bagaimana orang-orang di kampungnya
memandang Gus Dur, lalu persentuhannya dengan
pelbagai gagasan Gus Dur sejak bertungkus-lumus di
forum kajian.

31
Merry Christmas, Felix Siauw!

Saya semakin dalam mengenalnya ketika kami


menggagas sebuah buletin bernama Bongkar—
bersama Ahmad Makki dan Abi Setio Nugroho.
Lebih sering begadang bersamanya, menerima
penjelasan-penjelasan sederhananya tentang banyak
konsep filsafat yang bikin pusing, dan yang paling
menyenangkan, saya diperbolehkan membaca
bermacam-macam tulisannya yang luar biasa tapi
belum pernah dipublikasikan.
Saya mengagumi tulisan-tulisannya. Ia mampu
mengangkat banyak hal sederhana menjadi menarik
dan penting, dengan gaya yang santai, sederhana
dan seringkali jenaka. Jika saya ditanya siapa penulis
yang paling menginspirasi saya selama di Ciputat,
nama Abdullah Alawi yang saya sebut pertama.
Mungkin bagi banyak penulis kawakan, tulisannya
biasa saja, tapi bagi saya sungguh luar biasa, lantaran
saya mengenalnya dari dekat, sedikit-banyak melihat
langsung bagaimana proses kreatifnya. Ia adalah guru
sesungguhnya bagi saya.
Masalahnya, saya benar-benar tak pernah tahu
apakah guru saya itu pernah punya pacar atau
belum. Bagaimana saya harus membelanya ketika
tidak sedikit orang menuduhnya telah menjomblo
sedari buaian? Sedang untuk bertanya kepadanya
saya rasa kurang etis. Benarkah apa yang dikatakan
Abah Zawawi, Si Celurit Emas, bahwa Bang Abah
menghindari desir-desir hati?

32
Arlian Buana

Dengan segenap reputasinya, saya sangat yakin


Bang Abah bisa memilih gadis single mana pun
untuk dijadikan pacarnya. Asal pendekatannya tepat,
pastinya. Entah bagaimana latar belakang dan latar
depannya, ia sendiri sepertinya enggan mencari
pacar.
Ia bahkan membangun demarkasi bagi
perempuan-perempuan yang mencoba
mendekatinya. Ketika banyak remaja tanggung yang
risau karena di laman profil Facebook-nya tak ada
status perpacaran, Bang Abah ambil jalan pintas
dengan membuat akun Nyai Ontosoroh. Akun yang
hanya berteman dengan satu orang ini dijadikannya
pacar. Penghias laman profilnya.
Menyedihkan? Tidak juga. Ia tetap melalui
hidupnya dengan riang-gembira. Cerita tentang
akun Nyai Ontosoroh tak pernah bisa dijadikan orang
senjata untuk menghinanya. Sebaliknya, akun itu
justru menjadi kebanggan luar biasa di tangannya.
Ketika jomblowan-jomblowati dipandang hina
seperti tahi kuda, Abdullah Alawi justru terlihat
seperti buah semangka.
Menurut informasi yang telah saya himpun
dari sumber-sumber terpercaya, bukan sekali dua
ada gadis yang memujanya layaknya para jurnalis
menyembah fakta. Gadis-gadis itu mengubernya
seperti kuli tinta memburu berita. Tapi tak satu pun
yang mampu merengkuh hatinya. Tak satu pun.
Di telinga saya, pernah mampir kisah tentang

33
Merry Christmas, Felix Siauw!

dekatnya Bang Abah dengan beberapa perempuan.


Pernah dengan rekan kuliah seangkatannya, punya
minat yang sama besar pada sastra dan kajian
kebudayaan. Mereka berdua pada suatu masa
saling tarik-menarik begitu kuatnya seperti sampo
dan rambut, tapi hubungan itu berakhir entah.
Ada beberapa perempuan pula yang bergantian
meneleponnya berjam-jam hingga larut malam, tapi
kesemuanya tak jelas juntrungannya.
Di Macondo, pondokan saya, suatu malam ia
masuk angin dan minta minyak kayu putih. Tanpa
saya minta, ia bercerita bagaimana aroma minyak itu
membangkitkan kenangan-kenangannya tentang
cinta di sekolah menengah.
“Gua itu…” katanya memulai. Begitulah Bang
Abah, selalu bertutur tentang dirinya seolah-olah
dirinya adalah orang lain.
“Kalo nyium bau kayu putih selalu keingetan
cewek yang gua senengin waktu aliyah.”
“Dulu waktu kemah, gua itu berusaha biar baris
deket-deket dia. Kebetulan mungkin waktu malem
api unggun dia lagi nggak enak badan, jadi make
minyak kayu putih. Dan gua itu menghirup aromanya
dengan seksama.”
“Makanya sampai sekarang gua selalu
menganggap, bau kayu putih itu aroma cinta.
Hahaha.”
Saya terkesima. Mengulum senyum. Menunggu

34
Arlian Buana

kelanjutan ceritanya. Tapi percakapan itu


dicukupkannya. Penonton kecewa Alawi berlalu.
Di mana dan bagaimana gadis kayu putih itu kini,
kita semua barangkali tak akan pernah tahu.

Sabtu, 28 September 2013, pasukan Surah Sastra


menyerbu Bandung. Muhaji Fikriono, Hamzah Sahal,
Abi Seti Sugroho, Dedik Priyanto, Zakky Zulhazmi,
Ubay Prh dan saya berangkat dari markas di Gang
Melati, Bintaro, kira-kira pukul sebelas malam. Bukan
pasukan lengkap, dan dengan perbekalan seadanya.
Tujuan kami, Studio Jeihan, di Jalan Padasuka.
Di sana, telah menunggu pameran lukisan
dan puisi “Lima Rukun.” Pameran bersama lima
maestro, Sapardi Djoko Damono, D. Zawawi Imron,
Acep Zamzam Noor, A Mustofa Bisri dan Jeihan
Sukmantoro. Sepanjang perjalanan, kami telah
membayangkan bagaimana melihat para maestro
itu dari dekat, ngobrol ngalor-ngidul dan tentu saja
belajar dengan mereka.
Sebelum ke lokasi, kami terlebih dahulu
menjemput Abah Zawawi di stasiun. Abah Zawawi
begitu hangat, lagi baik hati. Begitu mendengar
berita wafatnya ibunda Bang Morenk Beladro, beliau
langsung memimpin kami melafalkan doa-doa
panjang saat itu juga, di dalam mobil. Kami yang lelah
dan kelaparan ditraktirnya makan, dihiburnya dengan

35
Merry Christmas, Felix Siauw!

rupa-rupa humor teranyar dari tanah Madura. Dan tak


lupa ia bertanya, “Mana Alawi?”
Alawi yang dinanti baru tiba keesokan hari. Ia
melewatkan beberapa momen puitik tentu saja.
Tapi bukan Alawi namanya jika tidak membukukan
kemenangannya sendiri. Meski lebih dulu kami sehari,
koleksi fotonya bersama para tokoh dalam gelaran ini
lebih lengkap daripada siapapun.
Alawi memang tak berkutik ketika pertama-
tama diperkenalkan sebagai calon menantu Abah
Zawawi. Menggelegar gelak tawa Dedik Priyanto, Abi
Setio Nugroho cekikikan, Muhaji Fikriono dan Zakky
Zulhazmi tersenyum simpul penuh arti. Tapi, sekali
lagi, bukan Alawi namanya jika tidak membukukan
kemenangannya sendiri. Selepas Abah Zawawi pergi,
gelegar tawa Dedik Priyanto perlahan tapi pasti
berubah menjadi air mata.
Ceng-cengan terus berlanjut. Alawi yang malu-
malu dengan perempuan dan lain sebagainya terus
diulang-ulang. Tatkala percakapan sedikit berbelok
tentang kaos Lima Rukun, yang beberapa orang tidak
kebagian, serangan balik Alawi mulai dilancarkan
dengan cepat. Trengginas.
“Lu udah dapet kaos, Bah?” tanya Dedik.
“Ya udahlah. Kalo gua kan udah dianggap
menantu! Orang-orang udah pada hormat semua
sama gua gara-gara dikenalin-menantu.”
Alawi mulai menemukan dirinya. Semuanya

36
Arlian Buana

terpingkal-pingkal. Sambil tertawa, Dedik mulai


mengumpat jancuk.
“Kalo sampe gua gak dapet kaos, Abah Zawawi
bisa-bisa turun tangan, ‘ini menantu saya belum
dapet!’”
Secepat kilat ia membelokkan percakapan
menuju Dedik. Serangan yang sepertinya memang
telah disiapkannya cukup rapi, tanpa ampun, dan
mematikan. Dedik semakin sering mengumpat.
“Emangnya elu?!” bla-bla-bla. Semua tentang
Dedik, mantan kekasihnya, kenangan dan luka-
lukanya mendadak dikorek-korek seperti selokan
mampet yang dibersihkan. Habis. Tuntas tak bersisa.
Kami semua tentu saja dengan sukarela menjadi tim
hore. Sampai Dedik tak sanggup lagi mengumpat dan
hanya bisa termangu.
Sepulang dari Bandung, beberapa kali saya
terkenang tentang Bang Abah. Kisahnya membuat
saya berpikir ulang tentang konsep ideal menjadi
lelaki. Ia hipster sejati dalam hal percintaan. Ia
tidak seperti kebanyakan orang yang berpikir dan
berusaha keras mencari pasangan agar tidak dihina
sebagai jomblo di perkumpulan. Jomblo tidak jomblo
sepertinya tidak pernah mengganggu pikirannya.
Karena hipster dalam percintaan, ia tak perlu
intim dengan berbagai kosa-kota basi anak muda
masa kini: patah hati, galau, move on dan seterusnya.
Ia tentu saja memperhatikan itu semua, dijadikan

37
Merry Christmas, Felix Siauw!

perbendaharaannya untuk menulis dan ngobrol di


warung kopi, tapi ia tak penah terganggu dengan
hal-hal yang begitu. Berbeda dengan Dedik, misalnya,
yang kerap gelisah ketika kenangan datang tanpa
diundang. Caranya memperlakukan kenangan
tentang Gadis Kayu Putih, jauh berbeda dengan cara
mainstream yang menggalau-balau.
Alih-alih berburu cinta, Alawi justru semakin giat
mencintai dirinya sendiri. Ia lebih memilih untuk
sibuk dengan apa yang menggairahkan hatinya:
membaca, berkenalan dengan sebanyak mungkin
orang baru, mengunjungi tempat-tempat baru dan
menulis. Bukan mencintai diri secara berlebihan
seperti Narcissus legenda Yunani. Hingga tiba orang
seperti Abah Zawawi yang dengan senang hati
menyodorkan jodoh yang cocok untuknya, cinta
sejati sehidup-sematinya.
Bukankah mustahil kita bisa mencintai orang lain
jika lalai mencintai diri sendiri?

Ps: Bang Abah akhirnya menikah akhir Oktober 2015,


dengan seorang Mojang Bandung.

38
Pria Punya Selera
yang Susunya Susu
Bendera

Di kantin Perpustakaan Universitas Indonesia,


Faisal Kamandobat mengungkapkan keinginan
terdalamnya sebagai penyair: puisinya dibaca atau
dinyanyikan orang setiap hari layaknya puja-puji
untuk nabi dan doa-doa yang dihayati para pemeluk
agama yang teguh.
“Aku kan paling-paling baca puisiku sendiri di
panggung, terus dikasih tepuk tangan, yang tepuk
tangan itu temen-temenku sendiri, habis acara
mereka udah gak inget puisiku. Atau koran Minggu,
tapi apalah artinya koran Minggu selain honor?”
katanya.
Diskusi itu sebenarnya tentang Poejangga
Baroe. Majalah Surah berniat menerbitkan ulang
polemik kebudayaan yang banyak digeluti oleh
para punggawa Poejangga Baroe. Gagasan awalnya
dari kritikus sastra sekaligus Dewan Redaksi Surah,
Maman S. Mahayana, dalam rangka memperingati

39
Merry Christmas, Felix Siauw!

dasawindu Poejangga Baroe dan sebagai upaya


menyelami bagaimana akar kebudayaan Indonesia
dibentuk.
“Karena dasar-dasar yang diletakkan Poejangga
Baru itulah, kesusastraan modern Indonesia bekerja
melalui negara, hanya lewat lembaga-lembaga
pendidikan formal yang semakin lama semakin
berjarak dengan masyarakatnya. Akibatnya, karya
sastra tidak benar-benar dihayati, puisi Chairil Anwar
hanya jadi hafalan di Sekolah Dasar. Tidak mendarah-
daging dalam derap langkah manusia sehari-hari,”
tambah Kamandobat.
Mahayana mengangguk pelan, matanya
menerawang. Zakky Zulhazmi mengangguk-
angguk sambil saling memandang dengan Ubay
Prh. Abdullah Alawi mengangguk serius. Abi Setio
Nugroho menghisap rokoknya dalam-dalam,
matanya menyipit dan keningnya berkerut seperti
memikirkan sesuatu yang sangat serius.
“Sebentar. Sebentar,” sela Kamandobat.
“Ada puisi lewat.”
Seorang mahasiswi dengan blus putih dan
rok tribal selutut melintas. Parasnya putih mulus,
peralatan kecantikan modern sepertinya bekerja
dengan baik di sana, kaki jenjangnya pun tanpa
cacat dipercantik sepatu hak tinggi sehingga bentuk
betisnya terlihat kencang meski kesan lembutnya
tetep menempel. Hidung mancung. Menenteng tas

40
Arlian Buana

dan berjalan dengan irama terjaga, anggun. Bentuk


tubuhnya seperti rata-rata model pakaian dalam. Saya
menoleh, Nugroho dan Zulhazmi nyengir.
“Itu baru puisi. Berdarah-daging,” kata
Kamandobat, tertawa.
Obrolan dilanjutkan ngalor-ngidul. Di kejauhan,
saya melihat tiga mahasiswi keluar dari Books
& Beyond sambil bercengkerama. Tidak seperti
mahasiswi sebelumnya, mereka terlihat tanpa
polesan memadai, seperti tidak mengenal perawatan
kulit yang mahal kecuali mungkin sabun cuci muka
dan krim yang diiklankan televisi. Mereka semakin
mendekat ke tempat kami ngobrol.
“Sebentar, sebentar,” giliran saya yang menyela.
“Ada tiga puisi esai mau lewat.”
“Hahahaha.. Ada catatan kakinya gitu,” timpal
Nugroho.

7 Maret 2014 pagi, belum tidur semalaman, saya


membangunkan Alawi dan Nugroho. Rencana kami
hari ini membuat kepala saya bekerja demikian
kerasnya, demikian antusiasnya sampai-sampai tidur
tak lagi menggoda. Setelah keduanya bangun lalu
mandi bergantian, kami meluncur bersama ke Bintaro
Plaza. Bazar Buku Murah Gramedia menanti kami
dengan stok-stok baru yang menggiurkan.

41
Merry Christmas, Felix Siauw!

Pukul setengah sebelas, di tengah lautan buku,


Alawi terlihat gelisah. “Bung, ayo, udahan yuk. Pak
Djoko udah nungggu kita nih,” katanya.
Tapi perkiraan saya bukan Pak Djoko benar yang
merisaukan Alawi, tapi buku yang telah diangkatnya
di tas belanja sudah terlalu banyak. Kantongnya tentu
akan kempis dalam tiga pekan ke depan. Perburuan
harus segera diakhiri kalau tak ingin dompetnya
kosong-melompong.
Sesampainya di rumah Djokolelono, Pak Djoko
yang dimaksud Alawi, saya baru sadar telepon
genggam saya tak ada di tempatnya yang biasa, di
kantong. Saya periksa di tas, nihil. Ada beberapa
orang yang harus saya hubungi saat itu, saya mulai
panik. Nugroho pun kelihatan khawatir, “Coba periksa
lagi,” katanya. Saya periksa lagi di semua sudut yang
mungkin secara seksama dan konsekuen. Alawi
dengan wajah yang ikut gelisah bilang, “Ketinggalan
di tempat makan tadi kali.”
Tanpa diinstruksi, Nugroho langsung memanggil
nomor saya. Nyambung, tapi tidak diangkat.
Lalu dengan ringan, tanpa beban, dan wajah
bercanda, si tuan rumah berkata, “Gimana? Mau
pakai hape saya?” saya setengah kesal dibuatnya.
Di tengah keadaan yang bagi saya saat itu sangat
rumit dan memusingkan, bisa-bisanya ada orang
yang menganggapnya enteng. “Lha ya gimana?
Jangan bingung, toh?” lanjutnya. Duh! Saya segera
mengambil langkah cepat, menghidupkan sepeda

42
Arlian Buana

motor, menjemput kemungkinan hape itu tertinggal


di tempat makan.
Tuan rumah adalah orang yang sangat kami
kagumi. Ia yang mengantarkan kami mengenal,
menikmati kisah dan umrah ke Dataran Tortilla.
Nama Djokolelono selamanya tak akan pernah kami
lupakan karena jasanya menerjemahkan dengan
sangat hebat novel karangan John Steinbeck itu.
Karena sentuhan tangannya, kami bisa mengenal
dari jarak yang sangat dekat perilaku para Paisano.
Djokolelono, Paisano, John Steinbeck dan Tortilla Flat
adalah para primadona yang sukar tergantikan saat
kami masih hobi nongkrong di Warkop Tampomas.
Alawi, bersama partner in crime abadinya, Ahmad
Makki, bahkan membuat sebuah blog tribut untuk
mereka dengan nama Anggur Torelli—air zam-zamnya
Dataran Tortilla.
Puji Tuhan hape itu aman. Pemilik rumah makan
berbaik hati menyimpannya sampai saya datang. Saya
gembira sampai-sampai berniat menciumnya. Di jalan
pulang ke rumah Pak Djoko, saya beli rambutan untuk
oleh-oleh sebagai ungkapan senang.
Kegembiraan saya bertambah-tambah ketika
ngobrol dengan Pak Djoko. Dalam waktu singkat,
saya sudah lupa kekesalan saya sebelumnya.
Ia ternyata memang menggemaskan dan lucu
orangnya. Dalam bahasanya sendiri, ia memang
kekanak-kanakan. Menurut pengakuannya, bukan
hanya karena menjadi kanak-kanak selamanya

43
Merry Christmas, Felix Siauw!

menggembirakan dan lebih enak baginya, tapi juga


karena ia tak mau pusing dengan semua urusan
orang dewasa. Ia tak suka hitung-hitungan, ia benci
pertengkaran.
“Semua urusan orang dewasa, istri saya yang urus.
Saya nulis aja,” katanya.
Alawi terlihat mengangguk-angguk khidmat
sekali. Matanya tajam menatap Pak Djoko dengan
kekaguman dari ujung kaki hingga ujung kepala.
Alawi seperti bertatap-muka langsung dengan para
Paisano. Ia seolah mengalami dua momen sekaligus:
puitik dan orgasmik.
Alawi begitu bersemangatnya memberondong
Pak Djoko pertanyaan demi pertanyaan. Nampak
benar ia bernafsu menyedot ilmu kepenulisan
Djokolelono dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Dan Pak Djoko, selalu menjawab dengan cara yang
imut dan menggemaskan. Pertama, mencoba
menjawab, tapi di tengah jalan selalu terdistraksi oleh
apa yang diucapkannnya sendiri atau diceletukkan
oleh Nugroho dan saya. Dari jawaban yang
melenceng itu, ia kemudian terdistraksi lagi oleh
hal lain hingga omongannya tak tentu arah, yang
penting senang. Jadilah ngalor-ngidul dan dengan
sedikit cemberut, Alawi akan meluruskan kembali
pertanyaannya.
Meski perhatiannya mudah terdistraksi, Pak
Djoko adalah pencerita yang baik. Ada banyak cerita
penting yang justru diungkapnya dengan jawaban

44
Arlian Buana

yang melenceng dari pertanyaan Alawi.


Ia kaget ketika kami datang langsung
menanyainya tentang sastra terjemahan. Ia heran
kok dia lebih dikenal sebagai penerjemah ketimbang
pengarang. “Yang paling pertama, saya ini penulis.
Setelah banyak menerbitkan buku, baru jadi
penerjemah,” katanya terkekeh-kekeh.
Ia kemudian, karena tiba-tiba saja teringat,
berkisah tentang anak keduanya, Astrid. Cintanya
kepada anak perempuannya itu sangat besar. Ia
sengaja menulis banyak cerita anak untuk anaknya,
dengan tokoh utama menggunakan nama Astrid.
Ada 14 serial Astrid, beberapa dihadiahkannya
untuk kami, antara lain Astrid dan Bandit dan Astrid di
Palungloro. Diam-diam, dulu ia memelihara impian
suatu saat Astrid jadi bintang terkenal yang mondar-
mandir di kotak televisi dan gambarnya dipajang di
baliho hingga kemasan sampo.
Sebagai penulis cerita anak, ia punya saingan dari
kalangan tentara. Nama rivalnya: Darto Singo. Seiring
berjalannya waktu, Djokolelono jauh meninggalkan
Darto Singo. “Darto beres nulis satu novel, saya selesai
delapan,” katanya kembali terkekeh.
“Tapi ternyata, anaknya Darto yang jadi artis
terkenal. Anak saya, Astrid, di rumah aja,” katanya
sambil melirik ke dalam rumah, lalu kembali
menghadapi kami dengan mata membulat lalu
berbisik, “Si Astrid lagi di dalem. Pelan-pelan ya
ngomonginnya..”

45
Merry Christmas, Felix Siauw!

“Tau siapa anaknya Darto?” kami saling menatap,


menggeleng.
“Siapa, Pak?”
“Anggun C. Sasmi yang jadi artis internasional
itu. Sebel saya kalo inget saya kalah sama Darto.” Ia
terkekeh-kekeh lagi.
Meski sangat produktif menulis novel, pekerjaan
utamanya adalah copy writer di biro iklan. Pernah
suatu saat Ajip Rosidi menyarankan agar ia berhenti
dari pekerjaan itu dan jadi penulis penuh-waktu, tapi
ia menampiknya. Ia tahu betul, menjadi penulis tak
menjamin kebutuhan hidupnya terpenuhi. Honor dan
royalti tidak seberapa, sementara kebutuhan untuk
riset sangat besar. Lagipula pekerjaannya di biro iklan
juga menulis naskah.
“Rumah ini kan di kompleks Unilever. Ini rumah
dari biro iklannya Unilever,” terangnya.
Karyanya sebagai copy writer membuat kami
tercengang. Apa yang dibuatnya merupakan tagline
produk-produk terkenal. Ialah otak di balik iklan
Gudang Garam: Pria Punya Selera. Alawi dan Nugroho
berdecak kagum. Saya hampir terlonjak dari kursi
saking terpesonanya.
“Iya, dulu ‘Pria Punya Selera’ itu banyak yang kritik.
Katanya gak sesuai EYD. Tapi biarin aja, mereka gak
ngerti sastra sih.” Terkekeh-kekeh lagi.
“Saya bikin ‘Pria Punya Selera’ itu terinspirasi dari
puisi Chairil Anwar, ‘Cerita Buat Dien Tamaela’”

46
Arlian Buana

Beta Pattirajawane, menjaga hutan pala.


Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama.
“Siapa mendekat, tiga kali menyebut beta punya
nama. Beta punya nama. Pria punya selera.” Ia
terkekeh-kekeh lagi. Alawi dan Nugroho berdecak
kagum lagi. Saya hampir terlonjak dari kursi lagi
saking terpesonanya.
“Selain itu apa, Pak?”
“Banyak. Kamu pasti tau, ‘terus terang, Philips
terang terus,’ sama ‘susu saya, susu Bendera.’” bahunya
berguncang, terkekeh-kekeh lagi.
“Wow! wow.. ”
Saya langsung ingat Kamandobat dan keinginan
terdalamnya.
Djokolelono, yang bukan penyair, justru telah
berhasil menciptakan kata-kata yang menempel di
otak banyak orang. Meski medianya berbeda, yang
satu koran minggu atau jurnal sastra sementara yang
lainnya media iklan, tetap saja kata-kata Pak Djoko
dahsyat luar biasa. Dan fakta bahwa ia diingat bahkan
dilagukan banyak orang itu tak bisa ditolak.
Dalam beberapa hal, ia lebih sublim daripada puisi
terbaik Goenawan Mohamad, “Tempo: Enak dibaca
dan perlu.”

47
Ajip Rosidi

Saya biasa melihat lelaki tua itu setiap Jumat di depan


pintu tengah masjid Pondok Pabelan. Saban Jumatan,
ia tak pernah bergeser, begitu setia di tempat yang
sama. Persis di sana, di dua ubin kali tiga ubin itu.

“Itu Aki tuh,” kata Cici, sahabat saya semasa


mondok, suatu Jumat, menunjuk di mana kakeknya
berada.
Cici sering bercerita tentang Aki. Tentang Aki yang
sering mengajak cucu-cucunya ke toko buku untuk
memborong buku apa saja sesuka hati. Sayang, Cici
tidak terlalu pandai memanfaatkan kesempatan emas
itu. Paling-paling hanya Harry Potter atau biografi
musisi idolanya saja yang diboyong.
Di kamar Kuwait D atau di Empang (Warung
favorit kami untuk merokok diam-diam agar
tak ketahuan Ustadz), Cici banyak bercerita
pengalamannya berlibur di Jepang mengunjungi Aki.

48
Arlian Buana

Mulai dari kebiasaan Aki yang berpuasa Senin-Kamis


atau Dawud, menempuh jarak antara rumah dan
kampus Osaka Gaidai dengan berjalan kaki, hingga
kebiasaan Aki berlama-lama di meja kerja, membaca
dan menulis. Ketika Aki mengantarkan Cici pulang
ke Indonesia, Aki tak membawa apa-apa selain
tumpukan kertas hasil karyanya berkoper-koper. Cici
sampai kepayahan mengangkat koper-koper itu.
Setamat dari SD, Cici tidak langsung nyantri di
Pondok Pabelan, pondok yang sampai sekarang
dipimpin ayahnya, Pak Ahmad Mushtofa, melainkan
di salah-satu SMP di Muntilan. Setamat SMP, Cici
pernah mencoba nyantri di Gontor, tapi tak bertahan
lama.
Setelah pulang dari Gontor itu, menurut
cerita Cici, Aki mengkritisi pilihan pendidikan Pak
Ahmad untuk anak-anaknya. “Kalau ada Kyai yang
menyekolahkan anaknya di pesantren atau sekolah
lain, berarti pesantren yang dipimpinnya itu bukan
lembaga pendidikan yang bagus. Anaknya sendiri saja
disekolahkan di tempat lain,” kata Aki, seperti dikisahkan
Cici berulang kali. Cici pun akhirnya mau nyantri di
Pabelan, pondok yang didirikan dan dibesarkan oleh
almarhum pakdenya, KH. Hamam Dja’far.
Saya bisa bersahabat dengan Cici awalnya karena
kami sama-sama hobi nge-band dan penggemar
berat Harry Potter. Dari hobi ngeband, kami
sering berkumpul mendengarkan musik bersama,
mengulik kunci dan kabur untuk latihan di luar. Dari

49
Merry Christmas, Felix Siauw!

kebersamaan itu, kami semakin sering ngobrol dan


berbagi cerita. Cici yang pertama kali membukakan
mata saya pada internet. Dia yang pertama kali
mengajari saya membuat email dan menggunakan
mesin pencari, merekomendasikan beberapa portal
berita, laman sastra dan situs porno terpercaya.
Bersama Cici dan beberapa teman lain, saya sering
kabur dari kompleks pesantren untuk main band
di Muntilan atau nonton konser di Magelang atau
Semarang atau Yogyakarta. Pulang dari kabur itu,
karena larut malam, kami selalu menumpang di bak
truk pasir. Angkutan umum hanya ada sampai pukul
9 malam.
Cici, nama panjangnya Muhammad Citradi. Di
buku Yang Datang Telanjang, Aki memuat salah-satu
surat untuknya, bersama surat-surat kepada banyak
tokoh besar, tentu saja. Isi surat itu baru saya baca
belakangan setelah Yang Datang Telanjang terbit.
Isinya pujian dan pesan untuk Cici yang mulai senang
bersepeda, ditulis pada tanggal 1 juni 2007, kira-kira
ketika Cici baru naik ke kelas 5 SD.
“Bagus sekali Cici suka naik sepeda. Mengayuh
Sepeda, berjalan kaki dan berenang adalah tiga macam
olahraga yang baik sekali. Dan murah. Olahraga lain
umumnya lebih mahal biayanya daripada ketiga
macam olahraga itu. Dan ketiga macam olahraga yang
murah biayanya itu, tinggi nilai aerobiknya...
Aki juga dulu suka naik sepeda. Tempo hari juga
waktu tinggal di Abenoku, Aki dan Nini suka naik

50
Arlian Buana

sepeda. Di jepang, di jalan besar selalu ada jalur khusus


untuk speda. Jadi meskipun banyak mobil, pengendara
sepeda aman. Tidak seperti di Indonesia sekarang,
tak ada jalan untuk sepeda. Bahkan untuk orang
berjalan kaki pun tak ada. Sehingga berjalan kaki dan
mengayuh sepeda di Indonesia harus hati-hati. Kalau
tidak, bisa disamber mobil yang ngebut.
Karena itu kalau naik sepeda, Cici harus selalu
waspada. Lebih baik di jalan kampung saja, yang jarang
atau tidak bisa dilalui mobil. Kalau di jalan bessar selalu
diintip bahaya. Maklum sopir di Indonesia banyak yang
ugal-ugalan suka ngebut..
Juga Cici harus hati-hati. Jangan seperti teman Cici
yang sampai nabrak pagar. Masa pagar ditabrak! Pagar
kan kelihatan dari jauh juga, kok sampai ditabrak.
Dan nabrak pagar tentu saja terpental sendiri, sampai
pingsan. pendeknya Cici harus hati-hati, jangan sampai
main tabrak. Apa pun jangan ditabrak. Kalau mau
nabrak sesuatu segera rem. Karena itu Cici harus sering
periksa rem, jangan sampai los (tidak pakem).”

Perumahan itu tak seperti kebanyakan rumah


lainnya di Desa Pabelan. Rumah utamanya cukup
besar dengan tembok-tembok yang kukuh. Di
kanan-kirinya, ada rumah besar tempat menyimpan
buku-buku, ada beberapa saung tempat melakukan
pertemuan atau sekadar bersantai. Mereka berdiri di
tengah-tengah persawahan.

51
Merry Christmas, Felix Siauw!

Di pintu masuk berdiri gapura bertuliskan “Jati


Niskala.” Jalan dari Gapura ke kompleks itu beraspal.
Dari rumah satu ke rumah atau saung lainnya ditaburi
kerikil halus, agar penghuni rumah bisa berjalan-jalan
tanpa alas kaki di pagi atau sore hari. Konon, itu baik
untuk kesehatan.
Siang itu, saya memberanikan diri menemui
pemilik rumah untuk keperluan wawancara. Waktu
itu, saya pemimpin redaksi Majalah Dialog, majalah
santri Pabelan. Tema yang kami pilih untuk edisi
berikutnya adalah tentang Jepang, negerinya
Doraemon. Beberapa waktu sebelumnya, pemerintah
Jepang memberi banyak bantuan untuk Pesantren
Pabelan. Hingga kini di sana masih berdiri Gedung
Jepang, dan beberapa kamar di kompleks puteri
dinamai dengan nama-nama kota di Jepang.
Saya agak gugup sebenarnya. Ini wawancara
pertama saya dengan tokoh terkenal, sastrawan yang
saya kagumi karya-karyanya pula. Dan saya masih
duduk di kelas enam—3 SMA. Tapi mau tak mau
wawancara itu harus dilakukan. Melewati gapura
Jati Niskala, gugup semakin menjadi-jadi. Padahal
itu bukan kali pertama saya ke sana. Sebelumnya,
saya sering diajak Cici mampir, mengantar atau
mengambil surat, beberapa kali bahkan sempat
makan di dapurnya.
Saya dipersilakan menunggu di salah-satu saung
oleh Mbak Pon, pekerja di sana. Selama menunggu,
saya semakin berdebar-debar dan waktu seperti

52
Arlian Buana

berjalan lamban. Apalagi ketika Aki menampakkan


muka yang sepertinya tidak terlalu ramah untuk
diwawancara.
“Ada perlu apa?”
“Mau wawancara, Ki.”
“Soal apa?”
“Banyak hal, Ki. Tentang sastra, dan terutama
tentang Jepang.”
“Dari mana kamu tahu kalau saya bisa bicara
tentang sastra?”
“Dari buku-buku Aki.”
“Buku saya yang mana yang pernah kamu baca?”
“Lutung Kasarung, sama kumpulan puisi Cari
Muatan.”
“Dari mana kamu tahu kalau saya bisa bicara
tentang Jepang?”
Sampai di sini saya ragu. Sampai saat itu saya
belum pernah membaca buku mengenai Aki dan
Jepang. Saya pun tak cukup berani untuk mengarang-
ngarang cerita. Maka saya jawab sejujurnya, “dari Cici,
sama Mbak Pon.”
“Masak Cici dan Mbak Pon dijadikan referensi?”
“Pulang sana! Kembali lagi ke sini setelah kamu
baca referensi yang lebih bisa dipercaya.”
Sumpah, sampai saat ini saya sangat malu

53
Merry Christmas, Felix Siauw!

mengingat jawaban bodoh itu. Tapi ketika itu, tak


urung saya merutuk dalam hati. Apa salahnya Cici
yang jadi referensi? Bukankah Cici cucunya sendiri?
Apa masih tidak bisa dipercaya? Beberapa kerikil yang
tergeletak di jalanan saya tendang.
Cici terbahak-bahak mendengar tragedi
pengusiran itu. Semakin kesal saya dibuatnya.
Untungnya, keesokan harinya saya menemukan buku
Orang dan Bambu Jepang di perpustakaan.

Cici datang tergopoh-gopoh ke kamar Kuwait D.


Ia mengajak saya bersegera ikut dengannya. Situasi
sangat gawat nampaknya.
Beberapa pekan sebelumnya, saya kehilangan
buku Protes, karangan Putu Wijaya, di kamar ini. Buku
itu milik Aki, yang dipinjam Cici dari perpustakaan Jati
Niskala. Buku yang hilang itu adalah buku pinjaman
yang saya pinjam.
Kami telah mencari dan bertanya ke sana ke mari
tentang keberadaan buku malang itu. Hasilnya nihil.
Buku itu seakan raib ditelan kakus.
Cici bilang, Aki sangat berang setelah tahu buku
itu hilang. “Kamu boleh pinjam uang Aki dan tidak
mengembalikan. Tapi jangan sekali-sekali coba
pinjam buku dan tidak kembali,” begitu dampratnya.
Karena rasa sangat bersalah, saya bersama Cici
mondar-mandir mencari buku terbitan Grafiti itu.

54
Arlian Buana

Sayangnya usaha kami untuk mencari ganti pun


gagal. Berbagai toko buku kami singgahi. Hingga
Gramedia Yogyakarta kami sambangi. Stok 0.
Beberapa tahun kemudian, baru kami tahu si
brengsek penyebab malapetaka yang menggondol
buku itu. Dia adalah Danil Arifin, karib kami yang
hobi membual dalam logat melayu kental dan sangat
gandrung membaca apa saja sampai lupa lautan.
Tak tanggung-tanggung, buku itu digondolnya
sampai Pontianak tanpa seorang setan pun tahu.
Dan dia dengan entengnya tertawa ketika mengaku
melakukan kejahatan luar biasa itu. Setan alas!

Setelah sekian lama tak jumpa, saya bersalaman


lagi dengan Aki pada April 2011, karena keterlibatan
saya di Gerakan Koin Sastra. Aki adalah Ketua Dewan
Pembina Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin,
yang ketika itu terancam bangkrut lantaran Gubernur
Fauzi Bowo setiap tahun menyunat subsidinya.
Waktu Konser Koin Sastra di Bentara Budaya
Jakarta, Aki bersama Nini hadir. Saya sangat senang
bisa ngobrol-ngobrol santai dengan beliau berdua.
Bulan puasa kemarin, saya bertemu lagi dengan
Aki di PDS, untuk keperluan wawancara. Kali ini saya
bisa lebih santai, meski Aki tetap kelihatan sangat
serius. Saya bersama Bang Abah, orang Sunda
yang sejak lama memuja Aki. Beberapa kali Bang

55
Merry Christmas, Felix Siauw!

Abah pernah mengutarakan niatnya berkunjung ke


Pabelan, tapi sampai sekarang belum kesampaian.
Bang Abah yang cukup flamboyan tampak grogi
bertemu dengan idolanya.
Ketika kami datang, Aki tengah melakukan
pekerjaan rutinnya, membaca dan menandai
beberapa buku untuk difotokopi. “Saya sedang
mengumpulkan tulisan Idrus di majalah-majalah
lama yang saya anggap menarik,” katanya. Bahkan
saat wawancara dimulai pun, pekerjaannya itu tidak
dihentikan. Menambah kesan angker di mata Bang
Abah.
Bang Abah baru bisa mengatasi demam
panggungnya untuk bertanya selepas beberapa
pertanyaan dari saya. Aki menjawab pertanyaan-
pertanyaan sambil meneruskan pekerjaannya. “Saya
sambil ngerjain ini ya, wawancaranya.”
Banyak hal yang dikatakan Aki yang tidak saya
setujui—terutama yang menyangkut orang-orang
komunis dan Partai Komunis Indonesia. Tapi saya
tidak berniat mendebatnya, saya tahu tujuan saya
adalah wawancara dan saya tidak mau memperkeruh
suasana. Di bagian akhir wawancara, syukurlah
suasana malah menjadi sangat cair.
Bang Abah melempar canda mengenai
produktivitas Aki, “Judul buku Aki saja, kalau didaftar
bisa makan delapan halaman.”

56
Arlian Buana

“Font-nya apa dulu? Ukurannya berapa?” Gayung


bersambut. Tawa berderai. Musnah sudah gemetar
Bang Abah. Dengan girang dia lancang minta foto
bersama. Untung tidak sampai minta dibelikan
sepeda.

57
PKI

Waktu kecil, sering sekali saya mendengar orang


mengumpat dengan menyebut “PKI!” atau “Yahudi!”
Padahal di desa saya tidak bisa ditemui makhluk PKI
ataupun Yahudi. Tapi kebencian itu ada, dan nyata.
Di awal-awal Sekolah Dasar, saya bertanya kepada
Bapak: PKI itu apa? Yahudi itu apa? Tuhan itu apa?
Bapak memberi jawaban, Tuhan itu pencipta
seluruh alam termasuk manusia—kakek, nenek,
bapak, saya, pohon durian, pohon duku, Sungai
Komering, Gunung Seminung, Sungai Musi,
semuanya. Bapak bilang, PKI itu orang-orang yang
tidak beragama, musuh Islam, musuh negara. Dan
Yahudi juga musuh Islam.
Sekali bertanya, sudah itu saya tak banyak
memikirkannya. Sebagaimana kanak-kanak
lainnya, saya lebih memikirkan bermain daripada
membicarakan PKI dkk. Tapi saya tidak pernah lupa
jawaban Bapak. Saya tidak pernah lupa bagaimana

58
Arlian Buana

orang bersumpah-serapah dengan PKI dan Yahudi,


dengan wajah yang jauh lebih keji daripada ketika
mereka mengumpat “Kampang!”
Beranjak besar, sekali waktu saya bertanya lagi
kepada Bapak: mengapa orang kita tidak membenci
Belanda dan Jepang? Mengapa kita lebih membenci
PKI dan Yahudi? Di sekolah, guru-guru dan buku
pelajaran membicarakan penjajahan Belanda
dan Jepang, berikut kebengisan dua negara itu
menjebak lalu membunuh para Pahlawan Nasional,
juga kekejaman mereka terhadap nenek-moyang
kita. Mengapa harus PKI dan Yahudi yang dijadikan
sumpah-serapah?
Saya tidak ingat jawaban Bapak. Tapi tak lama
setelah pertanyaan itu, Bapak mengajak saya
begadang untuk menonton film Pengkhianatan
G30S/PKI, di pelataran rumah seorang uwak yang
kebetulan Kepala Desa. Cukup ramai, kira-kira ada
60 orangan, cukup banyak teman sebaya saya yang
ikut menonton, ada beberapa cewek juga, selebihnya
kakak-kakak yang lebih tua dan orang dewasa.
Televisi menyala dengan daya aki, diterangi lampu
petromaks.
Saya sempat terkantuk-kantuk menunggu
film Pengkhianatan dimulai. Saya memang sering
menemani Bapak numpang nonton film di rumah
Uwak, tapi tidak beramai-ramai, dan kalau sudah
di atas jam 9 biasanya saya akan jatuh tertidur, dan
Bapak akan menggendong saya pulang ke rumah.

59
Merry Christmas, Felix Siauw!

Menonton film Pengkhianatan adalah pengalaman


pertama saya begadang sampai tengah malam.
Keesokan harinya, saya dan teman-teman akan
membicarakan kebiadaban PKI, pemujaan terhadap
para pahlawan revolusi, dan kesedihan untuk Ade
Irma Suryani. Bagaimana Ade Irma jika ia masih
hidup, seperti apa wajahnya, pasti cantik sekali.
Sesekali kami menirukan adegan dan dialog dalam
film, seperti kami sering menirukan tokoh Khaidir
Ali di TVRI. Di antara kami, ada pula yang bernama
Ahmad Yani.
Kakek tidak pernah merasakan kekejaman
Belanda, apalagi bapak dan saya, tapi kakek sering
meceritakan kisah dari kakek buyut, dan sesudah
listrik masuk desa, saya bisa menyaksikan film-
film perjuangan mengusir Belanda dan Jepang.
Kakek merasakan sendiri penderitaannya di zaman
pendudukan Jepang, tapi kakek tidak pernah
menyumpah-nyumpahi Jepang. Kakek malah sering
menyanyikan lagu-lagu Jepang yang tidak saya
pahami. Saya juga mulai banyak menonton kartun-
kartun Jepang.
Tapi saya tetap mempertanyakan kenapa PKI dan
Yahudi, kenapa tidak Belanda dan Jepang, meski saya
simpan sendiri.
Tamat SD, saya belum juga menemukan jawaban
yang memuaskan. Dan sampai sekarang pun, saya
merasa semua jawaban yang saya dapatkan masih
belum cukup.

60
Arlian Buana

Dari apa yang saya pelajari, kurang lebih saya bisa


memahami situasi politik antara tahun 1959 hingga
1965 yang demikian panas, dari atas sampai bawah,
dari elite hingga akar rumput. Di era yang katanya
politik sebagai panglima, ketika ideologi-ideologi
masih berbenturan, ungkapan-ungkapan yang
digunakan di tahun-tahun itu adalah bahasa-bahasa
kasar.
Saya bisa mengerti apa yang dimaksud Iqbal
Aji Daryono sebagai tindakan “provokatif, ngehek,
bahkan brutalnya orang-orang PKI sejak jauh hari pra-
1965.”, dalam artikelnya Lah, Kalian Itu Mau Rekonsiliasi
atau Perang Lagi di Mojok.co. Tapi bukankah semua
itu adalah pertarungan politik?
Memang sampai ada gesekan, ketika PKI disebut-
sebut melakukan aksi sepihak terkait landreform
di berbagai tempat, memprovokasi umat Islam
dengan serangan subuh di Kediri, dan lain-lain. Tapi
pantaskah semua itu dibayar dengan pembabatan
habis orang-orang komunis dan yang dituduh
komunis?
Dan peristiwa 30 September—yang digunakan
sebagai dalih utama pembantaian 1965-1966—
masih belum terang siapa dalang sesungguhnya.
Sementara jumhur ulama sejarawan berpendapat,
PKI bukan otak di balik pembunuhan para jenderal
seperti yang digambarkan film Pengkhianatan. PKI
tak ubahnya Tyrion Lannister dalam Game of Thrones,
yang didakwa membunuh Raja Joffrey Baratheon

61
Merry Christmas, Felix Siauw!

dalam sebuah konspirasi perebutan singgasana.


Dan seperti Tyrion yang dicelakakan ayah dan kakak
perempuannya sendiri, PKI adalah anak dan saudara
yang tak diinginkan.
Seiring berjalannya waktu, sedikit demi sedikit
saya pun bisa memahami kenapa masyarakat desa
saya, termasuk Bapak, punya pandangan miring
tentang PKI. Selain karena peristiwa-peristiwa
gesekan yang pernah terjadi, kebencian diawetkan
oleh ceramah-ceramah para pemuka agama di
masjid-masjid hingga obrolan di warung kopi. Lewat
khutbah-khutbah Jumat, khutbah Idul Fitri, yang
buku kumpulannya disuplai negara, dan yang paling
massif tentu saja film Pengkhianatan.
Ada tangan besar yang bekerja di sana.
Mengenai Yahudi, mengingat belum ada
keterangan persentuhan kita dengannya, sampai
sekarang saya belum bisa mengerti kenapa. Kecuali
beberapa potongan ayat di Kitab Suci. Perkara Jepang
dan Belanda, sesederhana karena kedua bangsa itu
diberi kesempatan kedua untuk berhubungan baik
dengan bangsa ini. Sedangkan Yahudi, dan keluarga
besar PKI, belum pernah.
Tentu mudah untuk mengatakan bahwa saya,
generasi saya, tidak tahu apa-apa tentang semua
yang pernah terjadi. Mudah untuk bilang bahwa saya
“tidak mengalami atau merasakan sendiri suasana
permusuhan dengan PKI.”

62
Arlian Buana

Kalau begitu, izinkan saya kembali bertanya,


mengapa kita harus memendam kebencian? Untuk
apa kita membenci dan bermusuhan, demi siapa?

63
Muara Dua

Terakhir saya mudik lebaran Idul Fitri kemarin. Dan


tidak ada kemajuan berarti di sana.
Desa saya, Ruos, masih seperti dulu bentuknya.
Di depan rumah, memang sedang dibangun galeri
yang rencananya akan jadi tempat dijualnya souvenir
khas Ogan Komering Ulu Selatan. Tapi saya kira itu
bukan kemajuan, karena saya sendiri pun tak tahu,
apa saja souvenir dan oleh-oleh khas OKU Selatan
itu? Siapa saja bakal pengunjung dan pembelinya?
Saya masih belum paham manfaatnya, kecuali untuk
menghabiskan anggaran dan mengisi kantong
beberapa orang.
Terpisah dua rumah di kanan rumah saya, ada
kantor Kepala Desa yang sangat jarang dipakai.
Seminggu penuh, tak pernah sekalipun saya
mendapati aktivitas di sana. Di halaman depannya
banyak ditumbuhi rumput liar.
Saya khawatir nasib galeri itu nanti akan berujung

64
Arlian Buana

seperti nasib kebanyakan kantor kepala desa di


sini. Semoga kekhawatiran saya pada akhirnya tak
terbukti.
Baiklah, saya ceritakan sedikit mengenai OKU
Selatan. Kabupaten ini kabupaten ingusan, hasil
pemekaran dari Ogan Komering Ulu yang beribukota
di Baturaja. Diresmikan pada tanggal 14 Januari 2004
di Muara Dua yang menjadi ibukota kabupaten,
dua belas kilometer dari desa Ruos. Di lambang
resmi kabupaten, ada gambar burung Walet, salah
satu potensi besar daerah ini. Tapi yang lebih
menentukan keberadaan burung Walet di sana
adalah Muhtadin Serai, pengusaha Walet terkenal.
Muhtadin berjasa besar, moril maupun materil, dalam
usaha memperjuangkan agar OKU Selatan menjadi
kabupaten.
Muhtadin kini masih menjabat di periode
keduanya sebagai Bupati. Ia pertama kali resmi
dilantik pada Selasa, 23 Agustus 2005. Padahal waktu
itu statusnya masih tersangka pemalsuan ijazah.
Tapi Tadin, begitu ia biasa disapa, berhasil lolos dari
lubang jarum. Pernah juga ia tersandung kasus
korupsi proyek pembangunan Pasar Saka-Selabung,
kasus yang kemudian tidak jelas juntrungannya.
Saya mencintai kota kecil Muara Dua. Saya punya
banyak kenangan masa kecil di sana. Rasanya
baru kemarin pagi saya begitu girang setiap
berkesempatan pergi ke Pasar Pagi bersama Ajong
(nenek). Dulu belum ada Pasar Saka-Selabung.

65
Merry Christmas, Felix Siauw!

Sebenarnya, seluruh bagian Muara Dua, disebut


“pasar” oleh kami orang desa. Memang sepanjang
jalan utamanya merupakan pasar, ada pertokoan,
bank dan warung-warung makanan. Pasar Pagi yang
terletak di Pasar Ilir adalah pasar tradisional, dimana
orang desa seperti Ajong bisa mengulak hasil kebun;
pisang, pepaya, terong atau sayur-mayur.
Saban hendak ke pasar, saya selalu bangun
lebih awal, mandi pagi demikian semangatnya dan
memilih pakaian terbaik untuk dikenakan. Di meja
makan, sambil menyantap hidangan sarapan, saya
mulai ribut mau beli ini-itu, dan Ajong hampir pasti
selalu mengiyakan dengan tatapan sayang. Walaupun
keinginan itu nantinya ada yang tidak terpenuhi,
Ajong selalu berhasil mendinginkan saya dengan
alasan yang masuk akal. Ajong cuma dapat uang
sekian, uang ini harus terlebih dahulu digunakan untuk
ini. Kalau mendahulukan keinginan kamu yang itu, bisa
begitu. Dan saya tidak pernah bisa merajuk dengan
Ajong, karena sebelum pulang biasanya ia menyogok
dengan makanan kesukaan: Sate Padang. Makan di
tempat, plus bungkus.
Kalau tidak dengan Ajong, saya biasanya ke Pasar
dengan Bibi atau Bapak, atau dengan teman. Dengan
Bibi biasanya jika akan membeli pakaian baru, untuk
sekolah atau lebaran. Dengan Bapak untuk macam-
macam keperluan atau sekadar jalan-jalan. Dengan
teman, membeli mainan, bahan-bahan layangan
seperti kertas dan benang, atau membeli komik
Petruk yang saya gemari, di Tangga Batu, Pasar Ulu.

66
Arlian Buana

Muara Dua juga selalu saya kenang sebagai


tempat yang mengasyikkan untuk bermain. Setiap
lebaran datang, kota kecil yang di jantungya mengalir
Sungai Selabung ini menjelma surga bermain bagi
kami, anak-anak pedesaan dari berbagai penjuru.
Di sana, para penjual mainan telah menunggu kami
yang sedang berkantong tebal karena THR dari para
orang tua.
Mainan favorit anak-anak lelaki adalah pistol-
pistolan. Serunya, seperti ada kesepakatan tidak
tertulis untuk segera bermain tempur-tempuran
dengan kelompok dari desa lain yang baru dikenal.
Bangunan-bangunan di sana segera berubah menjadi
benteng-benteng tempat kami bersembunyi,
berlindung sekaligus menyerang musuh.
Bosan bertempur, dengan suka-cita kami
menceburkan diri ke sungai, berenang, bermain
“cari batu,” permainan adu ketangkasan meyelam
untuk mendapatkan batu terpilih yang dilempar
di tempat yang sebisa mungkin paling dalam,
atau sekadar melompat dari ketinggian dengan
salto dan permainan-permainan lainnya. Sangat
menyenangkan. Lelah bermain air, kami biasanya
menyantap “menu wajib” di pasar, Mie Tek-tek, yang
bertebaran sepanjang jalan utama.
Pulangnya, kami gagah-gagahan dengan naik
atap angkot, agar bisa menembak gerombolan
musuh yang kebetulan terlihat bersenjata di jalanan.
Perbuatan itu sudah barang tentu membuat kami

67
Merry Christmas, Felix Siauw!

dimarahi orangtua masing-masing jika ketahuan.


Kebiasaan itu tak pernah kami tinggalkan
sampai tamat SD. Kami yang tadinya ikut-ikutan
rombongan yang lebih besar, perlahan-lahan juga
harus membimbing dan melindungi yang lebih kecil.
Makin besar, makin dituntut untuk membeli senjata
lebih canggih dan mulai bertanggung jawab atas
keselamatan adik-adik. Tradisi itu turun-temurun,
entah generasi siapa yang memulai. Sampai sekarang,
adik-adik saya di desa masih beli pistol mainan di hari
lebaran lalu perang-perangan. Rejeki nomplok laten
bagi para penjual mainan.
Pada gilirannya, secara natural anak-anak yang
telah menamatkan SD mulai malu beramai-ramai
ke pasar, tak lagi mau menghabiskan uang untuk
senapan tiruan.
Mulai kelas 5 SD, tiga hari dalam sepekan saya
rutin ke pasar. Bukan untuk bermain atau belanja,
tapi mengaji di rumah Ustadz Khairul Akmal. Di
rumah Wak Kemal, begitu saya memanggilnya, saya
belajar tajwid dan qiraah. Sepulang dari ngaji, saya
selalu takjub menikmati langit Muara Dua menjelang
maghrib.
Di atas gedung-gedung di sepanjang jalan
utama itu, beterbangan ribuan burung Gereja dan
Walet ketika gelap mulai menyelimuti bumi. Sampai
sekarang saya masih terpukau oleh pemandangan
itu. Mudik kemarin, sekali saya sempatkan melihatnya
sambil mengenang masa kecil yang takkan terulang.

68
Arlian Buana

Lalu sembahyang maghrib di Masjid Agung.


Di masjid terbesar di Muara Dua, dulu saya pernah
membahagiakan dan membuat bangga banyak
orang. Teringat Ajong menangis haru tersedu-
sedu sambil memeluk saya. Bibi berkaca-kaca lalu
menciumi saya berulang-ulang. Dan Akas (kakek)
Amer, guru ngaji sekaligus sepupu kakek saya, sinar
matanya begitu merona. Beliau bilang seharian itu
beliau tidak makan, bukan lantaran tidak nafsu, tapi
karena merasa kenyang melihat saya, anak-didiknya,
menjadi juara umum Munaqosyah Tilawatil Quran.
Bapak tidak hadir di acara itu, tapi tiba-tiba menjadi
sangat baik dengan menawari saya mau dibelikan
apa sesampai di rumah.
Nyaris tak ada yang berubah dari Masjid Agung,
kecuali dindingnya yang tampak mulai ringkih dan
catnya yang terkelupas di banyak titik. Tidak ada
kemajuan signifikan dibanding belasan tahun lalu. Oh
ya, tentu saja ada yang baru. Di taman depan masjid
kini berdiri tugu dengan patung Walet di puncaknya.
Apakah itu tanda kemajuan? Melihat kanan-kirinya,
sah untuk bilang bahwa Muara Dua belum juga
beranjak berbenah. Sementara kabupaten tetangga,
OKU Timur yang sesama kabupaten baru, telah
melesat dalam pembangunan fisik dan nonfisik.
Sejak dulu, saya hanya memimpikan adanya
perpustakaan besar di Muara Dua. Tapi jangankan
perpustakaan, lapak-lapak penjual koran pun telah
habis gulung tikar. Dulu sehabis mengaji, saya sering

69
Merry Christmas, Felix Siauw!

mengunjungi beberapa kios koran untuk membeli


majalah Bobo atau tabloid Bola. Kini kios-kios itu
telah tiada, ditelan rimba entah.
Dalam lima tahun belakangan, saya hanya
menemukan satu tempat yang menjual koran. Itu pun
bukan kios koran, melainkan toko emas yang nyambi
jual koran. Koleksinya menyedihkan, koran nasional
hanya Harian Kompas yang kadang ada kadang
tidak. Yang selalu ada dengan kualitas lumayan
adalah Sumatera Ekspres dan Sriwijaya Post. Ada
pula Harian OKUS yang hanya terdiri dari 8 halaman,
sedikit memuat berita kabupaten, sisanya berita
dari jaringan Jawa Pos. Selebihnya adalah majalah-
majalah gosip yang tak perlu saya sebut namanya
dan majalah musiman dengan sampul bergambar
cewek-cewek Korea.
Entah dengan apa pemerintah OKU Selatan
mendefinisikan dan merumuskan kemajuan.

70
Orang-Orang
Tegaldowo

“Ini harus ada yang berani mati ini, biar pemerintah


terbuka matanya. Harus ada yang jadi martir dulu
biar pabrik semen angkat kaki dari desa kita,” kata
Joko Priyanto, dalam bahasa Jawa, kepada teman-
temannya yang sedang cangkrukan di Warung Kopi
Yu Sumi. Ia satu dari beberapa motor utama gerakan
menolak Semen Indonesia di Bukit Watu Putih,
Pegunungan Kendeng bagian utara, Rembang.
Suwater, duduk berseberangan dengan Priyanto,
hanya menanggapi ucapan itu dengan senyum.
Kundono yang duduk di sebelah saya mulutnya
ternganga. Di meja lain, pemilik warung beserta
suaminya mengikuti percakapan.
“Kalau kamu saja bagaimana, Kam?” tanya Priyanto
kepada Kamidan, suami Yu Sumi. Yang ditanya
reaksinya sama seperti Suwater, memamerkan
barisan giginya yang putih.
“Kamu saja, Peng!” kata Yu Sumi yang sedang

71
Merry Christmas, Felix Siauw!

hamil besar. Priyanto sejak kecil biasa dipanggil Prin,


tapi kawan-kawan akrabnya lebih sering memangil
“Peng”, kependekan dari “kerempeng” karena
perawakannya yang kering.
“Kalau saya mati, nanti yang memberi makan anak
saya siapa?”
“Lho ya kalau suami saya yang mati, nanti yang
memberi makan bayi yang saya kandung ini siapa?”
“Kamu bagaimana, Ter?” Prin kembali pada
karib yang di hadapannya. Lagi-lagi Suwater tidak
menjawab, ia hanya menghisap rokoknya dalam-
dalam lalu kembali menyunggingkan senyum.
“Ini sungguhan, Rek! Sudah dua tahun perjuangan
kita dan hasilnya belum kelihatan. Kayaknya kita
harus bikin aksi di depan Gubernuran, bawa tiang
gantung. Empat atau lima orang gantung diri. Setelah
kayak gitu, baru mungkin pemerintah mau sadar.
Kalau tidak, ya, berat ini, Rek!”
Hening. Beberapa menit lalu ruangan ini masih
dipenuhi tawa, kini hilang tak bersisa. Suwater
bahkan tak lagi menyisakan senyum, tatapannya
nyaris kosong pada bara api ujung rokoknya.
Kundono memainkan telepon genggam seolah itu
bisa mengurangi kekikukan.
“Memangnya kalau mengikuti proses hukum
bakal masih lama ya, Mas?” Saya mencoba memecah
kebisuan.
Prin menghisap rokoknya dalam-dalam.

72
Arlian Buana

“Gak tahu, Mas. Lama banget, bisa jadi. Kambing


tinggal dua, ayam sudah mau habis. Duh!”

Warung Kopi Yu Sumi terletak di tengah-tengah


Desa Tegaldowo. Di pinggir sisi selatan jalan utama
desa, jalan yang menghubungkan Tegaldowo dan
Timbrangan di sebelah barat.
Sabtu menjelang malam di penghujung Januari
2015 itu, Tegaldowo mati lampu. Anak-anak muda
yang berkumpul bersama saya di sana, tidak ada
yang memikirkan malam minggu tanpa pacar.
Semuanya jomblo, tentu saja. Priyanto duda beranak
satu, kelahiran 1982. Suwater 27 tahun, duda belum
beranak. Dan Kundono, sebaya Suwater yang masih
bujangan dan belum punya pacar.
Jauh dari bayangan anak-anak kota generasi
Twitter yang doyan galau, mereka bahkan tidak
memusingkan listrik yang mati bermalam-malam.
Listrik yang kadang menyala di siang hari mereka
manfaatkan untuk mengisi daya telepon genggam
yang diperlukan agar komunikasi bisa terus terjalin di
antara mereka.
Warung kopi itu warung rumahan khas desa.
Pelanggan harus masuk ke ruang utama; teras rumah
hanya selebar semeter, berbatasan langsung dengan
jalan, dipakai untuk parkir sepedamotor—itu pun
harus dengan posisi miring, terutama untuk motor

73
Merry Christmas, Felix Siauw!

besar. Di ruang utama, ada sebuah meja panjang


membujur dengan satu bangku panjang di sisi kirinya
yang muat untuk empat atau lima orang dewasa. Ada
televisi 14 inci yang kerap dipakai memutar video
dangdut koplo bila listrik menyala.
Lampu teplok dan beberapa batang lilin
dinyalakan ketika gelap telah sempurna
menampakkan muka. Obrolan seputar perjuangan
warga terus berlanjut. Sesekali mereka memeriksa
ponsel masing-masing. Terutama Pryianto yang
hampir setiap lima menit menerima pesan
masuk. Suara yang dikeluarkan ponselnya ketika
menerima pesan cukup mencolok: denting lonceng
tanda sebuah ronde dimulai dan diakhiri dalam
pertandingan tinju, disetel dengan volume maksimal.
Priyanto dan Suwater membicarakan atap tenda
ibu-ibu di tapal pabrik yang belum diganti sejak
pertama berdiri tujuh bulan yang lalu. Ibu-ibu sudah
mengeluhkan beberapa bagiannya yang bocor.
Mereka berencana untuk membeli terpal pengganti
esok hari. Mereka juga menimbang-nimbang rencana
beberapa hari kemudian untuk Polres Rembang
dan LBH Semarang. Setelahnya, mereka menyesap
kopi dan menghisap rokok dengan nikmatnya. Lalu
ngobrol-ngobrol ringan tentang hal-hal lucu yang
mereka lewati, sejenak mereka terlihat lepas dari
beban.
Beberapa jam sebelumnya, Piyanto dan Kundono
baru saja tiba dari Blora, membawa stiker bertuliskan

74
Arlian Buana

“LAWAN PABRIK SEMEN! #saverembang” dan


“WASPADA! Gunung ditambang, bencana datang.
#SaveRembang”.
Berkat jasa Kundono, empat malam sebelumnya,
saya bisa sampai di desa ini. Tidak ada angkutan
umum untuk mencapai Tegaldowo, 35 kilometer
dari Kota Rembang, apalagi di malam hari. Warga
kebanyakan menggunakan sepeda motor pribadi
sebagai moda transportasi sehari-hari. Ibu-ibu
Berangkat ke pasar Gunem biasanya menumpang
pikap telanjang, duduk di bak belakang, milik salah
seorang warga.
Dinihari tiba di Lasem, turun dari bus jurusan
Semarang-Surabaya, saya disambut Kundono dengan
Satria F pinjaman. Kami menempuh 28 Kilometer
yang berkelok-kelok dengan kanan-kiri yang gelap.
“Ini hutan jati ya, Mas?” tanya saya dalam
perjalanan setelah beberapa saat dapat mengenali
pohon-pohon yang menjulang di sekitar kami.
“Iya.”
“Punya warga?”
“Dikit yang punya warga. Sebagian besar punya
Perhutani.”
Kami sampai setelah kira-kira setengah jam.
Setelah melalui jalan yang penuh lubang. Jalan yang
sehari-hari dilalui konvoi truk pengangkut alat-alat
berat pabrik semen.

75
Merry Christmas, Felix Siauw!

Priyanto sedang berada di luar kota di hari aparat


negara pertama kali melakukan tindak kekerasan
terhadap ibu-ibu Tegaldowo dan Timbrangan di
tapak pabrik. Di hari yang naas itu pula, ibu-ibu
memutuskan untuk bertahan di sana sampai PT
Semen Indonesia menarik diri dari Pegunungan
Kendeng—sampai waktu yang tidak bisa
diperkirakan.
Warga baru tahu pada malam 16 Juni 2014
kalau pihak semen mau meletakkan batu pertama
keesokan hari. Dalam publikasi resmi jauh-jauh hari,
pihak semen tidak menggunakan kata peletakan
batu pertama. Spanduk-spanduk yang mereka sebar
menyebutkan, “Gelar Doa bersama untuk Rembang.”
Sepandai-pandai pabrik semen menyimpan bangkai,
akhirnya tercium juga.
Begitu mendengar rencana peletakan batu
pertama, beberapa orang mendatangi rumah-rumah
untuk menggelar rapat mendadak, warga dua desa
langsung berkumpul. Pertemuan itu melahirkan
kesepakatan untuk melakukan aksi pemblokiran.
“Itu rangkaian panjang setelah kami melakukan
aksi protes, audiensi, dan diskusi dengan pihak-pihak
terkait, yang ternyata tidak ada respons,” kenang
Priyanto, yang baru pulang ke desanya pada tanggal
17. Dia tidak ikut aksi pemblokiran, yang disebutnya
sebagai “puncak kekesalan warga”.

76
Arlian Buana

“Saya juga enggak tahu siapa yang mengunggah


video bentrok di Youtube. Pemberitaan mulai ramai,”
katanya.
Sejak pertengahan 2012, Priyanto bersama lima
kawannya sudah bertanya ke pemerintah desa.
Intinya mereka meminta kejelasan terkait pendirian
pabrik semen, dan secara terang menyatakan
penolakan. Sambil protes, mereka juga mulai
mengorganisir pemuda kampung mengenai
ancaman bahaya.
Mentok di desa, 17 April 2013, warga mulai mulai
berdemonstrasi di kantor bupati. Juga mengirim surat
ke Presiden Yudhoyono—entah dibaca entah tidak.
Selain itu, mereka mulai rutin melakukan perlawanan
lewat istighosah, pengajian di desa-desa.
Lantaran kegiatannya, Priyanto dan kawan-kawan
mendapatkan intimidasi. Dari peringatan halus
perangkat desa hingga ancaman kasar dari preman
dan polisi. Mereka dituduh komunis. Dari mulut ke
mulut disiarkan kabar, “Hanya orang-orang komunis
yang melawan pemerintah.”
“Kira-kira September 2013, setiap minggu kami
sering aksi di Rembang. Beberapa kali di Semarang.
Terus begitu sampai tahun depannya. Tapi sampai
sekarang pun, pemerintah belum menyikapi secara
serius,” kata Priyanto.

77
Merry Christmas, Felix Siauw!

78
Arlian Buana

Suwater menyaksikan dengan mata kepalanya


sendiri kebrutalan polisi menghajar ibu-ibu desanya.
Kalau bukan karena ingat pesan para petua agar
jangan macam-macam, untuk tidak melakukan apa
pun kecuali mengambil gambar, ia tentu sudah
melesakkan tendangan paling bertenaga yang bisa ia
lesakkan ke muka para polisi itu. Ia sebenar-benarnya
tak tahan mendengar jeritan para perempuan yang
dianiaya polisi. Tapi ia menahan diri, berusaha fokus
pada tugas dokumentasi.
Memotret pun tak berjalan lancar. Baru dapat
sekitar belasan foto, tiba-tiba seorang polisi
menghardik di depan hidungnya
“Heh, Kamu! Media dari mana?”
“Saya media dari warga.”
“Kalau media dari warga, mana kartu persnya?”
“Saya gak ada punya kartu pers, Pak. Saya hanya
mendokumentasikan aksi ibu-ibu.”
Lalu Water diringkus, digiring ke mobil patroli, dan
ia tidak berusaha melawan. Tapi ketika disuruh naik
ke mobil, ia menolak, ia berkeras berdiri di bawah.
“Tau-tau ada yang buka tas saya. Di situ saya agak
emosi, saya marah, berontak. Buka-buka tanpa izin!
Polisinya balik marah dan mengancam, awas kalau
ada senjata tajam. Saya tantang balik, buka saja.”
“Setelah dibuka, isinya cuma sarung sama Aqua.”
Suwater tersenyum puas penuh kemenangan.

79
Merry Christmas, Felix Siauw!

Meski akhirnya ia terpaksa menyerah, ditahan di


dalam mobil patroli selama empat jam. Pukul dua
siang, Water dibebaskan.
Lain Water, lain pula Deban. Bujangan tinggi besar
usia 32 tahun itu, Deban, meronta-ronta ketika lima
polisi menangkapnya. Tak tanggung-tanggung,
perintah penangkapannya langsung keluar dari
mulut Kasad Intel Rembang. Deban dituduh
provokator, dan ia melawan.
Pagi itu, Deban adalah orang paling bikin pusing
polisi. Ia yang mengatur titik kumpul massa aksi,
memberi komando agar ibu-ibu hilir-mudik sebelum
pemblokiran.
“Kalau polisi sudah duduk-duduk, saya komandoi
ibu-ibu untuk pindah. Mereka pada bangun lagi. Saya
bikin mondar-mandir, biar polisinya bekerja,” kenang
Deban terkekeh-kekeh.
Karena aksinya yang menarik perhatian, beberapa
polisi mendekatinya dan bertanya, “Kamu siapa?”
“Ya saya kenalin, saya Ngatiban,” katanya.
Tak cukup sekali mengakali para polisi, setelah
ditangkap, Deban kembali beraksi.
“Pak, saya mau izin ambil motor saya di bawah,”
katanya setelah beberapa saat duduk santai di mobil
tahanan.
“Ndak boleh,” jawab polisi yang jaga.
“Kalau ndak boleh, kalau motor saya hilang, Bapak

80
Arlian Buana

yang tanggungjawab ya..”


Entah karena ancaman Deban membuat si aparat
ciut, atau memang polisinya berbudi baik sesuai nilai-
nilai Pancasila, Deban diizinkan dan diantar ambil
motor lalu dibiarkan mengendarai sepedamotornya
sendiri kembali ke mobil patroli. Tiba di sana, ia
melihat peluang kabur karena si polisi tidak langsung
menyuruhnya naik ke atas mobil dan malah berbalik
melihat ke lapangan tempat aksi pemblokiran sedang
berlangsung. Deban tidak membuang waktu untuk
melarikan diri.
“Ya saya kabur. Lolos,” kenang Deban penuh tawa
kemenangan.
Ketika senja datang, acara peletakan batu pertama
telah usai, ibu-ibu berikrar tidak akan pulang sebelum
pabrik semen menarik alat berat. Polisi mulai kalap,
dan main ancam, “Kalau ada bapak-bapak yang
ketahuan ngumpet di semak-semak, akan langsung
kami tembak.”
Barisan polisi pun menghadang di depan. Mereka
yang datang membawa makanan dan minuman dan
obat-obatan langsung diusir dengan bentakan dan
hunusan senapan.
Situasi mencekam. Hingga menjelang isya, tidak
ada kontak sama sekali antara ibu-ibu di tenda dan
bapak-bapak di desa.
Tapi Deban lagi-lagi memecah kebuntuan dan
menjadi mimpi buruk bagi gerombolan polisi yang

81
Merry Christmas, Felix Siauw!

terlatih itu. Ia berhasil menyusup dari semak ke semak


menuju tenda. Berkat Deban, kontak antara tenda
dan desa bisa terjalin.

Pagi-pagi sekali, ibu-ibu sudah berkumpul di


Posko Tolak Semen. Posko itu berdiri dua minggu
sebelumnya, 1 Juni 2014, di tanah milik Sukinah,
dekat dari Warung Kopi Yu Sumi. Warga bergotong-
royong mendirikannya. Belakangan, setelah
solidaritas tolak semen makin meluas, banyak
seniman yang turut ambil bagian memperindah
posko. Dinding-dindingnya ditempeli aneka ragam
poster peduli lingkungan dan tolak semen dipadukan
dengan kata-kata perlawanan nan apik.
Pukul setengah tujuh, semua ibu-ibu, kira-kira
80-an orang, siap melakukan aksi. Dua truk ukuan
sedang bergerak menuju tapak pabrik.
“Kami melakukan aksi penolakan pabrik dan
tambang semen. Gak ada bapak-bapak, untuk
mengantisipasi gesekan dengan aparat. Selain itu,
lahan kan diumpamakan seperti perempuan. Jadi
kami yang maju mempertahankan tanah kami,” kata
Sukinah.
Setelah mondar-mandir selama tiga jam di bawah
komando Deban, pukul sepuluh mereka memulai
pemblokiran. Truk tangki air pabrik yang mau
lewat mereka hadang, dengan memasang lesung

82
Arlian Buana

besar di tengah jalan dan mendudukinya. Untuk


menyingkikan hadangan, tanpa banyak basa-basi,
polisi segera mengangkati ibu-ibu yang duduk di
tengah jalan itu, dilempar ke semak-semak. Ibu-ibu
menjerit histeris.
Dua ibu pingsan karena dilempar. Tapi ada saja
oknum polisi yang bilang itu pura-pura. Sambil
menolong yang pingsan, ibu-ibu berkeras bertahan
di tengah jalan meski beberapa kali dilempar dan
disingkirkan. Keadaan semakin kacau.
Aksi pembubaran dari polisi pun semakin
mengganas. Semakin tinggi matahari, semakin kasar
perlakuan mereka terhadap ibu-ibu. Dan semakin
kehilangan akal sampai-sampai salah tangkap.
“Korlapnya mana? Korlapnya mana?” teriak Kasad
Intel mencari korlap aksi, setelah satu jam lebih tak
berhasil memukul mundur ibu-ibu.
“Tapi waktu itu saya belum tahu korlap itu apa.
Jadi saya diam saja,” kenang Sukinah, “yang mau
ditangkap itu sebenanya saya, tapi malah Bu Yani
yang ditangkap.”
Yani adalah salah satu dari puluhan ibu-ibu
yang merasakan keberingasan polisi. Ia di barisan
terdepan saat mengangkat dan menduduki lesung
besar melintang jalan. Yani termasuk yang pertama
diangkat dan dibuang ke siringan bersemak.
“Ada yang diangkat dua orang, ada yang tiga, ada
yang empat, tergantung berat ibu yang diangkat.

83
Merry Christmas, Felix Siauw!

Saya digotong dua orang, terus dilempar di pinggir


jalan,” katanya.
Meski kelihatan mustahil untuk kembali ke barisan,
Yani tetap bertekad kuat untuk kembali menguatkan
pemblokiran. Polisi yang diturunkan hari itu jauh
lebih banyak dari jumlah ibu-ibu. Operasi gabungan
dari Polres Rembang, Polsek Gunem, dan Polsek Sale.
Sekitar dua kompi.
Tidak melihat jalan lain selain menerobos barikade
polisi, ia melihat celah kecil yang masih mungkin
dilaluinya: dua kaki polisi yang agak renggang.
Polisi semakin mudah naik darah. Beberapa ibu
dipukuli. Berang karena belum juga menemukan
korlap yang bertanggungjawab atas aksi blokir,
mereka pun asal tangkap. Malang bagi Yani yang aksi
penerobosannya mengundang banyak perhatian, ia
kemudian dituduh provokator, dianggap korlap.
“Ini provokator ini, harus ditangkap ini!” kata
seorang polisi sambil menunjuk Yani.
Habis dibilang provokator, ia diangkat diangkat
dua polisi, diseret sampai beberapa meter, sampai
sandalnya copot.
“Ada polisi yang teriak, ‘ngikut aja, Mbak, ngikut.’
Tapi saya tetap berontak. Itu posisi udah nggak pake
alas kaki, pas diseret-seret itu gak pake alas kaki. Luka
sih nggak, cuma sakit.”
Yani meronta-ronta dan berteriak kesakitan. Ia
pun digotong lagi, sempat ada polisi yang mencekik

84
Arlian Buana

lehernya. Sampai di mobil patroli, ia mendapati


sejumlah temannya yang sudah ditahan terlebih
dahulu.
Masuk waktu salat zuhur, Yani minta izin salat tapi
tidak diperbolehkan. “Izin sama Kasad Reskrim, Mbak,”
kata polisi yang jaga.
“Orangnya yang mana? Solat saja kok mendadak
harus izin to, Pak?”
“Saya ini tugas, Mbak. Nanti diamuk atasan saya.”

Rumah Sukinah terlihat kusam dan tua.


Dindingnya terbuat dari papan tampak menghitam,
berdiri di atas fondasi 50 sentimeter, dengan dua
anak tangga di muka teras. Setengah ruang depan
dilantai semen adukan, tampak pecah-pecah di
beberapa titik. Setengah lainnya, tempat satu meja
panjang membujur bersama dua bangku, berlantai
tanah.
Ketika saya datang pada Jumat malam
penghujung Januari, di atas lantai semen itu digelar
tikar plastik bergambar Manchester United—klub
sepakbola Inggris. Tikar gulung yang sebagian besar
sablonannya telah terkelupas. Saya duduk di kursi
panjang yang bersandar di dinding kanan rumah. Di
seberang saya, salah satu dari dua kamar di rumah
itu, gordennya terbuka sehingga terlihat ranjang
diselimuti kelambu, kamar tidur. Kamar sebelahnya,

85
Merry Christmas, Felix Siauw!

kamar paling depan, dimanfaatkan sebagai warung.


Di dinding rumah dipajang beberapa foto:
foto Sukinah seluruh badan dan foto seorang tua
berjanggut yang saya duga adalah lukisan Syekh
Abdul Qadir Jailani. Juga foto Sukinah dan Pesiden
Jokowi bersama beberapa orang lainnya.
“Itu foto waktu saya ketemu Jokowi di kantor
Gubernur DKI, sebelum dia dilantik presiden,”
terangnya.
“Ngomongin apa aja sama Jokowi?”
“Ya ngomongin semen ini.”
“Jawaban Jokowi?”
“Katanya sejak dari Solo dia sudah mengikuti isu
semen di Jawa Tengah. Waktu itu, dia bilang lagi
mempelajari lengkap. Nanti kalau sudah dilantik dia
tindaklanjuti.”
“Oooh...”
“Semoga ucapannya dia buktikan ya, Mas.”
Sukinah menyambut saya dengan hangat.
Beberapa bapak datang bertamu ke rumahnya,
duduk di atas tikar plastik, menghadap televisi
yang sedang menyiarkan film Jackie Chan, Around
the world in 80 days. Sukinah bangkit ke dapur,
membuatkan kopi tamu-tamunya. Dalam hati
saya mengutuk Jackie Chan yang telah melakukan
blasfemi terhadap mahakarya Jules Verne. Tapi
bapak-bapak yang menonton terlihat senang dan

86
Arlian Buana

bersemangat. Pelan-pelan saya berusaha memaafkan


aktor asal Cina itu.
Film dipotong pariwara, bapak-bapak terlibat
obrolan seputar penggalangan dana yang seminggu
sebelumnya dilakukan di Yogyakarta. Sesekali
terdengar suara Sukinah menimpali dari dapur. Tidak
tampak beban mereka yang sedang melawan raksasa
sebesar Semen Indonesia. Mereka memang berjuang,
sebisa mungkin melindungi lahan pertanian mereka
agar jangan sampai dirusak orang luar, selebihnya
mereka tetap menjalani hidup dengan riang gembira,
tidak kehilangan selera guyon.
Sukinah datang dengan enam gelas kopi,
termasuk untuk saya, Jackie Chan kembali beraksi.
Orang-orang Tegaldowo menikmati hidup dengan
cara sederhana: minum kopi, menghisap kretek, dan
menonton televisi.

Sebelum peristiwa 16 Juni 2013, Sukinah tak


penah membayangkan akan bertahan di tapak pabrik
sebagaimana dia tak menduga aksinya bakal kena
gebuk polisi. Keputusan untuk bertahan di tapak
pabrik diambil secara spontan, karena tak menyangka
aparat begitu represif. Spontan saja Sukinah berikrar
tak akan mundur sampai pabrik semen hengkang
dari tanah kelahirannnya. Ibu-ibu lain mengamini
sumpah Sukinah.

87
Merry Christmas, Felix Siauw!

“Tenda-tenda juga dibikin seadanya. Kalau di


truk kan banyak terpal, buat tiker, buat duduk, nah
itu yang dipakai. Bambu-bambu diambil dari hutan,”
katanya.
Sukinah juga tidak menyangka, apa yang
dilakukannya bersama ibu-ibu Tegaldowo dan
Timbrangan akan mendapat simpati yang luar biasa
dari banyak pihak. Sukinah bersyukur, solidaritas
untuk warga Kendeng mengalir dari berbagai
penjuru, dari Yogyakarta, Jakarta, Bandung, dan lain-
lain.
Beberapa hari setelah tenda berdiri, Camat Gunem
datang ke lokasi. “Aku lupa tanggalnya. Pak Camat
dateng katanya mau nengok ibu-ibu. Sehat-sehat
apa gimana? Terus Pak Camat ditanyain (mengenai
semen), gagap gitu. Pak Camat itu gak bisa jawab,”
kata Sukinah
Dua hari kemudian, Plt Bupati datang. Plt yang
sama dengan yang meresmikan kegiatan pabrik
semen beberapa hari sebelumnya. Plt bertanya, apa
saja tuntutannya? Ibu-ibu meminta Plt tarik alat berat,
dijawabnya dengan berkilah bahwa dia tak punya
wewenang. Tapi dia mencatat dengan seksama,
katanya akan disampaikan ke atasannya.
“Atasan yang mana saya gak tahu. Mungkin
nyangkut di pohon ya, Mas,” kata Sukinah.
Mereka mengerubungi dan memegangi Plt Bupati,
sampai lepas maghrib. Sempat pula diajak bersama-

88
Arlian Buana

sama ke tapak pabrik, “Dia mau naik mobil, kami


pegangi lagi. Pokoknya harus jalan. Biar merasakan
sakitnya pejuangan ibu-ibu. Sakitnya bumi itu
gimana.”
Sepanjang perjalanan itu, Plt Bupati cuma
mengulang-ulang apa yang telah dikatakannya
sebelumnya. “Katanya dia gak wewenang, gitu.
Yang wewenang itu Pak Gubernur, gitu. Ini bukan
wewenang saya, bukan wewenang saya. Gitu…”
27 Juni, giliran Gubernur Jawa Tengah Ganjar
Pranowo yang datang. Dengan gaya flamboyan,
begitu sampai Pranowo langsung membentak:
“Mulehlah, oralah!” Lalu bertanya dengan jumawa,
“Apa ibu-ibu sudah baca AMDAL?”
Sukinah memang diam ketika Pranowo bertanya
begitu, tapi di hadapan saya, mengingat perilaku
gubenurnya, ia tidak bisa lagi menyembunyikan
kemarahan.
“Ganjar tanya ibu-ibu yang mukanya kayak gini
kok tanya AMDAL? Yang bodoh itu Ganjar atau
ibu-ibu petani? Kalau ibu-ibu ditanya apa sudah
mencangkul, apa sudah ambil rumput, mungkin ibu-
ibu bisa jawab. Tapi tanyanya Amdal?! Yang bodoh itu
Ganjar-nya atau ibu-ibunya?”
Seharusnya Ganjar itu ya mikir, Amdal itu yang
bikin ya siapa? Kalau yang bikin petani, ditanyain
gitu ya mungkin pantes. Lumrah. Dari kapan
ada Amdal itu, kami ndak tahu. Ndak pernah

89
Merry Christmas, Felix Siauw!

dikasihtahu. Lha aku sendiri ya bingung, Amdal itu


seperti apa? Makanan apa? Kalo aku sendiri, Amdal
itu ya lahan kami sendiri. Lahan yang harus kami
pertahankan.”
Padahal waktu kampanye itu Ganjar bilang,
Jawa Tengah mau dibikin ijo royo-royo, Jawa
Tengah Berdikari. Kok Jawa Tengah mau ditanami
tambang?”
Katanya ndak korupsi, ndak ngapusi. Ternyata
ngapusi—kalau korupsinya ndak tahu ya, Mas…
Ngapusine sing mesti, sing wis ketok, wis keruan.”
Sukinah berhenti sejenak, menarik napas dan
melepaskannya tergesa-gesa, meminum air putih.
“Pemilihan gubernur kemarin warga sini
kebanyakan pilih Ganjar, Bu? “ tanya saya.
“Iya, semua pilih Ganjar. Harapannya, mungkin
ndak seperti Bibit (Waluyo). Katanya ndak korupsi,
ndak ngapusi. Tapi ternyata ngapusi.”
Periode Juni hingga akhir September 2014,
Sukinah tak pernah pulang ke rumah. Pergi dari tenda
hanya sekali saat pemilihan presiden, sesudahnya
langsung kembali ke tenda. Ia sama sekali tak pernah
menengok keadaan rumahnya.
“Baru pas ada jadwal piket di tenda saya bisa
pulang ke rumah.”

90
Arlian Buana

Minggu sore di penghujung Januari, hujan turun


rintik-rintik di tapak pabrik, langit masih biru. Tak
terlihat aktivitas berarti dari tenda ibu-ibu Tegaldowo
dan Timbrangan yang juga berwarna biru. Beberapa
ibu terlihat keluar dari tenda utama menuju tenda
kecil di sebelah utara. Tenda kecil itu sepertinya
difungsikan sebagai kamar kecil.
Di selatan tenda, beberapa satpam pabrik terlihat
hanya duduk-duduk malas di poskonya. Begitu
pula polisi di sebelah timur tenda. Saya berteduh
di pinggiran sebuah gubug milik warga, dua orang
polisi tengah tiduran di dalam. Mungkin mereka lelah.
Di hadapan saya, membentang hijaunya padi yang
mulai mengeluarkan bulirnya.
Tak peduli hujan, sepasang petani tua masih sibuk
menyiangi rumput. Capung-capung beterbangan.
Sepasang capung terlihat bercinta, sambil terbang.
Hebat ya. Kalau pabrik semen jadi beroperasi, saya
tidak tahu apakah sepasang capung itu masih
bisa bercinta di sana. Saya kembali mengalihkan
pandangan ke tenda ibu-ibu yang sudah bertahan di
sana selama tujuh bulan.
Saya teringat film Where Do we Go Now, tentang
ibu-ibu di sebuah desa di Lebanon yang berjuang
mati-matian agar suami dan anak-anak mereka tidak
saling hantam hanya karena perbedaan agama–
Islam dan Kristen. Mengenyahkan televisi yang
banyak mengabarkan perang, menguburkan senjata,
mengundang pekerja seks komersial dari kota untuk

91
Merry Christmas, Felix Siauw!

menyemarakkan suasana desa dan mengalihkan


perhatian.
Saya kembali ke hijau sawah, mencari-cari
sepasang capung yang tadi bercinta. Ratusan
capung masih bermain-main di sana. Saya tidak
tahu apakah mereka masih akan tetap di sana bila
bebatuan Pegunungan Kendeng diledakkan pekerja
pabrik. Saya kehilangan jejak, tidak lagi menemukan
sepasang capung yang bercinta. Semuanya sudah
terbang sendiri-sendiri. Saya teringat masa kecil di
desa yang kini diserbu perkebunan sawit.
Gugatan ibu-ibu Rembang hari ini dikalahkan di
PTUN Semarang. Saya ingat lagi film Where Do We Go
Now, mengenang ketegaran ibu-ibu Tegaldowo dan
Timbrangan. Where do we go now? Mau ke mana kita
sekarang?

92
Pomade Bung

“Banyak yang pada kaget tuh pas gua ngeluarin


pomade varian Kretek. Apa-apaan tuh, pomade kok
kretek? Ya gua bilang aja kalo pomade Bung bikinan
gua emang pengen konsisten make ikon budaya
Indonesia. Setelah Gurindam, gua ngeluarin Kretek,”
katanya.
Lelaki itu masih dengan keriangannya yang
sama dengan ketika kami sering nongkrong bareng
bertahun-tahun lalu di sebuah warkop di depan
kampus kami. Ia menerima saya di rumahnya di
pelosok Bekasi yang jauh. Dari Ciputat, saya perlu
waktu dua jam lebih naik sepeda motor untuk
bertemu dengannya. Itu di tengah malam. Saya
enggan membayangkan menempuh jarak itu di
jam orang pergi atau pulang kerja. Olok-olok orang
Jakarta sepertinya tidak berlebihan, Bekasi memang
lebih jauh ketimbang Pluto.
Ia orang yang paling berjasa mengajari saya
ngeblog. Ia yang menunjukkan kepada saya bahwa

93
Merry Christmas, Felix Siauw!

ngeblog pun bisa menghasilkan uang. Menjelang


kelulusannya, ia menghabiskan ribuan dolar hasil
ngeblog untuk melunasi semua kebutuhannya agar
bisa diwisuda.
Ia yang secara tak langsung banyak mengajari saya
menulis. Beberapa kali, saya memintanya memeriksa
naskah yang saya buat, masukan darinya selalu
sangat berguna, dan disampaikan dengan cara yang
menyenangkan. Dan yang jauh lebih penting, ia yang
terus menjaga semangat membaca saya. Dia selalu
mengajak saya berlomba-lomba memburu buku-
buku bagus, untuk kemudian saling pamer apa yang
telah masing-masing kami baca.
Ia adalah penulis bola yang paling saya kagumi
setelah Sindhunata, sebelum Zen RS, sebelum
Darmanto Simaepa dan Mahfud Ikhwan. Ia
sempat membangun sebuah portal sepakbola
bernama sepakbolamania.com. Di situlah analisis-
analisis kerennya tentang berbagai pertandingan
dipublikasikan.
Tapi kini ia banting stir! Sepakbolamania sudah
lama gulung tikar. Ia semakin jarang menulis. “Gua
juga udah jarang baca sastra. Paling buku-buku bola,
gua pesen di book depository,” katanya.
Tapi ia masih punya keriangan yang sama. Selera
humor yang masih meluap-luap. Ia menerima saya
dengan gembira, dengan guyonan-guyonan lama,
dengan kue lebaran yang enak-enak, dengan kopi
Jambi yang tak kalah enak.

94
95
Merry Christmas, Felix Siauw!

Tapi ia kini banting stir! Ia sudah jarang menulis.


Sekarang ia seorang pebisnis. Pengusaha pomade.
Tapi ia tidak kehilangan karakternya. Ia tidak
kehilangan wawasan kebudayaannya. Ia tidak
kehilangan apa-apa yang ia yakini benar. Ia tidak
kehilangan kecintaannya terhadap Indonesia.
Ini bukan sekadar bualan tahi kucing. Ia masih
memegang prinsip yang sama. Sejak dulu, ia
seorang Indonesia yang bangga. Bukan congkak. Ia
menolak gagasan bahwa bangsanya inferior, ia selalu
berkeyakinan bahwa menjadi Indonesia bukanlah
menjadi medioker. Ia yakin seyakin-yakinnya, dan itu
bukan sekadar omongan tahi babi.
“Indonesia tuh pasar pomade yang
pertumbuhannya paling tinggi. Sayang banget kalo
kebanyakan beli produk luar. Grup Indonesia Pomade
Enthusiast itu grup pomade yang anggotanya paling
banyak di dunia. Produsen-produsen luar sekarang
pada ngemis reseller di sini,” ujarnya, ngakak.
“Bayangin, pernah ada tiga produsen rumahan
di Houston kolaborasi. Mereka bikin produk limited
edition. Cuma 300. 200-nya orang Indonesia yang
beli,” katanya, ngakak lagi. Gila memang. “Nah, yang
kayak-kayak gini nih yang perlu dicerahkan.”
Maka dimulailah perjuangannya di bidang
perpomade-an sejak akhir tahun 2014. Setelah
setahun sebelumnya dia mencobai berbagai jenis
pomade, juga membaca banyak buku tentang itu, dia
nekat terjun ke dunia yang tiga tahun yang lalu sama

96
Arlian Buana

sekali asing baginya.


Tapi ia pembelajar yang cepat, dan tangguh.
Saya menyaksikan sendiri bagaimana ia pernah
secara serius membaca segala tentang sepakbola
dalam waktu relatif singkat lalu mulai menulis. Kini
ia mendalami seluk-beluk pomade, saya sama sekali
tidak ragu dengan kemampuannya melakukan
berbagai studi, percobaan, dan penelitian.
“Kami mulai memikirkan tentang Bung pada
akhir tahun 2014. Setelah hampir setahun mulai
menggeluti dunia pomade dan mencicipi berbagai
merk, baik lokal maupun internasional, kami berpikir
untuk membuat produk sendiri.
“Setelah membaca berbagai referensi, ide tersebut
mulai dikerjakan pada awal Februari 2015. Lewat riset
kecil-kecilan di dapur sederhana, kami mencurahkan
antusiasme, waktu, tenaga dan tentu modal, demi
menemukan formula produk yang bekerja dengan
baik,” tulisnya di blog PomadeBung.
“Berapa kali percobaan, Bang?” tanya saya.
“Ratusan ada kali,” jawabnya. “Rambut gua sempet
rusak. Gua nyobain satu formula, jelek, langsung cuci
rambut. Bikin baru lagi, gua cobain lagi. Gitu terus,
bikin yang lain, cobain, sampe tiga bulanan. Pernah
sehari gua harus cuci rambut sampe tiga kali. Kelinci
percobaannya rambut gua sendiri.” Kali ini roman
mukanya agak serius.
Saya jadi ingat Thomas Alva Edison. Sampai

97
Merry Christmas, Felix Siauw!

akhirnya berhasil menciptakan lampu penerang


untuk peradaban manusia, Edison harus melalui
sepuluh ribu lebih percobaann yang gagal. Tapi,
kata Edison, “Saya tidak pernah gagal. Saya hanya
menemukan 10.000 cara yang belum pas.”
Saya ingat pula Kolonel Harland Sanders. Yang
konon pernah gagal 1009 kali sebelum resep ayam
gorengnya benar-benar diterima orang, lalu laku dan
menjadi legendaris. Dan yang paling dahsyat, saya
ingat pernah membaca di suatu tempat bahwa serial
Twilight pernah 14 kali ditolak penerbit. Yawlaaa, kok
ya ada yang mau menerbitkan novel vampire alay
begitu. Yawlaaa.
“Kenapa Schweinsteigger?” Saya coba alihkan
pembicaraan, ia seorang pendukung Manchester
United garis keras. Ia terlihat tenang, sama sekali tidak
tergeragap mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu.
“Kehadirannya di lapangan tengah penting.
Setelah Scholes, belum ada lagi yang bisa jadi
bos di lapangan tengah Emyu,” katanya. “Justru
gua heran sama orang-orang yang nanya kenapa
Schweini.” Ia menghisap asap kreteknya dalam-dalam,
menghembuskannya, kemudian terkekeh.
“Kenapa Bung?” Kembali ke pomade karyanya.
“Emang ada yang lebih bagus?” Giliran saya yang
tertawa.
“Ada review bagus dari temen di Solo. Dia bilang,
orang mbaca merk ini gak mungkin lemah-lesu.

98
Arlian Buana

Orang mbacanya pasti pakai tanda seru. Gua suka


reviewnya.”
“Ya iyalah. Orang jualan mah pasti seneng kalo
dagangannya dipuji.”
Ia cekikikan.
Waktu subuh hampir tiba, dari masjid di dekat
rumahnya terdengar suara speaker membangunkan
warga.
“Tambah lagi kopinya, Ban,” katanya.
“Nanti aja, Bang. Terus itu Gurindam gimana
ceritanya?”
“Gurindam itu pomade medium hold. Daya
rekatnya sedang. Itu kan produk pertama. Gua
pengen, semua tulisan di kemasan produk gua pake
bahasa Indonesia. Makanya gua mikir, apa ya nama
varian yang bagus. Akhirnya gua putusin pake ikon
budaya aja. Yang pertama: Gurindam.”
“Respons orang-orang gimana?”
“Ya namanya produk baru, pasti kan banyak
yang pengen tau. Itu kesempatan gua buat ngasih
penjelasan. Pada nanya apaan Gurindam, ya gua
jelasin ini nama varian. Di grup Indonesia Pomade
Enthusiast, gua juga jelasin pentingnya Gurindam
buat Indonesia. Kalo gak ada Gurindam, gak bakal
ada Bahasa Indonesia. Sambutannya lumayan.”
Saya manggut-manggut.

99
Merry Christmas, Felix Siauw!

“Terus kalo yang Kretek, itu gimana ceritanya?”


“Gara-gara gua kesel sama orang, tuh. Jadi
ada orang yang ngampanyain rokok elektrik. Dia
ngejelek-njelekkin rokok. Gua bilang, jangan gitulah.
Maksud gua, kalo lu kampanye pake pomade, gak
perlu juga njelek-njelekin yang gak make pomade.
Kalo lu ngampanyein faving, ya gak perlu bilang
kretek itu jelek.”
“Apa sih enaknya faving? Kayak ngisep uap batu es.”
“Nah, itu lu njelek-njelekkin juga namanya.”
Saya nyengir kuda.
“Yaudah, kebetulan gua lagi nyari ide nama varian
produk kedua, pomade light, gua pake aja nama
Kretek.”
“Sambutannya gimana?”
“Di grup anak-anak pomade, gua ceritain fragmen
Agus Salim yang ngisep kretek di Buckingham. Pada
seneng banget sama cerita itu.”
“Terus, Bang?”
“Ada juga yang nanya emangnya Gurindam sama
Kretek itu ikon budaya? Mereka kan taunya ikon
budaya yang mainstream, Borobudur, Ondel-ondel,
Tari Kecak, gitu-gitu. Ya gua kasihtau: Gurindam itu
warisan budaya yang emang udah banyak dilupain,
padahal penting banget. Nah, kalo kretek, saking
deketnya sama kita sehari-hari, malah gak dianggep
budaya.”

100
Arlian Buana

Ia terdiam sebentar, mengambil bungkus


kreteknya lantas menyalakan sebatang. Setelah
dua hisapan, ia beranjak. “Bentar, gua ambilin
pomadenya.”
Selang berapa menit, ia muncul dengan empat
kaleng bulat. Saya langsung mengambil Bung: Kretek,
membuka penutupnya, menghirup aromanya. Wangi
cengkeh menguar di hidung saya. Aroma khas kretek.
Oh iya, hampir lupa, perkenalkan: namanya
Ahmad Makki.

101
Farhat Abbas

Sebagaimana Indonesia harus bersyukur atas


keberadaan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah,
para pejuang antirokok tidak boleh kufur nikmat
setelah Farhat Abbas bergabung di barisan mereka.
Indonesia patut bersyukur karena NU dan
Muhammadiyah, dua ormas Islam terbesar yang baru
saja menyelenggarakan muktamar, telah menjadi
pagar hidup untuk membendung ekstremisme
dalam beragama. Dan gerakan antirokok patut
mengumandangkan puja-puji kepada Farhat Abbas
yang telah demikian heroik membodoh-bodohkan,
menjahat-jahatkan, dan menyampah-nyampahkan
para perokok.
Oh, tidak, saya tidak bermaksud menyamakan
NU dan Muhammadiyah dengan Farhat Abbas.
Tentu saja kedua organisasi itu tidak bisa
diperbandingkan dengan es teh pletok macam
Farhat. NU dan Muhammadiyah sudah berkiprah
untuk keindonesiaan jauh sebelum kemerdekaan

102
Arlian Buana

Indonesia diproklamasikan, sementara Farhat Abbas


hingga kini masih belum jelas apa sumbangsihnya
untuk Indonesia. Apakah eksistensi Farhat merupakan
manfaat atau mudarat bagi Indonesia sampai
sekarang masih misteri—saya juga belum jelas, sih.
Saya hanya mencontohkan alasan mengapa
kampanye antirokok mestinya semringah menerima
Farhat. Jika Indonesia bersuka-cita menerima NU
dan Muhammadiyah, maka gerakan antirokok pun
sewajarnya berpesta-pora menyambut Farhat Abbas.
Maksud saya begitu. Bila perlu, Tulus Abadi, Tere
Liye dkk segera saja menghelat pesta akbar sekelas
muktamar sebagai ucapan selamat datang untuk
mantan suami Nia Daniaty itu.
Tapi demi menjaga perasaan umat, baiklah,
dengan lapang dada saya cabut perumpamaan di
atas.
Barangkali lebih tepatnya begini: kehadiran Farhat
Abbas untuk kaum antirokok sama pentingnya
dengan kehadiran Bastian Schweinsteiger di
lapangan tengah Manchester United. Maka seperti
halnya Schweinsteiger yang dianggap menjanjikan,
menerbitkan harapan, Farhat Abbas pun seharusnya
dianggap sebagai darah segar yang memancarkan
optimisme. Sebagaimana fans Man Utd bersorak dan
tak sabar menunggu kontribusi Schweini, tim hore
antirokok pun semestinya bergembira dan tak sabar
menanti aksi plus atraksi antirokok Farhat selanjutnya.
Kalau ada pendukung Emyu yang tidak bisa terima

103
Merry Christmas, Felix Siauw!

persamaan di atas, sila selesaikan ketidakterimaan


anda dengan Yang Mulia Farhat di Puncak Gunung
Merapi di tengah malam bulan purnama bulan ini.

Nah, sekarang saatnya kita apresiasi kicauan-


kicauan antirokok Sang Presiden Oposisi RI: satu dan
satu-satunya Farhat Abbas Law. Eh, bukan kicauan
ding, kata Farhat sendiri itu kokok. Bukan Kokok
Dirgantoro CEO VoxPop. Kokok saja. Kokok.
“Yang merokok harap jangan emosi! Cukup
kami yang emosi melihat kalian merokok!
Maaf, kami banyak berkokok mengenai rokok!
#BudayaTidakMerokok,” kokok blionya.
Tenang, Tuan Farhat, kami sama sekali tidak emosi.
Kami geli. Anda ajaib sekali.
Bagaimana kami tidak geli, semua kokok anda
tentang rokok adalah kebenaran absolut yang tidak
mungkin dibantah. Kami tidak bisa melakukan apa-
apa selain manggut-manggut dan mencengkeram
perut.
“Biasanya orang yang merokok lebih percaya
rokok daripada Tuhan.”
“Merokok itu setara dengan menghisap lem aibon.”
“Merokok lebih berbahaya daripada selingkuh.”
“Hanya di masjid dan rumah gue aja orang gak ada
yang berani merokok.”

104
Arlian Buana

“Kalo gue jadi presiden, seluruh pegawai yang


terima gaji dari negara, gue haramkan merokok!”
Tidak satupun kokok Tuan Ajaib yang bisa
disalahkan. Tidak satupun. Semuanya sahih belaka.
Semuanya melampaui aforisma, manifesto, sabda,
firman, atau apapun namanya. Manusia hanya bisa
berencana, Tuan Farhat jua yang berkokok.
Seandainya kami diperintahkan Tuhan untuk
mendengarkan kokok Tuan Farhat seumur hidup,
saya yakin semua perokok dalam satu hari saja pasti
langsung mati geli.
“Hampir semua pelaku kejahatan adalah perokok
berat. Hati-hati yang merokok berat, ntar dikira
penjahat,” kokok blionya lagi.
Kepada para pembaca yang kebetulan santri dan
punya kiai yang perokok berat, coba perdengarkan
kokok Farhat. Siapa tahu nanti kiai anda dikira
Don Vito Corleone. Dan buat menantu baik-baik
yang kebetulan punya mertua perokok berat, coba
perhatikan lagi, jangan-jangan mertua anda adalah
Wise Guy.
Dan puncak dari segala keajaiban Tuan Farhat
adalah ketika ia berkokok: “Cewek perokok lebih
gampangan daripada cewek yang tidak merokok.”
Dari mana pengacara tampan dan menawan ini bisa
mengambil kesimpulan sebegini dahsyat?
Beberapa tahun lalu, melaui akun twitternya,
Mario Teguh pernah mengeluarkan kalimat senada.

105
Merry Christmas, Felix Siauw!

Bahwa wanita yang merokok dan hobi dugem tidak


layak dinikahi. “Wanita yang pantas untuk teman
pesta, clubbing, begadang sampai pagi, chitcat yang
snob, merokok dan kadang mabuk, tidak mungkin
direncanakan jadi istri,” kata Mario.
Sebagai seorang motivator yang harusnya
bijaksana dan bijaksini, Mario Teguh terlalu gegabah
mengeluarkan pernyataan itu. Mario diprotes keras
dari berbagai arah. Apa hubungannya kelayakan
menjadi istri dengan kesukaan merokok dan dugem?
Tidak ada, kecuali konstruksi patriarki bahwa baik dan
buruk didefinisikan oleh laki-laki.
Menyadari kekeliruannya, Mario Teguh kemudian
minta maaf secara terbuka lalu tutup akun—dua hal
yang hampir mustahil kita harapkan dari seorang
Farhat Abbas.
Apakah cewek perokok memang gampangan?
Suer, hanya manusia yang punya kadar keajaiban
tertentu yang sanggup berkokok begitu. Kadar
keajaiban yang setingkat dengan matahari terbit dari
barat sehingga Farhat layak masuk menjadi salah satu
tanda-tanda kiamat.

106
Habib Rizieq

Ia terlihat on fire. Duduk di sebuah kursi kayu,


dikelilingi pengikutnya yang sebagian besar
mengenakan kopiah putih, Rizieq memegang
ujung bawah mik nirkabel dengan tangan kirinya,
menceramahkan pemurnian Islam, badannya meliuk
ke kanan ke depan ke kiri, tangan kanannya sesekali
mengepal sesekali melambai.
“Assalamu ‘alaikum itu tradisi Arab. Assalamu
‘alaikum itu budaya Arab. Hey, umat Islam Indonesia,
mau ngapain kamu dijajah sama Arab? Mau ngapain
kalian diarabkan? Ambil Islamnya, buang Arabnya.
Ambil Islamnya, buang assalamu ‘alaikum, ganti
selamat pagi selamat siang!” kata Rizieq berapi-api,
menirukan pendapat orang-orang yang berlawanan
dengan pandangannya.
Bereaksi atas ucapannya sendiri, Rizieq memegang
dahi selama beberapa detik. Seolah ia ingin berkata,
“Capek deeeeh…” seperti anak-anak gaul Jakarta.

107
Merry Christmas, Felix Siauw!

“Kalau di Purwakarta diganti dengaaan?”


Lanjutnya setelah puas memegang jidat.
“Sampurasuuun…” jawab jamaah.
“Sampurasun,” kata Rizieq mengulangi, lalu diam
sebentar. Tanpa aba-aba, suara yang kemudian
keluar dari mulutnya mirip geledek di siang
bolong, “Campuracuuuun! Campuracuuuuun!
Campuracuuuun!” Jamaah tertawa terbahak-bahak.
Kalau Anda penggemar garis keras Arya Wiguna,
mungkin Anda akan terhibur dan tidak merasa
terganggu dengan teriakan Rizieq. Anda yang
mencintai cara Wiguna memekikkan “Demi Tuhan!”
tentu akan senang sekali mendapati ada orang yang
mewarisi kemampuan Wiguna berteriak sehebat
itu. Semoga para produser infotainmen terketuk
hatinya agar menayangkan teriakan “campuracun”
Rizieq seperti mereka menyiarkan Wiguna berbulan-
bulan. Sudah lama pemirsa Indonesia tidak disuguhi
pemandangan seperti itu.
“Betul?” tanya Rizieq kepada jamaah. Setelah
terdengar koor betul, Rizieq teriak lagi: “Takbir!”.
Allahu Akbar menggema.
Entah siapa yang pertama kali mengunggah
video ceramah Rizieq itu di Youtube, tahu-tahu
muncul protes dari banyak kalangan di Jawa Barat.
Angkatan Muda Siliwangi melaporkan Rizieq ke polisi
karena dianggap menghina masyarakat Sunda dan
melecehkan nilai-nilai budaya Sunda. Mereka bahkan

108
Arlian Buana

menginisiasi terbentuknya Aliansi Masyarakat Sunda


Menggugat dan melarang Rizieq masuk Jawa Barat.
Mereka juga menuntut Imam Besar The Panas Dalam
Front Pembela Islam (FPI) itu minta maaf secara
terbuka.
Tak mau kalah dengan anak muda, Walikota
Bandung, Ridwan Kamil pun turut menyesalkan
ceramah itu dan meminta Rizieq minta maaf. Dengan
ini, sekali lagi Kang Emil menunjukkan bahwa dirinya
adalah walikota yang terlalu serius.
Kita perlu persyukur ada walikota seterlaluserius
Kang Emil. Berkat beliau, Rizieq akhirnya dapat
panggung lagi, dan terutama, anak muda perkotaan
selain Jawa Barat, yang setiap hari intim dengan gajet,
jadi tahu bahwa di Sunda ada salam yang seindah
dan semerdu “sampurasun”. Tanpa beliau ikut campur,
tentu anak muda generasi viral ini tak akan pernah
tahu bahwa “sampurasun” kurang lebih artinya sama
dengan assalamu ‘alaikum.
Tapi tetap saja tuntutan permintaan maaf itu
terlalu serius. Minta maaf kok pakai disuruh-suruh.
Terlebih apabila yang dituntut ternyata tidak merasa
bersalah.
Habib Rizieq sedang bercanda dalam ceramahnya,
dan jamaah menganggap itu lucu, apanya yang
salah? Kalau Kang Emil menganggap itu tak lucu, ya
sudah jangan tertawa. Simpel, kan?

109
110
Arlian Buana

Kalau Kang Emil menganggap ada sesat pikir


dalam becandaan tak lucu itu, ya tinggal diluruskan,
atau balas dengan candaan yang lebih lucu. Kenapa
harus menuntut permintaan maaf?
Atau itu sudah tertulis sebagai salah satu tugas
pokok walikota?
Rizieq hanya sedang merasa gerah, belakangan
ini, setelah kampanye massif Islam Nusantara yang
dilakukan Nahdlatul Ulama, dan Islam Berkemajuan
dari Muhammadiyah, gelombang penolakan
terhadap Arabisasi menguat lagi. Rizieq tentu tak bisa
tenang melihat anak-anak muda mulai banyak yang
menelan mentah-mentah slogan “Islam bukan Arab.”
Rizieq teringat lagi perdebatan lamanya dengan
Gus Dur perihal “Pribumisasi Islam”. Ia tentu tak habis
pikir, bagaimana mungkin gagasan Gus Dur—yang ia
sebut buta mata dan buta hatinya itu—lebih diterima
banyak orang. Padahal Gus Dur tidak bisa pidato
seberapi-api dirinya, padahal Gus Dur bisanya cuma
melucu nggak jelas.
Untuk menyerang gagasan “Islam bukan Arab”,
Rizieq menggunakan jurus lama, menghajar titik yang
paling kontroversial: penggantian assalamu ‘alaikum
dengan selamat pagi, dan campuracuuun.
Rizieq tentu tak mau tahu bahwa poin utama
Gus Dur bukan itu. Ia tak mau dengar pandangan
Gus Dur tentang universalisme Islam yang shalihun

111
Merry Christmas, Felix Siauw!

li kulli zaman wa makan, yang relevan kapan saja di


mana saja, yang terbuka terhadap akulturasi, yang
mengakomodasi dan dapat diserap budaya setempat,
dan tampil dalam ekspresi budaya yang beragam.
Rizieq tidak menganggap hal-hal demikian bisa
memperkaya peradaban Islam, melainkan justru
merusak Islam.
Di sisi lain, Rizieq juga menganggap bahwa “Islam
bukan Arab” itu sama artinya dengan anti budaya
Arab. Logika Rizieq sederhana saja: jika Si A tidak
sama dengan Si B, berarti A anti B; jika roti buaya
bukan buaya, maka roti buaya itu anti buaya.
Anda tentu tak perlu lagi mengajak debat atau
diskusi Rizieq, karena bisa-bisa Anda diteriaki
“campuracuuun!”. Anda tak bisa berkata bahwa “Ana-
antum, jubah, dan sorban tidak serta-merta membuat
seseorang menjadi lebih Islami” kepada Sang Habib,
salah-salah Anda malah kena fentung. Hadapilah
dengan cara Dedi Magelangan Mulyadi, Bupati
Purwakarta. Setelah dituduh Rizieq menikahi Nyi Roro
Kidul, Dedi dengan santai bertanya, “Di KUA mana?”.
Oh iya, untuk Kang Emil, santai saja, tak perlu
terlalu serius. Ingatlah, masih terbuka kemungkinan
2017 nanti Anda akan maju di Pilkada Jakarta,
baik sebagai cagub maupun cawagub. Bersiaflah
menghadafi konfoi tanfa helm dan, yang faling
fenting, fentungan FPI.

112
Arlian Buana

Menjadi Muslim
Pintar bersama
Palu-Arit

Saya kira tidak ada media online yang mencerminkan


wajah Islam Indonesia kecuali PKS Piyungan
(selanjutnya disingkat PKS-P). Wajah muslim
Indonesia yang kalem, menyejukkan, cerdas, dan
membawa semangat kemajuan. Saya kira.
Sejak awal pekan lalu, PKS-P menggoreng isu
seksi: Putri Indonesia 2015, Anindya Kusuma Putri,
memposting fotonya berkaos palu-arit di Instagram.
Penggorengan yang aduhai sekali. Layaknya
trequartista jempolan, PKS-P mengirim umpan manis
nan mematikan untuk para striker muslim internet,
agar gol-gol spektakuler bisa dilesakkan ke gawang
tim komunis—yang selama ini dikhayalkan sebagai
musuh utama tim Islam.
Dengan gagah berani, PKS-P menurunkan laporan
bertajuk Sensasi Puteri Indonesia 2015 Bangga Berkaos
Palu Arit. Laporan yang mudah sekali tersebar secara
viral, seperti virus. Isinya? Hanya kutipan komentar

113
Merry Christmas, Felix Siauw!

miring para facebooker tentang Anindya dan kaos


palu-arit yang dikenakannya.
Sembari membagi tautan berita, PKS-P melempar
pertanyaan, memancing interaksi di Twitter,
“Layakkah Anindya jadi Putri Indonesia yang
jargonnya 3B: Brain, Beauty, Behaviour?” Tak lama,
salah satu followernya menyambar dengan retwit
ditambah cuitan: “Bego~ Bego~ Bego~.” Seorang
follower lain tak kalah tangkas, datang dengan
pernyataan senada yang dikemas agak lebih kreatif:
“Bego, Bodoh, Bloon.”
Saya kira PKS-P memang cerdas sekali. Saya
langsung tepuk tangan di atas kepala begitu
membaca rangkaian twit-retwit 3B PKS-P. Hampir saya
menitikkan air mata, kalau saja Nody Arizona—rekan
saya di Mojok.co—tidak sedang duduk di hadapan
saya. Saya akui, saya memang menyalahi prinsip di
mana bumi dipijak di situ air mata ditumpahkan—
yang merupakan inti utama ajaran Guru Tisu Bangsa
Eddward S. Kennedy dan Bapak Air Mata Nasional
Nuran Wibisono. Sebagai pengikut setia beliau
berdua, saya merasa gagal.
Mengikuti kisah sukses “berita” PKS-P, media-media
besar latah meminta klarifikasi dan cenderung ikut-
ikutan menyudutkan Anindya. PKS-P tentu dengan
senang hati menyebarkan ulang berita-berita dari
portal besar yang memakan umpannya.
Beberapa waktu sebelumnya, pernah pula PKS-P
menunjukkan kecerdasan yang jenuin tiada banding.

114
Arlian Buana

Kira-kira dia mencuit begini: Lihat dong, PKS-P


mendapat kunjungan lebih dari empat juta sehari
tapi servernya tidak pernah down. Luar biasa. Saya
kehabisan kata-kata.
Kita tahu, PKS-P menggunakan layanan Blogspot
milik Google. Untuk membuat down PKS-P, Anda
harus menggoyang server raksasa milik Google.
Sudah barang tentu bukan pekerjaan gampang.
Berbeda misalnya dengan mojok.co yang kapasitas
servernya terbatas, kunjungan jutaan dalam sehari
otomatis akan membuatnya down alias tidak bisa
diakses.
Selang beberapa menit setelah twit pamer
PKS-P tadi, muncul retwit dari followernya dengan
tambahan seruan; “Allahu Akbar!” Saya tidak bisa
menahan air mata saya mengalir, seketika. Haru saya.
Benar-benar haru. Saya yakin Yang Mulia Eddward
dan Kanjeng Nuran pasti bangga.
Saya lalu ingat artikel yang ditulis Gus Dur,
Pandangan Islam tentang Marxisme-Leninisme. Artikel
yang mengkaji secara rinci dan jernih, hubungan
Islam dan Komunisme. Gus Dur memulainya dengan
membaca hubungan diametral-konfrontatif Islam
vis a vis Komunisme, menjelaskan faktor-faktor yang
menjadi penyebab keberhadapan keduanya, baik
secara politis maupun ideologis.
Pada akhirnya, Gus Dur melihat adanya titik-titik
persamaan—bukan titik sambung—antara keduanya
di berbagai dimensi. Sehingga tidak perlu heran kalau

115
Merry Christmas, Felix Siauw!

komunisme atau bahkan partai komunis bisa tumbuh


dan besar di banyak negara muslim.
Di Indonesia, penolakan terhadap Marxisme-
Leninisme melalui TAP MPR XXV/66, menurut Gus Dur,
bisa dijelaskan dengan kenyataan bahwa tim muslim
pernah dua kali bergesekan dengan tim komunis
pada tahun 1949 dan 1965. Bagi Gus Dur, penolakan
demikian lebih berwatak politis daripada ideologis.
Gesekan itu yang kemudian didramatisasi,
diruncingkan oleh pemerintahan orde baru. Di masa
Soeharto berkuasa, stigmatisasi kelompok komunis
berkembang luas di masyarakat, dipanaskan dengan
kampanye massif pemerintah tentang bahaya laten
komunisme, dan tentu saja, disokong negeri Paman
Sam yang berusaha setengah mampus membendung
komunisme internasional.
Ketika menjabat sebagai Presiden RI, Gus
Dur mengusulkan pencabutaan TAP MPRS No
XXV/1966 tentang larangan komunisme. Usul yang
dimaksudkannya sebagai langkah awal terwujudnya
rekonsiliasi nasional. Usul yang tak urung menuai
penentangan di sana-sini, di mana-mana.
Gus Dur juga meminta maaf atas pembunuhan
terhadap orang-orang yang dikatakan komunis, yang
jumlahnya menurut Sarwo Edhie Wibowo tak kurang
dari tiga juta jiwa. Tiga juta! Itu jumlah manusia
Indonesia yang dilenyapkan secara tragis dari muka
bumi, bukan semata statistik kunjungan PKS-P. Sekali

116
Arlian Buana

lagi, yang selanjutnya terjadi, niat baik Gus Dur


dimentahkan banyak orang—terutama oleh so-called
umat Islam.
Tulisan Gus Dur tentang Islam dan Komunisme
muncul pertama kali pada tahun 1982, ketika dunia
masih diselimuti nuansa perang dingin—yang
berakhir setelah Liverpool menjuarai Liga Inggris
untuk terakhir kali. Kini, peta politik internasional
sudah benar-benar berbeda. Pasca 11 Sepetember
2001, Islam malah pernah jadi pengganti Komunisme
sebagai musuh baru dunia Barat.
Sampai permusuhan Barat terhadap Islam dan
Komunisme mereda, kita sebagai bangsa belum juga
menyelesaikan pekerjaan rumah untuk rekonsiliasi.
Melihat gegeran kaos palu-arit Anindya,
barangkali Gus Dur hanya cekikikan di kahyangan
sana. Dan kata-kata kunciannya akan terdengar di
sela derai tawa, “Gitu aja kok repot.”
Maka lihatlah, Gus, jangankan mengobati luka,
melihat simbol palu-arit saja kami masih parno. Kami
kesulitan bersikap adil, Gus, karena kami lebih senang
merawat kebencian seperti hobi kami mengasah
batu akik. Bukannya meminta maaf, kami justru
terus-menerus merendahkan keluarga besar PKI yang
menjadi korban.
Di situ kadang saya merasa hebat, Gus. Di situ
kadang saya merasa pintar, sepintar PKS Pi-yu-ngan.

117
Menjadi Penggemar
Berat Felix Siauw

Saya punya ikatan sentimental dengan Islam. Sejak


kecil, orang-orang tua di kampung saya berusaha
sekuat tenaga agar saya bisa mengaji, salat dan
puasa. Mereka pun memberikan teladan, hingga
saya meyakini bahwa Islam adalah agama terbaik,
terhebat. Islam adalah jalan bagi saya untuk
menemukan kedamaian.
Makin dewasa, kecintaan saya terhadap Islam
semakin besar. Melebihi kecintaan saya terhadap
Indonesia. Melihat negeri ini, saya sering sedih.
Anjing, amburadul betul. Tapi menyaksikan umat
Islam di Indonesia, saya jauh lebih sedih lagi. Umatnya
bodoh-bodoh mampus! Mereka semakin jauh dari
ketentuan-ketentuan Islam yang sebenarnya.
Awal-awal kuliah di sebuah kampus Islam, saya
perhatikan mahasiswa-mahasiswa yang konon
muslim dan lulusan pesantren sangat urakan. Mereka
pun berorganisi dengan nama tempelan Islam. Tapi
kelakuan dan pikiran mereka aduhai kacau sekali.

118
Arlian Buana

Sok bebas. Sok liberal. Saya pikir saya tidak bisa


tinggal diam, saya tidak boleh cuma damai sendiri.
Lama-lama saya bisa saja menjadi kafir kalau hidup di
tengah umat yang bebal. Saya harus berbuat sesuatu.
Tapi Allah memang maha adil, maha tahu apa
yang dibutuhkan hambanya. Setelah beberapa
semester di universitas, saya bertemu dengan sosok
hebat luar biasa. Pengetahuan Islamnya luas dan
mendalam. Ia sangat mumpuni untuk menjadi
pemimpin spiritual. Dan yang paling penting, ia bisa
bicara dalam bahasa saya, bahasa generasi saya,
bahasa gue-elo. Ketika ia membicarakan Islam dan
khilafah, topik ini terasa sangat dekat, membumi dan
sangat masuk akal. Orang itu bernama Felix Siauw.
Lihatlah bagaimana perkembangan ustadz
kebanggan saya itu sekarang. Sejak pertama saya
mengenalnya lima tahun yang lalu, saya sudah yakin
ia akan menjadi orang besar, orang terkenal yang
mondar-mandir di televisi dengan jutaan pengikut.
Bukan hanya mengisi pengajian, Ustadz Felix juga
menulis buku, menyebarkan tausiyahnya melalui
facebook, twitter dan youtube. Bahkan di media
sosial, ia biasa tertawa dengan “wkwkwk”. Gaul
banget. Meski saya jarang menghadiri pengajiannya,
berkat bantuan teknologi, perlahan-lahan saya pun
meyakini apa yang diperjuangkan olehnya, khilafah
adalah solusi semua persoalan anak manusia.
Tapi khilafah, kata Ustadz Felix, dihapuskan pada
tahun 1924. Istanbul, Turki, menjadi saksi pedihnya

119
Merry Christmas, Felix Siauw!

umat kehilangan pelindung. Setelah Perang Dunia


I, umat Islam tercerai-berai, biang keroknya tak
lain tak bukan adalah penjajah Inggris. Negara
yang yang dipimpin seorang ratu itu tidak hanya
menaklukkan dan memecah-belah kaum Muslim
secara fisik, melainkan juga, lebih parah lagi, mereka
menanamkan pemikiran kufurnya.
“Inggris mendoktrinasi kaum Muslim, bahwa
demokrasi ialah sistem terbaik bagi mereka. Dalam
demokrasi seolah mereka diperlakukan sama. Kafir
Inggris juga berhasil membuat kaum Muslim lupa
bahwa Khilafah-lah yang menghantarkan mereka
menguasai 1/3 dunia selama 13 abad,” terang Ustadz
Felix suatu kali.
Amerika Serikat, negara adidaya pengganti Inggris,
juga melakukan hal yang sama, mendoktrinasi
seolah demokrasi sejalan dengan Islam. Mereka
menyamakan demokrasi dengan musyawarah dalam
Islam, padahal akar pengambilan hukum, daun, dan
buahnya jelas berbeda jauh. Sistem yang diwariskan
Nabi Muhammad SAW melalui lisannya nan mulia
hanyalah khilafah. Dan hanya khilafah-lah sistem
yang dipakai para sahabat Nabi.
“Dalam musyawarah, hanya hal mubah dan baik
yang boleh didiskusikan. Pada hukum yang sudah
ditentukan Allah, Islam melarang musyawarah. Salat
Jumat di mana, itu boleh dimusyawarahkan, tapi salat
Jumat atau tidak, itu sudah hukum Allah, tidak boleh
dimusyawarahkan,” begitu pesan Ustadz Felix.

120
Arlian Buana

“Sedang demokrasi, semua hal bisa


dimusyawarahkan. Yang halal bisa jadi haram,
dan yang haram bisa jadi halal, bila banyak yang
suka. Dalam demokrasi, hukum Allah hanya opsi,
bisa didebat, bahkan bisa dianggap lebih rendah
dari hukum manusia. Hakikat demokrasi, manusia
dianggap lebih tahu daripada Allah, karenanya boleh
membuat hukum sendiri. Dalam Islam, hukum Allah
mutlak.”
Berkat perjuangan Ustadz Siauw, Al Quran dan
Sunnah telah jadi hukum di negara kita. Indonesia
secara resmi sudah menerapkan Khilafah Islamiyah
sebagai sistem pemerintahan. Khalifah kita
Prabowo Subianto, figur luar biasa yang–didukung
seluruh umat Islam–berhasil memimpin revolusi
menggulingkan rezim kafir liberal setahun yang lalu.
Wajah Ustadz Felix kini setiap hari nongol di televisi,
bicara banyak hal. Dalam sebuah kesempatan ia
menyindir negara tetangga, “Sama Syiah dia temen,
sama kafir kawan, sama atheis 11-12. Tapi sama
Muslim, galaknya ampun-ampunan. Ada yang kayak
begini? Ada.”
Yang paling fenomenal, dan membuatnya
digandrungi semua generasi, Felix Siauw akhirnya
jadi host Hunger Games menggantikan Caesar
Flickerman. Ia berhasil menyisihkan Tantowi Yahya
dan Tukul Arwana.
Babi, Nody Arizona membangunkan saya dari
mimpi.

121
#SudahlahJokowi

Jika memerintah diibaratkan bermain catur, maka


sebenarnya Jokowi adalah pecatur yang buruk.
Baiklah, kalau para pemilih Jokowi belum ikhlas dicap
buruk: Jokowi telah memainkan pembukaan yang
buruk. Amburadul sekali openingnya. Terlalu banyak
menggerakkan satu-dua perwira, sementara banyak
perwira lain lumutan di posnya, Jokowi bahkan
belum sempat rokade agar posisi rajanya aman.
Dibanding pendahulunya, Si Pak Beye itu, Jokowi
(setidaknya dari yang nampak hingga sekarang) jelas
belum ada tai-tainya, baik secara posisional maupun
taktik.
Di awal pemerintahannya, Pak Beye langsung
dihantam tsunami (sungguhan, bukan istilah catur),
posisinya tentu saja menjadi sulit. Tapi itu tak
membuat Pak Beye memainkan pembukaan yang
kacau, dia bersetia pada taktiknya, membangun
formasi andalannya dengan sabar, meski tidak

122
Arlian Buana

mudah, lalu mengamankan posisinya di DPR dengan


mencaplok semua kotak kuning.
Dan Pak Beye ternyata memang pecatur
andal. Ia licin di middlegame (masih ingat strategi
menurunkan harga BBM, mengorbankan menteri
lama dan mempromosikan satu bidak untuk jadi
ratu baru, “Katakan tidak pada korupsi”, “Terima kasih,
Pak SBY”, dan “Lanjutkan!”?) dan lincah di endgame
(mengorbankan beberapa perwira terdepannya
yang menghalangi ruang tembak pasukan di
belakang, tentu dengan pertukaran yang tidak terlalu
merugikan, lalu sesegera mungkin membawa raja ke
tengah papan).
Lah, Jokowi?
Di sini lawan-lawan Jokowi punya kesempatan
baik untuk mengalahkan atau setidaknya
mengimbanginya. Tapi apa yang dilakukan kubu
seberang terhadap Jokowi selama ini? Cuma iseng-
iseng gak mutu, seperti yang terakhir meribut-
ributkan kesalahan penyebutan kota kelahiran Bung
Karno, berputar-putar pada isu Jokowi tidak Islam,
segala Jokowi minum dengan tangan kiri dibesar-
besarkan.
Apa yang Anda harapkan dari situ? Kelahiran
pemimpin yang jago menghafal? Terbitnya pemimpin
yang minum selalu duduk dan menggunakan tangan
kanan?
Anda barangkali bisa berargumen bahwa perilaku

123
Merry Christmas, Felix Siauw!

besar seorang pemimpin tercermin dari hal-hal kecil


yang dilakukannya. Ya, boleh jadi begitu. Tapi masih
banyak yang jauh lebih mengundang maslahat
daripada meribut-ributkan hal-hal sesepele itu. Anda
bisa menghantam kebijakan-kebijakan ekonominya,
misalnya.
Apa yang kita dapatkan dari hestek
#SudahlahJokowi dan #SudahiJokowi? Selain olok-
olok, saya tidak melihat sesuatu yang istimewa.
Saya tidak menemukan kritik tajam atas kebijakan
administrasi Jokowi, kecuali hujatan dan rundungan
slapstik.
Sebagai awam di bidang kebijakan publik,
saya sangat mengharapkan wawasan-wawasan
mencerahkan dari kelompok opisisi mengenai cara
pengelolaan negara. Sebagai orang biasa, saya ingin
sekali melihat oposisi yang kuat dalam memainkan
peran check and balances.
Dan pada gilirannya, dari oposisi yang tangguh
itu, kita bisa berharap lahirnya pemimpin yang lebih
hebat daripada Jokowi. Begitulah yang seharusnya
terjadi di negara dengan demokrasi yang matang,
pemimpin baru datang mengoreksi pemimpin lama.
Koreksi yang bukan sekadar tak pernah lagi selip lidah
dan selalu minum pakai tangan kanan—kalau begini
doang sih, anak TK juga bisa nyalon presiden.
Bukankah Jokowi lahir dari oposan yang kuat dan
selalu bersuara keras melawan kebijkan-kebijakan

124
Arlian Buana

SBY? Dan Jokowi muncul ke permukaan dengan


gayanya yang gesit, tangkas, dan mengakar sebab
Pak Beye dianggap plin-plan, tidak pernah bisa
menyelesaikan masalah sampai ke akar-akarnya,
penuh lipstik pencitraan dan lebih suka bikin
album sebagai musisi karbitan daripada legasi atau
mahakarya sebagai negarawan.
Dengan alur demikian pula saya berharap akan
terbitnya pemimpin baru yang lebih mantap daripada
Jokowi. Tapi jika kualitas oposisi terus-menerus
seperti ini, saya kira saya harus siap-siap menelan
ludah dan gigit jari.
Jika kehidupan bernegara kita dalam empat
tahun ke depan masih saja didefinisikan dengan
pembelahan antara Jokower dan Prabower,
saya pesimis akan ada terobosan baik dari kubu
pemenang pemilu maupun yang kalah. Karena
sejauh ini, dengan pembagian dua kubu tersebut,
yang kita saksikan hanyalah propaganda-propaganda
khas pilpres, bukan kehidupan bernegara yang sehat
dengan pemerintah yang bekerja dengan baik dan
oposisi yang mengkritisi langkah-langkah penguasa
dengan elegan.
Atau gegap-gempita dengan tagar
#SudahiJokowi itu memang serius ingin
menjungkalkan Jokowi dari kursi caturnya? Yakin,
bisa? Kayak 20 Mei tempo hari? Oh, seandainya
memang bisa, alih-alih kubu seberang yang nanti
bersorak, seluruh rakyat Indonesia apalagi (jauh

125
Merry Christmas, Felix Siauw!

panggang dari api), justru para pengerikit kekuasaan


di sekitar Jokowi itu yang akan berpesta-pora.
Hati-hati, GM Jokowi, kalau hanya memainkan
satu langkah acak, dua langkah lagi Anda bisa kena
family fork.

126
Merry Christmas,
Felix Siauw

Tersebutlah kisah seorang ustadz bernama Felix


Siauw, pujaan remaja Islam di negeri entah-berantah.
Jangan persoalkan namanya yang tidak terkesan
islami atau kearab-araban, karena pengetahuannya
sangat mumpuni untuk menjadi kyai televisi. Jangan
pula hubungkan ia dengan Juan Felix Tampubolon,
pengacara keluarga cendana kenamaan.
Di negeri entah-berantah, perkara mengucapkan
selamat natal jauh lebih besar ketimbang kemajuan
ilmu pengetahuan. Boleh-tidaknya seorang muslim
mengucapkan selamat natal diperdebatkan dengan
leher lebih menegang daripada urusan sistem
pendidikan. Pemicunya tahun ini, ulah beberapa
orang di majelis ulamanya yang melarang ucapan
selamat natal. Dan penguatnya adalah ustadz-ustadz
seperti Felix Siauw, ustadz generasi baru yang tertawa
dengan “wkwkwk” di media sosial, ustadz gaul,
pejuang khilafah islamiyah.

127
Merry Christmas, Felix Siauw!

Perdebatan ini sebenarnya perdebatan klasik,


-menjurus klise- di negara entah berantah. Tapi ya
mereka yang duduk di majelis ulama, dan spesies
Felix Siauw itu seringkali iseng untuk membesar-
besarkannnya. Cenderung usil.
Sebelum memasuki perdebatan teologis yang
mengerutkan dahi, ada baiknya persoalan ini
lebih dulu didekati dengan kacamata kehidupan
sehari-hari. Kehidupan yang dihayati orang-orang
entah-berantah, hidup berdampingan antar-
pemeluk agama. Jika satu orang merayakan lebaran
agamanya, penganut agama lain ikut senang dengan
mengucapkan selamat, kadang-kadang dengan
bonus jamuan khusus. Indah dan menggembirakan.
Pertemanan semakin rekat, perbedaan keyakinan
sama-sekali tidak merusak hubungan sosial.
Kecurigaan dan kebencian sirna.
Tiba-tiba datanglah larangan itu. Tersebarlah
seruan Felix Siauw itu. Banyak orang lalu takut hanya
untuk sekadar mengucapkan selamat. Seakan-akan
ucapan selamat itu dosanya lebih besar daripada
korupsi. Tentu banyak yang acuh, namun implikasinya
jelas: konfrontasi, bukan dialog; cibiran atau minimal
pandangan sinis, bukan toleransi.
Negeri entah-berantah adalah negeri yang subur.
Sejak ribuan tahun lalu, beraneka keyakinan dan
ajaran masuk, diterima, ditolak, disesuaikan atau
berkembang. Bahkan yang menebar permusuhan
dan kebencian pun bisa hidup. Begitu pula ajaran

128
129
Merry Christmas, Felix Siauw!

Felix. Tidak sedikit anak muda yang manggut-


manggut atas hujjah-nya.
Menurut Felix, mengucapkan selamat natal sama
dengan mengiyakan Yesus sebagai Tuhan, seperti
yang diyakini umat kristiani. Ini perkara akidah,
katanya. Dalam Islam, Isa atau Yesus selamanya
adalah seorang nabi, ulul azmi, nabi yang utama,
tidak boleh dinaikkan pangkatnya menyatu dengan
entitas (ke)Tuhan(an). Maka menurutnya, memberi
selamat atas kelahirannya, seperti yang dirayakan
pemeluk kristen, berpotensi menggeser akidah
seorang muslim. Mengucapkan selamat dianggap
murtad, seperti sudah dibaptis. Haram hukumnya.
Tapi bagaimana mungkin? Seorang mahasiswa
tingkat akhir yang mengucapkan selamat wisuda
kepada kawannya apakah otomatis ia juga telah
diwisuda? Enak sekali. Mengucapkan selamat
hari lahir Ratu Inggris, kepada kawan Inggris atau
langsung kepada Ratu, tidak serta merta menjadikan
kita warga negara Inggris atau pengikut Sang
Ratu. Atau, karena natal bersifat perayaan, seorang
pendukung Chelsea yang mengucapkan selamat
merayakan kemenangan Liverpool tidak otomatis
menjadi Liverpudlian.
Prof. Quraish Shihab tak urung angkat bicara.
Dalam artikelnya, Selamat Natal dalam Al-quran,
beliau memaparkan dengan jernih, kelahiran
Isa dalam Al-quran bahkan memang diberkati.
Umat Islam, yang memuliakannya sebagai nabi,

130
Arlian Buana

bahkan dianjurkan mengirim ucapan selamat.


Soal akidah, panjang lebar Quraish menjelaskan,
dengan kesimpulan: “Tidak juga salah mereka
yang membolehkannya (mengucapkan selamat
natal), selama pengucapnya bersikap arif bijaksana
dan tetap terpelihara akidahnya, lebih-lebih jika
hal tersebut merupakan tuntunan keharmonisan
hubungan.”

Karena terus-menerus mencela orang-orang


MUI dan Felix, saya sempat dituduh mengharuskan
ucapan selamat natal. Sesat pikir lain yang harus
dihadapi.
Saya punya seorang kawan yang dalam hidupnya
tidak pernah punya teman kristen. Kawan ini tentu
saja tak perlu dan tak harus mencari-cari teman
kristen untuk mengucapkan selamat. Tentu ada
jutaan orang lainnya seperti kawan ini. Tapi karena
kesal, saya jawab saja; karena orang-orang MUI bilang
haram, maka mengucapkan selamat natal menjadi
harus. Ini soal pergaulan sosial. Ini soal kerukunan,
keutuhan kita sebagai bangsa. Pemahaman-
pemahaman yang, betatapun kecil potensinya,
meruncingkan perbedaan keyakinan, hanya akan
menyuburkan kebencian. Dan orang-orang yang
melakukan tindak kekerasan tidak bertanggung
jawab akan memiliki cukup pembenaran.

131
Merry Christmas, Felix Siauw!

Lihatlah, berapa gereja yang pernah dibom saat


perayaan natal. Lihat pula bagaimana jemaat GKI
Yasmin dan HKBP Philadelphia tak bisa merayakan
natal di gereja mereka yang sah karena disegel orang-
orang yang tidak bertanggung jawab. Sebelum bicara
pemerintah yang lalai, apakah MUI atau Felix Siauw
peduli? Mungkin mereka hanya akan peduli jika suatu
saat nanti umat Islam tak bisa merayakan idul fitri.
Di belahan bumi lain, Presiden Palestina,
Mahmoud Abbas, tidak hanya mengucapkan selamat
natal, bahkan ikut menghadiri misa di Bethlehem.
Saya hanya bisa membayangkan, bagaimana
perasaan Felix Siauw. Felix yang seringkali bersuara
lantang membela Palestina, harus melihat pemimpin
Palestina berbeda pendapat tajam dengannya.
Semoga dia tidak patah hati dan tak pernah lelah
membela kemanusiaan. Semoga Felix tetap bisa
tertawa dengan “wkwkwk” dan selamanya yakin,
solusi setiap masalah anak Adam adalah Khilafah
Islamiyah.
Salam sejahtera semoga tercurah kepada Isa, pada
hari Natalnya, hari wafat dan hari kebangkitannya
nanti. Selamat Natal, MUI... Selamat Natal, Felix Siauw.

132
Senarai Ulah
Felix Siauw

Felix Siauw kembali bikin ulah. Stok ulahnya seolah tak


habis-habis. Atau jangan-jangan Felix adalah ulah itu
sendiri?

Sebagai seseorang yang konon ustadz, ahli


agama, Siauw tidak seperti kebanyakan ahli agama
lainnya yang menebarkan kesejukan kepada semua
orang, menjadi rahmat bagi semesta alam. Siauw
lebih memilih jalan keributan. Alih-alih berdakwah
mengajak berakhlakul karimah, Siauw justru
menggunakan cara-cara ofensif, konfrontasi, dalam
banyak ceramahnya.
Lebih banyak kata jangan dalam dakwahnya
daripada ajakan. Lebih banyak perintah dan larangan
daripada pemberian contoh dan tauladan. Siauw
seperti lebih berniat mengajak perang daripada
menguraikan pemahaman mendalam. Ia lebih suka
meradang-menerjang daripada berkasih-sayang.

133
Merry Christmas, Felix Siauw!

Contoh larangan Siauw yang terkenal adalah


larangan mengucapkan selamat natal. Tidak perlu
dibahas panjang lebar lagi, jelas-jelas ia larangan
yang hanya menggarami curiga, lalu kebencian,
lalu permusuhan, di negeri yang masih memupuk
kebhinnekaan ini. Bukannya bergaul dengan sesama
anak-bangsa dengan mau’izhah hasanah.
Perintah Siauw yang terkenal, “Udah Putusin
Aja!” kepada anak muda yang berpacaran, bisa
saja gagasannya diterima dengan baik apabila
disampaikan dengan pemaparan yang halus, dengan
simpatik, bahwa menyegerakan pernikahan lebih
indah bagi pasangan yang berpacaran. Bukan dengan
antipati dengan menyuruh mereka putus. Tapi Felix
memilih cara terakhir, cara menyerang.
Belum lagi ketika pemerintah berencana
menaikkan harga Bahan Bakar Minyak. Bagai pakar
ekonomi yang paling pakar, Siauw ikut-ikutan angkat
bicara, berteriak lantang menolak. Saya sendiri tidak
setuju dengan kebijakan pemerintah itu, tapi saya
bukan ahli ekonomi sehingga hanya bisa bersetuju
dan meyakini argumen para pakar yang menolak.
Saya pun kemudian berharap pada argumennya
agar membuat saya semakin yakin. Tapi apa daya,
argumennya ternyata membuat saya menangis. Saya
akui saya salah telah berharap.
Menurut Siauw, pemerintah menaikkan harga
minyak lantaran menganut paham liberal dan
tunduk pada kafir IMF. Jika saja, jika saja, pemerintah

134
Arlian Buana

meyakini Islam sebagai sebagai paham, sebagai


ideologi, tentu minyak akan gratis bagi seluruh rakyat
Indonesia. Karena minyak di Indonesia adalah milik
seluruh rakyat Indonesia, maka setiap rakyat berhak
membeli minyak dengan harga Rp. 0. Seakan-akan
galon minyak tinggal petik saja seperti mangga
tetangga. Saya harap Anda tidak turut menangis
mendengarnya.

Kali ini Siauw bikin geger banyak cewek. Mereka


protes atas tausiah-nya. Sebab dia menganjurkan
agar perempuan bermanja-manjaan dan bersikap
kenakak-kanakan sahaja. Tidak baik bagi cewek-
cewek untuk menjadi mandiri, kuat, dan tidak
bergantung pada orang lain.
“Ya udah, itu pilihanmu, (menjadi wanita kuat,
mandiri dan independen) jarang lelaki yang mau
wanita seserem itu,” tulisnya di akun twitter
@felixsiauw.
Seenak jidat Siauw memberi stempel “serem”
bagi perempuan yang mandiri dan kuat. Seakan-
akan menjadi wanita hebat itu dosanya lebih
menakutkan daripada membunuh. Seenak jidat
pula ia memayoritaskan spesiesnya yang menyukai
perempuan lemah dan punya ketergantungan
tinggi pada orang lain. Sebagian besar teman saya
malah tidak menyukai perempuan menye-menye

135
Merry Christmas, Felix Siauw!

yang diidealkan Felix, meskipun tidak memaksa


perempuan harus begini tak boleh begitu. Perkara
suka tidak suka belaka.
Siauw sepertinya luput membaca sejarah dan
kurang lengkap memahami intisari ajaran Islam. Jelas-
jelas bahwa Khadijah yang dicontohkannya sebagai
perempuan surga adalah seorang saudagar yang
mandiri, kuat dan tidak bergantung pada orang lain.
Dalam sekali ayun, dia yang berniat memukul orang
lain tapi bogemnya jatuh ke mukanya sendiri. Bunuh
diri. Ada juga Aisyah, wanita cantik jelita berawajah
kemerah-merahan yang sangat dicintai Rasulullah,
yang begitu gagah perkasa memimpin pasukan
dalam Perang Jamal. Lupakah dia tentang dua
perempuan hebat itu?
Sudah terang bahwa Nabi Muhammad—yang
saya percaya diidolakan juga oleh Felix—memuliakan
kaum perempuan. Di masa pra-Nabi, kaum wanita
dianggap lemah dan hanya menjadi beban bagi suku
Quraisy sampai-sampai setiap bayi perempuan yang
lahir dibunuh-bunuhi. Setelah Muhammad datang,
derajat kaum perempuan ditinggikan. Peran mereka
dalam mengasuh anak dimuliakan tiada bandingan
dan peran di dalam masyarakat tiada dihalangi.
Mengapa pula Felix datang dengan pola pikir yang
meremehkan dan melemahkan perempuan seperti di
jaman Jahiliyah?
Pilihan materi dakwah Siauw sungguh kurang
bijak. Berani-beraninya dia merendahkan wanita

136
Arlian Buana

modern, wanita masa kini yang berpendidikan, yang


berkesempatan karya dan kerja yang sama dengan
pria. Berani-beraninya dia menyerang ibu-ibu setelah
Indonesia menelurkan seorang presiden yang ibu-ibu.
Tak urung cewek-cewek yang mulai merintis
karier untuk menjadi perempuan independen
mencak-mencak. Tak urung ibu-ibu yang sama-sekali
tidak tergantung pendapatan suaminya menjadi
panas kupingnya. Bagi mereka, menjadi wanita
adalah berbagi peran dan tugas dengan pria. Bukan
meringkuk di bawah ketiak suami.
Belum lagi bila mencermati hadits yang dikutip
Siauw, ada satu ciri wanita penghuni surga:
bermanfaat bagi suami. Wanita mandiri, kuat dan
independen tentu saja memberikan manfaat lebih
banyak bagi suaminya ketimbang wanita lemah
dan serba-tergantung. Ciri ini dengan sendirinya
menggugurkan klaim wanita ideal versi Siauw.
Tak cukup sampai disitu, Siauw kemudian
mencoba membela diri atas apa yang dituliskannya.
Bukannya berbaik-baik, dia malah menuduh orang-
orang yang mengoreksi dan mengkritiknya benci
akut terhadap Islam atau kelompok feminis liberal.
Bukannya membuka mata, dia justru menebalkan
jarak dan menegaskan batas: Islam dan bukan Islam,
seolah-olah Islam itu dirinya sendiri.
Di bagian akhir klarifikasinya, Siauw menyatakan;
“Bukan berarti kritik dan sarannya saya nggak
terima. Insya Allah semua diapresiasi, dijadikan

137
Merry Christmas, Felix Siauw!

masukan untuk ke depan lebih baik.” Lihatlah, untuk


mengapresiasi masukan saja dia masih butuh Insya
Allah. Seakan-akan terdapat kemungkinan yang
kelak menghalanginya dalam berapresiasi. Betapa
salehnya dia.
Insya Allah itu dipakai, misalnya, kalau kamu
berjanji akan menghadiri pertemuan, karena kita
tidak pernah tahu akan datangnya suatu halangan.
Kalau mau apresiasi ya langsung apresiasi saja,
kenapa butuh Insya Allah?
Catatan ulah Felix bisa jadi lebih panjang. Sayang
karena keterbatasan pengamatan, daftar ini hanya
sebegini. Apabila ada yang ingin menambahkan
tentu akan menjadi masukan yang sangat berarti.

Tapi jangan buru-buru salah sangka. Tidak


semua orang mengkritik Siauw. Muda-mudi yang
manggut-manggut saja mendengar apa yang keluar
dari mulutnya banyak juga. Tidak sedikit yang
membelanya dalam hal ucapan selamat natal. Bukan
sedikit lelaki yang batok kepalanya berisi perempuan
harus begini perempuan tak boleh begitu sedemikian
kaku. Tidak kurang pula yang berteriak sama
dengannnya mengenai keharusan asas Islam bagi
Indonesia, dus memperjuangkan khilafah Islamiyah.
Entah berapa pasangan yang manut perintahnya
untuk putus. Belum ada rilis survei LSI mengenai itu.

138
Arlian Buana

Seperti yang pernah saya perkirakan, ilmu Felix


memang cukup memadai untuk menghantarkannya
menjadi kyai televisi. Panggilan tampil di televisi
mulai berdatangan. Terakhir saya lihat dia ada di
Bukan Empat Mata yang membuatnya terlihat jauh
lebih lucu daripada Tukul. Dan oh, mimpi apa dia
semalam hingga bisa duduk berdekatan dengan Olla
Ramlan dan Angel Lelga. Sebentar lagi, Siauw akan
menjadi ustadz kondang yang mukanya saban hari
mondar-mandir di televisi.
Tapi tahukah para pelaku pertelevisian Indonesia,
betapa berbahayanya sikap intoleran Felix dan
perjuangan khilafah Islamiyah itu bagi keutuhan
NKRI? Barangkali hanya demokrasi Indonesia yang
membiarkan unsur yang potensial membunuh
demokrasi untuk hidup bebas. Sementara TVRI,
televisi milik negara itu, telah membuka lebar-lebar
pintunya agar Felix dapat unjuk gigi. Bahkan TVRI
sendiri pula yang menyiarkan secara langsung
perayaan besar-besaran Hizbut Tahrir di Senayan.
Tahukah Olla dan Lelga bagaimana pandangan
Siauw mengenai perempuan? Semoga Diandra
Paramitha Sastrowardoyo dijauhkan darinya.
Semoga keusilan Felix terhadap kaum perempuan itu
merupakan ulahnya yang terakhir. Semoga dia ingat
pesan orang tua: daripada bikin ulah lebih baik main
gundu. Amin.

139
Arlian Buana
www.arlianbuana.com

Arlian Buana @arlianbuana

arlianbuana bana@mojok.co
Merry Christmas, Felix Siauw!

142

Anda mungkin juga menyukai