Anda di halaman 1dari 12

KEBIJAKAN PERTANIAN 30 TAHUN TERAKHIR

PAPER
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Wawasan Agribisnis
Agribisnis Program Studi Agribisnis
Fakultas Pertanian Universitas Jember

Dosen Pengampu
Ebban Bagus Kuntadi, SP., M.Sc.

Oleh
Ilham Budi Susilo ( 151510501037)

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016
PENDAHULUAN
Pertanian merupakan sektor yang sangat strategis dalam perekonomian
nasional, khususnya dalam penyediaan kecukupan pangan, perluasan lapangan
kerja dan lapangan berusaha, pengentasan kemiskinan, serta peningkatan produk
domestik bruto dan pendapatan petani.
Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk dapat
mempertahankan hidup dan karenanya kecukupan pangan bagi setiap orang
setiap waktu merupakan hak azasi yang layak dipenuhi. Berdasar kenyataan
tersebut masalah pemenuhan kebutuhan pangan bagi seluruh penduduk setiap
saat di suatu wilayah menjadi sasaran utama kebijakan pangan bagi
pemerintahan suatu negara. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk
yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi
kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu kebijakan (pemantapan)
ketahanan pangan menjadi isu sentral dalam pembangunan serta merupakan
fokus utama dalam pembangunan pertanian. Peningkatan kebutuhan pangan
seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan kesempatan kerja
bagi penduduk guna memperoleh pendapatan yang layak agar akses terhadap
pangan merupakan dua komponen utama dalam perwujudan ketahanan pangan.
Kebijakan pemantapan ketahanan pangan dalam hal ini termasuk di dalamnya
adalah terwujudnya stabilitas pangan nasional.
Permasalahan utama dalam mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia
saat ini terkait dengan adanya fakta bahwa pertumbuhan permintaan pangan
yang lebih cepat dari pertumbuhan penyediaannya. Permintaan yang meningkat
cepat tersebut merupakan resultante dari peningkatan jumlah penduduk,
pertumbuhan ekonomi, peningkatan daya beli masyarakat dan perubahan selera.
Sementara itu kapasitas produksi pangan nasional pertumbuhannya lambat
bahkan stagnan disebabkan oleh adanya kompetisi dalam pemanfaatan
sumberdaya lahan dan air serta stagnannya pertumbuhan produktivitas lahan
dan tenaga kerja pertanian. Ketidakseimbangan pertumbuhan permintaan dan
pertumbuhan kapasitas produksi nasional tersebut mengakibatkan adanya
kecenderungan meningkatnya penyediaan pangan nasional yang berasal dari
impor.Ketergantungan terhadap pangan impor ini terkait dengan upaya
mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.

KEBIJAKAN
1. Swasembada Beras
Kebijakan mengenai Swasembada Beras ini memang menjadi
kebijakan utama pada masa pemerintahan Orde Baru. Hal ini terlihat dari
kebijakan pembangunan lima tahun yang bertumpu pada sektor pertanian.
Berbeda dengan kebijakan- kebijakan tentang pangan pada periode sebelumnya,
kebijakan Swasembada beras yang digulirkan oleh pemerintahan orde baru
tergolong sukses. Hal ini dapat dibuktikan dengan berhasilnya Indonesa mencapai
swasembada beras pada tahun 1984. Karena keberhasilan ini, presiden Soeharto
dianugrahi penghargaan oleh FAO pada tahun 1986 (Angreini, 2013).
2. Revolusi Hijau
Pemerintah fokus pada tujuan peningkatan produktivitas dan produksi
tanaman pangan khususnya padi untuk memenuhi kebutuhan pangan
penduduknya yang terus naik, kebijakan yang diambi untuk mencapai tujuan itu
adalah melalui pembangunan pertanian atau yang terkenal dengan nama revolusi
hijau. Seiring dengan itu, penyuluhan pertanian juga ikut berubah. Jika semula
penyuluhan ditekankan pada bimbingan kepada petani dalam berusahatani yang
lebih baik, berubah menjadi tekanan pada alih teknologi yakni mengusahakan
agar petani mampu meningkatkan produktivitas dan produksinya terutama padi.
Akibatnya petani menjadi tergantung, tidak mandiri dan kelembagaan lokal
banyak yang kurang berfungsi atau bahkan hilang.
Dalam rangka peningkatan produksi pertanian khususnya beras untuk
memenuhi kebutuhan pangan penduduknya yang terus meningkat, pembanguan
pertanian sejak tahun 1960-an mengintroduksikan berbagai program. Berbagai
program telah dilaksanakan mulai dari Demonstrasi Massal Swasembada Beras
(Demas SSB), Bimbingan Massal (Bimas), Intensifikasi Khusus (Insus), Supra Insus
dan sebagainya. Melalui berbagai program tersebut, diintroduksikan berbagai
teknologi pertanian modern (benih unggul, pupuk buatan, irigasi dan lain-lain)
dan ditumbuhkan kesatuan petani untuk bercocok tanam secara baik dan
bergabung dalam kelompok tani untuk mempermudah komunikasi antar petani
dan pembinaannya (Sardono, 2008).
Upaya tersebut dipacu oleh kebutuhan nasional untuk meningkatkan
produksi, yaitu padi agar dapat berswasembada beras. Kebutuhan peningkatan
produksi padi ketika itu besar sekali. Peningkatan ini selain dipicu oleh
pertumbuhan jumlah penduduk, juga disebabkan karena meningkatnya
kesejahteraan masyarakat yang menyebabkan kebutuhan beras per kapita per
tahun juga meningkat. Keadaan ini lebih mendesak lagi dengan berubahnya pola
makanan pokok penduduk di berbagai daerah, yang asalnya bukan beras menjadi
beras seiring dengan meningkatnya kesejahteraan mereka.
Seiring dengan kondisi di atas, penyuluhan pertanian juga ikut berubah.
Jika semula menekankan pada bimbingan kepada petani dalam berusahatani
yang baik, berubah menjadi tekanan pada alih tehnologi, yakni mengusahakan
agar petani mampu meningkatkan produktivitas dan produksinya, dan
menekankan pada tercapainya target produksi padi, baik target nasional, daerah
maupun lokal. Program tersebut dikenal dengan “revolusi hijau” dan telah
mampu menghantarkan Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun
1984. Hal ini merupakan prestasi besar karena Indonesia dikenal sebagai
pengimpor beras terbesar di dunia pada tahun 1984 yang mencapai lebih dari
satu juta ton. Kemudian setelah era orde baru berakhir munculah istilah orde
reformasi. Orde ini dimulai setelah turunya presiden dan krisis moneter yang
terjadi pada tahun 1998.
3. Penyuluh Pertanian
Desakan untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduknya yang
terus berkembang telah menyadarkan berbagai negara berusaha untuk
meningkatkan produksi pangannya. Oleh karena itu, teknologi pertanian yang
lebih baik terus dikembangkan dan diintroduksikan kepada petani agar petani
mau menerapkan teknologi tersebut dan produksi pangan meningkat. Kegiatan
menyebarkan informasi/teknologi pertanian tersebut, dikenal dengan
penyuluhan pertanian (agricultural extension). Penyuluhan pertanian
didefinisikan sebagai suatu sistem pendidikan di luar sekolah (nonformal) untuk
para petani dan keluarganya dengan tujuan agar mereka tahu, mau, mampu, dan
berswadaya mengatasi masalahnya secara baik dan memuaskan dan meningkat
kesejahteraannya.
Menurut Kusmiyati (2010), penyuluh pertanian berkedudukan sebagai
pelaksana teknis fungsionalpenyuluhan pertanian pada instansi pemerintah di
tingkat Pusat maupun Daerah. Penyuluh pertanian yang dimaksud hanya dapat
diduduki oleh seorang yang telah berstatus PNS. Tugas pokok penyuluh pertanian
adalah menyuluh, selanjutnya dalam menyuluh dapat dibagi menjadi,
menyiapkan, melaksanakan, mengembangkan, mengevaluasi dan melaporkan
kegiatan penyuluhan.
SDM aparat pertanian yang langsung berhubungan dengan pembangunan
sektor pertanian adalah aparat fungsional antara lain penyuluh pertanian.
Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang SP3K, peranan
penyuluh pertanian menjadi semakin strategis dalam memfasilitasi proses
pemberdayaan petani dan keluarganya. Dalam UU No. 16/2006 disebutkan
bahwa penyuluh adalah perorangan, WNI dapat berupa PNS, penyuluh swasta
dan penyuluh swadaya. Sedangkan Permen PAN No. 2/2008 menegaskan
penyuluh pertanian adalah jabatan fungsional yang memiliki ruang lingkup tugas
dan tanggung jawab dan wewenang penyuluhan pertanian yang diduduki oleh
PNS yang diberi hak serta kewajiban secara penuh oleh pejabat yang berwenang.
Menurut Suseno (2007), lembaga-lembaga baru di bidang pertanian
dibentuk oleh pemerintah, tidak terlepas dari orientasi pembangunan Orde Baru
yang menempatkan pangan tidak sekedar sebagai komoditi ekonomi, tetapi lebih
dari itu sebagai komoditi politik, oleh karena itu pemerintah juga melakukan
intervensi secara terbuka terhadap sektor produksi dan distribusi pangan.
Pembentukan penyuluh pertanian memberikan peluang yang baik terhadap
peningkatan kualitas petani. Selain itu adanya penyuluh akan dapat membantu
meningkatkan pengetahuan petani sehingga mampu meningkatkan kegiatan
pertanian dan menghasilkan produksi pertanian yang meningkat.
Kontribusi penting penyuluhan pertanian untuk meningkatkan
pembangunan pertanian dan peningkatan produksi pangan telah menyebabkan
cepatnya perkembangan minat orang dalam penyuluhan selama beberapa
dekade terakhir. Beberapa negara telah berhasil memajukan pertaniannya yang
memungkinkan kebutuhan pangan penduduknya terpenuhi dan pendapatan
petani meningkat.
4. Ketahanan Pangan Nasional
Secara umum kebijakan (pemantapan) ketahanan pangan nasional yang
dirumuskan adalah terkait dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan
sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Pangan tahun 1996 yang
ditindak lanjuti dengan Peraturan Pemerintah No 68 tahun 2001. Kebijakan yang
dirumuskan diselaraskan dengan isu global yang disepakati dalam Pertemuan
Puncak Pangan Dunia tahun 2002 (World Food Summit- five years later : WFS -
fyl) yaitu mencapai ketahanan pangan bagi setiap orang dan mengikis kelaparan
di seluruh dunia. Untuk melaksanakan tugas tersebut, diterbitkan Keputusan
Presiden (Keppres) RI Nomor 132 Tahun 2001 tanggal 31 Desember tentang
Dewan Ketahanan Pangan (DKP). Tugas DKP sesuai Keppres adalah (1)
merumuskan kebijakan di bidang ketahanan pangan nasional yang meliputi aspek
ketersediaan, distribusi, dan konsumsi serta mutu, gizi, dan keamanan pangan;
dan (2) melaksanakan evaluasi dan pengendalian pemantapan ketahanan pangan
nasional.
Menurut Suryana (2005), beberapa kebijakan yang terkait langsung
maupun tidak langsung dengan upaya mewujudkan stabilitas (ketersediaan)
pangan nasional adalah (1) kebijakan dan strategi diversifikasi pangan di
Indonesia serta program aksi diversifikasi pangan, (2) di bidang perberasan:
kebijakan harga dasar pembelian pemerintah (HDPP) dan tarif impor, (3)
kemandirian pangan, dan (4) kebijakan (pangan) transgenik.
Beberapa upaya percepatan diversifikasi pangan dalam jangka pendek
adalah (a) internalisasi, sosialisasi, promosi dan publikasi rencana aksi
diversifikasi pangan; (b) peningkatan ketersediaan pangan berbasis pada potensi
sumberdaya wilayah yang berwawasan lingkungan; (c) peningkatan kemampuan
dan kapasitas sumberdaya manusia dalam pengembangan diversifikasi
roduktivitas; (d) pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan diversifikasi
pangan: (e) peningkatan akses pangan dalam pemantapan ketahanan pangan
keluarga; (f) pengembangan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi; dan (g)
pemantauan kegiatan diversifikasi pangan dalam pemantapan ketahanan pangan.
Pelaksanaan Inpres No 9 Tahun 2001 dinilai cukup efektif dalam
meningkatkan ekonomi beras nasional tahun 2002, karena diikuti dengan
penetapan tariff dalam melindungi harga beras dalam negeri, pembelian gabah
dalam negeri oleh pemerintah, dan penyaluran beras untuk masyarakat miskin.
Penetapan Inpres No 2 Tahun 2005 tentang Penetapan Kebijakan Perberasan
sebagai pengganti Inpres No 9 Tahun 2001 dan Inpres No 9 Tahun 2002
menunjukkan arah kebijakan perberasan nasional yang komprehensif yaitu
tentang upaya-upaya (a) peningkatan produktivitas dan produksi padi/beras; (b)
pengembangan diversifikasi usaha pertanian; (c) penetapan kebijakan harga
gabah/beras; (d) penetapan kebijakan impor beras yang melindungi produsen
dan konsumen; serta (e) pemberian jaminan penyediaan beras/pangan lain bagi
kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan.
Beberapa kebijakan yang terkait dengan upaya untuk mewujudkan
kemandirian pangan antara lain adalah; (a) kebijakan yang mempunyai dampak
sangat positif dalam jangka pendek, yakni subsidi input dan peningkatan harga
output dan perdagangan pangan termasuk intervensi distribusi; (b) kebijakan
yang sangat positif untuk jangka panjang, yakni perubahan
teknologi,ekstensifikasi, jaring pengaman ketahanan pangan, investasi
infrastruktur, serta kebijaksanaan makro, pendidikan, dan kesehatan; (c)
kebijakan yang mendorong pertumbuhan penyediaan produksi di dalam negeri
yakni (1) perbaikan mutu intensifikasi, perluasan areal, perbaikan jaringan irigasi,
penyediaan sarana produksi yang terjangkau oleh petani, pemberian insentif
produksi melalui penerapan kebijakan harga input dan harga output, (2)
pengembangan teknologi panen dan pasca panen untuk menekan kehilangan
hasil, dan (3) pengembangan varietas tipe baru dengan produktivitas tinggi untuk
komoditas yang memiliki prospek pasar baik.
Perkembangan pemanfaatan teknologi modern rekayasa genetika melalui
rekombinasi DNA telah menghasilkan Produk Biologi Hasil Rekayasa Genetika
(PBHRG), baik tanaman transgenik untuk meningkatkan produksi pertanian
maupun produk pangan dan produk pakan dari tanaman transgenik yang lebih
berkualitas. Dalam hal ini posisi pemerintah terhadap PBHRG adalah Pemerintah
bersikap pro (menerima) pengembangan dan pemanfaatan produk transgenik
disertai penerapan prinsip sikap kehati-hatian.
7. Asuransi Pertanian dan Kredit Pertanian
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan
emberdayaan Petani telah mengamanatkan bahwa negara harus memberikan
perlindungan dan pemberdayaan kepada petani secara terencana, terarah, dan
berkelanjutan. Selain itu kondisi lingkungan petani yang terjadi saat ini seperti
meningkatnya perubahan iklim, kerentanan bencana alam, globalisasi dan gejolak
ekonomi global, serta sistem pasar yang tidak berpihak kepada petani memang
membuat petani membutuhkan perlindungan dan pemberdayaan (Setiawan dan
Damayanty).
Salah satu hal baru dalam UU tersebut adalah mengenai asuransi
pertanian. Negara dalam hal ini Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
diamanatkan untuk memberikan fasilitas asuransi pertanian kepada para petani.
Fasilitas tersebut adalah antara lain dengan menunjuk BUMN/BUMD untuk
melaksanakan asuransi pertanian, memberikan kemudahan pendaftaran bagi
petani untuk menjadi peserta asuransi, kemudahan akses terhadap perusahaan
asuransi, sosialisasi program asuransi terhadap petani dan perusahaan asuransi,
serta memberikan bantuan pembayaran premi.
Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (P3) ternyata
telah menyatakan dengan tegas dalam pasal-pasalnya bahwa untuk urusan
asuransi pertanian, pemerintah baik pusat maupun daerah berkewajiban untuk
memberikan fasilitas pemberian bantuan premi. Selain itu pemerintah juga diberi
kewenangan untuk menunjuk BUMN atau pun BUMD sebagai pelaksana asuransi
pertanian. Dengan demikian dalam skema asuransi pertanian ini pemerintah
diamanatkan oleh UU P3 untuk bertindak sebagai pemberi subsidi pembayaran
premi. Selain bertindak sebagai pemberi subsidi pembayaran premi asuransi
pertanian, UU PPP juga secara khusus mengamanatkan kepada pemerintah baik
pusat maupun daerah untuk turut serta berperan sebagai “perusahaan asuransi”
dalam hal apabila terjadi gagal
panen akibat kejadian luar biasa. Sehingga dalam kasus terjadi gagal panen akibat
kejadian luar biasa seperti area endemik, bencana alam, atau rusaknya
infrastruktur pertanian, maka Pemerintah diamanatkan untuk memberikan ganti
rugi kepada para petani yang menjadi korban.
UU P3 mengamanatkan untuk memberikan asuransi pertanian yang
melindungi petani dari kerugian gagal panen akibat kepada para petani yang
diakibatkan oleh bencana alam, serangan organisme pengganggu tumbuhan,
wabah penyakit hewan menular, dampak perubahan iklim dan risiko-risiko
lainnya. Selain asuransi pertanian yang diamanatkan dalam UU ini, ada satu lagi
jenis asuransi yang dapat dijadikan instrumen oleh pemerintah untuk membantu
para petani. Asuransi tersebut adalah asuransi kredit pertanian. Asuransi kredit
pertanian merupakan suatu asuransi yang diberikan kepada petani yang
memperoleh kredit pertanian dari perbankan apabila mengalami kerugian
sebagian atau keseluruhan sebagai akibat kejadian yang mungkin terjadi di masa
yang akan datang. Dengan adanya asuransi pertanian, risiko gagal bayar petani
menjadi menurun, oleh karena itu perbankan menjadi lebih percaya untuk
memberikan kredit. Selama ini perbankan “enggan” memberikan kredit kepada
para petani karena mempunyai risiko yang cukup tinggi, oleh karena itu adanya
asuransi kredit pertanian dapat menurunkan risiko kredit petani sehingga
perbankan mau memberikan kredit kepada para petani.
KESIMPULAN
Kebijakan pertanian dalam 30 tahun terakhir sangat beragam, dimulai dari
era orde baru dan sampai sekarang di era reformasi. Kebijakan tersebut sangat
penting dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan para pelaku
usaha tani. Kebijakan tersebut tidak hanya pada tanaman namun juga bisa pada
pelaku usaha taninya secara langsung. Mulai dari Swasembada beras hingga
asuransi pertanian. Kebijakan-kebijakan yang dibuat pastianya akan berubah
setiap waktu tergantung dari permasalahan dan kendala yang dihadapi serta
prospek kedapanya.

DAFTAR PUSTAKA

Anggreini, R. 2013. Politik Beras di Indonesia pada Masa Orde Baru (1969-1998):
dari Subsistensi Swasembada Pangan Hingga Ketergantungan Impor.
Universitas Pendidikan Indonesia.

Kusmiyati., A. Maryani, dan D. Kusnadi. 2010. Kinerja Penyuluh Pertanian PNS dalam
Melaksanakan Tupoksi di Kabupaten Bogor (Kasus Di Bp3k Cibungbulang).
Penyuluhan Pertanian, 5(1): 87-103.

Sadono, D. 2008. Pemberdayaan Petani: Paradigma Baru Penyuluhan Pertanian di


Indonesia. Penyuluhan, 4(1): 66-74.

Setiawan, H. dan S. A. Damayanty. Memilih Skema Asuransi Pertanian. Badan


Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan.
Suryana, A. 2005. Kebijakan Ketahanan Pangan Nasioanal. Litbang Pertanian,
Departemen Pertanian.

Suseno, D. dan H. Suyatna. 2007. Mewujudkan Kebijakan Pertanian yang Pro-Petani.


10(3): 267-294.

Anda mungkin juga menyukai