Anda di halaman 1dari 11

NUR MUHAMMAD DAN MUHAMMAD SAW

sesungguhnya Allah Swt. sebelum menciptakan segala sesuatu, terlebih dahulu menciptakan caha
ya nabimu dari Nur Allah (Hadis)

Jika bukan karena engkau, jika bukan karena engkau, wahai Muhammad, Aku tak akan pernah
menciptakan langit yang tinggi dan mengejawantahkan Kedaulatan-Ku (Hadis).

Dalam sebuah hadis Rasulullah saw bersabda, Ana min nurullaahi, wa khalaq kuluhum min nuuri
—”Aku berasal dari cahaya Allah, dan seluruh dunia berasal dari cahayaku.” Dalam hadis lain dar
i Ibnu Abbas disebutkan, “Sesungguhnya ada seorang Quraisy, yang ketika itu masih berwujud n
ur (cahaya), di hadapan Allah Yang Maha Perkasa lagi Mahaagung, dua ribu tahun sebelum pen
ciptaan Nabi Adam as. Nur itu selalu bertasbih kepada Allah…”

Allah menciptakan Nur Muhammad, atau al-haqiqat Al-Muhammadiyya (Hakikat Muhammad) seb
elum menciptakan segala sesuatu. Nur Muhammad disebut sebagai pangkal atau asas dari ciptaa
n. Ini adalah misteri dari hadis qudsi yang berbunyi lawlaka, lawlaka, maa khalaqtu al-aflaka—”Jik
a bukan karena engkau, jika bukan karena engkau (wahai Muhammad), Aku tidak akan mencipta
kan ufuk (alam) ini.” Allah ingin dikenal, tetapi pengenalan Diri-Nya pada Diri-Nya sendiri menim
bulkan pembatasan pertama (ta’ayyun awal). Ketika Dia mengenal Diri-Nya sebagai Sang Pencipt
a, maka Dia “membutuhkan” ciptaan agar Nama Al-Khaliq dapat direalisasikan. Tanpa ciptaan, Di
a tak bisa disebut sebagai Al-Khaliq. Tanpa objek sebagai lokus limpahan kasih sayang-Nya, dia
tak bisa disebut Ar-Rahman. Maka, perbendaharaan tersembunyi dalam Diri-Nya itu rindu untuk
dikenal, sehingga Dia menciptakan Dunia—seperti dikatakan dalam hadis qudsi, “Aku adalah perb
endaharaan tersembunyi, Aku rindu untuk dikenal, maka kuciptakan Dunia.”

Tetapi kosmos atau alam adalah kegelapan, sebab dalam dirinya sendiri alam sebenarnya tidak a
da. Dalam kegelapan tidak akan terlihat apa-apa. Karenanya, agar sesuatu segala sesuatu muncul
dalam eksistensi ini diperlukanlah cahaya. Melalui cahaya inilah Dia memahami dan dipahami se
kaligus. Inilah manifestasi pertama dari Perbendaharaan Tersembunyi, yakni Nur Muhammad. Jadi
yang pertama diciptakan adalah Nur Muhammad yang berasal dari “Cahaya-Ku”. Nur Muhamm
ad adalah sebentuk “pembatasan” (ta’ayyun) atas Keberadaan Absolut; dan bagian ini tidaklah di
ciptakan, tetapi sifat dari Pencipta. Dengan demikian, berdasar hadis-hadis tersebut dapat disimp
ulkan bahwa dunia adalah dari Nur Muhammad dan Nur Muhammad berasal dari Nur Allah. Kar
ena fungsinya sebagai prototipe aturan tata semesta dalam keadaan global, maka Nur Muhamm
ad adalah wadah tajalli-Nya yang sempurna dan sekaligus kecerdasan impersonal yang mengatur
tatanan kosmos, atau Logos, seperti dikatakan dalam hadis masyhur lainnya, “Yang pertama dici
ptakan Allah adalah akal (aql al-awwal).” Jadi, Nur Muhammad adalah semacam “wadah” yang s
enantiasa dialiri oleh Cahaya Pengetahuan ilahiah, yang dengan Pengetahuan itulah alam semest
a ditata. Maulana Rumi menyatakan bahwa pada saat penciptaan Nur itu, Allah menatap Nur M
uhammad itu 70,000 kali setiap detik. Ini berarti bahwa Hakikat Muhammadiyyah itu terus-mener
us dilimpahi Cahaya Pengetahuan, Cahaya Penyaksian. Cahaya demi Cahaya terus berdatangan—
cahaya di atas cahaya—masuk ke dalam hakikat Nur Muhammad atau Hakikat Muhammad. Kare
nanya pengetahuan yang diterima Nabi Muhammad terus-menerus bertambah. Inilah misteri dari
doa Nabi yang termasyhur, “Ya Allah tambahkan ilmu pengetahuan kepadaku.” Sebagai Logos, k
ecerdasan impersonal, yang menjadi dasar tatanan semesta, sudah barang tentu pengetahuan ya
ng diterimanya tak pernah berhenti, terus bertambah, hingga akhir zaman.

Di dalam Nur Muhammad ini termuat al-a’yan Al-Mumkinah (entitas-entitas yang mungkin). Entit
as yang mungkin ini akan menjadi aktual dalam bentuk alam empiris melalui perintah “kun”. Tet
api tujuan penciptaan belum tercapai hanya melalui alam, sebab alam bukan cermin yang benin
g bagi Allah untuk mengenal Diri-Nya sendiri. Di sinilah wajah Nur Muhammad yang kedua ber
peran, yakni sebagai hakikat kemanusiaan—haqiqat Al-Muhammadiyyah atau Insan Kamil.

Allah tidak secara langsung mengatur dunia, sebab Dzat-Nya adalah tanzih, tiada banding secara
mutlak (transenden). Dia mengatur melalui Nur Muhammad, Logos. Jika Dzat-Nya turut campur
dalam pengaturan alam yang penuh pertentangan, maka kalimat Allahu Ahad (lihat kembali bab
satu) menjadi tidak berarti. Maka fungsi pengaturan berada dalam tahap wahidiyyah ini, yakni ta
hap Haqiqat Al-Muhammadiyyah. Rububiyyah (penguasaan, pemeliharaan) menimbulkan kebutuha
n adanya hamba dan sesuatu yang dipelihara (kosmos, alam), dan karenanya dibutuhkan pengha
mbaan (ubudiyyah). Haqiqat Al-Muhammadiyyah mengalir dari nabi ke nabi sejak Adam sampai
pada gilirannya akan terwujud dalam pribadi Muhammad yang disebut rasul dan hamba (abd) —
Muhammad abduhu wa Rasullullah. Ketika Muhammad, setelah bertafakur sekian lama di gua, ia
mencapai tahap keheningan di mana gelombang dirinya bertemu dengan gelombang Nur Muha
mmad, maka layar kesadarannya terbuka terang melebihi terangnya seribu bulan. Maka jadilah ia
Rasul. Maka Rasul Muhammad adalah cahaya yang menerangi alam secara lembut dan bisa dis
aksikan, sebab terang cahaya itu dibandingkan dengan seribu bulan, bukan seribu matahari.
Dalam konteks ini secara simbolik “Rasul” adalah manifestasi yang lengkap dari tahapan manifest
asi, yakni dari martabat wahdah ke martabat alam ajsaam (alam dunia, materi, sebab-akibat). Dili
hat dari sudut pandang lain, rasul adalah “utusan” Tuhan yang menunjukkan jalan menuju cahay
a atau kepada Tuhan. Karena merupakan manifestasi “lengkap dan sempurna” maka tidak dibutu
hkan lagi sesuatu yang lain sesudahnya, dan jadilah dia disebut khatam (penutup)—”tak ada lagi
nabi dan rasul setelah aku (Muhammad).”

Bagian kedua kalimat syahadat, Muhammad rasullullah, adalah deskripsi dari ciptaan. Muhammad
adalah “barzakh” yang memperantarai manusia dengan Tuhan. Berbeda dengan bagian pertama
syahadat, Laa ilaha illa Allah, yang menegaskan Keesaan dan karenanya eksklusivitas mutlak (tan
zih), bagian kedua syahadat ini menunjukkan inklusivitas (tasybih), karena merupakan manifestasi
dari Allah. Sebagai sebuah deskripsi dari manifestasi, syahadat kedua ini menggambarkan tiga ha
l sekaligus, yakni Prinsip Asal yang dimanifestasikan (Muhammad); manifestasi Prinsip (Rasul); dan
Prinsip Asal itu sendiri (Allah). Dengan demikian, “Rasul” adalah penghubung “Dzat yang dimani
festasikan” dengan Dzat itu sendiri. Rasul menjadi perantara antara alam yang fana dengan Dzat
Yang Kekal. Tanpa “Muhammad Rasullulah” dunia tidak akan eksis, sebab ketika dunia yang fan
a dihadapkan pada Yang Kekal, maka lenyaplah dunia itu. Menurut Syekh Al-Alawi, jika Rasul dil
etakkan di antara keduanya, maka dunia bisa terwujud, sebab Rasul secara internal adalah tajalli
sempurna dari Allah, dan secara eksternal tercipta dari tanah liat yang berarti termasuk bagian d
ari alam. Jadinya, Rasul adalah “Utusan” manifestasi, yang mengisyaratkan “perwujudan” atau “tur
unnya” Tuhan dalam “bentuk manifestasi atau ayat-ayat” ke dunia, yang dengannya Dia dikenal.
Kerasulan adalah alam kekuasaan (alam jabarut). Dengan demikian Muhammad Rasulullah adalah
penegasan perpaduan Keesaan Dzat (Wujud), Sifat (shifaat) dan Tindakan (af’al). Karenanya, kata
Imam Ar-Rabbani—seorang Syekh Tarekat Naqshabandi—dalam kerasulan, Rasul tidak hanya ber
hadapan dengan Allah saja, tetapi juga berhadapan dengan manusia (alam) pada saat ia berhad
apan dengan Tuhan.

Pengangkatan Rasul, yang berarti “turunnya” Tuhan ke dunia, yakni “bersatunya” kesadaran Muha
mmad dengan Nur Muhammad, terjadi pada laylat Al-Qadr (Malam Kekuasaan), yang terang cah
ayanya melebihi seribu bulan. Allah dan Nabi Muhammad bertemu dalam “Rasul” yang dijabarka
n dalam Risalah, atau Wahyu, yakni Al-Quran. Inilah cahaya petunjuk (Al-Huda) yang menerangi
kegelapan alam, yang memisahkan (Al-Furqan) kebatilan atau kegelapan dengan kebenaran atau
cahaya. Karena itu Al-Quran sesungguhnya adalah manifestasi “kehadiran penampakan” Allah di
dunia ini. Sayyidina Ali karamallahu wajhah dalam Nahj Al-Balaghah mengatakan “Allah Yang Ma
hasuci menampakkan Diri kepada hamba-hamba-Nya dalam firman-Nya, hanya saja mereka tidak
melihatnya.” Imam Ja’far, cucu Rasulullah saw, juga mengatakan, “Sesungguhnya Allah menampa
kkan Diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya dalam Kitab-Nya, tetapi mereka tidak melihat.”

Di sisi lain, sebagai manusia yang mengandung unsur tanah dan air, Muhammad memperoleh si
si kemanusiaannya. Dia makan, minum dan menikah. Faktor ini amat penting karena menunjukka
n bahwa walau Muhammad adalah manifestasi, atau tajalli sempurna, insan kamil, dari Allah, teta
p saja Muhammad bukanlah Allah. Atau, dengan kata lain, yang dimanifestasikan bukanlah Prinsi
p yang bermanifestasi, dan karenanya tidak ada persatuan antara manusia dan Tuhan dalam pen
gertian panteisme. Kedudukan manusia paling tinggi justru dalam realisasi penghambaannya yan
g paling sempurna, abd, “abdi”—gelar yang hanya disebut oleh Allah bagi Muhammad Saw.

Al-’abd adalah “Hamba” atau abdi yang sepenuhnya pasrah kepada Allah. Seorang abd hidup d
alam kesadaran sebagai seorang abdi Allah. Abd dicirikan oleh keikhlasan. Karenanya, penghamb
aan sejati bukan lantaran kewajiban atau keterpaksaan. Dalam pengertian umum, kegembiraan se
orang hamba adalah ketika dia dimerdekakan oleh tuannya. Tetapi ‘abd merasakan kegembiraan
tatkala ia menjadi hamba (Allah).

Derajat ‘abd adalah derajat tertinggi yang bisa dicapai manusia, dan karena itu Allah menyandin
gkan kerasulan Nabi Muhammad Saw dengan ‘abd—”Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad a
dalah ‘hamba’ dan Rasul-Nya.” Ketika mengundang Rasulullah saw di malam mi’raj, Allah menye
butnya dengan gelar “hamba”—Mahasuci Allah yang memperjalankan hamba-Nya di kala malam
(QS. 17:1)—dan ini sekaligus menunjukkan kebesaran kualitas ‘abd, sebab hanya ‘abd-Nya-lah yan
g berhak mendapat undangan langsung menemui-Nya di tempat di mana bahkan Malaikat Jibril
pun terbakar sayap-sayapnya. Dalam tingkatan yang paripurna, hamba yang ingat akan menjadi
yang diingat, yang mengetahui akan menjadi yang diketahui, dan yang melihat akan menjadi ya
ng dilihat, yang menghendaki menjadi yang dikehendaki, dan yang mencintai menjadi yang dicin
tai, karena ia sudah fana pada Allah dan baqa dengan baqa-Nya, dan ia menghabiskan waktuny
a untuk memandang kebesaran dan keindahan-Nya terus-menerus, seakan-akan dirinya pupus, s
eakan dia adalah Dia (Allah). Ini adalah maqam seperti yang disebutkan dalam hadis Qudsi: … “(
Aku) menjadi pendengarannya yang dengannya dia mendengar, penglihatannya yang dengannya
dia melihat, menjadi tangannya yang dengannya dia memegang, menjadi kakinya yang dengann
ya dia berjalan, dan menjadi lidahnya yang dengannya dia bicara.” Jadi jelas bahwa derajat terti
nggi adalah pada kehambaan, sebab hanya hamba sejatilah yang akan “naik” menuju Tuhannya.
Dan pada sang hamba sejatilah Allah “turun” untuk menemuinya. Ini adalah misteri mi’raj.
Penurunan dan kenaikan, laylatul al-qadr dan laylat al-mi’raj, mempertemukan hamba dengan Tu
hannya, melalui kewajiban yang ditetapkan pada saat pertemuan Nabi dengan Allah, yakni shalat
. Setiap mukmin harus mengikuti jejak Rasulullah agar bisa mi’raj, sebab sekali lagi, hanya melalu
i Rasullullah sajalah, yakni prinsip “barzakh,” manusia bisa bertemu dengan Tuhannya. Rasul pern
ah mengatakan bahwa mi’raj-nya umat Muslim adalah shalat. Tanpa shalat, tidak ada mi’raj. Kare
nanya, shalat adalah wajib. Shalat pula yang membedakan Muhammad (dan umatnya) dengan k
aum kafir.

Shalat adalah langkah pertama dan terakhir dalam perjalanan menuju Tuhan, sebagaimana Nabi
Muhammad adalah Nabi paling awal dan paling akhir dari mata rantai kenabian. Rasulullah saw
pernah mengatakan bahwa shalat akan mengangkat hijab, membuka pintu kasyaf, sehingga ham
ba-Nya berdiri di hadapan-Nya. Rasulullah juga berkata, “Di dalam shalatlah terletak kesenangank
u.” Sebab, shalat adalah bentuk percakapan rahasia antara Allah dengan hamba. “Percakapan” ini
terutama melalui bacaan Induk Kitab Suci, Surah Al-Fatihah. Surah ini terdiri dari dua bagian: y
ang pertama dikhususkan bagi Allah dan yang kedua dikhususkan bagi hamba-Nya. Dua bagian
percakapan ini disebutkan dalam hadis yang masyhur di kalangan Sufi:

Aku membagi shalat menjadi dua bagian di antara Aku dan hamba-Ku, setengahnya untuk-Ku d
an setengahnya untuk hamba-Ku. (Rasulullah bersabda}”Ketika hamba berucap alhamdulillahi rabb
il ‘alamin, Allah berkata ‘Hamba-Ku memuji-Ku. Ketika hamba berucap Ar-Rahman Ar-Rahim, Alla
h berkata ‘Hamba-Ku memuja-Ku.’ Ketika hamba berucap maliki yaumiddin, Allah berkata ‘Hamb
a-Ku mengagungkan Aku.’ Ketika hamba berucap Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, Allah berkat
a ‘Ini antara Aku dan hamba-Ku.’ Ketika hamba berkata ihdinash shiratal mustaqim—sampai akhi
r ayat, Allah berkata ‘Ini bagi hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta.’

Shalat bisa dilihat dari dua sisi. Sebagai gerak perlambang dan doa/dzikir. Gerakan shalat bukan
sekadar gerak tanpa makna, tetapi sebuah tindak “menulis” ayat Allah dan merealisasikannya. Mu
slim “membaca” Al-Quran untuk mendapatkan petunjuk tentang hakikat dirinya guna mengenal
Allah, dan Muslim melakukan shalat untuk “menulis” hakikat diri. Ini berarti pula bahwa dengan s
halat seorang Mukmin melahirkan kandungan hakikat kediriannya, seperti sebuah pena yang men
galirkan tinta saat dipakai untuk menulis. Apa yang “ditulis” dalam shalat adalah hakikat kemanus
iaan, adam, yakni bahwa manusia sesungguhnya adalah “adam” atau tiada, dan eksistensinya mu
ncul adalah lantaran eksistensi Allah yang dipancarkan melalui Nur Muhammad. Dalam salah sat
u tafsir Sufi, posisi berdiri tegak lurus melambangkan huruf alif; posisi rukuk melambangkan huru
f dal; dan sujud melambangkan huruf mim. Ketiga huruf ini membentuk kata “adam”. Huruf alif
bernilai numerik satu yang melambangkan keesaan Tuhan. Karenanya begitu seseorang mengang
kat tangannya dan berseru “Allahu Akbar,” ia sama artinya dengan “mengorbankan” diri dalam k
esatuan. Jika kesadaran tertentu telah dicapai dalam tingkatan keesaan, maka ia akan menunduk,
yang mencapai puncaknya dalam sujud. Dalam posisi sujud, otak (rasio) diletakkan lebih rendah
daripada hati. Bisa dikatakan rasio haruslah menjadi aspek sekunder dalam mendekati Tuhan, se
bab “alam semesta tak bisa menampung Allah, hanya hati yang bisa menampung Allah” (hadis
qudsi).

Sujud melambangkan penghapusan diri. Diri yang mengaku-aku, begitu berhadapan dengan Tuh
an yang Esa dan bercakap intim dengan-Nya, menjadi sadar akan hakikat dirinya sendiri. Maka
dia sujud, menghapuskan diri, fana. Ada dua kali sujud dalam setiap rakaat, yang berarti sang h
amba tenggelam dalam fana al-fana, penghapusan dalam penghapusan. Penghapusan pertama d
ihapuskan lagi, dan jadilah dia pada baqa. Fana al-fana menjadikan seseorang adam, “tiada,” yan
g merupakan hakikat dirinya, dan karena kehapusan diri ini berada dalam pandangan Allah mak
a ia hapus dalam keabadian Allah, baqa, sehingga ia mengalami hidup yang sebenarnya. Sebab,
pelenyapan diri dalam Keesaan Allah berarti pula baqa “bersama” Allah. Dengan kata lain, seora
ng yang sujud dalam arti sebenar-benarnya ini akan keluar dari kesementaraa dunia, dan masuk
ke hari-hari di sisi Tuhan, atau yaumiddin. Jadinya, akhirat (yaumiddin), bagi seorang sufi, bukanl
ah waktu di ujung waktu temporal dunia, tetapi dialami pada momen “saat ini”. Sufi adalah putr
a waktu (Ibnu al-waqt), demikian salah satu prinsip Tasawuf. Karena secara hakikat sudah “mela
mpaui ruang dan waktu,” maka Sufi sama artinya melakukan shalat yang berkekalan, “shalat dai
m”.

Di sisi lain, yakni dalam pengertian shalat sebagai doa, ketika Muhammad diperintahkan shalat,
maka ini artinya Allah menjadikan Muhammad sebagai hamba yang memohon (berdoa) dan Alla
h adalah menjadikan diri-Nya sebagai yang dimintai permohonan. Karena rasul adalah utusan da
ri Tuhan kepada manusia atau perantara, dan doa juga perantara atau “utusan” dari manusia ke
pada Tuhan dalam bentuk permohonan, maka rasul menjadi titik temu hubungan ini, yang berar
ti Rasul adalah doa itu sendiri, yakni ‘barzakh” atau pintu perantara antara manusia dengan Tuh
an. Di sinilah terletak fungsi shalawat.

Dalam shalawat terkandung doa, pujian dan cinta. Karenanya, shalawat adalah salah satu jalan m
enuju cinta kepada rasul, yang pada tingkat tertinggi menyebabkan seseorang lebur dalam totalit
as eksistensi, atau hakikat Muhammad, atau Nur Muhammad.
\

Shalawat adalah “berkah” yang biasanya disandingkan dengan kedamaian (salam). Shalawat karen
anya berfungsi sebagai berkah dari Tuhan untuk “menghidupkan” hati dan membersihkan hati a
gar terserap dalam Nur Muhammad dan sekaligus sebagai kedamaian yang menenteramkan. De
ngan demikian, shalawat menjadi pembuka pintu keterkabulan doa seseorang—seperti dikatakan
dalam hadis, “Doa tidak akan naik ke langit tanpa melewati sebuah ‘pintu’ atau tirai. Jika doa di
sertai shalawat kepadaku maka doa akan bisa melewati tirai (yakni membuka pintu) itu dan mas
uklah doa itu ke langit, dan jika tidak (disertai shalawat) doa itu akan dikembalikan kepada pem
ohonnya.”

Shalawat yang diamalkan oleh Sufi dan terutama dalam tarekat-tarekat amat banyak macamnya
—bisa mencapai ratusan. Imam Jazuli mengumpulkan sebagian di antaranya dalam kitabnya yan
g terkenal, Dala’il Khairat. Sebagian lafaz shalawat ini tidak dijumpai dalam hadis standar (sahih),
dan karenanya sebagian fuqaha menyebut shalawat dari para Sufi adalah bidah. Ini tidak mengh
erankan karena para fuqaha, yang gagal, atau bahkan tidak mau melampaui sudut pandangnya
sendiri, tidak mengakui kasyaf yang menjadi dasar dari bermacam-macam shalawat. Sebagian sh
alawat Sufi diperoleh dari ilham rabbani, atau kasyaf rabbani, atau dari mimpi yang benar (ru’ya
as-shadiqah), di mana dalam kondisi itu para Sufi bertemu atau bermimpi bertemu dengan Nabi
dan diajarkan lafaz shalawat tertentu dan disuruh untuk menyebarkannya. Karena itu susunan k
ata dalam shalawat Sufi bervariasi, dan sebagian besar mengandung kalimat yang indah, puitis, y
ang mengandung misteri dari hakikat Muhammad, Nur Muhammad, atau misteri fungsi kerasulan
dan kenabian Muhammad pada umumnya.

Penulis pernah ditunjukkan oleh seorang kyai, yang oleh sebagian sudah dianggap berkedudukan
Wali Allah, sebuah buku catatan berisi banyak sekali lafaz shalawat yang khusus, misalnya, ada
shalawat yang menjadi wasilah untuk mendapatkan ilmu ladunni dan ada juga shalawat untuk m
enggapai mukasyafah (menyingkap tirai kegaiban spiritual).

Salah satu contoh lain shalawat khusus adalah shalawat terkenal, shalawat Al-Fatih, yang menjadi
amalan penting bagi beberapa tarekat seperti Syadiziliyyah dan Tijaniyyah. Menurut sebagian ke
terangan, Lafaz shalawat ini diilhamkan kepada Syekh Muhammad Al-Bakri r.a., dalam bentuk tuli
san di atas lembaran cahaya, ketika Syekh Al-Bakri melakukan khalwat di Kakbah untuk mencari
petunjuk cara terbaik bershalawat kepada Nabi. Terjemahannya kira-kira sebagai berikut:
Ya Allah, curahkan rahmat dan keselamatan serta berkah atas junjungan kami Nabi Muhammad
saw yang dapat membuka sesuatu yang terkunci, penutup dari semua yang terdahulu, penolong
kebenaran dengan jalan yang benar, dan petunjuk kepada jalan-Mu yang lurus. Semoga Allah m
encurahkan rahmat kepada beliau, keluarganya dan semua sahabatnya dengan sebenar-benar ke
kuasaan-Nya Yang Mahaagung.

Dalam shalawat ini terangkum banyak hal yang melambangkan misteri kerasulan Muhammad Sa
w. Sebagian shalawat lain bahkan lebih jelas lagi dalam susunan katanya yang mengakui fungsi
hakikat risalah kenabian, seperti: nabi sebagai cahaya Dzat-Nya (shalawat nur al-dzati); yang mel
apangkan rezeki dan membaguskan akhlak (shalawat litausil arzaq); pengumpul atau kumpulan k
esempurnaan (shalawat jauhar asy syaraf); yang memecah-belah barisan orang kafir (shalawat al-
muffariq); pemenuh hajat, pengangkat derajat, pengantar ke tujuan mulia (shalawat munjiyat); pe
nghilang keruwetan, pencurah hujan rahmat (shalawat nariyah); penyembuh penyakit hati dan jas
mani, cahaya badan (shalawat syifa dan tibbul qulub); dan sebagainya. Bahkan ada shalawat khu
sus yang hanya untuk penerimanya saja, dan karenanya tak diajarkan kepada orang lain. Shalaw
at semacam ini biasanya berkaitan dengan kedudukan atau maqam sang Sufi atau Wali itu send
iri. Shalawat rahasia ini mengandung doa dan pujian yang “mengerikan” dari perspektif apapun.
Penulis pernah mendengar keterangan shalawat dari seorang Wali Allah, yang dalam artinya men
gandung pernyataan “penyatuan atau pencampuran” ruh seseorang dengan ruh Muhammad.

Semua shalawat mengalirkan barakah kepada pembacanya sebab dengan shalawat seseorang “te
rhubung” dengan “Perbendaharaan Tersembunyi” yang kandungannya tiada batasnya, atau denga
n kata lain, dengan shalawat seseorang berarti akan memperoleh berkah “kunci” dari Perbendah
araan Tersembunyi yang gaib sekaligus nyata (yakni dalam wujud Muhammad saw). Karenanya,
dalam tradisi Sufi diyakini bahwa bacaan shalawat tertentu mempunyai fungsi dan faedah tertent
u untuk mengeluarkan kandungan Perbendaharaan Tersembunyi sesuai dengan kandungan mister
i yang ada dalam kalimat-kalimat bacaannya. Misalnya, shalawat Fatih di atas diyakini memiliki p
elebur dosa, meluaskan rezeki, bertemu nabi dalam mimpi dan bahkan dalam keadaan terjaga,
dan dibebaskan dari api neraka. Contoh lainnya yang masyhur adalah Shalawat Nariyya h, yang
menjadi amalan banyak Wali Allah dan juga umat Muslim awam. Diriwayatkan bahwa shalawat i
ni bisa dengan cepat mendatangkan hajat jika dibaca sebanyak 4444 kali dalam sekali duduk. Se
orang putra dari Wali Allah menyatakan bahwa jumlah bacaan shalawat ini tergantung pula pad
a niatnya. Misalnya, masih menurut beliau, jika kita membacanya dengan niat agar bisa mukasya
fah (terbuka hijab gaib), dianjurkan sering-sering membaca 4444 kali dalam sekali duduk, atau s
etiap malam 313 kali secara istiqamah.

Proses kita menuju totalitas tersebut merupakan upaya untuk menyerap semua nama dan sifat T
uhan secara sempurna dan harmonis melalui perantaraan (barzakh) Rasul. Ini adalah salah satu a
spek dari fana fi-rasul. Seorang Sufi atau Wali Allah yang telah mencapai taraf fana fi-Rasul, ata
u “menyatu” dengan Nur Muhammad, maka ia akan merasakan kehadiran Muhammad bahkan d
alam keadaan terjaga, dan bercakap-cakap dengannya. Imam al-Haddad, sang penyusun amalan
“Ratib Haddad” yang termasyhur itu, menurut riwayat pernah berziarah ke makam Rasulullah dan
mengucapkan salam. Lalu terdengar jawaban dari Nabi atas salam itu. Semua yang hadir bisa
mendengarkan jawaban itu.

Bahkan dalam tingkatan yang lebih tinggi dan halus, sebagian Sufi melalui penglihatan batinnya
(kasyaf) mereka bisa melihat sosok seorang Sufi sama persis dengan sosok Muhammad, baik dal
am bentuk tubuh maupun parasnya. Abu Bakar Syibli, misalnya, dalam keadaan fana mengataka
n “Aku adalah Rasulullah.” Pada saat itu salah seorang muridnya melihat Sybli dalam rupa Muha
mmad seperti yang pernah disaksikan dalam mimpinya dan kasyafnya. Maka mendengar sang g
uru berkata seperti itu, secara spontan ia menjawab “Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulull
ah.” Hal yang sama juga pernah disampaikan oleh Syekh Muhammad Samman. Ketika Syekh Sa
mman sedang fana ia akan terus memuji Muhammad saw dengan membaca shalawat yang men
guraikan hakikat Muhammad, yakni shalawat Sammaniyah. Pada keadaan ini kadang beliau beruc
ap, “Aku adalah Muhammad yang dituju” atau “Aku adalah Nabi Muhammad dan Nur Muhamm
ad,” dan “jasadku mirip dengan jasad Muhammad.”

Salah satu contoh lagi isyarat rahasia terdalam dari Nur Muhammad ini dialami oleh salah seora
ng murid dari Wali Allah Syekh As-Sayyid Qamarullah Badrulmukminin Musyawaratul Hukuma Qa
maruzzaman. Dalam sebuah mimpi ia melihat Rasullullah, Imam Mahdi dan gurunya memiliki be
ntuk tubuh dan paras yang sama persis. Dan setiap kali ia bermimpi tentang Rasul, ia selalu me
nyaksikan gurunya di sisi beliau. Kadang-kadang, menurut muridnya, dalam beberapa perbincang
an dengan Syekh As-Sayyid Qamarullah, tidak jelas apakah yang bicara itu Syekh ataukah Rasulu
llah. Bahkan di beberapa kesempatan, barangkali dalam keadaan “ekstase,” Syekh ini menyatakan
dirinya diberi amanat untuk memberi keselamatan (rahmat) alam, sebuah tugas Nabi Muhamma
d.

Tetapi tentu saja semua contoh di atas tidak bisa dilihat dari perspektif umum atau lahiriah, seb
ab hal-hal ini berada dalam konteks gaib dan rahasia ilahi yang hanya dipahami oleh orang -ora
ng yang memang diberi izin dan diberi hak untuk memahaminya. Kondisi tertinggi dalam persat
uan dengan Nur Muhammad ini, secara teori, biasanya dialami oleh para wali yang telah menca
pai kedudukan tertinggi, seperti wali Qutb (Kutub) atau Qutb Al-Aqtab (Rajanya Para Kutub) atau
Sulthanul Awliya.

Ini adalah salah satu misteri terdalam (al-haqiqah) dari hubungan antara Allah, Nur Muhammad,
Muhammad saw, alam dan manusia (orang mukmin). Sebuah misteri yang tak bisa diselami mak
na hakikinya hanya melalui kata-kata. Dan, misteri agung yang suci ini terangkum dalam shalawa
t agung dari Syekh ‘Arif Billah Al-Qutb As-Syekh Muhammad Samman, sang pendiri tarekat Sam
maniyah:

Ya Allah, semoga Engkau sampaikan shalawat bagi yang kami hormati Muhammad; dia adalah a
sal-usul dari segala yang maujud, yang meliputi semua falak (benda-benda langit) yang tinggi; h
uruf alif pada Ahmad artinya adalah dzat yang mengalir pada setiap molekul; huruf ha pada ah
mad artinya hidupnya makhluk dari awal sampai akhir; huruf mim pada kata Ahmad berarti taht
a kerajaan ilahi yang tiada banding; huruf dal pada lafal Ahmad artinya keabadian yang tanpa a
khir. Engkau yang telah menampakkan diri pada Nur Muhammad yang Engkau cintai. Ia adalah
tahta kehormatan yang padanya Engkau percikkan cahaya Dzat-Mu. Engkau menampakkan Diri (
kepadanya) dengan Cahaya-Mu. Hakikat Muhammad adalah cermin yang memantulkan keindaha
n-Mu, memantulkan sinar dalam Asma-Mu dan Sifat-sifat-Mu. Ia bagaikan matahari kesempurnaa
n yang memancarkan cahayanya bagi seluruh makhluk di alam, yang telah Engkau bentuk seluru
h alam ini dari padanya (yakni dari Nur Muhammad). Setiap orang yang mencapai hakikat Muha
mmad akan Engkau dudukkan di atas permadani yang berdekatan dengan-Mu. Engkau tetapkan
(berikan) kepadanya sebuah kunci perbendaharaan kekasih-Mu yang agung; kunci itu gaib dan t
ersembunyi tetapi ia (juga) nyata. Kunci perbendaharaan itu menjadi perantara di antara Engkau
dan hamba-hamba-Mu. Hamba-Mu hanya bisa naik dengan cinta kepada Ahmad (Muhammad S
aw.) untuk menyaksikan kesempurnaan-Mu. (shalawat) ini juga bagi keluarganya yang mengalirka
n ilmu hakikat, dan bagi para sahabatnya yang menjadi pelita yang menunjukkan jalan bagi seti
ap insan. Shalawat ini adalah dari-Mu bagi Ahmad, diterima olehnya dari kami dengan berkah k
eutamaan-Mu. Shalawat ini melekat pada Dzat-Nya dalam gumpalan cahaya tajalli-Nya. Shalawat
yang menyucikan hati kita dan rahasia-rahasia batin kita. Shalawat yang mengangkat roh-roh kita
dan melimpahkan berkah kepada kita, guru-guru kami, kedua orang tua kami, saudara-saudara
kami, dan segenap umat Muslim. Shalawat ini beriring dengan salam dari Engkau Ya Allah, hing
ga hari kiamat. Shalawat dan salam yang jumlahnya tak terhitung bagi Muhammad Al-Amin, dan
juga kepada keluarganya dan para sahabatnya; segala puji bagi-Mu dari-Mu sepanjang masa.
Dengan mengaktualisasikan potensi yang bersifat ilahiah ini, berarti kita menafikan wujud kita da
n menegaskan wujud Allah, karena wujud kita hanyalah wujud dalam arti majaz (kias), dengan d
emikian kita kembali ke sifat asli kita yakni ketiadaan, adam, dan karena itu pula kita menjadi ce
rmin yang bening kembali, menjadi seperti pribadi Nabi, yang memantulkan nama dan sifat Tuh
an, lokus tajaliyyat Tuhan yang sempurna—innallaha khalaqa adama ala suratihi (Sesungguhnya
Allah menciptakan adam sesuai dengan Citra-Nya)—atau insan kamil.

Anda mungkin juga menyukai