Anda di halaman 1dari 2

Laskar Pelangi (2005) Karya Sastra Laskar Pelangi merupakan novel pertama karya

Andrea Hirata yang diterbitkan pertama kali pada tahun 2005 oleh penerbit Bentang
Pustaka, Yogyakarta. Novel tersebut merupakan buku pertama dari tetralogi Laskar
Pelangi. Ketiga novel berikutnya adalah Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah
Karpov. Selama dua tahun sejak penerbitannya, September 2005—November 2007,
Laskar Pelangi telah mengalami cetak ulang hingga empat belas kali. Novel tersebut
mampu menarik perhatian dan banyak mendapat pujian, bahkan novel tersebut
mencapai best seller di Indonesia dan Malaysia. Laskar Pelangi (2005) bercerita
tentang suka, duka, harapan, cita-cita, kebodohan, kepintaran, dan kekonyolan yang
dialami anggota Laskar Pelangi selama sekolah. Pengalaman-pengalaman tersebut
mengandung kisah yang inspiratif tentang perjuangan dan keberhasilan luar biasa
anak-anak daerah (Provinsi Bangka-Belitung sekarang) dalam bidang pendidikan.
Mereka mampu melahirkan semangat serta kreativitas yang mencengangkan. Novel
tersebut ditulis dengan semangat bersama untuk bertahan dan mengobarkan
semangat mereka yang selalu dirundung kesulitan dalam menempuh pendidikan.
Novel tersebut tidak mengajak kita menangisi kemiskinan, tetapi mengajak kita
memandang kemiskinan dengan cara lain. Cerita diawali oleh sebuah kejutan, yaitu
urungnya penutupan sekolah (SD Muhammadiyah). Sekolah tersebut akan ditutup
apabila pada hari terakhir pendaftaran jumlah murid tidak mencapai 10 anak. Pada
hari itu murid yang mendaftar hanya 9 anak. Pada detik yang menentukan, muncul
Harun, seorang anak yang jalannya timpang. Ia diantarkan ibunya untuk
mendaftarkan diri sebagai murid. Sekolah tersebut akhirnya tidak jadi ditutup dan
anak yang ingin belajar tidak perlu bersekolah di kota besar. Bakat anak-anak
tersebut telah berhasil mengharumkan nama sekolah, sekalipun prestasi tersebut
terjadi secara unik, misalnya pembalasan dendam Mahar, yang selalu dipojokkan
oleh kawan-kawannya karena kesenangannya pada okultisme, yang membuahkan
kemenangan manis pada karnaval 17 Agustus-an dan kejeniusan Lintang yang
menjawab tantangan gurunya, Drs. Zulfikar—pegawai negeri yang kaya dan populer,
hingga ia memenangkan lomba cerdas-cermat. Kiprah kesepuluh kawan tersebut
berakhir dengan kematian ayah Lintang yang memaksa anak pintar tersebut
(Lintang diberi gelar si Einstein Cilik) putus sekolah dan mengganti ayahnya bekerja
sebagai nelayan. Dua belas tahun kemudian, Ikal kembali pulang ke kampung
dengan menyandang gelar kesarjanaan. Pada tahun 2008, Laskar Pelangi
diadaptasi menjadi film dengan judul yang sama. Film tersebut disutradarai oleh Riri
Riza dan diproduksi oleh Miles Film dan Mizan Production. Penulis skenario film
tersebut adalah Salman Aristo yang dibantu oleh Riri Riza dan Mira Lesmana.
Lokasi syuting film Laskar Pelangi adalah Pulau Belitung sesuai latar cerita di novel.
Biaya produksi film mencapai Rp8 milyar. Sebagai karya sastra yang ditulis
berdasarkan kisah nyata, penulisnya mendedikasikan buku ini untuk guru-guru dan
sahabatnya yang menjadi tokoh-tokoh penting di dalam novel, yaitu Ibu Muslimah
Hapsari, Bapak Harfan Effendi Noor, dan sepuluh sahabat masa kecilnya yang
disebut sebagai anggota "Laskar Pelangi". Mereka dinamakan "Laskar Pelangi" oleh
wali kelas mereka karena kesenangan mereka terhadap pelangi. Sebagai salah satu
karya sastra yang banyak dibaca, Laskar Pelangi banyak dirujuk untuk penulisan
skripsi dan tesis serta telah diseminarkan oleh kalangan birokrat untuk menyusun
sebuah rekomendasi dalam kebijakan pendidikan. Oleh karena itu, Laskar Pelangi
telah berkembang bukan hanya sebagai bacaan bernilai sastra, tetapi dapat
dimanfaatkan pula sebagai referensi ilmiah. Laskar Pelangi mengamanatkan bahwa
pendidikan adalah tindakan memberikan hati pada anak-anak dan bukan sekadar
memberikan instruksi atau komando karena setiap anak memiliki potensi unggul
yang akan tumbuh menjadi prestasi cemerlang pada masa depan apabila diberi
kesempatan dan keteladanan oleh orang-orang yang mengerti akan makna
pendidikan yang sesungguhnya. Selain itu, Laskar Pelangi membuktikan bahwa
kemiskinan tidak selalu berkorelasi dengan kebodohan atau kejeniusan. Dalam
perjuangan mencapai cita-cita tersebut, tokoh hero yang paling berhasil adalah
Ikal—tokoh yang menjadi identifikasi pengarang. Ada yang menilai saat membaca
Laskar Pelangi pembaca seolah menemukan penulis Gabriel Garcia Marquez,
Nikolai Gogol, dan/atau Alan Lightman, yaitu para penulis yang mampu memberikan
kekuatan kepada pembacanya. Ditulis dengan gaya bahasa yang mengasyikan,
rasa humor yang halus, dan luasnya cakrawala pengetahuan Andrea Hirata, Laskar
Pelangi menjadi sebuah ramuan pengalaman dan imajinasi yang menarik. Dengan
membuka empati yang ada dalam hati, pembaca akan tertawa, menangis, dan
merenung bersama buku tersebut.

Sumber: http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Laskar_Pelangi | Ensiklopedia Sastra Indonesia -


Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Anda mungkin juga menyukai