Makalah Hukum Adat
Makalah Hukum Adat
Makalah Hukum Adat
Oleh :
Yoyok Siswoyo
NIM : 1201816140
UNIVERSITAS SURAKARTA
FAKULTAS HUKUM
JURUSAN HUKUM
2018
Kata Pengantar
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmat
dan karunia-Nya. Kami sangat bersyukur sekali dengan terselesaikannya makalah ini. Kami
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak lepas dari tuntunan dan bantuan teman-
teman sekalian. Untuk itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Kami juga menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
baik materi maupun cara penulisannya. Namun kami telah berupaya untuk menyajikan yang
terbaik kepada pembaca. Oleh karena itu, kiranya kami menerima saran, masukan, serta
perbaikan guna menyempurnakan makalah ini lebih baik lagi.
Disini kami akan mendeskripsikan tentang desa adat Tenganan. Serta mendeskripsikan tentang
tanah adat desa Tenganan. Kami berharap semoga makalah ini bisa berguna di kemudian hari,
sebagai bahan referensi, ataupun sebagai pengetahuan yang perlu untuk dipelajari.
Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca,
masyarakat pada umumnya, mahasiswa pada khususnya.
3.2 Saran………………………………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Desa tenganan atau dikenal dengan tenganan pegringsingan merupakan salah satu dari sejumlah
desa adat yang ada di Bali. Pola kehidupan masyarakatnya mencerminkan kebudayaan dan adat
istiadat, berbeda dengan desa-desa di Bali lainya, karena desa tenganan dikembangkan sebagai
salah satu obyek wisata budaya. Lokasi desa Tenganan terletak di Kecamatan Manggis
kabupaten Karangasem. Sebagai obyek wisata budaya, desa Tenganan memiliki keunikan dan
kekhasan yang menarik untuk dilihat dan dipahami. Dari sistem kemasyarakatan yang
dikembangkan, bahwa masyarakat Desa Tenganan terdiri dari penduduk asli desa setempat. Hal
ini disebabkan karena sistem perkawinan yang dianut adalah sistem parental dimana perempuan
dan laki-laki dalam keluarga memiliki derajat yang sama dan berhak menjadi ahli waris.
Masyarakat setempat terikat dalam awig-awig (hukum adat) yang mengharuskan pernikahan
dilakukan dengan sesama warga Desa Tenganan, karena apabila dilanggar maka warga tersebut
tidak diperbolehkan menjadi krama (warga) desa, artinya bahwa ia harus keluar dari Desa
Tenganan.
Daya tarik lain yang dimiliki Desa Tenganan adalah tradisi ritual Mekaré-karé atau yang lebih
dikenal dengan “perang pandan”. Mekaré-karé merupakan bagian puncak dari prosesi rangkaian
upacara Ngusaba Sambah yang digelar pada setiap Bulan Juni yang berlangsung selama 30 hari.
Selama 1 bulan itu, Mekaré-karé berlangsung sebanyak 2-4 kali dan setiap kali digelar akan
dihaturkan sesajen kepada para leluhur. Mekaré-karé atau “perang pandan” diikuti para lelaki
dari usia anak-anak sampai orang-orang tua. Sesuai namanya, maka sarana yang dipergunakan
adalah daun pandan yang dipotong-potong sepanjang ±30 cm sebagai senjata dan tameng yang
berfungsi untuk menangkis serangan lawan dari geretan duri pandan. Luka yang diakibatkan
oleh geretan duri pandan akan dibalur dengan penawar yang dibuat dari ramuan umbi-umbian,
seperti laos, kunyit, dan lain-lain. Mekaré-karé pada hakekatnya sama maknanya dengan upacara
tabuh rah yang lazim dilakukan oleh umat Hindu di Bali ketika melangsungkan upacara
keagamaan. Dalam upacara Mekaré-karé selalu diiringi dengan tetabuhan khas Desa Tenganan,
yaitu gamelan selonding. Keunikan lain yang dimiliki oleh Desa Tenganan yang tidak dimiliki
oleh daerah lainya di Bali bahkan di Indonesia adalah kerajinan tenun double ikat kain
Gringsing. Kata Gringsing itu sendiri berasal dari kata “gering” yang berarti sakit atau musibah,
dan “sing” yang artinya tidak, maka secara keseluruhan gringsing diartikan sebagai penolak
bala. Proses pembuatan kain gringsing sangatlah unik dan memerlukan waktu yang
lama ( sampai 3 tahun ), sehingga keberadaannya menjadi langka dan harganya cukup
mahal.Kain gringsing wajib dimiliki oleh warga Desa Tenganan.
Ada keunikan lainya yaitu mengenai tanah adat desa Tenganan hampir semua tanah didesa
Tenganan milik adat, tapi masih ada hak-hak ulayat masyarakat desa Tenganan. Obyek dari hak
ulayat antara lain:
a. Tanah
b. Air (perairan misalnya: sungai,danau,)
c. Tumbuh-tumbuhan
d. Binatang yang hidup liar.
Hak ulayat ini dalam bentuk dasarnya adalah suatu hak dari pada persekutuan atas tanah yang
didiami, sedangkan pelaksanaanya dilakukan oleh persekutuan itu sendiri. Dalam masyarakat
desa Tenganan juga ada hak perseorangan atas tanah, tapi dibatasi.
Dari segi yuridis hukum adat desa Tenganan tetap diakui Negara, seperti tercantum dalam UUD
1945 pasal 18B ayat 2
“ Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dengan undang-undang”
Dan untuk tanah adat tercantum dalam UUPA pasal 3 dan 5.
1.2 Rumusan Masalah
1. Mendekripsikan tentang tanah adat desa Tenganan?
2. adanya hak ulayat yang menjadi lingkungan hidup dan tempat mengambil keperluan hidup
masyarakat hukum adat
3. adanya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat
berlaku dan ditaati oleh masyarakat hukum adat.
Dalam banyak peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini, hukum adat
atau adat istiadat yang memiliki sanksi, mulai mendapat tempat yang sepatutnya sebagai suatu
produk hukum yang nyata dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, hukum adat sedemikian
dapat memberikan kontribusi sampai taraf tertentu untuk menjamin kepastian hukum dan
keadilan bagi masyarakat. Hukum saat ini malahan dijadikan dasar pengambilan keputusan oleh
hakim, sehingga dapat terlihat bahwa hukum adat itu efisien, efektif, aplikatif dan fleksibel
ketika dihadapkan dengan masyarakat modern seperti ini. Sehingga dalam hukum agraria
nasional hukum adat dijadikan juga sebagai landasannya.
Hukum agraria pada masa penjajahan Hindia Belanda bersifat dualistis, yaitu hukum agraria
barat, dan hukum adat bangsa Indonesia. Hukum agraria barat berlaku bagi orang-orang Belanda,
orang eropa dan yang dipersamakan dengan mereka, sedang hukum agraria adat berlaku bagi
golongan bumi putera (penduduk asli).
Undang-undang no. 5 tahun 1960 adalah undang-undang yang dibuat bangsa Indonesia
dikeluarkan setelah Indonesia merdeka. Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa hukum
agraria nasional didasarkan kepada hukum adat. Penegasan itu dapat dijumpai dalam Pasal 56
Undang-undang Pokok Agraria.
Ketentuan hukum adat itu tidak tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional. Contoh
dalam hubungan dengan pelaksanaan hak ulayat. Sekalipun penguasa-penguasa adat mempunyai
kewenangan untuk mengatur dan memimpin penggunaan tanah hak ulayat dalam wilayahnya,
namun kewenangan itu tidak boleh menghalangi program pemerintah untuk mencapai
kemakmuran rakyat, misalnya pembukaan tanah secara besar-besaran untuk areal perkebunan
atau untuk pemindahan penduduk.
Untuk menciptakan hukum agraria nasional, maka hukum adat yang ada di seluruh Indonesia,
dibuat dalam bentuk yang umum dan berlaku bagi seluruh persekutuan adat. Tentu saja,
tujuannya adalah untuk meminimalisir konflik pertanahan dalam lapangan hukum tanah adat.
BAB III
PENUTUP
3.1 kesimpulan
a. Tanah adat desa Tenganan memang memiliki wilayah yang cukup luas dan tanah itu dibagi
menjadi tanah sebagai permukiman, hutan, sawah, pekuburan. Dan dalam tanah tersebut ada hak
ulayat masyarakat adat desa Tenganan dan Negara mengakui hak ulayat masyarakat adat, semua
tanah di desa Tenganan milik adat, ada juga yang milik pribadi, milik organisasi yang semuanya
masih dalam naungan adat.
PBB bahkan menjadikan desa adat Tenganan menjadi contoh pencegahan global warming,
melalui peraturan yang sangat tegas bahwa semua masyarkat desa adat tersebut tidak
diperbolehkan mengambil pohon, menebang pohon, menjual kayu, itu yang seharusnya menjadi
contoh untuk Negara Indonesia agar tidak terjadi global warming dan bencana alam, di Indonesia
sendiri masih banyak penebangan pohon secara illegal, memang sudah ada undang-undang yang
mengatur tentang hutan, tapi sanksinya masih kurang.
b. Dapat disimpulkan bahwa hukum adat yang berlaku di Indonesia menunjukkan adanya suatu
nuansa kehidupan atau fungsi sosial dari tanah, terlebih lagi dalam pembagian tanah persekutuan
dan tanah perseorangan atau individu. Juga dapat dilihat bagaimana pembagian hak-hak atau
pengaturan hak-hak atas tanah adat menunjukkan adanya upaya untuk menertibkan pemakaian
tanah adat sehingga benar-benar menjamin keadilan. Di sinilah kedudukan peran pemerintah
selaku penguasa untuk menetapkan suatu teknis pendaftaran tanah adat untuk menjamin adanya
kepastian hukum dalam bidang agraria.
Hukum tanah adat di Indonesia telah mengalami perkembangan dalam berbagai hal, karena ini
disesuaikan dengan adanya perkembangan zaman, tepat keberadaannya masih tetap dipandang
kuat oleh para masyarakat. Begitu juga dengan tanah adat yang ada didesa Tenganan sudah
merupakan bagian dari diri mereka dan tetap dipertahankan kelestariannya jika ada pihak-pihak
yang ingin merusaknya. Memang, setelah perkembangan zaman ditambah lagi setelah
berlakunya UUPA, hukum tanah adat masih tetap diakui sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan negara.
Oleh karena itu peran hukum tanah adat mulai memiliki porsi yang cukup besar. Hukum tanah
adat yang dibahas dalam pembahasan sebelumnya menunjukkan bahwa dengan adanya tanah
persekutuan dan tanah perseorangan menunjukkan
bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, yang serupa diatur dalam UUPA.
3.2 Saran
Bagi pemerintah:
Untuk bahan kajian untuk membuat undang-undang dari hukum adat desa Tenganan dan
mengakui hak ulayat masyarakat adat jika hak ulayat itu masih ada dan tidak bertentangan
dengan prinsip Negara Indonesia.
Bagi masyarakat:
Ikut serta dalam menanamkan nilai-nilai moral dan sosial dari hukum adat.
Daftar pustaka
Wignjodipoero, soerojo. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta: Toko Gunung Agung.
1967