Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Puncak insiden penyakit ini dijumpai pada usia 20 hingga 40 tahun yang
didominasi oleh wanita; dan pada usia 60 hingga 80 tahun sama antara wanita dan pria.
Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang,namun prevelansinya meningkat
baru-baru ini dengan estimasi terbaru mencapai 20 per 100000 orang di Amerika.
Angka kejadian miastenia gravis dipengaruhi oleh jenis kelamin dan umur. Angka
kejadian miastenia gravis pada wanita 3 kali lipat lebih tinggi dibandingkan pada pria
pada usia dewasa muda. Insiden pada pubertas hampir sama dengan populasi di atas 40
tahun. Miastenia gravis pada anak-anak di Eropa dan Amerika Utara cukup jarang,
kira-kira 10-15% dari keseluruhan kasus, namun lebih sering di negara-negara Asia,
dimana 50% pasien mempunyai awitan di bawah umur 15 tahun, kebanyakan dengan
manifestasi okular (Romi et all, 2005)
TINJAUAN PUSTAKA
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan
abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan
disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan
dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction. Dimana bila penderita
beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali (James, 2008)
b. Klasifikasi
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), Miastenia gravis dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
Untuk menilai tingkat respon terhadap terapi dan prognosis, Osserman membuat
klasifikasi klinis sebagai berikut :
a. Kelompok I Miastenia Okular : hanya menyerang otot-otot okular, disertai ptosis
dan diplopia. Sangat ringan dan tidak ada kasus kematian (15-20 %)
c. Kelompok III: Miastenia fulminan akut : progres yang cepat dengan kelemahan
otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai terserangnya otot-otot
pernafasan. Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan. Dalam
kelompok ini, persentase thymoma paling tinggi. Respon terhadap obat bururk dan
angka kematian tinggi. (15%)
d. Kelompok IV : Miastenia Berat lanjut : timbul paling sedikit 2 tahun sesudah
progress gejala-gejala kelompok I atau II. Respon terhadap obat dan prognosis
buruk. (10 %) 4, 8
c. Patogenesis
Miastenia gravis adalah salah satu penyakit gangguan autoimun yang mengganggu
sistem sinaps Pada penderita miastenia gravis, sel antibodi tubuh atau kekebalan tubuh
akan menyerang sinaps yang mengandung asetilkolin (ACh), yaitu neurotransmiter
yang mengantarkan rangsangan dari saraf satu ke saraf lainnya. Jika reseptor
mengalami gangguan maka akan menyebabkan defisiensi, sehingga komunikasi antara
sel saraf dan otot terganggu dan menyebabkan kelemahan otot. Pada bagian terminal
dari saraf motorik terdapat sebuah pembesaran yang biasa disebut bouton terminale
atau terminal bulb. Terminal Bulb ini memiliki membran yang disebut juga membran
presinaps, struktur ini bersama dengan membran post sinaps (pada sel otot) dan celah
sinaps (celah antara 2 membran) membentuk neuro muscular junction. Membran
presinaps mengandung asetilkolin (ACh) yang disimpan dalam bentuk vesikel-vesikel.
Jika terjadi potensial aksi, maka Ca+ Voltage Gated Channel akan teraktivasi.
Terbukanya channel ini akan mengakibatkan terjadinya influx Calcium. Influx ini akan
mengaktifkan vesikel-vesikel tersebut untuk bergerak ke tepi membran. Vesikel ini akan
mengalami docking pada tepi membran. Karena proses docking ini, maka asetilkolin
yang terkandung di dalam vesikel tersebut akan dilepaskan ke dalam celah sinaps. ACh
yang dilepaskan tadi, akan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChR) yang terdapat
pada membran post sinaps. AChR ini terdapat pada lekukan-lekukan pada membran
post sinaps. AChR terdiri dari 5 subunit protein, yaitu 2 alpha, dan masing-masing satu
beta, gamma, dan delta. Subunit-subunit ini tersusun membentuk lingkaran yang siap
untuk mengikat Ach (Vincent, 2002).
Ikatan antara ACh dan AChR akan mengakibatkan terbukanya gerbang Natrium pada
sel otot, yang segera setelahnya akan mengakibatkan influx Na+. Influx Na+ ini akan
mengakibatkan terjadinya depolarisasi pada membran post sinaps. Jika depolarisasi ini
mencapai nilai ambang tertentu (firing level), maka akan terjadi potensial aksi pada sel
otot tersebut. Potensial aksi ini akan dipropagasikan (dirambatkan) ke segala arah
sesuai dengan karakteristik sel eksitabel, dan akhirnya akan mengakibatkan kontraksi.
ACh yang masih tertempel pada AChR kemudian akan dihidrolisis oleh enzim
Asetilkolinesterase (AChE) yang terdapat dalam jumlah yang cukup banyak pada celah
sinaps. ACh akan dipecah menjadi Kolin dan Asam Laktat. Kolin kemudian akan
kembali masuk ke dalam membran pre-sinaps untuk membentuk ACh lagi. Proses
hidrolisis ini dilakukan untuk dapat mencegah terjadinya potensial aksi terus menerus
yang akan mengakibatkan kontraksi terus menerus.
Dalam kasus Miastenia Gravis terjadi penurunan jumlah asetilkolin receptor (AChR).
Kondisi ini mengakibakan asetilkolin (ACh) yang tetap dilepaskan dalam jumlah
normal tidak dapat mengantarkan potensial aksi menuju membran post-sinaps.
Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada jumlah normal akan
mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan oleh impuls tertentu.
inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit pada pasien. Pengurangan jumlah AChR
ini dipercaya disebabkan karena proses auto-immun di dalam tubuh yang memproduksi
anti-AChR bodies, yang dapat memblok AChR dan merusak membran post-sinaps.
Menurut Shah pada tahun 2006, anti-AChR bodies ditemukan pada 80%-90% pasien
Miastenia Gravis. Percobaan lainnya, yaitu penyuntikan mencit denga Immunoglobulin
G (IgG) dari pasien penderita Miastenia Gravis dapat mengakibatkan gejala-gejala
Miastenia pada mencit tersebut, ini menujukkan bahwa faktor immunologis memainkan
peranan penting dalam etiology penyakit ini. Alasan mengapa pada penderita Miastenia
Gravis, tubuh menjadi kehilangan toleransi terhadap AChR sampai saat ini masih belum
diketahui.Sampai saat ini, Miastenia Gravis dianggap sebagai penyakit yang disebabkan
oleh sel B, karena sel B lah yang memproduksi anti-AChR bodies.Namun, penemuan
baru menunjukkan bahwa sel T yang diproduksi oleh Thymus, memiliki peranan
penting pada patofisiologis penyakit Miastenia Gravis. Hal ini ditunjukkan dengan
banyaknya penderita Miastenia mengalami hiperplasia thymic dan thymoma (Vincent,
2002).
d. Manifestasi Klinis
Miastenia Gravis adalah penyakit kelemahan pada otot, maka gejala-gejala yang timbul
juga dapat dilihat dari terjadinya kelemahan pada beberapa otot. Gejala –gejala yang
timbul bervariasi pada tipe dan berat kasus, termasuk didalamnya adalah lemahnya
salah satu atau kedua kelopak mata yang biasa disebut ptosis, kabur atau penglihatan
ganda (diplopia) oleh karena kelemahan dari otot yang mengontrol pergerakan mata,
ketidakseimbangan atau gaya berjalan yang terhuyung-huyung, perubahan pada
ekspresi wajah, kesulitan dalam menelan yang dapat menyebabkan regurgitasi melalui
hidung jika mencoba menelan (otot-otot palatum) dan bila pasien meminum air,
mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya, menimbulkan suara yang abnormal atau
suara nasal (sengau) serta gangguan bicara (disartria), dan pasien tidak mampu menutup
mulut, yang dinamakan sebagai tanda rahang menggantung, nafas pendek, dan
kelemahan pada lengan, tangan, jari, tungkai bawah dan leher. Bila penyakit hanya
terbatas pada otot-otot mata saja, maka perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak
akan menyebabkan kematian. Satu awitan dari kelainan ini dapat terjadi secara
mendadak dan gejala sering tidak langsung dikenali sebagai miastenia gravis.
Pada kebanyakan kasus, gejala pertama yang dikenali adalah kelemahan pada otot
mata.Selain itu, kesulitan dalam menelan dapat menjadi tanda pertama. Derajat
kelemahan otot dalam miastenia gravis bervariasi tergantung pada individu
masingmasing, bentuk lokal yang terbatas pada otot mata (ocular miastenia), untuk
bentuk yang berat atau umum yang melibatkan banyak otot, terkadang melibatkan otot-
otot yang mengatur pernafasan. Aspek yang paling berbahaya dari Miastenia Gravis
disebut Miastenia Crisis, yang memungkinkan diperlukannya ventilator pada beberapa
kasus. Kelemahan otot pada Miastenia Gravis meningkat pada saat aktivitas yang terus
menerus dan membaik setelah periode istirahat. Pasien akan mengalami penurunan
tenaga sepanjang hari, dengan kecenderungan kelelahan dalam satu hari, atau
menjelang berakhirnya aktivitas. Jika dibiarkan, keluhan umum yang dialami oleh
pasien biasanya berkembang menjadi kesulitan pengunyahan selama makan. Gejala dari
berbagai kelemahan tersebut cenderung menjadi lebih buruk dengan adanya berbagai
macam stress, kepanasan, infeksi serta pada penderita dengan akhir masa kehamilan.
e. Diagnosis
Anamnesis
Adanya kelemahan/ kelumpuhan otot yang berulang setelah aktivitas dan membaik
setelah istirahat. Tersering menyerang otot-otot mata (dengan manifestasi: diplopi atau
ptosis), dapat disertai kelumpuhan anggota badan (terutama triceps dan ekstensor jari-
jari), kelemahan/kelumpuhan otot-otot yang dipersarafi oleh nervi cranialis, dpat pula
mengenai otot pernafasan yang menyebabkan penderita bisa sesak.
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara intramuskular
(bila perlu, diberikan pula atropin 0,8 mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh
Miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan
lain tidak lama kemudian akan lenyap.
Laboratorium
a. Anti striated muscle (anti-SM) antibody
Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 85% pasien yang menderita timoma
dalam usia kurang dari 40 tahun.Sehingga merupakan salah satu tes yang penting
pada penderita Miastenia gravis. Pada pasien tanpa timoma anti-SM Antibodi dapat
menunjukkan hasil positif pada pasien dengan usia lebih dari 40 tahun.
b. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita Miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab
negatif (Miastenia gravis seronegatif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-
MuSK Ab.
c. Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu Miastenia
gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 70%-95% dari penderita Miastenia
gravis generalisata dan 50% - 75 % dari penderita dengan Miastenia okular murni
menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien
timoma tanpa Miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR
antibody.
Elektrodiagnostik
Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi neuro
muscular melalui 2 teknik :
a. Single-fiber Electromyography (SFEMG)
SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa
peningkatan titer dan fiber density yang normal. Karena menggunakan jarum
single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita,
sehingga SFEMG dapat mendeteksi suatu titer (variabilitas pada interval
interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama)
dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat
direkam oleh jarum perekam).
b. Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Pada penderita Miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin,
sehingga pada RNS terdapat adanya penurunan suatu potensial aksi (Ropper, 2005)
(Mumenthaler, 2006).
Gambaran Radiologi
MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI
dapat digunakan apabila diagnosis Miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak. 4,
11-13
f. Diagnosis Banding
Berikut merupakan diagnosis banding myastenia gravis dan tampilan klinis pembeda.
Penatalaksanaan
- Penatalaksaan Simptomatik
- Terapi Immunodulatory
- Terapi Immunosupresant
Penatalaksanaan Simptomatik
- Anticholinesterase
Anticholinesterase atau cholisnesterase inhibitor bekerja menghambat
enzim hydrolisis dari ACh pada cholinergic synapse sehingga Ach
Terapi Immunomodulatory
- Thymectomy
Keuntungan dari thymectomy adalah pasien akan memiliki potensi
untuk drug free remission. Thymectomy direkomendasikan pada
pasien dengan symptom Miastenia gravis yang muncul pada usia
dibawah 60 tahun. Respon dari thymectomy tidak dapat diprediksi
dan gejala kemungkinan akan menetap hingga beberapa bulan sampai
tahun setelah operasi. Respon terbaik dari thymectomy terjadi pada
pasien perempuan usia muda. Pasien dengan thymoma
direkomendasikan untuk menghilang tumor tersebut dahulu sebelum
menjalani thymectomy. ( Khadilkar SV, 2004 )
Efek samping yang sering terjadi antara lain demam, sakit kepala
maupun menggigil. Reaksi tersebut dapat diringankan dengan
Terapi Immunosuppresant
- Kortikosteroid
Prednisone dilaporkan dapat menghilangkan gejala pada lebih dari
75% pasien dengan Miastenia Gravis. Perbaikan kondisi klinis
biasanya akan muncul 6 hingga 8 minggu setelah pemberian
prednisone pertama. Respon terbaik terjadi pada pasien dengan onset
muda. Pasien dengan thymoma biasanya akan membaik dengan
prednisone setelah dilakukan pengangkatan tumor.
Pengaturan dosis
berdasarkan kadar
serum CYA. Dosis
terbaik jika kadar CYA
antara 75 ng hingga
150 ng.
- Ocular Miastenia
Direkomendasikan untuk memulai terapi dengan cholinesterase
inhibitor terlebih dahulu, jika hasilnya tidak memuaskan maka
tambahkan prednison. Thymectomy dapat diindikasikan jika pasien
usia muda dengan kelemahan okuler persistent walaupun sudah
mendapat terapii cholinesterase inhibitor. Jika kelemahan pasien
berkembang dari otot okuler menjadi general miastenia maka
digunakan protokol generalized miastenia. ( Engel A, 2004 )
( Khadilkar SV, 2004)
Prognosis
Gejala awal yang dialami sebagian besar pasien adalah kelemahan
otot-otot ekstraokuler, yang biasanya terjadi pada tahun pertama.
Hampir 85% dari pasien tersebut akan mengalami kelemahan pada
otot-otot ekstremitas tiga tahun berikutnya. Kelemahan orofaring dan
eksteremitas pada fase awal jarang ditemukan. Tingkat keparahan yang
berat ditemukan saat tahun pertama pada hampir dua pertiga pasien,
dengan krisis myastenik terjadi pada 20% pasien. Gejala bisa
diperberat dengan adanya kondisi sistemik yang menyertai, contohnya
ISPA akibat virus, gangguan tiroid, dan kehamilan. Pada fase awal
penyakit, gejala bisa berfluktuasi dan membaik, walaupun perbaikan
jarang yang bersifat permanen. Relapses and remissions berlangsung
sekitar tujuh tahun, diikuti fase inaktif selama sekitar sepuluh tahun.
Sebelum penggunaan imunomodulator, mortality rate pada miastenia
gravis masih besar, yaitu sebesar 30%. Dengan adanya imunoterapi
dan perkembangan alat-alat terapi intensif, resiko kematian ini dapat
diturunkan menjadi kurang dari 5%. ( Engel A, 2004 ) ( Khadilkar SV,
2004 ).
DAPUS
Engel A. Miastenia gravis and miastenia syndromes. Annals of Neurology. 2004. Volume
16: Page: 519-534.
Khadilkar SV, Sahni AO, Patil SG. Miastenia gravis. JAPI. 2004 November; 52:897-903.
BAB III
STATUS PASIEN
I. Identitas
Nama : Ny. H
Umur : 45 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Bandar lampung
Masuk RS : 2 April 2019
II. Anamnesa (Autoanamnese 4 April 2019)
Keluhan utama : Sulit menelan
22
Keluhan tambahan : kelopak mata kiri kendur/jatuh ke sisi bawah,
pandangan kabur, nyeri kepala, leher kaku dan kesemutan, mulut kaku,
bicara pelo, intake per oral sulit.
Riwayat Pribadi
Pemeriksaan fisik
Keadaan Umum :
Kesadaran :
Status Gizi :
Tanda-tanda vital :
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba, thrill (-), heaving (-)
Perkusi : batas atas jantung normal , batas jantung kanan di ICS IV
linea sternal sinistra, batas jantung kiri ICS V-VI linea
aksilaris anterior sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, murmur (-),
gallop (-)
23
Paru
Inspeksi : Pada saat statis maupun dinamis, gerakan dada simetris.
Retraksi intercostal(-).
Palpasi : Fremitus raba kanan-kiri simetris
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : Vesikuler (+/+), rh +/+, whz -/-
Abdomen
Inspeksi : Dinding perut tampak cembung
Auskultasi : Peristaltik (+)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar-lien-massa tak teraba
Perkusi : Timpani
Trunk
Inspeksi : Skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), massa (-)
Perkusi : Nyeri ketok (-)
Ekstremitas
Oedem : (-/-)
Akral : hangat
Status lokalis: Pada digiti II manus sinistra sinistra, pulsasi menurun, nekrosis
pada distal (+)
24
Pemeriksaan Penunjang
CT:1 menit 30
detik
BT: 1 menit
-Rontgen Thoraks
25
-EKG
Ekg 29/8/18
Follow Up
26
Mata: CA -/-, SI -/-
Thoraks: simetris, sonor, fremitus kanan= kiri tidak menurun, ves +/+, rh -/-,
wheezing -/-, BJ 1& 2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: datar, BU (+) Normal, NT (-), H/L tak teraba, timpani
Ekstremitas: akral hangat, edem esktremitas (-)
St lokalis: nekrosis pada distal digiti II manus sinistra, sensorik (+), ROM tak
terbatas, pulsasi (-)
P//Tatalaksana
Amlodipin 1x10 mg
Metformin 3x 500 mg
Glimepirid 1x 2mg 1-0-0
27
Thoraks: simetris, sonor, fremitus kanan= kiri tidak menurun, ves +/+, rh -/-,
wheezing -/-, BJ 1& 2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: datar, BU (+) Normal, NT (-), H/L tak teraba, timpani
Ekstremitas: akral hangat, edem esktremitas (-)
St lokalis: nekrosis pada distal digiti II manus sinistra, sensorik (+), ROM tak
terbatas, pulsasi (-)
P//Tatalaksana
Amlodipin 1x5 mg
Metformin 3x 500 mg
Glimepirid 1x 2mg 1-0-0
As. Mefenamat 3x 500 mg
Ambroxol 3x 1tab
Cek sputum dahak
28
P//Tatalaksana
Amlodipin 1x5 mg
Metformin 3x 500 mg
Glimepirid 1x 2mg 1-0-0
Ambroxol 3x1 tab
P//Tatalaksana
Amlodipin 1x5 mg
Metformin 3x 500 mg
Glimepirid 1x 2mg 1-0-0
20.15 EKG Ulang: Hasil EKG Atrial Fibrilasi Tipe RVR, konsul ulang Sp.An:
saran rujuk ke RS dengan fasilitas Sp.JP
29
-Hipertensi grade II
-Susp Bronkopneumonia dd TB
P//Instruksi Tatalaksana
-Pasien boleh pulang, kontrol poli ortopedi tanggal 5/9/2018 dan rujuk Sp. JP dari
poli ortopedi
Amlodipin 1x10 mg
Metformin 3x 500 mg
Glimepirid 1x 2mg 1-0-0
Asam Mefenamat 2 x 500 mg
Vit B kompleks 3x 1 tab
BAB IV
ANALISA KASUS
30
SMRS. sesekali os merasa ujung jarinya nyeri saat mencoba menggunakan
tangannya. Os juga mengaku jari telunjuknya terasa kebas, namun jika
disentuh masih dapat terasa sensasi sentuhannya. Os mengaku jari mulai
menghitam dan mulai kebas dan sudah sejak 1 bulan sebelumnya (2 bulan
SMRS) dan kuku jari telunjuk os tidak tumbuh tumbuh. Pada anamnesis
didapatkan data bahwa os baru mengetahui sejak 1 bulan SMRS bahwa
dirinya menderita DM Tipe II dan terdapat riwayat dirawat karena
pembengkakan jantung dan merokok 1-2 bungkus perhari sejak 30 tahun
lalu.
31
menderita DM Tipe II dan pengontrolan kadar glikemik yang minim yang
dapat digambarkan dari kadar GDS pasien ketika awal masuk rawat inap,
dari status gizi pasien tergolong obesitas dan pasien memiliki riwayat
merokok yang cukup lama yaitu 30 tahun dengan konsumsi 1-2 bungkus
rokok perhari. Kondisi kondisi di atas dapat saling terkait dalam terjadinya
pembentukan lesi aterosklerotik yang dapat mengoklusi pembuluh darah
besar dan pembuluh darah kecil.
32
Pada kriteria Shionoya sebagai dasar diagnosis tromboangitis obliterans ,
yang termasuk kriteria ini yaitu riwayat merokok, usia belum 50 tahun,
memiliki penyakit oklusi arteri infrapopliteal, fl ebitis migrans pada salah
satu ekstremitas atas dan tidak ada faktor risiko aterosklerosis selain
merokok. Pada kriteria Ollin sebagai dasar kriteria tromboangitis
obliterans, kriteria meliputi berumur antara 20-40 tahun, Merokok atau
memiliki riwayat merokok, ditemukan iskemi ekstremitas distal yang
ditandai oleh klaudikasio, nyeri saat istirahat, ulkus iskemik atau gangren
dan didokumentasikan oleh tes pembuluh darah non-invasif, telah
menyingkirkan penyakit autoimun lain, kondisi hiperkoagulasi, dan
diabetes mellitus dengan pemeriksaan laboratorium , telah menyingkirkan
emboli berasal dari bagian proksimal yang diketahui dari echokardiografi
atau arteriografi dan penemuan arteriografi yang konsisten dengan kondisi
klinik pada ekstremitas yang terlibat dan yang tidak terlibat. Kriteria Miles
dan Porter bahkan telah mengeeksklusi faktor faktor terkait aterosklerotik
untuk menegakkan tromboangitis obliterans atau Buerger disease.
Pada saat EKG ulang, hasil rekam ekg menunjukkan gambaran atrial
fibrilasi tipe RVR. Atrial fibrilasi adalah aritmia jantung menetap yang
paling umum didapatkan. Ditandai dengan ketidakteraturan irama dan
peningkatan frekuensi atrium sebesar 350-650 x/menit sehingga atrium
menghantarkan implus terus menerus ke nodus AV. Atrial fibrilasi terjadi
33
karena meningkatnya kecepatan dan tidak terorganisirnya sinyal-sinyal
listrik di atrium, sehingga menyebabkan kontraksi yang sangat cepat dan
tidak teratur (fibrilasi). Sebagai akibatnya, darah terkumpul di atrium dan
tidak benar-benar dipompa ke ventrikel. Ini ditandai dengan heart rate
yang sangat cepat sehingga gelombang P di dalam EKG tidak dapat
dilihat. Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan anatara
penyakit arteri perifer meningkatkan resiko AF dan AF dapat
meningkatkan resiko PAP.
Pada atrial fibrilasi, aktivitas sitolik pada atrium kiri tidak teratur, terjadi
penurunan atrial flow velocities yang menyebabkan statis pada atrium kiri
dan memudahkan terbentuknya trombus. Beberapa penelitian
menghubungkan AF dengan gangguan hemostasis dan thrombosis.
Kelainan tersebut mungkin akibat dari statis atrial tetapi mungkin juga
sebagai kofaktor terjadinya tromboemboli pada AF. Kelainan-kelainan
tersebut adalah peningkatan faktor von Willebrand ( faktor VII ),
fibrinogen, D-dimer, dan fragmen protrombin Sohaya melaporkan AF akan
meningkatkan agregasi trombosit, koagulasi dan hal ini dipengaruhi oleh
lamanya AF. Hal ini memungkinkan bahwa diagnosis banding dari kasus
pasien adalah trombosis atau emboli yang disebabkan dari kondisi AF,
terutama AF paroksismal atau AF asimptomatik yang dapat sukar
diketahui jika tidak dilaksanakan pemeriksaan EKG berkala.
34
lainnya adalah diuretik tipe thiazid. Pada pasien tidak ditemukan dugaan
mengarah ke penyakit ginjal kronik, sehingga lebih dianjurkan penggunaan
golongan CCB dibandingkan ACEI atau ARB, sesuai dengan algoritma
hipertensi JNC VIII.
Pilihan amputasi digiti manus pada pasien dalam kasus ini merupakan opsi
akhir, karena kondisi digiti yang sudah tidak vital lagi (nekrosis). Amputasi
35
diindikasikan pada kondisi seperti kelainan ekstremitas akibat penyakit
pembuluh darah (PVD), trauma berat dan tumor ganas. Pada penyakit akibat
gangguan pembuluh darah, batas amputasi pada penyakit pembuluh darah
ditentukan oleh vaskularisasi sisa ekstremitas dan daya sembuh luka
puntung. Umumnya dapat dikatakan bahwa amputasi harus dilakukan
sedistal mungkin, tim rehabilitasi juga sebaiknya disertakan dalam
penentuan batas amputasi sehubungan dengan jenis prostesis yang akan
digunakan. Amputasi pada ekstremitas atas tidak memiliki batasan batasan
seperti amputasi ekstremitas bawah yang disebut batas klasik. Pada
amputasi jari tangan, prinsipnya adalah sedapat mungkin falang dasar
dipertahankan, karena setiap jari yang masih memiliki sensibilitas kulit yang
utuh dapat berguna untuk fungsi menggenggam dan oposisi ibu jari.
DAFTAR PUSTAKA
36
8. Agrawal K, Eberhardt RT. Contemporary Medical Management of
Peripheral Arterial Disease. Cardiol Clin. Elsevier Inc; 2015;33(1):111–37.
9. Aryani E, Nugroho KH, Margawati A. Hubungan Antara Dislipidemia
dengan Status Penyakit Arteri Perifer pada Pasien DM Tipe II Terkontrol
Sedang. Jurnal Kedokteran Diponegoro. 2016. 5(4):720-36
10. Decroli E. Iskemia pada Jari Tangan Penderita Diabetes Melitus: Suatu
Keadaan Peripheral Arterial Disease. Jurnal Kesehatan Andalas. 2015. 4
(2):654-8
11. TASC Working Group. TransAtlantic Inter-Society Concensus (TASC).
Management of peripheral arterial disease (PAD). J Vasc Surg. 31: 2000.
12. Aboyans V., Criqui MH., Abraham P., et al. Measurement and
Interpretation of the Ankle-Brachial Index: A Scientific Statement From
the American Heart Association. Circulation. 2012; 126(24): 2890-2909.
13. Tendera M., Aboyans V., Bartelink ML., Baumgartner I., Clement D.,
Collet JP., et al. ESC Guidelines on the diagnosis and treatment of
peripheral artery diseases. Eur Hear J. 2011; 32: 2851-2906.
14. Daniela C.Gey. in : Management of peripheral arterial disease. University
of Heidelberg School of Medicine, Heidelberg. 2004. Vol 69
15. Bonow RO, et al. Braunwald’s Heart Disease: A Textbook of
Cardiovascular Medicinie 9th Edition. 2012. Philadelphia: Elsevier
Saunders.
16. Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R. Buku
Ajar Ilmu Bedah de Jong. 2010. Jakarta: EGC.1080-83 p
17. Foster DW.Diabetes melitus. In : Principle of Internal Medicine 19 ed.
Asdie, A, edito. Philadelphia 2014; 2196.
18. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe
2 di Indonesia. 2011. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia. Jakarta. 2011
19. Purnamasari D. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III. Departemen Ilmu Panyakit Dalam FKUI;
2009; hal. 1880-3
20. Soegondo S. Farmakoterapi pada Pengendalian Glikemia Diabetes Melitus
Tipe 2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III. Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2009; hal 1884-90
37
LAPORAN KASUS
Oleh
Dokter Pendamping :
38
Dokter Penganggung Jawab Pasien:
39
40