Anda di halaman 1dari 44

1

BAKTERI PENYEBAB PENYAKIT SALURAN


PERNAFASAN

4.1 Pendahuluan

Penyakit pernafasan merupakan penyakit penting yang terdapat

pada saluran pernapasan baik saluran pernapasan atas maupun

saluran pernapasan bawah disebabkan oleh bakteri. Bakteri

penyebabnya ini bermacam-macam tergantung dari daerah yang

terinfeksi. Umumnya penyakit ini merupakan separoh dari keseluruhan

kasus yang mendatangi dokter umum, serta sering merupakan

penyebab dari ketidakhadiran bekerja yang disebabkan oleh sakit.

Gambaran klinis dari berbagai penyakit ini hampir sama

walaupun disebabkan oleh berbagai bakteri penyebab, tetapi dengan

gejala penyakit yang berbeda.

4.2 Anatomi Saluran Pernapasan

Secara anatomi saluran pernapasan dapat dibayangkan sebagai

jalan terusan dari bibir dan hidung ke trakea dan bronkus dengan

dilapisi mukosa. Dan juga terdapat sisi saluran sempit yang menuju ke

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


2

ruangan dan dilapisi mukosa yang lebih besar yang biasanya diisi oleh

udara. Ruangan ini disebut dengan telinga tengah dan selanjutnya

akan berhubungan dengan orofaring dan nasofaring.

Obstruksi saluran penghubung seperti tuba eustachii atau ostia

sinus, akan mempengaruhi secara bermakna perkembangan infeksi

dalam ruangan ini. Hubungan yang erat antara berbagai jaringan

limfoid, permukaan mukosa dan orifisium akan mempengaruhi

manifestasi dari penyakit.

Saluran pernapasan ini terdiri dari hidung, tenggorok, faring,

laring, trakea, bronkus dan paru-paru dan biasanya dibagi menjadi

saluran pernapasan atas dan saluran pernapasan bawah. Perhatikan

gambar anatomi saluran pernapasan di bawah ini:

Gambar 4-1. Anatami Saluran Pernafasan

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


3

4.3 Bakteri Yang Dapat Menyebabkan Infeksi


Saluran Pernapasan

4.3.1 Bakteri Gram Positif

a. Kokus Gram Positif

1. Staphylococcus aureus

 Patogenesis

Kemampuan patogenik strain S. aureus tertentu merupakan

efek gabungan factor-faktor ekstraseluler, toksin-toksin serta sifat

invasive strain itu. Pada suatu akhir spektrum penyakit adalah

keracunan makanan oleh Staphylococcus, yang semata-mata akibat

termakannya enterotoksin yang sudah terbentuk, sedangkan bentuk

akhir lainnya adalah bakterimia dan abses yang tersebar di semua

organ.

S. aureus yang patogen dan invasive cenderung menghasilkan

koagulase dan pigmen kuning, dan bersifat hemolitik. Organisme ini

jarang menyebabkan pernanahan tetapi dapat menginfeksi

kardiovaskuler.

 Gambaran Klinik

Infeksi S. aureus dapat disebabkan oleh kontaminasi

langsung pada luka, misalnya luka pasca bedah atau infeksi setelah

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


4

trauma. Bila S. aureus menyebar dan terjadi bakteriemi, dapat

terjadi endokarditis, osteomielitis akut hematogen, meningitis, atau

infeksi paru-paru. Gambaran klinisnya mirip dengan gambaran

klinis yang terlihat pada infeksi lain yang melalui aliran darah.

Lokalisasi sekunder dalam suatu organ atau sistem diikuti oleh

tanda-tanda dan gejala disfungsi organ dan pernanahan setempat

yang hebat.

Infeksi lokal Staphylococcus muncul sebagai suatu infeksi

folikel rambut atau abses. Biasanya reaksi peradangan berlangsung

hebat, terlokalisasi, dan nyeri, yang mengalami pernanahan sentral

dan sembuh dengan cepat bila nanah dikeluarkan. Dinding fibrin

dan sel-sel di sekitar inti abses cenderung mencegah penyebaran

organisme dan sebaliknya tidak dirusak oleh manipulasi atau

trauma.

Keracunan makanan yang disebabkan enterotoksin ditandai

oleh masa inkubasi yang pendek (1-8 jam), rasa mual, muntah-

muntah, dan diare yang hebat, dan penyembuhan yang cepat, tidak

ada demam.

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


5

 Pengobatan

Kebanyakan orang mempunyai Staphylococcus pada kulit

dan dalam hidung atau tenggorokan. Meskipun kulit dapat

dibersihkan dari Staphylococcus (misalnya pada eksema), dengan

cepat akan terjadi reinfeksi melalui droplet. Organisme patogen

sering menyebar dari satu lesi (misalnya furunkel) ke daerah kulit

lainnya melalui jari dan pakaian. Oleh karena itu antisepsis lokal

yang cermat sangat penting untuk mengendalikan furunkulosis

yang berulang.

Abses dan lesi bernanah lainnya diobati dengan drainase,

yaitu tindakan yang sangat penting dan terapi antimikroba.

Banyak obat antimikroba memiliki efek terhadap Staphylococcus

in vitro. Namun, sangat sukar membasmi Staphylococcus patogen

pada orang-orang yang terinfeksi bakteri ini, karena organisme ini

cepat menjadi resisten terhadap kebanyakan obat antimikroba,

dan obat-obat itu tidak dapat bekerja pada bagian sentral lesi

nekrotik yang bernanah. S. aureus pada pembawa bakteri juga

sangat sukar untuk dibasmi.

Osteomielitis akut hematogen memberi respons yang baik

terhadap obat antimikroba. Pada osteomielitis yang kronis dan

berulang, dilakukan drainase dan pembuangan tulang yang mati

dengan pembedahan disertai dengan pemberian obat yang cocok

dalam jangka panjang, tetapi pembasmian Staphylococcus

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


6

penyebab infeksi sangat sulit. Oksigen hiperbarik dan

penggunaan flap miokutan dengan vaskularisasi dapat membantu

penyembuhan pada osteomielitis kronis.

Bakterimia, endokarditis, pneumonia, dan infeksi hebat lain

yang disebabkan oleh S. aureus memerlukan terapi intravena

yang lama dengan penisilin yang resisten terhadap -laktamase.

Vankomisin sering dicadangkan untuk Staphylococcus yang

resisten terhadap nafsilin. Jika infeksi disebabkan oleh S. aureus

yang tidak menghasilkan -laktamase, penisilin G merupakan

obat pilihan, tetapi hanya sedikit strain S. aureus yang peka

terhadap penisilin G.

Karena sering timbul strain yang resisten terhadap obat,

isolat Staphylococcus yang penting sebaiknya diperiksa

kepekaannya terhadap antimikroba untuk membantu pemilihan

obat sistemik. Resistensi terhadap obat golongan eritromisin

cenderung timbul demikian cepat sehingga obat ini sebaiknya

tidak digunakan sebagai obat tunggal dalam pengobatan infeksi

menahun. Resistensi obat (terhadap penisilin, tetrasiklin,

aminoglikosida, eritromisin, dan sebagainya) yang ditentukan oleh

palsmid, dapat dipindah-pindahkan diantara Staphylococcus

dengan transduksi dan mungkin dengan konjungasi.

Pada infeksi klinis, strain S. aureus yang resisten terhadap

penisilin G selalu menghasilkan penisilinase. Sekarang bakteri ini

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


7

merupakan 70-90% isolat S. aureus dalam masyarakat Amerika

Serikat. Bakteri ini biasanya peka terhadap terhadap penisilin

yang resisten terhadap -laktamase, sefalosporin, atau

vankomisin. Resistensi terhadap nafsilin tidak tergantung pada

pembentukan -laktamase, dan insidensi klinisnya sangat

bervariasi di berbagai negara dan pada waktu yang berbeda.

Pengaruh seleksi obat antimikroba yang resisten terhadap -

laktamase mungkin bukan satu-satunya faktor yang menentukan

timbulnya resistensi terhadap obat ini. Contoh, di Denmark,

pada tahun 1970 S. aureus yang resisten terhadap nafsilin

atau obat serupa. Di Amerika Serikat, S. aureus yang resisten

terhadap nafsilin hanya merupakan 0.1% isolat pada tahun 1970,

tetapi pada tahun 1990-an ditemukan pada 10-30% isolat yang

berasal dari infeksi nosokomial pada beberapa rumah sakit.

Vankomisin masih merupakan obat paling efektif untuk

Staphylococcus.

 Epidemiologi Dan Pengendalian

Sumber infeksi adalah lesi manusia, benda yang

terkontaminasi bakteri dari lesi itu, dan saluran pernafasan serta

kulit manusia. Penyebaran infeksi melalui kontak langsung

bertambah penting di rumah sakit, karena sebagian besar

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


8

karyawan dan penderita mengandung Staphylococcus yang

resisten terhadap antibiotika pada hidung atau kulit mereka.

Kebersihan, hygiene, dan penanganan lesi secara aseptik dapat

mengendalikan penyebaran bakteri dari lesi, tetapi hanya ada

sedikit cara untuk mencegah penyebaran Staphylococcus dari

para pembawa bakteri. Aerosol (misalnya glikol) dan penyinaran

ultra ungu terhadap udara tidak banyak berguna.

Di rumah sakit, daerah yang paling tinggi resikonya

terhadap infeksi Staphylococcus adalah kamar perawatan bayi

baru lahir, unit perawatan intensif, kamar bedah, dan bagian

kemoterapi kanker S. aureus patogen “epidemik” masuk secara

besar-besaran ke daerah ini dan dapat menyebabkan penyakit

klinis yang berbahaya. Karyawan dengan lesi Staphylococcus aktif

dan pembawa bakteri mungkin akan dilarang memasuki daerah

ini. Pada orang-orang ini, pemakaian antiseptik topical (misalnya

krim klorheksidin atau basitrasin) di hidung atau di daerah

perineal dapat mengurangi penyebaran organisme yang

berbahaya ini. Rifampin yang diberikan bersama obat anti

Staphylococcus oral lain kadang-kadang dapat menekan keadaan

“pembawa” dalam jangka waktu panjang dan mungkin dapat

menyembuhkan pembawa bakteri di hidung; bentuk terapi ini

biasanya dicadangkan untuk pembawa Staphylococcus yang sulit

diatasi dengan cara lain, karena Staphylococcus cepat menjadi

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


9

resisten terhadap rifampin. Antiseptik, seperti heksaklorofen,

dapat dipergunakan pada bayi baru lahir untuk menghilangkan

pembentukan koloni Staphylococcus. Tetapi sifat toksisitasnya

membuat antiseptik ini tidak digunakan secara luas.

2. Streptococcus pyogenes

Kebanyakan Streptococcus yang mengandung antigen A

adalah S. pyogenes. S. pyogenes adalah bakteri patogen bagi

manusia yang berkaitan dengan invasi lokal atau sistemik dan

gangguan imunologi setelah infeksi Streptococcus.Biasanya terdapat

pada penyakit faringitis, tonsilitis dan penyakit yang lainya.

 Patogenesis dan Gambaran Klinik

Penyakit yang Diakibatkan Oleh Infeksi Lokal S. pyogenes:

1. Faringitis Streptococcus

Infeksi paling umum yang disebabkan Streptococcus -

hemolitik adalah sakit tenggorokan. Streptococcus golongan A

yang virulen melekat pada epitel faring dengan pertolongan

asam lipoteikoat yang menutupi pili permukaan. Pada bayi dan

anak kecil, penyakit ini muncul sebagai nasofaringitis sub akut

dengan sekret serosa encer dan demam ringan, infeksi ini

cenderung meluas ke telinga tengah dan selaput otak.

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


10

Infeksi Streptococcus pada saluran nafas bagian atas

biasanya tidak mengenai paru-paru. Pneumonia oleh

Streptococcus  hemolitik umumnya sangat berat dan cepat

progresif, ini biasanya merupakan penyerta infeksi virus.

2. Pioderma Streptococcus

Terjadi infeksi lokal lapisan superficial kulit, terutama

pada anak-anak, dinamakan impektigo. Kelainan ini terdiri atas

lepuh superfisial yang mudah pecah dan daerah tererosi dengan

permukaan gundul diliputi oleh nanah atau kerak.

3. Endokarditis Infektif

a. Endokarditis Akut

Selama bakteremia, Streptococcus -hemolitik,

Pneumococus, atau bakteri lainnya menetap pada katup

jantung normal atau yang sebelumnya telah rusak,

mengakibatkan endokarditis akut. Perusakan katup berjalan

dengan cepat dan sering mengakibatkan gagal jantung yang

fatal dalam beberapa hari atau beberapa minggu.

b. Endokarditis Sub Akut

Infeksinya sering mengenai katup yang abnormal.

Walaupun setiap organisme yang mencapai aliran darah dapat

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


11

tinggal pada lesi-lesi trombotik di endotel yang terluka akibat

stress sirkulasi, endokarditis akut paling sering disebabkan

oleh anggota flora normal saluran pencernaan yang secara

kebetulan mencapai darah.

c. Penyakit Pasca Streptococcus (Demam reumatik,


Glomerulonefritis)

Setelah infeksi akut oleh Streptococcus golongan A, ada

masa laten 1-4 minggu, sesudah itu dapat timbul nefritis atau

demam reumatik. Adanya masa laten menimbulkan dugaan

bahwa penyakit pasca Streptococcus tidak disebabkan oleh efek

langsung bakteri penyebabnya, tetapi karena adanya respons

hipersensitivitas.

 Tes Diagnostik Laboratorium

a. Bahan

Bahan diambil berdasarkan sifat-sifat infeksi

Streptococcus. Usap tenggorokan, nanah, atau darah diambil

untuk biakan. Serum diambil untuk penetapan antibodi.

b. Sediaan Apus

Sediaan dari nanah lebih sering menunjukan kokus

tunggal atau berpasangan dari pada bentuk rantai. Kokus

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


12

kadang-kadang gram negatif, sebab organisme tidak lagi hidup

dan kehilangan kemampuan menahan zat warna biru sehingga

tidak menjadi gram positif.

c. Biakan

Bahan yang diduga mengandung kuman ini dibiakkan

pada lempeng agar darah. Jika diduga ada bakteri anaerob,

perbenihan anaerobik juga harus diinokulasikan. Pengeraman

pada CO2 10% sering mempercepat hemolisis.

Tingkat dan jenis hemolisis dapat membantu

menempatkan organisme dalam golongan yang tepat. Penetuan

tipe dan golongan secara serologik dengan tes presipitin atau

koagulasi harus dilakukan bila diperlukan klasifikasi yang

pasti dan untuk alas an epidemiologik.

d. Tes Pendeteksian Antigen

Beberapa perangkat komersil dapat dengan cepat

mendeteksi adanya antigen Streptococcus golongan A pada

usapan tenggorokan. Perangkat ini menggunakan metode

enzimatik atau kimiawi untuk mengekstrak antigen dari

usapan, kemudian menggunakan tes EIA atau tes aglutinasi

untuk menunjukkan adanya antigen. Tes-tes ini mempunyai

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


13

kepekaan 60-90% dan spesifitas 98-99% jika dibandingkan

dengan metode biakan.

e. Tes Serologik

Peningkatan titer antibodi terhadap antigen Streptococcus

golongan A dapat dihitung, antibodi seperti ini meliputi

antistreptolisin (ASO), khususnya pada penyakit pernapasan;

anti DNase dan antihialuronidase, khususnya pada infeksi

kulit. Di antara semua ini, yang paling sering digunakan

adalah titer anti-ASO.

 Epidemiologi, Pencegahan Dan Pengendalian

Tindakan pengendalian ditujukan langsung pada sumber

manusia: (1) Penemuan dan terapi antimikroba awal terhadap

infeksi saluran pernapasan dan kulit oleh Streptococcus

golongan A. (2) Kemoprofilaktis antiStreptococcus pada orang yang

telah terserang demam reumatik. Ini meliputi pemberian satu

suntikan benzatin penisilin G, pemberian penisilin secara oral

atau pemberian sulfonamida secara oral setiap hari. (3)

Pemberantasan Streptococcus golongan A dari pembawa. Ini

sangat penting bila pembawa berada dalam daerah tertentu

seperti kamar bersalin, kamar bedah, bangsal atau kamar

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


14

perawatan bayi. (4) Pengendalian debu, ventilasi, penyaringan

udara; sinar ultraungu dan kabut aerosol diragukan manfaatnya

dalam pengendalian penyebaran bakteri ini. (5) Saat ini,

Streptococcus golongan B merupakan penyebab kebanyakan

kasus sepsis neonatal. Bakteri ini berasal dari saluran kelamin

ibu, yang menbawa bakteri secara asimtomatik. Penyakit

Streptococcus goglongan B pada bayi baru lahir dapat dicegah

dengan pemberian obat profilaktis pada ibu dengan biakan positif

yang mengalami partus prematurus atau ketuban pecah dini.

4. Streptococcus pneumonia (Pneumococcus)

a. Morfologi Dan Identifikasi

 Ciri Khas Organisme

Diplococcus berbentuk lanset, gram positif yang khas sering

terlihat dalam bahan biakan muda. Pada dahak atau nanah, juga

terlihat kokus tunggal atau rantai. Semakin tua, organisme ini

cepat menjadi gram negatif dan cenderung melisis secara spontan.

Autolisis Pneumococcus sangat meningkat bila ada zat aktif

permukaan. Pada perbenihan padat, pertumbuhan Pneumococcus

dihambat di sekitar cakram optokin.

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


15

 Biakan

Pneumococcus membentuk koloni bulat kecil mula-mula

berbentuk kubah dan kemudian timbul lekukan di tengah-

tengahnya dengan pinggiran yang meninggi dan  hemiolisis pada

agar darah. Pertumbuhan bakteri ditingkatkan dengan 5-10% CO2.

 Sifat-sifat Pertumbuhan

Kebanyakan energi diperoleh dari peragian glukosa. Ini diikuti

oleh pembentukan asam laktat yang cepat, yang membatasi

pertumbuhan. Bila pada selang waktu tertentu dilakukan netralisasi

biakan kaldu dengan basa, akan pertumbuhan yang massif.

 Variasi

Biakan Pneumococcus mengandung beberapa organisme yang

tidak dapat membentuk polisakarida simpai sehingga membentuk

koloni kasar, tetapi sebagian besar bakteri menghasilkan

polisakarida dan membentuk koloni halus. Bentuk kasar akan

banyak ditemukan bila biakan ditumbuhkan pada serum

antipolisakarida tipe spesifik.

 Transformasi

Bila suatu tipe Pneumococcus yang tidak membuat simpai

polisakarida ditumbuhkan dalam ekstrak DNA dari tipe

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


16

Pneumococcus yang menghasilkan polisakarida simpai, akan

terbentuk Pneumococcus bersimpai dari tipe terakhir. Reaksi

transformasi yang serupa pernah dilakukan dalam rangka

perubahan resistensi obat.

b. Patogenesis

Pada orang dewasa, tipe 1-8 menyebabkan kira-kira 75%

kasus pneumonia Pneumococcus dan lebih dari setengah kasus

bakteremia Pneumococcus yang fatal, pada anak-anak, tipe 6, 14,

19, dan 23 merupakan penyebab yang paling sering.

Pneumococcus menyebabkan penyakit melalui kemampuannya

berbiak dalam jaringan. Bakteri ini tidak menghasilkan toksin yang

bermakna. Virulensi organisme disebabkan oleh fungsi simpainya,

yang mencegah atau menghambat penghancuran sel yang bersimpai

oleh fagosit.

Faktor-faktor yang mempengaruhi daya tahan/imunitas yang

menyebabkan predisposisi terhadap infeksi ini adalah:

1. Kelainan saluran pernapasan

2. Alkohol atau intoksikasi obat

3. Kelainan sirkulasi (konngesti paru dan payah jantung).

4. Malnutrisi, debilitas umum,anemia sel sabit, hipoplenisme,

nefrosis atau defiensi komplemen.

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


17

c. Gambaran Klinik

Serangan pneumoia Pneumococcus biasanya mendadak, dengan

demam, menggigil, dan nyeri pleura yang nyata. Dahak mirip dengan

eksudat alveoli, mengandung darah atau seperti karat. Pada permulaan

penyakit, ketika demam tinggi, terdapat bakteremia dalam 10-20 kasus.

Sebelum adanya kemoterafi, penyembuhan penyakit dimulai di antara

hari kelima dan hari kesepuluh karena pada saat itu timbul antibodi

tipe spesifik. Pneumonia yang disertai bakteremia selalu menyebabkan

angka kematian yang paling tinggi.

Pneumonia Pneumococcus harus dibedakan dari infark paru-paru,

neoplasma, payah jantung kongesif dan pneumonia yang disebabkan

oleh banyak bakteri lainnya.

d. Tes Diagnostik Laboratorium

Darah diambil untuk biakan, dan dahak dikumpulkan untuk

mencari Pneumococcus dengan memeriksa sediaan apus dan biakan.

Tidaklah praktis melakukan tes serum untuk antibodi. Dahak dapat

diperiksa dengan beberapa cara.

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


18

 Sediaan yang Diwarnai

Pewarnaan Gram dari dahak yang merah karat menunjukan

ciri-ciri khas organisme, banyak netrofil polimorfonuklir, dan

banyak sel darah merah.

 Tes pembengkakan simpai

Dahak segar yang diemulsikan dicampur dengan antiserum

sehingga mengakibatkan pembengkakan simpai untuk identifikasi

Pneumococcus dan mungkin penentuan tipe.

 Biakan

Dahak dibiarkan pada agar darah dan dieramkan dalam CO2

atau dalam botol berlilin.

 Penyuntikan Dahak Pada Mencit Percobaan Secara


Intraperitonial

Hewan mati dalam 18-48 jam, darah jantung memberikan

biakan murni Pneumococcus. Cara biakan Pneumococcus ini sangat

peka, tetapi jarang dipakai sebab harus memelihara mencit.

 Meningitis Pneumococcus harus didiagnosis dengan segera dan

membiakan cairan serebospinal.

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


19

e. Epidemiologi, Pencegahan Dan Pengendalian

Pneumonia Pneumococcus kira-kira merupakan 60-80% dari

semua kasus pneumonia oleh bakteri. Penyakit ini adalah endemik

dengan jumlah pembawa bakteri yang tinggi. Dalam perkembangan

penyakit, faktor-faktor predisposisi lebih penting dalam hal

menimbulkan penyakit daripada kontak dengan penyebab infeksi,

dan pembawa bakteri yang sehat lebih penting dalam penyebaran

penyakit daripada penderita yang sakit.

Individu-individu dapat diimunisasi dengan polisakarida tipe

spesifik. Vaksin ini dapat memberikan perlindungan 90% terhadap

bakteremia pneumonia. Pada anak-anak umur 2 tahun dan

penderita limfoma, vaksin Pneumococcus sangat berkurang

imunogenitasnya; pada penderita dengan risiko tinggi ini, vaksinasi

harus disertai dengan profilaksis penisilin.

4.3.2 Batang Gram Positif

1. Corynebacterium Diptheriae

a. Morfologi dan Identifikasi

 Ciri –ciri Khas Organisme


Corinebacteria berdiameter 0,5-1 m dan panjangnya
beberapa micrometer. Ciri khas bakteri ini adalah pembengkakan
tidak teratur pada salah satu ujungnya, yang menghasilkan
bentuk seperti ”gada”. Di dalam batang tersebut (sering di dekat
ujung) secara tidak beraturan tersebar granula-granula yang dapat
diwarnai dengan jelas dengan zat warna anilin (granula

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


20

metakromatik) yang menyebabkan batang tersebut berbentuk


seperti tasbih. Tiap korinebakteria pada sediaan yang diwarnai
cenderung terletak pararel atau membentuk sudut lancip satu
sama lain. Percabangan jarang ditemukan dalam biakan.

2. Biakan :
Pada agar darah koloni C diphteriae tampak kecil, bergranula,
dan berwarna kelabu, dengan batas-batas yang tidak tertaur, dan
memiliki daerah hemolisis yang kecil. Pada agar yang mengandung
kalium telurit, koloni berwarba kelabu sampai hitam sebab telurit
direduksi di dalam sel (stafilokokus dan streptokokus dapat juga
membentuk koloni hitam). Ketiga biovar C diphtheriae secara khas
mempunyai gambaran sebagai berikut : gravis, mitis, intermedius.
Varian ini diklasifikasikan berdasarkan ciri khas pertumbuhan seperti
morfologi koloni, reaksi biokimia, dan sebagai penyakit yang disebabkan
oleh infeksi. Sangat sedikit referensi laboratorium yang memberikan ciri
khas boivar; insiden difteri telah sangat menurun dan hubungan
berbagai penyakit dengan biovar tidak penting untuk klinik atau
pengaturan kesehatan masyarakat terhadap suatu kasus atau wabah.
Jika diperlukan dalam suatu wabah, metode imunokimia dan molekuler
dapat digunakan untuk menggolongkan isolat C diphtheriae.

3. Sifat-sifat Pertumbuhan
C diphtheriae dan korinebakteria lain tumbuh secara aerob pada
sebagian besar [erbenihan laboratorium. Propionibacterium, bersifat
anaerob. Pada perbenihan serum Loeffler, korinebakteria tumbuh jauh
lebih mudah daripada kuman patogen pernapasan lainnya, dan pada
sediaan mikroskopik, morfologi organisme tampak khas. Kuman ini
membentuk asam, tetapi tidak membentuk gas pada beberapa
karbohidrat.

d. Variasi dan Perubahan


Korinebakteria cenderung menjadi pleomorf pada morfologi
mikroskopik dan pada morfologi koloni. Bila bakteri difteria tidak
toksigenik diinfeksi oleh bakteriofaga dari bakteri difteria toksigenik
tertentu, turunan dari bakteri yang terinfeksi akan bersifat lisogenik
dan toksigenik, dan sfat ini kemudian dapat diturunkan. Bila bakteri
difteria toksigenik dibiak berturut-turut pada anti-serum spesifik
terhadap faga tidak aktif yang ada di dalam selnya, bakteri tersebut
cenderung menjadi tidak toksigenik. Jadi, penambahan faga cenderung
menimbulkan toksigenisitas (perubahan lisogenik). Pembentukan toksin
sebenarnya mungkin hanya terjadi bila profaga lisogenik C diphtheriae
terinduksi dan melisiskan sel. Toksinisitas dikendalikan gen faga,
sedangkan daya invasi dikendalikan gen bakteri.

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


21

PATOGENESIS
Di alam, C diphtheriae terdapat dalam saluran pernapasan, dalam
luka-luka, atau pada kulit orang yang terinfeksi atau orang normal yang
membawa bakteri. Bakteri disebarkan melalui droplet atau kontak
dengan individu yang peka; bakteri kemudian tumbuh pada selaput
mukosa atau kulit yang lecet, dan bakteri yang toksigenik itu mulai
menghasilkan toksin.
Semua C diphtheriae yang toksigenik mampu mengeluarkan
eksotoksin yang menimbulkan penyakit yang sama. Pembentukan
toksin ini in vitro terutama bergantung pada kadar besi. Pembentukan
toksin optimal pada kadar besi 0,5 g/mL. Faktor lain yang
mempengaruhi timbulnya toksin in vitro adalah tekanan osmotic, kadar
asam amino, pH, dan tersedianya sumber-sumber karbon dan nitrogen
yang cocok. faktor-faktor yang mengatur pembentukan toksin ini in vivo
sebelum dimengerti betul.

Toksin difteri adalah polipeptida tidak tahan panas (BM 62.000)


yang dapat mematikan pada dosis 0,1 g/kg. Bila ikatan disulfida
dipecahkan, molekul dapat terbagi menjadi dua fragmen. Fragmen B
(BM sekitar 38.000) tidak mempunyai aktivitas tersendiri tetapi
diperlukan untuk pemindahan fragmen A ke dalam sel. Fragmen A
menghambat pemanjangan rantai polipeptida – asalkan ada
nikotinamid adenin dianukleotida (NAD) – dengan menghentikan
aktivitas faktor pemanjangan EF-2 (dahulu dinamakan transferase II).
Faktor ini diperlukan untuk translokasi polipeptidil-RNA transfer dari
akseptor ke tempat donor pada ribosom eukariotik. Fragmen toksin A
menghentikan aktivitas EF-2 dengan mengkatalisis reaksi yang
menghasilkan nikotinamid bebas ditambah suatu kompleks adenosin
difosfat-ribosa-EF-2 yang tidak aktif. Diduga bahwa efek nekrotik dan
neurotoksik toksin difteria disebabkan oleh penghentian sintesis protein
yang mendadak. Suatu eksotoksin dengan cara kerja yang mirip dapat
dihasilkan oleh strain Pseudomonas aeruginosa.

PATOLOGI
Toksin difteria diabsorbsi ke dalam selaput mukosa dan
menyebabkan destruksi epitel dan respons peradangan superficial.
Epitel yang mengalami nekrosis tertanam dalam eksudat fibrin dan sel-
sel darah merah dan putih, sehingga terbentuk ”pseudomenbran” yang
berwarna kelabu – yang sering melapisi tonsil, faring, atau laring. Setiap
usaha untuk membuang pseudomembran akan merusak kapiler dan
mengakibatkan perdarahan. Kelenjar getah bening regional pada leher
membesar, dan dapat terjadi edema yang nyata di seluruh leher.
Bakteri difteria dalam selaput terus menghasilkan toksin secara aktif.
Toksin ini diabsorbsi dan mengakibatkan kerusakan di tempat yang
jauh, khususnya degenerasi parenkim, infiltrasi lemak, dan nekrosis

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


22

otot jantung, hati,ginjal, dan adrenal, kadang-kadang diikuti oleh


perdarahan hebat. Toksin juga mengakibatkan kerusakan saraf, yang
sering mengakibatkan paralysis palatum molle, otot-otot mata, atau
ekstremitas.
Difteria luka atau difteria kulit terutama didapati di daerah
tropik. Suatu selaput dapat tebentuk pada luka terinfeksi yang tidak
dapat sembuh. Namun absorpsi toksin biasanya sedikit dan efek
sintemiknya tak berati. ”Virulensi” bakteri difteria disebabkan karena
kemampuannya untuk menimbulkan infeksi, tumbuh cepat, dan
kemudian dengan cepat mengeluarkan toksin yang diabsobsi secara
efektif. C diphtheriae tidak perlu menjadi toksigenik untuk
menimbulkan infeksi local – misalnya di nasofaring atau kulit – tetapi
strain yang nontoksigenik tidak menimbulkan efek toksik local maupun
sistemik. C diphtheriae tidak secara aktif menginvasi jaringan dalam
dan praktis tidak pernah masuk peredaran darah.

GAMBARAN KLINIK
Bila radang difteria dimulai pada saluran pernapasan, biasanya
timbul sakit tenggorokan dan demam. Kelemahan dan sesak napas
segera terjadi karena obstruksi yang disebabkan oleh selaput. Obstruksi
ini malah dapat menyebabkan tercekik bila tidak segera diatasi dengan
intubasi atau trakeotomi. Irama jantung yang tidak teratur
menunjukkan kerusakan jantung. Selanjutnya, mungkin terdapat
gangguan penglihatan, berbicara, menelan, atau pergerakan lengan
atau tungkai. Semua gejala ini cenderung menghilang dengan spontan.

TES DIANOSTIK LABORATORIUM


1. Bahan : Dari usap hidung, tenggorokan, atau lesi yang dicurigai
lainnya harus diambil sebelum obat-obat antimikroba diberikan.

2. Sediaan : Sediaan mikroskopik yang diwarnai dengan metilen biru


alkali atau pewarnaan Gram menunjukkan batang-batang dalam
susunan yang khas.

3. Biakan : Inokulasikan ke dalam lempeng agar darah (untuk


menyingkirkan streptokokus hemolitik), agar miring Loeffler, dan
lempeng telurit, dan eramkan ketiganya pada suhu 370C. Kecuali bila
usapan dapat dibiakkan dengan cepat, usapan harus disimpan dengan
serum kuda steril sehingga bakteri tetap hidup. Dalam 12-18 jam, agar
miring Loeffler dapat menghasilkan organisme yang morfologinya
”seperti difteria”. Dalam 36-48 jam, koloni pada perbenihan telurit
cukup jelas untuk pengenalan tipe C diphtheriae.

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


23

EPIDEMIOLOGI, PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN


Sebelum dilakukan imunisasi buatan, difteria merupakan
penyakit utama pada anak kecil. Infeksi terjadi baik secara klinik
maupun subklinik pada usia muda dan mengakibatkan pembentukan
antotoksin secara luas pada banyak penduduk. Pada masa dewasa
muda dan dewasa, infeksi tanpa gejala berperanan sebagai perangsang
untuk mempertahankan kadar antitoksin yang tinggi. Jadi, sebagian
besar penduduk, kecuali anak-anak, telah kebal.
Pada usia 6-8 tahun, kurang lebih 75% anak-anak di negara
sedang berkembang yang mengalami infeksi kulit oleh C diphtheriae
umumnya memiliki adar antitoksin serum yang bersifat melindungi.
Penyerapan sejumlah kecil toksin difteri dari infeksi kulit diperkirakan
dapat menimbulkan rangsangan antigenic untuk menimbulkan respons
imun; jumlah toksin yang doabsorpsi tidak sampai menyebabkan
penyakit.
Imunisasi aktif toksoid difteri pada masa kanak-kanak
menghasilkan kadar difteri antitoksin yang secara umum cukup
adekuat sampai usia dewasa. Orang dewasa muda harus diberikan
booster toksoid, karena hasil difteria toksigenik tidak cukup banyak
terdapat pada penduduk negara maju untuk menyebabkan rangsangan
infeksi subklinik dan pembentukan resistensi. Kadar antitoksin
menurun bersama waktu, dan banyak orang yang lebih tua tidak
memiliki jumlah antitoksin yang mencukupi untuk melindungi mereka
terhadap difteria.
Oleh karena itu, tujuan dasar pencegahan adalah membatasi
penyebaran bakteri difteria toksigenik pada penduduk dan
mempertahankan tingkat imunisasi aktif setinggi mungkin.

II. BAKTERI GRAM NEGATIF


1.KOKUS GRAM NEGATIF
A. NEISSERIA MENINGITIS (Meningococcus)

PATOGENESIS
Manusia adalah satu-satunya inang alami; di dalam inang ini
Meningococcus bersifat antigen. Nasofaring merupakan merupakan
pintu masuknya. Di sana, organisme ini melekat pada sel-sel epitel
denga bantuan pili; bakteri ini dapat merupakan bagian flora sementara
tanpa menimbulkan gejala. Dari nasofaring, bateri ini dapat mencapai
aliran darah dan mengakibatkan bakteremia; gejalanya seperti infeksi
saluran pernapasan gabian atas. Gejala Meningococcus fulmianan lebih
hebat, dengan demam tinggi dan ruam hemoragik; mungkin terdapat
koagulasi intravaskuler tersebar dan kolaps sirkulasi (Sindroma
Waterhouse-Friderichsen).

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


24

GAMBARAN KLINIK
Meningitis adalah komplikasi meningoksemia yang tersering.
Serangan biasanya tiba-tiba dengan sakit kepala hebat, muntah-
muntah, dan kaku leher, serta terjadi koma dalam beberapa jam.
Selama meningokoksemia, tejadi trombosis pada banyak
pembuluh darah kecil dalam berbagai organ,dengan infiltrasi
perivaskuler dan petekie hemoragik.Mungkin terdapat miokarditis
interstisial, arthritis dan lesi kulit.Pada meningitis, selaput otak
meradang secara akut, dengan trombosit pembuluh- pembuluh darah
dan eksudasi leukosit polimorfonuklir, sehingga prmukaan otak diliputi
oleh eksudat purulen yang tebal.

TES DIAGNOSTIK LABORATORIUM


1) Bahan
Bahan darah diambil untuk pembiakan, dan bahan cairan spinal
untuk sediaan apus, biakan, dan penetapan kimiawi. Biakan dari
nasofaring cock untuk mencari pembawa bakteri. Bahan pungsi dari
petekie dapat diambil untuk sediaan dan apusan.

2) Sediaan Apus
Sediaan pewarnaan Gram dari sedimen spinal yang dipusingkan
aspirat ptekie sering memperlihatkan Neisseria yang khas dalam
leukosit polimorfonuklir atau di luar sel.

3) Biakan
Perbenihan biakan tanpa natrium polianetol sulfonat berguna
untuk membiakan bahan darah. Bahan cairan serebrospinal diletakan
pada agar darah yang dipanaskan (agar coklat) dan dieramkan pada
suhu 370C dalam atmosfir CO2 5%. Cairan spinal segar dapat
dieramkan langsung pada suhu 370C kalau perbenihan biakan tidak
tersedia. Perbenihan modifikasi Thayer-Martin dengan antibiotika
menguntungkan pertumbuhan Neisseria dan menghambat banyak
bakteri lainnya; perbenihan ini dipakai untuk biakan nasofaring.
Diperkirakan bahwa koloni Neisseria padaa perbenihan padat,
khususnya pada biakan campuran, dapat diidentifikasikan dengan tes
oksidase. Cairan spinal atau darah umumnya menghasilkan biakan
murni yang selanjutnya dapat diidentifikasi dengan reaksi peragian
karbohidrat dan aglutinasi dengan serum tipe spesifik atau serum
polivalen.

4) Serologi
Antibodi terhadap polisakarida Meningococcus dapat diukur
dengan aglutinasi lateks atau tes hemaglutinasi atau dengan aktivitas
bakterisidalnya.

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


25

PENGOBATAN
Penisilin G adalah obat pilihan untuk mengobati penyakit
Meningococcus. Sefalosporin generasi ketiga, misalnya sefotaksim atau
sefriakson, atau kloramfenikol, dipakai untuk penderita yang alergi
terhadap penisilin.

EPIDEMIOLOGI, PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN


Meningitis Meningococcus terjadi dalam gelombang epidemik
dan sejumlah kecil kasus sporadik diantara epidemi-epidemi itu. Lima
sampai 30% penduduk normal dapat membawa Meningococcus dalam
nasofaring selama masa interepidemik. Selama masa epidemik, jumlah
pembawa bakteri meningkat sampai 70 atau 80%. Kenaikan jumlah
kasus selalu didahului oleh kenaikan jumlah pembawa bakteri dalam
saluran pernapasan. Pengobatan dengan penisilin oral tidak dapat
membasmi keadaan pembawa bakteri.
Pencegahan yang lebih penting adalah pengurangan kontak
langsung dalam populasi dengan indeks pembawa bakteri yang tinggi.
Ini dapat dicapai dengan menghindari tempat yang sesak.

2. BATANG GRAM NEGATIF


A.HAEMOPHILUS INFLUENZAE
Haemophilus infuenzae ditemukan pada selaput mukosa saluran
napas bagian atas pada manusia. Bakteri ini merupakan penyebab
meningitis yang penting pada anak-anak dan kadang-kadang
menyebabkan infeksi saluran napas pada anak-anak dan orang dewasa.

MORFOLOGI DAN IDENTIFIKASI


1.Ciri Khas Orgnisme:
Pada bahan pemeriksaan dari infeksi akut, organisme ini terlihat
sebagai kokobasil pendek (1,5 m), kadang-kadang berbentuk rantai
pendek. Pada biakan, morfologinya bergantung pada umur dan
perbenihan. Setelah 6-8 jam dalamperbenihan diperkaya, bentuk
kokobasil ditemukan terbanyak. Kemudian didapatkan batang yang
lebih panjang, bakteri yang mengalami lisis, dan bentuk yang sangat
pleomorfik.
Organisme pada biakan muda (6-18 jam) pada perbenihan
diperkaya mempunyai simpai yang nyata. Tes pembengkakan simpai
dipergunakan untuk “menggolongkan” H infuenzae.

2.Biakan:

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


26

Pada agar infusi otak-jantung dengan darah, dalam 24 jam timbul


koloni kecil, bulat, konveks dan sangat iridesens. Pada agar ”cokelat”
(darah yang dipanaskan), diperlukan waktu 36-48 jam untuk
membentuk koloni bergaris tengah 1 mm. Iso VitaleX dalam
pembenihan dapat membantu pertumbuhan. Tidak terdapat hemolisis.
Di sekitar koloni stafilokokus (atau lainnya), koloni H infuenzae tumbuh
jauh lebih besar (”fenomena satelit”).

2. Sifat-sifat Pertumbuhan:
Identifikasi organisme kelompok Haemophilus sebagian bergantung
pada adanya kebutuhan akan factor pertumbuhan tertentu yang
dinamakan factor X dan V. Faktor X secara fisiologik berperan sebagai
hemin; factor V dapat diganti oleh nukleotida nikotinamid adenin (NAD)
atau koenzim-koenzim lainnya. Kebutuhan akan factor X dan V dari
berbagai spesies Haemophilus tercantum dalam Tabel 19-1. Karbohidrat
diragikan dengan jelek dan secara tidak teratur.

3. Variasi:
Selain variasi morfologi, H infuenzae cenderung kehilangan simpai
dan sifat tipe yang berhubungan dengan simpai itu. Koloni varian yang
tidak bersimpai tidak beriridesens.

5.Transformasi:
Dalam situasi percobaan yang sesuai, DNA yang diekstrak dari H
infuenzae mampu memindahkan sifat tipe khasnya ke sel-sel lain
(transformasi). Resistensi terhadap ampisilin dan kloramfenikol diatur
oleh gen pada plasmid yang dapat dipindahkan.

PATOGENESIS
H influenzae tidak menghasilkan eksotoksin, dan peranan antigen
somatik toksiknya pada penyakit alamiah belum dimengerti dengan
jelas. Organisme yang tidak bersimpai adalah anggota tetap flora
normal saluran napas manusia. Simpai bersifat antifagositik bila tidak
ada antibodi antisimpati khusus. Bentuk H influenzae yang bersimpai,
khususnya tipe b, menyebabkan infeksi pernapasan supuratif (sinusitis,
laringotrakeitis, epiglotitis, otitis), dan pada anak-anak kecil, meningitis.
Darah dari kebanyakan orang yang berumur lebih dari 3-5 tahun
mempunyai daya bakterisidal kuat terhadap H influenzae, dan infeksi
klinik lebih jarang terjadi pada orang itu. Namun akhir-akhir ini,
antibodi bakterisidal tidak terdapat pada 25% orang dewasa di AS, dan
infeksi klinik lebih sering terjadi pada orang dewasa. H influenzae yang
tidak dapat digolongkan atau tidak bersimpai tipe b umumnya
menyebabkan otitis media; mekanisme patogenik infeksi ini tidak jelas.

GAMBARAN KLNIK

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


27

H influenzae tipe b masuk melalui saluran pernapasan. Tipe lain


jarang menimbulkan penyakit. Mungkin terjadi perluasan lokal yang
mengenai sinus-sinus atau telinga tengah. H influenzae tipe b dan
pneumokokus merupakan dua bakteri penyebab paling sering pada
otitis media bakterial dan sinusitis akut. Organisasi ini dapat mencapai
aliran darah dan dibawa ke selaput otak atau, jarang, dapat menetap
dalam sendi-sendi dan menyebabkan artritis septik. H influenzae
sekarang merupakan penyebab tersering meningitis bakteri pada anak-
anak berusia 5 bulan sampai 5 tahun di AS. Secara klinik, penyakit ini
mirip dengan bentuk meningitis masa kanak-kanak yang lain, dan
diagnosis ditegakkan dengan penemuan organisme secara bakteriologik.
Kadang-kadang, pada bayi timbul laringotrakeitis obstruksif yang
hebat, dengan epiglotis yang membengkak dan berwarna merah anggur;
keadaan ini memerlukan trakeostomi atau intubasi segera untuk
menyelematkan hidup. Penumonitis dan epiglotitis akibat H influenzae
dapat terjadi setelah infeksi saluran pernapasanm bagian atas pada
anak-anak kecil dan pada orang tua atau orang yang lemah. Orang
dewasa dapat menderita bronkitis atau penumonia akibat H influenzae.

TES DIAGNOSTIK LABORATORIUM


1.Bahan:
Bahan pemeriksaan terdiri atas usap masofaring, nanah, darah, dan
cairan spinal untuk pemeriksaan mikroskopik dan pembiakan.

2. Identifikasi Langsung:
Bila terdapat organisme dalam jumlah besar dalam bahan
pemeriksaan, kuman ini dapat diidentifikasi dengan cara
imunofluoresensi atau dapat dicampur langsung dengan antiserum
spesifik kelinci (tipe b) untuk tes pembengkakan simpai. Tersedia
perangkat komersial untuk mendeteksi secara imunologik antigen H
influenzae dalam cairan spinal. Tes yang positif menandakan bahwa
cairan tersebut mengandung polisakarida spesifik dari H influenzae tipe
b dengan kadar tinggi.

3. Biakan:
Bahan ditanam pada agar coklat yang diperkaya dengan Iso VitaleX
sampai koloni-koloni yang khas tampak (dalam 36-48 jam). H influenzae
dibedakan dari bakteri gram-negatif yang serumpun berdasarkan
kebutuhannya akan faktor X dan V, dan tiadanya hemolisis pada agar
darah.

PENGOBATAN

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


28

Angka kematian meningitis H infuenzae yang tidak diobati dapat


mencapai 90%. Banyak strain H infuenzae tipe b peka terhadap
ampisilin, tetapi 25% strain resisten karena membentuk -laktamase
dibawah kendaliu plasmid yang dapat dipindahkan. Kebanyakan strain
masih peka terhadap kloramfenikol, dan praktis semua strain peka
terhadap sefalosporin baru. Sefotaksim, 150-200 mg/kg/hari secara
intravena, memberi hasil amat baik. Diagnosis dan pemberian obat
antimikroba secara cepat penting untuk mengurangi sekuele gangguan
neurologik dan intelektual. Komplikasi lanjut yang menonjol pada
meningitis influenza adalah timbulnya penimbunan cairan subdural
yang memerlukan drainase melalui pembedahan.

EPIDEMIOLOGI, PNCEGAHAN DAN PENGENDALIAN


H infuenzae tipe b bersimpai ditularkan dari orang ke orang
melalui jalur pernapasan. Penyakit akibat H infuenzae tipe b dapat
dicegah dengan pemberian vaksin konjugat Haemophilus b pada
anak-anak. Anak-anak berusia 2 bulan atau lebih dapat diimunisasi
dengan vaksin konjugat H infuenzae tipe b dengan satu dari dua
pembawa (HbOC dengan protein membawa protein toksin CRM197
mutan Corynebacterium diphteriae; atau kompleks selaput luar
Neisseria meningitides) dengan dosis boster yang diperlukan sesuai
anjuran standard. Anak-anak berusia 15 bulan atau lebih dapat
menerima vaksin konjugat H infuenzae tipe b dengan toksoid difteri
(yang tidak bersifat imunogenik pada anak-anak yang lebih muda).
Vaksin tidak mencegah timbulnya pembawa untuk H infuenzae.
Penggunaan vaksin H infuenzae tipe b secara luas telah sangat
menurunkan kejadian meningitis H infuenzae pada anak-anak.
Kontak dengan pasien yang menderita infeksi klinik H infuenzae
memberi risiko kecil bagi orang dewasa, tetapi memberi risiko nyata
bagi saudara kandung yang nonimun dan anak-anak nonimun lain
yang berusia di bawah 4 tahun yang berkontak erat. Profilaksis dengan
rifampin dianjurkan bagi anak-anak tersebut.

B. BORDELIA PERTUSIS

MORFOLOGI DAN IDENTIFIKASI


A. Ciri-ciri khas organisme
Bakteri pendek, gram negatif yang berbentuk kokobasil menyerupai
H, influenzae. Terdapat simpai.

B. Biakan
Isolasi primer B. pertusis memerlukan perbenihan yang diperkaya
seperti Bordet Gengou(agar-kentang-darah-gliserol).

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


29

C. Sifat-sifat pertumbuhan
Bakteri ni aerob murni dan membentuk asam tetai tidak membentuk
gas dari glukosa dan laktosa.

D. Variasi
Terdapat dua mekanisme B. pertusis untuk menjadi bentuk yang
hemolitik dan bentuk yang tidak virulen yang tidak menghasilkan
toksin.

PATOGENESIS
B pertussis menghasilkan sejumlah faktor yang terlibat dalam
patogenesis penyakit. Pili mungkin memainkan peranan penting dalam
pelekatan bakteri pada sel-sel epitel bersilia di saluran pernapasan
bagian atas. Lima diantara faktor-faktor virulen yang ada diregulasi
secara terkoordinasi melalui lokus genetik bvg (Bordatella virulence
gene) yang juga disebut vir. Terdapat tiga kerangka terbuka yang
terbaca pada bvg : bvgA, bvgB, dan bvgC. Hasil-hasil dari lokus A dan C
hampir serupa dengan protein pengatur prokariotik lain yang memberi
respon terhadap rangsang lingkungan. Hemaglutinin filamentosa
memudahkan pelekatan terhadap sel-sel epitel bersilia. Toksin pertusis
menimbulkan limfositosis, memiliki kemampuan untuk melekatkan
bakteri pada sel-sel epitel bersilia, dan memiliki aktivitas ADP yang
beribosilasi dengan struktur dan mekanisme kerja yang mirip dengan
toksin kolera. Hemaglutinin filementosa dan toksin pertusis mensekresi
protein dan ditemukan di luar sel B pertussis. Toksin adenilil siklase,
toksin dermonekrotik, dan hemolisis juga diatur oleh bvg.
Lipopolisakarida pada dinding sel mungkin penting sebagai penyebab
kerusakan sel-sel epitel saluran pernapasan bagian atas.
B pertussis hanya dapat hidup selama masa yang singkat di luar
inang manusia. Tidak terdapat vektor. Penularan sebagian besar
melalui saluran pernapasan dari kasus dini dan mungkin melalui
pembawa bakteri. Organisme melekat dan berkembang biak dengan
cepat pada permukaan epitel trakea dan bronkus dan mengganggu
kerja silia. Sirkulasi darah tidak dimasuki. Bakteri mengeluarkan toksin
dan zat-zat yang mengiritasi permukaan sel, menyebabkan batuk dan
limfositosis yang nyata. Kemudian mungkin terjadi nekrosis pada
bagian-bagian epitel dan infiltrasi polimorfonuklir, dengan peradangan
peribonkial dan pneumonia interstisialis. Penyerbu kedua seperti
stafilokokus atau H influenzae dapat mengakibatkan timbulnya
pneumonia bakterial. Obstruksi bronkiolus yang lebih kecil oleh
sumbatan mukosa mengakibatkan atelektasis dan berkurangnya
oksigenasi darah. Ini mungkin ikut berperan dalam frekuensi kejang
pada anak-anak dengan batuk rejan.

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


30

GAMBARAN KLINIK
Setelah masa inkubasi selama kira-kira 2 minggu, timbul
“stadium karatal” dengan batuk ringan dan bersin. Selama stadium ini,
banyak organisme disemprotkan dalam droplet, dan penderita sangat
menular tetapi tidak terlalu tampak sakit. Selama stadium
“paroksismal” batuk bersifat eksplosif dan ditandai dengan whooping
pada saat inspirasi. Ini mengakibatkan penderita cepat lelah dan dapat
menyebabkan muntah, sianosis, dan kejang-kejang. Whoop dan
komplikasi berat terutama terjadi pada bayi; batuk paroksismal terjadi
pada anak yang lebih besar atau orang dewasa. Hitung sel darah putih
tinggi (16.000-30.000/L), dengan limfositosis absolut.
Penyembuhannya lambat. Meskipun jarang sekali, batuk rejan dapat
diikuti dengan komplikasi ensefalitis yang berat dan berakibat fatal.
Beberapa tipe adenovirus dan Chlamydia trachomatis dapat
menimbulkan gambaran klinik yang mirip dengan yang disebabkan oleh
B pertussis.

TES DIAGNOSTIK LABORATORIUM


A. Bahan :
Lebih disukai bahan dari bilasan hidung dengan salin.
Digunakan usapan nasofaring, atau dropletbatuk yang dikeluarkan ke
“lempeng batuk” yang dipegang di depan mulut penderita waktu
stadium paroksismal.

B. Tes Antibodi Fluoresensi (FA) Langsung :


Reagen FA dapat digunakan untuk memeriksa bahan dari
usapan nasofaring. Tetapi, dapat ditemukan hasil positif-palsu maupun
negatif-palsu. Tes FA paling bermanfaat untuk mengidentifikasi B
pertussis setelah dibiakkan pada perbenihan padat.

C. Biakan :
Cairan bilasan hidung dengan salin dibiak pada perbenihan
agar padat (lihat di atas). Lendir atau droplet yang terkumpul dibiak
pada perbenihan agar padat (lihat di atas). Antibiotika dalam
perbenihan cenderung menghambat flora pernapasan lain, tetapi
memungkinkan pertumbuhan B pertussis. Organisme diidentifikasi
dengan pewarnaan imunofluoresensi atau dengan aglutinasi sediaan
mikroskopik dengan anti serum spesifik.

D. Serologi :
Tes serologik pada penderita tidak banyak membantu
diagnosis, karena kenaikan antibodi aglutinasi atau presipitasi tidak
terjadi sebelum minggu ketiga masa sakit.

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


31

PENGOBATAN
B pertussis peka terhadap beberapa obat antimikroba in vitro.
Pemberian eritromisin selama stadium kataral mempermudah
pembasmian organisme dan dapat bermanfaat untuk pencegahan.
Pengobatan yang diberikan setelah stadium paroksismal, jarang
mengubah gejala klinik. Inhalasi oksigen dan sedasi dapat mencegah
kerusakan anoksik pada otak.

PENCEGAHAN
Selama tahun pertama kehidupan, setiap bayi harus menerima
tiga suntikan vaksin pertusis. Suspensi bakteri yang tidak murni ini,
dalam konsentrasi yang tepat, biasanya diberikan dalam kombinasi
dengan toksoid dan tetanus. Komponen B pertussis merupakan
imunogen yang efektif tetapi dapat menyebabkan reaksi neurologik yang
mirip dengan ensefalitis yang terjadi pada pertusis. Bila keadaan ini
terjadi, DPT tidak boleh diberikan lagi, tetapi diganti dengan DT.
Kualitas vaksin dan penerimaan terhadap preparat sifatnya bervariasi.
Bila vaksinasi pertusis dihentikan di beberapa daerah, jumlah kasus
klinik meningkat dengan jelas. Diharapkan bahwa antigen yang lebih
murni dapat dikembangkan untuk pemakaian universal di kemudian
hari.
Pemberian eritromisin profilaktik selama 5 hari juga bermanfaat
bagi bayi yang belum divaksinasi atau orang dewasa yang berkontak
erat dengan penyakit ini.

EPIDEMIOLOGI DAN PENGENDALIAN


Batuk rejan merupakan penyakit endemik di sebagian besar
daerah yang berpenduduk padat di seluruh dunia dan juga muncul
secara intermiten sebagai epidemi. Sumber infeksi biasanya penderita
pada masa awal stadium kataral penyakit. Kemampuan penularannya
tinggi, berkisar antara 30-90%. Sebagian besar kematian terjadi selama
tahun pertama kehidupan.
Pengendalian batuk rejan terutama dilakukan dengan imunisasi
aktif yang adekuat pada semua bayi.

C. LEGIONELLA

MORFOLOGI DAN IDENTIFIKASI


A. Ciri-ciri Khas Organisme :
Legionela adalah bakteri gram-negatif aerob, yang lebarnya 0,5-1 m
dan panjangnya 2-50 m; bakteri ini memerlukan pembenihan khusus.
Seringkali bakteri ini sukar diwarnai dengan metode Gram dan tidak
terlihat pada bahan klinis yang diwarnai. Kalau dicurigai terdapat
Legionella pada perbenihan agar, harus dibuat sediaan apus dan

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


32

diwarnai dengan Gram. Fuhsin basa (0,1%) harus digunakan sebagai


counterstain, karena safranin kurang baik mewarnai bakteri.

B. Biakan :
Legionela dapat tumbuh pada perbenihan kompleks seperti agar
bufer ekstrak arang-ragi (BCYE) dengan -ketoglutarat, pada pH 6,9,
suhu 35oC, dan kelembaban 90%. Antibiotika dapat ditambahkan
untuk membuat perbenihan khusus untuk Legionella. Perbenihan
BCYE bifasik dapat digunakan untuk biakan darah.
Legionella tumbuh secara lambat; koloni baru tampak setelah
masa pengeraman 3 hari. Koloni yang muncul setelah dieramkan
semalam bukan merupakan Legionella. Koloni berbentuk bundar atau
rata dengan tepi utuh. Koloni-koloni itu berwarna-warni, dari yang tak
berwarna sampai merah muda atau biru iridesen dan bersifa tembus
cahaya atau berbintik-bintik. Variasi dalam morfologi koloni sering
ditemukan, dan koloni dapat kehilangan warna dan bintik-bintiknya
dengan cepat. Banyak genus bakteri lain tumbuh pada perbenihan
BCYE dan harus dibedakan dari Legionella pewarnaan Gram dan tes
lain.
Dalam biakan darah biasanya Legionella membutuhkan 2 minggu
atau lebih untuk tumbuh. Koloninya dapat dilihat pada permukaan
agar pada perbenihan bifasik.

C. Sifat-Sifat Pertumbuhan :
Legionella adalah katalase-positif. L pneumophila adalah oksidase-
positif; legionela yang lain bervariasi dalam aktivitas oksidasenya. L
pneumophila menghidrolisis hipurat; legionela yang lain tidak. sebagian
besar legionela menghasilkan gelatinase dan -laktamase L micdadei
tidak menghasilkan gelatinase maupun -laktamase.

PATOGENESIS DAN PATOLOGI


Legionela ada di semua lingkungan yang basah dan hangat.
Infeksi pada manusia yang lemah atau yang fungsi imunnya terganggu
biasanya terjadi setelah inhalasi bakteri dari aerosol yang dihasilkan
dari sistem penyejuk udara (AC) yang terkontaminasi, pancuran, dan
sumber-sumber yang serupa. L pneumophila biasanya membentuk
infiltrasi paru yang berbentuk lobar, segmental, atau bercak-bercak.
Secara histologik, gambarannya mirip dengan bentuk yang dihasilkan
oleh banyak bakteri patogen lain. Pneumonia purulen akut yang
melibatkan alveoli ditemukan bersama dengan eksudat intra-alveolar
makrofag, leukosit polimorfonuklir, sel darah merah, dan bahan-bahan
protein. Sebagian besar Legionella yang ditemukan dalam lesi berada di
dalam sel fagosit. Terdapat sedikit infiltrasi interstisial dan sedikit atau
tidak sama sekali peradangan bronkiolus dan saluran bagian atas.

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


33

Pengetahuan mengenai patogenesis infeks L pneumophila berasal


dari penelitian terhadap sel-sel yang diisolasi dari manusia dan dari
penelitian mengenai hewan-hewan yang peka seperti marmot.
L pneumophila yang masuk dan tumbuh di dalam makrofag
alveolar manusia dan marmot tidak mudah dibunuh oleh leukosit
polimorfonuklir. Bila terdapat serum tetapi tidak ada antibodi (pada in
vivo), komponen komplemen C3 akan ditumpuk pada permukaan
bakteri dan bakteri melekat pada reseptor komplemen CR1 dan CR3
pada permukaan sel fagosit. Peristiwa memasuki sel dimungkinkan oleh
proses fagosit yang melibatkan perputaran suatu pseudopod tunggal
yang mengelilingi bakteri. Bila terdapat antibodi imun, peristiwa
masuknya bakteri dimungkinkan oleh fagositosis zipper yang
diperantarai oleh Fc yang lebih khusus. Sekali memasuki sel, bakteri
berada di dalam vakuol fagosomal, tetapi mekanisme pertahanan sel-sel
makrofag berhenti pada saat tersebut. Sebaliknya, vakuol-vakuol
fagosomal gagal bergabung dengan granula lisosom. Terjadi penurunan
pembakaran metabolik oksidatif fagosit. Fagosom yang mengandung L
pneumophila tidak memberi pengaruh asam sebanyak fagosom yang
mengandung partikel-partikel pencernaan lain. Ribosom, mitokondria,
dan vesikel-vesikel kecil bersama-sama mengelilingi vakuol yang
mengandung L pneumophila. Bakteri berkembang biak di dalam vakuol
sampai sejumlah tertentu, lalu sel dihancurkan, bakteri dilepaskan,
dan kemudian terjadi infeksi dari makrofag lain. Didapatkannya besi
(besi transferin) penting untuk proses pertumbuhan intraseluler
bakteri, tetapi terdapat juga faktor-faktor lain yang penting untuk
proses pertumbuhan, penghancuran sel, dan kerusakan jaringan yang
belum dimengerti dengan baik.

GAMBARAN KLINIK
Infeksi yang asimtomatik ditemukan pada semua kelompok umur,
seperti diperlihatkan oleh peningkatan titer antibodi khusus. Dalam
klinik, insidensi penyakit tertinggi terdapat pada pris berumur di atas
55 tahun. Faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan risiko
antara lain merokok, bronkritis kronis dan emfisema, pengobatan
dengan steroid dan obat imunosupresif yang lain (seperti pada
transplantasi ginjal), kemoterapi kanker, dan diabetes melitus. Bila
pada penderita dengan faktor-faktor risiko ini terjadi pneumonia,
Legionella harus dicurigai sebagai penyebab.
Infeksi mungkin mengakibatkan penyakit dengan demam yang
berlangsung sebentar saja atau penyakit berat, yang berkembang cepat
disertai demam tinggi, menggigil. Lesu, batuk nonproduktif, hipoksia,
diare, dan delirium. Foto dengan sinar-x pada toraks memperlihatkan
konsolidasi berbercak-bercak, sering mengenai banyak lobus. Mungkin
ditemukan leukositosis, hiponatremia, hematuria (dan bahkan gagal
ginjal), atau fungsi hati yang abnormal. Dalam beberapa pejangkitan,

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


34

angka kematian mencapai 10%. Diagnosisnya berdasarkan gambaran


klinis dan menyingkirkan penyebab pneumonia lain dengan tes
laboratorium. Legionella yang terlihat dalam bahan klinis dapat dengan
cepat menghasilkan diagnosis yang spesifik. Diagnosis dapat juga
dilakukan dengan membiakkan Legionella atau dengan tes serologi,
tetapi hasil tes-tes ini sering baru diperoleh setelah beberapa hari,
sementara terapi spesifik harus mulai dilakukan.

TES DIAGNOSTIK LABORATORIUM


A. Bahan :
Pada infeksi manusia, organisme ini dapat ditemukan pada bilasan
bronkus, cairan pleura, bahan biopsi paru-paru, atau darah. Isolasi
Legionella dari dahak lebih sukar karena banyak bakteri dari flora
normal. Legionella jarang ditemukan di tempat anatomik yang lain.

B. Sediaan Apus :
Legionela tidak terlihat dalam sediaan apus bahan klinik yang diberi
pewarnaan Gram. Tes antibodi fluoresen langsung terhadap bahan
dapat bersifat diagnostik, tetapi harus digunakan antiserum majemuk.
Tes antibodi fluoresens langsung tidak begitu peka dibandingkan
dengan biakan. Pewarnaan perak kadang-kadang digunakan pada
bahan yang berupa jaringan.

C. Biakan :
Bahan dibiakan pada agar BCYE (lihat di atas). Organisme yang
dibiak dapat cepat dikenali oleh pewarnaan imunofluoresens. Agar
BCYE yang mengandung antibiotika dapat digunakan untuk
membiakkan bahan yang terkontaminasi.

D. Tes Khusus :
Kadang-kadang antigen Legionella dapat ditemukan dalam urine
pasien dengan metode imunologik.

E. Tes Serologi :
Kadar antibodi terhadap legionela meningkat secara lambat selama
sakit. Tes serologi mempunyai sensitivitas sebesar 60-80% dan
spesifitas 95-99%. Karena kurang dari 10% semua khusus pneumonia
adalah akibat Legionella, dalam kasus sporadis, nilai prediktif tes
serologi yang positif adalah rendah (40-70%). Tes serologi yang paling
bermanfaat dalam memperoleh diagnosis retrospektif pada wabah
infeksi Legionella.

PENGOBATAN
Legionela peka terhadap eritromisin dan beberapa obat lain.
Pengobatan pilihan adalah eritromisin, yang efektif sekalipun pada

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


35

pasien yang fungsi imunnya terganggu. Rifampin, 10-20 mg/kg/hari,


telah digunakan pada penderita yang lambat memberi respons terhadap
pengobatan. Bantuan ventilasi mungkin diperlukan, dan syok harus
ditangani.

EPIDEMIOLOGI, PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN


Legionela banyak ditemukan di lingkungan dan tersebar di
seluruh dunia. Bakteri ini biasanya ditemukan di tanah dan dalam
danau air tawar dan sungai, dan ditemukan dalam jumlah besar dalam
sistem penyejuk udara (AC) dan di kamar mandi, misalnya di tempat
pancuran. Sumber yang belakangan ini bertanggung jawab untuk
penjangkitan penyakit pada manusia, terutama di rumah sakit.
Klorinasi dan pemanasan air serta pembersihan dapat membantu
mengendalikan perkembangbiakan Legionella dalam air dan sistem
penyejuk udara, Legionela tidak ditularkan dari pasien terinfeksi ke
pasien lainnya.

III.BAKTERI BATANG YANG TIDAK MEMBENTUK


SPORA/MIKOBAKTERIA

1. MIKOBACTERIA
MORFLOGI DAN IDENTIFIKASI
A. Ciri-ciri Khas Organisme :
Dalam jaringan basil tuberkel merupakan batang ramping lurus
berukuran kira-kira 0,4 x 3 m. Pada perbenihan buatan, terlihat
bentuk kokus dan filamen. Mikrobakteria tidak dapat diklasifikasikan
sebagai gram-positif atau gram-negatif. Sekali diwarnai dengan zat
warna basa, warna tersebut tidak dapat dihilangkan dengan alkohol,
meskipun dibubuhi iodium. Basil tuberkel yang sebenarnya ditandai
oleh sifat “tahan-asam” – misalnya, 95% etil alkohol yang mengandung
3% asam hidroklorida (asam-alkohol) dengan cepat akan
menghilangkan warna semua bakteri kecuali mikobakteria. Sifat tahan-
asam ini bergantung pada integritas struktur selubung berlilin. Teknik
pewarnaan Ziehl-Neelsen dipergunakan untuk identifikasi bakteri
tahan-asam. Rincian mengenai teknik ini terdapat pada Bab 47. Pada
dahak atau irisan jaringan, mikobakteria dapat diperlihatkan karena
memberi fluoresensi kuning-jingga setelah diwarnai dengan zat warna
fluorokrom (misalnya auramin, rodamin).

B. Biakan :
Perbenihan untuk biakan primer mikobakteria sebaiknya meliputi
perbenihan nonselektif dan perbenihan selektif. Perbenihan selektif
mengandung antibiotik untuk mencegah pertumbuhan berlebihan

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


36

bakteri dan jamur. Terdapat tiga formulasi umum yang dapat


digunakan untuk perbenihan selektif maupun nonselektif.

1.Perbenihan agar semisintetik


Perbenihan ini (misalnya, Middlebrook 7H10 dan 7H11)
mengandung gram tertentu, vitamin, kofaktor, asam oleat, albumin,
katalase gliserol, glukosa, dan malasit hijau; perbenihan 7H11
mengandung juga hidrosilat kasein. Albumin menetralisasi efek toksik
dan efek penghambatan asam lemak dalam bahan atau perbenihan.
Inokula yang besar menimbulkan pertumbuhan pada perbenihan dalam
beberapa minggu. Karena inokula besar mungkin memerlukan
perbenihan ini jadi mungkin kurang sensitif daripada perbenihan lain
untuk isolasi primer mikobakteria.
Perbenihan agar semisintetik digunakan untuk pemantauan
morfologi koloni, untuk uji kepekaan, dan, dengan penambahan
antibiotik, sebagai perbenihan yang selektif.

2. Perbenihan telur tebal :


Perbenihan ini (misalnya, Lowenstein-Jehsen) mengandung
garam tertentu, gliserol, dan substansi organik kompleks (misalnya,
telur segar atau kuning telur, tepung kentang, dan bahan-bahan lain
dalam bentuk kombinasi). Malasit hijau dimasukkan untuk
menghambat bakteri lain. Inokula kecil dalam bahan yang berasal dari
pasien akan tumbuh pada perbenihan ini dalam waktu 3-6 minggu.
Dengan penambahan antibiotik, perbenihan ini digunakan sebagai
perbenihan selektif.

3.Perbenihan kaldu
Perbenihan kaldu (misalnya Middlebrook 7H9 dan 7H12)
mendukung proliferasi inokula kecil. Biasanya, mikobakteria tumbuh
dalam bentuk kelompok atau sebagai sekelompok massa, akibat ciri
khas hidrfobik permukaan selnya. Jika ditambahkan Tweens (ester
asam lemak yang dapat larut dalam air), ini akan membasahkan
permukaan, dan karena itu memudahkan penguraian pertumbuhan
dalam perbenihan cair. Pertumbuhan seringkali lebih cepat
dibandingkan pada perbenihan kompleks.

C. Sifat-sifat Pertumbuhan :
Mikrobakteria adalah aerob obligat dan mendapat energi dari
oksidasi berbagai senyawa karbon sederhana. Kenaikan tekanan CO2
meningkatkan pertumbuhan. Aktivitas biokimianya tidak khas, dan laju
pertumbuhannya lebih lambat daripada kebanyakan bakteri lain.
Waktu penggandaan basil tuberkel adalah sekitar 18 jam. Bentuk
saprofit cenderung tumbuh lebih cepat, berkembang biak dengan baik

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


37

pada suhu 22-23oC, menghasilkan lebih banyak pigmen, dan kurang


tahan-asam daripada bentuk yang patogen.

D. Reaksi terhadap Faktor Fisik dan Kimia :


Mikobakteria cenderung lebih resisten terhadap faktor kimia
daripada bakteri yang lain karena sifat hidrofobik permukaan selnya
dan pertumbuhannya yang bergerombol. Zat-zat warna (misalnya hijau
malakit) atau obat antibiotika (misalnya penisilin) yang bersifat
bakteriostatik terhadap bakteri lain dapat dimasukkan ke dalam
perbenihan tanpa menghambat pertumbuhan basil tuberkel. Asam dan
basa memungkinkan sebagian basil tuberkel yang terkena tetap hidup;
sifat ini dipergunakan untuk “memekatkan” bahan pemeriksaan dari
klinik dengan membunuh sebagian organisme lain yang
mengkontaminasi. Basil tuberkel cukup resisten terhadap pengeringan
dan dapat hidup lama dalam dahak yang kering.

E. Variasi :
Variasi dapat terjadi pada bentuk koloni, pembentukan pigmen,
produksi faktor “cord”, virulensi, atau suhu pertumbuhan optimal, dan
sifat-sifat sel atau sifat pertumbuhan lainnya.

F. Patogenesitas Mikobakteria :
Terdapat perbedaan yang jelas dalam hal kemampuan berbagai
mikobakteria untuk menyebabkan lesi pada berbagai spesies iang.
Manusia dan marmot sangat rentan terhadap infeksi M tuberculosis dan
Mycobacterium bovis sama-sama patogenik terhadap manusia. Jalur
infeksi (melalui saluran pernapasan atau saluran pencernaan)
menentukan pola lesi. Di negara berkembang, M bovis sangat jarang
ditemui. Beberapa mikrobakterium “atipik” (misalnya Mycrobacterium
kansasii) menyebabkan penyakit manusia yang tidak dapat dibedakan
dari tuberkulosis; bakteri lain (misalnya Mycobacterium fortuitum) hanya
menyebabkan lesi permukaan atau berperan sebagai oportunis.

PATOGENESIS DAN PATOLOGI


Mikobakteria tidak menghasilkan toksin. Organisme dalam
droplet sebesar 1-5 m menghirup dan mencapai alveoli. Organisme
virulen akan menetap dan berkembang biak serta berinteraksi dengan
inang sehingga menimbulkan penyakit. Basil tidak virulen yang
disuntikkan (misalnya BCG) hanya dapat hidup selama beberapa bulan
atau beberapa tahun pada inang normal. Resistensi dan
hipertensitivitas inang sangat mempengaruhi perjalanan penyakit.
Pembentukan dan perkembangan lesi serta penyembuhannya
atau progresinya terutama ditentukan oleh (1) jumlah mikobakteria
dalam inokulum dan perkembangbiakan selanjutnya, dan (2) resistensi
dan hipersentisivitas dari inang.

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


38

A. Dua Lesi Utama :


1.Tipe eksudatif
Ini terdiri atas reaksi peradangan akut, dengan cairan edema,
leukosit polimorfonuklir, dan kemudian monosit di sekitar basil
tuberkel. Tipe ini terutama terlihat dalam jaringan paru-paru sehinga
menyerupai pneumonia bakterial. Tipe ini dapat sembuh dengan
resolusi, sehingga seluruh eksudat diabsopso; ini dapat mengakibatkan
nekrosis massif pada jaringan; atau dapat berkembang menjadi lesi tipe
kedua (produktif). Selama fase eksudatif, tes tuberkulin menjadi positif.

2. Tipe Produktif
Bila berkembang maksimal lesi yang berupa granuloma kronis ini
akan terdiri atas tiga daerah : (1) daerah pusat yang luas, dengan sel
raksasa berinti banyak yang mengandung basil tuberkel; (2) daerah
tengah yang terdiri atas sel-sel epiteloid pucat, sering tersusun secara
radial; dan (3) daerah perifer yang terdiri atas fibroblas, limfosit, dan
monosit. Kemudian, terbentuk jaringan fibrosis perifer dan daerah
pusat mengalami nekrosis kaseosa. Lesi semacam ini dinamakan
tuberkel. Tuberkel kaseosa dapat pecah ke dalam bronkus,
menumpahkan isisnya di sini, dan membentuk rongga. Selanjutnya,
lesi ini dapat sembuh oleh fibrosis atau klasifikasi.

B. Penyebaran Organisme dalam Inang :


Basil tuberkel menyebar dalam inang melalui penyebaran langsung,
melalui pembuluh getah bening dan aliran darah, dan melalui bronkus
dan saluran pencernaan.
Pada infeksi pertama, basil tuberkel selalu menyebar dari tempat
asalnya melalui kelenjar getah bening ke kelenjar getah bening regional.
Basil dapat menyebar lebih lanjut dan mencapai aliran darah, yang
selanjutnya menyebarkan basil ke seluruh organ tubuh (penyebaran
milier). Aliran darah dapat juga diinvasi akibat teroreisinya vena oleh
tuberkel atau kelenjar getah bening yang mengalami kaseasi. Bila lesi
kaseosa mengeluarkan isinya ke dalam bronkus, isi ini diaspirasi dan
disebarkan ke bagian paru-paru lainnya atau tertelan dan masuk ke
dalam lambung dan usus.

C. Tempat Pertumbuhan di Dalam Sel.


Sekali mikobakteria menetap dalam jaringan, bakteri ini terutama
akan tinggal secara intrasel dalam monosit, sel retikuloendotelial, dan
sel-sel raksasa. Lokasinya di intrasel ini adalah salah satu sifat yang
menyebabkan kemoterapi sulit dilakukan dan membantu bakteri untuk
terus bertahan hidup. Dalam sel hewan yang kebal, perkembangbiakan
basil tuberkel sangat terhambat.

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


39

Infeksi Primer & Tipe Reaksi Tuberkulosis


Ketika inang mengalami kontak pertama kali dengan basil
tuberkel, biasanya ditemukan sifat-sifat berikut : (1) Timbul lesi
eksudatif akut dan secara cepat menyebar ke saluran getah bening dan
kelenjar getah bening regional. “Kompleks Ghon” adalah lesi primer
jaringan (biasanya pada paru-paru) serta kelenjar getah bening yang
terserang. Lesi eksudatif dalam jaringan sering cepat sembuh. (2)
Kelenjar getah bening mengalami perkijuan massif, yang biasanya
mengalami kalsifikasi. (3) Tes tuberkulin menjadi positif.
Infeksi primer ini dahulu biasanya terjadi pada anak-anak, tetapi
sekarang sering terlihat pada orang dewasa yang sejak kecil belum
pernah terinfeksi, dan oleh karena itu tes tuberkulinnya negatif. Pada
infeksi primer, semua bagian paru-paru dapat terserang tetapi yang
paling sering terserang adalah bagian bawah.
Tipe reaktivasi biasanya disebabkan oleh basil tuberkel yang tetap
hidup dalam lesi primer. Tuberkulosis reaktivasi ditandai oleh lesi
jaringan kronis, pembentukan tuberkel, perkijuan, dan fibrosis.
Kelenjar getah bening regional sedikit terserang, dan tidak mengalami
perkijuan. Tipe reaktivasi hampir selalu mulai pada apeks paru, dimana
tekanan oksigen (Po2) paling tinggi.
Perbedaan nyata antara infeksi primer dan reinfeksi diperlihatkan
secara percobaan pada fenomena Koch. Bila marmot disuntik dengan
hasil tuberkel virulen secara subkutan, luka di tempat tusukan sembuh
dengan cepat, tetapi dalam waktu 2 minggu terbentuk benjolan pada
tempat suntikan. Benjolan ini mengalami ulserasi dan ulkus tidak
dapat sembuh. Pada kelenjar getah bening regional timbul tuberkel dan
perkijuan yang massif. Bila hewan yang sama kemudian disuntik
dengan basil tuberkel pada bagian tubuh lainnya, peristiwa selanjutnya
sangat berbeda : cepat terjadi nekrosis pada kulit dan jaringan di
tempat suntikan, tetapi ulkus sembuh dengan cepat. Kelenjar getah
bening regional tidak terinfeksi sama sekali, atau hanya terinfeksi
setelah beberapa waktu berlalu. Perbedaan-perbedaan antara infeksi
primer dan reinfeksi atau reaktivasi diakibatkan oleh (1) resistensi dan
(2) hipersensitivitas yang disebabkan oleh infeksi pertama pada inang
oleh basil tuberkel. Tidak jelas sejauh mana komponen-komponen ini
berperan dalam perubahan respons yang ditemui pada tuberkulosis
reaktivasi.

GAMBARAN KLINIK
Basil tuberkel dapat menyerang setiap organ tubuh, gejala
kliniknya sangat mudah berubah-ubah. Kelelahan, kelemahan,
penurunan berat badan, dan demam dapat merupakan tanda penyakit
tuberkulosis. Serangan pada paru-paru yang menimbulkan batuk
kronis dan batuk berdarah biasanya terjadi bila lesi telah sangat lanjut.
Meningitis atau gangguan saluran kemih dapat terjadi tanpa adanya

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


40

gejala-gejala tuberkulosis yang lain. Penyebarannya melalui darah


mengakibatkan tuberkulosis milier dengan lesi pada berbagai organ dan
angka kematian yang tinggi.

TES DIAGNOSTIK LABORATORIUM


A. Bahan :
Bahan pemeriksaan terdiri atas dahak segar, bilasan, lambung,
urine, cairan pleura, cairan spinal, cairan sendi, bahan biopsi, atau
bahan lain yang dicurigai.

B. Dekontaminasi dan Pemekatan Bahan :


Bahan dari dahak dan tempat-tempat nonsteril lainnya sebaiknya
dicairkan dengan L-sistein-N-asetil, dikontaminasi dengan NaOH
(membunuh bakteri dan jamur lain), dinetralisasi dengan dapar, dan
dipekatkan melalui sentrifugasi.

C. Sediaan Apus :
Dahak, eksudat atau bahan lainnya, diwarnai tahan-asam dengan
teknik Ziehl-Neelsen. Pewarnaan bersihan lambung dan urin umumnya
tidak dianjurkan, karena mungkin terdapat mikobakteria saprofitik dan
menghasilkan pewarnaan positif. Mikroskopi fluoresen dengan
pewarnaan auramin-rodamin lebih sensitif dibandingkan pewarnaan
tahan asam; diperlukan pemastian dengan pewarnaan tahan asam jika
mikroskopi fluoresen positif.

D. Pembiakan, Identifikasi, dan Uji Kepekaan :


Bahan terolah yang berasal dari tempat-tempat nonsteril dan bahan
tersentrifugasi yang berasal dari tempat steril dapat dibiakkan secara
langsung ke dalam perbenihan selektif dan nonselektif (lihat di atas).
Pembiakan dengan kaldu selektif sering merupakan metode yang paling
sensitif dan memberi hail yang paling cepat.

PENGOBATAN
Pengobatan primer untuk infeksi mikobakteria adalah kemoterapi
yang spesifik. Obat-obat untuk pengobatan infeksi mikobakteria
dibahas dalam Bab 10. Di Amerika Serikat, obat antituberkulosis yang
paling banyak digunakan adalah isoniazid (INH), rimfapin, etambutol,
dan pirazinamida. Obat antituberkulosis pilihan kedua antara lain
streptomisin, kanamisin, kapreomisin, etionamida, sikloserin,
ofloksasin, dan siprofloksasin.
Diantara 1 dalam 106 dan 1 dalam 108 basil tuberkel terdapat
mutan yang resisten secara spontan terhadap obat entituberkulosis
pilihan pertama. Bila obat-obat digunakan secara tunggal, basil
tuberkel resisten timbul dengan cepat dan berkembang biak. Karena
itu, pengobatan yang menggunakan obat-obat dalam bentuk kombinasi

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


41

menghasilkan angka kesembuhan > 95%. Di Amerika Serikat,


dianjurkan terapi awal dengan tiga obat untuk orang-orang yang belum
pernah diobati, tidak bertempat tinggal di dalam komunitas dengan
prevalensi basil tuberkel resisten obat yang tinggi, dan yang memiliki
faktor risiko untuk tuberkulosis resisten obat yang tidak diketahui.
Obat yang digunakan secara luas adalah isoniazid, rifampin, dan
piramizanida selama 2 bulan sampai diketahui hasil uji kepekaan,
diikuti dengan isoniazid dan rifampin selama 4 bulan berikutnya. Pada
pasien AIDS, isoniazid dan rifampin dilanjukan lebih lama. Isoniazid
dan rifampin (tanpa pirazinamida) selama 9 bulan juga efektif.
Pemberian empat obat yaitu isoniazid, rifampin, pirazimanida,
dan etambutol dianjurkan bagi orang-orang di AmerikaSerikat yang
memiliki risiko ringan sampai sedang untuk terkena infeksi basil
tuberkel resisten obat. Faktor risiko tersebut antara lain : baru
berpindah dari Amerika Latin atau Asia; orang-orang dengan infeksi
HIV atau yang berisiko terhadap infeksi HIV dan hidup di daerah
dengan tuberkel resisten berbagai obat berprevalensi rendah; dan
orang-orang yang sebelumnya diobati dengan obat-obat tanpa rifampin.
M tuberculosis resisten berbagai obat (resisten terhadap isoniazid
maupun rifampin) adalah masalah utama yang terus meningkat dalam
usaha pengobatan dan pengendalian tuberkulosis. Strain seperti ini
terdapat di daerah geografik tertentu (misalnya, Kota New York) dan
kelompok masyarakat tertentu (di rumah sakit dan di penjara). Telah
terjadi banyak wabah tuberkulosis dengan strain resisten berbagai obat.
Semuanya ini terutama penting pada orang-orang dengan infeksi HIV.
Orang-orang yang terinfeksi dengan organisme resisten obat atau yang
berisiko tinggi terhadap infeksi semacam ini, sebaiknya diobati sesuai
hasil uji kepekaan untuk strain yang menginfeksi. Jika tidak terdapat
hasil uji kepekaan, obat-obat sebaiknya dipilih sesuai pola kepekaan
dalam masyarakat tersebut yang telah diketahui dan dimodifikasi bila
hasil uji kepekaan telah didapatkan. Pengobatan harus terdiri dari
minimum tiga (tetapi lebih disukai lebih dari tiga) untuk organisme
yang memperlihatkan kepekaan.

EPIDEMIOLOGI, PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN


Sumber infeksi yang paling sering adalah manusia yang
mengekskresi basil tuberkel dalam jumlah besar, terutama dari saluran
pernapasan. Kontak yang rapat (misalnya dalam keluarga) dan kontak
secara massif (misalnya diantara tenaga kesehatan) menyebabkan
banyak kemungkinan terjadi penularan melalui inti droplet.
Kerentanan terhadap tuberkolusis meliputi risiko memperoleh
infeksi dan risiko timbulnya penyakit setelah terjadi infeksi. Bagi orang
dengan tes tuberkulin-negatif, risiko memperoleh basil tuberkel
bergantung pada kontak dengan sumber-sumber basil penyebab
infeksi-terutama dari penderita dengan dahak positif. Risiko ini

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


42

sebanding dengan angka infeksi aktif pada penduduk, tingkat


kepadatan penduduk, keadaan sosial ekonomi yang merugikan, dan
perawatan kesehatan yang tidak memadai.
Berkembangnya penyakit secara klinik setelah infeksi mungkin
mempunyai komponen genetik (terbukti pada hewan dan diduga pada
manusia, mengingat insidensi penyakit lebih tinggi pada mereka yang
memiliki antigen histokompatibilitas HLA-Bw 15). Ini dipengaruhi oleh
umur (risiko tinggi pada bayi baru lahir dan usia tua), oleh kekurangan
gizi, dan oleh keadaan status imunologik, penyakit-penyakit yang
menyertainya (misalnya silikosis, diabetes), dan faktor-faktor resistensi
individual dari inang.
Pengendalian yang tepat untuk penyakit M. tuberkulosis
(1) Pengobatan yang tepat dan efektif pada pasien dengan tuberkulosis
aktif dan tindak lanjut mengenai kontaknya dengan tes tuberkulin,
sinar-x, disertai pengobatan yang sesuai merupakan langkah utama
pengendalian tuberkulosis kesehatan masyarakat. Bila timbul kembali
tuberkulosis berarti cara-cara pengendalian ini tidak dilakukan secara
adekuat.
(2) Pengobatan pada orang dengan tuberkulin-positif yang asimtomatik
pada golongan umur yang paling mudah mendapat komplikasi
(misalnya anak-anak) dan pada orang-orang dengan tuberkulin-positif
yang harus menerima obat imunosupresif, sangat menurunkan
reaktivasi infeksi.
(3) Resistansi inang : Faktor-faktor nonspesifik dapat mengurangi
resistensi inang, dan ini mempernudah perubahan infeksi asimtomatik
menjadi penyakit. Faktor-faktor ini antara lain kelaparan, gastrektomi,
dan penekanan imunitas seluler oleh obat-obatan (misalnya
kortikosteroid) atau infeksi. Infeksi HIV merupakan faktor risiko utama
untuk tuberkulosis.
(4) Imunisasi : Berbagai basil tuberkel hidup yang avirulen, khususnya
BCG (bacillus Calmette-Guerin, bakteri sapi yang dilemahkan),
dipergunakan untuk merangsang resistensi tertentu pada orang yang
berhubungan sangat erat dengan penderita penyakit tuberkulosis.
Vaksinasi dengan organisme ini merupakan pengganti infeksi primer
dengan basil tuberkel virulen, tanpa bahaya yang terdapat pada bakteri
virulen. Vaksin yang tersedia belum memenuhi persyaratan yang
secukupnya dipandang dari berbagai sudut teknik dan biologik.
Meskipun demikian, BCG diberikan pada anak-anak di banyak negara.
Di Amerika Serikat, Pemakaian BCG hanya dianjurkan pada orang
dengan tuberkulin-negatif yang sering berkontak dengan penderita
tuberkulosis (anggota dari keluarga tuberkulosis, karyawan kesehatan).
Bukti statistik menunjukkan bahwa ada peningkatan resistensi selam
waktu tertentu setelah vaksinasi BCG.
(5) Pemberantasan tuberkulosis pada ternak dan pasteurisasi
susu sangat menurunkan infeksi M bovis.

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


43

BAKTERI PENYEBAB PENYAKIT PERNAPASAN

DOSEN PENGAJAR:
PROF.DR. H. IMAM SUPARDI,dr,Sp.MK
DR. SADELI MASRIA,dr,MS.Sp.MK

OLEH :
NAMA : RITA ENDRIANI
NPM : L2J00009
Program studi : ILMU KEDOKTERAN DASAR
BKU : MIKROBIOLOGI

PROGRAM PASCASARJANA

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan


44

UNIVERSITAS PADJAJARAN
BANDUNG
2002

Bakteri Penyebab Penyakit Saluran Pernafasan

Anda mungkin juga menyukai