Anda di halaman 1dari 14

MAWARIS

(AHLI WARIS)

NAMA : RULIANIS APRIANTI

KELAS : XII IPA 2

TUGAS : AGAMA ISLAM

1
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Puji syukur kita panjatkan kehadiran Allah SWT karena berkat rahmat dan

hidayahnya sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Pertama-tama saya sangat

berterima kasih kepada ibu Sri Bintani, S.Pd karena telah memberikan tugas ini

kepada saya sehingga saya tahu akan mawaris atau ahli waris.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk kita dalam mengetahui akan mawaris.

Mohon ma’af bila terdapat kesalahan didalam pembuatan makalah ini.

Sesungguhnya kesalahan itu datangnya dari saya sendiri dan hanya Allah lah yang

maha sempurna.

Tak ada gading yang tak retak, begitu pula dengan makalah saya yang tidak

sempurna.

Terima kasih,

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Penulis

Rulianis Aprianti

2
BAB I

PENDAHULUAN
Proses perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup dan mati. Semua tahap itu
membawa pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungannya, terutama ,dengan
orang yang dekat dengannya. Baik dekat dalam arti nasab maupun dalam arti
lingkungan.

Kelahiran membawa akibat timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya dan orang lain
serta timbulnya hubungan hukum antara dia dengan orang tua, kerabat dan
masyarakat lingkungannya.

Demikian juga dengan kematian seseorang membawa pengaruh dan akibat hukum
kepada diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitarnya, selain itu, kematian
tersebut menimbulkan kewajiban orang lain bagi dirinya (si mayit) yang
berhubungan dengan pengurusan jenazahnya. Dengan kematian timbul pula akibat
hukum lain secara otomatis, yaitu adanya hubungan ilmu hukum yang menyangkut
hak para keluarganya (ahli waris) terhadap seluruh harta peninggalannya.

Adanya kematian seseorang mengakibatkan timbulnya cabang ilmu hukum yang


menyangkut bagaimana cara penyelesaian harta peninggalan kepada keluarganya
yang dikenal dengan nama Hukum Waris. Dalam syari’at Islam ilmu tersebut dikenal
dengan nama Ilmu Mawaris, Fiqih Mawaris, atau Faraidh.

Dalam hukum waris tersebut ditentukanlah siapa-siapa yang menjadi ahli waris,
siapa-siapa yang berhak mendapatkan bagian harta warisan tersebut, berapa bagian
mereka masing-masing bagaimana ketentuan pembagiannya serta diatur pula.

A. Mawaris Dalam Islam


1. Pengertian
Menurut bahasa mawaris adalah bentuk jama’ dari kata mirosun, yang berarti
hal warisan. Sedangkan menurut istilah adalah perpindahan berbagai hak dan
kewajiban tentang kekayaan orang meninggal dunia kepada orang lain yang
masih hidup.
Ilmu yang mempelajari hal waris lebih populer disebut faroid, yaitu ilmu yang
mempelajari tentang siapa yang mendapaatkan warisan, siapa yang tidak
mendapatkan, kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli waris, dan bagaimana
cara pembagiannya.

3
BAB II

PEMBAHASAN
A. Sejarah Singkat Tentang Pewarisan

1. I. Pewarisan Pada Masa Pra Islam (Zaman Jahiliyah)

Orang-orang Arab Jahiliyah adalah salah satu bangsa yang gemar mengembara dan
senang berperang. Kehidupan mereka, sedikit banyak, tergantung kepada hasil
rampasan perang dari bangsa-bangsa atau suku-suku yang telah mereka taklukkan.
Di samping itu juga mereka berdagang rempah-rempah.

Dalam bidang pembagian harta warisan mereka berpegang teguh kepada adat
istiadat yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka. Menurut ketentuan yang
telah berlaku, bahwa anak yang belum dewasa dan anak perempuan atau kaum
perempuan tidak berhak mendapat warisan dari harta peninggalan orang yang
meninggal dunia. Bahkan mereka beranggapan, bahwa janda dari orang yang
meninggal itu pun dianggap sebagai warisan dan boleh berpindah tangan dari si ayah
kepada anaknya.

Adapun yang menjadi sebab pusaka mempusakai pada masa Jahiliyyah ada tiga
macam:

1. Adanya pertalian kerabat (‫)القرية‬

Pertalian kekerabatan belum dianggap memadai untuk mendapat warisan dan yang
paling penting adalah kuat jasmani untuk membela dan mempertahankan keluarga
dan kabilah (suku) dari serangan pihak lain. Dengan demikian, para ahli waris pada
zaman Jahiliyyah dari golongan kerabat terdiri dari:

a) Anak laki-laki

b) Sudara laki-laki

c) Paman

d) Anak paman

1. Adanya janji Prasetia (‫)المخالفة‬

Orang-orang yang mempunyai ikatan janji prasetia dengan si mati berhak


mendapatkan seperempat harta peninggalannya. Janji prasetia tersebut baru
terjadi dan mempunyai kekuatan hukum, apabila kedua belah pihak telah
mengadakan ijab-Qabul dan janji prasetianya. Ucapan (sumpah) yang bisa
digunakan, antara lain:

ْ‫بْ َوأَ ِّرثُكَْ تَ ِّرث ُ ِّنىْ َهد ُمكَْ َو َهد ِّمىْ َد ُّمكَْ د َِّمى‬ ُ َ‫ِّبكَْ َوأُطل‬
ُ َ‫بْ بِّى َوت ُطل‬

4
“Darahku darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan darahmu, kamu mewarisi
hartaku aku pun mewarisi hartamu, kamu dituntut darahmu karena tindakanmu
terhadapku aku pun dituntut darahku karena tindakanku terhadapmu”.

1. Adanya pengangkatana anak (‫)تبنّى‬

Pengangkatan anak (adopsi) merupakan adat kebiasaan yang berlaku dalam


masyarakat Arab Jahiliyah, walaupun anak tersebut jelas mempunyai orang tua
sendiri. Anak yang diangkat mempunyai hak-hak yang sama dengan hak-hak anak
kandung, misalnya nasab dan warisan.

Orang yang telah diadopsi (diangkat anak) oleh si mati berhak mendapatkan harta
peninggalannya seperti anak keturunan si mati. Dalam segala hal, ia dianggap serta
diperlakukan sebagai anak kandung dan dinasabkan kepada ayah angkatnya, bukan
kepada ayah kandungnya.

Sebagaimana halnya pewarisan atas dasar pertalian kerabat, pewarisan atas dasar
ikatan janji prasetia dan pengangkatan anak pun disyaratkan harus orang laki-laki
yang sudah dewasa. Sebab, tendensi mereka untuk mengadakan janji prasetia
adalah adanya dorongan kemauan bersama untuk saling membela jiwa raga dan
kehormatan mereka. Tujuan tersebut niscaya tidak mungkin dapat direalisasikan
sekiranya pihak-pihak yang mengadakan janji prasetia itu masih anak-anak atau
perempuan. Dan keinginan mereka melakukan pengangkatan anak pun bertujuan
melangsungkan silsilah keturunan serta memelihara dan mengembangkan harta
kekayaan yang mereka miliki

1. II. Pewarisan Pada Masa Awal Islam

Pada masa awal islam, kekuatan kaum muslimin masih sangat lemah, lantaran jumlah
mereka sedikit. Untuk menghadapi kaum musyrikin Quraisy yang sangat kuat,
Rasulullah saw. meminta bantuan penduduk di luar kota Mekkah yang sepaham dan
simpatik terhadap perjuangannya dalam memberantas kemusyrikan.

Adapun yang menjadi sebab pusaka mempusakai pada masa awal Islam ada tiga
macam:

a) Adanya pertalian kerabat (‫)القربة‬

b) Adanya pengangkatan anak (‫)التبني‬

c) Adanya Hijrah (dari Mekkah ke Madinah) dan persaudaraan antara kaum


Muhajirin dan Anshar (‫)والمؤخة الهجرة‬

5
1. III. Pewarisan Pada Masa Islam Selanjutnya

Setelah aqidah umat Islam bertambah kuat, dan satu sama lain diantara mereka
telah terpupuk rasa saling mencintai, apabila kecintaan mereka kepada Rasulullah
saw. sudah sangat melekat, perkembangan Islam makin maju, pengikut-pengikut
bertambah banyak, pemerintahan Islam sudah stabil, maka sebab-sebab pewarisan
yang hanya berdasarkan kelaki-lakian yang dewasa dan mengenyampingkan anak-
anak dan kaum perempuan, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah
telah dibatalkan oleh firman Allah swt.

ْ‫ب ِّل ِّلر َجا ِّل‬ ِّْ ‫اء َواألَق َربُونَْ ال َوا ِّلد‬
ْ ‫َان ت َ َركَْ ِّم َّما نَ ِّصي‬ ِّْ ‫ِّمن ْهُ قَ َّْل ِّمما َواألق َربُونَْ ال َو ِّلد‬
َ ِِّ َ‫َان ت َ َركَْ ِّم َّما نَ ِّصيبْ َو ِّللن‬
ِّْ ‫س‬
ْ‫ النساء( َمف ُروضًا نَ ِّصيبًا َكث ُ َْر أَو‬:٧

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan
kerabatnya. Dan bagi orang wanita ada hak bagian pula dari harta peninggalan ibu-
bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah
ditetapkan”. (Q.S a-Nisa, [4]:7)

Sebab-sebab pewaris yang berdasarkan janji prasetia juga dibatalkan oleh firman
Allah SWT

…ْ‫ض ُهمْ َوأُولُوااألر َحام‬


ُ ‫بْ فِّى بِّبَعضْ أَولَى بَع‬ ْ ْ‫ األنفال( عَليمْ شَيءْ بِّك ُِّل‬: ٧٥)
ِّ ‫هللاَ إنْ هللا ِّكتَا‬

“… orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak


terhadap sesamanya dari pada yang bukan kerabat di dalam kitab Allah.
Sesungguhnya Allah maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S al-Anfal,[8]:75)”.

Sedangkan pewarisan yang berdasarkan adanya pengangkatan anak (adopsi)


dibatalkan oleh firman Allah:

…‫هللاُ بِّأَف َوا ِّهك ُْم قَولُكُمْ ذَ ِّلكُمْ أَبنَا َءكُمْ أَد ِّعيَا َءكُمْ َجعَ َْل َو َما‬
ْ ‫ق يَقُو ُْل َو‬ َّ ‫ال‬. ْ‫ع ُهم‬
َّْ ‫سبِّْي َْل يَهدِّى َو ُه َْو ال َح‬ ِّ َ‫ِّألَب‬
ُ ‫اء ِّهمْ أُد‬
َ ‫هللاِّ ِّعن َْد أَق‬
ُْ ‫س‬
‫ط ُه َْو‬ ْ ْ‫ن فِّي فَ ِّإخ َونُكُمْ أبَا َءهُمْ تَعلَ ُموا لَمْ فَ ِّإن‬ ِّْ ‫… َو َم َو ِّليكُمْ الدِّي‬

“… dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri).
Yang demikian itu hanyalah perkataan dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang
sebenarnya dan dia menunjukkan jalan yang benar. Panggillah mereka (anak-anak
angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada
sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui nama bapak-bapak mereka, maka
panggillah mereka sebagai saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu …” (Q.S
al-Ahzab [33]:4-5)

Dari uraian diatas, dapatlah dipahami bahwa dalam pewarisan Islam yang berhak
menerima harta warisan tidak terbatas kepada kaum laki-laki yang sudah dewasa,
melainkan juga kepada anak-anak dan perempuan. Dan dalam pewarisan Islam tidak
dikenal adanya janji prasetia dan pengangkatan anak (adopsi).

6
B. Pengertian

Lafadz faraidh (‫)الفَ َر ِئض‬, sebagai jamak dari lafadz faridhah (‫)فريضة‬, oleh ulama
Faradhiyunmafrudhah (‫)مفروضة‬, yakni bagian yang telah dipastikan atau ditentukan
kadarnya. Adapun lafadz al-Mawarits (‫ )المواريث‬merupakan jamak dari lafadz mirats
(‫)ميراث‬. Maksudnya adalah diartikan semakna dengan lafadz

ُ‫خلَفَ َها الَّ ِّتي التِّرك َْة‬


َْ ُْ‫غي ُر ْهُ َو َو َزث َ َها ال َميِّت‬
َ

“Harta peninggalan yang ditinggalkan oleh si mati dan diwarisi oleh yang lainnya (ahli
waris)”.

Sedangakan pendapat-pendapat ulama mengenai definisi ilmu faraidh atau Fiqih


Mawaris:

 Muhammad al-Syarbiny mendefinisikan ilmu Faraidh sebagai berikut:

ُ‫ق ال ِّفق ْه‬


ُْ ‫ثْ ال ُمتَعَ ِّل‬ ِّ ‫ب َو َمع ِّرفَ ِّْة ِّب‬
ِّ ‫اإلر‬ َ ‫بْ قَد ِّْر َو َمع ِّرفَ ِّْة ذَا ِّلكَْ َمع ِّرفَ ِّْة اِّلَى ال ُم َو ِّص ُْل ال ِّح‬
ِّْ ‫سا‬ ِّ ‫ِّلك ُِّْل التَّر َك ِّْة ِّمنَْ ال َو ِّج‬
ْ‫َحقْ ذِّى‬

“Ilmu fiqih yang berkaitan dengan pewarisan, pengetahuan tentang cara


perhitungan yang dapat menyelesaikan pewarisan tersebut dan pengetahuan
tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan bagi setiap pemilik hak
waris (ahli waris)”.

 Hasbi Ash-Shiddieqy mendefinisikan sebagai berikut:

ْ‫فْ ِّعلم‬ ُْ ‫ث ْلَ َو َمنْ يَ ِّر‬


ُ ‫ث َمنْ ِّب ِّهْ يُع َر‬ ُْ ‫التَّو ِّزي ِّعْ َوكَي ِّفيَ ْةُ َو ِّارثْ ك ُِّْل َو ِّمقد‬
ُْ ‫َار يَ ِّر‬

“Ilmu yang mempelajari tentang siapa yang mendapatkan warisan dan siapa yang
tidak mendapatkannya, kadar-kadar yang diterima oelh tiap-tiap ahli waris dan cara
pembagiannya”.

Muhammad Muhyidin Abdul Hamid mendefinisikan sebagai berikut:

ْ‫بْ َما قَدرْ َمع ِّرفَ ِّْة إِّلَى ال ُم َو ِّص ُْل ال ِّعل ُم‬
ُ ‫التِّر َك ِّْة ِّمنَْ َحقْ ذِّىْ بِّك ُِّْل يَ ِّج‬

“Ilmu yang membahas tentang kadar (bagian) dari harta peninggalan bagi setiap
orang yang berhak menerimanya (ahli waris)”.

 Rifa’I Arief mendefinisikan sebagai berikut:

ُ ُ ‫فْ وأ‬
ْ‫صولْ قَ َوا ِّع ُد‬ ُ ‫ب ال َو ِّرثَهُْ بِّ َها تُع َر‬
ُْ ‫ِّل ُمست َ ِّح ِّق َها التَّر َك ِّْة تَقسِّب ِّْم َو َط ِّريقَهُْ لَ ُهمْ ال ُمقَد َُّرْ َوالنَّ ِّصي‬

“Kaidah-kaidah dan pokok yang membahas tentang para ahli waris, bagian-bagian
yang telah ditentukan bagi mereka (ahli waris) dan cara membagikan harta
peninggalan kepada orang (ahli waris) yang berhak menerimanya”.

Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa ilmu faraidh atau fiqih
Mawaris adalah ilmu yang membicarakan hal ihwal pemindahan harta peninggalan

7
dari seseorang yang meninggal dunia kepada yang masih hidup, baik mengenai harta
yang ditinggalkannya, orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan
tersebut, bagian masing-masing ahli waris, maupun cara penyelesaian pembagian
harta peninggalan tersebut.

C. Hukum Mempelajari dan Mengajarkan Ilmu Faraidh

Dalam ayat-ayat Mawaris Allah menjelaskan bagian setiap ahli waris yang berhak
mendapatkan warisan, menunjukkan bagian warisan dan syarat-syaratnya
menjelaskan keadaan-keadaan dimana manusia mendapat warisan dan dimana ia
tidak memperolehnya, kapan ia mendapat warisan dengan penetapan atau menjadi
ashobah (menunggu sisa atau mendapat seluruhnya) atau dengan kedua-duanya
sekaligus dan kapan ia terhalang untuk mendapatkan warisan sebagian dan
seluruhnya.

Begitu besar derajat Ilmu Faraidh bagi umat Islam sehingga oleh sebagian besar
ulama dikatakan sebagai separoh Ilmu. Hal ini didasarkan kepada hadis Rasulullah
saw yang diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’i dan Daru Quthni:

‫علَّ ُموهُْ القُرانَْ تَعَلَّ ُموا‬


َ ‫اس َو‬ َْ َّ‫الن‬, ‫ض َوتَعَلَّ ُموا‬ َْ ِّ‫علَّ ُمو َها الفَ َرائ‬َ ‫اس َو‬ َْ َّ‫الن‬, ‫َوال ِّعل ُْم َمقبُوضْ ام ُرؤْ فَإنِّى‬
ْ‫شكُْ َمرفُوع‬ ِّ ‫ف أَنْ َويُو‬ َ ‫لَ الفَ ِّري‬
ِّْ َ‫ض ِّْة فِّى اثْن‬
َْ ‫ان يَخت َ ِّل‬ ِّْ ‫يُخبِّ ُر َها أ َ َحدًا يَ ِّجد‬
ْ َ‫َان ف‬

“Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang-orang, pelajarilah ilmu faraidh


dan ajarkanlah ilmu itu kepada orang-orang, karena aku adalah manusia yang akan
direnggut (wafat), sesungguhnya ilmu itu akan dicabut dan akan timbul fitnah
hingga kelak ada dua orang berselisihan mengenai pembagian warisan, namun tidak
ada orang yang memutuskan perkara mereka”.

Hadis tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah saw, memerintahkan kepada umat


Islam untuk mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh, agar tidak terjadi
perselisihan-perselisihan dalam pembagian harta peninggalan, disebabkan ketiadaan
ulama faraidh. Perintah tersebut mengandung perintah wajib. Kewajiban
mempelajari dan mengajarkan ilmu itu gugur apabila ada sebagian orang yang telah
melaksanakannya. Jika tidak ada seorang pun yang melaksanakannya, maka seluruh
umat Islam menanggung dosa, disebabkan melalaikan suatu kewajiban.

Dalam buku lain, kami menemukan bahwa dengan adanya kewajiban untuk
menjalankan syariat Islam dalam perkara waris maka wajib (wajib kifayah) pula
hukum belajar dan mengajarkan ilmu faraidh.

4. Ahli Waris
Secara keseluruhan ahli waris yang mendapatkan harta pusaka ada 25 orang, yang
terdiri dari 15 orang dari pihak laki-laki dan 10 orang dari pihak perempuan.
a. Pihak laki-laki :
1). Anak lakilaki
2). Cucu laki-laki dari anak laki-laki
3). Ayah

8
4). Kakek dari pihak ayah
5). Saudara laki-laki sekandung
6). Saudara laki-laki seayah
7). Saudara laki-laki seibu
8).. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung ( keponakan)
9). Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
10). Saudara laki-laki ayah yang sekandung ( paman )
11). Saudara laki-laki ayah se ayah
12). Anak lai-laki saudara ayah yang laki-laki sekandung
13). Anak laki-laki saudara ayah yang laki-laki seayah
14). Suami
15). Lali-laki yang memerdekakan budak.

Jika lima belas orang tersebut di atas masih ada semuanya, yang diprioritaskan ada
tiga , yaitu ;
1). Ayah,
2) Anak laki-laki
3) Suami.

b. Pihak Perempuan :
1) Anak perempuan
2) Cucu perempuan dari anak laki-laki
3) Ibu
4) Nenek dari pihak ayah
5) Nenenk diri pihak ibu
6) Saudara perempuan sekandung
7) Saudara peremmpuan seayah
8) Saudara peremouan seibu
9) Istri
10) Perempuan yang memerdekakan budak

Jika Sepuluh orang masih ada semua, maka yang diprioritaskan ada lima yaitu :
1). Istri
2). Anak perempuan
3). Cucu perempuan dari anak laki-laki
4). Saudara perempuan sekandung

Jika dua 25 orang masih ada semua, maka yang diprioritaskan adalah sebagai
perikut :
1). Ibu
2). Ayah
3). Anak laki-laki
4). Anak perempuan
5). Suami atau istri

5. Pembagian Ahli Waris.


a. Ahli waris yang mendapatkan bagian tertentu (Furudhul Muqoddaroh)

9
Bagian-bagian waris yang telah ditentukan oleh Al Qur’an adlah : 1/2, 1/4, 1/8, 2/3,
1/3, 1/6.
6. Ahli waris yang mendapatkan 1/2 adalah :
a). Anak perempuan, apa bila sendirian tidak bersama saudara.
b). Saudara perempuan tungal yang sekandung
c). Cucu perempuan, jika tidak ada anak perempuan
d). Suami, Jika tidak ada anak atau cucu.
2. Ahli waris yang mendapatkan bagian 1//4. yaitu :
a). Suami, jika ada anak atau cucu
b). Istri, jika tidak ada anak atau cucu.
3. Ahli waris yang mendapatkan bagian 1/8 adalah ;
Istri, jika suami meninggalkan anak atau cucu.
4. Ahli waris yang mendapatkan bagian 2/3 adalah :
a). Dua anak perempuan atau lebih, jika tidak ada anak laki-laki.
b). Dua cucu perempuan atau lebi dari anak laki-laki, jika tidak ada anak perempuan.
c). Dua saudara perempuan atau lebih yang sekandung
d). Dua orang saudara perempuan atau lebih yang seayah, jika tidak ada saudara
perempuan yang sekandung.
5. Ahli waris yang mendapatkan bagian 1/3 adalah :
a). Ibu, apabila yang meniggal tidak meninggalka anka atau cucu dari anak laki-laki
dan tidak ada saudara.
b). Dua orang saudara atau lebih, dari saudara yang seibu, baik laki-laki maupun
perempuan.
6. Ahli waris yang mendapatkan bagian 1/6 adalah :
a). Ibu, apabila yang meninggal mempuanyai anak atau cucu dari anak laki-laki atau
saudara lebih dari satu.
b). Ayah, jika yang meninggal mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki.
c). Nenek, jika yang meninggal sudah tidak ada Ibu
d). Cucu perempuan dari pihak anak laki-laki, baik sendirian atau lebih, jika bersama
anak perempuan.
b. Ahli waris ashobah
Ahli waris ashobah adalah ahli waris yang memperoleh bagian berdasarkan sisa
harta pusaka setelah dibagikan ahli waris yang lain. Ahli waris ashobah dapat
menghabiskan semua sisa harta pusaka. Ashobah dibagi menjadi tiga yaitu :
1. Ashobah binafsih, yaitu ahli waris yang mejadi ashobah dengan sendirinya, yaitu :
a). Anak laki-laki
b). Cucu laki-laki dari anak laki-laki
c). Ayah
d). Kakek dari pihak ayah
e). Saudara laki-laki sekandung
f). Saudara laki-laki seayah
g). Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
h). Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
i). Paman sekandung dari ayah
j). Panan seayah dari ayah
k). Anak laki-laki sekandung dari ayah
l). Anak laki-laki paman seayah dari ayah

10
2. Ashobah bil ghoiri, ahli waris yang menjadi ashobah karena sebab ahli waris yang
lain mereka adalah :
1). Anak perempuan, jika bersama saudara laki-laki.
2). Cucu perempuan, jika bersama cucu laki-laki
3). Saudara perempuan sekandung , jika bersama saudara laki-laki.
4). Saudara perempuan seayah, jika bersama saudara laki-laki seayah
3. Ashobah Ma’al ghoiri, ahli waris yang menjadi ashobah jika bersama ahli waris
yang lain, yaitu :
a). Saudara perempuan sekandung seorang atau lebih, jika bersama anak atau cucu
perempuan.
b). Saudara perempuan seayah seorang atau lebih, jika bersama anak atau cucu
perempuan yang seayah.
Contoh perhitungan waris .
Pak Ali meninggal dunia, Ia meninggalkan ahli waris , seorang istri, Ibu, Ayah, satu
anak laki-laki, dua anak perempuan dan tiga orang saudara laki-laki. Harta
peninggalannya Rp. 12. 400.000,-, hutang sebelum meninggal Rp. 100.000,-, wasiat
Rp. 100.000,- dan biaya perawatan jenazah Rp. 200.000,- . Berapa bagian masing-
masing?
Jawab :
Harta peninggalan Rp. 14.400.000,-
Kewajiban yang dikeluarkan :
1. Hutang Rp. 100.000,-
2. Wasiyat Rp. 100.000,-
3. Biaya perawatan Rp. 200.000,-
Jumlah Rp. 400.000,-
Harta waris Rp. 14.400 – Rp. 400.000 = Rp. 12.000.000,-
Ahli waris :
1. Istri = 1/8
2. Ibu = 1/6
3. Ayah = 1/6
4. Anak Laki-laki = Ashobah binafsih
5. Anak perempuan = Ashobah bil ghoiri
6. Saudara laki-laki = mahjub
a. Istri 1/8 =3/24 x Rp. 12.000.000 =Rp. 1500.000,-
b. Ayah 1/6 =4/24 x Rp. 12.000.000 =Rp. 2.000.000,-
c. Ibu 1/6 =4/24 x Rp. 12.000.000 =Rp. 2.000.000,-

Jumlah =Rp. 5.500.000,-

Sisa =Rp. 12.000.000 – Rp. 5.500.000,- =Rp. 6.500.000,-


Anak laki-laki = 2:1 = 2/3 x 6.500.000,- =Rp. 4.333.000
Anak perempuan 1/3 x 6.500.000 =Rp. 2.166.000

11
B. Hukum Waris Adat dan Hukum Positif
1. Hukum waris adat
Hukum waris adat erat hubungannya dengan sifat dan bentuk kekeluargaan. Di
Indonesia terdapat tiga bentuk kekeluargaan yaitu :
a. Patrilinial, yaitu jalur keturunan ada pihak laki-laki. Oleh karena itu hak waris pun
hanya berlaku phak laki-laki saja. Sistem ini berlaku pada masyarakat daerah Batak,
Ambon, Irian Jaya dan Bali.
b. Matrilinial, yaitu jalur keturunan ada pada pihak perempuan atau ibu. Karena itu
yang berhak atas waris pun hanya anak perempuan. Sisitem ini berlaku pada
masyarakat Minangkabau
c. Parental, yaitu jalur keturunan ada antara aqyah dan ibu punya peran yang sama.
Karena itu warisasan pun laki-laki maupun perempuan memperoleh bagiannya.
Sistem ini berlaku sebagian besar masyarakat Indonesia.

2. Hukum waris positif


Di Indonesia ada dua sistem penyelesaian waris, yaitu pertama, menggunakan KUH
Perdata, Buku I dari pasal 830 hingga pasal 1130.Kewenangannya ada pada
Pengadilan Negeri. Kedua,UU No. 7 th. 1989. Undang-undang ini khususnya berlaku
bagi umat Islam dalam menyelesaikan pewarisan. Wewenagnya ada di pihak
Pengadilan Agama. Adapun peranan Pengadilan Agama adalah :
a. Menentukan para ahli waris
b. Menentukan harta peniggalan
c. Menentukan bagian masing-masingahli waris
d. Pelaksana dalam pembagian harta peninggalan tersebut.
Pada dasarnya sebagian pasal Undang-undang No. 7 tahun 1989 , merupakan
implementasi dari hukum Islam, misalnya :
a. Bab III Pasal 176 – 182, tentang ketentuan para ahli waris ( dzawil furud ).
b. Pasal 173.3 Bab II, terhalangnya hal waris bagi pembunuh untuk menerima harta
waris dari yang terbunuh.
c. Pasal 171 Bab I, Jika orang yang meninggal tidak mempunyai ahli waris, maka
harta bendanya masuk ke Baitul Mal dan dipergunakan untuk kepentinga umat
Islam.

12
BAB III

KESIMPULAN
Sejarah mawaris terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:

Pewarisan Pada Masa Pra Islam (Zaman Jahiliyah)

1. Adanya pertalian kerabat (‫)القرية‬


2. Adanya janji Prasetia (‫)المخالفة‬
3. Adanya pengangkatana anak (‫)تبنّى‬

Pewarisan Pada Masa Awal Islam

4. Adanya pertalian kerabat (‫)القربة‬


5. Adanya pengangkatan anak (‫)التبني‬

Adanya Hijrah (dari Mekkah ke Madinah) dan persaudaraan antara kaum Muhajirin
dan Anshar (‫)والمؤخة الهجرة‬

Pewarisan Pada Masa Islam Selanjutnya :

Pertalian kerabat, janji prasetia, dan adanya pengangkatan anak dibatalkan oleh
Allah dalam beberapa firmanNya.

Adapun pengertian dari faraidh sendiri adalah bagian yang telah dipastikan atau
ditentukan kadarnya. Kata Faraidh berasal darai kata al-Fardh, kata al-Fardh
sendiri memiliki beberapa arti diantaranya sebagai berikut ‫طع‬ ْ َ‫( الق‬al-qath’), ‫ِير‬
ْْ ‫( التَ ْقد‬at-
taqdir), ‫( اإلنزال‬al-inzal), ‫(العطاء‬al-Atha), ‫( اإلحالل‬al-ihlal), ‫( التبيين‬at-tabyin)

Sedangkan hukum mempelajari dan mengajarkan Ilmu Faraidh yaitu fardu kifayah.

Hukum waris adat


Hukum waris adat erat hubungannya dengan sifat dan bentuk kekeluargaan. Di
Indonesia terdapat tiga bentuk kekeluargaan yaitu :
a. Patrilinial, yaitu jalur keturunan ada pihak laki-laki. Oleh karena itu hak waris pun
hanya berlaku phak laki-laki saja. Sistem ini berlaku pada masyarakat daerah Batak,
Ambon, Irian Jaya dan Bali.
b. Matrilinial, yaitu jalur keturunan ada pada pihak perempuan atau ibu. Karena itu
yang berhak atas waris pun hanya anak perempuan. Sisitem ini berlaku pada
masyarakat Minangkabau
c. Parental, yaitu jalur keturunan ada antara ayah dan ibu punya peran yang sama.
Karena itu warisasan pun laki-laki maupun perempuan memperoleh bagiannya.
Sistem ini berlaku sebagian besar masyarakat Indonesia.

13
14

Anda mungkin juga menyukai