Kita sekalian sepakat bahwa pendidikan berhak didapatkan untuk siapapun. Satu hak
mutlak yang diperuntukan untuk siapapun tanpa ada diskriminasi. Pendidikan bukan
hanya berupa hak, ia juga merupakan kebutuhan dan kewajiban yang sudah menjadi
tanggungan bagi setiap individu sejak kelahirannya. Pendidikan tidak melulu membentuk
dan memola kemampuan kognitif saja, kemampuan mengolah emosi, keterampilan
bertahan hidup, hingga kehormatan diri menjadi subjek penting dalam pendidikan. Adanya
penghormatan oleh masyarakat terhadap seseorang yang memiliki taraf pendidikan tinggi
memberi jaminan penghargaan terhadap dirinya pribadi dan status gendernya. Oleh karena
itu, pendidikan mutlak diperlukan sekaligus menjadi kebutuhan oleh setiap individu, baik
pria maupun wanita.
Ketika gerakan feminisme dunia sedang berkembang, saat itu Belanda masih menjajah
Indonesia. Belanda adalah salah satu negara Eropa yang juga ikut terpengaruh dengan
gerakan feminisme, dampaknya menyebar hingga ke negara jajahannya, Indonesia. Di
Indonesia, yang mana kita tahu punya ragam adat istiadat dikarenakan kondisi
geografisnya yang berpulau-pulau, sehingga setiap pulau punya cara pandang yang
berbeda-beda mengenai perempuan dan hak-haknya. Salah satu suku terbesar dan ternama
di Indonesia yaitu suku Jawa, masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang memiliki
pembatasan-pembatasan tertentu dalam relasi gender yang memperlihatkan kedudukan dan
peran laki-laki yang lebih dominan dibanding perempuan (Indrawati, 2002). Pernyataan
tersebut didukung oleh pernyataan, budaya Jawa yang cenderung paternalistik, laki-laki
memiliki kedudukan istimewa (Handayani dan Novianto, 2004).
Perempuan jawa diharapkanmenjadi seorang yang senantiasa tunduk dan patuh kepada
kekuasaan laki-laki, yang terlihat dalam sistem kerajaan dan keraton. Istilah lain dari
perempuan adalah wanita, yang dalam bahasa Jawa diartikan sebagai manusia yang berani
ditata. Pengartian ini menunjukan adanya tuntutan kepasifan pada perempuan Jawa. Selain
itu istilah putra mahkota bukan putri mahkota atau disandingkan keduanya, kawin paksa,
dan babakan pingitan yang diberlakukan kepada perempuan belia Jawa (Widyastuti, 2005).
Perempuan jawa ketika sudah beranjak remaja hanya diahadapkan pada satu pilihan,
yaitu menikah muda. Pembatasan perempuan Jawa terhadap akses pendidikan yang hanya
maksimal bisa ditempuh selama 6 tahun, yang mana saat itu mendapat pendidikan
merupakan dambaan setiap anak muda. Hanya segelintir perempuan Jawa yang pernah
menikmati pendidikan, itu pun hanya diperuntukan kepada anak seorang terpandang
macam Bupati. RA Kartini, salah satu perempuan Jawa yang pernah mengecap manisnya
pendidikan. Selama masa mudanya kartini pernah bersekolh di E.L.S (Europese Lagere
School) atau sekolah tingkat dasar. Disana beliau dapatkan kemampuannya berbahsa
Belanda. Meski demikian setelah tamat sekolah dasar, Kartini dihadapkan dengan adat
suku Jawa yang mengharuskan menjalani masa pingitan sampai waktu menikah tiba.
Kartini remaja menjalani masa pingitan dengan menyibukan diri membaca buku setiap
hari. Beliau gemar membaca buku-buku mengenai kemajuan perempuan seperti karya-
karya Multatuli atau Max Havelaar. Beliau juga banyak bergaul dengan orang-orang
terpelajar. Sering menulis surat dan bertukar ide dengan teman-temannya di Belanda,
bahkan menyampaikan kritik terhadap pendidikan perempuan, hak perempuan dan praktek
kolonialisme di Indonesia. Lewat kebiasaanya itu beliau menyadari bahwa betapa
tertinggalnya perempuan sebangsanya bila dibandingkan dengan perempuan bangsa lain,
terutama perempuan Eropa. Beliau merasakan sendiri bagaimana dirinya hanya
dibolehkan menempuh pendidikan setingkat sekolah dasar, padahal ia anak seorang Bupati.
Apalagi perempuan-perempuan biasa, mereka tidak punya kesempatan selayaknya beliau.
Dalam hati RA Kartini timbul tekad untuk memajukan kaumnya di bangsa sendiri.
Beliau pun mendirikan sekolah kecil perempuan di Jepara. Demi merealisasikan tekadnya
ia rela pergi ke Belanda untuk menepuh pendidikan guru. Namun upayanya dihalangi oleh
keluarga dengan dinikahkannya dengan Bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat.
Namun semangatnya masih tetap ada, beberapa hari sebelum pernikahan Kartini
menyampaikan lima syarat yang harus dipenuhi sang pria, salah satunya mengizinkan dan
membantunya mendirikan sekolah untuk perempuan di Rembang. Sekolah perempuan di
Rembang berdiri, diikuti beberpa pendirian “sekolah kartini” oleh wanita-wanita lainnya di
berbagai wilayah di Jawa, antara lain di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang,
Madiun, dan Cirebon.
Oleh kaarena itu tidak ada tempat di bumi pertiwi yang melegalkan tindak saling
melecehkan dan berbuat kekerasan, apalagi antar sesama perempuan. Sudah saatnya antar
sesama perempuan saling menjalin aliansi harmonis lagi erat agar perjuangan RA Kartini
dkk benar-benar membuahkan buah yang manis.