Anda di halaman 1dari 31

HUMANIORA KEDOKTERAN

A. Deskripsi
Humaniora merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari segala hal yang
diciptakan atau menjadi perhatian manusia baik itu ilmu filsafat, hukum, sejarah, bahasa,
teologi, sastra, seni dan lain sebagainya. Atau makna intrinsik nilai-nilai kemanusiaan
(Kamus Umum Bahasa Indonesia). Dalam bahasa Latin, humaniora artinya manusiawi.
Menurut Martiatmodjo, BS dalam “Catatan Kecil tentang Humaniora” dikatakan
sebagai Ilmu Budaya Dasar yang merupakan mata kuliah wajib di Perguruan Tinggi dan
merupakan juga terjemahan dari istilah Basic Humanities atau pendidikan humaniora.
Humaniora ini menyajikan bahan pendidikan yang mencerminkan keutuhan manusia dan
membantu agar manusia menjadi lebih manusiawi. Martiatmodjo menegaskan bahwa
perlunya humaniora bagi pendidik berarti menempatkan manusia di tengah-tengah proses
pendidikan.

B. Manfaat/Relevansi
Lantas, apa relevansinya mempelajari humaniora bagi seorang dokter? Dokter
adalah salah satu profesi yang berhubungan langsung dengan manusia sebagai lawan
interaksinya. Karena itu seorang dokter harus mengetahui segala hal yang berkaitan dengan
manusia, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Salah satunya dengan
pengetahuan humaniora ini.
Sebetulnya, pengetahuan ini haruslah terintegrasi ke dalam seluruh kurikulum
kedokteran (demikian juga semua pokok bahasan yang ada dalam blok ini harus
diintegrasikan ke dalam tiap-tiap blok). Karena yang kita harapkan adalah lahirnya dokter-
dokter yang tidak saja kompeten dalam keilmuannya, tapi juga memiliki perilaku yang
manusiawi, memperlakukan pasiennya seperti dirinya ingin diperlakukan. Tentu saja
perilaku tersebut tidak akan muncul tanpa adanya pengetahuan tentang apa dan bagaimana
sebetulnya sifat yang manusiawi itu.
Agar Anda dapat memahami dan selanjutnya dapat menerapkan prinsip-prinsip
yang terkandung dalam humaniora, maka Anda diperkenalkan dengan pengetahuan ini.
Tentu, pengetahuan ini sendiri belumlah cukup untuk mencapai apa yang kita harapkan,
tapi harus dipadukan dengan pengetahuan-pengetahuan lain yang akan dipelajari di dalam
blok ini.

C. Tujuan Instruksional Khusus


Mahasiswa mampu menerapkan prinsip-prinsip humaniora dalam Ilmu
Kedokteran dan Kesehatan
II. PENYAJIAN
Apakah Anda pernah berpikir, ingin jadi dokter seperti apakah Anda kelak?
Sudahkah Anda memiliki bayangan dokter ideal itu seperti apa? Mungkin, Anda merasa
tertarik melihat dokter yang mempunyai kedudukan yang terhormat dalam masyarakat.
Atau mungkin juga Anda takjub melihat banyak dokter yang sejahtera dari segi finansial,
segala apa yang menjadi standar kemewahan melekat pada mereka. Atau Anda bangga
melihat dokter mampu mempengaruhi jalan hidup seseorang, menyelamatkan nyawa
orang-orang di dekat Anda, memberi sentuhan keajaiban dalam takdir kehidupan orang
lain.
Apapun yang ada dalam bayangan Anda, profesi dokter memiliki sejarah
perjalanan yang lengkap. Pengetahuan humaniora ini berusaha memberi gambaran pada
kita bagaimana menjadi seorang dokter yang sejatinya ideal, dokter yang manusiawi, yang
berperilaku/berakhlak baik, berkepribadian profesional. Untuk mendapatkan hasil di hilir
yang baik, tentu kondisi di hulu sudah harus dipersiapkan sebelumnya. Karena itu disajikan
pengetahuan mengenai humaniora yang diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk
dapat memahami lebih baik tentang makna kehidupan Anda sebagai seorang dokter.
Mungkin saja terdapat anggapan bahwa masalah perilaku/akhlak baik dan sifat
belas kasih merupakan bawaan atau sifat lahiriah seseorang, bahkan ia adalah watak alami
yang melekat pada seseorang sejak dia dilahirkan, dan berkembang sesuai pengaruh
lingkungannya. Menganggap sifat belas kasih atau compassion bukanlah sesuatu yang
dapat dipelajari, tetapi suatu materi yang akan berpindah secara alami –melalui proses yang
panjang- dari satu manusia ke manusia lain. Tapi bila kita kembali kepada jati diri sebagai
manusia yang penuh dengan kekurangan, maka kita tahu bahwa banyak hal yang harus kita
pelajari, cermati, hayati dan amalkan dalam hidup ini, apalagi bila dikaitkan dengan jati diri
kita sebagai seorang muslim. Dalam agama Islam diajarkan mengenai akhlak secara
lengkap dan terperinci. Bedanya, konsep akhlak adalah konsep akhirat, jadi berimplikasi
tidak hanya di dunia ini saja. Sedangkan, konsep humaniora yang akan kita bahas adalah
konsep dunia, khususnya dunia medis jadi implikasinya jelas di dunia medis juga. Namun,
sebagai seorang muslim kita tentu percaya bahwa semua aspek kehidupan kita di dunia ini
pada akhirnya akan berdampak juga di akhirat kelak.
Sebetulnya, dalam kurikulum kita dikenal pendidikan ilmu budaya dasar yang
menurut Martiatmodjo merupakan juga terjemahan dari istilah Basic Humanities atau
pendidikan humaniora. Hanya saja penyajiannya jarang dikaitkan dengan kehidupan kita
kelak sebagai seorang dokter, jadi pengetahuan tersebut mengawang-awang, sangat idealis,
sehingga mahasiswa sulit menerapkannya dalam realitas kedokteran yang terkenal praktis.
Padahal bagi komunitas medis, apa saja yang disentuhkan pada kulitnya melalui kata
medis, akan mudah melekat karena ada sekian banyak reseptor yang sensitif dengan kata
tersebut pada kulitnya. Karena itu dibutuhkan pengetahuan yang lebih integratif agar kita
menjadi paham arah dan tujuan pembelajaran kita.
Pengetahuan tentang humaniora sangat luas. Tapi bahasan kita dalam kuliah ini
terbatas pada bidang kehidupan kita sebagai dokter. Pengetahuan ini harus dapat diterapkan
di segala bidang kehidupan Anda kelak sebagai dokter. Bidang yang dimaksud antara lain:

 Praktek kedokteran
 Pelayanan kesehatan
 Pendidikan kedokteran
 Penelitian

Berbicara tentang humaniora, berarti berbicara tentang beberapa aspek yang


memiliki pengertian yang saling berkaitan, di antaranya mengenai humanisme, etika,
kebudayaan dan perilaku. Humaniora memberikan wadah bagi lahirnya makna intrinsik
nilai-nilai humanisme. Humanisme sendiri adalah aliran yang bertujuan menghidupkan rasa
perikemanusiaan/mencita-citakan pergaulan yang lebih baik. Ada juga yang berpendapat
humanisme sebagai sikap/tingkah laku mengenai perhatian manusia dengan menekankan
pada rasa belas kasih serta martabat individu.
Pengertian etika yang dipahami lebih luas di kalangan medis selama ini selalu
menjadi jargon seorang dokter. Etika kedokteran dalam kamus kedokteran Stedman
dirumuskan sebagai principles of correct professional conduct with regard to the rights of
the physician himself, his patients, and his fellow practitioners. Dengan kata lain etika
dalam kedokteran merupakan prinsip-prinsip mengenai tingkah laku profesional yang tepat
berkaitan dengan hak dirinya sebagai dokter, hak pasiennya, dan hak teman sejawatnya.
Bila dikaitkan dengan kebudayaan, maka seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, dokter adalah suatu profesi yang berhubungan langsung dengan manusia
sebagai lawan interaksinya dalam konteks makhluk yang sama berbudaya. Karena itu
seorang dokter harus mengetahui segala hal yang berkaitan dengan manusia, baik sebagai
individu maupun sebagai makhluk sosial. Untuk membangun nilai-nilai sosial itu agar tetap
menjadi landasan bagi setiap dokter -terutama sebagai dokter muslim- dalam menjalani
kehidupan profesinya yang luas, maka disinilah pengetahuan kebudayaan menjadi konsep
dasar dalam membangun jati diri sebagai petugas layanan kesehatan.
Sehubungan dengan itu, penggunaan konsep perilaku di sini berada dalam
pengertian ketunggalannya dengan konsep kebudayaan. Perilaku seseorang, sedikit atau
banyak, terkait dengan pengetahuan, nilai dan norma dalam lingkungan-lingkungan
sosialnya, demikian juga halnya dengan seorang dokter. Untuk proses hulu, lingkungan
pendidikan yang baik tentu akan mengantar seseorang untuk berperilaku yang baik pula.
Ilmu kedokteran khususnya kedokteran umum yang menangani manusia jelas
sangat paralel dengan pengetahuan budaya yang berkaitan dengan hasil kesadaran manusia.
Segala penalaran dokter sebagai manusia akan sama dengan penalaran budi manusia. Ilmu
kedokteran yang selalu memikirkan jasmani dan rohani manusia akan selalu dituntut oleh
keadaan lingkungan masyarakat. Salah pikir dari seorang dokter berarti akan bertentangan
dengan hati nurani manusia yang melekat dalam pribadi sang dokter. Sebaliknya
kesuksesan dokter akan selalu menjunjung tinggi dan mengangkat nama harumnya karena
segala kesuksesan itu tentu dilandasi oleh budi/pikiran manusia secara sadar. Lantas,
bagaimana kaitannya dengan humanisme?
Menurut Profesor U Mia Tu dari Myanmar dalam orasinya tentang humanisme
dan etika dalam berbagai bidang kedokteran, terminologi humanisme awalnya dikaitkan
dengan pergeseran filosofi dan budaya selama masa renaisans Eropa. Belakangan,
maknanya bergeser menjadi sebuah sikap yang berkenaan dengan perhatian manusia pada
sesamanya dengan menekankan pada ‘compassion’ -belas kasihan- dan martabat
individual.
Secara tidak langsung, humanisme menyatakan suatu penghargaan kepada pasien
sebagai seorang individu; menunjukkan belas kasih dan mengerti akan rasa takut dan
khawatir dalam diri pasiennya; menyatakan suatu komunikasi yang berarti kepada pasien
sebagai seseorang dan bukannya sebagai sebuah penyakit. Lebih lanjut dia mengatakan,
humanisme dalam kedokteran lebih dari sebuah etika. Lebih dari sekedar menahan diri
untuk tidak melakukan hal-hal yang merugikan fisik dan mental pasien karena kelalaian
diri. Lebih dari yang sekedar tertulis dalam sumpah Hippocrates. Humanisme merupakan
tindakan positif, seperti halnya belas kasihan yang bukan sekedar perasaan prihatin kepada
penderitaan orang lain tapi menolong dengan memberi saran atau tindakan yang
meringankan penderitaannya. Namun sungguh mengejutkan karena definisi ‘belas kasihan’
tidak masuk dalam dua kamus utama kedokteran – Dorland dan Stedman. Meskipun
demikian, rasa belas kasih sama pentingnya dengan pengetahuan ilmiah dan keterampilan
pada seorang dokter yang humanistik.
Situasi apa yang menyebabkan sehingga humanisme dan etika mengilhami profesi
kedokteran saat ini? Apa yang telah terjadi sehingga menyebabkan banyak dokter-dokter
senior menyuarakan keprihatinannya terhadap kondisi profesi kita?
Jika kita mengamati sejenak, akan disadari betapa kita telah jauh menyimpang
dari idealisme sebagai dokter. Fenomena ini telah mendunia dan juga telah menyebar ke
dalam negara kita. Bukan hanya praktek medis dan perawatan pasien yang menyimpang
dari idealisme sosial, bahkan konsep humanisme menjadi sesuatu yang asing dalam
pendidikan kedokteran dan dalam bidang penelitian kedokteran. Benar bahwa etika
kedokteran termasuk dalam kurikulum pada beberapa sekolah kedokteran, namun diduga
hal tersebut hanya sebagai metode resmi untuk menenangkan hati mereka. Kenyataannya,
dibutuhkan lebih dari sekedar memasukkan subjek etika kedokteran ke dalam kurikulum
agar lulusan kedokteran menjadikan humanisme dan perilaku etis sebagai sifat kedua
mereka.
Seorang dokter bernama Assi Ba’l mengemukakan kerisauannya tentang profesi
dokter saat ini. Menurutnya ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya fenomena
tersebut, antara lain:
Pemisahan antara jasad dan jiwa
Pemisahan antara pencegahan dan pengobatan
Penghambaan diri terhadap teknologi modern
Berlebihan dalam mengejar spesialisasi
Perbedaan dalam tingkat pelayanan kesehatan
Karena tuntutan akan kompetensi profesi yang semakin meningkat, dokter-dokter
berlomba dalam menyempurnakan sisi keilmuannya. Kegamangan menghadapi masyarakat
yang gemar menggugat, ketakutan melakukan malapraktek, peningkatan kejahatan moral
oleh praktisi medis, semua hal-hal tersebut menyebabkan para dokter sangat fokus pada
keahlian medis mereka. Mereka menjadi sangat perhatian dalam menangani keluhan fisik
pasien, yang penting pasien sembuh dari derita fisiknya. Mereka tidak perlu repot-repot
menangani jiwa pasien mereka, yang penting pasien itu belum masuk kategori gila (silakan
ke ahli jiwa kalau jiwa anda terganggu).
Untuk urusan pencegahan penyakit, diserahkan dengan hormat kepada teman-
teman mereka, ahli kesehatan masyarakat. ”Kami cukup mengobati mereka yang sakit.
Kalau ikut-ikutan dalam program pencegahan, bisa-bisa kita dituding mengambil lahan
kerja mereka”. Begitu barangkali yang ada dalam benak para dokter. Padahal sangat jelas
bahwa para dokter pun diharapkan partisipasi aktifnya dalam program pencegahan
penyakit, bahkan mulai pada tahap awal dari five level prevention, yaitu promosi kesehatan.
Perkembangan teknologi dalam dunia kesehatan begitu menggila belakangan ini.
Seorang dokter tentu tidak mau ketinggalan dalam bidang teknologi atau akan
dicemoohkan oleh masyarakat -yang sudah semakin kritis- tentang jati dirinya sebagai
seorang profesional. Tidak ada istilah, dokter tidak mengerti tentang perkembangan jaman,
walaupun dokter itu baru saja kembali dari daerah terpencil yang harus didiaminya selama
dua-tiga tahun. Teknologi modern adalah suatu keharusan. Salah satu hal yang dapat
memfasilitasi kebutuhan itu adalah dengan bersekolah kembali, dan yang menjadi prioritas
tentunya pendidikan spesialisasi. Ikut pendidikan dokter spesialis tentunya akan membuat
para dokter akan terus-menerus berhubungan dengan perkembangan teknologi karena pusat
pendidikan berada di kota-kota besar. Tentu saja kita tidak dapat menyalahkan dokter yang
berniat meneruskan minatnya pada ilmu tertentu. Ditopang oleh kecenderungan masyarakat
yang selalu mengandalkan dokter spesialis dan bertindak merujuk dirinya sendiri langsung
kepada seorang ahli, serta adanya jaminan income yang lebih menjanjikan, membuat
mereka berlomba-lomba meraih gelar tersebut.
Menurut Anda, apakah semua ini tidak cukup membuat seorang dokter merasa
terbebani sehingga punya waktu lagi untuk memikirkan perasaan pasiennya? Tidak
cukupkah dia dapat menghilangkan keluhan pasien-pasiennya dan meringankan derita fisik
mereka? Dan ada apa dengan orang-orang di sekelilingnya, toh mereka mempunyai
kehidupan masing-masing yang tidak memerlukan campur tangan batinnya, selama dia
tidak merugikan mereka. This is our own life, marilah kita jalani sendiri-sendiri tanpa
saling mengganggu. Kita sendiri yang akan mempertanggungjawabkan kehidupan kita
kelak. Ini betul. Tapi apakah memang semuanya harus berjalan demikian? Betulkah
semata-mata tangan dingin sang dokter saja yang dibutuhkan dalam menyelesaikan
masalah pasiennya? Mari kita lihat bagaimana humaniora memandang kehidupan seorang
dokter.

Humanisme dan etika dalam praktek kedokteran


Merawat orang sakit pada level fundamental berakar pada jiwa manusia dan
humanisme. Misalnya seorang ibu yang merawat anak atau bayinya yang sedang sakit,
kenalan/keluarga sekitarnya menawarkan bantuan berupa saran/nasihat dimanapun
diinginkan, sementara seorang wanita tua di antara para warga merespon permintaan
bantuan ibu tadi. Mereka semua tidak memiliki motif yang berkaitan dengan uang dalam
memberikan bantuan, tapi dilandasi atas dasar belas kasih.
Pada level yang berbeda, sejak jaman dahulu orang-orang suci, pendeta, tabib dan
dukun telah merawat orang-orang sakit karena adanya keyakinan bahwa penyakit adalah
manifestasi dari pengaruh iblis yang dilakukan dengan perantaraan tuhan atau makhluk
supernatural atau manusia lain. Motif mereka dalam menyembuhkan orang sakit mungkin
tidak sepenuhnya untuk kepentingan orang sakit tersebut karena mereka memperoleh
keuntungan dalam tatanan sosial atas bantuan tersebut, disamping adanya kekuasaan dan
otoritas yang diberikan pada mereka dalam masyarakat.
Saat hal tersebut dikaitkan dengan profesi dokter, kita diyakinkan bahwa masalah
sosialnya berakar pada sikap humanisme, belas kasih terhadap penderitaan pasien, dan
keinginan untuk memberikan pelayanan kesehatan. Dokter praktek dan spesialis saat ini
memiliki hubungan dokter-pasien ’one-to-one’ yang unik dan sangat pribadi, melibatkan
kepatuhan, ketergantungan, dan kepercayaan yang utuh dari pasien terhadap otoritas,
pengetahuan dan keterampilan dokternya. Dengan otoritas tersebut terciptalah unsur
kewajiban sosial untuk melayani dengan belas kasih kepada mereka yang percaya dan
bergantung kepada kita.
Tetapi martabat dan status profesi dokter dulunya tidak setinggi seperti yang kita
lihat sekarang. Misalnya pada jaman India kuno, hanya dokter kerajaan yang memiliki
status yang tinggi. Dokter pada jaman itu dianggap tidak berdarah murni dan tidak pernah
diundang pada acara-acara sesajian untuk dewa-dewa. Kasta Brahmana tidak seharusnya
menerima makanan dari seorang dokter karena dianggap najis/kotor (Rao &
Radhalaksmi,1960). Pada masa kekaisaran Roma, dokter adalah pekerja berat, orang liar,
orang asing, dan pengobatan dianggap sebagai pekerjaan rendah. Di Inggris abad ke-18,
dokter bedah dan ahli obat-obatan dianggap seperti pedagang dan termasuk kelas
pinggiran. Bahkan sekurangnya di abad 19, dokter di Perancis sangat miskin dan statusnya
juga rendah (Starr, 1949).
Namun, dengan perkembangan dan kemajuan ilmu kedokteran dan kemampuan
para dokter mempengaruhi perjalanan penyakit secara radikal, bermula di akhir abad ke-19,
secara perlahan kedokteran berubah statusnya dari sekedar tukang/pekerja berat menjadi
sebuah profesi dan bersamaan dengan itu kekuasaan dan martabat profesi dokter juga
meningkat seterusnya hingga di abad 20 ini.
Dengan tercapainya status profesi itu, segala yang menjadi karakter sebuah
profesi juga didapatkan. Kedokteran memiliki otonomi, mengontrol semua yang ingin
memasuki profesi ini, menetapkan standar kompetensi melalui pelatihan termasuk teori,
bukan hanya keterampilan seperti pada pekerjaan tukang. Profesi kedokteran selanjutnya
menyusun lembaga profesi struktural (asosiasi, publikasi, sekolah kedokteran yang dapat
dikontrol) dan bertujuan memberikan pelayanan yang humanistik kepada masyarakat untuk
kepentingan mereka.
Prinsip-prinsip etika telah menjadi bagian yang mendasar sejak masa awal dan
berkaitan dengan kewajiban dan tanggung-jawab seorang dokter. Namun harus dicatat,
bahwa semua pernyataan tentang etika dapat disesuaikan secara profesional dengan dunia
medis. Dan tidak satupun yang berkenaan dengan aspek humanistik.
Pola praktek dokter pada awal abad delapanbelas bersifat ‘biaya pelayanan
tunggal’ yaitu seorang dokter memberikan pelayanan medis dan untuk itu dia dibayar, baik
berupa uang maupun berupa hasil-hasil pertanian seperti yang masih terdapat di negara-
negara berkembang di beberapa daerah dan desa yang miskin. Ini adalah masa dokter
pedesaan atau dokter ‘kuno’ atau dokter keluarga yang mengetahui dengan baik keluarga
tersebut, berkeliling ke rumah-rumah, dan bertindak sebagai ‘teman dan penuntun yang
dapat dipercaya’, di samping merawat orang-orang sakit dalam keluarga itu.
Perkembangan kota-kota besar dan rumah-rumah sakit di abad 18 dan 19
membuat dokter-dokter desa perlahan menghilang dan semakin banyak dokter menetap di
daerah kota untuk berpraktek. Hilangnya dokter pedesaan atau dokter keluarga memulai
timbulnya ‘pelayanan dehumanisasi’ di rumah-rumah sakit.
Dalam dekade terakhir abad 20, pola praktek di negara-negara industri berubah
sama sekali dengan ekonomi berorientasi pasar. Dari praktek mandiri, sekarang
kebanyakan dokter praktek berkelompok di bawah persetujuan formal penggunaan fasilitas
dan peralatan medis bersama-sama dan pendapatan didistrubusikan sesuai perjanjian awal
dengan melibatkan personalia kesehatan.
Kalangan bisnis melihat pasar besar dalam lapangan kesehatan, hasilnya adalah
meningkatnya komersialisasi layanan medis dan bertumbuhnya industri medis yang
kompleks. Kedokteran tidak lagi merupakan industri rakyat seperti saat dokter berpraktek
mandiri. Manager di bidang kesehatan ini – ekonom dan CEO (pejabat eksekutif), yang
semakin sering memutuskan jenis praktek pelayanan dan jenis organisasi dibandingkan
para dokter. Harga-harga obat melambung dan penggunaan peralatan medis yang canggih
berkonsekuensi dengan pembayaran yang tinggi. Telah dikatakan, semakin dokter
bergantung pada teknologi semata, semakin mereka kehilangan rasa kemanusiaannya, yang
berujung pada ‘pelayanan dehumanisasi’. Hal tersebut ditambah dengan ketakutan akan
tuntutan malapraktek, dokter membayar asuransi untuk dirinya, yang tentu berdampak pada
pasien sehingga biaya layanan kesehatan semakin tinggi.
Perubahan ini mewarnai sikap dan tingkah laku profesi yang menekankan pada
aspek finansial dan teknologi dalam terapi dan merusak panggilan altruistik dan humanistik
sang dokter.
Lagi menurut Profesor Tu, seorang dokter di Myanmar menelaah sebuah film
bergenre kedokteran, berjudul “Patch Adam”. Dia tertarik pada kritik sang pemain, yang
berperan sebagai dr. Hunter Adam: “Anda bahkan tidak melihat kepada pasien saat Anda
berbicara pada mereka” dan saat dia berbicara melawan Badan Medis: “Kematian bukanlah
musuh, saudara-saudara, tapi sebuah kelalaian. Anda menangani penyakit, hasilnya kalah
atau menang. Anda menangani pasien, anda akan menang bagaimanapun hasil akhirnya”.
Keadaan ini pun sudah terlihat di negara kita. Ada berapa banyak dokter yang
betul-betul menangani pasiennya dengan rasa belas kasih? Saya tidak menyatakan bahwa
tidak ada dokter yang memiliki rasa belas kasih karena saya mengenal beberapa dokter
yang betul-betul menangani pasiennya dengan hati.
Tapi, pemandangan seperti itu sangat jarang kita rasakan. Banyak dokter melayani
pasiennya dengan senyum, ramah, sopan dan penuh tatakrama, tapi yang kita bicarakan
dalam kaitannya dengan humanisme adalah dokter melayani pasiennya dengan melihat ke
dalam perasaan pasiennya. Menampakkan pengertian akan derita pasiennya dan tidak
semata-mata memburu apa yang menjadi diagnosis agar pengobatannya tepat dan pasien ini
segera menyingkir dari kehidupannya yang cukup sibuk.
Anda keliru jika menyangka pasien tidak membutuhkan sentuhan
humanisme, dan tepat jika menduga bahwa mereka akan lebih nyaman dengan dokter yang
menatap mereka saat melakukan anamnesis dan memperlihatkan sikap menerima dan
mengerti akan segala keluhannya. Itu tidak sulit dilakukan. Tempatkan saja diri Anda pada
posisi mereka. Lalu nilai, situasi mana yang lebih Anda sukai, ditangani oleh dokter yang
berwajah dingin yang sibuk meneliti penyakit Anda atau oleh dokter yang menunjukkan
perasaan kasih akan tiap keluhan Anda.

Humanisme dan etika dalam pelayanan kesehatan


Sejak jaman dulu, pemegang kekuasaan bertanggung-jawab terhadap kesehatan
rakyatnya. Raja pada jaman Indis kuno membangun tempat untuk orang-orang sakit dan
cacat, bahkan tempat khusus semacam rumah sakit untuk kebidanan dan bedah. Kerajaan
Romawi mengatur tempat layanan kesehatan untuk orang-orang miskin yang akan
dikunjungi oleh dokter-dokter umum untuk memberikan pemeriksaan kesehatan yang
dibutuhkan.
Pada saat Abad Kegelapan baru saja terangkat dari Eropa, kedokteran di negara-
negara Arab sangat berkembang. Terdapat rumah-rumah sakit yang besar di Damascus,
Kordoba, dan Kairo yang memperhatikan segala aspek dari layanan kesehatan termasuk
aspek humanistik seperti sisi spiritualnya (memperdengarkan Al-Quran sepanjang saat
tanpa henti), aspek-aspek estetika (seperti memainkan musik lembut di malam hari untuk
membantu mereka yang sulit tidur), dan aspek-aspek yang dapat meningkatkan semangat
mereka (seperti membacakan kisah-kisah yang menggugah jiwa pasien). Bahkan pasien
diberikan sejumlah uang yang dapat menutupi kekurangan semasa sakit, hingga mereka
mampu kembali bekerja (Guthrie, 1958). Ini adalah pendekatan yang betul-betul
manusiawi.
Pelayanan kesehatan di Eropa, khususnya Inggris relatif terlambat. Butuh
terjadinya suatu epidemi (kolera) untuk terbentuknya Badan Kesehatan sebagai badan
resmi walaupun sebelumnya negara telah megambil alih langkah darurat jika terjadi
penyakit epidemik. Perkembangan spektakuler di dunia medis pada masa-masa setelahnya
mengubah pola tingkah dokter dan pelayanan kesehatan. Teknologi tersebut membutuhkan
biaya yang mahal sehingga tidak mampu digapai oleh masyarakat miskin. Ditambah lagi
dengan dokter-dokter yang terlatih di rumah sakit yang sangat sedikit dibekali dengan
kemampuan untuk menghadapi masalah kesehatan dalam masyarakat dan perkembangan
baru dalam pelayanan kesehatan. Sekarang ini, dikembangkan filosofi baru mengenai
pelayanan kesehatan berbasis persamaan dan keadilan sosial yang berakhir pada gerakan
Pelayanan Kesehatan Primer dan Kesehatan untuk Semua (World Health Organisation,
1981)
Seperti telah disebutkan sebelumnya, dalam era pasar ekonomi, kedokteran telah
menjadi bisnis besar hingga di negara-negara berkembang. Karena bisnis bersifat mengejar
keuntungan, biaya pelayanan kesehatan akhirnya meningkat. Dan akibatnya pelayanan
terhadap masyarakat miskin terabaikan. Idealnya, dokter mampu melakukan praktek hingga
menyentuh seluruh lapisan masyarakat, agar nilai-nilai humanisme tetap terjaga. Tentu,
secara pribadi hal tersebut sulit dilaksanakan. Tapi, jika penentu kebijakan terutama dalam
bidang kesehatan memperhatikan masalah ini dan berangkat dengan keikhlasan untuk
berbuat demi kemanusiaan, maka teknologi yang tercanggih sekalipun dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat banyak.

Humaniora dan etika dalam pendidikan kedokteran


Lantas, apa yang bisa menjadikan seorang dokter memiliki kemampuan teknis
sekaligus sikap humanistik dalam perilaku profesinya? Apakah itu bagian dari pelatihan
dan pendidikan mahasiswa kedokteran dengan melihat contoh dari para dosennya? Mari
kita lihat bagaimana humanisme dalam pendidikan kedokteran.
Baik di dunia barat maupun dalam budaya timur, pelatihan untuk menjadi seorang
dokter bermula dari sistem magang, yaitu suatu sistem pelatihan yang bersifat
desentralisasi di mana murid dan gurunya terikat dalam suatu hubungan pribadi. Sejak
jaman dulu, murid kedokteran di India misalnya, tinggal di rumah gurunya dan bahkan
menjadi anggota keluarga yang ikut mengerjakan segala pekerjaan rumah sang guru.
Karena kontak yang sangat dekat dengan gurunya, seorang murid tidak hanya belajar dari
guru, tapi menyerap filosofi, sikap, tingkah laku moral, nilai-nilai dan metode hidupnya
serta cara guru menghadapi pasiennya, singkatnya ‘bedside manner’ sang guru tadi.
Karena kebutuhan akan dokter dan ahli bedah semakin meningkat, perubahan
sistem pelatihan mengalami perubahan. Kerajaan Romawi mengambil alih pelatihan dokter
dengan menunjuk guru-gurunya. Di negara-negara Islam, pendidikan kedokteran telah
berjalan dengan baik. Mereka ditempatkan di rumah sakit untuk pendidikan kedokteran.
Warga yang kaya membangun rumah-rumah sakit yang mempekerjakan dokter-dokter
handal yang bertanggung-jawab dalam penanganan pasien sekaligus mengajar murid-murid
kedokteran.
Sekolah-sekolah kedokteran di Eropa pada abad 9 hingga 13 menjadikan
pendidikan kedokteran sebagai basis dan memberikan gelar dokter setelah melalui suatu
pendidikan dan ujian tertentu. Fakultas kedokteran ini tidak hanya melatih para dokter
tetapi juga mengontrol tindakan mereka. Dengan semakin banyaknya mahasiswa yang
dilatih di rumah sakit, keadaan pasien yang sebenarnya terabaikan. Metode pengajaran
klinis dengan jumlah mahasiswa yang besar berdampak buruk pada pasien. Dan metode ini
diadaptasi oleh semua sentra pendidikan kedokteran di dunia.
Sekarang kita mungkin dapat melihatnya di rumah-rumah sakit, beberapa pasien
mengeluh jika terlalu banyak disentuh oleh mahasiswa (ko-ass). Mereka menghindar untuk
dirawat di rumah sakit pendidikan karena merasa dijadikan orang coba oleh para ko-ass,
terurama pasien-pasien dari golongan menengah ke atas. Sebetulnya keadaan ini dapat kita
hindari bersama. Pasien tentu tidak akan mengeluh jika tidak merasa dirinya hanya
dijadikan objek pembelajaran. Caranya tentu dengan menanamkan kepercayaan kepada
pasien dan masyarakat umumnya. Dan itu dapat dimulai dari Anda, sebagai calon dokter.
Sebagai mahasiswa, Anda harus betul-betul memahami semua yang Anda pelajari
selama proses pendidikan dan menguasai seluruh kompetensi yang sudah ditetapkan. Jika
kelak Anda dipercayakan untuk memegang pasien pada saat kepanitraan klinik dan dapat
menunjukkan bahwa sebagai mahasiswa kedokteran Anda cukup handal, maka pasien akan
dengan senang hati mempercayakan penanganan penyakitnya pada Anda . Apalagi jika
dibarengi dengan tindakan yang etis dan penuh sentuhan manusiawi, tidak akan ada pasien
yang menolak Anda. Kita harus benar-benar tulus menghadapi mereka, mendengar keluhan
mereka dengan sabar, memperhatikan apa yang menjadi persoalan sesungguhnya bagi
mereka. Ingatlah pepatah bijak orang tua kita bahwa apa yang dilakukan dari hati
sampainya ke hati juga.
Dengan begitu, Anda dapat melalui proses pendidikan kedokteran dengan baik
karena sebenarnyalah hubungan yang terjadi antara Anda dengan pasien tadi adalah
hubungan kerjasama. Anda, sebagai mahasiswa, membutuhkan mereka. Maka buatlah
mereka pun membutuhkan Anda.
Dalam pendidikan tentang bioetik dan humaniora ini, Anda akan banyak dibekali dengan
pengetahuan tentang etika terutama saat Anda telah menjadi dokter. Namun sebenarnya,
prinsip-prinsip etika telah tertuang secara lengkap dalam Islam, yaitu dalam ilmu tentang
akhlak. Bahkan ilmu ini tidak terbatas kepada profesi dokter saja, tapi memayungi semua
insan yang mengaku sebagai muslim. Jadi, saat sekarang pun prinsip-prinsip etika sudah
harus kita jalankan karena akhlak -yang sumbernya jelas dari Allah SWT- berimplikasi
pada akhirat yang mengikat muslim yang berakal dan dewasa, yaitu kita semua.
Selama masa pendidikan, Anda akan berhubungan dengan dosen, sesama
mahasiswa, pegawai di lingkungan Anda, dan orang-orang dalam lingkungan kampus.
Sekarang ini adalah masa yang tepat bagi Anda untuk melatih diri bagaimana bersikap
menjadi dokter yang baik.
Selama masa pendidikan, Anda akan berhubungan dengan dosen, sesama
mahasiswa, pegawai di lingkungan Anda, dan orang-orang dalam lingkungan kampus.
Sekarang ini adalah masa yang tepat bagi Anda untuk melatih diri bagaimana bersikap
menjadi dokter yang baik. Betul bahwa setiap orang memiliki karakter yang berbeda, tapi
sikap dan perilaku yang baik bukannya tidak dapat diamalkan. Sebagai contoh, dalam
berdiskusi dengan teman-teman Anda, seringkali terjadi benturan pendapat. Walaupun
Anda yakin bahwa pendapat Andalah yang benar, dan didukung oleh beberapa teman yang
lain, sangat tidak bijak jika Anda langsung menyalahkan dan mematahkan pendapat teman
Anda. Apalagi jika yang Anda serang adalah pribadinya, bukan opininya.
Belum lagi jika menghadapi persoalan yang berbeda, adanya beban tugas dari
dosen yang tidak habis-habis (walaupun alasan bahwa hal tersebut untuk kepentingan
mahasiswa sendiri kadang sulit diterima), dan waktu yang terasa sangat menghimpit, tentu
akan sulit bagi kita untuk tetap bersikap stabil. Masalahnya, kita tidak punya pilihan selain
menghadapinya. Kita menerima pengakuan sebagai pribadi dewasa, jadi sudah seharusnya
kita menyadari konsekuensi dari suatu pilihan. Anda memilih untuk menjadi dokter, berarti
sedikit banyaknya Anda tahu seperti apa profesi ini.
Dari segi keterampilan, kompetensi yang dikehendaki dijelaskan oleh masing-
masing sub divisi pendidikan kedokteran. Dengan sistem integrasi yang baru diterapkan,
Anda diharapkan memiliki keterampiln klinis yang lebih terarah. Keaktifan dari Anda
sebagai mahasiswa diharapkan karena pembelajaran ini memang dipusatkan pada Anda
(student-centered learning). Para pendidik di bidang kedokteran sepakat bahwa tujuan
pembelajaran yang baru ini adalah mengarahkan pendidikan kedokteran kepada
pengalaman berbasis komunitas, model yang berpusat pada pembelajar sehingga
memungkinkan dokter untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat sekaligus berpraktek
dengan berbekal pengetahuan dan keterampilan yang memasukkan aspek-aspek psikososial
dan biologi dalam pelayanan kesehatan.

Humanisme dan etika dalam penelitian dan pengembangan ilmu kedokteran


Kesadaran sosial, tanggung jawab sosial dan akuntabilitas sosial telah menjadi ciri
profesi dokter, dan karakteristik ini dapat diterapkan juga kepada para peneliti di bidang
kedokteran. Etika dan humanisme dapat diaplikasikan ke dalam seluruh spektrum kegiatan
penelitian, mulai dari pemilihan topik penelitian, hingga pada cara penelitian yang
dilakukan dan pada aplikasi hasil penelitian dan pengembangan.
Misalnya dalam memilih topik penelitian, harus disadari bahwa peneliti memiliki
tanggung jawab sosial untuk mencoba mencari solusi dari masalah-masalah yang paling
banyak menyebabkan munculnya penyakit dan penderitaan dalam masyarakat.
Dalam melakukan percobaan yang melibatkan manusia sebagai relawan, peneliti
haruslah dibawah kontrol etis yang ketat. Dan seperti halnya seorang dokter harus memiliki
perilaku medis yang baik dengan hubungan manusiawi dengan pasiennya, begitu juga
seharusnya seorang peneliti.
Tanggung jawab dan akuntabilitas sosial dalam penelitian dimaksudkan agar
penelitian tersebut dilakukan bukan hanya untuk kepentingannya saja. Peneliti diwajibkan
melihat kegunaan hasil penelitiannya. Jadi hasilnya tidak hanya berakhir di kertas jurnal
saja, tapi harus mencapai ke penentu kebijakan, pembuat keputusan dalam pelayanan
kesehatan, dan para profesi di bidang kesehatan serta para konsumen

Daftar Pustaka

1. Assi Ba’l, Z.A.: Dokter-dokter, Bagaimana Akhlakmu, Gema Insani Press, Jakarta, 1992

2. •Prasetya, J.T.,: Ilmu Budaya Dasar, Rineka Cipta, Jakarta, 1998


3. Samil, RS. Etika Kedokteran Indonesia. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohrdjo.
Jakarta. 2001
4. Tu, U.M. Humanism and Ethics in Medical Practice, Health Service, Medical Education
and Medical Research, dalam The First Myanmar Academy of Medical Science Oration.
Myanmar.2001.

HUMANIORA DAN ETIKA HUKUM KEDOKTERAN

DEFINISI

Secara umum, definisi humaniora adalah disiplin akademik yang mempelajari kondisi
manusia, menggunakan metode yang terutama analitik, kritikal, atau spekulatif, sebagaimana
dicirikan dari sebagian besar pendekatan empiris alami dan ilmu sosial. (3)

Contoh dari disiplin humaniora adalah bahasa kuno dan moderen, literatur, hukum,
sejarah, filosofi, agama, dan seni visual dan drama (termasuk musik). Subyek-subyek tambahan
yang terkadang masuk dalam humaniora adalah teknologi, antropologi, studi area, studi
komunikasi, studi kultural, dan linguistik, meskipun cabang tersebut selalu dianggap sebagai
ilmu sosial. (3)

BAHASA, PERISTILAHAN

Secara bahasa, kita mengenal istilah humaniora (Latin), humanities (Inggris), humanisme,
humanitarian, humanitarianisme, humanis, yang semuanya berasal dari kata human, yang berarti
mankind, manusia, makhluk dengan derajat tertinggi. Humaniora maupun humanitas, kedua-
duanya dipergunakan dalam bahasa Latin/Yunani, misalnya dalam Literae Humanitates, atau
Literae Humaniores. Oleh karena literatur Yunani/Latin adalah sumber utama dari pengetahuan,
kebijaksanaan dan ekspresi, maka humanitas (Latin) berarti bahasa dan literatur (termasuk
filsafat, sejarah, ilmu pidato, dan sastra), Yunani dan Romawi kuno. (1)

Sebagai gerakan, humaniora bangkit berbarengan dengan renaisans, sesudah ditemukannya


kembali pustaka dan peradaban Yunani/Romawi kuno, yang membangkitkan minat kepada
manusia, budaya, dan karyanya. (1)

Bahasa Indonesia, yang menerjemahkan kata-kata Inggris dengan suku kata akhir ty,
misalnya university, faculty, dan lain-lain, dengan …tas, yang menjadi universitas dan fakultas,
cenderung lebih menggunakan kata humaniora daripada humanitas. Hal ini menunjukkan bahwa
humaniora bukan terjemahan dari humanity (Inggris), tetapi dari bahasa Latin humaniores.
Selanjutnya dalam tulisan ini dipakai kata humaniora dan bukan humanitas. Sedang kata
humanitas (kb) diartikan sebagai kodrat manusia atau perikemanusiaan (Fajri dan Senja). Perlu
dicatat juga terdapat penggunaan kata humaniora sebagai padanan dari humanisme, misalnya
oleh Riyadi DS, (2005). (1)

Humaniora dapat berarti : (1)

1. Studi tentang bahasa-bahasa dan sastra klasik Yunani dan Romawi


2. Cabang pengetahuan yang mempelajari manusia dan budayanya, seperti filsafat, sastra,
dan seni; tidak termasuk di dalamnya ilmu (science) seperti biologi dan ilmu politik.
Agama/kepercayaan kepada Tuhan, juga kemudian, sejak William Caxton (1422-1491)
tidak dimasukkan dalam kajian humaniora (Morris, 1981; Encycl Brit 1973)
3. Dalam arti yang paling umum, humaniora adalah kualitas, perasaan dan kecenderungan,
bukan saja deskriptif tetapi juga normatif. Dalam kaitan ini humaniora mempunyai
konotasi perasaan dan perilaku manusia sebagai gentleman, orang yang berbudi luhur dan
sifat-sifat luhur yang melekat dengannya. Humaniora juga mempunyai konotasi budaya
intelektual. Humaniora dimaksudkan juga studi, pelatihan, proses yang menghasilkan
kualifikasi tersebut. Istilah inhumanitas diartikan sebagai not civilized, tidak berbudaya,
atau bar-bar.

Kata-kata yang berdekatan dengan humaniora, bahkan sering disama artikan, adalah sebagai
berikut: (1)

 Humanitarian (kata sifat)


o Memfokuskan pada kebutuhan manusia dan menghilangkan/mengangkat
penderitaan manusia
o Berkaitan dengan pengabdian pada usaha-usaha kesejahteraan manusia dan
dorongan untuk perubahan masyarakat (social reform) = phylantopist, filantropis
 Humanitarianisme
o Pandangan, dasar-dasar, metoda dari humanitarian = filantropi
o Keyakinan, bahwa satu-satunya kewajiban moral manusia adalah bekerja untuk
kesejahteraan kemanusiaan yang lebih baik (berdekatan dengan pengertian etik)
o Keyakinan bahwa kondisi manusia dapat mencapai kesempurnaan dengan
upayanya sendiri, tanpa Tuhan
 Humanisme
o Keadaan atau kondisi atau kualitas sebagai manusia, makhluk berderajat tinggi
o Filsafat atau sikap yang menaruh perhatian terhadap manusia, perhatian dan
pencapaiannya
o Studi humaniora; ajaran tentang kesopanan dan budaya
o Gerakan/budaya dan intelektual yang terjadi pada masa renaisans
 Humanis
o Orang yang mengkaji humaniora, terutama mahasiswa tentang masalah-masalah
klasik
o Orang yang menaruh perhatian kepada kajian tentang upaya dan
kemampuan/pencapaian manusia
o Pengkaji/mahasiswa tentang renaisans, atau pengikut dari paham humanisme
 Humanistik (ks)

Berhubungan dengan humanisme atau humaniora

Dari uraian diatas, istilah Indonesia yang merupakan serapan dari bahasa Arab, yang
dapat mewadahi humaniora ialah adab. Dalam ilmu al adab terkandung ilmu sastra, sejarah
sastra, ilmu kritik sastra, filologi. Adab juga berarti budaya yang baik. Tidak beradab berarti
tidak berbudaya, tidak berperilaku baik, sebagaimana Cicero (filsuf Yunani) mengartikan
inhumanitas dengan barbar. (1)

Adab dapat berarti antara lain discipline of mind and manners, and of conduct or
behaviour (Huges, 2004). Karya al Makdisi (2005), dapat lebih memastikan bahwa ilmu adab
adalah Humaniora. (1)

SEJARAH HUMANIORA

Di dunia Barat, studi humaniora dapat dilacak hingga ke Yunani Kuno, sebagai basis
pendidikan yang besar bagi masyarakat. Selama masa Romawi, konsep tujuh seni liberal
bertingkat, termasuk grammar, retorika dan logika (trivium), bersama dengan aritmatika,
geometri, astronomi dan musik (quadrivium). Subjek-subjek ini membentuk curahan pendidikan
pertengahan, dengan penekanan pada humaniora sebagai keterampilan atau “cara melakukan
sesuatu”. (3)

Sebuah pergeseran utama selama masa Renaissance, ketika humaniora mulai dihargai
sebagai subyek untuk lebih dipelajari daripada dipraktekkan, dengan penyesuaian bergeser dari
bidang tradisional kepada area seperti literatur dan sejarah. Pada abad ke 20, pandangan ini
ditantang oleh pergerakan paska-modernisasi, yang dicari untuk menggambarkan kembali
humaniora dalam istilah yang lebih menganut persamaan untuk masyarakat demokratis. (3)

BIDANG-BIDANG HUMANIORA

Sebagai sebuah bidang studi, humaniora menekankan pada analisa dan pertukaran ide-ide
dibandingkan ekspresi kreatif seni atau penjelasan kuantitatif ilmu pengetahuan. (2)
1. Sejarah, Antropologi, dan Arkeologi mempelajari perkembangan sosial, politik dan
budaya manusia. (2)
2. Literatur, Bahasa dan Linguistik mempelajari bagaimana kita berkomunikasi satu sama
lain, dan bagaimana ide dan pengalaman kita akan pengalaman kemanusiaan
diekspresikan dan diinterpretasikan. (2)
3. Filosofi, Etika, dan Perbandingan Agama mempertimbangkan ide tentang makna hidup
dan alasan bagi pemikiran dan tindakan kita. (2)
4. Yurisprudensi menguji nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang menginformasikan hukum
kita. (2)
5. Pendekatan Historis, Kritis, dan Teoritis terhadap Seni merefleksikan dan menganalisa
proses kreatif. (2)

HUMANIORA DAN ETIKA

Bila humaniora memusatkan perhatian kepada manusia, etika sebagai ilmu merupakan
bagian dari filsafat yang mempelajari nilai baik-buruk, benar-salah, pantas-tidak pantas dalam
kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan manusia dan lingkungannya (Hariadi, 2005).
Tampak ada bidang tumpang tindih antara humaniora dan etika. Humanisme atau
humanitarianisme dapat berarti juga etika, yakni faham, ajaran, bahwa satu-satunya kewajiban
moral manusia adalah bekerja untuk kebaikan, perbaikan dan kesejahteraan manusia (Moris (ed),
1981). (1)

HUMANIORA DAN AGAMA

Semula humaniora mencakup didalamnya juga agama/kepercayaan, tetapi kemudian, sejak


William Caxton (1422-1491) (Encycl Britt, 1973) agama dipisahkan dari humaniora
mempercayai adanya kekuatan supranatural merupakan naluri manusia. Nilai-nilai agama
diturunkan kepada manusia melalui wahyu, yang dibawakan oleh utusanNya. Nilai-nilai religius
seharusnya merupakan nilai-nilai yang paling dasar dari segala tata nilai dan karena itu ada titik
temu dengan nilia-nilai budaya yang dikembangkan manusia (Muljohardjono,2004). (1)

Penguasaan ilmu dan pengembangan teknologi adalah upaya pemenuhan kebutuhan


manusia. Untuk menjaga tercapainya tujuan tersebut, perlu hal tersebut dijaga, dikoridori oleh
nilai-nilai budaya, dan nilai-nilai agama. Para agamawan/ruhaniawan tidak seharusnya terpaku
pada kaidah-kaidah klasik dan baku, dalam mengantar, mengawal, perkembangan ilmu dan
teknologi agar benar-benar bermanfaat bagi manusia. Agama (Islam) membuka pintu kajian-
kajian terhadap rancangan, hasil, dan pemanfaatan dari pengembangan iptek. Pintu tersebut
adalah ijtihad. Dengan persyaratan-persyaratan tertentu agamawan/ruhaniawan dapat mengkaji
masalah-masalah kemajuan iptek, dan menghasilkan fatwa-fatwa kontemporer yang menjadi
dasar yang dapat dipertanggungjawabkan bagi pemanfaatan hasil pengembangan serta rancangan
pengembangan selanjutnya. (1)

HUMANIORA DAN PENGEMBANGAN ILMU DAN TEKNOLOGI

Penguasaan dan pengembangan ilmu dan teknologi adalah amanat kemanusiaan, oleh
karena itu harus memberi manfaat bagi kesejahteraan manusia. Humaniora membawa nilai-nilai
budaya manusia. Nilai-nilai tersebut adalah universal. Tanpa humaniora pengembangan ilmu dan
teknologi tidak lagi bermanfaat bagi manusia. Pengembangan/ perkembangan yang banyak
disusupi nilai-nilai bisnis menimbulkan hedonisme yang bermula di masyarakat bisnis, yang
berlanjut pada umunya. (1)

HUMANIORA DAN ILMU KEDOKTERAN

Lebih khusus dalam kaitan dengan pengembangan ilmu dan teknologi, ialah Iptek
Kedokteran. Kedokteran adalah ilmu yang paling manusiawi, seni yang paling indah, dan
humaniora yang paling ilmiah (Pellegrino, 1970). (1)

Clauser (1990) berpendapat bahwa mempelajari humaniora – sastra, filsafat, sejarah –


dapat meningkatkan kualitas pikir (qualities of mind) yang diperlukan dalam ilmu kedokteran.
Kualitas pikir tidak lagi terfokus pada hal-hal hafalan, materi baku, konsep mati, tetapi
ditingkatkan dalam hal kemampuan kritik, perspektif yang lentur, tidak terpaku pada dogma, dan
penggalian nilai-nilai yang berlaku didalam ilmu kedokteran. Menurunnya studi kedokteran
cenderung memfokuskan mindset pada ujian, diskusi yang monoton tentang pasien, hasil
laboratorium, insiden, banyak pasien, dan lain-lain. Humaniora membebaskan kita dari terkunci
dalam satu mindset. Kita perlu kelenturan dalam mengubah perspektif, dan mengubah
interpretasi bila diperlukan. Dengan sastra, seseorang (mahasiswa kedokteran) dapat
mengembangkan empati dan toleransi, mencoba menempatkan diri dalam gaya hidup, imaginasi,
keyakinan yang berbeda. (1)

Ilmu kedokteran, selain ilmu-ilmu dasar, adalah juga profesi. Pengembangan profesi
cenderung mengkotak-kotakkan pada bidang spesialisasi. Seorang spesialis cenderung
memahami hanya bidang spesialisasinya saja. Tuntutan efektif-efisien, perhitungan cost-benefit
cenderung menghapus nilai empati, kurang dapat menempatkan diri sebagai penderita.
Hubungan dokter-pasien menjadi kurang manusiawi. Humaniora memperbaiki kondisi tersebut.
(1)
Humaniora medis

Humaniora medis merupakan bidang interdisipliner medis dimana termasuk humaniora


(literatur, filosofi, etika, sejarah dan bahasa), ilmu sosial (antropologi, studi budaya, psikologi,
sosiologi), dan seni (literatur, teater, film dan seni visual) dan aplikasinya terhadap edukasi dan
praktek medis. (4)

Humaniora dan seni memberikan pengertian yang dalam tentang kondisi manusia,
penderitaan, kemanusiaan dan tanggung jawab kita satu sama lain, dan menawarkan perspektif
sejarah dalam praktek medis. Perhatian terhadap literatur dan seni membantu dalam membangun
dan memelihara kemampuan observasi, analisis, empati dan refleksi-diri – kemampuan yang
penting bagi pengobatan medis manusia. Ilmu sosial membantu kita memahami bagaimana
biologi dan medis menempatkan diri dalam konteks sosial dan budaya dan juga bagaimana
budaya berinteraksi dengan pengalaman individual akan kesakitan dan cara ilmu medis
dipraktekkan. (4)

KESIMPULAN

1. Secara umum, definisi humaniora adalah disiplin akademik yang mempelajari kondisi
manusia, menggunakan metode yang terutama analitik, kritikal, atau spekulatif,
sebagaimana dicirikan dari sebagian besar pendekatan empiris alami dan ilmu sosial.
2. Humaniora terdiri atas unsur-unsur seni, etika, kearifan, nilai-nilai kejujuran, kebenaran,
kelembutan, memanusiakan manusia, menyingkirkan beban dari dan berbuat baik bagi
manusia. Tanpa nilai-nilai tersebut, manusia atau perilakunya dapat dikategorikan tidak
human, tidak manusiawi, tidak berbudaya atau barbar.
3. Pengembangan ilmu dan teknologi adalah amanat kemanusiaan, untuk kesejahteraan
manusia. Oleh karena itu perlu dipandu oleh nilai-nilai humaniora, agar terjamin
kemanfaatannya untuk manusia.
4. Agama seharusnya merupakan nilai yang paling azasi dari seluruh nilai-nilai humaniora.
Nilai-nilai agama diharapkan dapat dikembangkan oleh agamawan/ruhaniawan untuk
memandu pengembangan ilmu/teknologi dan penerapannya.
5. Ilmu kedokteran adalah ilmu yang sarat dengan nilai-nilai, namun hal ini sering
dilupakan. Oleh karena itu humaniora perlu diberikan untuk membuat profesi medik lebih
sensitif terhadap adanya nilai-nilai tersebut dan pengetrapannya dalam praktek.
6. Humaniora diharapkan dapat meningkatkan kualitas berfikir, yang ditengarai sebagai
sifat kritis, lentur dalam perspektif, tidak terpaku pada dogma, tanggap terhadap nilai-
nilai, dan sifat empati.
1. Bagaimana etika seorang dokter untuk menjadi dokter yang profesional ?

Untuk menjadi dokter yang profasional berdasarkan etika kedokteran, ada beberapa kewajiban yang
harus di laksanakan oleh seorang dokter, yaitu kewajiban umum, kewajiban dokter terhadap penderita,
kewajiban dokter terhadapan sejawatnya, dan kewajiban dokter terhadap teman sejawatnya. Dan harus
memenuhi beberapa ciri para dokter untuk menjadi profesional.

Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) tertulis : “Setiap dokter senantiasa mengingat akan
kewajiban melindungi hidup makhluk insani.” Namun dalam sumpah dokter, terdapat pernyataan:
“Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan.” Dalam pernyataan ini, yang
dimaksud makhluk insani masih belum dapat ditentukan dengan jelas dan pasti, mulai kapan awal
kehidupan ditentukan, sehingga menimbulkan pertentangan. Karena itu Pengurus Besar Ikatan Dokter
Indonesia (PB IDI) masih mengadakan perundingan tentang lafal sumpah dokter Indonesia melalui
hasil referendum dari anggota IDI untuk memilih apakah kata “mulai dari saat pembuahan” hendak
dihilangkan atau diubah.

Sikap etis profesional berarti bekerja sesuai standar, melaksanakan advokasi, menjamin keselamatan
pasien, menghormati terhadap hak-hak pasien. Kriteria perilaku profesional antara lain mencakup
bertindak sesuai keahlian dan didukung oleh keterampilan, bermoral tinggi, memegang teguh etika
profesi, serta menyadari ketentuan hukum yang membatasi gerak.

Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas, yang sering
tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia
kedokteran, profesionalisme, dll. Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek etik seringkali tidak
dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik yang telah diangkat
menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika.

Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi mengakibatkan
penilaian perilaku etik seseorang dokter yang diadukan tidak dapat dipisahkan dengan penilaian
perilaku profesinya. Etik yang memiliki sanksi moral dipaksa berbaur dengan keprofesian yang
memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat administratif.

Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar prosedur dan standar
pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum, padahal selama ini profesi menganggap bahwa
memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap profesional. Dengan demikian
pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran etik dan juga sekaligus pelanggaran
hukum.

Kemungkinan terjadinya peningkatan ketidakpuasan pasien terhadap layanan dokter atau rumah sakit atau
tenaga kesehatan lainnya dapat terjadi sebagai akibat dari (a) semakin tinggi pendidikan rata-rata
masyarakat sehingga membuat mereka lebih tahu tentang haknya dan lebih asertif, (b) semakin
tingginya harapan masyarakat kepada layanan kedokteran sebagai hasil dari luasnya arus informasi, (c)
komersialisasi dan tingginya biaya layanan kedokteran dan kesehatan sehingga masyarakat semakin
tidak toleran terhadap layanan yang tidak sempurna, dan (d) provokasi oleh ahli hukum dan oleh
tenaga kesehatan sendiri.

Etik Profesi Kedokteran

Etik profesi kedokteran mulai dikenal sejak 1800 tahun sebelum Masehi dalam bentuk Code of
Hammurabi dan Code of Hittites, yang penegakannya dilaksanakan oleh penguasa pada waktu itu.
Selanjutnya etik kedokteran muncul dalam bentuk lain, yaitu dalam bentuk sumpah dokter yang
bunyinya bermacam-macam, tetapi yang paling banyak dikenal adalah sumpah Hippocrates yang
hidup sekitar 460-370 tahun SM. Sumpah tersebut berisikan kewajiban-kewajiban dokter dalam
berperilaku dan bersikap, atau semacam code of conduct bagi dokter.

World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968 menelorkan sumpah dokter (dunia)
dan Kode Etik Kedokteran Internasional. Kode Etik Kedokteran Internasional berisikan tentang
kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri
sendiri. Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik
Kedokteran Internasional.

Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-prinsip moral
kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan bertindak,
arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat
dari segi moral. Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika
biomedis. Etika biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis
yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis.

Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan memberikan latihan dan
teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter, seperti autonomy (menghormati hak
pasien, terutama hak dalam memperoleh informasi dan hak membuat keputusan tentang apa yang akan
dilakukan terhadap dirinya), beneficence (melakukan tindakan untuk kebaikan pasien), non
maleficence (tidak melakukan perbuatan yang memperburuk pasien) dan justice (bersikap adil dan
jujur), serta sikap altruisme (pengabdian profesi).

Pendidikan etik kedokteran, yang mengajarkan tentang etik profesi dan prinsip moral kedokteran,
dianjurkan dimulai dini sejak tahun pertama pendidikan kedokteran, dengan memberikan lebih ke arah
tools dalam membuat keputusan etik, memberikan banyak latihan, dan lebih banyak dipaparkan dalam
berbagai situasi-kondisi etik-klinik tertentu (clinical ethics), sehingga cara berpikir etis tersebut
diharapkan menjadi bagian pertimbangan dari pembuatan keputusan medis sehari-hari. Tentu saja kita
pahami bahwa pendidikan etik belum tentu dapat mengubah perilaku etis seseorang, terutama apabila
teladan yang diberikan para seniornya bertolak belakang dengan situasi ideal dalam pendidikan.

IDI (Ikatan Dokter Indonesia) memiliki sistem pengawasan dan penilaian pelaksanaan etik profesi, yaitu
melalui lembaga kepengurusan pusat, wilayah dan cabang, serta lembaga MKEK (Majelis Kehormatan
Etik Kedokteran) di tingkat pusat, wilayah dan cabang. Selain itu, di tingkat sarana kesehatan (rumah
sakit) didirikan Komite Medis dengan Panitia Etik di dalamnya, yang akan mengawasi pelaksanaan
etik dan standar profesi di rumah sakit. Bahkan di tingkat perhimpunan rumah sakit didirikan pula
Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit (Makersi).

Pada dasarnya, suatu norma etik adalah norma yang apabila dilanggar “hanya” akan membawa akibat
sanksi moral bagi pelanggarnya. Namun suatu pelanggaran etik profesi dapat dikenai sanksi disiplin
profesi, dalam bentuk peringatan hingga ke bentuk yang lebih berat seperti kewajiban menjalani
pendidikan / pelatihan tertentu (bila akibat kurang kompeten) dan pencabutan haknya berpraktik
profesi. Sanksi tersebut diberikan oleh MKEK setelah dalam rapat/sidangnya dibuktikan bahwa dokter
tersebut melanggar etik (profesi) kedokteran.

2. Apa saja bentuk etika kedokteran?jelaskan!

bentuk-bentuk etika kedokteran antara lain:

1. Etika Dokter terhadap Sang Khalik:

Seorang Dokter Muslim haruslah benar-benar menyadari bahwa dirinya adalah hamba
Allah semata. Dan betapa tidak berarti dirinya beserta ilmunya tanpa ijin Allah SAW.

Mengenai etika terhadap Khalik disebutkan bahwa:


• Dokter muslim harus meyakini dirinya sebagai khalifah fungsionaris Allah dalam bidang
kesehatan dan kedokteran.

• Melaksanakan profesinya karena Allah dan buah Allah.


• Hanya melakukan pengobatan, penyembuhan adalah Allah.
• Melaksanakan profesinya dengan iman supaya jangan merugi.

2. Etika Dokter terhadap pasien:

Hubungan antara dokter dengan pasien adalah hubungan antar manusia dan manusia. Dalam
hubungan ini mungkin timbul pertentangan antara dokter dan pasien, karena masing-masing
mempunyai nilai yang berbeda. Masalah semacam ini
akan dihadapi oleh Dokter yang bekerja di lingkungan dengan suatu sistem yang berbeda
dengan kebudayaan profesinya.

Untuk melaksanakan tugasnya dengan baik, tidak jarang dokter harus berjuang lebih dulu
melawan tradisi yang telah tertanam dengan kuat. Dalam hal ini, seorang Dokter tidak
mungkin memaksakan kebudayaan profesi yang selama ini dianutnya.
Mengenai etika kedokteran terhadap orang sakit antara lain disebutkan bahwa seorang Dokter
wajib:

• Memperlihatkan jenis penyakit, sebab musabab timbulnya penyakit, kekuatan tubuh orang
sakit, keadaan resam tubuh yang tidak sewajarnya, umur si sakit dan obat yang cocok
dengan musim itu, negeri si sakit dan keadaan buminya, iklim di mana
ia sakit, daya penyembuhan obat itu
• Di samping itu dokter harus memperhatikan mengenai tujuan pengobatan, obat yang dapat
melawan penyakit itu, cara yang mudah dalam mengobati penyakit.

• Selanjutnya seorang dokter hendaknya membuat campuran obat yang sempurna,


mempunyai pengalaman mengenai penyakit jiwa dan pengobatannya, berlaku lemah
lembut, menggunakan cara keagamaan dan sugesti, tahu tugasnya.

3. Etika Dokter terhadap Sejawatnya:

Para Dokter di seluruh dunia mempunyai kewajiban yang sama. Mereka adalah kawan-
kaawn seperjuangan yang merupakan kesatuan aksi dibaawh panji perikemanusiaan untuk
memerangi penyakit, yang merupakan salah satu pengganggu keselamatan dan kebahagiaan
umat manusia. Penemuan dan pengalaman baru dijadikan milik bersama. Panggilan suci
yang menjiwai hidup dan perbuatan telah mempersatukan mereka menempatkan para Dokter
pada suatu kedudukan yang terhormat dalam masyarakat. Hal-hal tersebut menimbulkan rasa
persaudaraan dan kesediaan tolong-menolong yang senantiasa perlu dipertahankan dan
dikembangkan.

Mengenai etika yang bagi Dokter Muslim kepada Sejawatnya yaitu :


• Dokter yang baru menetap di suatu tempat, wajib mengunjungi teman sejawatnya yang
telah berada di situ. Jika di kota yang terdapat banyak praktik dokter, cukup dengan
memberitahukan tentang pembukaan praktiknya kepada teman sejawat yang berdekatan.
• Setiap Dokter menjadi anggota IDI setia dan aktif. Dengan menghadiri pertemuan-
pertemuan yang diadakan.

• Setiap Dokter mengunjungi pertemuan klinik bila ada kesempatan. Sehingga dapat dengan
mudah mengikuti perkembangan ilmu teknologi kedokteran.

Sifat-sifat penting lain yang harus dimiliki oleh seorang Dokter Muslim ialah :

• Adanya belas kasihan dan cinta kasih terhadap sesama manusia, perasaan sosial yang
ditunjukkan kepada masyarakat.

• Harus berbudi luhur, dapat dipercaya oleh pasien, dan memupuk keyakinan profesional.

• Seorang dokter harus dapat dengan tenang melakukan pekerjaannya dan harus mempunyai
kepercayaan kepada diri sendiri.

• Bersikap mandiri dan orisinal karena pengetahuan yang diwarisi secara turun temurun dari
buku-buku masih jauh memadai.

• Ia harus mempunyai kepribadian yang kuat, sehingga dapat melakukan pekerjaanya di


dalam keadaan yang serba sulit. Dan tentunya tidak menyimpang dari ketentuan-
ketentuan agama.
• Seorang dokter muslim dilarang membeda-bedakan antara pasien kaya dan pasien miskin.

• Seorang dokter harus hidup seimbang, tidak berlebih-lebihan, tidak membuang waktu serta
energi dengan menikmati kesenangan dan kenikmatan.

• Sebagian besar waktunya harus dicurahkan kepada pasien,

• Seorang dokter muslim harus lebih banyak mendengar dan lebih sedikit bicara,

• Seorang dokter muslim tidak boleh berkecil hati dan harus merasa bangga akan profesinya
karena semua agama menghormati profesi dokter

3. Bagaimana etika seorang dokter jika permasalahan/aib pasien diketahui oleh orang lain ?

Jika permasalahan/aib pasien diketahui oleh orang lain secara otomatis pasien tersebut akan mendapatkan
stigma dan deskriminasi dari masyarakat maupun lingkungannya. Oleh sebab itu dokter mempunyai peran
dan menerapkan etika kedokterannya untuk menghadapi masalah tersebut. Dokter dapat memberikan
saran dan nasehat kepada pasien, agar tidak minder karena stigma dan diskriminasi yang diperoleh dari
luar . dan dokter dapat melakukan penyuluhan dan sosialisaswi mengenai hal yang bersangkutan dengan
permasalahan yang sama yang dialami oleh pasien.

Permaslahan ini berhubungan dengan Rahasia Profesi Dokter. Berdasarkan agama islam, menyimpan
rahasia orang lain diperintahkan bagi setiap muslim lebih-lebih jika ia dokter, karena dengan sengaja
membeberkan rahasia dan perasaannya kepada dokter mereka serta percaya terhadap profesi dokter.

Dokter harus membubuhkan stempel rahasia pada semua informasi yang diperoleh melalui penglihatan,
pendengaran, atau kesimpulan. Semangat islam juga mengajar agar ketentuan hukum menekankan hak
pasien agar melindungi rahasia-rahasia yang dipercayakan kepada dokternya. Pembocoran rahasia akan
merugikan praktek kedokteran, disamping merintangi beberapa pasien dalam mencari pertolongan
kedokteeran.

4. Bagaiman etika seorang dokter dalam menangani pasien yang menderita HIV/AIDS?

Pada tahun 1990, World Health Organization (WHO) mengelompokkan berbagai infeksi
dan kondisi AIDS dengan memperkenalkan sistem tahapan untuk pasien yang terinfeksi HIV.
Stadium IV adalah stadium akhir dimana penderita HIV/ aids tidak dapat tertolong lagi
nyawanya. Dan pada saat ini adalah puncaknya penderita HIV/AIDS mendapatkan stigma dan
diskriminasi dari masyarakat. Padahal mereka sangat membutuhkan dukungan untuk tetap
semangat dan melanjutkan hidupnya yang tinggal dihitung jari . Seorang dokter memegang
peranan penting dalam hal ini. Santunan dokter terhadap penderita HIV/AIDS merupakan
penyemangat hidup bagi mereka. Dukungan tersebut bisa pula diperoleh penderita HIV/AIDS
dari pihak lain dan lingkungan, seperti keluarga dan masyarakat. Namun , seorang dokter lebih
paham akan menyikapi penderita HIV/AIDS agar tidak tertekan oleh stigma dan diskriminasi
yang mereka peroleh dari masyarakat dan lingkungan yang tidak mengerti dan memahami akan
keadaan penderita HIV/AIDS. Banyak metode yang dapat dilakukan oleh seorang dokter untuk
menyikapi penderita HIV/AIDS yang sudah tidak dapat tertolong lagi nyawanya.

Dari uraian diatas dr. Asrul Sani mengatakan, sampai saat ini biasanya AIDS berakhir
dengan kematian Karena penyakit HIV/AIDS ini belum ditemukan obat medisnya, sehingga
seseorang yang menderita HIV/AIDS tidak bisa di obati, namun hanya bisa di beri dukungan,
saran, dan pengobatan alternatif umtuk mengindari penularan dan memberi semangat hidup
kepada meraka. Sehingga mereka dapat melakukan aktifitasnya sebagaimana sebelumnya.
Fenomena tersebut akan semakin menghilangkan potensi dan kesempatan yang dimiliki oleh
Pengidap HIV/AIDS. Berbagai potensi (strength) yang dimiliki dalam proses pendidikan,
pekerjaan dan kegiatan lain akan berangsur menurun. Selain itu berbagai kesempatan
(opportunity) yang berupa dukungan keluarga, kesempatan pengembangan terkalahkan oleh
adanya diskriminasi dan stigma tersebut. Seorang dokter mempunyai tanggung jawab besar dalam
menghadapi pasien penderita HIV/AIDS. Dengan demikian dokter harus mampu menyikapi
pasien penderita HIV/AIDS yang tidak dapat tertolong lagi dengan caranya sebagai dokter.

Selain cara diatas, seorang dokter dapat menyikapi penderita HIV/AIDS dengan metode
Appreciative Inquiry, merupakan suatu metode untuk memaksimalkan kekuatan (strength dan
Opportunity) yang dimiliki oleh Pengidap HIV/AIDS. Menurut Dion, Metode ini lebih
memfokuskan terhadap kekuatan dan terlepas dari berbagai kelemahan. Kelemahan yang dihadapi
oleh Pengidap HIV/AIDS berupa diskriminasi, stigma, perasaan rendah diri dan sebagainya.
Fenomena yang terjadi adalah sebagian besar seseorang khususnya Pengidap HIV/AIDS hanya
berfokus pada kelemahan tersebut. Namun Appreciative Inquiry lebih menganjurkan agar setiap
Pengidap HIV/AIDS lebih memfokuskan perhatian pada kekuatan yang dimiliki dan
memaksimalkannya. Dengan demikian, hal ini akan membangun citra positif secara pribadi dan
bermanfaat bagi lingkungan. Metode ini diharapkan mampu menjadikan Pengidap HIV/AIDS
untuk menjalani hidup sebagaimana manusia seutuhnya. Tidak terlalu memikirkan penyakit yang
dideritanya, karena seorang dokter selalu berusaha untuk mengarahkannya pada kekuatan dan
kepribadian yang dimilkinya, sehingga penderita HIV/AIDS akan lebih percaya diri dan dapat
beraktifitas sebagaimana sebelumnya.

Selain itu dalam Buku PMI Pelatihan Remaja Sebaya tentang Kesehatan dan
Kesejahteraan Remaja tertulis, seorang dokter harus bersikap biasa ( tanpa membedakan) seperti
sikap terhadap orang sehat atau penderita penyakit lain. Seorang dokter harus dapat menghindari
sikap membedakan, apalagi memusuhi, karena akan menyebabkan penderita tertekan. Karena
penderita HIV/AIDS membutuhkan dukungan agar mereka memiliki kepercayaan diri dan
mampu berbuat banyak bagi masyarakat, yaitu dengan membangkitkan kepercayaan mereka dan
dokter dapat memberilah dukungan serta kasih sayang. Dokter harus mampu memberilah
pemahaman terhadap permasalahan yang mereka hadapi dan cara mengatasinya. Menasehati, agar
jangan merasa tertekan secara berlebihan karena semua orang pasti diberi cobaan. Menurut
dr.Lita, cara merawat penderita HIV dan AIDS itu pertama kita coba untuk membayangkan diri
kita sendiri sebagai pengidap penyakit tersebut. Dengan mengetahui mana aktifitas yang berisiko
menularkan HIV dan AIDS dan mana yang tidak , kita dapat memperlakukan penderita secara
wajar. Dan kita tetap harus memperhatikan prosedur P3K ketika melakukan perawatan kepada
penderita.

Berdasarkan cara – cara dokter menyikapi Penderit HIV/AIDS diatas, seorang dokter
tidak lupa pula akan etika, hukum dan hak asasi yang dimilki oleh penderita HIV/AIDS. Hak
asasi dan hak kesehatan adalah yang utama diterapkan oleh seorang dokter terhadap pasien
penderita HIV/AIDS. Walaupun kenyataannya penderita HIV/AIDS tidak ada obatnya dan tidak
dapat tertolong nyawanya, atau biasanya berahir dengan kematian. Namun, kadua hak tersebut
harus tetap diberikan oleh sorang dokter kepada pasien penderita HIV/AIDSnya. Menurut
Herkutanto, ini dapat diterapkan melalui pelayanan kesehatan, baik pelayanan kesehatan
individual maupun pelayanan kesehatan masyarakat. Namun, keduax tidak dapat dilakukan secara
bersamaan atau harus dibedakan, karena dapat saja menimbulkan konflik antara pemberi
pelayanan kesehatan ( dokter ) dengan penerima pelayanan kesehatan (pasien penderita
HIV/AIDS).

Dari uraian pelayanan kesehatan diatas, dapat dilakukan dalam empat bentuk pelayanan
kesehatan, yaitu dengan preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif. Namun,untuk perawatan
penderita HIV/AIDS yang tidak dapat tertolong nyawanya seorang dokter cukup melakukannya
dengan kegiatan preventif dan kuratif. Karena kegiatan preventif ini bertujuan untuk pencegahan
penularan dan penyebaran HIV/AIDS dari penderita HIV/AIDS tersebut kepada masyarakat.
Selain itu juga dilakukan interverensi oleh dokter kepada masyarakat untuk menghapus
pandangan negatif terhadap pengidap HIV/AIDS. Terhadap penderita HIV/AIDS seorang dokter
memberikannya edukasi agar tidak melakukan penularan kepada orang lain dan konseling agar
merasa lebih berarti dalam kehidupanya. Sedangkan kegiatan kuratif disini bukanlah
penyembuhan dalam arti kata sebenarnya, karena HIV/AIDS termasuk yang incureble. Namun,
tindakan perawatan ini dilakukan di sarana kesehatan lebih bersifat care daripada curenya.

Dikarenakan penyakit HIV/AIDS belum ada obatnya, maka seorang dokter dapat pula
menerapkan suatu metode penanganan infeksi HIV/AIDS pada penderita HIV/AIDS, yaitu
dengan Terapi Antiretrovirus yang sangat aktif. Terapi ini telah sangat bermanfaat bagi orang-
orang yang terinfeksi HIV sejak tahun 1996 yaitu setelah ditemukannya HAART (highly active
antiretroviral therapy ) yang menggunakan protease inhibitor. Karena penyakit HIV lebih cepat
perkembangannya pada anak-anak daripada pada orang dewasa, maka seorang dokter akan
mempertimbangkan kuantitas beban virus, kecepatan serta kesiapan mental pasien, saat memilih
waktu memulai perawatan awal. Tetapi terapi ini juga menimbulkan efek samping seperti
penolakan insulin, peningkatan risiko sistem kardiovaskular, dan kelainan bawaan pada bayi yang
dilahirkan. Terapi Antiretrovirus ini terbukti efektif menurunkan angka kesakitan dan kematian
akibat HIV/AIDS. Obat ini bekerja menghambat replikasi / perbanyakan virus HIV. Walaupun
demikian obat ini tidak mampu membunuh HIV secara total dan berpotensi menimbulkan efek
samping yang berat dan pemakaiannya harus setiap hari seumur hidup. Jika kepatuhan penderita
kurang maka dapat menyebabkan resistensi obat.
Oleh karena terapi antiretrovirus dapat menimbulkan efek samping, maka sorang dokter
dapat menyarankan kepada penderita HIV/AIDS untuk melakukan olahraga. Olahraga membantu
banyak orang yang hidup dengan HIV/AIDS (Odha) untuk merasa lebih sehat dan mungkin
memperkuat sistem kekebalan tubuh. Olahraga tidak dapat mengendalikan atau melawan penyakit
HIV, tetapi dapat membantu kita merasa lebih sehat dan melawan berbagai dampak dari HIV dan
efek samping obat-obatan yang dipakai oleh Odha tersebut. Olahraga dapat meningkatkan energi,
melawan kelelahan dan depresi, meningkatkan daya tahan dan kesehatan kardiovaskular,
membantu mengurangi stres dan mendorong kekuatan otot.

Jadi seorang dokter harus mampu memberikan saran, dukungan, dan lain sebaginya agar
seorang pasien penderita HIV AIDS mempunyai semangat hidup dan kepercayaan diri kembali.

5. Bagaiman etika seorang dokter dalam menangani pasien yang menggunakan narkoba?

Untuk menangani pasien yang menderita penyalahgunaan narkoba, mereka perlu didetoksifikasi.
Yaitu diproses pembuangan racun dari tubuhnya. Jika ditemukan virus narkoba yang telah
menggerogoti pasien, mereka perlu direhabilitasi dengan perawatan khusus maupun berobat jalan.

Namun, terapi ini tak boleh dilakukan dengan obat metadon dan subutek. Sebab zat tersebut
adalah sintesa putau, morfin, heroin dan sejenisnya. Berdasarkan penelitian, pengobatan dengan
zat tersebut bisa menyebabkan pasien menjadi bergantung kepada obat tersebut.

Jika hal ini dilakukan, pasien akan ketergantungan dengan obat-obat dari dokter. Bisa jadi bandar
narkobanya nanti malah dijalankan para dokter.

Selain penanganan medis, pasien penderita narkoba bisa diobati dengan pendekatan psikologis
secara halus. Mereka akan dikaji mengapa bisa memakai narkoba, menjadi kecanduan, dan
sebagainya. Secara sosial, pengguna NAZA perlu dipertanyakan mengapa menjadi broken home,
berperilaku keras dan kasar kepada orang lain.

Setelah kedua pendekatan itu dilakukan, pasien perlu dikembalikan kepada spiritualitas, agama
dan Tuhannya. Terapi keagamaan (psikoreligius) memegang peranan penting, baik dari segi
pencegahan, terapi berjalan, maupun rehabilitas.

Jika segala permasalahan dan kesulitan dikembalikan kepada Tuhan si pasien dengan memohon
perlindungan, maka ia akan terhindar dari rasa takut, khawatir dan stres, sehingga kemudian tak
akan terlibat lagi dalam penyalahgunaan NAZA.

Terapi psikoreligius ini bisa dilakukan dengan menjalankan shalat, berdoa, mengaji, dan
mendalami cara-cara agama memerangi narkoba.

Selain itu bisa juga dengan pendalaman tauhid dan silaturrahim kepada ahli agama. Juga
menanamkan pada keluarga semangat terhindar dari siksa api neraka, dengan menjauhi
keterlibatan penggunaan narkoba.
Terapi unsur agama ini tak hanya penting bagi pasien penyalahguna NAZA, tapi juga bagi
anggota keluarganya dalam menciptakan suasana rumahtangga yang religius dan penuh kasih
sayang.

6. Bagaimana cara dokter menghormati pasien ?

Seorang dokter harus dapat menghormati pasien, agar pasient merasa nyaman dengan pelayanan yang
diberikan oleh dokter tersebut. Adapun yang perlu diperhatikan dalam menghormati pasien adalah
mengenai hak-hak pasien.

a. Hak Pasien atas Informasi Penyakit dan Tindakan Medis dari Aspek Etika Kedokteran.

Terkait dengan pemberian informasi kepada pasien ada beberapa yang harus diperhatikan :

1. Informasi harus diberikan, baik diminta ataupun tidak.

2. Informasi tidak boleh memakai istilah kedokteran karena tidak dimengerti oleh orang
awam.

3. Informasi harus diberikan sesuai dengan tingkat pendidikan, kondisi, dan situasi pasien.

4. Informasi harus diberikan secara lengkap dan jujur, kecuali dokter menilai bahwa
informasi tersebut dapat merugikan kepentingan atau kesehatan pasien atau pasien
menolak untuk diberikan infomasi (KODEKI, pasal 5)

5. Untuk tindakan bedah (operasi) atau tindakan invasive yang lain, informasi harus
diberikan oleh dokter yang akan melakukan operasi. Apabila dokter yang bersangkutan
tidak ada, maka informasi harus diberikan oleh dokter yang lain dengan sepengetahuan
atau petunjuk dokter yang bertanggng jawab.

Kewajiban dokter terkait dengan informasi adalah memberikan informasi yang adekuat dan
besikap jujur kepada pasien tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta risiko
yang dapat ditimbulkannya (KODEKI, pasal 7b)

Salah satu kewajiban rumah sakit terhadap pasien adalah harus memberikan penjelasan
mengenai apa yang diderita pasien, dan tindakan apa yang harus dilakukan (KODERSI, Bab
III Pasal 10)

b. Hak Pasien atas Informasi Penyakit dan Tindakan Medis dari Aspek Hukum
Kedokteran.

Pasien dalam menerima pelayanan praktik kedokteran mempunyai hak mendapatkan


penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis yang akan diterimanya (Undan-Undang
No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 52). Penjelasan tersebut sekurang-
kurangnya mencakup :
1. Diagnosis dan tata cara tindakan medis

2. Tujuan tindakan medis yang dilakukan

3. Alternatif tindakan lain dan resikonya

4. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi

5. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. (Pasal 45 ayat 3)

Dokter atau dokter gigi dalam memberikan pelayanan tindakan kedokteran atau kedokteran
gigi terlebih dahlu harus memberika penjelasan kepada pasien tentang tindakan kedokteran
yang akan dilakukan dan mendapat persetujuan pasien (PERMENKES
No.1419/MENKES/PER/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi
pasal 17)

Pasien berhak menolak tindakan yang dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri
pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh informasi
yang jelas tentang penyakitnya.

Pemberian obat-obatan juga harus dengan persetujuan pasien dan bila pasien meminta untuk
dihentikan pengobatan, maka terapi harus dihentikan kecuali dengan penghentian terapi akan
mengakibatkan keadaan gawat darurat atau kehilangan nyawa pasien

Dalam Pedoman Penegakkan Disiplin Kedokteran tahun 2008 seorang dokter dapat
dikategorikan melakukan bentuk pelanggaran disiplin kedokteran apabila tidak memberikan
penjelasan yang jujur, etis, dan memadai (adequate information) kepada pasien atau
keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran.

c. Hak Pasien atas Informasi dalam Rekam Medik

Berdasarkan PERMENKES RI No. 629/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam medik Pasal


12 dikatakan bahwa berkas rekam medic adalah milik sarana pelanayan kesehatan dan isi
rekam medik adalah milik rekam medik . Bentuk ringkasan rekam medic dapat diberikan,
dicatat atau dicopy oleh pasien atau orang yang diberi kuasa atau persetujuan tertulis pasien
atau keluarga pasien yang berhak untuk itu. Namun boleh tidaknya pasien mengetahui isi
rekam medic tergantung kesanggupan pasien untuk mendengar informasi mengenai penyakit
yang dijelaskan oleh dokter yang merawatnya.

Jadi pasien isi rekam medic bukan milik pasien sebagaimana pada PERMENKES
sebelumnya (1989)tentang rekam medic. Pasien hanya boleh memilikinya dalam bentuk
ringkasan rekam medik

d. Komunikasi Dokter Pasien yang Baik


Menurut Petunjuk Praktek Kedokteran yang Baik (DEPKES,2008) komunikasi yang baik
antara dokter pasien terkait dengan hak untuk mendapatkan informasi meliputi :

1. Mendengarkan keluhan, menggali informasi, dan menghormati pandangan serta


kepercayaan pasien yang berkaitan dengan keluhannya.

2. Memberikan informasi yang diminta atau yang diperlukan tentang kondisi, diagnosis,
terapi dan prognosis pasien, serta rencana perawatannya dengan cara yang bijak dan
bahasa yang dimengerti pasien. Termasuk informasi tentang tujuan pengobatan, pilihan
obat yang diberikan, cara pemberian serta pengaturan dosis obat, dan kemungkinan efek
samping obat yang mungkin terjadi; dan

3. Memberikan informasi tentang pasien serta tindakan kedokteran yang dilakukan kepada
keluarganya, setelah mendapat persetujuan pasien.

4. Jika seorang pasien mengalami kejadian yang tidak diharapkan selama dalam perawatan
dokter, dokter yang bersangkutan atau penanggunjawab pelayanan kedokteran (jika
terjadi di sarana pelayanan kesehatan) harus menjelaskan keadaan yang terjadi akibat
jangka pendek atau panjang dan rencana tindakan kedokteran yang akan dilakukan secara
jujur dan lengkap serta memberikan empati.

5. Dalam setiap tindakan kedokteran yang dilakukan, dokter harus mendapat persetujuan
pasien karena pada prinsipnya yang berhak memberika persetujuan dan penolakan
tindakan medis adalah pasien yang bersangkutan. Untuk itu dokter harus melakukan
pemeriksaan secara teliti, serta menyampaikan rencana pemeriksaan lebih lanjut termasuk
resiko yang mungkin terjadi secara jujur, transparan dan komunikatif. Dokter harus
yankin bahwa pasien mengerti apa yang disampaikan sehingga pasien dalam memberikan
persetujuan tanpa adanya paksaan atau tekanan.

7. Bagimana seorang dokter mengetahui keluhan dan meraskan kesulitan pasiennya ?

Cara yang dapat dilakukan oleh seorang dokter adalah dengan melakukan anmnesis terhadap pasien yang
sesuai dengan etika dokter terhadap pasiennya, sehingga seorang dokter mengetahui apa keluhan dan
kesulitan yang dialami oleh pasien tersebut.

Karen tujuan dari anamnesis adalah memperoleh data atau informasi tentang
permasalahan yang sedang dialami atau dirasakan oleh pasien, untuk membangun hubungan yang
baik antara seorang dokter dan pasiennya, sebagai pintu pembuka untuk membangun hubungan
dokter dan pasiennya sehingga mampu mengembangkan keterbukaan dan kerjasama dari pasien
untuk tahap-tahap pemeriksaan selanjutnya. 80% hasil anamnesis dapat menegakkan diagnosis.

Metode anamnesis dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :

a. Autoanamnesis yaitu anamnesis yang dilakukan langsung pada pasiennya.


b. dan aloanamnesis yaitu anamnesis yang dilakukan bukan pada pasiennya, tapi pada orang lain.

Adapun Sistematika dalam mengaanamnesis adalah:

a. introduction

b. identitas pasien

c. keluhan utama

d. riwayat penyakit sekarang

e. riwayat penyakit dahulu

f. riwayat penyakit keluarga

g. riwayat personal sosial ( dewasa dan anak )

h. anamnesis system.

i. merangkum anamnesis

penyusunan dilakuakn secara lengkap dan sistematis sesuai dengan hasil anamnesis, dan
memberikan kesempatan pada pasien utnuk mengecek kebenaran ( cross check )

Dalam melakukan anamnesis ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh seorang
dokter, antara lain :
1. Tempat dan suasana

2. Penampilan dokter
3. Periksa kartu dan data pasien
4. Dorongan kepada pasien untuk menceritakan keluhannya
5. Gunakan bahasa/istilah yang mampu dimengerti
6. Buat catatan
7. Perhatikan pasiennya
8. Gunakan metode yang sistematis

Setelah melakukan beberapa tahapan anamnesis tersebut, maka seorang dokter akan dapat
mengetahui apa saja kaluhan dan kesulitan yang di alami oleh pasien tersebut berdasarkan data
yang diperoleh. Namun, anamnesis yang dilakukan berdasarkan etika seorang dokter.yaitu etika
utntuk menjadi dokter yang profesional.
A. KESIMPULAN

1. Seorang dokter harus faham dan dapat menerapkan etika kedokteran agar seorang dokter
menjadi dokter yang profesional. Baik etika terhadap tuhan, etika dokter terhadap pasien,
dan etika dokter terhadap teman sejawat.

2. Seorang dokter mampu menutupi aib/ permasalah pasien terhadap orang lain.

3. Seorang dokter mampu menyikapi pasien yang terkena HIV dan menggunakan narkoba
berdasarkan etika kedokterannya.

4. Dan seorang dokter dapat menghornati pasiennya, agar pasien merasa nyaman. Serta dapat
menenangkan pasien atau keluarganya agar dapat menerima diagnosis yang disimpulkan
oleh dokter.

Daftar Pustaka

Dion ett. 2008. Appreciative Inquiry : Melakukan Perubahan dengan Berfokus pada Kekuatan.
http://appreciative inquiry.com/html. Akses Oktober 2008

Imam. 20009. Dokter-Medis: HIV/AIDS. Indonesia. http://dokter-medis.blogspot.com. Akses Desember


2009.
Sarana,Lita. 2007. PMI Pelatihan Remaja Sebaya tentang Kesehatan dan Kesejahteraan Remaja :
Santunan terhadap Penderita HIV/AIDS. Jakarta Timur.
Siyaranamual, Julius R. 1997. Etika Hak Asasi, dan Pewabahan AIDS . Surabaya : Penebar Swadaya
Wartawarga.2007. Pengertian HIV AIDS .http://wartawarga.gunadarma.ac.id. Akses Mey 2005
Limpo. 2009 .Hak Pasien atas Informasi Medis. http:// WordPress.com. Akses Agustus 2009.

Razimaulana. 2008. Anamnesis. http://razimaulana.wordpress.com. Akases Desember 2008.

Anda mungkin juga menyukai