A. Deskripsi
Humaniora merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari segala hal yang
diciptakan atau menjadi perhatian manusia baik itu ilmu filsafat, hukum, sejarah, bahasa,
teologi, sastra, seni dan lain sebagainya. Atau makna intrinsik nilai-nilai kemanusiaan
(Kamus Umum Bahasa Indonesia). Dalam bahasa Latin, humaniora artinya manusiawi.
Menurut Martiatmodjo, BS dalam “Catatan Kecil tentang Humaniora” dikatakan
sebagai Ilmu Budaya Dasar yang merupakan mata kuliah wajib di Perguruan Tinggi dan
merupakan juga terjemahan dari istilah Basic Humanities atau pendidikan humaniora.
Humaniora ini menyajikan bahan pendidikan yang mencerminkan keutuhan manusia dan
membantu agar manusia menjadi lebih manusiawi. Martiatmodjo menegaskan bahwa
perlunya humaniora bagi pendidik berarti menempatkan manusia di tengah-tengah proses
pendidikan.
B. Manfaat/Relevansi
Lantas, apa relevansinya mempelajari humaniora bagi seorang dokter? Dokter
adalah salah satu profesi yang berhubungan langsung dengan manusia sebagai lawan
interaksinya. Karena itu seorang dokter harus mengetahui segala hal yang berkaitan dengan
manusia, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Salah satunya dengan
pengetahuan humaniora ini.
Sebetulnya, pengetahuan ini haruslah terintegrasi ke dalam seluruh kurikulum
kedokteran (demikian juga semua pokok bahasan yang ada dalam blok ini harus
diintegrasikan ke dalam tiap-tiap blok). Karena yang kita harapkan adalah lahirnya dokter-
dokter yang tidak saja kompeten dalam keilmuannya, tapi juga memiliki perilaku yang
manusiawi, memperlakukan pasiennya seperti dirinya ingin diperlakukan. Tentu saja
perilaku tersebut tidak akan muncul tanpa adanya pengetahuan tentang apa dan bagaimana
sebetulnya sifat yang manusiawi itu.
Agar Anda dapat memahami dan selanjutnya dapat menerapkan prinsip-prinsip
yang terkandung dalam humaniora, maka Anda diperkenalkan dengan pengetahuan ini.
Tentu, pengetahuan ini sendiri belumlah cukup untuk mencapai apa yang kita harapkan,
tapi harus dipadukan dengan pengetahuan-pengetahuan lain yang akan dipelajari di dalam
blok ini.
Praktek kedokteran
Pelayanan kesehatan
Pendidikan kedokteran
Penelitian
Daftar Pustaka
1. Assi Ba’l, Z.A.: Dokter-dokter, Bagaimana Akhlakmu, Gema Insani Press, Jakarta, 1992
DEFINISI
Secara umum, definisi humaniora adalah disiplin akademik yang mempelajari kondisi
manusia, menggunakan metode yang terutama analitik, kritikal, atau spekulatif, sebagaimana
dicirikan dari sebagian besar pendekatan empiris alami dan ilmu sosial. (3)
Contoh dari disiplin humaniora adalah bahasa kuno dan moderen, literatur, hukum,
sejarah, filosofi, agama, dan seni visual dan drama (termasuk musik). Subyek-subyek tambahan
yang terkadang masuk dalam humaniora adalah teknologi, antropologi, studi area, studi
komunikasi, studi kultural, dan linguistik, meskipun cabang tersebut selalu dianggap sebagai
ilmu sosial. (3)
BAHASA, PERISTILAHAN
Secara bahasa, kita mengenal istilah humaniora (Latin), humanities (Inggris), humanisme,
humanitarian, humanitarianisme, humanis, yang semuanya berasal dari kata human, yang berarti
mankind, manusia, makhluk dengan derajat tertinggi. Humaniora maupun humanitas, kedua-
duanya dipergunakan dalam bahasa Latin/Yunani, misalnya dalam Literae Humanitates, atau
Literae Humaniores. Oleh karena literatur Yunani/Latin adalah sumber utama dari pengetahuan,
kebijaksanaan dan ekspresi, maka humanitas (Latin) berarti bahasa dan literatur (termasuk
filsafat, sejarah, ilmu pidato, dan sastra), Yunani dan Romawi kuno. (1)
Bahasa Indonesia, yang menerjemahkan kata-kata Inggris dengan suku kata akhir ty,
misalnya university, faculty, dan lain-lain, dengan …tas, yang menjadi universitas dan fakultas,
cenderung lebih menggunakan kata humaniora daripada humanitas. Hal ini menunjukkan bahwa
humaniora bukan terjemahan dari humanity (Inggris), tetapi dari bahasa Latin humaniores.
Selanjutnya dalam tulisan ini dipakai kata humaniora dan bukan humanitas. Sedang kata
humanitas (kb) diartikan sebagai kodrat manusia atau perikemanusiaan (Fajri dan Senja). Perlu
dicatat juga terdapat penggunaan kata humaniora sebagai padanan dari humanisme, misalnya
oleh Riyadi DS, (2005). (1)
Kata-kata yang berdekatan dengan humaniora, bahkan sering disama artikan, adalah sebagai
berikut: (1)
Dari uraian diatas, istilah Indonesia yang merupakan serapan dari bahasa Arab, yang
dapat mewadahi humaniora ialah adab. Dalam ilmu al adab terkandung ilmu sastra, sejarah
sastra, ilmu kritik sastra, filologi. Adab juga berarti budaya yang baik. Tidak beradab berarti
tidak berbudaya, tidak berperilaku baik, sebagaimana Cicero (filsuf Yunani) mengartikan
inhumanitas dengan barbar. (1)
Adab dapat berarti antara lain discipline of mind and manners, and of conduct or
behaviour (Huges, 2004). Karya al Makdisi (2005), dapat lebih memastikan bahwa ilmu adab
adalah Humaniora. (1)
SEJARAH HUMANIORA
Di dunia Barat, studi humaniora dapat dilacak hingga ke Yunani Kuno, sebagai basis
pendidikan yang besar bagi masyarakat. Selama masa Romawi, konsep tujuh seni liberal
bertingkat, termasuk grammar, retorika dan logika (trivium), bersama dengan aritmatika,
geometri, astronomi dan musik (quadrivium). Subjek-subjek ini membentuk curahan pendidikan
pertengahan, dengan penekanan pada humaniora sebagai keterampilan atau “cara melakukan
sesuatu”. (3)
Sebuah pergeseran utama selama masa Renaissance, ketika humaniora mulai dihargai
sebagai subyek untuk lebih dipelajari daripada dipraktekkan, dengan penyesuaian bergeser dari
bidang tradisional kepada area seperti literatur dan sejarah. Pada abad ke 20, pandangan ini
ditantang oleh pergerakan paska-modernisasi, yang dicari untuk menggambarkan kembali
humaniora dalam istilah yang lebih menganut persamaan untuk masyarakat demokratis. (3)
BIDANG-BIDANG HUMANIORA
Sebagai sebuah bidang studi, humaniora menekankan pada analisa dan pertukaran ide-ide
dibandingkan ekspresi kreatif seni atau penjelasan kuantitatif ilmu pengetahuan. (2)
1. Sejarah, Antropologi, dan Arkeologi mempelajari perkembangan sosial, politik dan
budaya manusia. (2)
2. Literatur, Bahasa dan Linguistik mempelajari bagaimana kita berkomunikasi satu sama
lain, dan bagaimana ide dan pengalaman kita akan pengalaman kemanusiaan
diekspresikan dan diinterpretasikan. (2)
3. Filosofi, Etika, dan Perbandingan Agama mempertimbangkan ide tentang makna hidup
dan alasan bagi pemikiran dan tindakan kita. (2)
4. Yurisprudensi menguji nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang menginformasikan hukum
kita. (2)
5. Pendekatan Historis, Kritis, dan Teoritis terhadap Seni merefleksikan dan menganalisa
proses kreatif. (2)
Bila humaniora memusatkan perhatian kepada manusia, etika sebagai ilmu merupakan
bagian dari filsafat yang mempelajari nilai baik-buruk, benar-salah, pantas-tidak pantas dalam
kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan manusia dan lingkungannya (Hariadi, 2005).
Tampak ada bidang tumpang tindih antara humaniora dan etika. Humanisme atau
humanitarianisme dapat berarti juga etika, yakni faham, ajaran, bahwa satu-satunya kewajiban
moral manusia adalah bekerja untuk kebaikan, perbaikan dan kesejahteraan manusia (Moris (ed),
1981). (1)
Penguasaan dan pengembangan ilmu dan teknologi adalah amanat kemanusiaan, oleh
karena itu harus memberi manfaat bagi kesejahteraan manusia. Humaniora membawa nilai-nilai
budaya manusia. Nilai-nilai tersebut adalah universal. Tanpa humaniora pengembangan ilmu dan
teknologi tidak lagi bermanfaat bagi manusia. Pengembangan/ perkembangan yang banyak
disusupi nilai-nilai bisnis menimbulkan hedonisme yang bermula di masyarakat bisnis, yang
berlanjut pada umunya. (1)
Lebih khusus dalam kaitan dengan pengembangan ilmu dan teknologi, ialah Iptek
Kedokteran. Kedokteran adalah ilmu yang paling manusiawi, seni yang paling indah, dan
humaniora yang paling ilmiah (Pellegrino, 1970). (1)
Ilmu kedokteran, selain ilmu-ilmu dasar, adalah juga profesi. Pengembangan profesi
cenderung mengkotak-kotakkan pada bidang spesialisasi. Seorang spesialis cenderung
memahami hanya bidang spesialisasinya saja. Tuntutan efektif-efisien, perhitungan cost-benefit
cenderung menghapus nilai empati, kurang dapat menempatkan diri sebagai penderita.
Hubungan dokter-pasien menjadi kurang manusiawi. Humaniora memperbaiki kondisi tersebut.
(1)
Humaniora medis
Humaniora dan seni memberikan pengertian yang dalam tentang kondisi manusia,
penderitaan, kemanusiaan dan tanggung jawab kita satu sama lain, dan menawarkan perspektif
sejarah dalam praktek medis. Perhatian terhadap literatur dan seni membantu dalam membangun
dan memelihara kemampuan observasi, analisis, empati dan refleksi-diri – kemampuan yang
penting bagi pengobatan medis manusia. Ilmu sosial membantu kita memahami bagaimana
biologi dan medis menempatkan diri dalam konteks sosial dan budaya dan juga bagaimana
budaya berinteraksi dengan pengalaman individual akan kesakitan dan cara ilmu medis
dipraktekkan. (4)
KESIMPULAN
1. Secara umum, definisi humaniora adalah disiplin akademik yang mempelajari kondisi
manusia, menggunakan metode yang terutama analitik, kritikal, atau spekulatif,
sebagaimana dicirikan dari sebagian besar pendekatan empiris alami dan ilmu sosial.
2. Humaniora terdiri atas unsur-unsur seni, etika, kearifan, nilai-nilai kejujuran, kebenaran,
kelembutan, memanusiakan manusia, menyingkirkan beban dari dan berbuat baik bagi
manusia. Tanpa nilai-nilai tersebut, manusia atau perilakunya dapat dikategorikan tidak
human, tidak manusiawi, tidak berbudaya atau barbar.
3. Pengembangan ilmu dan teknologi adalah amanat kemanusiaan, untuk kesejahteraan
manusia. Oleh karena itu perlu dipandu oleh nilai-nilai humaniora, agar terjamin
kemanfaatannya untuk manusia.
4. Agama seharusnya merupakan nilai yang paling azasi dari seluruh nilai-nilai humaniora.
Nilai-nilai agama diharapkan dapat dikembangkan oleh agamawan/ruhaniawan untuk
memandu pengembangan ilmu/teknologi dan penerapannya.
5. Ilmu kedokteran adalah ilmu yang sarat dengan nilai-nilai, namun hal ini sering
dilupakan. Oleh karena itu humaniora perlu diberikan untuk membuat profesi medik lebih
sensitif terhadap adanya nilai-nilai tersebut dan pengetrapannya dalam praktek.
6. Humaniora diharapkan dapat meningkatkan kualitas berfikir, yang ditengarai sebagai
sifat kritis, lentur dalam perspektif, tidak terpaku pada dogma, tanggap terhadap nilai-
nilai, dan sifat empati.
1. Bagaimana etika seorang dokter untuk menjadi dokter yang profesional ?
Untuk menjadi dokter yang profasional berdasarkan etika kedokteran, ada beberapa kewajiban yang
harus di laksanakan oleh seorang dokter, yaitu kewajiban umum, kewajiban dokter terhadap penderita,
kewajiban dokter terhadapan sejawatnya, dan kewajiban dokter terhadap teman sejawatnya. Dan harus
memenuhi beberapa ciri para dokter untuk menjadi profesional.
Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) tertulis : “Setiap dokter senantiasa mengingat akan
kewajiban melindungi hidup makhluk insani.” Namun dalam sumpah dokter, terdapat pernyataan:
“Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan.” Dalam pernyataan ini, yang
dimaksud makhluk insani masih belum dapat ditentukan dengan jelas dan pasti, mulai kapan awal
kehidupan ditentukan, sehingga menimbulkan pertentangan. Karena itu Pengurus Besar Ikatan Dokter
Indonesia (PB IDI) masih mengadakan perundingan tentang lafal sumpah dokter Indonesia melalui
hasil referendum dari anggota IDI untuk memilih apakah kata “mulai dari saat pembuahan” hendak
dihilangkan atau diubah.
Sikap etis profesional berarti bekerja sesuai standar, melaksanakan advokasi, menjamin keselamatan
pasien, menghormati terhadap hak-hak pasien. Kriteria perilaku profesional antara lain mencakup
bertindak sesuai keahlian dan didukung oleh keterampilan, bermoral tinggi, memegang teguh etika
profesi, serta menyadari ketentuan hukum yang membatasi gerak.
Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas, yang sering
tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia
kedokteran, profesionalisme, dll. Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek etik seringkali tidak
dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik yang telah diangkat
menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika.
Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi mengakibatkan
penilaian perilaku etik seseorang dokter yang diadukan tidak dapat dipisahkan dengan penilaian
perilaku profesinya. Etik yang memiliki sanksi moral dipaksa berbaur dengan keprofesian yang
memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat administratif.
Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar prosedur dan standar
pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum, padahal selama ini profesi menganggap bahwa
memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap profesional. Dengan demikian
pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran etik dan juga sekaligus pelanggaran
hukum.
Kemungkinan terjadinya peningkatan ketidakpuasan pasien terhadap layanan dokter atau rumah sakit atau
tenaga kesehatan lainnya dapat terjadi sebagai akibat dari (a) semakin tinggi pendidikan rata-rata
masyarakat sehingga membuat mereka lebih tahu tentang haknya dan lebih asertif, (b) semakin
tingginya harapan masyarakat kepada layanan kedokteran sebagai hasil dari luasnya arus informasi, (c)
komersialisasi dan tingginya biaya layanan kedokteran dan kesehatan sehingga masyarakat semakin
tidak toleran terhadap layanan yang tidak sempurna, dan (d) provokasi oleh ahli hukum dan oleh
tenaga kesehatan sendiri.
Etik profesi kedokteran mulai dikenal sejak 1800 tahun sebelum Masehi dalam bentuk Code of
Hammurabi dan Code of Hittites, yang penegakannya dilaksanakan oleh penguasa pada waktu itu.
Selanjutnya etik kedokteran muncul dalam bentuk lain, yaitu dalam bentuk sumpah dokter yang
bunyinya bermacam-macam, tetapi yang paling banyak dikenal adalah sumpah Hippocrates yang
hidup sekitar 460-370 tahun SM. Sumpah tersebut berisikan kewajiban-kewajiban dokter dalam
berperilaku dan bersikap, atau semacam code of conduct bagi dokter.
World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968 menelorkan sumpah dokter (dunia)
dan Kode Etik Kedokteran Internasional. Kode Etik Kedokteran Internasional berisikan tentang
kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri
sendiri. Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik
Kedokteran Internasional.
Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-prinsip moral
kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan bertindak,
arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat
dari segi moral. Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika
biomedis. Etika biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis
yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis.
Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan memberikan latihan dan
teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter, seperti autonomy (menghormati hak
pasien, terutama hak dalam memperoleh informasi dan hak membuat keputusan tentang apa yang akan
dilakukan terhadap dirinya), beneficence (melakukan tindakan untuk kebaikan pasien), non
maleficence (tidak melakukan perbuatan yang memperburuk pasien) dan justice (bersikap adil dan
jujur), serta sikap altruisme (pengabdian profesi).
Pendidikan etik kedokteran, yang mengajarkan tentang etik profesi dan prinsip moral kedokteran,
dianjurkan dimulai dini sejak tahun pertama pendidikan kedokteran, dengan memberikan lebih ke arah
tools dalam membuat keputusan etik, memberikan banyak latihan, dan lebih banyak dipaparkan dalam
berbagai situasi-kondisi etik-klinik tertentu (clinical ethics), sehingga cara berpikir etis tersebut
diharapkan menjadi bagian pertimbangan dari pembuatan keputusan medis sehari-hari. Tentu saja kita
pahami bahwa pendidikan etik belum tentu dapat mengubah perilaku etis seseorang, terutama apabila
teladan yang diberikan para seniornya bertolak belakang dengan situasi ideal dalam pendidikan.
IDI (Ikatan Dokter Indonesia) memiliki sistem pengawasan dan penilaian pelaksanaan etik profesi, yaitu
melalui lembaga kepengurusan pusat, wilayah dan cabang, serta lembaga MKEK (Majelis Kehormatan
Etik Kedokteran) di tingkat pusat, wilayah dan cabang. Selain itu, di tingkat sarana kesehatan (rumah
sakit) didirikan Komite Medis dengan Panitia Etik di dalamnya, yang akan mengawasi pelaksanaan
etik dan standar profesi di rumah sakit. Bahkan di tingkat perhimpunan rumah sakit didirikan pula
Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit (Makersi).
Pada dasarnya, suatu norma etik adalah norma yang apabila dilanggar “hanya” akan membawa akibat
sanksi moral bagi pelanggarnya. Namun suatu pelanggaran etik profesi dapat dikenai sanksi disiplin
profesi, dalam bentuk peringatan hingga ke bentuk yang lebih berat seperti kewajiban menjalani
pendidikan / pelatihan tertentu (bila akibat kurang kompeten) dan pencabutan haknya berpraktik
profesi. Sanksi tersebut diberikan oleh MKEK setelah dalam rapat/sidangnya dibuktikan bahwa dokter
tersebut melanggar etik (profesi) kedokteran.
Seorang Dokter Muslim haruslah benar-benar menyadari bahwa dirinya adalah hamba
Allah semata. Dan betapa tidak berarti dirinya beserta ilmunya tanpa ijin Allah SAW.
Hubungan antara dokter dengan pasien adalah hubungan antar manusia dan manusia. Dalam
hubungan ini mungkin timbul pertentangan antara dokter dan pasien, karena masing-masing
mempunyai nilai yang berbeda. Masalah semacam ini
akan dihadapi oleh Dokter yang bekerja di lingkungan dengan suatu sistem yang berbeda
dengan kebudayaan profesinya.
Untuk melaksanakan tugasnya dengan baik, tidak jarang dokter harus berjuang lebih dulu
melawan tradisi yang telah tertanam dengan kuat. Dalam hal ini, seorang Dokter tidak
mungkin memaksakan kebudayaan profesi yang selama ini dianutnya.
Mengenai etika kedokteran terhadap orang sakit antara lain disebutkan bahwa seorang Dokter
wajib:
• Memperlihatkan jenis penyakit, sebab musabab timbulnya penyakit, kekuatan tubuh orang
sakit, keadaan resam tubuh yang tidak sewajarnya, umur si sakit dan obat yang cocok
dengan musim itu, negeri si sakit dan keadaan buminya, iklim di mana
ia sakit, daya penyembuhan obat itu
• Di samping itu dokter harus memperhatikan mengenai tujuan pengobatan, obat yang dapat
melawan penyakit itu, cara yang mudah dalam mengobati penyakit.
Para Dokter di seluruh dunia mempunyai kewajiban yang sama. Mereka adalah kawan-
kaawn seperjuangan yang merupakan kesatuan aksi dibaawh panji perikemanusiaan untuk
memerangi penyakit, yang merupakan salah satu pengganggu keselamatan dan kebahagiaan
umat manusia. Penemuan dan pengalaman baru dijadikan milik bersama. Panggilan suci
yang menjiwai hidup dan perbuatan telah mempersatukan mereka menempatkan para Dokter
pada suatu kedudukan yang terhormat dalam masyarakat. Hal-hal tersebut menimbulkan rasa
persaudaraan dan kesediaan tolong-menolong yang senantiasa perlu dipertahankan dan
dikembangkan.
• Setiap Dokter mengunjungi pertemuan klinik bila ada kesempatan. Sehingga dapat dengan
mudah mengikuti perkembangan ilmu teknologi kedokteran.
Sifat-sifat penting lain yang harus dimiliki oleh seorang Dokter Muslim ialah :
• Adanya belas kasihan dan cinta kasih terhadap sesama manusia, perasaan sosial yang
ditunjukkan kepada masyarakat.
• Harus berbudi luhur, dapat dipercaya oleh pasien, dan memupuk keyakinan profesional.
• Seorang dokter harus dapat dengan tenang melakukan pekerjaannya dan harus mempunyai
kepercayaan kepada diri sendiri.
• Bersikap mandiri dan orisinal karena pengetahuan yang diwarisi secara turun temurun dari
buku-buku masih jauh memadai.
• Seorang dokter harus hidup seimbang, tidak berlebih-lebihan, tidak membuang waktu serta
energi dengan menikmati kesenangan dan kenikmatan.
• Seorang dokter muslim harus lebih banyak mendengar dan lebih sedikit bicara,
• Seorang dokter muslim tidak boleh berkecil hati dan harus merasa bangga akan profesinya
karena semua agama menghormati profesi dokter
3. Bagaimana etika seorang dokter jika permasalahan/aib pasien diketahui oleh orang lain ?
Jika permasalahan/aib pasien diketahui oleh orang lain secara otomatis pasien tersebut akan mendapatkan
stigma dan deskriminasi dari masyarakat maupun lingkungannya. Oleh sebab itu dokter mempunyai peran
dan menerapkan etika kedokterannya untuk menghadapi masalah tersebut. Dokter dapat memberikan
saran dan nasehat kepada pasien, agar tidak minder karena stigma dan diskriminasi yang diperoleh dari
luar . dan dokter dapat melakukan penyuluhan dan sosialisaswi mengenai hal yang bersangkutan dengan
permasalahan yang sama yang dialami oleh pasien.
Permaslahan ini berhubungan dengan Rahasia Profesi Dokter. Berdasarkan agama islam, menyimpan
rahasia orang lain diperintahkan bagi setiap muslim lebih-lebih jika ia dokter, karena dengan sengaja
membeberkan rahasia dan perasaannya kepada dokter mereka serta percaya terhadap profesi dokter.
Dokter harus membubuhkan stempel rahasia pada semua informasi yang diperoleh melalui penglihatan,
pendengaran, atau kesimpulan. Semangat islam juga mengajar agar ketentuan hukum menekankan hak
pasien agar melindungi rahasia-rahasia yang dipercayakan kepada dokternya. Pembocoran rahasia akan
merugikan praktek kedokteran, disamping merintangi beberapa pasien dalam mencari pertolongan
kedokteeran.
4. Bagaiman etika seorang dokter dalam menangani pasien yang menderita HIV/AIDS?
Pada tahun 1990, World Health Organization (WHO) mengelompokkan berbagai infeksi
dan kondisi AIDS dengan memperkenalkan sistem tahapan untuk pasien yang terinfeksi HIV.
Stadium IV adalah stadium akhir dimana penderita HIV/ aids tidak dapat tertolong lagi
nyawanya. Dan pada saat ini adalah puncaknya penderita HIV/AIDS mendapatkan stigma dan
diskriminasi dari masyarakat. Padahal mereka sangat membutuhkan dukungan untuk tetap
semangat dan melanjutkan hidupnya yang tinggal dihitung jari . Seorang dokter memegang
peranan penting dalam hal ini. Santunan dokter terhadap penderita HIV/AIDS merupakan
penyemangat hidup bagi mereka. Dukungan tersebut bisa pula diperoleh penderita HIV/AIDS
dari pihak lain dan lingkungan, seperti keluarga dan masyarakat. Namun , seorang dokter lebih
paham akan menyikapi penderita HIV/AIDS agar tidak tertekan oleh stigma dan diskriminasi
yang mereka peroleh dari masyarakat dan lingkungan yang tidak mengerti dan memahami akan
keadaan penderita HIV/AIDS. Banyak metode yang dapat dilakukan oleh seorang dokter untuk
menyikapi penderita HIV/AIDS yang sudah tidak dapat tertolong lagi nyawanya.
Dari uraian diatas dr. Asrul Sani mengatakan, sampai saat ini biasanya AIDS berakhir
dengan kematian Karena penyakit HIV/AIDS ini belum ditemukan obat medisnya, sehingga
seseorang yang menderita HIV/AIDS tidak bisa di obati, namun hanya bisa di beri dukungan,
saran, dan pengobatan alternatif umtuk mengindari penularan dan memberi semangat hidup
kepada meraka. Sehingga mereka dapat melakukan aktifitasnya sebagaimana sebelumnya.
Fenomena tersebut akan semakin menghilangkan potensi dan kesempatan yang dimiliki oleh
Pengidap HIV/AIDS. Berbagai potensi (strength) yang dimiliki dalam proses pendidikan,
pekerjaan dan kegiatan lain akan berangsur menurun. Selain itu berbagai kesempatan
(opportunity) yang berupa dukungan keluarga, kesempatan pengembangan terkalahkan oleh
adanya diskriminasi dan stigma tersebut. Seorang dokter mempunyai tanggung jawab besar dalam
menghadapi pasien penderita HIV/AIDS. Dengan demikian dokter harus mampu menyikapi
pasien penderita HIV/AIDS yang tidak dapat tertolong lagi dengan caranya sebagai dokter.
Selain cara diatas, seorang dokter dapat menyikapi penderita HIV/AIDS dengan metode
Appreciative Inquiry, merupakan suatu metode untuk memaksimalkan kekuatan (strength dan
Opportunity) yang dimiliki oleh Pengidap HIV/AIDS. Menurut Dion, Metode ini lebih
memfokuskan terhadap kekuatan dan terlepas dari berbagai kelemahan. Kelemahan yang dihadapi
oleh Pengidap HIV/AIDS berupa diskriminasi, stigma, perasaan rendah diri dan sebagainya.
Fenomena yang terjadi adalah sebagian besar seseorang khususnya Pengidap HIV/AIDS hanya
berfokus pada kelemahan tersebut. Namun Appreciative Inquiry lebih menganjurkan agar setiap
Pengidap HIV/AIDS lebih memfokuskan perhatian pada kekuatan yang dimiliki dan
memaksimalkannya. Dengan demikian, hal ini akan membangun citra positif secara pribadi dan
bermanfaat bagi lingkungan. Metode ini diharapkan mampu menjadikan Pengidap HIV/AIDS
untuk menjalani hidup sebagaimana manusia seutuhnya. Tidak terlalu memikirkan penyakit yang
dideritanya, karena seorang dokter selalu berusaha untuk mengarahkannya pada kekuatan dan
kepribadian yang dimilkinya, sehingga penderita HIV/AIDS akan lebih percaya diri dan dapat
beraktifitas sebagaimana sebelumnya.
Selain itu dalam Buku PMI Pelatihan Remaja Sebaya tentang Kesehatan dan
Kesejahteraan Remaja tertulis, seorang dokter harus bersikap biasa ( tanpa membedakan) seperti
sikap terhadap orang sehat atau penderita penyakit lain. Seorang dokter harus dapat menghindari
sikap membedakan, apalagi memusuhi, karena akan menyebabkan penderita tertekan. Karena
penderita HIV/AIDS membutuhkan dukungan agar mereka memiliki kepercayaan diri dan
mampu berbuat banyak bagi masyarakat, yaitu dengan membangkitkan kepercayaan mereka dan
dokter dapat memberilah dukungan serta kasih sayang. Dokter harus mampu memberilah
pemahaman terhadap permasalahan yang mereka hadapi dan cara mengatasinya. Menasehati, agar
jangan merasa tertekan secara berlebihan karena semua orang pasti diberi cobaan. Menurut
dr.Lita, cara merawat penderita HIV dan AIDS itu pertama kita coba untuk membayangkan diri
kita sendiri sebagai pengidap penyakit tersebut. Dengan mengetahui mana aktifitas yang berisiko
menularkan HIV dan AIDS dan mana yang tidak , kita dapat memperlakukan penderita secara
wajar. Dan kita tetap harus memperhatikan prosedur P3K ketika melakukan perawatan kepada
penderita.
Berdasarkan cara – cara dokter menyikapi Penderit HIV/AIDS diatas, seorang dokter
tidak lupa pula akan etika, hukum dan hak asasi yang dimilki oleh penderita HIV/AIDS. Hak
asasi dan hak kesehatan adalah yang utama diterapkan oleh seorang dokter terhadap pasien
penderita HIV/AIDS. Walaupun kenyataannya penderita HIV/AIDS tidak ada obatnya dan tidak
dapat tertolong nyawanya, atau biasanya berahir dengan kematian. Namun, kadua hak tersebut
harus tetap diberikan oleh sorang dokter kepada pasien penderita HIV/AIDSnya. Menurut
Herkutanto, ini dapat diterapkan melalui pelayanan kesehatan, baik pelayanan kesehatan
individual maupun pelayanan kesehatan masyarakat. Namun, keduax tidak dapat dilakukan secara
bersamaan atau harus dibedakan, karena dapat saja menimbulkan konflik antara pemberi
pelayanan kesehatan ( dokter ) dengan penerima pelayanan kesehatan (pasien penderita
HIV/AIDS).
Dari uraian pelayanan kesehatan diatas, dapat dilakukan dalam empat bentuk pelayanan
kesehatan, yaitu dengan preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif. Namun,untuk perawatan
penderita HIV/AIDS yang tidak dapat tertolong nyawanya seorang dokter cukup melakukannya
dengan kegiatan preventif dan kuratif. Karena kegiatan preventif ini bertujuan untuk pencegahan
penularan dan penyebaran HIV/AIDS dari penderita HIV/AIDS tersebut kepada masyarakat.
Selain itu juga dilakukan interverensi oleh dokter kepada masyarakat untuk menghapus
pandangan negatif terhadap pengidap HIV/AIDS. Terhadap penderita HIV/AIDS seorang dokter
memberikannya edukasi agar tidak melakukan penularan kepada orang lain dan konseling agar
merasa lebih berarti dalam kehidupanya. Sedangkan kegiatan kuratif disini bukanlah
penyembuhan dalam arti kata sebenarnya, karena HIV/AIDS termasuk yang incureble. Namun,
tindakan perawatan ini dilakukan di sarana kesehatan lebih bersifat care daripada curenya.
Dikarenakan penyakit HIV/AIDS belum ada obatnya, maka seorang dokter dapat pula
menerapkan suatu metode penanganan infeksi HIV/AIDS pada penderita HIV/AIDS, yaitu
dengan Terapi Antiretrovirus yang sangat aktif. Terapi ini telah sangat bermanfaat bagi orang-
orang yang terinfeksi HIV sejak tahun 1996 yaitu setelah ditemukannya HAART (highly active
antiretroviral therapy ) yang menggunakan protease inhibitor. Karena penyakit HIV lebih cepat
perkembangannya pada anak-anak daripada pada orang dewasa, maka seorang dokter akan
mempertimbangkan kuantitas beban virus, kecepatan serta kesiapan mental pasien, saat memilih
waktu memulai perawatan awal. Tetapi terapi ini juga menimbulkan efek samping seperti
penolakan insulin, peningkatan risiko sistem kardiovaskular, dan kelainan bawaan pada bayi yang
dilahirkan. Terapi Antiretrovirus ini terbukti efektif menurunkan angka kesakitan dan kematian
akibat HIV/AIDS. Obat ini bekerja menghambat replikasi / perbanyakan virus HIV. Walaupun
demikian obat ini tidak mampu membunuh HIV secara total dan berpotensi menimbulkan efek
samping yang berat dan pemakaiannya harus setiap hari seumur hidup. Jika kepatuhan penderita
kurang maka dapat menyebabkan resistensi obat.
Oleh karena terapi antiretrovirus dapat menimbulkan efek samping, maka sorang dokter
dapat menyarankan kepada penderita HIV/AIDS untuk melakukan olahraga. Olahraga membantu
banyak orang yang hidup dengan HIV/AIDS (Odha) untuk merasa lebih sehat dan mungkin
memperkuat sistem kekebalan tubuh. Olahraga tidak dapat mengendalikan atau melawan penyakit
HIV, tetapi dapat membantu kita merasa lebih sehat dan melawan berbagai dampak dari HIV dan
efek samping obat-obatan yang dipakai oleh Odha tersebut. Olahraga dapat meningkatkan energi,
melawan kelelahan dan depresi, meningkatkan daya tahan dan kesehatan kardiovaskular,
membantu mengurangi stres dan mendorong kekuatan otot.
Jadi seorang dokter harus mampu memberikan saran, dukungan, dan lain sebaginya agar
seorang pasien penderita HIV AIDS mempunyai semangat hidup dan kepercayaan diri kembali.
5. Bagaiman etika seorang dokter dalam menangani pasien yang menggunakan narkoba?
Untuk menangani pasien yang menderita penyalahgunaan narkoba, mereka perlu didetoksifikasi.
Yaitu diproses pembuangan racun dari tubuhnya. Jika ditemukan virus narkoba yang telah
menggerogoti pasien, mereka perlu direhabilitasi dengan perawatan khusus maupun berobat jalan.
Namun, terapi ini tak boleh dilakukan dengan obat metadon dan subutek. Sebab zat tersebut
adalah sintesa putau, morfin, heroin dan sejenisnya. Berdasarkan penelitian, pengobatan dengan
zat tersebut bisa menyebabkan pasien menjadi bergantung kepada obat tersebut.
Jika hal ini dilakukan, pasien akan ketergantungan dengan obat-obat dari dokter. Bisa jadi bandar
narkobanya nanti malah dijalankan para dokter.
Selain penanganan medis, pasien penderita narkoba bisa diobati dengan pendekatan psikologis
secara halus. Mereka akan dikaji mengapa bisa memakai narkoba, menjadi kecanduan, dan
sebagainya. Secara sosial, pengguna NAZA perlu dipertanyakan mengapa menjadi broken home,
berperilaku keras dan kasar kepada orang lain.
Setelah kedua pendekatan itu dilakukan, pasien perlu dikembalikan kepada spiritualitas, agama
dan Tuhannya. Terapi keagamaan (psikoreligius) memegang peranan penting, baik dari segi
pencegahan, terapi berjalan, maupun rehabilitas.
Jika segala permasalahan dan kesulitan dikembalikan kepada Tuhan si pasien dengan memohon
perlindungan, maka ia akan terhindar dari rasa takut, khawatir dan stres, sehingga kemudian tak
akan terlibat lagi dalam penyalahgunaan NAZA.
Terapi psikoreligius ini bisa dilakukan dengan menjalankan shalat, berdoa, mengaji, dan
mendalami cara-cara agama memerangi narkoba.
Selain itu bisa juga dengan pendalaman tauhid dan silaturrahim kepada ahli agama. Juga
menanamkan pada keluarga semangat terhindar dari siksa api neraka, dengan menjauhi
keterlibatan penggunaan narkoba.
Terapi unsur agama ini tak hanya penting bagi pasien penyalahguna NAZA, tapi juga bagi
anggota keluarganya dalam menciptakan suasana rumahtangga yang religius dan penuh kasih
sayang.
Seorang dokter harus dapat menghormati pasien, agar pasient merasa nyaman dengan pelayanan yang
diberikan oleh dokter tersebut. Adapun yang perlu diperhatikan dalam menghormati pasien adalah
mengenai hak-hak pasien.
a. Hak Pasien atas Informasi Penyakit dan Tindakan Medis dari Aspek Etika Kedokteran.
Terkait dengan pemberian informasi kepada pasien ada beberapa yang harus diperhatikan :
2. Informasi tidak boleh memakai istilah kedokteran karena tidak dimengerti oleh orang
awam.
3. Informasi harus diberikan sesuai dengan tingkat pendidikan, kondisi, dan situasi pasien.
4. Informasi harus diberikan secara lengkap dan jujur, kecuali dokter menilai bahwa
informasi tersebut dapat merugikan kepentingan atau kesehatan pasien atau pasien
menolak untuk diberikan infomasi (KODEKI, pasal 5)
5. Untuk tindakan bedah (operasi) atau tindakan invasive yang lain, informasi harus
diberikan oleh dokter yang akan melakukan operasi. Apabila dokter yang bersangkutan
tidak ada, maka informasi harus diberikan oleh dokter yang lain dengan sepengetahuan
atau petunjuk dokter yang bertanggng jawab.
Kewajiban dokter terkait dengan informasi adalah memberikan informasi yang adekuat dan
besikap jujur kepada pasien tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta risiko
yang dapat ditimbulkannya (KODEKI, pasal 7b)
Salah satu kewajiban rumah sakit terhadap pasien adalah harus memberikan penjelasan
mengenai apa yang diderita pasien, dan tindakan apa yang harus dilakukan (KODERSI, Bab
III Pasal 10)
b. Hak Pasien atas Informasi Penyakit dan Tindakan Medis dari Aspek Hukum
Kedokteran.
Dokter atau dokter gigi dalam memberikan pelayanan tindakan kedokteran atau kedokteran
gigi terlebih dahlu harus memberika penjelasan kepada pasien tentang tindakan kedokteran
yang akan dilakukan dan mendapat persetujuan pasien (PERMENKES
No.1419/MENKES/PER/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi
pasal 17)
Pasien berhak menolak tindakan yang dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri
pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh informasi
yang jelas tentang penyakitnya.
Pemberian obat-obatan juga harus dengan persetujuan pasien dan bila pasien meminta untuk
dihentikan pengobatan, maka terapi harus dihentikan kecuali dengan penghentian terapi akan
mengakibatkan keadaan gawat darurat atau kehilangan nyawa pasien
Dalam Pedoman Penegakkan Disiplin Kedokteran tahun 2008 seorang dokter dapat
dikategorikan melakukan bentuk pelanggaran disiplin kedokteran apabila tidak memberikan
penjelasan yang jujur, etis, dan memadai (adequate information) kepada pasien atau
keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran.
Jadi pasien isi rekam medic bukan milik pasien sebagaimana pada PERMENKES
sebelumnya (1989)tentang rekam medic. Pasien hanya boleh memilikinya dalam bentuk
ringkasan rekam medik
2. Memberikan informasi yang diminta atau yang diperlukan tentang kondisi, diagnosis,
terapi dan prognosis pasien, serta rencana perawatannya dengan cara yang bijak dan
bahasa yang dimengerti pasien. Termasuk informasi tentang tujuan pengobatan, pilihan
obat yang diberikan, cara pemberian serta pengaturan dosis obat, dan kemungkinan efek
samping obat yang mungkin terjadi; dan
3. Memberikan informasi tentang pasien serta tindakan kedokteran yang dilakukan kepada
keluarganya, setelah mendapat persetujuan pasien.
4. Jika seorang pasien mengalami kejadian yang tidak diharapkan selama dalam perawatan
dokter, dokter yang bersangkutan atau penanggunjawab pelayanan kedokteran (jika
terjadi di sarana pelayanan kesehatan) harus menjelaskan keadaan yang terjadi akibat
jangka pendek atau panjang dan rencana tindakan kedokteran yang akan dilakukan secara
jujur dan lengkap serta memberikan empati.
5. Dalam setiap tindakan kedokteran yang dilakukan, dokter harus mendapat persetujuan
pasien karena pada prinsipnya yang berhak memberika persetujuan dan penolakan
tindakan medis adalah pasien yang bersangkutan. Untuk itu dokter harus melakukan
pemeriksaan secara teliti, serta menyampaikan rencana pemeriksaan lebih lanjut termasuk
resiko yang mungkin terjadi secara jujur, transparan dan komunikatif. Dokter harus
yankin bahwa pasien mengerti apa yang disampaikan sehingga pasien dalam memberikan
persetujuan tanpa adanya paksaan atau tekanan.
Cara yang dapat dilakukan oleh seorang dokter adalah dengan melakukan anmnesis terhadap pasien yang
sesuai dengan etika dokter terhadap pasiennya, sehingga seorang dokter mengetahui apa keluhan dan
kesulitan yang dialami oleh pasien tersebut.
Karen tujuan dari anamnesis adalah memperoleh data atau informasi tentang
permasalahan yang sedang dialami atau dirasakan oleh pasien, untuk membangun hubungan yang
baik antara seorang dokter dan pasiennya, sebagai pintu pembuka untuk membangun hubungan
dokter dan pasiennya sehingga mampu mengembangkan keterbukaan dan kerjasama dari pasien
untuk tahap-tahap pemeriksaan selanjutnya. 80% hasil anamnesis dapat menegakkan diagnosis.
a. introduction
b. identitas pasien
c. keluhan utama
h. anamnesis system.
i. merangkum anamnesis
penyusunan dilakuakn secara lengkap dan sistematis sesuai dengan hasil anamnesis, dan
memberikan kesempatan pada pasien utnuk mengecek kebenaran ( cross check )
Dalam melakukan anamnesis ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh seorang
dokter, antara lain :
1. Tempat dan suasana
2. Penampilan dokter
3. Periksa kartu dan data pasien
4. Dorongan kepada pasien untuk menceritakan keluhannya
5. Gunakan bahasa/istilah yang mampu dimengerti
6. Buat catatan
7. Perhatikan pasiennya
8. Gunakan metode yang sistematis
Setelah melakukan beberapa tahapan anamnesis tersebut, maka seorang dokter akan dapat
mengetahui apa saja kaluhan dan kesulitan yang di alami oleh pasien tersebut berdasarkan data
yang diperoleh. Namun, anamnesis yang dilakukan berdasarkan etika seorang dokter.yaitu etika
utntuk menjadi dokter yang profesional.
A. KESIMPULAN
1. Seorang dokter harus faham dan dapat menerapkan etika kedokteran agar seorang dokter
menjadi dokter yang profesional. Baik etika terhadap tuhan, etika dokter terhadap pasien,
dan etika dokter terhadap teman sejawat.
2. Seorang dokter mampu menutupi aib/ permasalah pasien terhadap orang lain.
3. Seorang dokter mampu menyikapi pasien yang terkena HIV dan menggunakan narkoba
berdasarkan etika kedokterannya.
4. Dan seorang dokter dapat menghornati pasiennya, agar pasien merasa nyaman. Serta dapat
menenangkan pasien atau keluarganya agar dapat menerima diagnosis yang disimpulkan
oleh dokter.
Daftar Pustaka
Dion ett. 2008. Appreciative Inquiry : Melakukan Perubahan dengan Berfokus pada Kekuatan.
http://appreciative inquiry.com/html. Akses Oktober 2008