Anda di halaman 1dari 7

Pengantin Kertas

Hari ini banyak orang bersuka. Katanya, mereka merayakan cinta. Banyak yang menanti dengan cemas,
kira-kira apa ya hadiah dari sang kekasih? Sebingkai cincin indah, sekotak tas yang kemarin mengerling
kita di etalasenya, atau cukup cokelat dan bercinta dengan hangat?

Semua itu membuat masing-masing sibuk memaknai perayaan ini, tapi tidak denganku.

Hari ini sebetulnya aku hanya ingin ada sebuah hati yang menemaniku, sepasang telinga yang tak lelah
mendengarku, jari-jari yang akan mengusap rambut dan mungkin tetes-tetes air mataku.

Aku kadang kekanak-kanakan untuk meniadakan tanggal ini di bulan Februari. Berharap Tuhan sedang
berpesta dan lupa memutar matahari. Tapi tidak ada yang lebih setia dari mentari, dia datang meski
kadang aku berharap berhentilah barang sehari.

Aku hanya rindu punya teman, ya cukup teman, yang akan duduk melewatkan senja hingga pekat
menutup sekitar kita, satu hari ini saja. Tapi tak pernah ada. Dan aku hanya menghibur diriku.

Temanku hanya sebatang lilin. Ah, tak tepat pula kusebut sebatang. Ia hanya sumbu yang berenang
dalam gelas dengan cairan berwarna di dalamnya. Tapi paling tidak ia nyala, dan mencoba
menghangatkan malam dinginku.

Tak ada hati, tak ada telinga, tak ada tangan. Aku hanya menatapnya, seolah mengajaknya bercerita:

"Hai, hari ini hanya kita berdua, tak saling kenal, tetapi aku akan tumpahi kamu dengan sejarah yang
ingin kubakar di atas nyalamu. Izinkan aku. Sekali ini saja. Malam ini saja.”

Mungkin begitu pintaku pada sumbu yang nyala itu. Dan selalu begitu yang aku lakukan.
Ini sudah tahun ke-16. Enam belas tahun, enam belas lilin. Cukuplah. Tapi sejarah itu tak pernah selalu
habis kubakar di atasnya. Selalu ada sisa yang kubawa pulang untuk aku bakar lagi tahun depan.

Bukan, teman, aku bukan sedang bercerita cemburuku pada pasangan muda yang tengah merayakan
kasih sayang itu. Mereka pantas merayakannya, untuk nanti bisa bercerita ke anak cucu bagaimana
Valentine mereka di zaman purba. Ini cerita yang aku ambil dari buku untuk anakku:

Baca Juga: Valentine dan Pelajaran Cintanya yang Membebaskan

14 Februari 2004

Aku duduk kaku di kursi tamu kelurahan itu. Tak tahu meski kutebak apa benak pak lurahku itu. Baru
sekali ini aku bertemu. Kalau tidak karena rencana pernikahan, mana mungkin aku mau meluangkan
waktu.

“Benar data-data ini asli?” tanyanya.

Matanya menyelidik, menatap kami, aku, dan ayahmu, lekat-lekat.

“Ya, benar. Ada yang salah, ya, Pak,” tanyaku. Padahal aku tahu kalau ia ragu-ragu. Mungkin memang
tidak meyakinkan dokumen yang dibawa ayahmu.

“Sepertinya bukan komputer, tapi mungkin beda tipe print-nya. Bisa jadi saya yang salah. Tapi lebih baik
buat surat pernyataan saja," ujarnya sambil menunjukkan bagian yang ia ragukan.

“Ah, masa sih, Pak, dapatnya seperti itu?” lanjut ayahmu.

Aku tak tahu bagaimana ia mendapatkan semua dokumen persyaratan itu. Bagian dia kuserahkan
padanya. Aku mengurus bagianku: vaksin di puskesmas, keterangan RT RW.
Aku di Yogya dan ia membuat semua kelengkapannya di Jawa Timur, kota masa kecilnya. Di sini pula
simbah buyutnya masih ada. Jadi aku memang tak tahu bagaimana ia menyiapkan semua dokumen itu.

“Pernah diajak ke sana?" Tiba-tiba saja Pak Lurah menanyakan pertanyaan yang tak kuduga.

“Hemmm, ya," jawabku tak yakin. Karena memang aku belum pernah ke sana, ke kota masa kecilnya.

Sejak awal kami tak yakin kapan pernikahan bisa dilangsungkan. Usiamu sudah tujuh bulan ketika itu.
Ayahmu selalu ragu menikah atau tidak.

***

Dibonceng ibu, aku diantar ke rumah Mas Agus, perias pengantin dari kampung sebelah. Dua kali datang.
Sore, ia tak di rumah, baru ketemu esok paginya.

“Tanggal berapa, mbak?” tanyanya gemulai pada ibuku.

Kamarnya 1,5 x 2 sumpek dengan baju-baju sewaan. Perabot dandan di tas-tas make up. Ada satu besar
dan beberapa yang kecil. Tumpukan album foto teronggok di pintu masuk kamar.

“Minta baju yang besar, ya, Mas. Tahu sendiri, kan, keadaannya?” kata ibuku sambil melihat ke arahku.

“Gak apa, mbak. Ada yang lain juga seperti ini kemarin,” balasnya.

“Baju warna biru, ya, Mas Agus, yang besar,” tambahku. Warna kesukaan ayahmu.
Esoknya, ia pun ke rumah membawakan beberapa ukuran baju, dekor untuk pelaminan. Ah, tepatnya
bukan pelaminan. Hanya dua sofa dijejer, dengan backdrop batik yang dicantelkan di keempat ujung
tembok kamar tamu rumah eyangmu.

Tenda dipasang di depan rumah. Kursi ditata. Mungkin tak sampai 200 jumlahnya, untuk tetangga kanan
kiri, supaya bisa bersantap sambil duduk.

Kalau di kampung, tidak ada standing party. Kalau tidak ada kursi, pasti akan dibilang, “Ora wangun”
(tidak layak).

Baca Juga: Refleksi Hari Valentine

Kalaupun bertepatan dengan saat orang lain memperingati kasih sayang, bukan maksud kami memilih
tanggal 14 Februari sebagai tanggal pernikahan. Sama sekali tak direncanakan. Karena memang semua
dokumen baru selesai sesaat sebelum tanggal ditentukan.

Pak Lurah dan Kepala KUA diboyong ke rumah. Ada satu asistennya, Tante Hesti, teman Bunda kerja,
bela-belain datang untuk menguatkan Bunda. Beberapa jam sebelum akad dimulai, ia baru datang,
dijemput Om kamu di Stasiun Tugu.

Bunda didandani Mas Agus. Wah, baju tidak muat. Harus disambung sedikit kain dan dipeniti agar tak
lepas. Untung tak kentara. Tetapi tetap saja kehamilan tujuh bulan tidak bisa disembunyikan dari mata.
Wajah bunda bulat, karena semakin gemuk.

Kain jarik yang dililitkan ke badan dan distagen, membuat sedikit sesak nafas. Aku hanya menggumam,
toh hanya sebentar. Mas Agus tak menunggu sepanjang prosesi.

“Masih harus rias yang lain,” ujarnya sambil menyalakan motornya. Lelaki yang kemayu itu melaju
dengan perangkat riasnya.

Kalau selama ini bisa kututupi perut besarku dengan daster gombrang, tentu tak bisa di acara ini. Akulah
yang menjadi bidadari. Akulah yang akan mereka perhatikan kini.
Ah, sudahlah. Aku tak terlalu peduli pandangan orang. Buatku, menyelamatkanmu jauh lebih berarti.
Dan pernikahan ini untuk menggenapi.

Orangtua ayah datang. Hanya yang perempuan, sendirian dari ujung pulau sana, ditemani tiga saudara
jauhnya yang tinggal di Yogya. Kami temui saudara ayahmu ini beberapa hari sebelum pernikahan.

Suaminya pelukis, istrinya ibu rumah tangga. Satu anak perempuan. Mereka tidak terlalu campuri
pernikahan ini, hidup lama di Yogya membuatnya mencoba maklum dalam diam.

“Ini istrimu, bukan?” ujar saudara perempuan.

“Heeemmm. Calon,” kata ayahmu.

Ia pun bercerita panjang lebar. Intinya satu: menjadi saksi pernikahan kami.

Mereka pun setuju. Nenek dan tiga saudara itu datang dengan kendaraan pinjaman. Kalau mereka resah
selama acara, itu karena jam 12.00 mobil pinjaman harus dikembalikan.

Akad baru saja dimulai. Latihan dulu. Penghulu mengajari kami untuk menghafal mana saja yang harus
diucapkan.

Baru separuh jalan, Bunda teringat ada Tante Hesti, yang datang dari jauh untuk menjadi saksi. Ia malah
ketiduran di kamar. Mencuci mata dan menukar baju, setelah itu baru keluar kamar.

Seperangkat alat salat dan sejumlah real yang jadi mas kawinnya. Deg-degan atau bahagia? Entahlah, aku
sudah lupa bagaimana perasaanku dulu.
Dan kini, teman, enam belas tahun telah berlalu, anakku belum pernah lihat foto-foto kami dulu. Belum
ia tahu bagaimana rupa ayahnya. Aku mungkin jahat. Tapi aku tidak tahu bagaimana mesti memberi
penjelasan. Ini lebih ketidaksiapanku, bukan dia.

Maafku untuk anakku. Bukan maksudku menghadiahi dia neraka di dunia ini. Tapi memang benar dia
yang aku perjuangkan untuk hidup. Aku tak peduli kesakitanku. Tak peduli laraku.

Setiap aku mengelus perut bulatku ketika hamil dulu, selalu aku daraskan doa: cinta kamu kekuatanku,
yang akan membantuku melewati gelap malam dan terik siang, mengabaikan lapar dan capek fisikku.

Aku juga minta untuk tak merasakan sakit waktu melahirkan. Aku tahu, aku tak bakal kuat. Karena aku
tahu, tak akan ada tangan yang akan memegangku kuat ketika aku memekik kesakitan. Tak ada tangan
yang akan mengusap peluhku yang berjatuhan. Tak akan ada tatapan yang menyemangatiku.

Aku sudah cerita ke kamu, ya, teman, betapa takutnya aku masuk ruang operasi yang hijau gelap itu. Aku
tak punya energi lagi untuk bertanya ke mana lelaki yang membuahiku dulu; apa yang dia lakukan saat
ini; kenapa meninggalkanku. Aku benar-benar tak mau berpikir itu sama sekali. Dan luka itu tetap ada
sampai saat ini.

Kalau kamu tanya, lalu lelaki seperti apa yang aku cari kini? Aku tidak akan pernah mencari. Meski
anakku sangat rindu membanggakan sosok ayah di mata teman-temannya, atau bermain bola
bersamanya, memanggulnya di kolam renang.

Kadang, ya, teman, mataku basah bercampur air kolam renang ketika melihat dia berteriak-teriak
gembira bermain bola atau terpeleset di air kolam.

Baca Juga: Valentine Itu tentang Perlawanan, Bukan Kasih Sayang

Kadang aku terharu juga saat mendorong kereta belanja dan dia berkata, "Bunda, aku yang pilihkan
belanja untuk Bunda, ya. Bunda tenang saja,” ujar anakku. Lalu tangan kecilnya akan memasukkan
barang-barang yang dia kira akan membuatku suka.
Dalam penat dan demam tingginya, ia akan tetap setia mengantarkan aku ke stasiun kereta atau ke
bandara; menunggu sampai kereta malamku lepas dari pandangan matanya.

"Bunda masuk dan duduk di kereta saja, jangan keluar-keluar lagi, nanti ketinggalan dan gak bisa kerja,”
begitu ia selalu khawatir kalau aku keluar lagi semenit dua menit untuk mencium dan membaui
tubuhnya.

Dia belum tahu, aku akan kehilangan bau tubuh itu untuk beberapa minggu ke depan. Bau yang sangat
aku rindukan.

Kalau tiba saat kunjunganku ke Yogya, dia akan menjemputku, tak peduli jam berapa pun itu. Dan ya
Tuhan, senyumnya saat pertama kali ketemu selalu menjadi senyum yang paling luar biasa untukku.
Senyum malu-malu yang akan melelehkan banyak hati perempuan di usia dewasanya nanti. Aku selalu
rindu senyum itu.

Teman, maaf sudah banyak membebani kamu dengan ceritaku. Aku hanya sedikit terusik setiap 14
Februari datang. Esok pagi, aku sudah baik-baik saja. Matahari selalu berhasil menghapus jejak
kegelisahan malamku, aku percaya itu.

Happy Valentine untuk kamu. Jaga cinta untuk kehidupanmu.

Ah, ini cerita pengantin kertas itu

Anda mungkin juga menyukai