Politik Hukum 3
Politik Hukum 3
MH
DAFTAR ISI
Bab I : Pendahuluan
Bab IV : Penutup
- Kesimpulan
Kata Pengantar
Otonomi Daerah adalah dalam upaya pelaksanaan roda Pemerintahan Pusat yang
memberikan wewenangnya kepada pemerintah daerah yaitu penyelenggaraan urusan pemerintah
oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) berdasarkan asas otonomi
dan tugas pembantu dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dam sistim dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesi (UUD 1945).
Undang-undang otonomi daerah sebelumnya adalah Undang Undang No. 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan, yang telah diganti karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman
yaitu dengan Undang Undang No. 32 Tahun 2004, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri segala urusan pemerintah daerah
dan segala kepentingan masyarakat daerah /setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagai penyelenggara Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Dimana Daerah
Otonomi, disebut daerah yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-
batas wilayah yang berwenang untuk mengatur, mengurus segala urusan Pemerintahan,
mengadakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan kepentingan masyarakat daerah/setempat
yang menurut prinsip dasar daerah itu sendiri yang berdasarkan aspirasi masyarakat yang tidak
boleh terlepas dari prinsip dasar dan sistim Pemerintahan Pusat yaitu Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Prinsip dasar tersebut tertuang dalam Pasal 2 : ayat (1). Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan
kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah, (2). Pemerintah daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah menurut asas otonomi
dan tugas pembantu, dan (3). Dasar pemikiran dan alur pikir dari penulis memilik judul
” Masalah-masalah Hukum Yang Timbul Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah ” adalah
bertujuan untuk dapat mengetahui sampai sejauh mana Undang-undang Otonomi Daerah efektif
dapat dijalankan dalam rangka melaksanakan amanat UUD 1945 dan dengan harapan semoga hasil
pemikiran penulis yang berupa makalah dapat bermanfaat bagi kalangan akademisi dan dikalangan
masyarakat Indonesia pada umumnya.
Penulis, 2010.
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Otonomi Daerah adalah dalam upaya pelaksanaan roda Pemerintahan Pusat yang
memberikan wewenangnya kepada pemerintah daerah yaitu penyelenggaraan urusan
pemerintah oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantu dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dan
sistim dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesi (UUD 1945). Dengan didasari oleh Undang-
Undang No. 32 Tahun 2004, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri segala urusan pemerintah daerah dan segala
kepentingan masyarakat daerah /setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagai penyelenggara Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Dimana Daerah
Otonomi, disebut daerah yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-
batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus segala urusan Pemerintahan,
Mengadakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan kepentingan masyarakat daerah/setempat
yang menurut prinsip dasar daerah itu sendiri yang berdasarkan aspirasi masyarakat yang tidak
boleh terlepas dari prinsip dasar dan sistim Pemerintahan Pusat yaitu Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Visi dan Misi dari Pemerintah Pusat didalam menjalankan Roda Pemerintahan adalah
untuk mengimplentasikan dalam bentuk realiasi pembangunan nasional yang merata dan
merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan
nasional yang termaktub dalam Pembukaan Undangundang Dasar 1945.
Terdapatnya kontribusi yang dapat diandalkan dalam menyumbang pertumbuhan
ekonomi dan sumber devisa serta modal pembangunan adalah dari sumberdaya alam, dapat
dikatakan bahwa sumberdaya alam mempunyai peranan penting dalam perekonomian
Indonesia baik pada masa lalu, saat ini maupun masa mendatang sehingga, dalam
penerapannya harus memperhatikan apa yang telah disepakati dunia internasional. Namun
demikian, selain sumberdaya alam mendatangkan kontribusi besar bagi pembangunan, di lain
pihak dan keberlanjutan atas ketersediaannya sering diabaikan, begitu juga aturan yang
mestinya ditaati sebagai landasan melaksanakan pengelolaan suatu usaha dan atau kegiatan
mendukung pembangunan dari sektor ekonomi kurang diperhatikan, sehingga ada
kecenderungan terjadi penurunan daya dukung lingkungan dan menipisnya ketersediaan
sumberdaya alam yang ada serta penurunan kualitas lingkungan hidup. Pengelolaan
sumberdaya alam1 dan lingkungan hidup.
Dalam pelaksanaan pembangunan di era Otonomi Daerah, yang tidak terlepas dari
masalah pengelolaan lingkungan hidup (Undang-undang No 23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup) dan juga Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah serta Undang-undang No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah. Dalam melaksanakan kewenangannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah No 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi
sebagai Daerah Otonom. Dalam pengelolaan lingkungan hidup Pemerintah Propinsi
mempunyai 6 kewenangan terutama menangani lintas Kabupaten/Kota, sehingga titik berat
penanganan pengelolaan lingkungan hidup ada di Kabupaten/ Kota. 2
Dalam surat edaran Menteri Dalam Negeri 3 No 045/560 tanggal 24 Mei 2002 tentang
pengakuan Kewenangan/Positif List terdapat 79 Kewenangan dalam bidang lingkungan hidup.
Sejalan dengan lajunya pembangunan nasional yang dilaksanakan permasalahan lingkungan
hidup yang saat ini sering dihadapi adalah kerusakan lingkungan di sekitar areal pertambangan
yang berpotensi merusak lingkungan hidup dan adanya tumpang tindih penggunaan lahan
untuk pertambangan di hutan lindung. Dengan kata lain permasalahan lingkungan tidak
semakin ringan namun justru akan semakin berat, apalagi mengingat sumberdaya alam
dimanfaatkan untuk melaksanakan pembangunan yang bertujuan memenuhi dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.4
1
.Disertasi M. Solly lubis, Pengesaran garis politik dan perundang-undangan mengenai pemerintahan di Daerah dan
Garis besar pelaksanaaln di Sumatera Utara (USU Medan. 14 Desember 1983).
2.Tri Widodo W. Utomo. Otonomi dan Ancaman Otoritarianisme di Daerah. Artikel dalam Surat kabar Harian Kompas,
Jakarta. 01 April 2003.
3.Sumitro Maskun: Perpektif Dunia Usaha Dalam Era Otonomi Daerah, makalah dalam Seminar sehari di
selenggarakan lkatan Magister Manajemen, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 31 Maret 2001 di Medan.
2
3
4
. Dr. Syahrir: Kondisi ekonomi. prospek usaha dan Otonomi Daerah, disajikan dalam Seminar sehari Ikatan Alumi Magister manajemen
Universitar Sumatera Utara Medan, 31 Maret 2001.
Dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang berkelanjutan, sektor Sumberdaya
Alam dan Lingkungan Hidup perlu memperhatikan penjabaran lebih lanjut mandat yang
terkandung dari Program Pembangunan Nasional, yaitu pada dasarnya merupakan upaya untuk
mendayagunakan sumberdaya alam yang dipergunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran
rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup,
pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal serta
penataan ruang. Hasil KTT Pembangunan Berkelanjutan5 (World Summit on Sustainable
Development - WSSD) di Johannesburg Tahun 2002, 6 Indonesia aktif dalam membahas dan
berupaya mengatasi kemerosotan kualitas lingkungan hidup, maka diputuskan untuk
melaksanakan pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan generasi sekarang dan yang
akan datang dengan bersendikan pada pembangunan ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup
yang berimbang sebagai pilar-pilar yang saling tergantung dan memperkuat satu sama lain.
Dengan pemikiran latar belakang tersebut bahwa terlihat pada peraturan perundang-
undangan Otonomi Daerah sangat berkaitan erat dengan Peraturan perundang-undangan
lainnya seperti salah satunya undang-undang Lingkungan Hidup, yang mungkin saja terjadinya
benturan-benturan atau tumpang tindihnya kewenangan, seperti untuk memenuhi
perekonomian daerah, pemerintahan daerah mengijinkan untuk menggunakan sumber daya
alam yang ada tetapi tidak memperhatikan dampak-dampak negatifnya dan disisi lain peraturan
perundang-undang pencemaran lingkungan hidup sangat melarang untuk menggunakan sumber
daya alam yang dilakukan dengan cara-cara dan penataaan yang baik, contohnya penebangan
liar (terlihat jelas terjadinya benturan kewenangan pada lintas sektoral, yang mengakibatkan
salah satu perundang-undang tersebut menjadi mandul).
Tujuan dan maksud pembahahasan Otonomi Daerah adalah untuk mengetahui
sampai sejauh manakah Undang Undang No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi daerah dapat
efektif berjalan tanpa terjadinya benturan atau tumpang tindihnya kewenangan, baik dengan
Pemerintah Pusat atau dengan kewenangan lintas sektoral seperti perundang-undangan
lingkungan hidup. Gejalan-gejalan pergesekan dan tumpang tindihnya kewenangan atau
kebijakan tersebut harus dihindari sedini mungkin, agar realisai dan implemtasi dari peraturan
5.
Akhir-akhir ini, berkembang pula kecenderungan pihak legislatif untuk meningkatkan Anggaran Belanja, bukan untuk sebanyak
mungkin dikembalikan kepada masyarakat lewat pembangunan (public service), tetapi untuk meningkatkan honorarium sebagai anggota legislatif
daerah (melalui biaya rutin).
6.Harian Republika, Jakarta, Kamis 22 Mei 2003, halaman 3.
5
6
perindang-undang Otonomi Daerah benar-benar efektif dan sesuai dengan nilai-nilai dasar
yang luhur dari Pancasila dan UUD 1945. Jika masalah-masalah tersebut tidak dikaji dan
dianalisa dengan secara mendalam oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah serta
melakukan kajian lintas sektoral yang berkaitan dan berhubungan erat dengan peraturan
perundang-undangan Otonomi Daerah tersebut.
Dengan didasari oleh Kerangka teori dan konsep dari Politik Hukum tentang Otonomi
Daerah adalah sebagai berikut :
UUD 1945 Pasal 1 dan Pasal 18 :
” (1) Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik. (2) Kedaulatan adalah di tangan rakyat,
dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.”
Dan Pasal 18 tentang Pemerintahan Daerah : “ Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil,
dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan
mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-
daerah yang bersifat istimewa.”
UU Nomer 32 Tahun 2004, Pasal 2 tentang Pemerintahan Daerah :
” (1).Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi
atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah., (2).Pemerintahan daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembatuan dan (3) Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah,
dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah, serta
(4).Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan
dengan Pemerintah dan dengan pemerintahan daerah lainnya.” (Hilaire Barnett : “ Coustutionalisme is the
doctrine which governs the legitimacy of government action. By constituonalisme is meant - in relation to
constituons written and unwitten conformity with the broad philosophical values within a state.) ”7
Landasan Hukum Otonomi Daerah adalah Pancasila dan Undang Undang Dasar
1945 Republik Indonesia , yaitu 1. Pasal 1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B,
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22D, Pasal 23E ayat (2), Pasal 24A ayat (1), Pasal 31 ayat (4),
Pasal 33, dan Pasal 34, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3851), Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4286), 4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
7
. Hilaire Barmaett, BA,LL.M : Contituanal & Administrative Law, Convendish publishing limited. London, Sydney Fourth Edition,
hal. 5.
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4310);
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, penulis merumuskan Otonomi Daerah
yaitu : Apakah pemberlakuan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah
telah efektif dijalankan dan tidak mengalami tumpang tindih didalam mengimplementasikan
undang-undang tersebut ?
Berdasarkan asumsi sementara bahwa Undang-Undang No 32 Tahun 2004 terkesan
didalam implementasinya belum terealisasi dengan sebaik-baiknya, terlihat bahwa undang-
undang terhadap segala kewenangan maupun kebijakannya, mengakibatkan timbulnya
pertentangan dengan undang-undang Lingkungan hidup.8 Mengapa demikian ? Dengan melihat
dari satu sisi pasal-pasal undang-undang Lingkungan Hidup melarang untuk melakukan
penebangan liar dan melakukan pencemaran terhadap Sumber Daya Alam dan disatu sisi yang
lain undang-undang Otonomi Daerah memberi ijin olehkan penebangan terhadap hutan-hutan
lindung dan pencemaran terhadap Sumber Daya Alam atau seakan-akan tidak mau tahu.
Dimana terkesana terjadinya Tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan yang terjadi
pada lintas sektoral dan belum lagi dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait,
seperti bidang pertanahan yang dibawah penguasaan Pemerintah Daerah.
Bab II
Otonomi Daerah
8
. R. Otje Salman, Sosiologi Hukum : Suatu Pengantar, (Bandung : Penerbi CV, Armico, 1992), hal.13.
A.. Pengertian Otonomi Daerah
Pemerintahan daerah/otonomi daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintah daerah adalah terdiri dari Gubernur, Bupati, atau
Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah dan dalam
Pemerintahan Daerah terdapat pula Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yaitu suatu
lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan daerah otonom tersebut
adalah merupakan daerah kesatuan masyarakat hukum 9 yang mempunyai batas-batas
wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat10 dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan berdasarkan sistim Desentralisasi adalah dimana penyerahan wewenang
pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan sistim
Dekonsentrasi yaitu berupa pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah
kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan kepada instansi vertikal di wilayah
tertentu. Didalam tugasnya Pemerintah Daerah membantu Pemerintah Pusat untuk
melaksanakan tugas tertentu pemerintahan daerah, dengan mempunyai kewenangan membuat
Peraturan daerah (Perda) yang merupakan peraturan daerah provinsi atau peraturan daerah
kabupaten/kota. 11
Dalam hal perimbangan keuangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah adalah
suatu sistim pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan
9
.Ronny Hanitijo Soemitro, Beberapa Masalah Dalam Studi Hukum dan Masyarakat, (Bandung, Remadja Karya, 198), hal.53.
10. Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum (suatu Kajian Filosofi dan Sosiologis, Gunung Agung, Jakata, 2002, hal. 88.
11. W ignjodipoero, Soerojo.Pengantar dan Asas-Asas Hukum Ada (Jakarta : CV.Haji Masagung, 1983), hal.76-77.
10
11
bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan
mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah serta besaran pendanaan
penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan
Sebagaimana telah penulis jelaskan diatas, dimana ruang lingkup dari Otonomi Daerah
adalah kewenangan penuh yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah
untuk mengurus dan membangun Daerahnya12 dengan perimbangan keuangannya yaitu
berdasarkan suatu sistim pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis,
transparan, dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan
desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah serta
besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan tersebut.
Dimana maksud dari Otonomi Daerah adalah dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang di amanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dimana pemerintahan daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan
untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat13 melalui peningkatan, pelayanan,
pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu
daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam arti dimana segala kebijakan
internal dari Pemerintahan Daerah tersebut harus dikelola sepenuhnya untuk kepentingan
daerahnya dengan berdasarkan segala kebijakan yang berupa peraturan daerah baik peraturan
Geburnur, peraturan Bupati maupun peraturan Wali Kota, dimana kebijakan-kebijakan yang
telah diberlakukan tersebut tidak boleh terjadi tumpang tindihnya antar kebijakan dengan
Kebijakan eksternal yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan berlaku secara universal,
mengingat kebijakan Pemerintah Pusat sebagai pelaksana roda pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Tujuan dari Otonomi Daerah14 adalah untuk mencapai efisiensi dan efektivitas
didalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang sangat perlu ditingkatkan dengan
12
. Ronny Hanitijo Soemitro, Beberapa Masalah Dalam Studi Hukum dan Masyarakat, (Bandung, Remadja Karya, 198), hal.53.
13. Soerjono Soekanto dan Mustapa Abdullah, Hukum Adat Indonesia. (Jakarta : Rajawali Press, 1983), hal.193
13
kearah yang lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar
pemerintahan. daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan
global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan
pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah, perekonomian daerah, keuangan
daerah dan keamanan daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan Negara
Kesatauan Republik Indonesia (NKRI).15 Tercapainya efisiensi dan efektifitas dari otonomi
daerah adalah untuk meringankan beban kerja Pemerintah Pusat, agar segala pengaturan
mengenai pelaksanaan roda pemerintahan daerah terutama dibidang perekonomian, keuangan
keamanan daerah dan Pilkada dapat terealisasi dan terpeliharan oleh masing-masing
Pemerintahan daerah telah diberi kewenangan oleh Pemerintah Pusat untuk melakukan
pembangunan nasional seutuhnya.
Bab III
PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
14
. Richard Seymour is an MA graduate from the Department of Geography, University of Otago, Dunedin,
New Zealand. His thesis focused on regional autonomy and the impacts of political decentralisation on local populations
in Indonesia.
15.Sarah Turner (turner@geog.mcgill.ca) is Assistant Professor at the Department of Geography, McGill
University, Montreal, Canada. Her research focuses on how small scale entrepreneurs, street traders and market traders in
Southeast Asia, specifically those in Indonesia and Vietnam, make a livelihood.
15
Dengan dilandasi oleh Undang Undang Dasar 1945 dan Undang Undang Nomer 32
tahun 2004, dimana pelaksanaan Otonomi Daerah direfleksikan oleh Pemerintah Pusat terhadap
daerah-daerah diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka pemenuhan
keinginan dari Undang Undang Dasar 1945.
A. Hubungan Hukum antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Dalam Pasal 33 UUD 1945 yang memberikan pesan dan amanat kebijakan
(political messages)16 mengenai format perekonomian nasional (disusun sebagai usaha
bersama di antara semua aktor ekonomi) berdasarkan asas kekeluargaan (brotherhood, bukan
family relationship), bukan gronyisme juga amanat supaya kekayaan alam tanah air ini
dikelola dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (bukan secara oligarkis
dan kroniisme), Bahkan supaya fakir miskin dan yatim piatu sebagai kaum lemah beserta
kaum-kaum lemah lainnya, terutama dalam hal kehidupan sehari-hari. Juga dalam hukum
pemerintahan dan kesempatan kerja dan berusaha, ternyata tidak konsekwen dan konsisten
dijadikan sebagai acuan dan referensi konsitusional dalam praktek, kecuali lebih banyak
retorika politis lewat GBHN.
Pada hakekatnya, deviasi dan penyimpangan konstitusional 17 yang terjadi selama
inilah yang harus dikembalikan ke koridor sistim hukum yang sebenarnya, satu upaya besar
rekonstitusionalisasi dalam rangka mencari format konsititusionalisme yang baru bagi
bangsa Indonesia. Dapat prediksi yaitu selama masalah dan kepentingan yang standar dan
prinsipal ini belum terpecahkan dan terselesaikan, maka sistim politik dan sistim
perekonomian berikut sistem dan sub-sub sistim lainnya tidak akan kunjung mendapat
format dan profilnya yang baru yang dinilai memenuhi keinginan masyarakat banyak dan
luas, khususnya bagi Bangsa Indonesia.
16
. In 1947, in a Dutch effort to regain control over parts of Indonesia, Indonesia adopted a Federal system of government and until 1950
was known as Republic of the United States of Indonesia (RUSI). According to Sadli (2000), Dutch involvement in that federal attempt is one reason why
many nationalists within the central government do not support significant autonomy for the regions.
17.The new laws apply to all Indonesian provinces except Aceh and Papua (former Irian Jaya). These two provinces have been granted
‘special autonomy’ because of the strong independence movements in both. Although the details of what special autonomy will consist of remain
hazy, it is likely that a strong military presence will be a condition of any autonomy they do receive.
17
Suatu kebijakan tanpa kemasan (package of policy)18 yang rapi dan terpadu, dapat terjadi
bahwa daerah-daerah hanya sekedar lahan dan objek (sasaran) dan tidak turut sebagai subjek
dan aktor aktif dalam kerjasama nasional regional dan global. Dengan melalui pemikiran
politis-strategis, kita sadar sepenuhnya bahwa Pemerintahan kita tidak mampu sendirian untuk
membiayai pembangunan nasional perekonomian misalnya, oleh karenanya tak dapat tidak
harus dirangkul potensi sektor swasta (private sectors)19 untuk mendukung beban ini,
(domestic and foreign) setidak-tidaknya melalui penanaman modal dan pengembangan usaha
di sektor pertanian dan perindustrian, lalu kemudian kita akan mengekspor barang jadi dan
setengah jadi ke luar, kita peroleh devisa, lalu kita pergunakan via APBN dan APBD untuk
membiayai proyek-proyek pembangunan Indonesia. Dalam konteks kebijakan yang demikian
dengan perundang-undangan yang mendukung kemudian di terapkannya deregulasi dan
debirokratisasi secara paradigmatik untuk melancarkan proses administrasi buat melayani para
penanam modal (domestic and foreign invertors) juga untuk menarik minat untuk
beroperasi di wilayah dan lahan-lahan Negara Indonesia
Di dalam negara kesatuan, sering muncul isu kepentingan nasional yang dipertentangkan
dengan kepentingan daerah. Dalam konteks ini, pemerintahan Pusat adalah pembela utama
kepentingan nasional. Pemerintahan Pusat bertanggung jawab terhadap pelaksanaan tugas-
tugas pemerintahan dan pembangunan pada tingkat nasional. Sebelum semuanya dimulai,
harus lebih dulu di redakan gonjangganjing politik dan kekuasaan yang lagi berkobar secara
sentral di tanah air ini. Baru kemudian, duduk bersama dengan pikiran yang jernih dan
ideaf-futuristik, untuk memikirkan format konsitutisionalisme yang dipanjang pas dan
cocok untuk masa depan Bangsa Indonesia.
Bagi Pemerintahan (Pusat) sumber-sumber kekayaan yang ada di daerah-daerah adalah
bagian yang amat penting bagi penghasilan nasional, karena pertambangan, industri,
pertanian, kehutanan dan berbagai bentuk badan usaha di daerah. Menurut kacamata
Pemerintahan (Pusat) sumber kekayaan yang berasal dari suatu daerah adalah milik nasional
yang dihasilkan oleh suatu Daerah tidak bisa hanya digunakan untuk kepentingan daerah
bersangkutan. Asas pemerintahan merupakan salah satu pedoman kerja Pemerintahan (Pusat)
18
. Declines in investments from overseas companies have already been noted due to the proliferation of such regional laws. In
response, the Ministry of Finance is now planning to revoke at least 80 of them (Kearney, 2002).
19. Such concerns have been voiced by Mandarese, a major ethnic group in the western part of South Sulawesi, who have not gained
one of the 24 seats on the local council, and are now calling for a province of their own (Anggraeni, 2001).
19
sehingga sumbar kekayaan yang ada di daerah tertentu dibagikan pula ke daerah-daerah lain.
Akibatnya, kekayaan suatu daerah tidak dapat dinikmati sendirian oleh Daerah penghasil
kekayaan alam tersebut.
Dan sebaliknya, pemerintah daerah lebih menekankan pada kepentingan daerah dan
dalam pandangan Pemerintah Daerah bahwa sumber-sumber kekayaan yang ada di
daerahnya sering kali dianggap bisa dimanfaatkan untuk kepentingan daerah dan rakyat
daerah itu sendiri. Terutama jika daerah bersangkutan masih terbelakang dan miskin, maka
semakin besar pula tuntutan agar supaya sumber-sumber kekayaan yang ada di daerahnya dapat
digunakan pertama-tama untuk memenuhi kebutuhan pemerintahan dan rakyat di daerah
tersebut.
Sebagai jawaban yang paling utama, harus dimulai untuk menata kembali “hubungan
kekuasaan dan hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah” secara nasional melalui
Undang-Undang yaitu Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dan
kemudian disusul dengan petunjuk pelaksanaan (juklak) yang diatur melalui
Peraturan Pemerintahan (PP).
Yang menjadi pertanyaan, adalah sejauh mana konsensus nasional dapat dicapai sebagai
political will, yang akan menjadi landasan politis srategis buat menata hubungan antara
Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah yaitu hubungan dalam suatu aspek
keadministrasian negara, yang tak dapat dihindari baik dalam konteks Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Dengan forum diskusi mengenai amandemen pasal-pasal UUD 1945,
masalah Pemerintah Daerah dengan masalah Otonomi ini adalah termasuk masalah yang
rentan dan prinsipil. Sampai hari ini belum ada kata-akhir mengenai persoalan akan
dibagaimanakan masalah otonomi daerah ini untuk keperluan di masa yang akan datang.
Disamping mengakui beberapa kebaikannya saya melihat kehadiran UU Nomer. 32 tahun
2004 yang harus lebih disempurnakan sesuai dengan perkembangan jaman.
Karena UU Nomer 32 Tahun 2004, merupakan sebagai acuan yuridis untuk menata
ulang pemerintahan dan pembangunan di daerah, pembangunan di bidang perekonomiannya
termasuk dunia usaha yang dinilai kondusif untuk pengembangan daerah-daerah di
Indonesia. Dengan demikian jelaslah hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah
Daerah sangat erat sekali, dan saling membutuhkan baik secara administrative keuangan
maupun perekonomian Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah yang harus harmonis dan
sejalan dengan apa yang diamantkan oleh Undang Undang Dasar 1945.
C. Masalah-masalah Kewenangan
Sebagaimana penulis telah jelaskan diatas, dimana timbul berbagai masalah-masalah
kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terutama di bidang pengelolaan
pendapatan daerah.
c.1. Masalah kewenangan berdasarkan faktor Internal.
Penafsiran terhadap pasal 4 UU No. 32 tahun 2004. Dalam praktek pelaksanaan
UU No. 32 tahun 2004 yang ternyata dapat memberikan tafsiran dalam arti sempit,
sehingga menimbulkan konflik antara Pemerintah Propinsi dengan Kabupaten / Kota dan
sebaliknya antara Kabupaten dengan Kabupaten, dan juga antara Kabupaten dengan
Kota dalam wilayah yang berhampiran. Apabila dicermati pada UU No. 32 tahun 2004
yang menyatakan bahwa Daerah Propinsi. Daerah Kabupaten / Kota masing- masing
berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarkhi satu sama lain.
Dalam hal pembagian Wilayah Daerah Khususnya Wilayah Laut, dimana dalam
implementasinya, seharusnya diterbitkan peraturan pelaksanaannya (organieke
verordening, mungkin berupa PP atau Keppres), sehingga pelaksanaannya dapat berjalan
dengan baik dan benar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pedoman Perangkat Daerah, tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom kiranya memerlukan aturan
pelaksanaannya untuk menjadi pedoman mengenai standard dan norma berupa petunjuk
dan arahan dari Menteri yang terkait. Dalam kenyataannya pengintegrasian tersebut
lebih didominasi atas pengalihan status PNS, personil dan beberapa aset serta sebagian
kewenangan yang dinilai dapat dilaksanakan Propinsi.
Sumber penerimaan, khususnya PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak).
Menurut pengamatan dan pengalaman, pelaksanaan UU No. 22 tahun 1997 tentang
Penerimaan Negara bukan Pajak (PNBP) juncto PP No. 22 tahun 1997 tentang
Penyetoran dan Jenis-Jenis PNBP, berarti PP ini diharapkan menjadi semacam lex
specialis (aturan khusus). Sedangkan dalam pelaksanaannya. ternyata pengaturan
kewenangan secara teknis diterbitkan (SE, Surat Edaran) dan Keputusan Mentri terkait,
yang difasilitasi oleh Keputusan Menteri Dalam Negeri. Sedangkan di sisi lain Undang-
Uundang maupun Peraturan Pemerintah mengenai penyerahan kewenangan
pengelolaan PNBP kepada Daerah sama sekali belum diterbitkan, sehingga menimbulkan
keraguan, baik bagi Pemerintah Propinsi maupun Kabupaten / Kota. Dalam praktek, untuk
mengatasi keraguan yang berkepanjangan itu, maka dengan berpegang pada petunjuk
Menteri “terkait” baik berupa Keputusan maupun Surat Edaran, beberapa Daerah
memberanikan diri menerbitkan Peranan Daerah (Perda) tentang pengelolaan
kewenangan tersebut yang berkaitan dengan “Objek pungutan daerah”.
Untuk Propinsi sudah ditetapkan secara Limitatif (berarti tidak dapat
menetapkan jenis Pajak lain), sedangkan Pajak Kabupaten / Kota masih dapat
menetapkan jenis Pajak Baru selain dari yang telah ditetapkan, sesuai dengan potensi
dan kriteria yaing sudah ditentukan. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, dilanjutkan melalui PP No. 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah, maka Pajak
Propinsi bagi hasilnya kepada Kabupaten/ Kota yang di kelolakan dengan memperhatikan
aspek potensi dan aspek pemerataan. Itu berarti, tidak sepenuhnya hasil penerimaan
Pajak Propinsi dapat dimanfaatkan Propinsi dalam APBD-nya untuk membiayai
penyelenggaraan Pemerintahan, pelaksanaan Pembangunan dan pelayanan kepada
masyarakat. Sedangkan disisi lain, Kabupaten / Kota , selain dapat memanfaatkan
sepenuhnya penerimaan yang dikelolanya, juga dapat pula memanfaatkan dana perolehan
penerimaan bagi hasil Pajak Propinsi dalam APBD Kabupaten / Kota itu.
Dihubungkan dengan ketentuan hukum mengenai penyerahan jenis-jenis kepada
daerah, perlu kepastian hukum (rechts zekerheid) sebagai pedoman bagi propinsi maupun
Kabupaten / Kota, supaya tidak terkesan adanya “tarik menarik” diantara instansi-
instansi itu, dan terlihatnya duplikasi mengenai “objek penerimaan pungutan” yang
sama, yang membingungkan para “subjek membayar PNBP” itu sendiri.
c.2. Masalah kewenangan berdasarkan faktor Eksternal.
Dimana UU No. 32 tahun 2004 ditinjau berdasarkan factor eksternal terdapatnya
bermasalahan kewenangan Pemerintah Pusat yang telah dibatasi oleh undang-undang
tersebut, yang sehingga menimbulkan konflik kewenangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah, terutama didalam hal pendapatan keuangan daerah. Dimana
Program Pemerintah Pusat untuk menarik anggaran pendapatan daerah yang
mempunyai pendapatan yang surplus dan kemudian dikumpulkan untuk dibagikan pada
daerah-daerah yang minus dalam rangka pemeretaan pembangunan dan pemekaran
wilayah di Indonesia. Begitu pula terhadap permasalahan pembagian Wilayah Daerah
yang khususnya Wilayah Laut, dimana pada implementasinya, Pemerintah Pusat tidak
dapat berbuat banyak terhadap wilayah laut, didalam hal pengelolaan wilayah laut dan
pelestarian lingkungan hidup, yang sehingga menimbulkan tari-menariknya kewenangan
antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, dimana pengawasan Pemerintah
Pusat pada kawasan wilayah laut tidak dapat berjalan dengan sebaik-baiknya karena
terhadang oleh kewenangan Otonomi Pemereintah Daerah tersebut.
Tarik menarik kewenangan secara factor eksternal yaitu antara Pemerintah Pusat
dengan Pemerintah Daerah diberbagai sector, mengakibatkan segala kebijakan
Pemerintah Pusat tidak dapat berjalan dengan sebagi-baiknya, karena daerah otonom ini
merasa telah mutlak untuk menguasai seutuhnya kekayaan alam yang berupa Sumber
Daya Manusia dan Sumber daya alam untuk digunakan dalam penembangan dan
pembangunan dareahnya sendiri.
Kewenangan Pemerintah Pusat mengenai “Pertanahan” sudah tidak dimiliki
secara seutuhnya karena telah diserahkan kepada Pemerintahan Daerah yang wajib
dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum,
kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industeri, dan
perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga
kerja dan Mengadakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Dengan demikian
kewenangan Pemerintah Pusat secara factor eksternal sudah dipersempit dengan adanya
undang-undang otonomi daerah. Pemerintah Pusat tidak dapat melakukan pengawasan
secara dekat terhadap asset Negara yaitu kawasan laut, kepulaun dan pertanahan karena
semuanya sudah dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah berdasrkan sistim Otonomi
daerah tersebut.
c.3 Tumpang tindihnya Peraturan Perundang-undangan. Pemerintah Pusat dengan
Pemerintah Daerah.
Dilihat dari kebijakan dasar dan kebijakan pemberlakuan peraturan perundang-
undang Otonomi Daerah, dimana Pemerintah Pusat sebagai pelaksana jalan roda
pemerintahan sesuai dengan amanat dari UUD 1945 yaitu didalam melaksanakan
pemeretaan pembagunan didaerah-daerah tidak tercapai dengan sempurna, mengingat
dengan berlakuknya undang-undang otonomi daerah tersebut, Pemerintah Daerah diberi
kewenangan Otonomi untuk mengurus daerahnya sendiri. Dari proyeksi inilah maka
terkesan Pemerintah Pusat hanya menerima hasilnya dari Pemerintah Daerah, akan tetapi
dalam hal kewenangan pengawasan seperti kawasan laut dan pertanahan Pemerintah
Pusat tidak dapat berbuat banyak.
Apalagi terhadap lintas sektoral seperti peraturan Menteri Lingkungan Hidup,
yang melarang untuk melakukan penebangan liar dan pencemaran lingkungan hidup, di
satu sisi Peraturan Daerah membolehkan melakukan penebangan hutan lindung dan
dampak pencemarannya tidak diperhatikan oleh Pemerintahan Daerah, dengan dalih
karena investasi daerah dan merupakan sumber pemasukan keuangan daerah. Yang
menjadi permasalah yang paling pripsip adalah jika terjadi bencana alam, Pemerintah
Daerah berdalih bahwa dalam masalah bencana alama merupakan kepentingan nasional
dengan demikian Pemerintah Pusat yang bertanggung jawab terhadap permasalahan
tersebut. Atas dasar segala permasalahan tersebut, maka perlunya ada juklak atau Kepres
atau peraturan sejenisnya untuk menengahi dan memberi jalan pemecahan agar tidak
terjadi lagi tumpang tindih kewenangan, tarik-menariknya kewenangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tersebut
- Kesimpulan
Azfar, O., Kahkonen, S., Lanyi, A., Meagher, P., and Rutherford, D. 1999: Decentralization,
Governance and Public Services. The Impact of Institutional Arrangements. A Review of the
Literature. IRIS Centre, University of Maryland, College Park.
Anggraeni, D. 2001: Evaluating the Regional Autonomy Policy. Opinion. Jakarta Post, 17/7/01.
Antlov, H. 1999: Civil Society, Good Governance and Participatory Democracy. Paper presented
at the ‘Centre for Regional Autonomy Development workshop’. Cibago, August, 1999.
Alm. J., Aten, R. and Bahl, R. 2001: Can Indonesia Decentralise Successfully? Plans, Problems
and Prospects. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 37, 83-102.
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum (suatu Kajian Filosofi dan Sosiologis, Gunung Agung, Jakata,
2002.
AM. Saefuddin, Ekonomi dan Masyarakat dalam Presfektif Islam, (jakarta : Rajawali, 1987).
Bourchier, D. 2000: Habibie’ s Interregnum: Reformasi, Elections, Regionalism and the Struggle for
Power. In Manning, C. and van Diermen, P., Editors, Indonesia in Transition. Social
Aspects of Reformasi and Crisis. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 15-37.
Brodjonegoro, B. and Asunama, S. 2000: Regional Autonomy and Fiscal Decentralization in
Democratic Indonesia. Unpublished paper, University of Jakarta.
Baswir, 2000: Cited in ‘Regional autonomy policy may end in chaos’, Jakarta Post, 2 1/12/00.
Blair, H. 2000: Participation and Accountability at the Periphery: Democratic Local Governance in
Six countries. World Development, 28, 21-39.
Bossuyt, J. and Gould, J. 2000: Decentralisation and Poverty Reduction: Elaborating the
Linkages. Policy Management Brief No. 12. Maastricht: ECDPM. On-line:
http://www.oneworld.org/ecdpm/pmb/b12 gb .htm
Caragata,W.2001:Autonomy’sLosers.Asiaweek,18/5/01.Online:http://www.asiaweek.com/
asiaweek/magazine/nations/0,8782,109281,0
0.html.
Cohen, M. 2000: Chorus of Discontent. Far Eastern Economic Review, 17/02/00, 24-25.
Crook, R. and Manor, J. 1994: Enhancing Participation and Institutional Performance:
Democratic Decentralisation in South Asia and West Africa. London: Overseas Development
Administration.
Down to Earth, 2001: Rio Tinto Gold Mine Opposed by People of Poboya. Down to Earth Report,
20/03/01.
Engineering Interpretation diambil dari Bab VII buku Rocoe Pound yang berjudul : Interpretation
of Legal History. (USA : Holmes Heach, Plorida, 1986).
Eaton, K. 2001: Political Obstacles to Decentralization. Evidence from Argentina and the
Philippines. Development and Change, 32, 10 1-128.
Frans Magnis Suso, Etika Dasa Masalah-masalah Pokok Filsaat Moral, (Yogyakarta, 1985).
Forrester, G. 1999: A Jakarta diary, May 1998. In Forrester, G. and May, R., editors, The Fall of
Soeharto. Singapore: Select Books Pte Ltd, 24-69.
Geert, Hartz, Cunningham, Turner, dan Levi Strauss, Struktur Sosial, Agama dan Upacara, dikutip
dari www.yahoo.co. Tgl 23 Oktober 2004.
German Technical Cooperation, 2000: Capacity Building for Local Governance. A Framework
for Government Action and Donor Support. Draft #2. On-line:
www.gtzsfdm.or.id/capacity/cb_index.htm, Report No. WD07.
Hill, H. 1999: The Indonesian Economy in Crisis. Causes, Consequences and Lessons. Allen and
Unwin, Australia.
Hutchcroft, P. 2001: Centralization and Decentralization in Administration and Politics: Assessing
Territorial Dimension in Authority and Power. Governance, 14, 23-53.
HLA. Hart, Th Consept of Law, (londn : Oxford University Pes, 1961).
Indonesia Forum Foundation, Office of Transitional Initiatives, 2000: Executive Report on
Findings of the Study on Establishing Regional Decentralization in Indonesia/E .R
.D .I. National Conference on Regional Autonomy. 15 January - 15 May.
Indonesian Observer, 4/10/00: ‘Regions learning streamlined administration’. Islam, I. 1999:
Regional Decentralisation in Indonesia: Towards a Social Accord. Working paper
99/01. Jakarta: United Nations Support Facilityfor Indonesian Recovery.
Jakarta Post, 30/10/00: ‘Central Government must control foreign mining investment’.
Kahin, A. 1994: Regionalism and Decentralisation. In Bourchier, D. and Legg, J., Editors,
Democracy in Indonesia. 1950s and 1990s. Victoria, Australia: Centre of Southeast Asian
Studies, Monash University, 204- 213.
Kearney, M. 2002: New Local Taxes Hurting Indonesia’s Economy. The Straits Times, 7/4/02.
Kirana Jaya, W. and H. Dick, 2001: The Latest Crisis of Regional Autonomy in Historical
Perspective. In Lloyd, G. and Smith, S., Editors, Indonesia Today: Challenges of History.
Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 216-228.
Livingstone, I. and Charlton, R. 2001: Financing Decentralized Development in a Low-Income
Government in Uganda. Development and Change 32, 77-100.
Muhammad –Hufy, Ahmad, Akhlak Nabi Muhammad SAW : Keluhuran dan Kemuliaan. (jakarta :
Bulan Bintang, 1987), h. 15. Bandingkan uraian, Ahmadamin, Etika (Ilmu Akhlak),
( Jakarta : Bulan Bintang, 1987).
Petromindo, 2000: Mining industry anxiously anticipating decentralization era. Pertromindo .com,
27/11/00.
Podger, O. 2001: Regions know what to do to develop themselves. Opinion. Jakarta Post, 29/3/01.
Prasetyo, P. 2000: Personal communications, 3 1/3/00.
Rondinelli, D. 1990: Decentralization, Territorial Power and the State: A Critical Response.
Development and Change 21, 491-500.
Rondinelli, D. and Cheema, G. 1983: Implementing Decentralization policies. In Cheema, G.
and Rondinelli, D., Editors, Decentralization andDevelopment. Policy
Implementation in Developing Countries. California: SAGE Publications, 9-14.
Ronny Hanitijo Soemitro, Beberapa Masalah Dalam Studi Hukum dan Masyarakat, (Bandung,
Remadja Karya, 198).
R. Otje Salman, Sosiologi Hukum : Suatu Pengantar, (Bandung : Penerbi CV, Armico, 1992).
Republik Indonesia, Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang “Otonomi Daearh.”
Republik Indonesia Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang “Pemerintahan Daerah.”
[Republic of Indonesia Law Number 22, 1999 regarding ‘Regional Governance’].-sudah
tidak berlaku lagi.
Republik Indonesia, Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang “Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.”
Schwarz, A. 2000: A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s. New South Wales: Allen and
Unwin.
Siegel, J. 1998 ‘Early Thoughts on the Violence of May 13 and 14, 1998 in Jakarta’, Indonesia,
vol. 66, October, pp. 76-100.
Slater, D. 1989: Territorial Power and the Peripheral State: The issue of Decentralisation,
Development and Change, 20(3), 501-531.
1990: Debating Decentralisation–A Reply to Rondinelli, Development and
Change, 21, 501-512.
Sarjono Soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum. (Bandung : Penrit : PT.Citra Aditya Bakti, 1989).
Soejono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhdap Masalah-Masalah Sosial, Penerbit
umni, Bandung, 1981.
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (bandung, Aumni, 1982).
Soerjono Soekanto dan Mustapa Abdullah, Hukum Adat Indonesia. (Jakarta : Rajawali Press,
1983).
Sadli, M. 2000: Establishing Regional Autonomy in Indonesia. The State of the Debate. Paper
presented at the University of Leiden, Holland, 15- 16 May.
Samoff, J. 1990: Decentralisation: The Politics of Interventionism, Development and
Change, 21, 513-530.
Suharyo, W. 2000: Voices from the Regions: A Participatory Assessment of the New
Decentralization Laws in Indonesia. Report prepared for the United Nations Support Facility
for Indonesian Recovery, Jakarta.
Suryahadi, A., Sumarto, S., Suharso, Y., and Pritchett, L., 2000: The Evolution of Poverty
during the Crisis in Indonesia, 1996 to 1999. A research working paper. Jakarta: Social
Monitoring and Early Response Unit (SMERU).
Turner, S. and Seymour, R., 2002: Ethnic Chinese and the Indonesian Crisis.In R. Starrs,
Editor, Nations under Siege: Globalisation and Nationalism in Asia. New York,
Palgrave, MacMillian Press, pp.169- 194.
Wignjodipoero, Soerojo.Pengantar dan Asas-Asas Hukum Ada (Jakarta : CV.Haji Masagung,
1983).