Anda di halaman 1dari 5

Definisi takdir bagi setiap orang mungkin berbeda-beda.

Ada yang bilang, takdir


adalah suatu ketentuan dan telah digariskan oleh Tuhan sejak lahir. Ada juga
pendapat bahwa takdir adalah sesuatu yang sejatinya kau dapatkan sesuai dengan
apa yang kau tekadkan. Tapi, menurutku, takdir itu rahasia. Kita tak pernah tahu,
bahwa apa saja yang akan kita lalui dan kita jumpai, baik itu bagus atau tidak,
itulah takdir.

Sepertinya takdirku telah tampak. Menampilkan eksistensinya sedikit demi sedikit.


Dengan jalan paling mencengangkan!

▶▶▶

"Aaah, segarnya!" Hyun Joong mengarahkan kepalanya pada hamparan rerumputan


dimana ia dan rekan kerjanya—lebih tepatnya, roommate semasa trainee hingga
sekarang, mengadakan sesi foto untuk peluncuran album ketiga mereka. Hyun
Joong—biasa dipanggil Hyung, menikmati kegiatan mendadaknya dengan senang
hati.

"Hei, Hyung! Kenapa pula kau senyum seperti orang gila, ha?! Kau pikir kita disini
untuk memuaskan kesenanganmu, begitu?" Tae-il menatap sinis pada Hyung.

"Jangan marah-marah begitu, Taetae! Lagian, Hyung jarang bersenang-senang


seperti sekarang. Ia selalu saja sibuk menari dan konser. Wajar saja ia kangen udara
segar." Ujar Donghae, yang paling tua di antara semua anggota boyband mereka.

"Yah, kurasa sekarang kau benar, Donghae. Lihat saja anak itu, menyedihkan. Kau
selalu membelanya bahkan untuk kesalahan paling buruk sekalipun." Tae-il hendak
protes.

"Itu tidak benar, Taetae. Jangan salah paham dengan apa yang kulakukan. Kau
selalu saja marah jika aku membela anak malang itu."

"Tapi—"

Gi-Taek tiba-tiba saja menimbrung di antara perdebatan panas Tae-il dan Donghae.
Dengan tampang polos tapi tsundere khasnya, ia menatap wajah mereka berdua
bergantian.

"Apa kau mengumpat lagi, Taetae? Jangan-jangan kau cemburu dengan Hyung?
Wah, para fans kita sepertinya benar. Kalian cocok jadi pasangan gay!"

"Nggak! Enak saja bilang gay! Kalau bicara jangan asal dong, Gi-Taek! Kau ini benar-
benar mengesalkan, kau tahu." Kata Tae-il.

"Sudah, sudah. Jangan bicara lagi, Taetae. Sekarang kita harus menyelesaikan sesi
pemotretan ini, baru kita bisa jalan-jalan ke Tongyeong. Oke?" Chan-Hee, leader
mereka, datang dengan kaleng-kaleng penuh soda.
"Thanks minumannya, chagi~ya!" Goda Gi-Taek, menyenggol kan bahunya pada
Chan-Hee.

"Nggak usah sok drama, menggelikan."

▶▶▶

Kau adalah matahariku

Tak pernah lelah menerangi hidupku

Cahaya abadimu tak pernah menyilaukanku

Kilaumu penyelamat jiwa gelapku

Menyinari kegelapan duniaku

Oh matahariku!

Shin-Ae melantunkan lagu itu dengan penuh penghayatan, sambil sesekali fokus
membersihkan ruangan. Rambut panjangnya menari mengikuti gerakan tubuhnya,
dan satu dua anak panti asuhan menyapanya lalu pergi.

"Noona, hari ini kita main dimana?" Jin-woo, bocah laki-laki berusia 6 tahun yang
tinggal di panti asuhan sejak dua tahun lalu, bertanya.

"Emm.... Dimana yaa? Entahlah. Noona juga tidak tahu. Tapi yang pasti, setelah
selesai membersihkan ruangan ini, baru Noona katakan. Sabar ya, Jin-woo?"

"Oke. Aku pergi main dulu, Noona. Daaah!"

Senyum simpul terukir dari wajah rupawan Shin-Ae. Kecintaannya pada anak-anak
telah menjadikan dirinya sebagai seorang pengasuh anak terlantar. Ia terbilang
berpengalaman dalam hal itu, karena ibunya adalah pembina yayasan panti
tempatnya bekerja.

"Shin-Ae-ssi, apa kau sibuk?" Dong Wook muncul dari balik pintu. Ia adalah CEO di
salah satu perusahaan industri terkemuka di Korea Selatan. Dan teman baik Shin-
Ae.

"Tidak. Ada apa?"

"Yah, tidak ada apa-apa sih. Hanya saja, aku mau mengajakmu makan di restoran.
Bagaimana? Apa kau mau ikut?"

"Tidak. Terima kasih, tapi hari ini aku sibuk sekali dengan anak-anak. Bagaimana
kalau lusa? Aku senggang lusa besok."
"Baiklah, jika kau mau. Terima kasih karena mau menemaniku, Shin-Ae-ssi. Kau
yang terbaik!" Dong Wook mengacungkan jempolnya.

"Ah, kau berlebihan sekali, Dong Wook-ssi. Aku tidak sebaik itu, kok. Tapi terima
kasih pujiannya. Aku senang jika ada yang mengatakan bahwa aku ini baik, hehe."
Ujar Shin-Ae malu-malu.

"Haha, tak apa kok. Oh ya, apa Pil-gu baik-baik saja? Ia sudah bisa rawat jalan
sekarang?"

"Sayangnya belum. Ia masih belum stabil, kata dokter di sana. Kita hanya bisa
menunggu hasil check up nya empat hari lagi. Jadi, untuk sementara waktu aku
harus bisa menahan diri untuk tidak marah pada orang lain."

Shin-Ae menundukkan kepalanya, merasa bersalah karena mengatakan kalimat


barusan.

"Sudahlah, lagipula itu tidak sepenuhnya kesalahan yang kau perbuat, Shin-Ae-ssi.
Pelaku yang sebenarnya pasti akan tertangkap. Yakinlah." Dong Wook menepuk
pelan pundak Shin-Ae.

"Dong Wook-ssi,"

"Ya?"

"Entah kenapa firasatku akhir-akhir ini buruk. Aku sering bermimpi aneh-aneh.
Bahkan insomniaku makin memburuk, padahal aku sudah banyak minum obat. Apa
yang sebaiknya kulakukan sekarang? Aku takut jika Pil-gu wafat. Tidak ada tanda-
tanda kehidupan lagi..."

"Jangan bicara begitu! Kau harus optimis, Shin-Ae-ssi. Bagaimana bisa Pil-gu sadar,
jika kau saja sekarang sudah lemah begini? Apa ini yang bisa kau lakukan
sekarang?" Dong Wook menatap tak percaya. Sementara Shin-Ae mulai sesegukan.
Tangannya bergetar tak karuan.

"Aku... Takut. Pil-gu, anak yang malang... Bagaimana bisa aku.... Jika saja hari itu
aku tak memarahinya... Mungkin saja sekarang ia masih berlarian dengan Jin-woo
disini..."

Shin-Ae tidak sanggup lagi berdiri. Ia terjatuh seketika, membuat Dong Wook sigap
menangkap tangannya.

"Apa kau baik-baik saja? Ayo kita ke rumah sakit. Lihatlah, kau sudah sangat pucat.
Seperti orang mau mati saja."

Shin-Ae menggeleng.
"Tidak, aku tidak apa-apa. Jangan pedulikan aku. Kau hari ini sibuk sekali, bukan?
Pergilah. Kau orang penting di perusahaanmu. Dan aku hanya seorang teman yang
selalu mengganggumu."

"Ayolah. Jangan keras kepala, Shin-ae-ssi."

Kali ini, dengan sangat terpaksa, Shin-ae harus mengalah. Kondisi tubuhnya sedang
drop. Bohong namanya jika ia baik-baik saja sekarang.

"Baiklah. Tapi setelah selesai berobat, kau harus pulang. Pergilah ke kantor. Oke?"
Shin-ae berkata pelan.

"Yah, jika itu maumu, aku akan lakukan."

▶▶▶

27 September

Hari paling menyedihkan yang pernah ada dalam hidupku. Dimana aku harus
mengalah demi orang yang penting untukku. Atau ia akan kecewa dengan diriku.
Tidak, sejujurnya, satu detik pun aku tidak akan bisa melepaskan kenangan indah
itu. Tidak.

Hyung Joon

Jika kau masih hidup sekarang, datanglah. Aku selalu ada disini, sebagai tempat
terakhir, rumahmu. Aku akan memberikan apapun yang kamu butuhkan. Tak peduli
jika aku harus mengorbankan nyawa demi apapun itu.

Jadi pulanglah.

Kau tahu bukan, jika aku tidak bisa melihatmu pergi tanpa pamit, begitu saja?

Berapa banyak salahku,

Hingga kau lebih memilih untuk pergi tanpa jejak? Apa selama ini aku tak pernah
bisa menjadi keluarga untukmu? Apakah...

Hanya saja.

Aku sudah tidak sanggup lagi menuliskan isi hatiku.

Jadi, jika kau masih punya waktu untuk berpikir, pikirkanlah.

Dan semoga kau baik-baik saja.

Karena doaku akan selalu mengiringi perjalanan hidupmu.

Dari sang pengagum fajar.


Shin-ae.

Haaaa...

Membaca lagi surat kumal ini, seperti merobek kembali luka lama yang sudah susah
payah kuobati. Rasanya sesak. Semua kalimat yang ia tuliskan, bagiku terasa
seperti hukuman waktu. Setiap detik, aku tersiksa.

Anda mungkin juga menyukai