Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

Tatalaksana dan Komplikasi Tonsilitis

Penyusun:
Anisa Lujianti
030.15.026

Pembimbing:
dr. Donald Marpaung, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT THT


RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT DR. MINTOHARDJO
PERIODE 10 JUNI 2019 – 12 JULI 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Anisa Lujianti


NIM : 030.15.026
Universitas : Universitas Trisakti
Fakultas : Fakultas Kedokteran
Program Studi : Program Studi Profesi Dokter
Bidang Pendidikan : Ilmu Penyakit THT
Periode : 10 Juni 2019 – 12 Juli 2019
Judul : Tatalaksana dan Komplikasi Tonsilitis
Pembimbing : dr. Donald Marpaung, Sp. THT-KL

TELAH DIPERIKSA dan DISETUJUI TANGGAL:


3 Juli 2019

Bagian Ilmu Penyakit THT


RSAL Dr. Mintohardjo
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Jakarta, 3 Juli 2019


Pembimbing,

dr. Donald Marpaung, Sp. THT-KL

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Tatalaksana dan
KOmplikasi Tonsilitis”. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian
referat ini, terutama kepada dr. Donald Marpaung, Sp. THT-KL selaku pembimbing
yang telah memberikan waktu dan bimbingannya sehingga referat ini dapat
terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan referat ini tidak lepas dari kesalahan
dan kekurangan, maka dari itu penulis mengharapkan berbagi kritik, saran dan
masukan untuk perbaikan selanjutnya dimasa yang akan datang. Akhir kata, penulis
berharap semoga referat ini dapat memberikan manfaat dan dapat bernilai positif bagi
semua pihak yang membutuhkan, baik dalam bidang kedokteran, khususnya untuk
bidang ilmu penyakit THT.
Kritik dan saran penulis hargai demi penyempurnaan penulisan serupa dimasa
yang akan datang. Besar harapan penulis, semoga referat ini dapat bermanfaat dan
dapat bernilai positif bagi semua pihak yang membutuhkan.

Jakarta, Juli 2019

Anisa Lujianti

3
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL.........................................................................................i
LEMBAR PERSETUJUAN.............................................................................ii
KATA PENGANTAR........................................................................................iii
DAFTAR ISI......................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................3
2.1 Anatomi dan Fisiologi Tonsil...................................................................3
2.2 Definisi dan Klasifikasi Tonsilitis ............................................................4
2.3 Etiologi Tonsilitis .....................................................................................7
2.4 Patofisiologi Tonsilitis..............................................................................8
2.5 Manifestasi Klinis Tonsilitis ...................................................................10
2.6 Tatalaksana Tonsilitis...............................................................................11
2.7 Komplikasi Tonsilitis................................................................................13

BAB III RESUME ............................................................................................16


DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................17

4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi,
sekarang ini juga banyak sekali masalah kesehatan yang muncul di masyarakat.
Dari hari kehari semakin banyak muncul berbagai macam penyakit infeksi
ataupun penyakit lainnya, salah satunya adalah penyakit tonsilitis atau yang sering
kita kenal dengan radang amandel. Tonsilitis adalah inflamasi atau pembengkakan
akut pada tonsil atau amandel. Organisme penyebabnya yang utama meliputi
Streptococcus atau Staphylococcus(1). Tonsilitis merupakan suatu peradangan pada
tonsil atau amandel yang dapat terjadi semua golongan umur. Tonsilitis akut
sering menimbulkan komplikasi. Bila tonsilitis akut sering kambuh walaupun
penderita telah mendapat pengobatan yang memadai, maka perlu diingat
kemungkinan terjadinya tonsilitis kronik.
Banyaknya faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronis juga berdampak
pada banyaknya angka kejadian tonsilitis kronis. Seperti halnya pada penelitian
Khan et al di RS Khyber Peshawar Pakistan pada periode April 2011 sampai
dengan Mei 2012, dilakukan analisa tentang distribusi penyakit Telinga Hidung
Tenggorok (THT) dan didapatkan 8980 orang menderita tonsilitis kronis (27,37%)
dari 32.800 total sampel. Dalam penelitian ini tonsilitis kronis berada di urutan
teratas dari insiden penyakit THT lainnya. Di Indonesia, tonsilitis kronis juga
menjadi salah satu peyakit THT yang paling banyak dijumpai terutama pada
anak(2). Penelitian Sapitri tentang karakteristik penderita tonsilitis kronis yang
diindikasikan tonsilektomi di RSUD Raden Mattaher Jambi, dari 30 sampel
didapatkan distribusi terbanyak usia 5-14 tahun (50%), jenis kelamin perempuan
(56,7%) dan memiliki keluhan nyeri pada tenggorok/sakit menelan (100%)(19).
Jika sering terinfeksi, tonsil dapat menjadi sumber infeksi. Dengan
berulangnya infeksi, jaringan limfoid dapat menjadi hipertrofu atau mengecil dan
fibrotik. Karena itu tonsil pada anak yang lebih tua dapat besar atau kecil. Dengan
adanya tonsilitis yang berulang, seringkali jaringan limfoid tonsil membesar.
Kadang-kadang, meskipun jarang, pembesaran tonsil menyebabkan obstruksi
pada waktu bernafas, terutama malam hari. Kemudian terjadi serangan apnea yang

1
dapat berlanjut ters. Juga terjadi pembesaran adenoid. Pada keadaan ini , aliran
udara tersumbat dan anak kemudian bernafas dengan mulut. Juka, karena tuba
Eustacius tersumbat, dapat terjadi otitis media atau glu ear menyebabkan tuli
(Jhon Rendle-Short, 1994:205).
Mengingat angka kejadian tonsilitis yang cukup tinggi di masyarakat serta
dampak yang cukup besar akibat dari infeksinya pada penderitanya, penulis
tertarik untuk membuat tulisan tentang tonsilitis ini. Diharapkan dengan adanya
tulisan ini
dapat menjadi referensi sekaligus sebagai bahan bacaan untuk memperluas
wawasan tentang penyakit tonsilitis.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Tonsil

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel
respiratori dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Terdapat
empat macam tonsil yaitu, tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual,
dan tonsil tuba esutachius yang semuanya membentuk lingkaran yang disebut
cincin Waldeyer (Gambar 2). Pada bagian nasofaring terdapat tonsila faringealis,
sedangkan pada bagian orofaring terdapat tonsila lingualis dan tonsila palatine(6).
Cincin Waldeyer ini merupakan pertahanan terhadap infeksi. Tonsil dan
adenoid merupakan bagian terpenting dari cincin Waldeyer. Adenoid akan
mengalami regresi pada usia pubertas. Bagian anterior tonsil dibatasi oleh pilar
anterior yang dibentuk otot palatoglossus, posterior oleh pilar posterior dibentuk
otot palatofaringeus, bagian medial oleh ruang orofaring, bagian lateral dibatasi
oleh otot konstriktor faring superior, bagian superior oleh palatum mole, bagian
inferior oleh tonsil lingual. Permukaan lateral tonsil ditutupi oleh jaringan alveolar
yang tipis dari fasia faringeal dan permukaan bebas tonsil ditutupi oleh epitel yang
meluas ke dalam tonsil membentuk kantong yang dikenal dengan kripta. Kripta
pada tonsil ini berkisar antara 10-30 buah. Epitel kripta tonsil merupakan lapisan
membrane tipis yang bersifat semipermiabel, sehingga epitel ini berfungsi sebagai
akses antigen baik dari pernafasan maupun pencernaan untuk masuk ke dalam
tonsil. Pembengkakan tonsil akan mengakibatkan kripta ikut tertarik sehingga
semakin panjang. Inflamasi dan epitel kripta yang semakin longgar akibat
peradangan kronis dan obstruksi kripta mengakibatkan debris dan antigentertahan
di dalam kripta tonsil(7).

3
Gambar 1. Anatomi Tonsil (potongan frontal dan mid-sagital)

Gambar 2.Terdapat empat macam tonsil yaitu, tonsil palatina, tonsil faringeal
(adenoid), tonsil lingual, dan tonsil tuba esutachius yang semuanya
membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer

2.2 Definisi dan Klasifikasi Tonsilitis


Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer. Tonsilitis disebabkan peradangan pada tonsil yang diakibatkan
oleh bakteri, virus, dan jamur. Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang
merupakanbagian dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan
kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu : tonsil faringeal
( adenoid ), tonsil palatina ( tosil faucial), tonsil lingual ( tosil pangkal lidah ),
tonsil tuba Eustachius ( lateral band dinding faring / Gerlach’s tonsil (8,9).

4
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, tonsilitis dapat diklasifikasikan
menjadi dua jenis, yaitu tonsillitis akut dan kronik. (10,11).Tonsilitis Akut merupakan
radang akut tonsil palatina dapat disebabkan kuman grup A streptokokus β
hemolitikus, pneumokokus, streptokokus viridan, dan streptokokus pyogenes.
Hemofilus influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif . Bentuk
tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis. Bila bercak-
bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur maka akan terjadi tonsilitis
lakunaris. Bercak detritus ini dapat melebar sehingga terbentuk membran semu
(pseudomembrane) yang menutupi tonsil(12,13).
Tonsilitis akut dapat dibagi menjadi, acute superficial tonsilitis, biasanya
disebabkan oleh infeksi virus dan biasanya merupakan perluasan dari faringitis
serta hanya mengenai lapisan lateral. Acute folicular tonsilitis, infeksi menyebar
sampai ke kripta sehingga terisi dengan material purulen, ditandai dengan bintik –
bintik kuning pada tonsil. Acute parenchymatous tonsilitis, infeksi mengenai
hampir seluru bagian tonsil sehingga tonsil terlihat hiperemis dan membesar, dan
acute membranous tonsilitis, merupakan stase lanjut dari tonsilitis folikular
dimana eksudat dari kripta menyatu membentuk membran di permukaan tonsil(14).
Ada beberapa macam penyakit yang termasuk dalam tonsillitis membranosa
beberapa diantaranya yaitu Tonsilitis difteri, Tonsilitis septic, serta Angina Plaut
Vincent, penyakit kelainan darah seperti leukemia akut, anemia pernisiosa,
neutropenia maligna serta infeksi mononucleosis, proses spesifik luas dan
tuberculosis, infeksi jamur moniliasis, aktinomikosis dan blastomikosis, serta
infeksi virus morbili, pertusis, dan skarlatina.
Tonsilitis kronis adalah peradangan tonsil yang menetap sebagai akibat
infeksi akut atau subklinis yang berulang(15). Ukuran tonsil membesar akibat
hiperplasia parenkim atau degenerasi fibrinoid dengan obstruksi kripta tonsil,
namun dapat juga ditemukan tonsil yang relatif kecil akibat pembentukan sikatrik
yang kronis. Durasi maupun beratnya keluhan nyeri tenggorok sulit dijelaskan (16).
Biasanya nyeri tenggorok dan nyeri menelan dirasakan lebih dari 4 minggu dan
kadang dapat menetap. Tonsilitis kronis adalah suatu kondisi yang merujuk
kepada adanya pembesaran tonsil sebagai akibat infeksi tonsil yang berulang (17).
Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik ialah rangasangan yang menahun

5
dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca,
kelelahan fisik, dan pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat. Kumam
penyebabnya sama dengan tonsillitis akut tetapi kadang-kadang kuman berubah
menjadi kuman golongan Gram negatif(9).

Gambar 3. Tonsilitis Akut merupakan suatu inflamasi akut yang terjadi


pada tonsilla palatina, yang terdapat pada daerah orofaring yang disebabkan oleh
adanya infeksi maupun virus.

6
Gambar 4. Tonsilitis kronis adalah peradangan tonsil yang menetap sebagai
akibat infeksi akut atau subklinis yang berulang

2.3 Etiologi Tonsilitis


Tonsilitis disebabkan oleh infeksi bakteri streptococcus atau infeksi virus.

Tonsil berfungsi untuk membuat limfosit, yaitu sejenis sel darah putih yang

bertugas membunuh kuman yang masuk ke dalam tubuh melalui mulut(18) . Tonsil

akan berubah menjadi tempat infeksi bakteri maupun virus, sehingga


membengkak dan meradang, menyebabkan tonsillitis. Penyebab tonsilitis adalah
infeksi kuman Streptococcus beta Hemolyticus, Streptococcus viridans, dan
Streptococcus pyogenes. Streptococcus pyogenes merupakan patogen utama pada

7
manusia yang menimbulkan invasi lokal, sistemik dan kelainan imunologi pasca
streptococcus(15).
Dari beberapa studi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa Streptococcus
β Hemolitikus Grup A merupakan penyebab utama dari tonsilitis dengan
persentase sekitar 15 – 30% dari semua jenis bakteri Beberapa etiologi lain yang
juga cukup tinggi insidennya dalah menyebabkan terjadinya tonsilitis adalah
Haemophyllus influenza Staphylococcus aureus dan Streptococcus Pyogens.

Pathogens Clinical Appearance of Tonsils


Viruses Rhinovirus, adenovirus, Enlarged, erythematous
influrnza virus, parainfluenza
virus, etc
Coxsackle virus (herpangina) Aphthous-like ulcers on tonsilar pillars
Epstein-Barr virus virus Very large, swollen, and dirty-grey
(mononucleosis syndrome) appearance
Bacteria Streptococcus pyogenes and Enlarged, erythematous, with
Aerobic other streptococcal species yellowish-white spots. May have
membrane or purulent exudate
Neisseria gonorrhoeae Acute purulent exudates
Corynebacterium diphtheria Exudative pharyngotonsilitis with
thick pharyngeal membrane
Bacteria Bacteriodes species Enlarged, Erythematous
Anaerobic
Yeast Candida species White plaques with raw undersurface
Spirochetes Treponema pallidum (syphilis) Oral chancres or the lip, tounge, tonsil
and palate. Superficial greytsh patches
of mucus membrane with reddish
border
Spirochaete denticolata and Membrane on tonsil with underlying
treponema vincetii (Vincents ulcer
angina)

Tabel 1. Etiologi terjadinya tonsilitis (Campisi, 2003)

2.4 Patofisiologi Tonsilitis

8
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut. Tonsil
berperan sebagai filter yang menyelimuti bakteri ataupun virus yang masuk dan
membentuk antibodi terhadap infeksi(6,12). Kuman menginfiltrasi lapisan epitel,
bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superfisial mengadakan reaksi. Terdapat
pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini
secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut
detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas,
suatu tonsillitis akut dengan detritus disebut tonsillitis falikularis(2).
Infeksi berulang pada tonsilitis akut sering tejadi pada pengobatan yang
tidak adekuat. Hal terjadi dikarenakan kemampuan bakteri untuk bertahan pada
lingkungan intraseluler di dalam kripta tonsil, sehingga tidak terkena paparan
antibiotik yang diberikan pada pasien. Dengan begitu bakteri tersebut dapat

berkembang biak dan menyebabkan reinfeksi kembali(4). Mekanisme lain yang


dapat menjelaskan kejadian ini adalah karena penetrasi antibiotik ke dalam tonsil
yang rendah akibat jaringan parut karena infeksi tonsilitis. Selain itu juga adanya
flora normal yang menghasilkan enzim protektif dan membentuk lapisan biofilm
juga dapat menghalangi penetrasi dari antobiotik ke dalam tonsil(18).
Tonsilitis kronis adalah suatu keadaan dimana penyakit terjadi secara
berulang diikuti oleh episode serangan akut atau keadaan subklinis dari suatu
infeksi yang persisten, biasanya terjadi akibat penatalaksanaan yang kurang
adekuat. Terminologi tonsilitis berulang/recurrent merupakan keadaan yang
hampir sama dengan tonsilitis kronis(14). Akan tetapi pada keadaan tonsilitis
berulang, ada suatu keadaan dimana tonsil kembali ke keadaan normal secara
makroskopis dan histologis diantara dua serangan. Hal ini yang membedakannya
dengan
tonsilitis kronis dimana keadaan ini tidak ditemukan(16).
Pada tonsillitis kronik terjadi karena proses radang berulang yang
menyebabkan epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses
penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan
mengkerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi oleh
detritus. Infiltrasi bakteri pada epitel jaringan tonsil akan menimbulkan radang

9
berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear serta terbentuk detritus yang terdiri
dari kumpulan leukosit, bakteri yang mati, dan epitel yang lepas(5).
Patofisiologi tonsilitis kronis adalah akibat adanya infeksi berulang pada
tonsil maka pada suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman
sehingga kuman kemudian menginfeksi tonsil. Pada keadaan inilah fungsi
pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi tempat infeksi(15). Proses radang
berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis,
sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut
yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta ini
tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil
dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fossa tonsilaris.
Proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibular(5)
2.5 Manifestasi Klinis
Gejala pada tonsillitis akut adalah rasa gatal/ kering ditenggorokan, anoreksia,
otalgia, tonsil membengkak. Dimulai dengan sakit tenggorokan yang ringan
hingga menjadi parah, sakit menelan, kadang muntah. Pada tonsillitis dapat
mengakibatkan kekambuhan sakit tenggorokan dan keluarnya nanah pada lekukan
tonsil(1).
Tanda klinisnya dijumpai tonsil membengkak dan meradang. Tonsila
biasanya bercak- bercak dan kadang-kadang diliputi oleh eksudat. Eksudat ini
mungkin keabu-abuan dan kekuningan. Eksudat ini dapat berkumpul, membentuk
membran dan pada beberapa kasus dapat terjadi nekrosis jaringan local(14).
Berikut ini adalah tanda dan gejala yang dialami oleh pasien yang menderita
tonsilitis akut, tanda; napas berat dan lidah yang licin, hiperemis pada pilar, uvula
dan palatum mole, kemerahan dan bengkak pada tonsil disertai dengan gambaran
bintik bintik kuning yang merupakan gambaran material purulen pada kripta yang
terbuka (acute folicular tonsilitis), kedua tonsil dapat membesar hingga dapat
bertemu pada midline orofaring, pembesaran dari KGB jugulodigastrikus .
Gejala yang sering ditemui berupa kesulitan dalam menelan, gangguan fonasi,
respirasi dan pendengaran. Selain itu gejala yang dapat muncul antara lain; Sakit
tenggorokan, sakit menelan, perubahan suara (serak), sakit pada telinga, snoring

10
(akibat obstruksi jalan napas atas), napas berbau, gangguan pendengaran, pasien
tampak sangat sakit (Dhingra, 2005)
Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis Kronis
yang mungkin tampak(14) yakni; Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi
dan perlengketan ke jaringan sekitar, kripte yang melebar, tonsil ditutupi oleh
eksudat yang purulen atau seperti keju. Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil,
mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi
yang hiperemis, kripte yang melebar dan ditutupi eksudat yang purulen.

Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur


jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial
kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi:

T0 Tonsil sudah diangkat


T1 Tonsil masih di dalam fossa tonsil
T2 Tonsil keluar dari fossa tonsil tapi belum melewati garis tengah antara
pinggir lateral faring-uvula
T3 Tonsil sudah melewati garis tengah namun tidak sampai
T4 Tonsil sudah mencapai uvula atau lebih

Gambar 4. Pembesaran dan ukuran tonsi

11
2.6 Tatalaksana Tonsilitis
Untuk pasien yang menderita tonsilitis akut, berikut ini penatalaksanan yang
dapat diberikan, yaitu; Antibiotik golongan penisilin atau sulfanamid selama 5
hari dan obat kumur atau obat isap dengan desinfektan, bila alergi dengan
diberikan eritromisin atau klindomisin, antibiotik yang adekuat untuk mencegah
infeksi sekunder, kortikosteroid untuk mengurangi edema pada laring dan obat
simptomatik, pasien diisolasi karena menular, tirah baring, untuk menghindari
komplikasi kantung selama 2-3 minggu atau sampai hasil usapan tenggorok 3x
negative dan pemberian antipiretik(12).
Penatalaksanaan tonsilitis akut dengan memperbaiki higiene mulut,
pemberian antibiotika spektrum luas selama 1 minggu dan Vitamin C dan B
kompleks. Pada beberapa penelitian menganjurkan pemberian antibiotik lebih dari
5 hari. Pemberian antibiotik secepatnya akan mengurangi gejala dan tanda lebih
cepat. Meskipun demikian, tanpa antibiotik, demam dan gejala lainnya dapat
berkurang selama 3-4 hari. Pada demam rematik, gejala lainnya dapat berkurang
selama 3-4 hari. Pada demam rematik, gejala dapat bertahan sampai 9 hari selama
pemberian terapi(5).
Untuk tonsilitis bakteri, penisililin merupakan antibiotik lini pertama untuk
tonsilitis akut yang disebabkan bakteri Group A Streptococcus B hemoliticus
(GABHS). Walaupun pada kultur GABHS tidak dijumpai, antibiotik tetap
diperlukan untuk mengurangi gejala. Jika dalam 48 jam gejala tidak berkurang
atau dicurigai resisten terhadap penisilin, antibiotik dilanjutkan dengan
amoksisilin asamklavulanat sampai 10 hari(12). Pada tonsillitis kronik dilakukan
terapi lokal untuk hygiene mulut dengan obat kumur/hisap dan terapi radikal
dengan tonsilektomi bila terapi medikamentosa atau terapi konservatif tidak
berhasil(6).
Pada tonsilitis yang berulang, penggunaan antibiotik ciprofloxacin dan
gentamisin perlu dipertimbangkan. Hal ini karena organisme yang sering
menyebabkan infeksi berulang ini adalah Pseudomonas aeruginosa dan beberapa
bakteri lain yang sensitif terhadap ciprofloxacin dan gentamisin(15). Pada pasien
anak, penggunaan amoxicillin atau kombinasi amoxicillin-asam klavulanat adalah

12
pilihan pertama pada tonsilitis berulang, dimana penggunaan ciprofloxacin
menjadi kontraindikasi(3).
Penatalaksanaan tonsilitis kronis terdiri dari terapi lokal dan terapi radikal.
Terapi lokal ditujukan pada higiene mulut, dengan menggunakan obat kumur atau
obat hisap. Antibiotik dapat diberikan bila penyebab adalah bakteri. Terapi radikal
ialah dengan melakukan operasi tonsilektomi setelah tanda-tanda infeksi hilang.
Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran napas, indikasi
tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut). Namun, indikasi
relatif tonsilektomi pada keadaan non emergency dan perlunya batasan usia pada
keadaan ini masih menjadi perdebatan. Sebuah kepustakaan menyebutkan bahwa
usia tidak menentukan boleh tidaknya dilakukan tonsilektomi(6).
Tonsilektomi sudah sejak lama merupakan kontroversi di berbagai kalangan,
baik awam maupun profesi. Bagi yang kontra, tonsilektomi dianggap dapat
menurunkan sistem pertahanan tubuh. Indikasi tonsilektomi menurut The
(11)
American Academy of Otolaryngology, Head and Neck Surgery : Indikasi
absolut Tonsilektomi: 1) Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi
saluran napas, disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardio-pulmoner. 2)
Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase. 3)
Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam. 4) Tonsilitis yang membutuhkan
biopsi untuk menentukan patologi anatomi (suspek penyakit keganasan). Indikasi
relatif Tonsilektomi : 1) Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun
dengan terapi antibiotik adekuat. 2) Halitosis akibat Tonsilitis kronik yang tidak
membaik dengan pemberian terapi medis. 3) Tonsilitis kronik atau berulang pada
karier streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase
resisten .
Kontraindikasi: 1) Diskrasia darah kecuali di bawah pengawasan ahli
hematologi 2) Usia di bawah 2 tahun bila tim anestesi dan ahli bedah fasilitasnya
tidak mempunyai pengalaman khusus terhadap bayi 3) Infeksi saluran nafas atas
yang berulang 4) Perdarahan atau penderita dengan penyakit sistemik yang tidak
terkontrol. 5) Celah pada palatum(11). Pada keadaan tertentu seperti pada abses
peritonsilar (Quinsy), tonsilektomi dapat dilaksanakan bersamaan dengan insisi
abses.Dugaan keganasan dan obstruksi saluran nafas merupakan indikasi absolut

13
untuk tonsilektomi. Semua bentuk tonsilitis kronik tidak sama, gejala dapat sangat
sederhana seperti halitosis, debris kriptus dari tonsil “cryptic tonsilitis” dan pada
keadaan yang lebih berat dapat timbul gejala seperti nyeri telinga dan nyeri atau
rasa tidak enak di tenggorok yang menetap. Indikasi tonsilektomi mungkin dapat
berdasarkan terdapat dan beratnya satu atau lebih dari gejala tersebut dan pasien
seperti ini harus dipertimbangkan sebagai kandidat untuk tonsilektomi karena
gejala tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup walaupun tidak mengancam
nyawa(11)
Beberapa perawatan yang harus dilakukan pada pasien yang telah menjalani
tonsilektomi adalah sebagai berikut; Perawatan awal dengan pasien tetap
dikondisikan dalam keadaan “Posisi Koma” sampai efek anestesi hilang, awasi
tanda – tanda perdarahan dari hidung dan mulut, awasi tanda – tanda vital pasien.
Setelah itu diet, saat pasien sudah sadar, pasien dapat mulai diberikan makanan
cair, seperti susu dingin atau es krim. Kulum – kulum es batu juga dapat
mengurangi rasa nyeri. Diet diberikan bertahap mulai dari makanan lunak sampai
makanan biasa/solid. Pemberian puding, jelli, dan telur rebus dapat diberikan pada
hari kedua post-operasi. Oral hygine, pasien diberikan obat kumur 3 – 4 kali
sehari. Mulut dibersihkan dengan air bersih setiap selesai makan. Analgesik, nyeri
biasanya terjadi secara lokal pada tenggorokan yang dapat menjalar ke telinga,
dapat diredakan dengan analgesik lemah, seperti paracetamol. Analgesik dapat
diberikan setengah jam sebelum pasien makan. Antibiotik yang sesuai dapat
diberikan secara injeksi /oral selama sekitar satu minggu. Pasien dapat
dipulangkan 24 jam setelah operasi jika tidak ada komplikasi dan dapat
beraktivitas normal kembali 2 minggu setelah operasi. (Dhingra, 2005)

2.7 Komplikasi Tonsilitis


Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada pasien yang menderita
tonsilitis yaitu seperti abses peritonsil yang merupakan infeksi dapat meluas
menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan sekitarnya. Abses biasanya terdapat
pada daerah antara kapsul tonsil dan otot-otot yang mengelilingi faringeal bed.
Hal ini paling sering terjadi pada penderita dengan serangan berulang. Gejala
penderita adalah malaise yang bermakna, odinofagi yang berat, dan trismus.

14
Diagnosa dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi abses(18). Abses parafaring juga
merupakan komplikasi dari tonsillitis,gejala utamanya adalah trismus, indurasi
atau pembengkakan di sekitar angulus mandibula, demam tinggi, dan
pembengkakan dinding lateral faring sehingga menonjol ke arah medial. Abses
dapat dievakuasi melalui insisi servikal(14).Abses intratonsilar merupakan
akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya diikuti dengan
penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular akut. Dijumpai nyeri lokal dan disfagia
yang bermakna. Tonsil terlihat membesar dan merah. Penatalaksanaan yaitu
dengan pemberian antibiotika dan drainase abses jika diperlukan, selanjutnya
dilakukan tonsilektomi(12). Tonsilitis kronis dengan serangan akut biasanya terjadi
karena tatalaksana tonsilitis akut yang tidak adekuat. Infeksi kronis dapat terjadi
pada folikel limfoid tonsil dalam bentuk mikroabses(11). Otitis Media Akut adalah
serangan berulang otitis media akut berkaitan erat dengan serangan berulang dari
tonsilitis akibat infeksi yang menjalar melalui tuba eustachius(12). Tonsilolith
(kalkulus tonsil) dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila kripta diblokade oleh
sisa-sisa dari debris. Garam inorganik kalsium dan magnesium kemudian
tersimpan yang memicu terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar secara
bertahap dan kemudian dapat terjadi ulserasi dari tonsil. Tonsilolith lebih sering
terjadi pada dewasa dan menambah rasa tidak nyaman lokal atau foreign body
sensation. Hal ini didiagnosa dengan mudah dengan melakukan palpasi atau
ditemukannya permukaan yang tidak rata pada perabaan(16). Kista tonsilar
disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai pembesaran kekuningan
di atas tonsil. Sangat sering terjadi tanpa disertai gejala. Dapat dengan mudah
didrainasi(2). Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonefritis.
Anti-streptokokal antibodi meningkat pada 43% penderita
Glomerulonefritis dan 33% diantaranya mendapatkan kuman Streptokokus beta
hemolitikus pada swab tonsil yang merupakan kuman terbanyak pada tonsil dan
faring. Hasil ini megindikasikan kemungkinan infeksi tonsil menjadi patogenesa
terjadinya penyakit Glomerulonefritis(5,12).

15
BAB III
RESUME
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin waldeyer. Cincin waldeyer terdiri dari susunan kelenjer limfa yang terdapat
di dalam rongga mulut yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatine (tonsil
faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), dan tonsil tuba eustachius (lateral
band dinding faring / gerlach’s tonsil). Penyebaran infeksi melalui udara (air-bond
droplets), tangan dan ciuman dapat terjadi pada semua umur terutama pada anak.
Tonsilitis akut sering mengenai anak-anak usia sekolah, tetapi juga dapat
mengenai orang dewasa. Jarang mengenai bayi dan usia lanjut > 50 tahun.
Penyebab tersering tonsillitis akut adalah steptokokus beta hemolitikus grup A.
yaitu sekitar 50% dari kasus. Bakteri lain yang juga dapat menyebabkan tonsillitis
akut adalah Haemophilus influenza. Pada tonsillitis kronis, dapat berupa
komplikasi dan tonsillitis akut.
Tonsilitis dapat diklasifikasi menjadi tonsillitis akut, tonsillitis difteri, dan
tonsillitis kronik dengan diagnosis serta penanganan yang berbeda.
Penatalaksanaan dari tonsillitis dapat dilakukan secara konservatif maupun
operatif. Terapi konservatif dilakukan untuk mengeliminasi kusa, yaitu infeksi dan
mengatasi keluhan yang mengganggu. Bila tonsil membesar dan menyebabkan
sumbatan jalan nafas, disfagia berat, gangguan tidur, terbentuk abses atau tidak
berhasil dengan pengobatan konvensional, maka operasi tonsilektomi perlu
dilakukan dengan mempertimbangkan indikasi, kontraindikasi, serta komplikasi
yang mungkin timbul.

16
Daftar Pustaka
1. Shah, K. Udayan. 2014. Tonsilitis and Peritonsilar abcess. Emedicine,
http://emedicine.medscape.com/article/871977-overview
2. Farokah. 2005. Laporan Penelitian: Hubungan Tonsilitis Kronik dengan
Prestasi Belajar Siswa Kelas II Sekolah Dasar di Kota Semarang. FKUGM :
Yogyakarta. Hal :1-46
3. Babaiwa, U.F., Onyeagwara N.C., dan Akerele J.O. 2013. Bacterial tonsillar
microbiota and antibiogram in recurrent tonsillitis. Japan . Page : 1012-1105
4. Mal, R.K., A.F. Oluwasanmi, dan J.R. Mitchard. 2010. Tonsillar Crypts and
Bacterial Invasion of Tonsils: A Pilot Study. NEJM : England p: 567-569
5. Dhingra, P.L., dan Shruti Dhingra. 2005. Diseases of Ear, Nose and Throat,
Fifth Edition. New Delhi : Elseiver
6. Snow, James B. dan John Jacob Ballenger. 2003. Ballenger’s
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 16th Edition. Chicago :
Williams & Wilkins.
7. Tonsil and Adenoid Anatomy. Available at:
emedicine.medscape.com/article/1899367-overview. Update July 20, 2015.
Accessed on August 3, 2015.
8. Campisi, Paolo., dan Ted L. Tewfik. 2003. Tonsilitis and its Complications.
London :Elsevier :, Page 13-16]
9. Rusmarjono dan Efiaty Arsyad Soepardi. 2002. Penyakit serta Kelainan
Faring dan Tonsil dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit THT; Edisi V; Jakarta :
Balai Pustaka FKUI; p.178 – 184
10. Ludman, H., dan Patrick J.B. 2007. ABC of Ear, Nose and Throat, Fifth
Edition. Massachusetts : Blackwell Publishing Inc.
11. Darro DH.Siemens C. 2002. Indication For Tonsillectomy and
Andenoidectomy. Laryngoscope, 112 (8 Pt Suppl 100) England : NEJM : hal :
6-10
12. Soepardi, E.A. et al. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
hal 223-4.
13. Probst, Rudolf., Gerhard Greves, dan Heinrich Iro.
2006. Basic Otorhinolaryngology A Step-by-Step Learning Guide. USA:
Georg Thieme Verlag, 2006; Hal 113-9.

17
14. Liston, S.L. 1997. Adams, Boeis dan Higler. Eds. Buku Ajar Penyakit THT
Boeis Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
15. Flint, Paul W. et al. 2010. Cummings Otolaryngology Head & Neck
Surgery 5th edition. Philadelphia : Mosby Elsevier.
16. Ugras, Serdar., dan Ahmet Kuthulan. 2008. Chronic Tonsilitis can be
Diagnosed with Histopatologic Findings. Diunduh dari :
http://www.bioline.org.br/pdf?gm08018 [Diakses 13 November 2014]
17. Pulungan, M.R., dan Novialdi N. 2005. Mikrobiologi Tonsilitis Kronis. EGC :
Jakarta , H: 119-198]
18. Alasil, Saad., et al. 2011. Bacterial identification and antibiotic susceptibility
patterns of Staphyloccocus aureus isolates from patients undergoing
tonsillectomy in Malaysian University Hospital. Malaysia: Malaysian Univ
hospital
19. Sapitri V. Karakteristik penderita tonsilitis kronis yang diindikasikan
tonsilektomi Di RSUD Raden Mattaher Jambi (skripsi). Jambi: Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi; 2013.

18

Anda mungkin juga menyukai