Anda di halaman 1dari 12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Desain Didaktis


Didactical atau didaktik adalah ilmu mengajar yang menunjukkan kepada
kita bagaimana kita harus mengajar anak atau menentukan cara mengajar
(Yusmalina, 1997). Didaktik merupakan hal yang sangat penting dalam
melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar akan berjalan
baik jika dilakukan dengan perencanaan yang baik pula, akan tetapi sebelum
melaksanakan perencanaan pembelajaran, kita harus taahu apa yang diperlukan
siswa agar bisa mengikuti pembelajaran dengan optimal. Hal tersebut
menyebabkan perlu adanya penelitian terlebih dahulu mengenai apa yang siswa
perlukan dan bagaimana rencana pembelajaran agar siswa dapat mengikuti
pembelajaran dengan baik. Berdaarkan hal tersebut, Suryadi (2010) mengenalkan
penggunaan didactical design research sebagai metode penelitian dalam dunia
pendidikan.

Metodologi penelitian desain didaktis atau Didactical Design Research


(DDR) dikembangkan untuk membingkai inovasi guru agar menghasilkan
pembelajaran yang efisien serta memperkaya pengetahuan terhadap kerumitan
interaksi kelas (Suryadi, 2010a). Penelitian desain didaktis terdiri atas tiga
tahapan, yakni: 1) analisis situasi didaktis sebelum pembelajaran yang wujudnya
berupa Desain Didaktis Hipotesis dan Antisipasi Didaktis Pedagogis (ADP); 2)
analisis situasi didaktis-pedagogis atau analisis metapedadidaktik; dan 3) analisis
retrospektif yang mengaitkan hasil analisis situasi didaktis hipotesis dengan hasil
analisis metapedadidaktik. Dari ketiga tahapan tersebut akan diperoleh Desain
Didaktis Empiris yang bisa terus disempurnakan lagi melalui ketiga tahapan DDR
tersebut.

Suryadi (2010b) menyatakan bahwa proses berfikir guru dalam pembelajaran


terjadi pada tiga fase yaitu berfikir sebelum pembelajaran, berfikir saat

8
9

pelaksanaan pembelajaran dan setelah pembelajaran. Pada fase sebelum


pembelajaran guru perlu berfikir tentang desain materi ajar yang berkaitan dengan
urutan konsep ataupun kesinambungan berfikir.

Pada fase pelaksanaan pembelajaran guru perlu memikirkan mengenai pola


penyajian materi ajar dengan memperhatikan tiga aspek yaitu aspek kesatuan yang
berkaitan dengan sejauh mana rangkaian pembelajaran, aspek kesinambungan
yang berkaitan dengan keterkaitan alur pikir antar situasi didaktis sehingga peserta
didik dapat melalui lintasan belajarnya dengan baik, serta aspek keluwesan yang
berkaitan dengan berbagai intervensi yang akan diberikan guru sesuai dengan
kebutuhan siswa dan perkembangan berpikir yang dimiliki masing-masing siswa.

Pada fase setelah pembelajaran, guru harus mampu menganalisis kedua fase
yang telah dilakukan sebelumnya, yakni sebelum pembelajaran dan setelah
pembelajaran. Guru menelaah bagaimana keterkaitan antara fase sebelum
pembelajaran dan fase saat pembelajaran yang telah dilakukan serta apa saja
kekurangan dari kedua fase yang telah dilakukan tersebut. Analisis dari ketiga
fase berpikir tersebut akan menghasilkan suatu desain didaktis yang baru dan
inovatif.

Menurut Brouseau (2002), sebelum menyusun desain didaktis seorang guru


harus melakukan dua tahapan, yaitu repersonalisasi dan rekontekstualisasi.
Repersonalisasi merupakan proses berfikir dengan mendalami pola pikir ilmuan
ketika menemukan atau mempelajari suatu konsep tertentu. Sedangkan
rekontekstualisasi merupakan perancangan pengetahuan yang akan disampaikan
kepada siswa dengan cara yang lebih sederhana dari hasil repersonalisasi
sebelumnya.

Suryadi (2010c) mengatakan bahwa, desain didaktis dirumuskan oleh guru


sebelum pembelajaran berlangsung dengan memikirkan situasi-situasi didaktis
kemudian menganalisis berbagai kemungkinan respon siswa terhadap situasi
didaktis, lalu menyiapkan Antisipasi Didaktis Pedagogis (ADP) berdasarkan
analisis tersebut. Antisipasi tersebut tidak hanya menyangkut hubungan siswa-
10

materi, akan tetapi juga hubungan guru-siswa baik secara individu, maupun
kelompok atau kelas.

Masih menurut Suryadi (2010c), bahwa dalam pembelajaran terdapat dua


aspek yang mendasar yaitu hubungan siswa dan materi dan hubungan antara guru
dan siswa. Kansanen (dalam Suryadi, 2010c) menggambarkan hubungan antara
guru-siswa-materi sebagai sebuah segitiga didaktis sebagai berikut:

Gambar 2.1 Segitiga Didaktis yang Dimodifikasi (Suryadi, 2010c)

Dalam segitiga didaktis tersebut digambarkan hubungan didaktis (HD) antara


siswa dan materi, serta hubungan pedagogis (HP) antara guru dan siswa, serta
hubungan antisipatif guru-materi yang selanjutnya disebut Antisipasi Didaktis
Pedagogis (ADP) Hubungan Guru-Siswa-Materi. Suryadi (2010c) menyatakan
bahwa peran guru paling utama dalam konteks segitiga didaktis ini adalah
menciptakan suatu situasi didaktis (didactical situation) sehingga terjadi proses
belajar dalam diri siswa (learning situation). Ini berarti bahwa seorang guru selain
perlu menguasai materi ajar, juga perlu memiliki pengetahuan lain yang terkait
dengan siswa serta mampu menciptakan situasi didaktis yang dapat mendorong
proses belajar secara optimal. Dengan kata lain, seorang guru perlu memiliki
kemampuan menciptakan relasi didaktis (didactical relation) antara siswa dan
materi ajar sehingga tercipta suatu situasi didaktis ideal bagi siswa.

Seorang guru harus memiliki kemampuan didaktis dan pedagogis, sehingga


guru harus mampu mengidentifikasi masalah dan tanggap dalam melakukan
11

tindakan agar pembelajaran terus berjalan lancar dan optimal. Kemampuan yang
harus dimiliki guru ini oleh Suryadi (2010c) disebut sebagai kemampuan
metapedadidaktis yang dapat diartikan sebagai kemampuan guru untuk
memandang komponen segitiga didaktis yang dimodifikasi, yaitu ADP, HD, dan
HP sebagai suatu kesatuan utuh, mengembangkan tindakan sehingga tercipta
situasi yang didaktis dan pedagogis yang sesuai dengan kebutuhan siswa,
mengidentifikasi serta menganalisis respon siswa sebagai akibat tindakan didaktis
maupun pedagogis yang dilakukan serta melakukan tindakan didaktis dan
pedagogis lanjutan berdasarkan hasil analisis respon siswa menuju pencapaian
target pembelajaran.

Menurut Suryadi (2010c), metapedadidaktik meliputi tiga komponen yang


terintegrasi, yaitu kesatuan, fleksibilitas, dan koherensi. Tiga komponen
metapedadidaktis tersebut tidak akan lepas dalam penyusunan sebuah desain
didaktis. Ketika merencanakan sebuah desain didaktis, seorang guru harus dapat
memandang segitiga didaktis secara utuh karena desain didaktis harus
mengandung kesatuan antara HD, HP, dan ADP. Sehingga, sebuah desain didaktis
akan fleksibel terhadap segala situasi atau respon siswa, dan koheren antar semua
komponennya menyebabkan proses pembelajaran berlangsung secara dinamis dan
memungkinkan desain didaktis berubah. Namun, hal tersebut harus tetap menuju
tujuan pembelajaran yang telah ditentukan.

2.2. Hambatan Belajar


Brosseau (2002) mengungkapkan bahwa hambatan belajar adalah keadaan
dimana siswa menerima suatu informasi yang dianggap benar olehnya tetapi
ternyata salah karena keterbatasan pengetahuan yang dimiliki siswa tersebut.
Dalam Brosseau (2002) bahwa definisi dari hambatan (obstacle) ialah:

...errors are not onliy the effect of ignorance, of uncertainty, of chance , as


espoused by empirist or behaviourist learning theories, but the effect of a
previous piece of knowledge which was interesting and successful, but
which now is revealed as false or simply unadapted. Errors of this type are
12

not erratic and unexpected, they constitute obstacle. As much in the


teacher’s functioning as in that of the student, the error is a component the
meaning of the acquired piece of knowladge.

Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa hambatan bukan


merupakan kesalahan-kesalahan yang terjadi karena ketidaktahuan,
ketidakpastian, untung-untungan yang didukung oleh teori belajar empiris atau
behaviouris, tetapi kesalahan-kesalahan yang terjadi diperoleh berdasarkan proses
memaknai pengetahuan.

Duroux, 1982 (dalam Brosseau, 2002) mengungkapkan bahwa “An obstacle


is a piece of knowledge or a conception, not a difficulty or a lack of knowledge”.
Menurutnya hambatan adalah sebuah potongan pengetahuan atau konsepsi, bukan
kesulitan atau kurangnya pengetahuan.

Munculnya hambatan belajar dapat disebabkan oleh beberapa sumber dan


tidak dapat menyalahkan salah satu aspek guru atau murid sesuai yang
diungkapkan Brosseau (2002) bahwa “These obstacles to the student’s
appropriation of certain nation could be due to several causes. It is difficult to put
the blame on only one of the systems of interaction”.

Brousseau (2002) menjelaskan tiga jenis hambatan yang dibagi berdasarkan


sistem (guru-siswa-materi) yaitu hambatan ontogenik, hambatan didaktis dan
hambatan epistemologis.

2.2.1. Hambatan Ontogenik


Hambatan ontogenik muncul akibat keterbatasan yang dimiliki yang
dimiliki siswa (salah satunya neurofisiologis) pada tahap
perkembangannya. Salah satu kasusnya adalah ketidaksiapan mental
belajar peserta didik karena perkembangan mental dan kognitif yang jauh
tertinggal dengan perkembangan biologisnya.
13

2.2.2. Hambatan Didaktis


Hambatan didaktis merupakan hambatan yang dialami siswa akibat
proses transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Hambatan ini sangat
berkaitan dengan cara guru menyampaikan materi kepada siswa.
2.2.3. Hambatan Epistemologis
Hambatan ini disebabkan oleh terbatasnya pengetahuan seseorang
pada konteks tertentu. Apabila siswa dihadapkan dengan konteks yang
berbeda, mereka akan mengalami hambatan seolah pengetahuan yang telah
dimiliki tidak berguna.
Masih menurut Brousseau (2002) untuk dapat menentukan hambatan
belajar epistemologis yang terjadi dapat dilakukan analisis pendekatan historis.
Dalam bukunya yang berjudul Theory of Didactical Situation, Brousseau
(2002) memaparkan analisis pendekatan historis adalah analisis dengan
menggunakan pertanyaan agar dapat yang melihat bagaimana siswa;
1. Menggambarkan pengetahuan yang dipelajari dan memahami
penggunaannya,
2. Menjelaskan manfaat dari penggunaan pengetahuan yang telah dipelajari,
3. Melihat hubungan dari suatu konsep dengan konsep yang lain, untuk
memahami keterbatasan dan kesulitan siswa pada konsep tersebut
sehingga akhirnya dapat menemukan penyebab kegagalan konsep tersebut,
4. Mengidentifikasi suatu keadaan permasalahan dan memberikan alasan atas
penyelesaian yang diberikan,
5. Mengulangi respon yang salah pada permasalahan yang sama persis atau
mirip, serta bagaimana siswa memahami setiap permasalahan tersebut.

2.3. Lintasan Pembelajaran (Learning Trajectory)


Kegiatan belajar pada umumnya terdiri dari proses-proses yang berurutan dan
sistematis sehingga tujuan pembelajaran yang diinginkan dapat tercapai dengan
baik. Proses yang berurutan dan sistematis dalam belajar tersebut dikenal dengan
istilah learning trajectory (lintasan pembelajaran). Dalam penelitian ini, lintasan
14

pembelajaran yang dimaksud dikenal dengan Hypothetical Learning Trajectory


(HLT). Simon (dalam Bakker, 2004) mendefinisikan HLT sebagai berikut :
The hypothetical learning trajectory is made up of three components: the
learning goal that defines the direction, the learning activities, and the
hypothetical learning process a prediction of how the students’ thinking and
understanding will evolve in the context of the learning activities (p. 136).
Menurutnya, HLT harus terdiri dari tiga komponen yaitu tujuan pembelajaran
yang mendefinisikan arah (tujuan pembelajaran), kegiatan belajar, dan hipotesis
proses belajar untuk memprediksi bagaimana pikiran dan pemahaman siswa akan
berkembang dalam konteks kegiatan belajar. Seorang guru perlu memikirkan
lintasan pembelajaran agar pembelajaran menjadi terarah dan tahapan-tahapan
yang dilalui selama pembelajaran sesuai dengan perkembangan siswa.

2.4. Konsep Momentum dan Impuls


2.4.1. Momentum
Jika ada sebuah truk dan sebuah mobil sedan yang bergerak dengan
kecepatan yang sama, kemudian kedua mobil tersebut ingin menghentikan
dirinya. Maka, mobil truk akan lebih sulit untuk berhenti dibandingkan
dengan mobil sedan. Pun sama, jika dalam kasus lain kita memiliki dua mobil
dengan massa yang sama, namun salah satu mobil melaju lebih cepat, maka
akan lebih sulit untuk menghentikan mobil yang bergerak dengan lebih cepat.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi?

Ternyata, secara fisis ukuran kesulitan benda untuk menghentkan


geraknya didefinisikan sebagai momentum. Maka, momentum hanya dimiliki
oleh benda yang memiliki kecepatan.

Secara matematis, momentum merupakan hasil kali antara massa benda


(m) dan kecepatan yang dimiliki benda (v), yang dapat ditulis sebagai berikut:

𝑝⃗ = 𝑚 𝑥 𝑣⃗
Keterangan:
𝑝⃗ = momentum (kgm/s)
𝑚 = massa benda (kg)
15

𝑣⃗ = kecepatan benda (m/s)

Jika kita perhatikan persamaannya, maka terlihat bahwa massa m


merupakan besaran skalar dan kecepatan v merupakan besaran vektor.
Besaran skalar dikalikan dengan besaran vektor akan menghasilkan besaran
vektor. Maka, momentum merupakan besaran vektor. Sehingga, ketika
mengoperasikannya harus mengetahui besar dan arahnya.

2.4.2. Impuls
Pernahkah kamu menendang sebuah bola yang sedang diam? Atau
melihat tendangan pinalti yang dilakukan oleh seorang pemain bola? Jika kita
perhatikan, walaupun kontak antara kaki dan bola hanya sesaat, namun bola
dapat bergerak dengan kecepatan tertentu. Jika kita kembalikan lagi pada
konsep momentum, maka pada bola yang mulanya diam kemudian memiliki
kecepatan terjadi perubahan momentum akibat adanya gaya yang diberikan
dalam selang waktu tertentu. Gaya seperti itu, yang bekerja dalam selang
waktu yang singkat disebut dengan gaya impulsif.

Gaya impulsif yang bekerja pada suatu benda dikenal dengan sebutan
impuls. Maka, secara matematis impuls diartikan sebagai hasil kali gaya
impulsif dan selang waktu singkat.

𝐼⃗ = 𝐹⃗ 𝑥 ∆𝑡

Keterangan:
𝐼⃗ = Impuls (Ns)
𝐹⃗ = Gaya impulsif yang bekerja (N)
∆𝑡 = selang waktu selama gaya impulsif bekerja (s)
2.4.3. Hubungan Momentum dan Impuls
Kita misalkan sebuah bola baseball dilempar oleh seorang picker ke
arah seorang batter dengan kecepatan awal v0, sesaat sebelum batter
memukul. Kemudian, setelah bola dipukul (impuls bekerja), kecepatan akhir
bola adalah vt . Menurut Hukum II Newton, benda menerima gaya yang
16

searah dengan gerak benda, maka benda akan dipercepat. Percepatan rata-rata
yang disebabkan oleh gaya F adalah sebagai berikut:
𝐹⃗
𝑎⃗ =
𝑚
⃗⃗⃗⃗⃗⃗
∆𝑣 ⃗⃗⃗⃗⃗−𝑣
𝑣𝑡 ⃗⃗⃗⃗⃗
0
Karena percepatan rata-rata 𝑎⃗ = = , maka:
∆𝑡 ∆𝑡

𝑣𝑡 − ⃗⃗⃗⃗⃗
⃗⃗⃗⃗ 𝑣0
𝐹⃗ = 𝑚 ( )
∆𝑡

𝐹⃗ ∆𝑡 = 𝑚𝑣
⃗⃗⃗⃗𝑡 − 𝑚𝑣
⃗⃗⃗⃗⃗0
⃗⃗⃗⃗𝑡 = ⃗⃗⃗⃗
Apabila 𝑚𝑣 𝑣0 = ⃗⃗⃗⃗⃗
𝑃𝑡 dan ⃗⃗⃗⃗⃗ 𝑃0 , persaman diatas dapat kita tulis
sebagai:
𝐼⃗ = ∆𝑃⃗⃗ = ⃗⃗⃗⃗
𝑃𝑡 − ⃗⃗⃗⃗⃗
𝑃0
Persamaan diatas dapat dinyatakan sebagai: “Impuls yang dikerjakan
pada suatu benda sama dengan perubahan momentum yang dialami
benda tersebut, yaitu beda antara momentum akhir dan momentum
awalnya”.
Persamaan 𝐼⃗ = ∆𝑃⃗⃗ menunjukkan bahwa perubahan momentum yang
besar akan menghasilkan impuls yang besar pula.
2.5. Keterkaitan Desain Didaktis, Hambatan Belajar dan Konsep Momentum
dan Impuls
Berdasarkan ketiga variabel yang terdapat dalam penelitian ini, dapat
disusun kerangka penelitian sebagai berikut.

Tabel 2.1 Kerangka Pikir Penelitian Desain Didaktis


No Desain Didaktis Hambatan Belajar Konsep Momentum dan Impuls
1. Repersonalisasi Tahap ini guru terlebih dahulu
melakukan analisis mengenai
kedalaman materi yang akan di
ajarkan. Dengan mengacu pada
silabus kurikulum 2013. Kemudian,
guru mengambil beberapa konsep
17

No Desain Didaktis Hambatan Belajar Konsep Momentum dan Impuls


esensial yang dianggap diperlukan
oleh siswa.
2. Rekontekstualis Berdasarkan hasil repersonalisasi,
asi guru melakukan penyusunan
kembali materi mengenai konsep
momentum dan impuls. Guru
menyusun kembali alur belajar
yang mana didalamnya terdapat
konsep esensial serta merencanakan
bagaimana konsep momentum dan
impuls akan disampaikan kepada
siswa.
3. Penyusunan Guru membuat Guru membuat soal dari setiap
soal Tes coding hambatan konsep esensial dari Momentum
Kemampuan belajar siswa dan Impuls
Responden yang mungkin
mucul pada setiap
konsep esensial
4. Pengambilan Guru melakukan uji coba soal
data soal TKR kepada siswa yang telah
mempelajari konsep Momentum
dan Impuls
5. Analisis Guru melakukan Guu menghitung presentase siswa
Hambatan analisis terhadap yang masih mengalami hambatan
Belajar Siswa hasil TKR yang belajar epistemology, kemudian
telah diuji mengelompokan siswa yang
cobakan, mengalami hambatan ke dalam
kemudian coding yang sudah dibuat
mengidentifikasi
18

No Desain Didaktis Hambatan Belajar Konsep Momentum dan Impuls


hambatan belajar
epistemology
yang muncul
6. Merancang Guru Guru melakukan penyusunan
desain didaktis mengidentifikasi desain didaktis konsep momentum
hambatan belajar dan impuls dengan
yang muncul pada mempertimbangkan hambatan yang
setiap konsep masih muncul serta berdasarkan
esensial pola jawaban siswa dari hasil TKR
7. Implementasi Guru melakukan implementasi
desain didaktis terhadap desain yang telah disusun
pada tahap sebelumnya, adapun
susunan konsep esensial yang
diimplementasikan sebagai berikut:
momentum, impuls, hubungan
momentum dan impuls
8. Analisis hasil Guru melakukan Guru melakukan analisis terhadap
implementasi analisis terhadap rekaman video, dari rekaman
hasil rekaman tersebut guru melihat implementasi
video. Dari yang dilaksanakan sudah sesuai
rekaman tersebut dengan desain yang dibuat ataukan
guru menganalisis terdapat desain yang berbeda.
mengenai respon
siswa, apakah
masih mengalami
hambatan belajar
yang
diprediksikan
atau tidak.
19

No Desain Didaktis Hambatan Belajar Konsep Momentum dan Impuls


9. Revisi desain Guru melakukan revisi desain
didaktis dengan mempertimbangkan hasil
analisis hambatan belajar yang
masih muncul serta
menghubungkannya dengan
implementasi yang sudah
dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai