Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

PEDOFILIA DAN PENCULIKAN ANAK DI INDONESIA


PROBLEM BASED LEARNING

OLEH : HOME GROUP I

AJI WIBISONO
AMALIA LARASATI
ANDREA GILANG FAUZI
AULIA FIRDIANA
HASNA APRILIA
LINATRI PURWATI LATIFAH
MUHAMMAD YUSUF

UNIVERSITAS INDONESIA
2017
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Pedofilia dan Penculikan Anak di Indonesia

Paedophilia didefinisikan sebagai gangguan kejiwaan pada orang dewasa atau


remaja yang telah mulai dewasa (pribadi dengan usia 16 atau lebih tua) biasanya ditandai
dengan suatu kepentingan seksual primer atau eksklusif pada anak prapuber (umumnya
usia 13 tahun atau lebih muda) diklasifikasikan sebagai paedophilia. Kata paedophilia
berasal dari bahasa Yunani : paedophylia – pais(“anak-anak”) dan philia (“cinta yang
bersahabat” atau “persahabatan”). Pada kenyataanya makna kecintaan terhadap anak telah
berubah lebih menunjukan pada kekejian atau perbuatan yang dapat diartikan sebagai
penganiayaan atau kekerasan pada anak. Istilah pedofilia diciptakan pada tahun 1886 oleh
psikiater asal Wina, Richard von Krafft-Ebing dalam tulisannya Psychopathia Sexualis.
Kemudian berlaku umum pada abad 20 ini.

Sementara itu, Asosiasi Psikiatri Amerika (APA) dalam buku Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders 4th Edition menyebutkan, diagnosis pedofil dapat
ditegakkan dengan tiga kriteria, yakni:

1. Selama masa sedikitnya enam bulan terjadi rangsangan, dorongan yang berulang-ulang
untuk melakukan seks dengan anak-anak (umumnya berusia 13 tahun atau lebih muda).
2. Seseorang berbuat atas dorongan seksual ini atau dorongan ini menimbukan tekanan atau
gangguan kepribadian interpersonal.
3. Berusia sedikitnya 16 tahun atau setidaknya lima tahun lebih tua ketimbang anak pada
kriteria 1.

Seorang pedofilia biasanya laki-laki yang sudah dewasa berumur antara 30-45
tahun, kondisi mereka mempunyai kelainan mental, bersifat psikopat, alkoholik, dan
bertingkah asusila, di Indonesia perilaku ini juga sering menjadi suatu persyaratan untuk
mendapatan suatu ilmu tertentu.

Hingga saat ini, belum diketahui penyebab pasti pedofilia. Namun, pedofilia sering
kali menandakan ketidakmampuan berhubungan dengan sesama orang dewasa atau adanya
ketakutan wanita untuk menjalin hubungan dengan sesama orang dewasa. Jadi, bisa
dikatakan sebagai suatu kompensasi dari penyaluran nafsu seksual yang tidak dapat
disalurkan kepada orang dewasa. Berikut adalah faktor-faktor yang meyebabkan seseorang
melakukan pedofil adalah sebagai berikut:

1. Keluarga yang terpisah/orang tua bercerai


2. Kondisi sosial ekonomi yang kurang
3. Kurang perhatian dari orang tua
4. Mengalami hal/perlakuan kekerasan seksual pada masa kecilnya
5. Kehilangan cinta kasih dari orang-orang sekitarnya

Diagnostik dan Statistik Manual Gangguan Mental Edisi ke-4 Edisi Revisi (DSM-
IV-TR) menguraikan kriteria khusus untuk digunakan dalam diagnosis gangguan ini.
Pelaku pedofilia terpacu dengan adanya fantasi seksual yang membangkitkan gairah,
perilaku atau dorongan yang melibatkan beberapa jenis aktivitas seksual dengan anak
praremaja selama enam bulan atau lebih, dan bahwa subjek telah bertindak atas hal tersebut
karena dorongan atau mengalami dari kesulitan sebagai hasil dari memiliki perasaan ini.

Kriteria ini juga menunjukkan bahwa subjek harus berusia 16 tahun atau lebih tua
dan bahwa seorang anak atau anak-anak mereka berfantasi tentang setidaknya terhadap
anak yang berusia lima tahun lebih muda dari mereka, meskipun hubungan seksual
berlangsung antara usia 12-13 tahun dan masa-masa akhir remaja disarankan untuk
dikecualikan. Diagnosis lebih lanjut ditentukan oleh jenis kelamin anak orang tersebut
tertarik, jika impuls atau tindakan terbatas pada inses, dan jika daya tarik adalah "eksklusif"
atau "noneksklusif.

Penculikan Anak

Penculikan adalah kejahatan yang meilki beberapa unsur pokok seperti membawa
pergi seseorang dari tempat kediamannya atau tempat tinggalnya sementara, misalnya
dibawa pergi dari rumahnya atau tempat kostnya dan membawa pergi itu dengan maksud
untuk menempatkan orang itu secara melawan hukum dibawah kekuasaannya atau
kekuasaan orang lainatau untuk membuat dia dalam keadaan sengasara

Penculikan anak di Indonesia marak terjadi di Indonesia dan motif penculikan ini
bertujuan untuk dapat menghasilkan uang perasan dari orang tua korban atau prakti adopsi
ilegal, Ketua Komisi Nasional Perlindungan anak, arist Merdeka Sirait, mengatakan, ada
empat tujuan kuat mengapa pelaku melakukan penculikan.
a. Penculikan yang bertujuan untuk praktik adopsi illegal
Untuk kasus praktik adopsi ilegal ini biasanya penculikan bayi terjadi di klinik,
rumah sakit bersalin atau pusat kesehatan masyarakat. Pelakunya bisa orang lain yang
bukan pekerja rumah sakit yang berpura-pura sebagai petugas kesehatan dirumah sakit
tersebut, namun tidak menutup kemungkinan pelakunya bisa pegawai rumah sakit
tersebut atau informan bahkan eksekutor penculikan pada bayi ini adalah paramedis
seperti bidan yang bertugas di klinik tersebut.
b. Latar belakang untuk tebusan
Untuk penculikan dalam kasus ini, sasaran yang diculik adalah anak yang sudah
dapat berbicara. Umumnya berumur dua, tujuh, hingga sepuluh tahun, bertujuan ini,
pelaku tidak akan menculik jika anak belum bisa berkomunikasi, alasannya untuk bisa
mengungkap keluarga anak lalu meminta tebusan kepada orang tua si anak tersebut.
c. Eksploitasi ekonomi
Anak diculik untuk sengaja dipekerjakan, misalnya seperti pengemis anak jalanan,
biasanya anak yang diculik ialah anak yang berusia yang sudah sepuluh tahun kebawah.
d. Dijadikan sebagai pekerja sex komersial anak
Dalam hal ini, anak berusia empat belas tahunan yang menjadi sasarannya, korban
penculikan anak usia ini ada diperkerjakan sebagai PSK di dalam negeri dan ada pula
yang dikirim keluar Indonesia.

Dan ini belum ada datapasti, yaitu penculikan anak untuk berjualan organ tubuh,
keepolisian daerah Metro Jaya mencatat jumlah kasus penculikan anak, yang terjadi dari
tahun 2011 dan perbandingannya di 2012, tidaklah signifikan. Akan tetapi, tetap saja,
bagaimanapun, tidak kriminalitas ini harus ditangani aparat penegak hukum dan mendapat
perhatian lebih dari berbagai kalangan.

B. Kelainan Mental yang berujung Kejahatan pada Anak

Penting untuk diketahui bahwa pedofilia adalah penyakit, bukan dosa. Tidak semua
pedofil melakukan pelecehan pada anak, dan tentunya tidak semua orang yang melakukan
kekerasan seksual pada anak-anak merupakan pedofil.

Pedofilia biasanya terdeteksi oleh diri sendiri setelah masa puber, saat orientasi
seksual seseorang terfokus pada anak-anak, bukan orang dewasa. Ia tidak dapat
menentukan orientasi seksual mereka dan kemudian merasa takut akan diri mereka sendiri.
Mereka juga sering mengalami diskriminasi sosial; sulit bagi mereka untuk terlibat dalam
komunitas dan berhubungan dengan orang lain. Ini membuatnya tertarik pada anak-anak
karena mereka tergolong masih polos dan tidak menghakimi seperti orang dewasa.

Penyebab seseorang menjadi pedofil

Ada teori yang berbeda-beda mengenai mengapa seseorang bisa menjadi pedofil.
Beberapa di antaranya adalah:

1. Kelainan otak
Beberapa ahli mengatakan bahwa salah satu kemungkinan penyebab pedofilia
adalah kelainan perkembangan saraf. Tercatat, ada perbedaan dalam struktur otak di diri
pedofil, tepatnya di bagian frontocortical, jumlah materi abu-abu, unilateral, bilateral lobus
frontal dan lobus temporal dan cerebellar.
Menurut penelitian, perbedaan ini mirip dengan orang-orang dengan gangguan
kontrol impuls, seperti OCD, kecanduan dan gangguan kepribadian antisosial. Kelainan
otak itu mungkin terjadi saat bayi atau dalam kandungan ketika otak sedang terbentuk.
Namun, gangguan stres pasca-trauma juga bisa menyebabkan kelainan otak.
2. Perbedaan neurologis
Perbedaan neurologis lain yang ditemukan pada para pedofil adalah cenderung
memiliki tingkat kecerdasan yang lebih rendah dibanding kebanyakan orang lain.
Umumnya, semakin rendah tingkat kecerdasan seorang pedofil, semakin muda korban
yang disukainya.

3. Faktor lingkungan
Selain faktor fisiologis, faktor lingkungan juga turut berperan dalam terbentuknya
pedofilia. Ada banyak kontroversi mengenai apakah seseorang yang pernah mengalami
pelecehan seksual di masa kecilnya, akan tumbuh dengan perilaku seksual menyimpang.
Statistik menunjukkan, bahwa secara umum, lebih banyak orang dewasa dengan perilaku
seksual menyimpang, pernah mengalami pelecehan seksual sewaktu mereka masih anak-
anak.

4. Masalah tumbuh kembang


Sebanyak 61 persen pedofil pernah tidak naik kelas saat mereka masih bersekolah,
atau mengeyam pendidikan di sekolah untuk anak berkebutuhan khsusus (Hall & Hall,
2007). Seperti disebutkan sebelumnya, peneliti menemukan bahwa pedofil cenderung ber-
IQ lebih rendah daripada orang lain.Hasrat seseorang pedofil muncul ketika pelaku
pedofilia melihat anak-anak yang sedang telanjang, sama seperti seorang pria hetero
melihat perempuan yang berusia sama.

5. Trauma Masa Kecil


Dalam studi dan artikel yang ditulis oleh sosiolog Richard Hall dan Ryan Hall,
kebanyakan pedofil pernah mengalami pelecehan seksual di masa kecilnya, atau hal lain
yang berkaitan dengan masalah seksual. Selama tidak ditangani dengan baik oleh psikolog
dan psikiater, seorang korban pelecehan seksual di masa kecil, atau anak-anak yang
terbiasa dengan pornografi anak (misalnya, nonton pornografi anak, dll), bisa berpotensi
menjadi pedofil. Untuk faktor sosial yang satu ini, orangtua dan orang terdekat lain
memang harus menjaga banget supaya anak tidak terkena pelecehan seksual, atau
menyantap konten-konten yang tidak seharusnya dikonsumsi anak-anak.

Tempat dengan banyak anak-anak biasanya menjadi tempat yang sangat rentan untuk
terjadinya kasus kekerasan seksual anak, misalnya di sekolah, tempat bermain, maupun panti
asuhan bahkan di rumah sendiri karena sebagian besar pelaku pelecehan seksual adalah orang yang
dikenal oleh korban mereka; sekitar 30% adalah keluarga dari si anak, paling sering adalah saudara
laki-laki, ayah, paman, ataupun sepupu; sekitar 60% adalah kenalan lainnya seperti ‘teman’ dari
keluarga, pengasuh, atau tetangga. Sedangkan orang asing yang menjadi pelaku kekerasan seksual
sebesar 10%.

C. Memberikan Efek Jera Pada Pelaku Pedofilia


Memberantas tindak pedofilia dan kekerasan seksual secara tuntas, dengan melihat
beragam faktor penyebabnya itu, maka tidak bisa dilakukan secara parsial. Akan tetapi
hanya bisa dilakukan secara sistemis ideologis. Hal itu tidak lain dengan menerapkan
syariah islamiyah secara total melalui negara.
Secara mendasar, syariah Islam mengharuskan negara untuk senantiasa
menanamkan akidah Islam dan membangun ketakwaan pada diri rakyat. Negara pun juga
berkewajiban menanamkan dan memahamkan nilai-nilai norma, moral, budaya, pemikiran
dan sistem Islam kepada rakyat. Hal itu ditempuh melalui semua sistem, terutama sistem
pendidikan baik formal maupun non formal dengan beragam institusi, saluran dan
sarana. Dengan begitu, maka rakyat akan memiliki kendali internal yang menghalanginya
dari tindakan kriminal termasuk kekerasan seksual dan pedofilia. Dengan itu pula, rakyat
bisa menyaring informasi, pemikiran dan budaya yang merusak. Penanaman keimanan
dan ketakwaan juga membuat masyarakat tidak didominasi oleh sikap hedonis,
mengutamakan kepuasan materi dan jasmani. Begitupun dengan semua itu rakyat banyak
juga bisa terhindar dari pola hidup yang mengejar-ngejar dunia dan materi yang seringkali
membuat orang lupa daratan, stres dan depresi yang membuatnya bersikap kalap.
Negara juga tidak akan membiarkan penyebaran pornografi dan pornoaksi di
tengah masyarakat. Sebaliknya di masyarakat akan ditanamkan kesopanan dan nilai-nilai
luhur.
Disamping itu melalui penerapan sistem ekonomi Islam, jaminan pemenuhan
kebutuhan pokok akan diberikan oleh negara melalui mekanisme syar’i. Setiap rakyat juga
bisa mendapat peluang yang sama untuk mengakses berbagai pelayanan publik dan
sumberdaya ekonomi. Kekayaan juga akan bisa didistribusikan secara merata diantara
rakyat. Dengan itu maka faktor himpitan dan tekanan ekonomi menjadi minimal.
Ringkasnya, penerapan sistem Islam akan meminimalkan seminimal mungkin
faktor-faktor yang bisa memicu terjadinya kekerasan seksual, pedofilia, sodomi dan
perilaku seksual menyimpang lainnya. Namun jiak masih ada yang melakukannya, maka
sistem ‘uqubat Islam akan menjadi benteng yang bisa melindungi masyarakat dari semua
itu. Hal itu dengan dijatuhkannya sanksi hukum yang berat yang bisa memberikan efek
jera bagi pelaku kriminal dan mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa. Pelaku
pedofilia dalam bentuk sodomi akan dijatuhi hukuman mati. Begitupun pelaku
homoseksual. Sehingga perilaku itu tidak akan menyebar di masyarakat. Hukuman mati
itu didasarkan kepada sabda Rasul saw:
“Siapa saja yang kalian temukan melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual) maka bunuhlah
pelaku (yang menyodomi) dan pasangannya (yang disodomi).” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi,
Ibn Majah, Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi)

Ijmak sahabat juga menyatakan bahwa hukuman bagi pelaku homoseksual adalah
hukuman mati, meski diantara para sahabat berbeda pendapat tentang cara hukuman mati
itu. Hal itu tanpa dibedakan apakah pelaku sudah menikah (muhshan) atau belum pernah
menikah (ghayr muhshan).
Jika kekerasan seksual itu bukan dalam bentuk sodomi (homoseksual) tetapi dalam
bentuk perkosaan, maka pelakunya jika jika muhshan akan dirajam hingga mati, sedangkan
jika ghayr muhshan akan dijilid seratus kali. Jika pelecehan seksual tidak sampai tingkat
itu, maka pelakunya akan dijatuhi sanksi ta’zir. Bentuk dan kadar sanksinya diserahkan
kepada ijtihad khalifah dan qadhi.

D. Cara Pencegahan Penculikan dan Pedofilia pada Anak


Bahasan populer tentang pedofilia sering dikaitkan dengan ketertarikan secara
seksual kepada anak-anak atau tindakan pelecehan seksual terhadap anak. Hal ini tidak
sepenuhnya tepat karena dalam kenyataan sehari-hari pelaku tindakan kekerasan atau
pelecehan seksual kepada anak tidak selalu memiliki ketertarikan secara ekslusif kepada
anak. pencegahan adalah yang paling utama. Dibawah ini adalah cara pencegahan agar
anak agar menghindari penculikan maupun kekerasan seksual:
1. Biasakan untuk mengikuti kata "tidak" dan "stop" dari anak. Misalnya saat ia
menolak dicium atau minta berhenti saat digelitiki. Apakah anak belajar
mengendalikan dan menghormati kenyamanan tubuhnya akan ditentukan oleh
reaksi orangtua.

Jangan bilang "sedikit saja", atau "masak gak mau dicium". Bayangkan bila kalimat
yang sama diucapkan orang yang berbahaya.

2. Contohkan anak sejak dini untuk membedakan bagian tubuh yang aman dan tidak
aman untuk disentuh.

Tunjukan sentuhan aman saat menjabat dan mencium tangan, tidak pada sembarang
orang.lalu jelaskan sentuhan tidak aman saat memegang bagian tubuh yang tertutup
rapat. Biasakan anak untuk mempercayai intuisinya terhadap bahaya. Ada situasi
dimana anak merasa khawatir saat bertemu orang tertentu atau melewati jalan baru.
Kemudian, jangan larang anak mendengarkan yang dirasakan. Anjurkan anak
berpikir cara untuk lebih berhati-hati, menunggu sampai ada orang yang
menyeberang berbarengan, tidak duduk di taksi sebelum orangtua masuk duluan,
dan seterusnya.
3. Latih secara spesifik kemampuan anak menghadapi bahaya di tempat umum.
Misalnya berteriak "tolong" dan bukan "bunda/mama" akan membuat orang
disekeliling lebih waspada. Kemudian, memperhatikan letak pintu dan stop kontak
setiap masuk ke ruangan baru, dan berbagai teknik sederhana lainnya.

4. Bangun secara perlahan jaringan sosial Jaringan ini bisa lebih dari satu orang yang
ikut menjaga keamanan anak - seperti nenek dan kakak yang bisa menjadi tempat
bercerita. Kenyataan yang menyedihkan tapi sering terjadi, orangtua seringkali
bukan pihak yang tahu pertama tentang berbagai hal, sehingga anak perlu beberapa
figur lain yang bisa membela dia.

5. Ajarkan anak tentang rahasia, apa informasi yang boleh disembunyikan dari
orangtua, dan mana yang harus diceritakan walaupun diminta seseorang untuk
tidak membocorkannya.
"Rahasia baik, itu kejutan yang kalau ibu tahu pasti senang -- misalnya hadiah
ulangtahun. Rahasia buruk bila bikin ketakutan dan malu kalau nanti ketahuan
ibu," tutur dia.
6. Tumbuhkan disiplin diri anak tanpa ancaman dan sogokan. Pelaku kekerasan
seksual dengan sengaja memilih anak-anak rentan yang mudah ketakutan,
kecanduan pujian dan mencari imbalan untuk melakukan sesuatu.

7. Pelaku kekerasan biasanya orang yang dikenal, menggunakan teknik "perawatan"


untuk mendekatkan diri ke anak dan orangtua.

8. Percaya kepada apa yang dikatakan anak kita. Ketika anak-anak mengungkapkan
mereka mengalami pelecehan seksual, mereka mengatakan kebenaran hampir 95-98%.

9. Pelecehan seksual terjadi ketika seorang anak sendirian dengan pedofil di dalam mobil,
toilet, ruang kelas kosong atau lorong, atau bahkan di daerah tersembunyi dari tempat
umum seperti kantong tidur bersama di saat camping bersama atau bioskop yang gelap.
Hindari membiarkan mereka sendirian tanpa pengawasan orang tua.

10. Orang dewasa yang tidak dikenal tidak diperbolehkan memiliki komunikasi pribadi
dengan anak kita melalui SMS, WA, BBM, email, panggilan telepon, atau sendirian
dengan mereka. Jangan lupa masalah kekerasan seksual kepada anak juga bisa
melibatkan orang terdekat dari si anak sendiri seperti pamannya.

11. Pastikan anak kita tahu dan menggunakan kata-kata yang benar untuk bagian pribadi
mereka: penis, vagina, skrotum, testis, anus, payudara, puting, dll.. Jika mereka mulai
merujuk ke vagina mereka sebagai sesuatu yang bisa “dimakan" atau dinikmati, kita
harus mulai menanyakan secara detail kepada anak kita tentang siapa yang mengatakan
hal tersebut pertama kepada mereka.
12. Situasi rumah tangga yang rentan; besar tanpa seorang ayah yang peduli untuk mereka,
atau dengan orang tua sibuk yang membiarkan mereka pergi ke berbagai tempat sendiri,
keluarga bercerai atau bahkan keluarga dengan orang tua yang sakit keras sehingga
perhatian kepada anak menjadi berkurang. Seorang anak yang sedih, kesepian, atau
penuh konflik lebih mudah untuk dimanipulasi oleh pedofil.

13. Ketika anak mulai bercerita masalah terkait pengalaman yang sekiranya bernuansa
seksual, jangan bereaksi berlebihan terlebih dahulu. Dengarkan mereka sampai habis
agar kita mendapatkan cerita yang jelas. Reaksi kita yang berlebihan akan membuatnya
diam dan memilih untuk menyimpan sendiri cerita detailnya.

14. Bawa anak kita ke pusat rehabilitasi atau crisis center yang ditangani oleh profesional
terlatih (psikiater, psikolog anak, psikolog klinis, pekerja sosial terlatih) di bidang ini.
Kesulitan bercerita pada anak karena sering kali mereka merasa tertekan dan dipaksa
untuk membahas terus-menerus kondisi hal tersebut oleh orang sekitarnya, termasuk
orang tua. Laporan anak seharusnya didapatkan dari satu kali cerita yang didengarkan
oleh orang yang memahami bagaimana memperoleh nformasi dari anak-anak yang
mengalami masalah pedofilia atau kekerasan seksual. Laporkan ke polisi bersama
dengan bantuan dari teman di crisis center tersebut. Oleh karena itu, biasakan untuk
terbuka dengan anak tentang orang-orang di sekitar. Ajak anak mengobservasi dan
peduli pada perubahan perilaku siapapun di lingkungan. Selain itu orang tua
membekali anak-anak mereka dengan informasi untuk menolak ajakan atau rayuan
orang yang tidak dikenal. Termasuk, anak-anak mesti diperkuat nyalinya untuk
melawan saat ada orang asing memaksanya ikut atau mengganggu.
DAFTAR PUSTAKA

http://www.kompasiana.com/psikosomatik_andri/cegah-anak-jadi-korban-pedofilia-dengan-cara-
cara-ini_56d643810523bd0b0cab6f66

http://www.harnas.co/2017/03/17/8-jurus-jauhkan-anak-jadi-korban-pedofilia

http://sidomi.com/515146/tips-mencegah-anak-menjadi-korban-penculikan/

https://m.tempo.co/read/news/2017/03/25/173859452/marak-isu-penculikan-anak-ini-tips-
pencegahan-dari-komnas-pa

http://www.dw.com/id/darimana-hasrat-seksual-pedofil-berasal/a-17651137

http://nationalgeographic.co.id/berita/2017/03/inilah-penyebab-seseorang-bisa-menjadi-pedofil/2

https://hellosehat.com/penyakit/pedofilia/

http://digilib.uinsby.ac.id/3354/2/Bab%201.pdf

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=372641&val=7218&title=PEDOFILIA%20
DAN%20KEKERASAN%20SEKSUAL:%20MASALAH%20DAN%20PERLINDUNGAN%20
TERHADAP%20ANAK

http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/02/03/mhnhr0-ini-penyebab-penculikan-
dan-hilangnya-anak

http://ekonomi.kompas.com/read/2010/01/22/11433517/mengenali.perilaku.si.pedofil

Anda mungkin juga menyukai