PENDAHULUAN
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti budaya atau karakter.
Etika memiliki beberapa arti dalam penggunaan umum. Pertama, etika yang mengacu
pada metode penyelidikan yang membantu orang memahami moralitasperilaku
manusia. Yaitu etika adalah studi Moralitas. Ketika digunakan dalam cara ini, etika
adalah suatu aktivitas. Etika adalah cara memandang atau menyelidiki isu tertentu
mengenai perilaku manusia. Kedua, etika mengacu pada praktik, keyakinan, dan
standar perilaku. (Koening Kathleen, 2012, 79).
Sedangkan kata ‘etika’ dalam kamus besar bahasa Indonesia yang baru
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988) mempunyai arti :
1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral
2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Sementara itu menurut Magnis Suseno, etika harus dibedakan dengan ajaran
moral. Moral dipandang sebagai ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah,
2
patokan-patokan, entah lisan atau tertulis, tentang bagaimana ia harus bertindak,
tentang bagaimana harus hidup dan bertindak, agar ia menjadi manusia yang baik.
Pendapat Magnis bahwa etika merupakan ilmu tidak berbeda dengan Bertens,
sebagaimana terminologinya yang ketiga tersebut, di samping pada bagian lain juga
menyatakan bahwa etika adalah ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu
tentang adat kebiasaan (Bertens, 1993: 4). Namun menurut Bertens, pengertian etika
selain sebagai ilmu, juga mencakup moral, baik arti nilai-nilai moral, norma-norma
moral, maupun kode etik. Adapun pendapat Magnis yang menyatakan etika sebagai
filsafat juga sesuai dengan pandangan umum yang menempatkan etika sebagi salah satu
dari enam cabang filsafat, yakni metafisika, epistemologi, metodologi, logika, dan
estetika. Bahkan, oleh filsuf besar Yunani, Aristoteles (384-322 s.M.), etika sudah
digunakan dalam pengertian filsafat moral.
3
Sedangkan tanggung jawab dapat dipertanggungjawabkan atau dapat dituntut
apabila ada kebebasan. Dengan demikian, masalah kebebasan dan tanggung
jawab dalam etika merupakan sebuah keniscayaan.
Kebebasan dan tanggung jawab merupakan dua sisi mata uang etika yang
harus ada. Jika keduanya tidak ada, maka pembahasan etika juga tidak ada.
Manusia mempunyai kebebasan untuk berbuat dan seharusnya manusia itu juga
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Terdapat hubungan timbal balik antara
kebebasan dan tanggung jawab, sehingga orang yang mengatakan “manusia itu
bebas, maka dia harus menerima konsekwensinya bahwa manusia itu harus
bertanggung jawab”. Maka dengan demikian, dalam etika, tidak ada kebebasan
tanpa tanggung jawab, begitu juga sebaliknya, tidak ada tanggung jawab tanpa
ada kebebasan.
Hak dan kewajiban merupakan hal yang sambung menyambung atau korelatif
antara satu dengan yang lainnya. Setiap ada hak, maka ada kewajiban. Kewajiban
pertama bagi manusia adalah supaya menghormati hak orang lain dan tidak
mengganggunya, sedangkan kewajiban bagi yang mempunyai hak adalah
mempergunakan haknya untuk kebaikan dirinya dan kebaikan manusia.
Ada filsuf yang berpendapat bahwa selalu ada hubungan timbal balik antara
hak dan kewajiban. Pandangan yang disebut “teori korelasi” itu terutama dianut
oleh pengikut utilitarianisme. Menurut mereka setiap kewajiban orang berkaitan
dengan hak orang lain, dan sebaliknya setiap hak seseorang berkaitan dengan
kewajiban orang lain untuk memenuhi hak tersebut. Mereka berpendapat bahwa
kita baru dapat berbicara tentang hak dalam arti sesungguhnya, jika ada korelasi
4
itu. Hak yang tidak ada kewajiban yang sesuai denganya tidak pantas disebut
“hak”.
Menurut pandangan etika kewajiban adalah pekerjaan yang dirasa oleh hati
sendiri mesti dikerjakan atau mesti ditinggalkan. Yaitu ketetapan pendirian
manusia memandang baik barang yang baik menurut kebenaran dan
menghentikan barang yang jahat menurut kebenaran, meskipun buat
menghentikan atau mengerjakan itu dia ditimpa bahaya atau bahagia, menderita
kelezatan atau kesakitan. Sedangkan yang menyuarakan kewajiban itu didalam
batin ialah hati sendiri. Bukan hati dengan artian segumpal darah tetapi perasaan
halus yang pada tiap-tiap manusia, sebagai pemberian Illahi terhadap dirinya,
itulah yang menjadi pelita menerangi jalan hidup, atau laksana mercu suar untuk
menunjukkan haluan kapal yang lalu lintas.
Dalam membahas etika sudah semestinya mebahas tentang baik dan buruk.
Baik dan buruk bisa dilihat dari akibat yang ditimbulkan dari perbuatan baik
maupun perbuatan buruk. Apabila akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya itu
baik, maka tindakan yang dilakukan itu benar secara etika, dan sebaliknya apabila
tindakannya berakibat tidak baik, maka secara etika salah.
Nilai baik dan buruk ditentukan oleh akal dan agama. Upaya akal dalam
mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk tersebut dimungkinkan oleh
pengalaman manusia juga. Berdasarkan pengalaman tersebut, disamping ada nilai
baik dan buruk yang temporal dan lokal, akal juga mampu menangkap suatu
perbuatan buruk, karena buruk akibatnya meskipun dalam zat perbuatan itu
sendiri tidaklah kelihatan keburukannya. Demikian sebaliknya, ada perbuatan
baik, karena baik akibatnya, meskipun dalam zat perbuatan itu tidak kelihatan
baiknya.
Derajat keburukan tidak perlu sama, mungkin hanya agak buruk, ada yang
buruk benar, ada pula yang terlalu buruk; tetapi semuanya itu buruk karena tidak
baik. Ternyata buruk itu suatu pengertian yang negatif pula. Bahkan adanya
tindakan yang dinilai buruk, karena tiadanya baik yang seharusnya ada. Jadi
5
bukan tindakannya semata-mata yang memburukkannya. Dari perumusan di atas
disimpulkan bahwa tugas etika ialah untuk mengetahui bagaimana orang
seharusnya bertindak.
Etika sebagai ilmu biasa dibedakan menjadi tiga macam, yaitu etika deskriptif,
etika normatif, dan meta etika. Etika deskriptif mempelajari tingkah laku moral dalam
arti luas, seperti adat kebiasaan, pandangan tentang baik dan buruk, perbuatan yang
diwajibkan, diperbolehkan, atau dilarang dalam suatu masyarakat, lingkungan budaya,
atau periode sejarah. Sebagai contoh, pengenalan terhadap adat kawin lari di kalangan
masyarakat Bali, yang disebut mrangkat atau ngrorod (Koetjaraningrat, 1980: 288).
6
a. Etika Deskriptif
Di sini, etika deskriptif tugasnya sebatas menggambarkan atau
memperkenalkan dan sama sekali tidak memberikan penilaian moral. Pada masa
sekarang obyek kajian etika deskpiptif lebih banyak dibicarakan oleh
antropologi budaya, sejarah, atau sosiologi. Karena sifatnya yang empiris, maka
etika deskriptif lebih tepat dimasukkan ke dalam bahasan ilmu pengetahuan dan
bukan filsafat.
b. Etika Normatif
Etika normatif bertujuan merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat
dipertangung-jawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam perbuatan
nyata. Berbeda dengan etika deskriptif, etika normatif tidak bersifat netral,
melainkan memberikan penilaian terhadap tingkah laku moral berdasar norma-
norma tertentu. Etika normatif tidak sekedar mendeskripsikan atau
menggambarkan, melainkan bersifat preskriptif atau memberi petunjuk
mengenai baik atau tidak baik, boleh atau tidak oleh-nya suatu perbuatan.
Untuk itu di dalamnya dikemukakan argumenargumen atau diskusi-diskusi yang
mendalam, dan etika normatif merupakan bagian penting dari etika.
c. Meta Etika
Meta etika tidak membahas persoalan moral dalam arti baik atau
buruk-nya suatu tingkah laku, melainkan membahas bahasa-bahasa moral.
Sebagai contoh, jika suatu perbuatan dianggap baik, maka pertanyaannya adalah
: apakah arti “baik” dalam perbuatan itu, apa ukuran-ukuran atau syarat-
syaratnya untuk disebut baik, dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan semacam
itu dapat juga dikemukakan secara kritis dan mendalam tentang makna dan
ukuran adil, beradab, manusiawi, persatuan, kerakyatan, kebijaksanaan,
keadilan, kesejahteraan dan sebagainya. Meta etika seolah-olah bergerak pada
taraf yang lebih tinggi dari pada perilaku etis, dengan begerak pada taraf bahasa
etis (meta artinya melebihi atau melampui).
7
2.4 Moral
Moral atau moralitas erupa dengan etika dan banyak orang yang menggunakan
kedua kata ini secara bergantian. Moral biasanya mengacu ada standar personal
individu mengenai apa yang benar dan apa yang salah dalam tingkah laku, karakter, dan
sikap. Terkadang petunjuk pertama sifat moral dari sebuah situasi adalah munculnya
suara hati, atau kesadaran akan perasaan seperti rasa bersalah, harapan, atau malu.
Kecenderungan merespon terhadap situasi dengan beberapa kata adalah indikator lain.
Akhirnya, isu moral dikaitkan dengan nilai dan norma sosial yang penting bukan
mengenai hal yang sepele. (Koening Kathleen, 2012, 79).
Secara etimologis, kata moral berasal dari kata mos dalam bahasa Latin,
bentuk jamaknya mores, yang artinya adalah tata-cara atau adat-istiadat. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989: 592), moral diartikan sebagai akhlak, budi
pekerti, atau susila. Secara terminologis, terdapat berbagai rumusan pengertian moral,
yang dari segi substantif materiilnya tidak ada perbedaan, akan tetapi bentuk
formalnya berbeda.
Widjaja (1985: 154) menyatakan bahwa moral adalah ajaran baik dan buruk
tentang perbuatan dan kelakuan (akhlak). Al-Ghazali (1994: 31) mengemukakan
pengertian akhlak, sebagai padanan kata moral, sebagai perangai (watak, tabiat) yang
menetap kuat dalam jiwa manusia dan merupakan sumber timbulnya perbuatan tertentu
dari dirinya secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan dan direncanakan
sebelumnya. Sementara itu Wila Huky, sebagaimana dikutip oleh Bambang Daroeso
(1986: 22) merumuskan pengertian moral secara lebih komprehensip rumusan
formalnya sebagai berikut :
1. Moral sebagai perangkat ide-ide tentang tingkah laku hidup, dengan warna
dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam lingkungan
tertentu
2. Moral adalah ajaran tentang laku hidup yang baik berdasarkan pandangan
hidup atau agama tertentu.
3. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan pada
kesadaran, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik , sesuai
dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungannya.
8
Pemahaman tentang moralitas yang didistingsikan dengan legalitas ditemukan dalam
filsafat moral Kant. Menurut pendapatnya, moralitas adalah kesesuaian sikap dan perbuatan
dengan norma atau hukum batiniah, yakni apa yang oleh Kant dipandang sebagai
“kewajiban”. Sedangkan legalitas adalah kesesuaian sikap dan tindakan dengan hukum atau
norma lahiriah belaka. Kesesuaian ini ini belum bernilai moral, sebab tidak didasari dorongan
batin. Moralitas akan tercapai jika dalam menaati hukum lahiriah bukan karena takut pada
akibat hukum lahiriah itu, melainkan karena menyadari bahwa taat pada hukum itu
merupakan kewajiban. Dengan demikian, nilai moral baru akan ditemukan di dalam
moralitas. Dorongan batin itu tidak dapat ditangkap dengan indera, sehingga orang tidak
mungkin akan menilai memberi penilaian moral secara mutlak. Kant dengan tegas
mengatakan, hanya Tuhan yang mengetahui bahwa dorongan batin seseorang bernilai moral
(Tjahjadi 1991: 48).
Menurut Kant, moralitas masih dibedakan menjadi dua, yaitu moralitas heteronom
dan moralitas otonom. Dalam moralitas heteronom, suatu kewajiban ditaati, tapi bukan
karena kewajiban itu sendiri, melainkan karena sesuatu yang berasal dari luar kehendak orang
itu sendiri, misalnya karena adanya imbalan tertentu atau karena takut pada ancaman orang
lain. Sedangkan dalam moralitas otonom, kesadaran manusia akan kewajibannya yang harus
ditaati sebagai sesuatu yang ia kehendaki, karena diyakini sebagai hal yang baik. Dalam hal
ini, seseorang yang mematuhi hukum lahiriah adalah bukan karena takut pada sanksi, akan
tetapi sebagai kewajiban sendiri, karena mengandung nilai kebaikan. Prinsip moral
semacam ini disebutnya sebagai otonomi moral, yang merupakan prinsip tertinggi moralitas.
Jika dihubungkan dengan teori perkembangan penalaran moral-nya Kohlberg,
kesesuaian sikap dan tindakan semacam ini sudah memasuki tahapan perkembangan yang ke-
6 atau tahapan tertinggi, yakni orientasi prinsip etika universal.
Pada bagian lain, Kant mengemukakan adanya dua macam prinsip yang mendasari
tindakan manusia, yaitu maksim (maxime) dan kaidah obyektif. Maksim adalah prinsip
yang berlaku secara subjektif, yang dasarnya adalah pandangan subjektif dan menjadikannya
sebagai dasar bertindak. Meskipun memiliki budi, akan tetapi manusia sebagai subjek adalah
makhluk yang tidak sempurna , yang juga memiliki nafsu, emosi, selera dan lain-lain. Oleh
karena itu manusia memerlukan prinsip lain yang memberinya pedoman dan menjamin
adanya “tertib hukum” di dalam dirinya sendiri, yaitu yang disebut kaidah objektif tadi.
Kaidah ini tidak dicampuri pertimbangan untung atau rugi, menyenangkan atau
menyusahkan.
9
Pandangan Kant tentang moralitas yang didasari kewajiban tersebut tampaknya tidak
berbeda dengan moralitas Islam (akhlak), yang berkaitan dengan “niat”. Di sini berlaku suatu
prinsip/ajaran bahwa nilai suatu perbuatan itu sangat tergantung pada niatnya. Jika niatnya
baik, maka perbuatan itu bernilai kebaikan. Perbuatan yang dimaksudkan di sini sudah tentu
perbuatan yang baik, bukan perbuatan yang buruk. Dengan demikain niat yang baik tidak
berlaku untuk perbuatan yang jelek. Misalnya perbuatan mencuri yang didasari niat untuk
memperoleh uang guna disumbangkan bagi orang-orang yang sangat memerlukan.
Prinsip/ajaran tersebut lebih ditujukan pada suatu perbuatan yang tampaknya baik, akan tetapi
didasari oleh niat yang tidak baik. Misalnya, seseorang yang membagikan sejumlah bantuan
kepada orang-orang miskin, dengan niat agar memperoleh pujian dari masyarakat. Niat yang
baik itu tidak lain adalah ikhlas, yakni perbuatan yang sematamata ditujukan untuk
memperoleh keridhaan (perkenan) Tuhan. Sementara itu dalam “etika” Jawa juga dikenal
adanya ajaran sepi ing pamrih, yang maksudnya adalah niat yang bebas dari motif-motif
kepentingan pribadi dalam melaksanakan sesuatu bagi kepentingan orang lain atau
kepentingan umum.
10
BAB III
PEMBAHASAN
11
memperlihatkan perbuatan yang baik bagikelompok tertentu. Etika juga merupakan
peraturan dan prinsip bagi perbuatanyang benar. Etika berhubungan dengan hal
yang baik dan hal yang tidak baik dandengan kewajiban moral. Etika berhubungan
dengan peraturan untuk perbuatan atau tindakan yang mempunyai prinsip benar dan
salah, serta prinsip moralitas karena etika mempunyai tanggung jawab moral,
menyimpang dari kode etik berarti tidak memiliki prilaku yang baik dan tidak
memiliki moral yang baik.
Moral berasal dari bahasa latin yaitu adat dan kebiasaan. Moral mirip dengan
etika, moral selalu dikaitkan dengan standar personal individu dalam penerapan
tingkah laku, karakter & sikap. Etik selalu merujuk pada standar moral terutama yg
berkaitan dengan kelompok, spt. Dokter & perawat . Moral adalah perilaku yg
diharapkan oleh masyarakat yg merupakan “standar perilaku” dan “nilai-nilai” yg
harus diperhatikan bila seseorang menjadi anggota masyarakat dimana ia tinggal.
12
4. Mendorong para perawata agar bisa mengembangkan diri untuk meningkatkan
kemampuan profesional, integritas dan loyalitasnya
5. Mendorong para perawat agar dapat memelihara dan mengembangkan kepribadian
serta sikap yang sesuai dengan etika keperawatan
6. Mendorong para perawat menjadi anggota masyarakat yang responsif, produktif dan
terbuka untuk menerima perubahan serta berorientasi ke masa depan.
2. Mendorong para perawat di seluruh indonesia agar dapat berperan serta dalam kegiatan
penelitian dalam bidang keperawatan.
3. Mendorong para perawat agar dapat berperan aktif dalam mendidik dan melatih pasien
dalam kemandirian untuk hidup sehat.
5. Mendorong para perawat agar dapat memelihara dan mengembangkan kepribadian serta
sikap yang sesuai dengan etika keperawatan.
13
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Dalam upaya mendorong profesi keperawatan agar dapat diterima dan di
hargai oleh pasien, masyarakat atau profesi lain, maka mereka harus memanfaatkan
nilai-nilai keperawatan dalam menerapkan etika dan moral disertai komitmen yang
kuat dalam mengemban peran profesionalnya. Dengan demikian, perawat yang
menerima tanggung jawab, dapat melaksanakan asuhan keperawatan secara etis
profesional. Sikap etis profesional bekerja sesuai dengan standar, melaksanakan
advokasi, keadaan tersebut akan dapat memberi jaminan bagi keselamatan pasien,
penghormatan terhadap hak-hak pasien, akan berdampak terhadap peningkatan
kualitas asuhan keperawatan.
4.2. Saran
Pembelajaran tentang etika dan moral dalam dunia profesi terutama bidang
keperawatan harus ditanamkan kepada mahasiswa sedini mungkin supaya nantinya
mereka bisa lebih memahami tentang etika keperawatan sehingga akan berbuat atau
bertindak sesuai kode etiknya (kode etik keperawatan).
14
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Koening, Kathleen. 2012. Praktik Keperawatan Profesional. Konsep dan Prespektif, Jakarta.
Siyaranamual, Julius. 2002. Etika Hak Asasi Pewabahan Aids. Pewabahan aids, Jakarta.
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/DASAR-ASAR%20PENGERTIAN%20MORAL.pdf
diakses pada tanggal 5 september 2017.
http://www.e-jurnal.com/2013/12/pengertian-moral-menurut-para-ahli.html
diakses pada tanggal 5 september 2017.
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/DASARDASAR%20PENGERTIAN%20MORAL.pdf
diakses pada tanggal 5 september 2017.
http://digilib.uinsby.ac.id/647/5/Bab%202.pdf
diakses pada tanggal 5 september 2017.
https://hartanto104.files.wordpress.com/2013/09/konsep-etik-dan-hukum-keperawatan.pdf
http://ners.unair.ac.id/materikuliah/5a.%20Teori%20etika%20Kepkom.pdf
15