Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Medik


1. Pengertian
Menurut Taqiyyah Bararah dan Mohammad Jauhar (2013), fraktur
adalah terputusnya kontiunitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari
pada yang dapat diabsorsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan
langsung gaya meremuk, gerakan puntir mendadak dan bahkan kontraksi
otot ekstrem. Meskipun tulang patah, jaringan di sekitarnya juga akan
terpengaruh mengakibatkan edema jaringan lunak, pendarahan ke otot dan
sendi, dislokasi sendi, rupture tendo, kerusakan saraf dan kerusakan
pembuluh darah. Organ tubuh dapat mengalami cedera akibat gaya yang
disebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen tulang.
Menurut Sugeng Jitowiyono dan Weni Kristiyanasari (2010:15),
fraktur adalah putusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan
yang disebabkan oleh kekerasan, fraktur atau patah tulang adalah
terputusnya kontiunitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa, fraktur tertutup adalah bila tidak ada hubungan
patah tulang dengan dunia luar . fraktur terbuka adalah fragmen tulang
yang meluas melewati otot dan kulit, dimana potensial untuk terjadi
infeksi.
Menurut Donna L. wong (2004), fraktur adalah patahnya
kontiunitas tulang yang terjadi ketika tulang tidak mampu lagi menahan
tekanan yang diberikan kepdanya, sedangkan menurut Price dan Wilson,
(2006), fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan pleh trauma atau
tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan
jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang
terjadi itu lengkap atau tidak lengkap.
Menurut Amin dan Hardhi (2015), fraktur lumbal adalah
terputusnya discus invertebralis yang berdekatan dan berbagai tingkatan
perpindahan fragmen tulang. Cidera tulang belakang adalah cedera
mengenai cevicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma, jatuh dari
ketinggian, kecelakaan lalu-lintas, kecelakaan olahraga dan sebagainya
yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang
vertebra sehingga mengakibatkan defisit neurologi.
Menurut Amin dan Hardhi (2015), trauma medulla spinalis dapat
terjadi bersamaan dengan trauma pada tulang belakang yaitu terjadinya
fraktur pada tulang belakang pada tulang belakang ligamentum
longitudainalis posterior dan durameter bisa robek, bahkan dapat menusuk
ke kanalis vertebralis serta arteri dan vena-vena yang mengalirkan darah
ke medula spinalis dapat ikut terputus.

2. Anatomi dan Fisiologi


a. Anatomi Tulang Belakang
Kolumna vertebralis atau rangkaian tulang belakang adalah
sebuah struktur lentur yang dibentuk oleh sejumlah tulang yang
disebut vertebra atau ruas tulang belakang. Di bagian dalam tulang
terdapat rongga yang memanjang ke bawah yang berisi sumsum tulang
belakang yang merupakan jaringan saraf, bagian dari susunan saraf
pusat. Saraf tersebut mengatur gerakan otot dan organ lain, seperti
usus, jantung dan lainnya (Evelyn C. Pearce, 2009).
Menurut Evelyn C. Pearce (2009), susunan anatomi atau
struktur tulang belakang terdiri dari:
1) Tujuh vertebra servikal atau ruas tulang bagian leher yang
membentuk daerah tengkuk.
2) Dua belas vertebra torakalis atau ruas tulang punggung yang
membentuk bagian belakang torax atau dada.
3) Lima vertebra lumbalis atau ruas tulang pinggang yang membentuk
daerah lumbal atau pinggang.
4) Lima vertebra sakralis atau ruas tulang kelangkang yang
membentuk sakrum atau tulang kelangkang.
5) Empat vertebra kosigeus atau ruas tulang tungging atau ekor yang
membentuk tulang ekor.

Gambar 2.1: Anatomi Struktur tulang belakang/ vertebrae dikuti


dari http://www.asiancancer.com, diakses tanggal 01
juni 2016, pukul 01.08 WIB.

Lengkung ruas tulang bagian leher melengkung ke depan,


lengkung ruas tulang dada ke arah belakang, daerah pinggang
melengkung ke depan dan pelvis atau kelangkang lengkungannya
kearah belakang. vertebra servikalis atau ruas tulang leher adalah yang
paling kecil dibandingkan dengan ruas tulang lainnya, ciri dari ruas
tulang punggung adalah semakin ke bawah semakin membesar dilihat
dari segi ukurannya yang memuat persendian untuk tulang iga. Ruas
tulang pinggang adalah yang terbesar dibandingkan dengan badan
vertebra lainnya. Sakrum atau tulang kelangkang terletak di bagian
bawah tulang belakang dengan bentuk segitiga, dan ruas tulang ekor
terdiri dari 4 atau 5 vertebra yang bergabung menjadi satu dan letaknya
berada di bagian paling bawah dari tulang belakang atau spine. Ruas-
ruas tulang belakang diikat oleh serabut yang dinamakan dengan
ligamen (Evelyn C. Pearce, 2009).

Gambar 2.2: Struktur lengkung tulang vertebrae dikuti dari


http://www.asiancancer.com, diakses tanggal 01 juni
2016, pukul 01.08 WIB.

Ukuran tulang vertebrae lumbal semakin bertambah dari L1


hingga L5 seiring dengan adanya peningkatan beban yang harus
disokong. Pada bagian depan dan sampingnya, terdapat sejumlah
foramina kecil untuk suplai arteri dan drainase vena (Vitriana, 2001).
Pada bagian dorsal tampak sejumlah foramina yang lebih besar
dan satu atau lebih orificium yang besar untuk vena basivertebral.
Corpus vertebrae berbentuk seperti ginjal dan berukuran besar, terdiri
dari tulang korteks yang padat mengelilingi tulang medular yang
berlubang-lubang (honeycomb-like). Permukaan bagian atas dan
bawahnya disebut dengan endplate. End plates menebal di bagian
tengah dan dilapisi oleh lempeng tulang kartilago. Bagian tepi end
plate juga menebal untuk membentuk batas tegas, berasal dari
epiphyseal plate yang berfusi dengan corpus vertebrae pada usia 15
tahun (Vitriana, 2001).

Gambar 2.3: Anatomi Struktur tulang spinal lumbal 1-5 dikuti dari
http://www.asiancancer.com, diakses tanggal 01 juni
2016, pukul 01.08 WIB.

Lengkung vertebrae merupakan struktur yang berbentuk


menyerupai tapal kuda, terdiri dari lamina dan pedikel. Dari lengkung
ini tampak tujuh tonjolan processus, sepasang prosesus superior dan
inferior, prosesus spinosus dan sepasang prosesus tranversus. Pedikel
berukuran pendek dan melekat pada setengah bagian atas tulang
vertebrae lumbal. Lamina adalah struktur datar yang lebar, terletak di
bagian medial processus spinosus. Processus spinosus sendiri
merupakan suatu struktur datar, lebar, dan menonjol ke arah belakang
lamina. Processus transversus menonjol ke lateral dan sedikit ke arah
posterior dari hubungan lamina dan pedikel dan bersama dengan
processus spinosus berfungsi sebagai tuas untuk otot-otot dan ligamen-
ligamen yang menempel kepadanya. Processus articular tampak
menonjol dari lamina. Permukaan processus articular superior
berbentuk konkaf dan menghadap kearah medial dan sedikit posterior.
Processus articular inferior menonjol ke arah lateral dan sedikit
anterior dan permukaannya berbentuk konveks (Vitriana, 2001).
Sendi facet disebut juga sendi zygapophyseal. merupakan sendi
yang khas. Terbentuk dari processus articular dari vertebrae yang
berdekatan untuk memberikan sifat mobilitas dan fleksibilitas. Sendi
ini merupakan true synovial joints dengan cairan sinovial (satu
processus superior dari bawah dengan satu processus inferior dari
atas). Manfaat sendi ini adalah untuk memberikan stabilisasi
pergerakan antara dua vertebrae dengan adanya translasi dan torsi saat
melakukan fleksi dan ekstensi karena bidang geraknya yang sagittal.
Sendi ini membatasi pergerakan fleksi lateral dan rotasi. Permukaan
sendi facet terdiri dari kartilago hialin. Pada tulang belakang lumbal,
kapsul sendinya tebal dan fibrosa, meliputi bagian dorsal sendi. Kapsul
sendi bagian ventral terdiri dari lanjutan ligamentum flavum. Ruang
deltoid pada sendi facet adalah ruang yang dibatasi oleh kapsul sendi
atau ligamentum flavum pada satu sisi dan pertemuan dari tepi bulat
permukaan kartilago sendi artikuler superior dan inferior pada sisi
lainnya, ruang ini diisi oleh meniscus atau jaringan fibro adipose yang
berupa invaginasi rudimenter kapsul sendi yang menonjol ke dalam
ruang sendi. Fungsi meniskus ini adalah untuk mengisi kekosongan
sehingga dapat terjadi stabilitas dan distribusi beban yang merata
(Vitriana, 2001).

b. Fisiologi Tulang
Badan ruas tiap vertebra lumbalis berbentuk ginjal, foramen
vertebra lumbalis berbentuk segitiga prosesus transversus panjang dan
langsing, prosesus spionosus berbentuk segiempat, pendek, dan rata
mengarahlurus ke belakang. Fasies prosesus artikularis superior
menghadap ke medial dan fasies artikularis inferior menghadap ke
lateral (Evelyn C. Pearce, 2009).
Kolumna vertebralis atau rangkaian tulang belakang adalah
sebuah struktur yang lentur yang dibentuk oleh sejumlah tulang yang
disebut vertebra atau ruas tulang belakang. Diantara tiap dua ruas
tulang pada tulang belakang terdapat bantalan tulang rawan Panjang
rangkaian tulang belakang pada orang dewasa dapat mencapai 57 – 67
cm. Seluruhnya terdapat 33 ruas tulang, 24 buah diantaranya adalah
tulang-tulang terpisah dari 19 ruas sisanya bergabung membentuk 2
tulang (Evelyn C. Pearce, 2009).
Vertebra dikelompokan dan dinamai sesuai dengan daerah
yang ditempatinya. Tujuh vertebra servikalis atau ruas tulang bagian
leher membentuk daerah tengkuk. Dua belas vertebra torakalis atau
ruas tulang punggung membentuk bagian belakang toraks atau dada.
Lima vertebra lumbalis atau ruas tulang pinggang membentuk daerah
lumbal atau pinggang lima vertebra sakralis atau ruas tulang
kelangkang membentuk sakrum atau tulang kelangkang. Empat
vertebra koksigis atau ruas tulang tungging membentuk tulang koksiks
atau tulang tungging. Pada tulang leher, punggung, dan pinggang,
ruas-ruasnya tetap tinggal dan jelas terpisah selama hidup. Ruas-ruas
tersebut disebut ruas yang dapat bergerak. Ruas pada dua daerah
bawah, sacrum dan koksigis, pada masa dewasa bersatu membentuk
tulang. Ruas-ruas tersebut disebut ruas bergerak (Evelyn C. Pearce,
2009).
Sendi kolumna vertebralis dibentuk oleh bantalan tulang rawan
yang terletak di antara setiap vertebra dan dikuatkan oleh ligamen
yang berjalan di depan dan dibelakang badan-badan vertebra
sepanjang kolumna vertebralis. Masa otot di setiap sisi membantu
kesetabilan tulang belakang dengan sepenuhnya (Evelyn C. Pearce,
2009).
Menurut Evelyn C. Pearce (2009), proses pembentukan tulang
dalam suatu jaringan dinamis yang tersusun dari tiga bagian sel, yaitu:
1) Osteoblas membangun tulang dengan membentuk kolagen tipe I
dan proteoglikan sebagai matriks tulang atau jaringan osteoid
melalui suatu proses yang disebut osifikasi. Ketika sedang aktif
menghasilkan jaringan osteoid, osteoblas mensekresikan sejumlah
besar fosfatase alkali, yang memegang peranan penting dalam
mengendapkan kalsium dan fosfat ke dalam matriks tulang.
Sebagian dari fosfatase alkali akan memasuki aliran darah,
dengan demikian maka kadar fosfatase alkali didalam darah dapat
menjadi indikator yang baik tentang tingkat pembentukan tulang
setelah mengalami patah tulang.
2) Osteosit adalah sel-sel tulang dewasa yang bertindak sebagai
suatu lintasan untuk pertukaran kimiawi melalui tulang yang
padat.
3) Osteoklas adalah sel-sel besar berinti banyak yang
memungkinkan mineral dan matriks tulang dapat diabsorbsi.
Tidak seperti osteoblas dan osteosit, osteoklas mengikis tulang.
Sel-sel ini menghasilkan enzim-enzim proteolitik yang
memecahkan matriks dan beberapa asam yang melarutkan
mineral tulang, sehingga kalsium dan fosfat terlepas ke dalam
aliran darah.
Pada keadaan normal tulang mengalami pembentukan dan
absorbsi pada suatu tingkat yang konstan, kecuali pada masa
pertumbuhan kanak-kanak di mana lebih banyak terjadi pembentukan
daripada absorbsi tulang. Proses-proses ini penting untuk fungsi
normal tulang. Keadaan ini membuat tulang dapat berespons terhadap
tekanan yang meningkat dan untuk mencegah terjadi patah tulang.
Bentuk tulang dapat disesuaikan dalam menanggung kekuatan
mekanis yang semakin meningkat. Perubahan tersebut juga membantu
mempertahankan kekuatan tulang pada proses penuaan. Matriks
organik yang sudah tua berdegenerasi, sehingga membuat tulang
secara relatif menjadi lemah dan rapuh. Pembentukan tulang yang
baru memerlukan matriks organik baru, sehingga memberi tambahan
kekuatan pada tulang (Evelyn C. Pearce, 2009).
Metabolisme tulang diatur oleh beberapa hormon. Suatu
peningkatan kadar hormon paratiroid mempunyai efek langsung dan
segera pada mineral tulang, menyebabkan kalsium dan fosfat
diabsorpsi dan bergerak memasuki serum. Di samping itu,
peningkatan kadar hormon paratiroid secara perlahan-lahan
menyebabkan peningkatan jumlah dan aktivitas osteoklas, sehingga
terjadi demineralisasi. Peningkatan kadar kalsium serum pada
hiperparatiroidisme dapat pula menimbulkan pembentukan batu ginjal
(Evelyn C. Pearce, 2009).
Vitamin D mempengaruhi deposisi dan absorpsi tulang.
Vitamin D dalam jumlah besar dapat menyebabkan absorpsi tulang
seperti yang terlihat pada kadar hormon paratiroid yang tinggi. Bila
tidak ada vitamin D, hormon paratiroid tidak akan menyebabkan
absorpsi tulang. Vitamin D dalam jumlah yang sedikit membantu
klasifikasi tulang, antara lain dengan meningkatkan absorpsi kalsium
dan fosfat oleh usus halus (Evelyn C. Pearce, 2009).
Estrogen menstimulasi osteoblas. Penurunan estrogen setelah
menopause mengurangi aktivitas osteoblastik, menyebabkan
penurunan matriks organik tulang. Umumnya, klasifikasi tulang tidak
terpengaruh pada osteoporosis yang terjadi pada wanita sebelum usia
65 tahun, namun berkurangnya matriks organiklah yang merupakan
penyebab dari osteoporosis. Fungsi osteoblastik juga tertekan apabila
penderita diberi glukokortikoid dengan dosis besar. Keadaan ini dapat
menyebabkan osteoporosis akibat kegagalan osteoblas membentuk
matriks tulang baru (Evelyn C. Pearce, 2009).
3. Etiolgi
Menurut Amin dan Hardhi, (2015), adapun penyebab dari fraktur
adalah sebagai berikut:
a. Trauma langsung merupakan utama yang sering menyebabkan fraktur.
Fraktur tersebut terjadi pada saat benturan dngan benda keras.
b. Putaran dengan putaran yang berlebihan (hiperfleksi) pada tulang akan
dapat mengakibatkan dislokasi atau fraktur.
c. Kopresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari ketinggian,
kecelakaan lalu lintas dan sebagainya.
d. Postur tubuh (obesitas atau kegemukan) dan body mekanik yang salah
seperti mengangkat benda berat.
e. Kecelakaan sebab olahraga (penunggang kuda, pemain sepak bola,
penyelam, dan lain-lain).
f. Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra.
g. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis
yang menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang.

4. Manifistasi Klinis
Menurut Amin dan Hardhi, (2015), gambaran klinik tergantung
pada lokasi dan besarnya kerusakan yang terjadi, kerusakan meningitis;
lintang memberikan gambaran berupa hilangnya fungsi motoric maupun
sensorik kuadal dari tempat kerusakan disertai shock spinal. Shock spinal
terjadi karena kerusakan mendadak sumsum tulang belakang karena
hilangnya rangsangan yang berasal dari pusat, peristiwa ini umumnya
berlangsung selama 1-6 minggu, kadang lebih lama. Tandanya adalah
kelumpuhan flasid, anastesia, refleksi, hilangnya fersfirasi, gangguan
fungsi rectum dan kandung kemih, triafismus, bradikardia dan hipotensi.
Setelah shock spinal pulih kembali, akan terdapat hiperrefleksi terlihat
pula pada tanda gangguan fungsi otonom, berupa kulit kering karena tidak
berkeringat dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih
dan gangguan defikasi.
Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukan kelumpuhan
otot lurik di bawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu
pada kedua sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu. Cedera
sumsum belakang sentral jarang ditemukan. Keadaan ini pada umumnya
terjadi akibat cedera di daerah servikal dan disebabkan oleh hiperektensi
mendadak sehingga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum
flavum yang terlipat. Cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang
memikul barang berat di atas kepala, kemudian terjadi gangguan
keseimbangan yang mendadak sehingga beban jatuh ke tulang belakang
sekoyong-koyong dihiperekstensi. Gambaran kelinik berupa tetraparase
parsial. Gangguan pada ekstremitas atas lebih ringan dari pada ekstremitas
atas sedangkan daerah perianal tidak terganggu (Amin & Hardhi, 2015).
Kerusakan tulang belakang setinggi vertebra lumbal 1 dan 2
mengakibatkan anastesia perianal, gangguan fungsi defikasi, miksi, ipotensi
serta hilangnya reflek anal dan rfleks bulbokafernosa (Amin & Hardhi,
2015).
Menurut Amin dan Hardhi, (2015), gambaran klinis yang terjadi
pada pasien dengan fraktur tulang belakang/lumbal antara lain:
a. Nyeri leher atau punggung terus menerus dan bertambah beratnya sampai
fragmen tulang dimobilisasi.
b. Spasme otot lokal, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.
c. Paralysis atau parase.
d. Ganguan sensoris.
e. Pada level cervical: tetraplegia atau tetraparesis.
f. Pada level thorakal atau lumbal: paraplegi/parese.
g. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera
5. Patofisiolaogi
Menurut Taqiyyah Bararah dan Mohammad Jauhar (2013), tulang
bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk
menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal lebih besar dari yang
dapat diserap tulang, maka terjadilah trouma pada tulang yang
mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontiunitas jaringan tulang.
Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembulu darah serta saraf dalam
korteks, marrow, dan jaringan tulang yang membungkus tulang rusak,.
Pendarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di
rongga medulla tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke area tulang
yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya
respons inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan
leukosit, dan inflitrasi sel darah putih, kejadian inilah yang menjadi dasar
dari proses penyembuhan tulang nantinya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur:
a. Faktor ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung
terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan
fraktur.
b. Faktor intrinsik.
Beberapa sifat terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk
timbulnya fraktur seperti kapasitas absorsi dari tekanan, elastisitas,
kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.

6. Klsifikasi Penyakit
Menurut Taqiyyah bararah dan Mohammad jauhar (2013),
membagi klasifikasi fraktur menjadi:
a. Menurut jumlah garis fraktur (terdapat satu garis fraktur).
1) Simple fraktur (terdapat satu garis fraktur).
2) Multiple fraktur (terdapat lebih dari satu garis fraktur).
3) Comminitive fraktur (banyak garis fraktur/fragmen kecil yang lepas).
b. Menurut garis fraktur:
1) Fraktur inkomplit (tulang tidak terpotong secara langsung).
2) Fraktur komplit (tulang terpotong secara total).
3) Hair line fraktur (garis fraktur tidak tampak sehingga tiak ada
perubahan bentuk tulang).
c. Menurut bentuk fragmen:
1) Fraktur transversal (bentuk fragmen melintang).
2) Fraktur obligue (bentuk fragmen miring).
3) Fraktur spiral (bentuk fragmen melingkar).
d. Menurut hubungan antara fragmen dengan dunia luar:
1) Fraktur terbuka (fragmen tulang menembus kulit), terbagi menjadi 3:
a) Pecahan tulang menembus kulit, kerusakan kulit sedikit,
kontaminasi ringan, luka <1 cm.
b) Kerusakan jaringan sedang, resiko infeksi lebih besar, luka 1 cm.
c) Luka besar sampai kurang lebih 8 cm, kehancuran otot, kerusakan
neurovascular, kontaminasi besar.
2) Fraktur tertutup (fragmen tulang tidak berhubungan dengan dunia
luar).

7. Komplikasi
Menurut Taqiyyah Bararah dan Mohammad Jauhar (2013),
komplikasi fraktur dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
a. Umum
1) Shock.
2) Kerusakan organ.
3) Kerusakan syaraf.
4) Emboli lemak.
b. Dini
1) Cedera arteri.
2) Cedera kulit dan jaringan
3) Cedera partement syndrome.
c. Lanjut
1) Malunion: biasanya terjadi pada fraktur yang komminutiva sedang
immobilisasinya longgar, sehingga terjadi angulasi dan rotasi. Untuk
memperbaiki perlu dilakukan osteotomi.
2) Delayed union: terutama terjadi pada fraktur terbuka yang diikuti
dengan infeksi atau pada frakter yang communitiva. Hal ini dapat
diatasi dengan operasi bonegraft alih tulang spongiosa.
3) Non union: Disebabkan karena terjadi kehilangan segmen tulang tibia
disertai dengan infeksi. Hal ini dapat diatasi dengan melakukan bone
grafting menurut cara papineau.
4) Kekakuan sendi: Hal ini disebabkan karena pemakaian gips yang
terlalu lama. Pada persendian kaki dan jari-jari biasanya terjadi
hambatan gerak, hal ini dapat diatasi dengan fisiotherapi

8. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis patah tulang juga dimulai dengan anamnesis: adanya
trauma tertentu, seperti jatuh, terputar, tertumbuk, dan beberapa kuatnya
trauma tersebut. Dalam persepsi penderita trauma tersebut bisa dirasa berat
meskipun sebenarnya ringan, sebaliknya bisa dirasa ringan meskipun
sebenarnya berat. Selain riwayat trauma, biasanya didapati keluhan nyeri
meskipun patah tulang yang fragmen patahnya stabil, kadang tidak
menimbulkan keluhan nyeri. Banyak patah tulang mempunyai cidera yang
khas (Amin dan Hardhi, 2015).
Menurut Amin dan Hardhi, (2015), pemeriksaan diagnostik yang
dilakukan pada pasien cedera tulang belakang yaitu:
a. Sinar x spinal: menentukan lokasi dan jenis cedera tulang belakang
(fraktur atau dislokasi). Pada pemeriksaan radiologis spinal dengan
pembuatan foto rontgen dua arah 900 didapatkan gambaran garis patah.
Pada patah yang fragmentnya mengalami dislokasi, gambaran garis
patah biasanya jelas. Dalam banyak hal, pemeriksaan radiologis tidak
dimaksudkan untuk diagnostik karena pemeriksaan klinisnya sudah
jelas, tetapi untuk menentukan pengelolaan yang tepat dan optimal
b. CT scan: untuk menentukan tempat luka/jejas
c. MRI: untuk mengindentifikasikan kerusakan syaraf spinal
d. Foto rongent thorak: mengetahui keadaan paru
e. AGD: menunjukan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi

7. Penatalaksanaan
Menurut Amin dan Hardhi (2015), semua korban kecelakaan yang
memperlihatkan gejala adanya kerusakan pada tulang belakang, seperti
nyeri leher, nyeri punggung, kelemahan anggota gerak atau perubahan
sensivitas harus dirawat seperti deangan pasien kerusakan tulang belakang
akibat cedera sampai dibuktikan bahwa tidak ada kerusakan tersebut.
Setelah diagnosis ditegakkan, disamping itu kemungkinan
pemeriksaan cedera lain yang menyertai, misalnya trauma kepala atau
trauma toraks, maka pengelolahan tulang belakang tanpa gangguan
neurologik bergantung pada stabilitasnya. Pada tipe yang stabil atau tidak
stabil temporer, dilakukan imobilisasi dengan gips atau alat penguat. Pada
tulang belakang denggan gangguan neurologikkomplit, tindakan
pembedahan terutama ditujukan untuk stabilisasi patah tulang untuk
memudahkan perawat atau untuk dapat dilakukan imobilisasi dini.
Mobilisasi dini merupakan syarat sehingga penyulit yang timbul pada
kelumpuan akibat cedera tulang belakang seperti infeksi saluran nafas,
infeksi saluran kencing atau decubitus dapat dicegah (Amin dan Hardhi,
2015).
Pembedahan juga dilakukan dengan tujuan dekompresi yaitu
melakukan reposisi untuk menghilangkan penyebab yang menekan medulla
spinalis , dengan harapan dapat mrngembalikan fungsi medulla spinalis tang
tergsnggu akibat penekanan tersebut. Dekompresi paling baik dilakukn 6
jam pascatrauma untuk mencegah terjadinya kerusakan medulla spinalis
yang permanen, tidak dilakukan dekompresi, karena akan menambahkan
instabilitas tulang belakang (Amin dan Hardhi, 2015).
Perhatian utama pada pasien penderita tulang belakang ditujukan
pada mencegah agar tidak menjadi kerusakan yang lebih para atau cedera
sekunder yaitu dilakukan imobilisasi di tempat kejadian dengan
memanfaatkan alas yang keras. Pengaggkutan penderita tidak dibenarkan
tanpa menggunakan tandu atau sarana apapun yang beralas keras. Hal
inidilakukan pada semua penderita yang patut dicurigai berdasarkan jenis
kecelakaan, penderita yang merasa nyeri di bagian tulang belakang, lebih-
lebih lagi bila terdapat kelemahan pada ekstremitas yang disertai mati rasa.
Selain itu harus diperhatikan jalan napas dan sirkulasi. Ia dicurigai cedera
pada area servikal, harus diusahakan agar kepala tidak menundukdan
menggunakan bntal kecil atau gulungan kain untuk menyangah leherpada
saat pengangkutan (Amin dan Hardhi, 2015).
Setelah semua langka tersebut terpenuhi, barulah dilakukan
pemeriksaan fisik dan neurologik, pemeriksaan penunjang seperti radiologi
pemasangan kateter dan memberikan nutrisi secara optimal, pada tindakan
pembedahan diperlukan tindakan dekompresi. Dislokasi yang pada
umumnya disertai instabilitasi tulang belakang diperlukan tindakan reposisi
dan stabilisasi (Amin dan Hardhi, 2015).
Pada pasien tidak sadar mungkin terdapat tanda syok spinal, nadi
lambat, tekanan darah rendah, kelemahan umum pada semua anggota gerak,
kehilangan kontrol eliminasi (Amin dan Hardhi, 2015).
B. Konsep Dasar Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
Menurut Arif Muttaqin (2008), pengumpulan data klien yang
mengalami gangguan muskuloskletal karena cedera tulang belakang baik
subjektif maupun objektif bergantung pada bentuk, lokasi, jenis cedera, dan
adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Pengkajian cedera kepala
meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
diagnostic, dan pengkajian psikososial,
a. Anamnesis terdiri dari hal-hal berikut:
1. Indentitas klien, meliputi nama, usia (kebanyakan terjadi pada usia
muda), jenis kelamin (kebanyakan laki-laki karena sering ngebut saat
mengendarai sepeda motor tanpa helem)/ pendidikan, alamat,
pekerjaan, agama, alamat, suku bangsa, jam masuk rs, nomor
registrasi, dan diagnosis keperawatan, dan diganosa medis.
Keluhan utama, misal nyeri, kelemahan dan kelumpuhan
ekstremitas, ganguan eliminasi, nyeri tekak di area trauma, skala
nyeri klien.
2. Riwayat penyakit sekarang. Kaji riwayat kecelakaan lalu lintas,
jatuh, luka tusuk, luka tembak, menghilang atau melemahnya reflek,
ileus paralitik, retensi urine.
3. Masalah pengunaan oba-obatan adiktif dan alkohol. Karena sering
terjadi pada klien yang suka kebut-kebutan dan menggunakan
alkohol, adiktif, obat-obatan.
4. Riwayat penyakit terdahulu. Riwayat penyakit degenerative pada
tulang belakang, seperti osteoporosis dan osteoarthritis, dan penyakit
lainnya seperti hipertensi dan diabetes.
5. Pengkajian psikososiospiritual. Menilai respon emosi klien terhadap
penyakitnya, perubahan peran di keluarga/masyarakat, kaji apakah
dampak yang timbul bagi klien, seperti kecacatan, rasa cemas
gangguan citra diri.
b. Pemeriksaan fisik
Mengarah pada keluhan klien umumnya, klien mengalami penurunan
kesadaran. Tanda-tanda vital mengalami perubahan, seperti brakikardia,
hipotensi, dan tanda-tanda syok neurogenik.
1. Perubahan sistem pernapasan bergantung pada gradasi blok saraf
parasimpatis
a) Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum,
sesak nafas, pengunaan otot bantu nafas, pengembangan paru
yang tidak simetris.
b) Respirasi paradox tidak mampu mengerakan dinding dada akibat
adanya adanya bloknsaraf parasimpatis
c) Palpasi femitus yang menurun apabila trauma terjadi pada rongga
thoraks.
d) Perkusi adanya suara redup sampai pekak apabila trauma terjadi
pada rongga thoraks.
Pada klien cedera tulang belakang dengan fraktur dislokasi vertebra
lumbalis dan protrusi diskusi intervertebralis L-5 dan S-1, klien tidak
mengalami kelainan inspeksi pernapasan.
2. Pengkajian system kardiovaskular pada klien cedera tulang belakang
didapatkan renjatan, pemeriksaan tekanan darah terkadang menurun,
brakikardia, berdebar-debar, pusing,extremitas dingin atau pucat.
3. Tingkat kesadaran, pada pasien menggalai cedera tulang belakang
biasanya berkisar dari letargi, stupor, semi koma sampai koma.
4. Pemeriksaan fungsi serebral, biasanya mengalami perubahan status
mental
5. Pemeriksaan saraf karnial
a) Saraf I, biasnya tidak ada kelainan
b) Saraf II, biasnya tidak ada kelainan, normal
c) Saraf III,IV dan VI. biasanya tidak ada gangguan ,menganggkat
kelopak mata dan pupil isokor.
d) Saraf V. biasanya tidak mengalami gangguan parsialis pada otot
wajah dan reflek kornea.
e) Saraf VII, prespsi pengecapan dalam batas normal dan wajah
simetris.
f) Saraf VIII, tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
presepsi.
g) Saraf XI, ada usaha klien untuk melakukan fleksi leher dan kaku
duduk.
h) Saraf XII, lidah simetris dan tidak ada ganguan saat pengecapan.
6. Pemeriksaan reflek
Reflek achilles menghilang, reflek patella melemah karena
kelemahan pada otot hamstring, pada fase akut reflek fisiologis
akan menghilang.
7. Mengkaji keadaan urine pasien warna, jumlah dan karakteristik
urine dan biasanya bila terjadi lesi pada kauda ekuina (kandung
kemih dikontrol oleh pusatS2-S4) klien akan mengalami
kehilangan reflek berkemih sementara, dan dianjurkan pemasngan
selang kateter.
8. Kaji adanya perubahan warna kulit dapat berhubungan denga
rendahnya kadar hemoglobin atau syok.
9. Pada keadaan syok spinal dan neuropaksia sering didapatkan
adanya ileusparalitik, menunjukan hilangnya bising usus serta
kembung.
10. Disfungsi motorik pada ekstremitas bawah pada pasien fraktur
lumbal 1-2
11. Pemerikaan radiologis, pemeriksaan rontgen, pemeriksaan CT, dan
pemeriksaan ER
Gejala yang ada seperti riwayat hipertensi,ateroklerosis, penyakit
jantung koroner serevos kular, tanda yang ada kenaikan tanada vital,
frekuensi atau irama takikardi, berbagai disritmia.
c. Intergritas ego
Gejala riwayat perubahan keprebadaian, ansietas, defresi euphoria, atau
marah kronik mengidikasikan kerusakan serebral, tanda yang ditemukan
gelisa, otot muka tegang, peningkatan pola bicara, pernafasan menghela
d. Eliminasi: riwayat penyakit ginjal masa lalu
e. Makanan dan cairan: makanan ytang mencakup tinggi garam, tinggi
lemak, tinggi kolesterol, tanda yang ada berat badan normal atau
obesitas.
f. Neurosensori: gejala yang ada pusing, ditandai adanya perubahan
ketrerjagaan, orientasi, pola proses berpikir memori ingatan
g. Nyeri atau ketidaknyamanan: gejala yang ada angina penyakit arteri
koroner keterlibatan jantung, sakit kepala oksipital, nyeri abdomen
h. Pernafasan gejala yang ada dispnea yang berkaitan dengan aktifitas atau
kerja, tanda yang ditemukan distres respirasi, perubahn bunyi nafas
i. Keamanan gejala yang ada gangguan koordinasi atau cara berjalan
j. Pembelajaran atau penyuluhan gejala yang ada factor-faktor resiko
keluarga, hipertensi, penyakit jantung, diabetes mellitus penyakit
serebrovaskuler ginjal.

2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Arif Muttaqin (2008), diagnose keperawatan pada pasien,
yang mengalami gangguan muskuloskletal karena cedera tulang belakang
antara lain:
a. Ketidak efektifan pola napas berhubungan dengan kelemahan/
kelumpuhan otot diagfragma
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (fraktur)
c. Konstipasi berhubungan dengan immobilisasi sekunder akibat post
operasi dan efek anastesi (muncul pada post operasi).
d. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan Karena kerusakan
kontiunitas jaringan tulang/skeletal
3. Intervensi Keperawatan
Tabel 2.1: Intervensi Keperawatan Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangangguan System Muskuloskletal:
Fraktur Lumbal (Arif Muttaqin, 2008)

No Diagnosa Hasil yang Diharapkan Rencana tindakan Rasional


1 Ketidak efektifan pola Tujuan jangka Panjang: 1. Observasi fungsi 1. Distress pernapasan dan
napas berhubungan Pola napas kembali efektif pernapasan, catat frekuensi perubahan tanda-tanda vital
dengan kelemahan/ Tujuan Jangaka Pendek: pernapasan, dispnea atau dapat terjadi sebagai akibat
kelumpuhan otot Setelah dilakukan tindakan perubahan tanda-tanda stress fisiologis dan nyeri
diagfragma keperawatan 1 x 24 jam vital. dapat menunjukan terjadinya
diharapkan ketidak efektifan syok sehubungan dengan
pola napas teratasi dengan hupoksia.
kriteria hasil: 2. Berikan posisi yang 2. Meningkatkan inspirasi
a. Ventilasi adekuat nyaman biasanya dengan maksimal dan meningkatkan
b. Pasien tidak menunjukan meninggikan kepala ke ekspansi paru dan ventilasi
tanda-tanda sianosis tempat tidur. pada sisi yang tidak sakit.
c. Tanda-tanda vital dalam 3. Lakukan penghisapan 3. Jika batuk tidak efektif,
batas normal: lender bila perlu, catat penghisapan dibutukan untuk
1. TD: 110/70-120/80 umlah, jenis dan mengeluarkan secrec dan
mmHg. karakteristi secret. menggurangi resiko infeksi
2. N: 60-100 x/menit pernapasan.
3. S : 36˚C- 37˚C. 4. Pertahankan perilaku 4. Membantu pasien mengalami
4. R: 60-100x/menit. tenang dan bantu pasien efek fisiologis hipoksia yang
5. Spo2: 90%-99%. untuk mengontrol diri dapat dimanifestasikan sebagai
dengan menggunakan kekuatan /ansietas.
pernapasan lebih lambat
dan tenang.
5. Klaoborasi dalam 5. Meningkatkan sediaan O2
pemberian oksigenasi O2
dan berikan sesuai indikasi.

2 Nyeri akut Tujuan jangka Panjang: 1. Kaji nyeri, catat lokasi, 1. Mempengaruhi pilihan/
berhubungan dengan Nyeri teratasi karakteristik dengan skala pengawasan ketidakefektipan
agen cedera fisik 0-10 intervensi.
(fraktur) Tujuan Janga Pendek: 2. Observasi tanda-tanda vital. 2. Takikardi/ peningkatan gelisah
Dalam waktu 1 x 24 jam dapat mengindikasikan
nyeri berkurang sampai terjadinya hipoksia/ pengaruh
dengan hilang dengan terhadap pernapasan.
Kriteria hasil: 3. Ajarkan tehnik manajemen 3. Memfokuskan kembali
a. Pasien mengatakan nyeri nyeri. perhatian, meningkatkan rasa
berkurang sampai dengan kontrol, dan dapat
hilang. meningkatkan kemampuan
b. Ekspresi wajah pasien koping dalam manajemen
tenang. nyeri, yang mungkin menetap
c. Pasien akan menunjukan untuk periode lebih lama.
keterampilan relaksasi. 4. Anjurkan pasien untuk 4. Memfokuskan kembali
d. Pasien tenang dan mengalihkan perhatian jika perhatian untuk
istirahat dengan tenang. nyeri timbul. menghilangkan nyeri.
e. TTV dalam batas normal: 5. Berikan posisi yang 5. Meningkatkan sirkulasi umum,
a. TD: 110/70-120/80 nyaman. menurunkan area tekanan
mmHg. lokal dan kelelahan otot.
b. N: 60-100 x/menit 6. Libatkan keluarga dalam 6. Membantu untuk
c. S : 36˚C- 37˚C. mendampingi pasien menghilangkan ansietas pasien
d. R: 60-100x/menit. dapat merasakan kebutuhan
e. Spo2: 90%-99%. untuk menghilangkan
pengalaman kecelakaan.
7. Kolaborasi dengan tim 7. Di berikan untuk menurunkan
medis lain dalam nyeri dan atau spasme otot.
pemberian obat analgesic

3 Gangguan pola Tujuan jangka Panjang: pola 1. Kaji pola berkemih dan 1. Untuk mengindentifikasi
eliminasi berhungan eliminasi kembali normal. catat urine selama 6 jam. fungsi ginjal.
dengan gangguan Tujuan Janga Pendek: 2. Palpasi kemungkinan 2. Mengetahui perubahan tanda-
sensori motorik pada Dalam waktu 1 x 24 menit adanya distensi kandung tanda akibat inkontinensia
lumbal 1 dan 2 tidak menunjukan tanda- kemih. urine.
tanda gangguan eliminasi 3. Anjurkan pasien minum 3. Membantu mempertahankan
dengan kreteria hasil: 2.000 cc/hari. fungsi ginjal.
a. Pasien tidak mrngalami 4. Lakukan perawatan kateter 4. Membantu proses pengeluaran
keluhan saaat eliminasi urine urine.
BAK/BAB. 5. Anjurkan pasien 5. Merangsang pola eliminasi
b. Produksi urine 50 cc/jam. mengonsumsi makanan Bab pasien.
c. Keluhan eliminasi tidak yang mengandung serat.
ada.
d. Dapat mencapai waktu
penyembuhan.
e. TTV dalam batas normal:
a. TD: 110/70-120/80
mmHg.
b. N: 60-100 x/menit
c. S : 36˚C- 37˚C.
d. R: 60-100x/menit.
e. Spo2: 90%-99%.

4. Hambatan mobilitas Tujuan jangka panjang: 1. Kaji mobilitas yang ada dan 1. Mengetahui sejauh mana
fisik berhubungan hambatan aktivitas tidak observasi adanya kemampuan pasien dalam
dengan karena terjadi. peningkatan kerusakan beraktivitas.
kerusakan kontiunitas Tujuan jangka pendek: dalam integritas kulit, kaji secara
jaringan tulang/skeletal waktu 3x24 jam hambatan teratur.
aktivitas teratasi dengan 2. Imobilisasi pada daerah 2. Mengurangi resiko iskemia
kereteria hasil: yang fraktur. jaringan akibat sirkulasi darah
1. Pasien mampu melakukan yang jelek pada daerah yang
aktivitas sehari-hari tertekan.
2. Pasien tampak rileks. 3. Anjurkan klien untuk latihan 3. Gerakan aktif memberikan
3. Memverbalisasi perasaan gerak aktif pada ekstremitas massa, tonus otot, dan
dalam meningkatkan yang tidak sakit. kekuatan otot, serta
kekuatan dan kemampuan memperbaiki fungsi jantung
berpindah. dan pernapasan.
4. Uji kekuatan otot: 4. Bantu pasien melakukan 4. Mempertahankan fleksibilitas
a. Ekstremitas atas: 5 latihan ROM dan perawatan sendi sesuai kemampuan.
b. Ekstremitas bawah: 0 diri sesuai toleransi.
5. Pertahankan bentuk spinal 5. Mempertahankan posisi
dengan cara berikut: Matras tulang belakang agar tetap
atau Bed board (tempat tidur rata.
dengan alas kayu atau kasur
busa yang keras yang tidak
menimbulkan lekukan saat
pasien tidur)
6. Kemampuan mobilitas
6. Kloborasi dengan ahli
ekstremitas dapat ditingkatkan
fisioterapi untuk melatih
dengan latihan fisik yang
fisik pasien.
diberikan oleh tim fisioterapi.
4. Implementasi
Tindakan keperawatan dipilih untuk membantu pasien dalam
mencapai hasil pasien yang diharapkan dan tujuan pemulangan.
Harapanya adalah bahwa perilaku yang diprekskripsikan akan membantu
pasien dan keluarga dalam cara dapat diprediksi, yang berhubungan
dengan masalah yang di identifikasi dan tujuan yang telah dipilih (Arif
Muttaqin, 2008).

5. Evaluasi Keperawatan
Menurut Arif Muttaqin (2008), evaluasi keperawatan pada
kasus gangguan Sistem muskulo skeletal:
a. Masalah keperawatan ketidak efektifan pola napas teratasi.
b. Masalah keperawatan nyeri dibagian punggung teratasi.
c. Masalah keperawatan gangguan pola eliminasi teratasi.
d. Masalah keperawatan hambatan pola aktivitas belum teratasi..

6. Discharge Planning
Menurut Arif Muttaqin (2008), discharge planning pada pasien
dengan kasus gangguan Sistem muskulo skeletal:
a. Berikan terapi oksigenasi nasal kanul 3 liter permenit.
b. Kolaborasi dengan tim medis lain dalam pemberian obat analgesik.
c. Lakukan perawatan kateter urine.
d. Kloborasi dengan ahli fisioterapi untuk melatih fisik pasien.

Anda mungkin juga menyukai